Categories
Politik

Intoleransi Agama Kian Memburuk di Tengah Rezim yang Makin Otoriter

  • Deretan peristiwa intoleransi menjadi sinyal memburuknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
  • Klientelistime antara elite politik lokal dan rakyat memperparah intoleransi di tengah menguatnya otoritarianisme.
  • Cara pandang moderasi agama yang masih didominasi kontrol negara gagal menyelesaikan persoalan intoleransi.

Tepat sebulan setelah terjadinya peristiwa perusakan rumah singgah dan pembubaran acara retret di Cidahu, Jawa Barat pada 27 Juni lalu, insiden serupa kembali terjadi. Kali ini di Padang, Sumatra Barat, pada 27 Juli, terjadi perusakan rumah doa umat Kristen.

Rentetan peristiwa intoleransi ini menjadi pertanda yang mengindikasikan semakin buruknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, terutama dalam hal kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan.

Sejak Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai presiden pada Oktober 2024, telah terjadi sejumlah peristiwa ancaman terhadap kelompok agama dan/atau pemeluk keyakinan minoritas dalam menjalankan praktik keagamaan dan kepercayaan mereka.

Selain kekerasan terhadap komunitas antaragama, kekerasan juga dialami oleh komunitas intra-agama, seperti yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyyah Indonesia yang mendapat ancaman saat hendak mengadakan acara Jalsah Salanah pada akhir tahun lalu.

Dalam Asta Cita-nya, Prabowo berjanji akan “meningkatan toleransi antarumat beragama” sebagai salah satu visi utama dalam pemerintahannya. Namun, pemerintah justru menunjukkan sikap yang bertolak belakang saat merespons masalah intoleransi.

Alih-alih membela korban, Staf Khusus Menteri HAM malah menyatakan dirinya siap menjadi penjamin penangguhan penahanan bagi para tersangka dalam kasus Cidahu.

Lantas, apa yang membuat praktik-praktik intoleran tetap tumbuh subur di tengah rezim yang kian otoriter ini?

Politikus Demokratis, Tapi Intoleran
Akar dari melemahnya komitmen perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di negara ini sebenarnya sudah tampak sejak masa pemerintahan sebelumnya, Joko Widodo.

Beberapa pakar seperti Marcus Mietzner menyebut bahwa politik Indonesia mengalami proses kemunduran demokrasi dan penguatan otoritarianisme yang berdampak langsung pada melemahnya komitmen pemerintah dalam menjamin hak-hak sipil.

Keterkaitan antara otokratisasi dan intoleransi ini digambarkan dalam istilah “productive intolerance” oleh Jeremy Menchik, fenomena di mana intoleransi justru menjadi alat atau mekanisme yang menghasilkan atau mendukung sistem otokratis.

Dalam konteks ini, intoleransi tidak hanya sebagai sikap negatif terhadap perbedaan, tapi berfungsi secara aktif untuk mengonsolidasikan kekuasaan otoriter dengan menekan oposisi atau menindas kelompok lain sembari memperkuat dominasi kelompok tertentu.

Praktik ini semakin dimungkinkan dengan kehadiran “intoleran democrat”, yaitu para politikus yang terpilih melalui proses demokratis namun melanggengkan praktik intoleran.

Dinamika Politik Lokal
Dinamika politik lokal juga sangat berperan dalam merangsang atau menekan tumbuhnya intoleransi.

Indeks Kota Toleran yang dikembangkan oleh SETARA Institute memberikan gambaran yang komprehensif tentang pengaruh dari ekosistem politik lokal terhadap kondisi toleransi di satu wilayah.

Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan oleh SETARA Institute pada Mei 2025, hanya ada 10 kota yang dianggap berhasil menjaga iklim keberagaman. Mereka menerapkan aturan daerah yang mampu mencegah radikalisme, diskriminasi, serta kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Laporan yang sama menyebutkan, alokasi anggaran untuk inisiatif kegiatan sosial lintas iman oleh pemerintah daerah berperan dalam memperkuat ekosistem toleransi di beberapa kota, seperti yang dilakukan di Salatiga dan Semarang.

Sebaliknya, jika elite politik yang didukung kelompok intoleran menang, patronase antara elite politik dan kelompok intoleran cenderung berlanjut. Beberapa daerah yang masuk dalam kategori intoleran adalah beberapa kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Banda Aceh, Lhoksumawe, dan Sabang.

Selain ketiadaan kepemimpinan politik dan inisiatif birokratis dalam memungkinkan kehidupan yang toleran, konsepsi kewarganegaraan di Aceh dibangun atas dasar dorman citizenship, di mana kaum muslim dianggap sebagai warga negara utama yang menjadi tuan rumah di provinsi yang menerapkan syariah; sedangkan yang non-muslim menjadi warganegara kelas kedua, sehingga diskriminasi terhadap minoritas tak terhindarkan.

