Categories
Politik

Intoleransi Agama Kian Memburuk di Tengah Rezim yang Makin Otoriter

  • Deretan peristiwa intoleransi menjadi sinyal memburuknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
  • Klientelistime antara elite politik lokal dan rakyat memperparah intoleransi di tengah menguatnya otoritarianisme.
  • Cara pandang moderasi agama yang masih didominasi kontrol negara gagal menyelesaikan persoalan intoleransi.

Tepat sebulan setelah terjadinya peristiwa perusakan rumah singgah dan pembubaran acara retret di Cidahu, Jawa Barat pada 27 Juni lalu, insiden serupa kembali terjadi. Kali ini di Padang, Sumatra Barat, pada 27 Juli, terjadi perusakan rumah doa umat Kristen.

Rentetan peristiwa intoleransi ini menjadi pertanda yang mengindikasikan semakin buruknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, terutama dalam hal kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan.

Sejak Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai presiden pada Oktober 2024, telah terjadi sejumlah peristiwa ancaman terhadap kelompok agama dan/atau pemeluk keyakinan minoritas dalam menjalankan praktik keagamaan dan kepercayaan mereka.

Selain kekerasan terhadap komunitas antaragama, kekerasan juga dialami oleh komunitas intra-agama, seperti yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyyah Indonesia yang mendapat ancaman saat hendak mengadakan acara Jalsah Salanah pada akhir tahun lalu.

Dalam Asta Cita-nya, Prabowo berjanji akan “meningkatan toleransi antarumat beragama” sebagai salah satu visi utama dalam pemerintahannya. Namun, pemerintah justru menunjukkan sikap yang bertolak belakang saat merespons masalah intoleransi.

Alih-alih membela korban, Staf Khusus Menteri HAM malah menyatakan dirinya siap menjadi penjamin penangguhan penahanan bagi para tersangka dalam kasus Cidahu.

Lantas, apa yang membuat praktik-praktik intoleran tetap tumbuh subur di tengah rezim yang kian otoriter ini?

Politikus Demokratis, Tapi Intoleran
Akar dari melemahnya komitmen perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di negara ini sebenarnya sudah tampak sejak masa pemerintahan sebelumnya, Joko Widodo.

Beberapa pakar seperti Marcus Mietzner menyebut bahwa politik Indonesia mengalami proses kemunduran demokrasi dan penguatan otoritarianisme yang berdampak langsung pada melemahnya komitmen pemerintah dalam menjamin hak-hak sipil.

Keterkaitan antara otokratisasi dan intoleransi ini digambarkan dalam istilah “productive intolerance” oleh Jeremy Menchik, fenomena di mana intoleransi justru menjadi alat atau mekanisme yang menghasilkan atau mendukung sistem otokratis.

Dalam konteks ini, intoleransi tidak hanya sebagai sikap negatif terhadap perbedaan, tapi berfungsi secara aktif untuk mengonsolidasikan kekuasaan otoriter dengan menekan oposisi atau menindas kelompok lain sembari memperkuat dominasi kelompok tertentu.

Praktik ini semakin dimungkinkan dengan kehadiran “intoleran democrat”, yaitu para politikus yang terpilih melalui proses demokratis namun melanggengkan praktik intoleran.

Dinamika Politik Lokal
Dinamika politik lokal juga sangat berperan dalam merangsang atau menekan tumbuhnya intoleransi.

Indeks Kota Toleran yang dikembangkan oleh SETARA Institute memberikan gambaran yang komprehensif tentang pengaruh dari ekosistem politik lokal terhadap kondisi toleransi di satu wilayah.

Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan oleh SETARA Institute pada Mei 2025, hanya ada 10 kota yang dianggap berhasil menjaga iklim keberagaman. Mereka menerapkan aturan daerah yang mampu mencegah radikalisme, diskriminasi, serta kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Laporan yang sama menyebutkan, alokasi anggaran untuk inisiatif kegiatan sosial lintas iman oleh pemerintah daerah berperan dalam memperkuat ekosistem toleransi di beberapa kota, seperti yang dilakukan di Salatiga dan Semarang.

Sebaliknya, jika elite politik yang didukung kelompok intoleran menang, patronase antara elite politik dan kelompok intoleran cenderung berlanjut. Beberapa daerah yang masuk dalam kategori intoleran adalah beberapa kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Banda Aceh, Lhoksumawe, dan Sabang.

Selain ketiadaan kepemimpinan politik dan inisiatif birokratis dalam memungkinkan kehidupan yang toleran, konsepsi kewarganegaraan di Aceh dibangun atas dasar dorman citizenship, di mana kaum muslim dianggap sebagai warga negara utama yang menjadi tuan rumah di provinsi yang menerapkan syariah; sedangkan yang non-muslim menjadi warganegara kelas kedua, sehingga diskriminasi terhadap minoritas tak terhindarkan.

Klientelisme Politik
Adanya hubungan klientelistik antara elite politik lokal dan rakyat di beberapa daerah, terutama pada masa pemilihan daerah, menyuburkan intoleransi dalam sistem yang makin otoriter.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Tasikmalaya menunjukkan bahwa banyak jemaat Ahmadiyah kesulitan mengakses jasa publik dan perlindungan dari pemerintah karena adanya kontrak politik antara pemimpin daerah dengan tokoh agama anti-Ahmadiyah.

Praktik serupa juga terjadi di Aceh. Klientelisme politik antara elite dan ulama dari dayah (pesantren tradisional) membuka ruang bagi lahirnya praktik intoleransi yang bersifat sektarian seperti fatwa yang membatasi kegiatan keagamaan kelompok Salafi.

Penelitian lain yang menelisik persepsi umat muslim terhadap etnis Tionghoa di Indonesia juga menunjukkan bahwa sikap intoleransi sering dimobilisasi dengan adanya hubungan klientelistik antar religio-political entrepreneur dengan beberapa segmen masyarakat muslim di Indonesia.

Penelitian ini menyebutkan bahwa sikap anti-minoritas merupakan sikap yang melekat di kelompok politik Islamis, yang berpengaruh pada bagaimana masyarakat muslim di Indonesia menyikapi isu pengadilan Basuki Tjahaja Purnama pada 2016.

Moderasi Semu
Moderasi awalnya ditawarkan sebagai narasi untuk menangkal radikalisasi di tengah masyarakat pada awal tahun 2000-an. Saat itu, Indonesia menghadapi serangkaian serangan teror yang digerakkan oleh beberapa individu yang terpengaruh ide-ide radikal.

Ide-ide moderasi keberagamaan kemudian mulai dilembagakan di masa kepresidenan Megawati Sukarnoputri melalui 1st International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada 2004. Namun, pelembagaan ini banyak tersandung hambatan domestik dengan adanya kasus diskriminasi keagamaan yang begitu marak dan pengaruh politik keagamaan yang kuat di Indonesia.

Di era Joko Widodo, moderasi keberagamaan diperkuat dengan pendirian lembaga seperti BPIP dan institusionalisasi praktik moderasi di Kementerian Agama melalui pendirian rumah moderasi.

Akhir-akhir ini, Kementerian Agama di era Prabowo juga menawarkan gagasan Kurikulum Cinta untuk membuat moderasi bisa dipahami tidak hanya sebagai konsep, namun juga sebagai sikap hidup. Jika melihat indikator yang dirilis oleh Pew Research Center pada 2024, Indonesia masih memiliki tingkat Government Restriction Index yang amat tinggi di angka 7,9 dan tingkat Social Hostility Index yang tinggi di angka 4,7.

Memang, jika dibandingkan dengan indeks dari tahun 2007, Indonesia telah mengalami perbaikan dalam kedua indeks dalam isu pembatasan pemerintah dalam KBB serta indeks kekerasan sosial.

Namun, tidak adanya perubahan cara pandang moderasi yang masih berbasis kontrol dominan negara dalam pengelolaan agama tidak akan menyelesaikan persoalan intoleransi.

Menyemai Solidaritas Dari Bawah
Praktik-praktik solidaritas antaragama dan intra-agama dimungkinkan oleh adanya peran kolaboratif antara aktor negara dan masyarakat. Negara perlu hadir sebagai penjamin kebebasan beragama, bukan hanya sebagai tukang ronda yang hanya menindak kasus-kasus pelanggaran kebebasan tersebut ketika terjadi.