Klientelisme Politik
Adanya hubungan klientelistik antara elite politik lokal dan rakyat di beberapa daerah, terutama pada masa pemilihan daerah, menyuburkan intoleransi dalam sistem yang makin otoriter.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Tasikmalaya menunjukkan bahwa banyak jemaat Ahmadiyah kesulitan mengakses jasa publik dan perlindungan dari pemerintah karena adanya kontrak politik antara pemimpin daerah dengan tokoh agama anti-Ahmadiyah.

Praktik serupa juga terjadi di Aceh. Klientelisme politik antara elite dan ulama dari dayah (pesantren tradisional) membuka ruang bagi lahirnya praktik intoleransi yang bersifat sektarian seperti fatwa yang membatasi kegiatan keagamaan kelompok Salafi.

Penelitian lain yang menelisik persepsi umat muslim terhadap etnis Tionghoa di Indonesia juga menunjukkan bahwa sikap intoleransi sering dimobilisasi dengan adanya hubungan klientelistik antar religio-political entrepreneur dengan beberapa segmen masyarakat muslim di Indonesia.

Penelitian ini menyebutkan bahwa sikap anti-minoritas merupakan sikap yang melekat di kelompok politik Islamis, yang berpengaruh pada bagaimana masyarakat muslim di Indonesia menyikapi isu pengadilan Basuki Tjahaja Purnama pada 2016.

Moderasi Semu
Moderasi awalnya ditawarkan sebagai narasi untuk menangkal radikalisasi di tengah masyarakat pada awal tahun 2000-an. Saat itu, Indonesia menghadapi serangkaian serangan teror yang digerakkan oleh beberapa individu yang terpengaruh ide-ide radikal.

Ide-ide moderasi keberagamaan kemudian mulai dilembagakan di masa kepresidenan Megawati Sukarnoputri melalui 1st International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada 2004. Namun, pelembagaan ini banyak tersandung hambatan domestik dengan adanya kasus diskriminasi keagamaan yang begitu marak dan pengaruh politik keagamaan yang kuat di Indonesia.

Di era Joko Widodo, moderasi keberagamaan diperkuat dengan pendirian lembaga seperti BPIP dan institusionalisasi praktik moderasi di Kementerian Agama melalui pendirian rumah moderasi.

Akhir-akhir ini, Kementerian Agama di era Prabowo juga menawarkan gagasan Kurikulum Cinta untuk membuat moderasi bisa dipahami tidak hanya sebagai konsep, namun juga sebagai sikap hidup. Jika melihat indikator yang dirilis oleh Pew Research Center pada 2024, Indonesia masih memiliki tingkat Government Restriction Index yang amat tinggi di angka 7,9 dan tingkat Social Hostility Index yang tinggi di angka 4,7.

Memang, jika dibandingkan dengan indeks dari tahun 2007, Indonesia telah mengalami perbaikan dalam kedua indeks dalam isu pembatasan pemerintah dalam KBB serta indeks kekerasan sosial.

Namun, tidak adanya perubahan cara pandang moderasi yang masih berbasis kontrol dominan negara dalam pengelolaan agama tidak akan menyelesaikan persoalan intoleransi.

Menyemai Solidaritas Dari Bawah
Praktik-praktik solidaritas antaragama dan intra-agama dimungkinkan oleh adanya peran kolaboratif antara aktor negara dan masyarakat. Negara perlu hadir sebagai penjamin kebebasan beragama, bukan hanya sebagai tukang ronda yang hanya menindak kasus-kasus pelanggaran kebebasan tersebut ketika terjadi.

Inisiatif bersifat organik, seperti membuka ruang perjumpaan antar komunitas antaragama dan intra-agama, penguatan solidaritas sosial melalui kolaborasi kegiatan, serta pengenalan keberagaman agama sejak dini, dapat membantu memperkuat toleransi dan solidaritas antar warga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 1 Agustus 2025

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Politik

Surplus Perasaan

Mengapa berita palsu, informasi salah, atau hoaks bisa menyebar cepat? Ada banyak jawaban. Salah satu jawabannya adalah karena naluri dan emosi telah mengalahkan fakta dan nalar. Jika ini terjadi, maka akal sehat tergadaikan. Diskusi sehat pun tidak mungkin dijalankan. Pintu bertukar pikiran sudah ditutup rapat.

Sialnya, kasus seperti ini tidak hanya menjangkiti kalangan awam. Kalangan terpelajar pun banyak yang terjerat. Apalagi jika dilengkapi dengan embel-embel kepentingan, yang memudahkan produksi 1001 macam argumen pembenaran. Karenanya, ketika ada informasi yang memapar seseorang dan itu mengonfirmasi opini awal yang sudah dipercaya, maka apa pun kualitasnya, informasi tersebut akan dilahapnya tanpa penalaran yang berarti. Inilah yang disebut dengan bias konfirmasi.

Di saat yang sama, informasi lain meski benar, tetapi jika tidak sesuai dengan opini semula, maka akan ditampik. Sangat sulit bagi orang yang seperti ini untuk berpindah pendirian. Apesnya, opini awal yang terbentuk pun tidak selalu yang benar.

Informasi apa pun yang diberikan orang bercitra baik dan mempunyai tautan emosional baik juga serupa: lebih mudah dipercaya, meski tidak benar dan berlawanan dengan akal sehat. Kerumitan bertambah, ketika banyak pihak yang saling mengklaim sebagai otoritas yang bisa dipercaya. Dalam konstelasi ini, para pihak tersebut termasuk ahli dengan beragam argumen dan segenap khalayak, terutama warganet.

Kekhawatiran di atas akan menemukan banyak bukti di musim kontestasi politik seperti saat ini. Coba simak beberapa informasi yang beredar di dunia maya berikut: ‘Polisi Temukan Gudang Penyimpanan Ijazah Palsu Gibran; Mahfud MD Laporkan Gibran Rakabuming Raka ke KPU; Mendag Zulkifli Hasan Ditangkap Karena Penistaan Agama; Rektor UGM Mengeluarkan Gielbran Muhammad Noor atas Aksi Mengkritik Presiden Jokowi dan lainnya. Semua informasi tersebut dipastikan merupakan hoaks. Situs www.kominfo.go.id sudah menayangkan klarifikasi untuk setiapnya. Bisa jadi, ketika suhu politik semakin menghangat, produksi hoaks juga meningkat. Baik dengan memoles pasangan jagoan atau memfitnah pasangan lawan.

Apa yang terjadi jika hoaks tersebut terus menyebar dan dipercaya oleh semakin banyak orang? Beragam skenario bisa dibayangkan, termasuk suhu politik yang semakin memanas. Bukan karena adu gagasan bernas, tetapi benturan keganasan culas. Semuanya tidak ada yang berakhir indah.

Dalam konteks politik, fenomena di atas telah melahirkan yang oleh William Davies dalam bukunya Nervous State disebut sebagai demokrasi perasaan (democracy of feelings), ketika perasaan semakin mendominasi keputusan manusia. Fakta dimanipulasi untuk memberikan dampak emosional yang maksimum, dan perasaan dimainkan untuk menavigasi perubahan yang sangat cepat.

Bagi Davies, dalam situasi seperti ini, tantangan terbesamya bukan lagi pada penghormatan kepada kebenaran, karena kebenaran sudah menjadi isu politik. Kebenaran dibuat menjadi relatif dan diputarbalikkan. Alih-alih digunakan untuk resolusi konflik, kebenaran justru digunakan untuk memperuncing konflik.

Informasi yang beredar pun, termasuk hoaks, dianggap sebagai representasi kebenaran. Kecepatan sebaran informasi tersebut semakin dahsyat ketika terjadi di pusaran publik dengan imajinasi paranoid yang tinggi karena perasaan terancam, kesesuaian informasi dengan opini awal yang dimiliki, dan frekuensi informasi yang diterima.

Jika ini yang terjadi dalam konteks perhelatan politik, kebebasan warga dapat direnggut dengan manipulasi dan penggiringan opini. Sehingga akal sehat menjadi sulit untuk berfungsi. Di sini, terjadi surplus perasaan yang dibarengi dengan defisit penalaran yang akut.

Bagaimana melawannya? Diperlukan gerakan bersama-sama mengedepankan penalaran merdeka yang tidak dikangkangi perasaan tuna nurani. Semuanya penting dilakukan untuk merawat kewarasan kolektif sebagai bangsa.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 Desember 2023

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada Bidang penelitian: eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Politik

Banalitas Kekuasaan

Pada tahun 1941, Hannah Arendt menulis Eichmann in Jerussalem: A Report on The Banality of Evil. Tulisan ini menceritakan tindakan Adolf Eichmann, seorang anggota rezim Nazi yang menjadi arsitek pembantaian massal yang diceritakan lebih dari 11 juta orang menjadi korbannya. Eichmann bersedia dengan sadar bergabung dalam program pembantaian manusia dan kesediaan tersebut memperlihatkan kegagalannya dalam berpikir dan menilai tindakannya. Kekejaman Eichmann dalam Holocaust dapat dikaji sebagai bagian persoalan psikologis, di mana ia merupakan seorang manusia normal, tetapi ketika dilihat dari sudut kesadaran dan nurani, ia bertindak tanpa berpikir dan menjalankan perintah atasan tanpa memikirkan akibat-akibatnya pada korban.