Inisiatif bersifat organik, seperti membuka ruang perjumpaan antar komunitas antaragama dan intra-agama, penguatan solidaritas sosial melalui kolaborasi kegiatan, serta pengenalan keberagaman agama sejak dini, dapat membantu memperkuat toleransi dan solidaritas antar warga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 1 Agustus 2025

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Politik

Politik Kepemimpinan Integritas Indonesia Era Prabowo

Prabowo-Gibran dapat menjadikan ajaran Umar bin Abdul Aziz sebagai role model.

 Selasa 25 februari 2025 sudah memasuki 128 hari Prabowo-Gibran bekerja sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia setelah dilantik pada 20 oktober 2024. Tentunya masih banyak yang menjadi sorotan utama dalam politik Indonesia. Salah satunya adalah persoalan kepemimpinan integritas, apakah era Prabowo-Gibran sudah merealisasikan jiwa kepemimpinan yang berintegritas? Mengingat ada beberapa hal yang menjadi catatan publik yang mengarah pada tren negatif atas kinerja Prabowo-Gibran.

Kepemimpinan integritas merupakan kepemimpinan berkualitas yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan memiliki prinsip moral yang kuat. Itulah mengapa sikap kepemimpinan integritas harus dimiliki oleh figur pemimpin. Dengan kaya lain bahwa tindakan seorang pemimpin harus selaras dengan nilai dan prinsip yang dipegang yang mengedepankan keadilan dan kemashlahatan negara.

Perlu dicatat bahwa sikap integritas bukan warisan dari DNA namun muncul dari proses dan dibentuk melalui etika dan nilai. Seorang presiden Amerika, Dwight D. Eisenhower mengatakan: “Kualitas tertinggi untuk kepemimpinan adalah integritas.”

Kepemimpinan Integritas era Prabowo
Di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin berkembang, perdebatan mengenai pentingnya kepemimpinan yang berintegritas semakin mengemuka. Usai Prabowo-Gibran dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia, ada beberapa kasus yang membuat kepemimpinan integritas Prabowo-Gibran membuat skeptis rakyat Indonesia.

Mulai dari tingkah laku menteri/wakil menteri serta pejabat yang notabene langsung di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran yang tidak ditindak ketika sudah nyata-nyata terindikasi melakukan kesalahan dan melukai hati rakyat Indonesia. Seperti penyalahgunaan jabatan oleh Yandri Susanto selaku Menteri Desa yang membantu kemenangan istrinya sebagai bupati Serang dengan mengarahkan kepala desa untuk mendukung istrinya.

Selain itu, Gus Miftah selaku Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan berbicara tidak sopan di hadapan publik meskipun pada akhirnya ia mundur dari jabatannya tersebut. Kemudian Bahlil Lahadalia selaku menteri ESDM terkait mengambil kebijakan melarang pedagang eceran menjual gas elpiji 3 kilogram sehingga membuat gaduh di masyarakat.

Terdapat juga soal Budi Ari Setiadi mantan Menteri Kominfo dandi era Prabowo-Gibran yang menjabat sebagai Menteri Koperasi. Dalam kasus Budi Ari, mantan anak buahnya di Kominfo tertangkap dalam upaya melindungi seribu situs judi online. Selain itu, Satryo Soemantri Brodjonegoro selaku Mendiktisaintek yang melakukan pemecatan pegawai yang tidak sesuai prosedur pada akhirnya di-reshuffle oleh Presiden. Ada juga laporan dari OCCRP yang menyebut Jokowi salah satu tokoh nominasi terkorup di tahun 2024.

Sebagai pemimpin tertinggi di republik Indonesia, seharusnya pemerintah Prabowo-Gibran menindaklanjuti dan berusaha mengurai persoalan tersebut. Pemimpin harus menegakkan law enforcement dengan seadil-adilnya serta menyuarakan hati nurani rakyat. Pemerintah Prabowo-Gibran sudah seyogianya memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme secara tegas dan tidak pandang bulu. Hal ini juga yang sering di ucapkan oleh Prabowo diberbagai macam event kegiatan serta pidato politiknya.

Meskipun ada beberapa program yang dirasa telah memprioritaskan kepentingan rakyat Indonesia seperti makan bergizi gratis, melakukan efisiensi anggaran bagi pejabat, para menteri dan wakil menteri, bonus isi ulang listrik bulan Januari-Februari 2025 sampai program investasi Danantara, kesemuanya itu perlu diawasi dan dievaluasi apakah sudah tepat dan efektif.

Robert Nesta Marley yang dikenal dengan panggilan Bob Marley, seorang musisi Reggae dari Jamaika pernah mengatakan bahwa: “Kehebatan seorang manusia bukanlah pada seberapa banyak kekayaan yang dia peroleh, tetapi pada integritasnya dan kemampuannya untuk mempengaruhi orang orang di sekitarnya secara positif.”

Belajar Dari Umar Bin Abdul Aziz
Banyak tokoh dan pemimpin dunia yang memiliki integritas yang patut diteladani. Salah satu sosok yang sering disebut dalam hal integritas adalah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Dinasti Umayyah yang dikenal sebagai pemimpin yang berorientasi pada keadilan dan moralitas tinggi.

Jika mau jadikan teladan dalam kepemimpinan yang berintegritas, Prabowo-Gibran dapat menjadikan ajaran Umar bin Abdul Aziz sebagai acuan dan role model pemimpin yang penuh integritas. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang dikenal karena kebijakan-kebijakan revolusionernya dalam memperbaiki moralitas pemerintahan dan mengembalikan pemerintahan yang berorientasi pada keadilan serta kesejahteraan rakyat.

Keberanian Umar bin Abdul Aziz dalam menegakkan keadilan adalah contoh nyata bagi para pemimpin masa kini, termasuk Prabowo-Gibran yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Dalam konteks politik Indonesia yang dipenuhi dengan tantangan serius terkait korupsi, ketimpangan sosial, dan manipulasi kekuasaan, integritas kepemimpinan menjadi sangat vital untuk menjaga kepercayaan publik dan menciptakan pemerintahan yang bersih (good governance).

Pemimpin Berorientasi Pada Rakyat
Salah satu ajaran yang bisa diterapkan adalah bagaimana menjaga jarak dengan kekuasaan dan tidak terjebak dalam perilaku koruptif. Dalam kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yaitu mengembalikan harta yang diperolehnya selama menjabat untuk kepentingan masyarakat. Ini adalah contoh yang bisa menjadi model bagi Prabowo-Gibran dalam membuktikan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.

Selain persoalan di atas, korupsi juga masalah besar yang terus menghantui Indonesia. Salah satu contoh korupsi yang dilakukan oleh Harvey Moeis yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Bahkan yang terbaru terkait kasus korupsi dimana Kejagung menetapkan 7 tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang merugikan negara mencapai Rp 193,7 triliun.

Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa pemimpin berintegritas dapat menghapus korupsi dengan kebijakan tegas dan jelas. Kepemimpinan yang tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan adalah kunci menciptakan pemerintahan bersih dan transparan.

Mewujudkan Kepercayaan Rakyat
Prabowo-Gibran jika ingin dipercaya rakyat Indonesia harus memiliki tekad yang kuat untuk memberantas korupsi di segala lapisan pemerintahan. Integritas bukan hanya tentang tidak terlibat dalam tindakan koruptif, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap pejabat dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas utama dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.

Semoga Rezim Prabowo-Gibran tidak sekadar omon omon dan berusaha mampu menjadi pemimpin Indonesia yang mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan oleh Umar bin Abdul Aziz untuk memastikan bahwa kepemimpinan yang dijalankan benar-benar untuk kepentingan rakyat. Kepemimpinan yang berintegritas adalah kunci untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 2 Maret 2025

Willi Ashadi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset mencakup politik Islam, kajian Timur Tengah, gerakan Islam global, dan keamanan manusia dalam Islam.

 

Categories
Politik

Antara Profesionalisme dan Dualisme TNI

Pengawalan publik terhadap dinamika RUU TNI perlu terus dijaga.

Era reformasi telah lebih dari 25 tahun berlalu, dan Indonesia tidaklah lagi seperti yang dulu. Salah satu perubahan utama adalah tumbangnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto dan digantikan oleh pemerintahan sipil dari hasil tekanan hebat masyarakat, yang kemudian melahirkan norma baru dalam politik Indonesia: profesionalisme militer.