Penelitian Hannah Arendt masih relevan untuk melihat perilaku pejabat kekuasaan hari ini, di mana kerap ada kebijakan yang memperlihatkan sisi sewenang-wenang pemegang kekuasaan. Merujuk pada tindakan Eichmann, kekuasaan memiliki daya yang kuat sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat dengan mudah melepaskan keberpihakannya pada orang-orang yang lemah, tidak dapat menimbang benar atau salah, dan menafikan nasib korban. Dalam beberapa studi, banalitas kejahatan di tubuh kekuasaan akan berjalan tanpa kendali dalam sistem politik tirani, di mana pemerintahan dijalankan secara absolut oleh penguasa.

Pertanyaannya, bisakah banalitas kejahatan terjadi dalam sistem demokrasi? Idealnya tidak terjadi, karena keputusan politik dalam sistem demokrasi ditentukan kehendak rakyat. Namun, praktik kekuasaan kerap berbeda. Ada banyak kebijakan dikendalikan oleh sekelompok kecil elite yang mengarah pada sistem politik aristokrasi dan oligarki. Bahkan di masa orde baru, kekuasaan dijalankan dengan otoriter di tengah sistem politik demokrasi.

 Kekuasaan Saat Ini
Apakah pemerintahan saat ini telah menjalankan banalitas kekuasaan? Apakah aparat negara menjalankan perintah total penguasa tanpa memikirkan baik-buruk kebijakannya? Pertanyaan ini perlu diuji dengan bukti bagaimana kekuasaan saat ini bekerja. Sejauh ini, sangat terasa komando yang sentralistik diperagakan Presiden Prabowo Subianto. Pendekatan pertahanan keamanan terlihat nyata. Para anggota kabinet dan kepala daerah didoktrin dengan gaya militer. Dalam konteks kebijakan, apa yang dikehendaki Presiden sepertinya tidak ada yang berani mengkritisi, bahkan suara kritis para wakil rakyat hanya menyasar perilaku Menteri, tidak berani mengkritisi penguasa utama.

Gaya pemerintahan saat ini mengkhawatirkan. Tidak terbayang semua kebijakan harus tunggal dan fungsi check and balances cabang-cabang kekuasaan tidak berjalan. Kekuasaan yang sehat idealnya menghadirkan komunikasi intersubjektif, di mana orang-orang yang bekerja di tubuh kekuasaan dapat berkomunikasi tanpa ketakutan, pejabat yang berada di ragam cabang kekuasaan tetap menjaga nalar kritis, dan antara satu dengan yang lain saling menjaga marwah fungsi pokok kewenanganya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Presiden dan pelaksana kekuasaan eksekutif harus dikritisi agar program-program pemerintahan tidak jatuh pada kesewenang-wenangan.

Kondisi kekuasaan yang tersentralisasi dan komunikasi komando yang begitu kuat seperti telah mematikan kesadaran kritis para pejabat kekuasaan. Kondisi ini walau tidak serupa pernah terjadi di era kekuasaan demokrasi termimpin dan orde baru, di mana negara waktu itu dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa tertinggi dan negara kemudian jatuh pada otoritarianisme.

Di era demokrasi terpimpin, DPR hanya bertugas menjadi legitimasi terhadap keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Keadaan serupa terjadi di era rezim orde baru, di mana pemerintahan kemudian menjelma, sebagai kekuasaan teror (state terorism) yang secara sistemik melakukan penundukan terhadap masyarakat sipil dengan kekuatan ABRI, serta berlanjut dengan pembuatan aturan dan kebijakan yang membungkam kritik, kebebasan pos, dan hak asasi manusia.

Untungnya saat ini masih ada masyarakat sipil yang berani berpendapat. Beberapa suara kritis antara lain perihal kebijakan efisiensi anggaran yang salah kaprah, pajak yang naik, gelombang pemutusan hubungan kerja, tidak jelasnya komitmen negara terhadap permasalahan HAM, dan revisi RUU TNI yang menjadipenanda absah hadirnya rezim neo orde baru. Suara kritis masyarakat sipil adalah harapan satu-satunya di tengah kekuasaan yang mengarah pada sistem otoritarinisme.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 20 Maret 2025

M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Hukum Politik

Potret Dwifungsi TNI yang Diributkan

Ayah saya ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS tidak melaksanakan monoloyalitas. Itulah ingatan tentang politik dwifungsi ABRI yang kini ditakutkan kembali.

Demo-demo karena khawatir atas kembalinya dwifungsi TNI bisa dimaklumi. Namun, banyak pendemo yang ketika ditanya ternyata tidak betul-betul paham, apa arti dwifungsi.

Ayah saya ditahan tentara. Pertama kali muncul bayangan tentang tentara dan dwifungsi di benak saya adalah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971.

Sehabis pemungutan suara tanggal 3 Juli 1971 pada pemilu pertama era Orde Baru itu, ayah saya, Mahmodin, dijemput oleh dua tentara, Pak Syukur dan Pak Gani, dan ditahan di Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Kecamatan Waru (Pamekasan, Madura), tanpa proses hukum. Waktu itu, saya masih kelas I SMTP.

Mengapa ayah dijemput dan ditahan? Ayah saya adalah pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Waru. Saat Pemilu 1971 itu, ayah saya diberi tugas untuk memimpin Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Sanah Laok.

Waktu itu, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan monoloyalitas atau loyalitas tunggal. PNS harus memilih Golongan Karya (Golkar) saat pemilu. Kebijakan monoloyalitas dikawal ketat pelaksanaannya oleh TNI—atau lebih dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—terutama TNI Angkatan Darat (TNI AD).

Di TPS tempat ayah saya ditugaskan, dengan personel KPPS plus Pertahanan Sipil yang berjumlah 12 orang itu, Golkar hanya mendapat tiga dan empat suara untuk DPR Pusat dan DPR Daerah. Selebihnya, hampir semua adalah suara untuk Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Ayah saya dipersalahkan karena dari 12 anggota KPPS saja, yang memilih Golkar hanya tiga orang. Saat akan mulai pencoblosan, ayah saya yang adalah aktivis NU di kecamatan memang berpidato bahwa setiap orang bebas memilih secara rahasia.

”Warga NU, tetap boleh memilih Partai NU,” katanya. Sesaat setelah pulang dari tugas di TPS, ayah saya dijemput dan ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS ia tidak melaksanakan monoloyalitas.

Itulah ingatan mendalam dari apa yang kemudian saya kenal sebagai Politik Dwifungsi ABRI. Tentara ikut campur secara resmi dalam berbagai kegiatan bidang sosial dan politik, termasuk tugas memenangkan agenda kelompok politik tertentu, yakni Golkar.

Awal ide dwifungsi
Sebenarnya ide dasar tentang dwifungsi itu tidaklah jelek. Ide ini didorong oleh tampilnya pemerintahan sipil yang dianggap selfish, selalu gaduh.

Pemerintahan sipil yang saat itu, sudah berlangsung hampir dua dasawarsa dianggap selalu menimbulkan pertikaian, mengancam persatuan, dan tidak kondusif untuk pembangunan. TNI, yang merasa dirinya ikut mendirikan negara, terpanggil tanggung jawabnya untuk menjaga dan menyelamatkan Republik Indonesia.

Ide peran ganda militer mulanya disampaikan oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di Akademi Militer pada tahun 1958, dengan istilah middle way (jalan tengah). Istilah middle way diganti menjadi dwifungsi, dan itu disampaikan oleh Nasution pada tahun 1960 dalam Rapat Pimpinan Polri di Porong.

Idenya, selain fungsi tempur, TNI juga perlu ikut mengadministrasikan negara melalui fungsi-fungsi nontempur dan pembinaan wilayah.

Konsepsi dwifungsi merupakan jalan tengah antara posisi militer di Barat yang tidak ikut-ikut urusan politik dan posisi militer ala Amerika Latin yang mendominasi kehidupan politik.

Dengan dwifungsi, TNI di Indonesia tidak perlu melakukan kudeta untuk membereskan kemelut politik dan pemerintahan karena TNI sudah ikut mengurusi dan mengantisipasi sejak awal agar berjalan baik.

Seiring dengan itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang tadinya berdiri sendiri sejak tahun 1960-an mulai digabungkan dengan TNI dengan sebutan ABRI.

Dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 121 Tahun 1960, Presiden Soekarno meletakkan Departemen Kepolisian/Kepala Polri di bawah Departemen Pertahanan. Selanjutnya, dengan Tap MPRS No II/MPRS/1960 yang dituangkan lagi di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1961, kedudukan Polri secara de jure dan de facto menjadi bagian dari ABRI.

Meskipun semula, melalui pidato tanggal 17 Agustus 1953, Presiden Soekarno tegas meminta TNI tidak ikut dalam politik, sejak akhir tahun 1950-an Bung Karno sudah memasukkan tugas selain perang bagi TNI ke dalam ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsepsi resmi.

Sekurang-kurangnya, ada tujuh produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno terkait tugas TNI dalam jabatan-jabatan sipil. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Organisasi Angkatan Perang, Keppres Nomor 21 Tahun 1959 tentang Peran Militer di Jabatan Sipil, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 1960 tentang Pembentukan Front Nasional.