Era reformasi membawa babak baru posisi militer di Indonesia, di mana militer dituntut untuk berfokus kembali pada tujuan utamanya untuk pertahanan nasional dan menanggalkan peranannya dalam politik praktis serta kekuasaan di berbagai posisi pemerintahan, sebuah peranan besar yang sebelumnya mengakar dalam tentara Indonesia. Perubahan ini disambut positif masyarakat Indonesia, melihat masa depan sipil yang lebih bebas dan independen dalam bersuara maupun berkontribusi dalam perpolitikan nasional.

Namun, perkembangan politik terkini terlihat menjurus ke arah sebaliknya. Dimulai dari pengangkatan sejumlah pejabat aktif kepolisian dan militer untuk memegang posisi penting dalam pemerintahan sipil, hingga dimasukkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI di tahun 2025, di mana salah satu poinnya membahas kewenangan personel aktif TNI untuk menjabat di sektor publik. Hal ini semakin memperkuat kekhawatiran akan komitmen menjaga integritas TNI dalam mencegah munculnya dualisme di dalamnya, antara sebagai penjaga pertahanan dan sebagai pelaku aktif dalam politik praktis.

Militer dan Sipil dalam Demokrasi
Profesionalisme militer bukanlah konsep baru. Samuel Huntington, akademisi ternama terkait relasi sipil-militer, berpendapat bahwa perlu ada pemisahan kekuasaan antara pemerintahan sipil dan militer dalam demokrasi. Hal ini penting untuk menjamin berjalannya pemerintahan berbasis pada suara rakyat, sehingga memiliki akuntabilitas kepada publik.

Di sisi lain, dengan tidak masuknya militer ke dalam politik praktis akan meningkatkan efektivitasnya di sektor pertahanan dan keamanan karena militer mampu berfokus pada keahliannya tanpa perlu pertimbangan politis yang besar. Dengan kata lain, sipil berfokus pada pemerintahan dan keputusan politik, sedang militer berfokus pada pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanan.

Namun, implementasi profesionalisme militer sering kali kabur, seperti yang terlihat di Thailand dan Mesir. Di Thailand, militer memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan dan telah melakukan lebih dari 20 kudeta, dengan kudeta terakhir pada 2014 yang memperkuat posisinya melalui konstitusi baru. Meski pemilu 2023 menghasilkan kemenangan Move Forward Party, partai tersebut tidak dapat menunjuk Perdana Menteri karena dihalangi Senat yang dipilih oleh militer, dan akhirnya dibubarkan pada 2024 oleh Mahkamah Konstitusi.

Di Mesir, kudeta militer oleh Jenderal Abdul Fattah as-Sisi pada 2014 awalnya dianggap sebagai solusi kebuntuan politik, namun kemudian as-Sisi menggunakan kekerasan untuk membungkam oposisi dan menekan media. Ia juga mencanangkan pemindahan ibukota yang dikritisi sebagai penguat posisi militer, dengan perusahaan militer menguasai proyek pembangunan yang meningkatkan pemasukan militer, serta sistem pengawasan canggih untuk mencegah demonstrasi.

Indonesia sendiri pernah mengalami pemerintahan di bawah kendali militer selama 32 tahun. Pada awal perubahan rezim, terlihat bagaimana kekuatan militer digunakan untuk membungkam oposisi guna memastikan posisi Presiden bisa didapatkan pada 1966. Pun dalam upaya mempertahankan posisi sebagai Presiden selama 32 tahun kepemimpinan dengan penempatan personel aktif militer di berbagai pos penting pemerintahan. Rezim yang kemudian digulingkan karena kekecewaan yang memuncak pada 1998 dan melahirkan reformasi dalam sejarah Indonesia.

Refleksi Kembali Amanat Reformasi
Melihat dinamika domestik saat ini, terlihat mulai muncul kembali dualisme dalam TNI, salah satunya dari tingginya jumlah personel aktif militer dalam tubuh pemerintahan. Sejak 2019-2024, tercatat lebih dari 1.500 personel aktif TNI telah menduduki jabatan sipil di berbagai sektor. Beberapa jabatan di antaranya juga ditengarai ilegal karena menyalahi UU TNI. Sayang, kondisi ini diterjemahkan pemerintah bukan dengan mengevaluasi jumlah personel aktif TNI dalam pemerintahan, namun dengan upaya revisi UU TNI yang sebelumnya menjunjung nilai profesionalisme militer.

Pengawalan publik terhadap dinamika RUU TNI perlu terus dijaga. Semangat reformasi untuk menjamin demokrasi perlu dipertahankan dengan memastikan profesionalisme TNI sebagai penjaga pertahanan dan keamanan nasional dengan tetap mempertimbangkan sisi kemanusiaan personelnya. Demokrasi berdiri di atas nilai akuntabilitas, di mana pemerintahan yang berjalan berdasar pada pilihan rakyat tanpa ada intervensi di dalamnya. Menjaga integritas profesionalisme TNI tidak hanya menjadi tembok penjaga pertahanan dan keamanan negara, namun juga menjadi penjaga marwah institusi TNI di mata rakyat Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 1 Maret 2025

Enggar Furi Herdianto
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada kajian Asia Tenggara, kajian Asia Timur, ekonomi polit global, kebijakan industri otomotif, dan diplomasi publik.

Categories
Politik

Jangan Sampai Kita Mengikuti Venezuela

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pernahkah Anda mendengar nama Hugo Chavez? Dia adalah pemimpin otoriter Venezuela dari tahun 1999 hingga tahun 2013.

Chavez menjadi otoriter setelah secara demokratis terpilih menjadi pemimpin negara Amerika Latin tersebut. Proses menuju otoritarianisme tersebut melalui beberapa proses: penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, pembungkaman media, dan kejadiannya terjadi secara berangsur-angsur. Kita patut mewaspadai tanda-tanda proses tersebut agar kita bisa mengawal negara kita sendiri untuk tidak kembali pada otoritarianisme.

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, terpilih secara demokratis pada Pemilu tahun 2024. Dalam proses pencalonannya, hukum di Indonesia disesuaikan secara legal untuk melancarkan pencalonan wakilnya, Gibran, anak dari presiden sebelumnya, Joko Widodo.

Masyarakat mengingat bagaimana kasus ini bergulir di MK serta dinamikanya yang cukup mencuri perhatian masyarakat. Salah satunya terkait dengan usia minimum untuk dapat menjadi wakil presiden. Beberapa ahli, seperti Muhammad Tri Adika berpendapat bahwa Gibran menjadi kendaraan Prabowo untuk mendapatkan hati pendukung  Joko Widodo di daerah-daerah di Indonesia. Demokrasi biasanya mati secara perlahan bukan karena kudeta.

Pada tahun 2025, ketika Prabowo dilantik menjadi presiden, dalam politik Tanah Air, kita dapat melihat terlemahkannya toleransi antar aktor politik dan antar masyarakat, serta nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Kabinet gemuk yang dimiliki saat ini menunjukkan bagaimana oposisi hampir-hampir ditiadakan. Partai-partai pendukung Anies kini masuk ke rombongan besar ini. Dan hanya PDIP yang nampak berperan sebagai oposisi di tengah pemerintah.

Meskipun kita dapat mengkritisi kader-kader tindakan PDIP yang sempat tidak mengikuti retret kepala daerah karena kepala daerah adalah petugas rakyat dan bukan hanya petugas partai, kita bisa berargumen bahwa ada indikasi gaslighting yang dilakukan oleh pemerintahan pemegang kuasa dalam hal tersebut.

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, kebijakan juga seharusnya berpihak pada rakyat. Akan tetapi, kejadian ironis di kala seorang ayah di-PHK demi efisiensi dan pajak negara digunakan untuk Program Makan Siang Gratis.

Hal ini mungkin terjadi karena adanya miskoordinasi di dalam badan-badan milik pemerintah. Dalam kesempatan lain, pemerintah, dianggap oleh beberapa kalangan, membungkan kebebasan pelukis dan musisi yang menyuarakan kritik mereka melalui karya seni, seperti lagu “Bayar, bayar, bayar” dan lukisan “Tikus Garuda” yang “diamankan”. Namun, hal ini bisa saja terjadi karena koordinasi dan komunikasi yang kurang lancar. Bagaimanapun itu, kita perlu melihat seperti apa sebenarnya kasus ini bergulir.

Jika kita pantau lebih lanjut dan membandingkan apa yang terjadi di Indonesia dengan apa yang terjadi di Venezuela pada masa awal Hugo Chavez, kita bisa melihat persamaan penafikan aturan demokrasi, penolakan legitimasi lawan, penggunaan kekerasan, dan pengebirian kebebasan sipil.