Selain itu, Tap MPRS No II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, UU Nomor 18 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Tap MPRS No II/MPRS/1962 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN, dan Tap MPR No XIII/MPRS/1965 tentang Kedudukan dan Peran ABRI dalam Negara.

Hegemoni TNI era Orde Baru
Pada era Orde Baru, konsepsi dwifungsi diterapkan secara ketat, masif, dan sewenang-wenang. Kacaunya sistem politik dan ambruknya ekonomi yang diwariskan oleh rezim Orde Lama harus diselesaikan dengan hadirnya stabilitas nasional yang mantap untuk menjamin kelancaran pembangunan.

Untuk itu, ABRI harus memainkan peran utama dalam politik dan pembangunan. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu mengukuhkan adanya jatah kursi (tanpa ikut pemilu) di DPR/MPR bagi ABRI, yang kemudian menjadi fraksi tersendiri di DPR/MPR.

Dengan dwifungsi, TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil di pemerintahan, dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kepala daerah dan jabatan sipil lainnya bisa diduduki oleh anggota ABRI aktif, tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Kendali politik dalam berbagai sektor secara horizontal dan vertikal sepenuhnya ada di tangan Presiden Soeharto yang sekaligus merupakan Panglima Tertinggi ABRI.

Keputusan politik dan pemerintahan ditentukan oleh tiga pilar politik yang disebut ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) yang pucuknya adalah Presiden.

Penyelenggaraan pemilu tidak demokratis, tidak jujur, dan tidak adil. Represi atas lawan politik terjadi seakan hal yang biasa saja. Ketatapemerintahan dibangun secara korporatis dan hegemonik, yang kemudian menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pers dipasung, dibayangi ancaman pembredelan dengan istilah yang dihaluskan. Eks aktivis atau anggota PKI serta keluarganya, dirampas hak perdatanya. Bahkan, banyak mahasiswa ikatan dinas di luar negeri dilarang pulang, hanya karena ”dianggap” simpatisan PKI. Pokoknya, pengebirian atas demokrasi dan pelanggaran HAM terjadi secara masif.

Meskipun begitu, secara fair perlu diakui, pemerintahan Orde Baru berhasil dalam banyak bidang pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 7 persen. Swasembada pangan bertumbuh bagus. Angka partisipasi pendidikan tinggi terus meningkat. Kesejahteraan rakyat terus membaik secara bertahap.

Namun, catatan keberhasilan itu menjadi tak bermakna dan rapuh. Konfigurasi politik yang otoriter, hegemonik, dan tak menghormati hak asasi manusia (HAM) itu rontok, saat terjadi krisis moneter.

Reformasi dan rontoknya dwifungsi
Ketika pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, ketahanan politik pun menjadi rapuh. Rakyat bergerak melakukan perlawanan secara masif, melalui Reformasi 1998.

Salah satu prestasi penting dari Reformasi 1998 adalah penghapusan dwifungsi ABRI dan pemisahan Polri dari TNI. Bidang Sospol ABRI ditiadakan. Anggota TNI dan Polri hanya boleh masuk ke dunia politik dan jabatan sipil tertentu, dengan syarat mengajukan pensiun atau mengundurkan diri dari TNI/Polri.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika dalam kaitan revisi UU TNI sekarang ini, banyak demo sebagai reaksi penolakan. Reaksi besar itu muncul karena trauma atas pengalaman masa lalu, saat dwifungsi dilakukan secara melanggar HAM dan membunuh demokrasi.

Masyarakat takut kalau negara hegemonik yang menggunakan dwifungsi TNI akan muncul kembali.

Proses legislasi yang agak tertutup dalam revisi UU TNI Tahun 2025 memang memancing reaksi keras dari kelompok-kelompok masyarakat, terutama warga kampus dan civil society.

Karena pengalaman sejarah, tidak salah dan patut dimaklumi jika mereka melakukan demo-demo sebagai hak konstitusional. Mereka mencemaskan munculnya kembali dwifungsi. Apalagi di draf awal RUU TNI yang pernah beredar, ada isu bahwa TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil jika Presiden menganggap perlu dan jika di institusi sipil tersebut diperlukan tenaga atau keahlian dari anggota TNI.

Sekarang, tinggal DPR dan pemerintah yang perlu meyakinkan masyarakat bahwa produk final revisi UU TNI itu tetap menutup pintu bagi kembalinya dwifungsi TNI.

Tidak ada ketentuan Pasal 47 yang, katanya, akan membuka kembali politik dwifungsi itu. Tidak ada peluang bagi TNI masuk ke jalur jabatan sipil secara eksesif dan menakutkan seperti di era Orde Baru.