Kita sedang menyaksikan mahasiswa dianggap “gaduh” dan “mengganggu” ketika sedang berunjuk rasa menolak pemotongan anggaran pendidikan. Kemudian hampir tiadanya oposisi di dalam pemerintahan, represi pada protes menentang Program Makan Siang Gratis oleh orang-orang Papua, serta pembungkaman secara halus akademisi, seniman, dan media melalui cara-cara seperti pengelolaan tambang.

Hal-hal tersebut adalah awal mula dari melemahnya demokrasi di negara ini. Bisa saja ada oknum yang menggunakan kekuasannya untuk memperkeruh suasana. Kita perlu duduk sebentar dan merenunginya, kemudian mempertayakan, apa yang sebenarnya terjadi.

Selanjutnya, institusi-institusi di pemerintahan mulai memperlihatkan perlemahan demokrasi dan kurangnya check and balances antar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di negara ini. Eksekutif dapat mengeluarkan aturan dan program dengan mendapatkan persetujuan dari DPR. DPR kita saat ini sudah didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintah.

Dan peraturan-peraturan kini dapat diubah melalui Mahkamah Konstitusi. Hampir tidak adanya oposisi akan berakibat pada tidak adanya pihak yang mengawasi kinerja pemerintah. Memang, dalam praktiknya, kondisi yang demikian itu akan lebih melancarkan program-program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat jika dijalankan oleh orang-orang yang berintegritas dan berkomitmen untuk pembangunan bangsa. Akan tetapi, dengan minimnya check and balances tersebut, rakyat dapat menjadi pihak yang senantiasa mengawasi pemerintah secara langsung, agar oknum-oknum nakal dapat diminimalisasi.

Ketika aktor pemerintahan tidak bisa lagi mengawasi jalannya pemerintahan, Masyarakat melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial), adalah cara berikutnya untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Sayangnya pada masa ini, algoritma dalam penggunaan media sosial atau elektronik sudah membuat semacam gelembung informasi. Seorang hanya akan mendengar atau menyaksikan informasi sesuai dengan kesukaan dan kebutuhannya saja, bukan informasi yang memang dia perlu untuk ketahui.

Sekarang ini pula, suatu berita tidak akan langsung dapat dikonsumsi atau disaksikan oleh masyarakat. Seorang pasangan yang tinggal dalam satu rumah saja dapat memperoleh narasi yang berbeda atas suatu kejadian berdasarkan algoritma yang mereka terima. Penyebaran informasi menjadi tidak merata.

Dengan kondisi saat ini, kesadaran masyarakat terhadap media yang kredibel mulai tergantikan oleh media sosial. Sehingga, Masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengkritisi sesuatu yang mereka tidak ketahui. Situasi ini membuat pemerintah, tidak perlu bersusah payah membatasi peran media di Masyarakat seperti yang terjadi di Venezuela pada era 2000-an.

Penggunaan buzzer juga menjadi sarana untuk melawan isu yang beredar di masyarakat seperti dalam kasus protes Indonesia Gelap yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Sudah seharusnya, kita menjadi lebih kritis terhadap apa yang pemerintah laksanakan. Dengan demikian, kita bersama dengan pemerintah, dapat membangun Indonesia menjadi negeri yang lebih maju.

Dari kenyataan yang kita hadapi saat ini, kita dapat mulai mewaspadai pihak-pihak yang dapat mengancam keberlangsungan kebebasan dan demokrasi di negara ini. Berkaca pada Hugo Chavez, bibit-bibit penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, dan pengebirian media sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat. Kita harus dapat waspada dan terus mengawasi orang-orang yang berkuasa agar Indonesia dapat tetap maju menjadi bangsa yang menyejahterakan masyarakatnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 3 Maret 2025

Mohamad Rezky Utama
Minat penelitian berfokus pada diplomasi, politik identitas, politik keagamaan, kebijakan luar negeri, Timur Tengah, dan kelompok kepentingan internasional. Bidang keahlian meliputi Politik Timur Tengah serta Aliran Keagamaan dan Politik.

Categories
Ekonomi Politik

Danantara, Cui Bono?

Kita tidak bisa hanya sekadar melihat Danantara sebagai sebuah lembaga negara baru.

Senin (24/2/2025) lalu, Presiden Prabowo didampingi oleh mantan presiden SBY dan Jokowi meresmikan Danantara. Dalam pidatonya, Prabowo menekankan bahwa Danantara bukan sekadar menjadi badan pengelola investasi, melainkan “harus menjadi instrumen pembangunan nasional”. Ia juga meyakinkan negara lain bahwa dengan pembentukan Danantara ini, Indonesia terbuka untuk kerja sama dengan negara mitra dari seluruh dunia.

Ketika menyaksikan peresmian Danantara, kita tidak bisa hanya sekadar melihatnya sebagai sebuah lembaga negara baru. Ada pesan tersirat atas struktur kekuasaan ekonomi politik yang disampaikan melalui Danantara ini. Di sinilah pertanyaan dari pemikir Ekonomi Politik Mazhab Inggris mendiang Susan Strange teresonansi, Cui Bono? Bagi siapa struktur kekuasaan itu memberikan keuntungan? Bagi siapa sebenarnya struktur kekuasaan yang dibentuk melalui Danantara itu memberikan keuntungan?

Menyoal Transparansi
Setelah terbentuk, Danantara mendapatkan amanat dana publik yang tidak tanggung-tanggung. Merujuk pada pidato Prabowo, Danantara akan mengelola 900 miliar dolar AS. Uang ini berasal dari aset BUMN yang digabung ke dalam Danantara maupun pemotongan anggaran dari serangkaian efisiensi yang telah dan hendak dijalankan.

Sayangnya, pengelolaan dana sebesar ini masih jauh dari transparansi. Secara legal-formal, Danantara diklaim berlandaskan pada UU Nomor 1 tahun 2025 yang merupakan revisi ketiga dari UU BUMN Nomor 19 tahun 2003. Hingga artikel ini ditulis, UU tersebut belum dapat ditemukan di JDIHN (Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional). Malah, dokumen UU tersebut sudah lebih dahulu ditemukan di media sosial maupun aplikasi pesan singkat.

Selain masalah transparansi dari sisi legal formal, peresmian Danantara pada Senin lalu masih menyisakan kerancuan mengenai posisi Danantara dalam struktur pemerintahan. Jika Danantara tidak hanya menjadi Badan Pengelola Investasi namun juga menjadi instrumen pembangunan, maka apakah Danantara menjadi tumpang tindih dengan Kementerian BUMN yang sudah ada? Ataukah, Danantara akan menambah lapisan birokrasi baru dalam pengelolaan BUMN yang ada?

Lebih dari itu, pemilihan para pengelola dan pengawas Danantara juga membuka tanda tanya yang semakin luas. Kepala Danantara yang ditunjuk adalah Rosan Roeslani, yang bukan hanya seorang Menteri Investasi sekaligus pebisnis dengan jejaring luas, tetapi pada pemilu 2024 lalu menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. Salah seorang wakilnya, Pandu Sjahrir, juga tidak bisa dilihat hanya sebagai pebisnis batu bara, tetapi juga masih kerabat dekat Luhut Binsar Panjaitan. Pengawas Danantara juga tidak hanya mantan Presiden hingga mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Tetapi, Presiden Prabowo juga hendak mengajak ormas keagamaan.

Alasan pengangkatan pengelola dan pengawas Danantara barangkali tidak akan diungkap secara terbuka pada publik. Akan tetapi, ada satu pola yang disampaikan di sini, resentralisasi kekuasaan ekonomi dan politik. Ketika kekuasaan ekonomi dan politik terpusat di satu kelompok, transparansi dianggap tidak lagi penting. Akses informasi kepada publik tidak lagi diperlukan sebab mereka tidak ikut serta dalam pengelolaan ini. Ketimpangan informasi akan melebar, dan para pemikir Mazhab Perilaku percaya, akan berkonsekuensi pada inefisiensi pasar. Ketika pasar berjalan tidak efisien, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan sulit untuk diwujudkan.

Kapitalisme Semu
Demokrasi politik, dalam pandangan Bung Hatta, harus berjalan beriring dengan demokrasi ekonomi. Tanpa demokrasi ekonomi, demokrasi politik tidak akan memberikan kesejahteraan pada masyarakat luas. Salah satu cara untuk membangun demokrasi ekonomi ialah pengelolaan sumber daya yang tidak hanya dilakukan oleh negara, melainkan juga melalui ikut serta masyarakat dengan pengembangan sektor swasta nasional.

Sayangnya, Danantara memberi sinyal yang berkebalikan. Ketika negara membentuk sebuah superholding seperti Danantara, ada kecenderungan untuk melemahkan sektor swasta. Ini bisa dilihat misalnya ketika pemerintahan Presiden Jokowi yang lalu melebur beberapa BUMN konstruksi untuk pembangunan infrastruktur. Sektor konstruksi swasta mengalami penurunan kontribusinya dalam perekonomian.

Hal ini terjadi karena struktur disinsentif yang tercipta sebagai konsekuensi akumulasi kapital oleh negara. Sektor swasta yang ingin tetap bertahan memiliki ruang gerak yang semakin sempit, kecuali jika mereka mau mengikuti negara melalui Danantara. Memang, tidak berarti keberadaan Danantara akan menutup sepenuhnya peluang bisnis swasta. Hanya saja, ketika insentif untuk berusaha secara bebas mengecil atau bahkan berbalik menjadi disinsentif, akan sulit berharap sektor swasta berproduksi secara maksimal.

Kondisi ini disebut oleh Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail sebagai ciri institusi ekstraktif, yang mempersulit jalan sebuah negara untuk mencapai kemajuan. Kapitalisme yang terbentuk akhirnya adalah kapitalisme semu. Sebagian ahli yang lain menyebutnya sebagai Kapitalisme Kroni. Hanya mereka yang berada di dalam atau di dekat kekuasaan yang dapat terus melakukan kegiatan produksi secara optimal.

Struktur ekonomi politik yang terbentuk kemudian menjadi tidak kondusif untuk menjaga demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi. Akhirnya, keuntungan tidak terdistribusi kepada masyarakat luas karena terkonsentrasi di lingkar kekuasaan.

Kini, selagi Danantara masih berada di tahap awal pembentukan, ruang bagi Presiden untuk memperbaiki kelembagaan Danantara masih terbuka. Tujuannya, agar struktur kekuasaan yang tercipta tidak terlampau terpusat, tetapi terdistribusi agar kekayaan negara dapat tersebar bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kita berharap, semoga berbagai kekhawatiran ini tidak terjadi

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 28 Februari 2025

Farhan Abdul Majiid
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset mencakup bidang ekonomi politik global (krisis ekonomi, perdagangan internasional, dan pembangunan), demokrasi dan demokratisasi, teori hubungan internasional, serta agama dan politik dengan fokus kawasan Asia Tenggara, Eropa, dan Timur Tengah.

Categories
Politik

Surplus Perasaan

Mengapa berita palsu, informasi salah, atau hoaks bisa menyebar cepat? Ada banyak jawaban. Salah satu jawabannya adalah karena naluri dan emosi telah mengalahkan fakta dan nalar. Jika ini terjadi, maka akal sehat tergadaikan. Diskusi sehat pun tidak mungkin dijalankan. Pintu bertukar pikiran sudah ditutup rapat.

Sialnya, kasus seperti ini tidak hanya menjangkiti kalangan awam. Kalangan terpelajar pun banyak yang terjerat. Apalagi jika dilengkapi dengan embel-embel kepentingan, yang memudahkan produksi 1001 macam argumen pembenaran. Karenanya, ketika ada informasi yang memapar seseorang dan itu mengonfirmasi opini awal yang sudah dipercaya, maka apa pun kualitasnya, informasi tersebut akan dilahapnya tanpa penalaran yang berarti. Inilah yang disebut dengan bias konfirmasi.

Di saat yang sama, informasi lain meski benar, tetapi jika tidak sesuai dengan opini semula, maka akan ditampik. Sangat sulit bagi orang yang seperti ini untuk berpindah pendirian. Apesnya, opini awal yang terbentuk pun tidak selalu yang benar.

Informasi apa pun yang diberikan orang bercitra baik dan mempunyai tautan emosional baik juga serupa: lebih mudah dipercaya, meski tidak benar dan berlawanan dengan akal sehat. Kerumitan bertambah, ketika banyak pihak yang saling mengklaim sebagai otoritas yang bisa dipercaya. Dalam konstelasi ini, para pihak tersebut termasuk ahli dengan beragam argumen dan segenap khalayak, terutama warganet.

Kekhawatiran di atas akan menemukan banyak bukti di musim kontestasi politik seperti saat ini. Coba simak beberapa informasi yang beredar di dunia maya berikut: ‘Polisi Temukan Gudang Penyimpanan Ijazah Palsu Gibran; Mahfud MD Laporkan Gibran Rakabuming Raka ke KPU; Mendag Zulkifli Hasan Ditangkap Karena Penistaan Agama; Rektor UGM Mengeluarkan Gielbran Muhammad Noor atas Aksi Mengkritik Presiden Jokowi dan lainnya. Semua informasi tersebut dipastikan merupakan hoaks. Situs www.kominfo.go.id sudah menayangkan klarifikasi untuk setiapnya. Bisa jadi, ketika suhu politik semakin menghangat, produksi hoaks juga meningkat. Baik dengan memoles pasangan jagoan atau memfitnah pasangan lawan.

Apa yang terjadi jika hoaks tersebut terus menyebar dan dipercaya oleh semakin banyak orang? Beragam skenario bisa dibayangkan, termasuk suhu politik yang semakin memanas. Bukan karena adu gagasan bernas, tetapi benturan keganasan culas. Semuanya tidak ada yang berakhir indah.

Dalam konteks politik, fenomena di atas telah melahirkan yang oleh William Davies dalam bukunya Nervous State disebut sebagai demokrasi perasaan (democracy of feelings), ketika perasaan semakin mendominasi keputusan manusia. Fakta dimanipulasi untuk memberikan dampak emosional yang maksimum, dan perasaan dimainkan untuk menavigasi perubahan yang sangat cepat.

Bagi Davies, dalam situasi seperti ini, tantangan terbesamya bukan lagi pada penghormatan kepada kebenaran, karena kebenaran sudah menjadi isu politik. Kebenaran dibuat menjadi relatif dan diputarbalikkan. Alih-alih digunakan untuk resolusi konflik, kebenaran justru digunakan untuk memperuncing konflik.

Informasi yang beredar pun, termasuk hoaks, dianggap sebagai representasi kebenaran. Kecepatan sebaran informasi tersebut semakin dahsyat ketika terjadi di pusaran publik dengan imajinasi paranoid yang tinggi karena perasaan terancam, kesesuaian informasi dengan opini awal yang dimiliki, dan frekuensi informasi yang diterima.

Jika ini yang terjadi dalam konteks perhelatan politik, kebebasan warga dapat direnggut dengan manipulasi dan penggiringan opini. Sehingga akal sehat menjadi sulit untuk berfungsi. Di sini, terjadi surplus perasaan yang dibarengi dengan defisit penalaran yang akut.

Bagaimana melawannya? Diperlukan gerakan bersama-sama mengedepankan penalaran merdeka yang tidak dikangkangi perasaan tuna nurani. Semuanya penting dilakukan untuk merawat kewarasan kolektif sebagai bangsa.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 Desember 2023

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada Bidang penelitian: eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Politik

Mencari Oposisi

Tanpa kehadiran oposisi di parlemen, fungsi kontrol dan keseimbangan tidak akan berjalan.

Tagar Indonesia gelap dengan simbol garuda kelir hitam menjadi penanda oposisi rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Oposisi rakyat, yang diwarnai aksi mahasiswa merupakan elemen penting dalam demokrasi.

Dalam teori dan praktik demokrasi, absennya kelompok oposisi di dapat melemahkan demokrasi. Sistem demokrasi membutuhkan oposisi sebagai alat kontrol dan keseimbangan (check and balance). Menurut Robert A. Dahl, dalam arti yang sempit, oposisi merupakan pendirian yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Dalam sudut pandang yang lebih luas, oposisi tidak hanya dapat dijalankan oleh partai politik, tetapi juga oleh beragam aktor atau pihak di luar parlemen dan luar pemerintah.

Partai oposisi dapat menolak rencana kebijakan, memberikan alternatif kebijakan, menyetujui sebagian kebijakan pemerintah, atau dalam situasi tertentu dapat menyatakan mosi tidak percaya pada pemerintah. Selain itu, partai oposisi juga dapat mendorong transparansi pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Pola dan bentuk oposisi juga beragam.