Apalagi pengaturan tentang larangan dwifungsi itu bukan hanya diatur dalam UU TNI, melainkan juga sudah dikunci oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang lain dan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 April 2025

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum Politik

Salah Konsep “Judicial Review”

Ada Perbedaan Mendasar antara Substansi Putusan MA dan MK

Polemik terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/P/HUM/2024 tentang syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah tidak lepas dari arogansi untuk terus memuluskan agenda mempertahankan kekuasaan.

Hal ini berpadu dengan realitas partai politik yang lemah idealisme sekaligus ideologi sehingga dengan mudah membebek loyal, baik berbasis insentif maupun penyanderaan.

Mengingat lakon politik penguasa selama ini, memang tidak sulit untuk menyimpulkan partai politik yang membebek itu tidak bisa berbuat banyak, baik karena telah menikmati insentif kuasa atau uang maupun karena tersandera oleh rekam jejak pelanggaran hukum masa lalu.

Constitutional disobedience yang sempat akan dilakukan oleh DPR dengan tetap memaksakan penghitungan syarat usia minimal dan ambang batas suara partai pengusung calon kepala daerah adalah puncak dari loyalitas buta itu. Namun, jangan pula dilupakan bahwa ada peran Mahkamah Agung (MA) yang ikut berkontribusi sehingga menimbulkan kekacauan seperti saat ini.

Kita masih ingat, polemik batas usia calon kepala dan wakil kepala daerah bermula dari keluarnya Putusan Mahkamah Agung No 23 P/HUM/2024 yang menentukan syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah adalah terhitung sejak masa pelantikan kepala daerah terpilih, bukan pada saat penetapan calon oleh KPU.

Dengan pertimbangan yang seadanya dan argumentasi yang dangkal, MA membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.

Putusan ini melahirkan penolakan yang cukup luas. Namun, tidak banyak yang dapat dilakukan publik karena putusan MA bersifat final and binding sama halnya dengan putusan MK.
Dengan keputusan itu, MA pun ikut bertanggung jawab atas kekacauan, demonstrasi besar-besaran, dan ketidakjelasan pemilihan kepala daerah yang saat ini terjadi.

Refleksi
Tulisan ini ingin memberikan refleksi atas munculnya putusan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Konstitusi yang tampaknya bertentangan dan menegasikan satu sama lain tersebut.

Putusan MA membatalkan Peraturan KPU yang sebelumnya mengatur batas usia 30 tahun terhitung sejak penetapan calon oleh KPU. Oleh MA, ditentukan usia 30 tahun terhitung sejak pelantikan.

UU Pilkada yang dijadikan sebagai batu uji Peraturan KPU di Mahkamah Agung lalu diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian, MK menegaskan syarat batas usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Artinya, ada perbedaan mendasar antara substansi putusan MA dan MK. MA menyatakan batas usia dihitung sejak pelantikan, sedangkan MK menyatakan batas usia terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Sebetulnya ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya sudah beberapa kali terdapat perbedaan putusan antara MA dan MK. Salah satunya terkait peninjauan kembali (PK) yang menurut MK dapat dilakukan berkali-kali, sedangkan menurut MA hanya dapat dilakukan sekali.

Mitigasi
Situasi ini cukup memprihatinkan. Bagaimana mungkin dua lembaga negara yang setara, sama-sama memiliki marwah menegakkan hukum dan keadilan, tetapi terjebak pada arogansi sektoral kelembagaan.

Dalam jangka panjang, tentu saja kondisi ini harus dimitigasi sebaik mungkin agar tegaknya negara hukum Indonesia tidak direcoki oleh hal-hal yang bersifat teknis belaka. Selain itu, sejarah memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional.

Pertama, dianutnya sistem dua kamar atau dua atap atau dualisme dalam pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) barangkali dapat dikatakan menjadi muara dari masalah ini.
UUD 1945 Pasal 24A Ayat (1) memang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Adapun Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 mengatur kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD. Artinya, dalam melakukan hal yang serupa, berupa judicial review terhadap peraturan perundang-undangan, kita meletakannya pada dua lembaga negara sekaligus. Dengan begitu, potensi perbedaan putusan antara MK dan MA memang ada, dan dalam situasi tertentu sangatlah besar.

Kedua, jika ditarik jauh ke belakang, tidak ada dasar argumentasi yang cukup kuat bagi pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah MA dan MK. Artinya, ini adalah pilihan politik saja, karena tidak ada ketentuan atau basis teoretis yang mengharuskan pemisahan ataupun penyatu-atapan.
Namun, dari aspek implikasinya, pemisahan dapat memunculkan masalah yang lebih serius jika dilihat dari bagaimana negara hukum Indonesia berjalan.