Paling tidak ada tiga pola oposisi menurut Giovanni Sartori, oposisi konstitusional yang bertanggung jawab, oposisi konstitusional yang tidak bertanggung jawab, dan oposisi yang tidak konstitusional dan tidak bertanggung jawab.

Redupnya Oposisi Politik di Parlemen
Sejak satu dekade terakhir peranan oposisi politik di parlemen Indonesia meredup. Bahkan oposisi tidak meninggalkan jejak dalam masa pemerintahan baru Prabowo. Sejatinya, peranan oposisi ini dimainkan oleh partai politik yang tidak berkuasa. Namun, tawaran kursi di kabinet, kekuatan terbatas partai oposisi, dan mereduksi konflik dengan partai koalisi menjadi beberapa alasan leburnya partai oposisi di parlemen. Dengan kondisi demikian, paling tidak dalam lima tahun ke depan, parlemen hanya akan menjadi forum legitimasi atas kebijakan pemerintah.

Tanpa kehadiran oposisi di parlemen, fungsi kontrol dan keseimbangan tidak akan berjalan. Hal ini karena, tidak ada cabang kekuasaan pemerintahan lain yang menggantikan peranan oposisi. Tidak adanya argumen tandingan terhadap rencana kebijakan pemerintah, memberi dua kesan yang menyesatkan. Tanpa adanya perdebatan panjang di parlemen, mengesankan situasi politik nasional yang stabil. Tanpa adanya partai oposan, menunjukkan pengakuan terhadap kepiawaian pemerintah yang berkuasa dalam merangkul oposisi.

Namun pada kenyataannya, ketiadaan partai oposisi di parlemen justru lebih berisiko menjerumuskan Indonesia dalam praktik demokrasi semu atau kembali pada masa demokrasi terpimpin. Kontrol sempurna parlemen oleh partai koalisi pendukung pemerintah akan berpotensi mengerdilkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Meleburnya partai oposisi dalam partai pendukung pemerintah dapat menutup jalur aspirasi masyarakat yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah.

Gejala ini bisa dilihat dalam beberapa kebijakan besar pemerintah baru-baru ini. Mulai dari penggemukan kabinet, kebijakan pembukaan satu juta hektar area program food estate di Merauke, program makan bergizi gratis, pemotongan anggaran besar-besaran, dan pembentukan badan investasi baru, Danantara. Dengan absennya oposisi di parlemen, program-program ini nyaris tidak ada tantangan dan melenggang mulus menjadi kebijakan.

Oposisi di luar Pemerintahan
Oposisi di luar pemerintah juga berperan penting dalam menjalankan mesin demokrasi. Peranan ini dapat dimainkan oleh berbagai pihak seperti media massa, kelompok kepentingan atau kelompok penekan, komunitas epiestemik, dan bahkan jaringan akar rumput. Dalam alam demokrasi, berbagai kelompok ini diakui sebagai pilar pendukung dan roda penggerak demokrasi.

Tetapi pergerakan oposisi di luar pemerintahan ini memiliki kelemahan dan risiko tersendiri. Salah satu kelemahannya adalah disparitas kepentingan yang disuarakan. Karena aktor oposisi di luar pemerintah terdiri dari banyak kelompok kepentingan, maka oposisi yang disuarakan sesuai dengan kepentingan kelompok masing-masing. Sehingga signifikansi suara oposisi menjadi bervariasi.

Di samping itu oposisi di luar pemerintahan dapat menuai risiko tekanan dari aparat pemerintah. Argumen oposisi yang biasanya berbentuk kritik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah, terkadang dianggap sebagai pembangkangan sosial, mengganggu, dan berujung kriminalisasi. Hal sederhana seperti ekspresi oposisi melalui seni, menjadi salah satu contoh gusarnya pemerintah. Perlakuan represif dan menekan semacam ini tentunya bertujuan membungkam oposisi yang seharusnya diayomi.

Justru, oposisi oleh kelompok masyarakat sipil harus diberikan ruang, diapresiasi, dan dilindungi. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28E dan Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 menjadi landasan hukum yang memberikan hak masyarakat untuk bebas mengemukakan pendapat. Tentunya yang diharapkan adalah gerakan oposisi yang konstitusional dan bertanggung jawab.

Dengan pudarnya peran oposisi di parlemen, gerakan oposisi di masyarakat menjadi alternatif yang perlu diperkuat.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 27 Februari 2025

Irawan Jati
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada  politik Islam, khususnya dinamika politik di Timur Tengah, hukum internasional, kajian ASEAN, dan studi strategis.

Categories
Politik

Banalitas Kekuasaan

Pada tahun 1941, Hannah Arendt menulis Eichmann in Jerussalem: A Report on The Banality of Evil. Tulisan ini menceritakan tindakan Adolf Eichmann, seorang anggota rezim Nazi yang menjadi arsitek pembantaian massal yang diceritakan lebih dari 11 juta orang menjadi korbannya. Eichmann bersedia dengan sadar bergabung dalam program pembantaian manusia dan kesediaan tersebut memperlihatkan kegagalannya dalam berpikir dan menilai tindakannya. Kekejaman Eichmann dalam Holocaust dapat dikaji sebagai bagian persoalan psikologis, di mana ia merupakan seorang manusia normal, tetapi ketika dilihat dari sudut kesadaran dan nurani, ia bertindak tanpa berpikir dan menjalankan perintah atasan tanpa memikirkan akibat-akibatnya pada korban.

Penelitian Hannah Arendt masih relevan untuk melihat perilaku pejabat kekuasaan hari ini, di mana kerap ada kebijakan yang memperlihatkan sisi sewenang-wenang pemegang kekuasaan. Merujuk pada tindakan Eichmann, kekuasaan memiliki daya yang kuat sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat dengan mudah melepaskan keberpihakannya pada orang-orang yang lemah, tidak dapat menimbang benar atau salah, dan menafikan nasib korban. Dalam beberapa studi, banalitas kejahatan di tubuh kekuasaan akan berjalan tanpa kendali dalam sistem politik tirani, di mana pemerintahan dijalankan secara absolut oleh penguasa.

Pertanyaannya, bisakah banalitas kejahatan terjadi dalam sistem demokrasi? Idealnya tidak terjadi, karena keputusan politik dalam sistem demokrasi ditentukan kehendak rakyat. Namun, praktik kekuasaan kerap berbeda. Ada banyak kebijakan dikendalikan oleh sekelompok kecil elite yang mengarah pada sistem politik aristokrasi dan oligarki. Bahkan di masa orde baru, kekuasaan dijalankan dengan otoriter di tengah sistem politik demokrasi.

 Kekuasaan Saat Ini
Apakah pemerintahan saat ini telah menjalankan banalitas kekuasaan? Apakah aparat negara menjalankan perintah total penguasa tanpa memikirkan baik-buruk kebijakannya? Pertanyaan ini perlu diuji dengan bukti bagaimana kekuasaan saat ini bekerja. Sejauh ini, sangat terasa komando yang sentralistik diperagakan Presiden Prabowo Subianto. Pendekatan pertahanan keamanan terlihat nyata. Para anggota kabinet dan kepala daerah didoktrin dengan gaya militer. Dalam konteks kebijakan, apa yang dikehendaki Presiden sepertinya tidak ada yang berani mengkritisi, bahkan suara kritis para wakil rakyat hanya menyasar perilaku Menteri, tidak berani mengkritisi penguasa utama.

Gaya pemerintahan saat ini mengkhawatirkan. Tidak terbayang semua kebijakan harus tunggal dan fungsi check and balances cabang-cabang kekuasaan tidak berjalan. Kekuasaan yang sehat idealnya menghadirkan komunikasi intersubjektif, di mana orang-orang yang bekerja di tubuh kekuasaan dapat berkomunikasi tanpa ketakutan, pejabat yang berada di ragam cabang kekuasaan tetap menjaga nalar kritis, dan antara satu dengan yang lain saling menjaga marwah fungsi pokok kewenanganya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Presiden dan pelaksana kekuasaan eksekutif harus dikritisi agar program-program pemerintahan tidak jatuh pada kesewenang-wenangan.

Kondisi kekuasaan yang tersentralisasi dan komunikasi komando yang begitu kuat seperti telah mematikan kesadaran kritis para pejabat kekuasaan. Kondisi ini walau tidak serupa pernah terjadi di era kekuasaan demokrasi termimpin dan orde baru, di mana negara waktu itu dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa tertinggi dan negara kemudian jatuh pada otoritarianisme.

Di era demokrasi terpimpin, DPR hanya bertugas menjadi legitimasi terhadap keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Keadaan serupa terjadi di era rezim orde baru, di mana pemerintahan kemudian menjelma, sebagai kekuasaan teror (state terorism) yang secara sistemik melakukan penundukan terhadap masyarakat sipil dengan kekuatan ABRI, serta berlanjut dengan pembuatan aturan dan kebijakan yang membungkam kritik, kebebasan pos, dan hak asasi manusia.

Untungnya saat ini masih ada masyarakat sipil yang berani berpendapat. Beberapa suara kritis antara lain perihal kebijakan efisiensi anggaran yang salah kaprah, pajak yang naik, gelombang pemutusan hubungan kerja, tidak jelasnya komitmen negara terhadap permasalahan HAM, dan revisi RUU TNI yang menjadipenanda absah hadirnya rezim neo orde baru. Suara kritis masyarakat sipil adalah harapan satu-satunya di tengah kekuasaan yang mengarah pada sistem otoritarinisme.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 20 Maret 2025

M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Hukum Politik

Potret Dwifungsi TNI yang Diributkan

Ayah saya ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS tidak melaksanakan monoloyalitas. Itulah ingatan tentang politik dwifungsi ABRI yang kini ditakutkan kembali.

Demo-demo karena khawatir atas kembalinya dwifungsi TNI bisa dimaklumi. Namun, banyak pendemo yang ketika ditanya ternyata tidak betul-betul paham, apa arti dwifungsi.

Ayah saya ditahan tentara. Pertama kali muncul bayangan tentang tentara dan dwifungsi di benak saya adalah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971.

Sehabis pemungutan suara tanggal 3 Juli 1971 pada pemilu pertama era Orde Baru itu, ayah saya, Mahmodin, dijemput oleh dua tentara, Pak Syukur dan Pak Gani, dan ditahan di Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Kecamatan Waru (Pamekasan, Madura), tanpa proses hukum. Waktu itu, saya masih kelas I SMTP.

Mengapa ayah dijemput dan ditahan? Ayah saya adalah pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Waru. Saat Pemilu 1971 itu, ayah saya diberi tugas untuk memimpin Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Sanah Laok.

Waktu itu, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan monoloyalitas atau loyalitas tunggal. PNS harus memilih Golongan Karya (Golkar) saat pemilu. Kebijakan monoloyalitas dikawal ketat pelaksanaannya oleh TNI—atau lebih dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—terutama TNI Angkatan Darat (TNI AD).

Di TPS tempat ayah saya ditugaskan, dengan personel KPPS plus Pertahanan Sipil yang berjumlah 12 orang itu, Golkar hanya mendapat tiga dan empat suara untuk DPR Pusat dan DPR Daerah. Selebihnya, hampir semua adalah suara untuk Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Ayah saya dipersalahkan karena dari 12 anggota KPPS saja, yang memilih Golkar hanya tiga orang. Saat akan mulai pencoblosan, ayah saya yang adalah aktivis NU di kecamatan memang berpidato bahwa setiap orang bebas memilih secara rahasia.

”Warga NU, tetap boleh memilih Partai NU,” katanya. Sesaat setelah pulang dari tugas di TPS, ayah saya dijemput dan ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS ia tidak melaksanakan monoloyalitas.

Itulah ingatan mendalam dari apa yang kemudian saya kenal sebagai Politik Dwifungsi ABRI. Tentara ikut campur secara resmi dalam berbagai kegiatan bidang sosial dan politik, termasuk tugas memenangkan agenda kelompok politik tertentu, yakni Golkar.

Awal ide dwifungsi
Sebenarnya ide dasar tentang dwifungsi itu tidaklah jelek. Ide ini didorong oleh tampilnya pemerintahan sipil yang dianggap selfish, selalu gaduh.

Pemerintahan sipil yang saat itu, sudah berlangsung hampir dua dasawarsa dianggap selalu menimbulkan pertikaian, mengancam persatuan, dan tidak kondusif untuk pembangunan. TNI, yang merasa dirinya ikut mendirikan negara, terpanggil tanggung jawabnya untuk menjaga dan menyelamatkan Republik Indonesia.

Ide peran ganda militer mulanya disampaikan oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di Akademi Militer pada tahun 1958, dengan istilah middle way (jalan tengah). Istilah middle way diganti menjadi dwifungsi, dan itu disampaikan oleh Nasution pada tahun 1960 dalam Rapat Pimpinan Polri di Porong.

Idenya, selain fungsi tempur, TNI juga perlu ikut mengadministrasikan negara melalui fungsi-fungsi nontempur dan pembinaan wilayah.

Konsepsi dwifungsi merupakan jalan tengah antara posisi militer di Barat yang tidak ikut-ikut urusan politik dan posisi militer ala Amerika Latin yang mendominasi kehidupan politik.

Dengan dwifungsi, TNI di Indonesia tidak perlu melakukan kudeta untuk membereskan kemelut politik dan pemerintahan karena TNI sudah ikut mengurusi dan mengantisipasi sejak awal agar berjalan baik.

Seiring dengan itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang tadinya berdiri sendiri sejak tahun 1960-an mulai digabungkan dengan TNI dengan sebutan ABRI.

Dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 121 Tahun 1960, Presiden Soekarno meletakkan Departemen Kepolisian/Kepala Polri di bawah Departemen Pertahanan. Selanjutnya, dengan Tap MPRS No II/MPRS/1960 yang dituangkan lagi di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1961, kedudukan Polri secara de jure dan de facto menjadi bagian dari ABRI.

Meskipun semula, melalui pidato tanggal 17 Agustus 1953, Presiden Soekarno tegas meminta TNI tidak ikut dalam politik, sejak akhir tahun 1950-an Bung Karno sudah memasukkan tugas selain perang bagi TNI ke dalam ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsepsi resmi.

Sekurang-kurangnya, ada tujuh produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno terkait tugas TNI dalam jabatan-jabatan sipil. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Organisasi Angkatan Perang, Keppres Nomor 21 Tahun 1959 tentang Peran Militer di Jabatan Sipil, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 1960 tentang Pembentukan Front Nasional.

Selain itu, Tap MPRS No II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, UU Nomor 18 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Tap MPRS No II/MPRS/1962 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN, dan Tap MPR No XIII/MPRS/1965 tentang Kedudukan dan Peran ABRI dalam Negara.

Hegemoni TNI era Orde Baru
Pada era Orde Baru, konsepsi dwifungsi diterapkan secara ketat, masif, dan sewenang-wenang. Kacaunya sistem politik dan ambruknya ekonomi yang diwariskan oleh rezim Orde Lama harus diselesaikan dengan hadirnya stabilitas nasional yang mantap untuk menjamin kelancaran pembangunan.

Untuk itu, ABRI harus memainkan peran utama dalam politik dan pembangunan. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu mengukuhkan adanya jatah kursi (tanpa ikut pemilu) di DPR/MPR bagi ABRI, yang kemudian menjadi fraksi tersendiri di DPR/MPR.

Dengan dwifungsi, TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil di pemerintahan, dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kepala daerah dan jabatan sipil lainnya bisa diduduki oleh anggota ABRI aktif, tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Kendali politik dalam berbagai sektor secara horizontal dan vertikal sepenuhnya ada di tangan Presiden Soeharto yang sekaligus merupakan Panglima Tertinggi ABRI.

Keputusan politik dan pemerintahan ditentukan oleh tiga pilar politik yang disebut ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) yang pucuknya adalah Presiden.

Penyelenggaraan pemilu tidak demokratis, tidak jujur, dan tidak adil. Represi atas lawan politik terjadi seakan hal yang biasa saja. Ketatapemerintahan dibangun secara korporatis dan hegemonik, yang kemudian menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pers dipasung, dibayangi ancaman pembredelan dengan istilah yang dihaluskan. Eks aktivis atau anggota PKI serta keluarganya, dirampas hak perdatanya. Bahkan, banyak mahasiswa ikatan dinas di luar negeri dilarang pulang, hanya karena ”dianggap” simpatisan PKI. Pokoknya, pengebirian atas demokrasi dan pelanggaran HAM terjadi secara masif.

Meskipun begitu, secara fair perlu diakui, pemerintahan Orde Baru berhasil dalam banyak bidang pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 7 persen. Swasembada pangan bertumbuh bagus. Angka partisipasi pendidikan tinggi terus meningkat. Kesejahteraan rakyat terus membaik secara bertahap.

Namun, catatan keberhasilan itu menjadi tak bermakna dan rapuh. Konfigurasi politik yang otoriter, hegemonik, dan tak menghormati hak asasi manusia (HAM) itu rontok, saat terjadi krisis moneter.

Reformasi dan rontoknya dwifungsi
Ketika pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, ketahanan politik pun menjadi rapuh. Rakyat bergerak melakukan perlawanan secara masif, melalui Reformasi 1998.

Salah satu prestasi penting dari Reformasi 1998 adalah penghapusan dwifungsi ABRI dan pemisahan Polri dari TNI. Bidang Sospol ABRI ditiadakan. Anggota TNI dan Polri hanya boleh masuk ke dunia politik dan jabatan sipil tertentu, dengan syarat mengajukan pensiun atau mengundurkan diri dari TNI/Polri.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika dalam kaitan revisi UU TNI sekarang ini, banyak demo sebagai reaksi penolakan. Reaksi besar itu muncul karena trauma atas pengalaman masa lalu, saat dwifungsi dilakukan secara melanggar HAM dan membunuh demokrasi.

Masyarakat takut kalau negara hegemonik yang menggunakan dwifungsi TNI akan muncul kembali.

Proses legislasi yang agak tertutup dalam revisi UU TNI Tahun 2025 memang memancing reaksi keras dari kelompok-kelompok masyarakat, terutama warga kampus dan civil society.

Karena pengalaman sejarah, tidak salah dan patut dimaklumi jika mereka melakukan demo-demo sebagai hak konstitusional. Mereka mencemaskan munculnya kembali dwifungsi. Apalagi di draf awal RUU TNI yang pernah beredar, ada isu bahwa TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil jika Presiden menganggap perlu dan jika di institusi sipil tersebut diperlukan tenaga atau keahlian dari anggota TNI.

Sekarang, tinggal DPR dan pemerintah yang perlu meyakinkan masyarakat bahwa produk final revisi UU TNI itu tetap menutup pintu bagi kembalinya dwifungsi TNI.

Tidak ada ketentuan Pasal 47 yang, katanya, akan membuka kembali politik dwifungsi itu. Tidak ada peluang bagi TNI masuk ke jalur jabatan sipil secara eksesif dan menakutkan seperti di era Orde Baru.

Apalagi pengaturan tentang larangan dwifungsi itu bukan hanya diatur dalam UU TNI, melainkan juga sudah dikunci oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang lain dan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 April 2025

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum Politik

Salah Konsep “Judicial Review”

Ada Perbedaan Mendasar antara Substansi Putusan MA dan MK

Polemik terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/P/HUM/2024 tentang syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah tidak lepas dari arogansi untuk terus memuluskan agenda mempertahankan kekuasaan.

Hal ini berpadu dengan realitas partai politik yang lemah idealisme sekaligus ideologi sehingga dengan mudah membebek loyal, baik berbasis insentif maupun penyanderaan.

Mengingat lakon politik penguasa selama ini, memang tidak sulit untuk menyimpulkan partai politik yang membebek itu tidak bisa berbuat banyak, baik karena telah menikmati insentif kuasa atau uang maupun karena tersandera oleh rekam jejak pelanggaran hukum masa lalu.

Constitutional disobedience yang sempat akan dilakukan oleh DPR dengan tetap memaksakan penghitungan syarat usia minimal dan ambang batas suara partai pengusung calon kepala daerah adalah puncak dari loyalitas buta itu. Namun, jangan pula dilupakan bahwa ada peran Mahkamah Agung (MA) yang ikut berkontribusi sehingga menimbulkan kekacauan seperti saat ini.

Kita masih ingat, polemik batas usia calon kepala dan wakil kepala daerah bermula dari keluarnya Putusan Mahkamah Agung No 23 P/HUM/2024 yang menentukan syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah adalah terhitung sejak masa pelantikan kepala daerah terpilih, bukan pada saat penetapan calon oleh KPU.

Dengan pertimbangan yang seadanya dan argumentasi yang dangkal, MA membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.

Putusan ini melahirkan penolakan yang cukup luas. Namun, tidak banyak yang dapat dilakukan publik karena putusan MA bersifat final and binding sama halnya dengan putusan MK.
Dengan keputusan itu, MA pun ikut bertanggung jawab atas kekacauan, demonstrasi besar-besaran, dan ketidakjelasan pemilihan kepala daerah yang saat ini terjadi.

Refleksi
Tulisan ini ingin memberikan refleksi atas munculnya putusan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Konstitusi yang tampaknya bertentangan dan menegasikan satu sama lain tersebut.

Putusan MA membatalkan Peraturan KPU yang sebelumnya mengatur batas usia 30 tahun terhitung sejak penetapan calon oleh KPU. Oleh MA, ditentukan usia 30 tahun terhitung sejak pelantikan.

UU Pilkada yang dijadikan sebagai batu uji Peraturan KPU di Mahkamah Agung lalu diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian, MK menegaskan syarat batas usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Artinya, ada perbedaan mendasar antara substansi putusan MA dan MK. MA menyatakan batas usia dihitung sejak pelantikan, sedangkan MK menyatakan batas usia terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Sebetulnya ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya sudah beberapa kali terdapat perbedaan putusan antara MA dan MK. Salah satunya terkait peninjauan kembali (PK) yang menurut MK dapat dilakukan berkali-kali, sedangkan menurut MA hanya dapat dilakukan sekali.

Mitigasi
Situasi ini cukup memprihatinkan. Bagaimana mungkin dua lembaga negara yang setara, sama-sama memiliki marwah menegakkan hukum dan keadilan, tetapi terjebak pada arogansi sektoral kelembagaan.

Dalam jangka panjang, tentu saja kondisi ini harus dimitigasi sebaik mungkin agar tegaknya negara hukum Indonesia tidak direcoki oleh hal-hal yang bersifat teknis belaka. Selain itu, sejarah memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional.

Pertama, dianutnya sistem dua kamar atau dua atap atau dualisme dalam pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) barangkali dapat dikatakan menjadi muara dari masalah ini.
UUD 1945 Pasal 24A Ayat (1) memang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Adapun Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 mengatur kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD. Artinya, dalam melakukan hal yang serupa, berupa judicial review terhadap peraturan perundang-undangan, kita meletakannya pada dua lembaga negara sekaligus. Dengan begitu, potensi perbedaan putusan antara MK dan MA memang ada, dan dalam situasi tertentu sangatlah besar.

Kedua, jika ditarik jauh ke belakang, tidak ada dasar argumentasi yang cukup kuat bagi pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah MA dan MK. Artinya, ini adalah pilihan politik saja, karena tidak ada ketentuan atau basis teoretis yang mengharuskan pemisahan ataupun penyatu-atapan.
Namun, dari aspek implikasinya, pemisahan dapat memunculkan masalah yang lebih serius jika dilihat dari bagaimana negara hukum Indonesia berjalan.

Alasan dangkal lainnya, sejak sebelum amendemen, sudah ditentukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang berada di bawah MA sehingga tetap dilanjutkan. Dengan ketiadaan argumentasi filosofis, teoretis, ataupun sosiologis, serta dengan melihat dampak yang kini muncul, akan jauh lebih baik jika agenda besar ke depan salah satunya adalah menyatu-atapkan judicial review di bawah MK.

Pertanyaannya, mengapa MK dan bukan MA? Dari aspek faktual ini karena di MA sendiri telah terjadi penumpukan kasus kasasi ataupun PK. Akibatnya, keberadaan judicial review sejatinya menambah beban kerja hakim MA. Selain itu, sejarah memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional.

Adapun pengujian di MA, sebagaimana yang selama ini dikeluhkan banyak pihak, bersifat tertutup dan tak dapat ditebak. Dengan pengalaman yang ada, MK jauh lebih siap mengelola keterbukaan dan aspirasi publik. Ketiga, MA sebaiknya berfokus menyelesaikan kasus faktual, baik perdata, pidana, tata usaha negara, maupun militer. Adapun MK berfokus pada pengujian norma, agar pembagian tugas menjadi lebih jelas batasannya. Dengan demikian, semua pengujian peraturan perundang-undangan terhadap peraturan yang lebih tinggi menjadi kewenangan MK.

 

Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 September 2023.

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII. Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.