Alasan dangkal lainnya, sejak sebelum amendemen, sudah ditentukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang berada di bawah MA sehingga tetap dilanjutkan. Dengan ketiadaan argumentasi filosofis, teoretis, ataupun sosiologis, serta dengan melihat dampak yang kini muncul, akan jauh lebih baik jika agenda besar ke depan salah satunya adalah menyatu-atapkan judicial review di bawah MK.

Pertanyaannya, mengapa MK dan bukan MA? Dari aspek faktual ini karena di MA sendiri telah terjadi penumpukan kasus kasasi ataupun PK. Akibatnya, keberadaan judicial review sejatinya menambah beban kerja hakim MA. Selain itu, sejarah memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional.

Adapun pengujian di MA, sebagaimana yang selama ini dikeluhkan banyak pihak, bersifat tertutup dan tak dapat ditebak. Dengan pengalaman yang ada, MK jauh lebih siap mengelola keterbukaan dan aspirasi publik. Ketiga, MA sebaiknya berfokus menyelesaikan kasus faktual, baik perdata, pidana, tata usaha negara, maupun militer. Adapun MK berfokus pada pengujian norma, agar pembagian tugas menjadi lebih jelas batasannya. Dengan demikian, semua pengujian peraturan perundang-undangan terhadap peraturan yang lebih tinggi menjadi kewenangan MK.

 

Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 September 2023.

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII. Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. 

Categories
Politik

Peringatan Hatta dan Fakta Hitler

Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.

Menurut Bung Hatta, jika tidak dikelola dengan benar, kedaulatan rakyat bisa menjadi perkakas untuk memakan rakyat. Dengan kata lain, demokrasi bisa membunuh demokrasi.

Bung Hatta berbicara banyak mengenai demokrasi, antara lain, melalui tulisan-tulisannya di majalah Daulat Ra’jat tahun 1931-1933, seperti dimuat dalam jilid 1 buku Karya Lengkap Bung Hatta (LP3ES, 1998).

Ketika Hatta menulis itu, 1931, Hitler di Jerman masih berjuang untuk meraih kekuasaan melalui proses demokrasi, yaitu memimpin partai dan ikut dalam pemilu. Namun, munculnya Hitler menjadi fakta bahwa yang dinyatakan oleh Bung Hatta itu benar.

Rakyat, jantung demokrasi
Waktu itu Hatta masuk dalam polemik tentang demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia. Pemantiknya adalah kecenderungan umum bahwa jika perjuangan untuk meraih kemerdekaan kelak berhasil, Indonesia harus memakai sistem demokrasi.

Banyak yang setuju dengan ide itu, tetapi ada juga yang tidak setuju. Ada yang setuju asalkan memakai demokrasi asli Indonesia, bukan demokrasi Barat.

Hatta mengatakan, demokrasi asli Indonesia yang diteriakkan itu harus ada penjelasannya, jangan hanya kalimat kosong, words, only words. Begitu juga perlu dijelaskan, mengapa dan sejauh mana demokrasi Barat harus kita tolak.

Bung Hatta kemudian menjelaskan tentang itu. Menurut Hatta, demokrasi sejak dulu sudah ada di berbagai belahan dunia, termasuk di masyarakat Indonesia. Esensinya sama, jantung demokrasi adalah rakyat.

Demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan keinginan dan kehendak rakyat. Meskipun begitu, filosofi dan bangunan (strukturisasi) demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia itu berbeda.

Filosofi demokrasi Barat adalah individualisme yang kemudian melahirkan kapitalisme dan liberalisme serta imperialisme di bidang politik dan ekonomi. Sedangkan filosofi demokrasi asli Indonesia adalah kolektivisme yang berwatak kerja sama dan tolong-menolong melalui usaha bersama untuk kemajuan seluruh rakyat.

Demokrasi asli, kata Hatta, sudah sejak berabad-abad hidup di desa-desa di Indonesia. Namun, demokrasi asli sudah melenceng karena dirusak oleh feodalisme (sifat perbudakan) yang dibangun oleh penguasa-penguasa lokal yang kemudian diperparah oleh hadirnya kaum penjajah. Rakyat kemudian mengalami inferiority complex (rendah diri) dan berkubang dalam keterbelakangan.

Oleh karena jantung demokrasi, di mana pun, adalah sama, yakni rakyat, maka demokrasi Barat ataupun demokrasi asli sama-sama bisa dipakai di Indonesia, tetapi tidak diambil mentah-mentah, harus disesuaikan dengan filosofi kerakyatan dan kebutuhan masa depan Indonesia yang adaptif dengan kemajuan zaman.

Demokrasi di Indonesia tetap harus berdasarkan kolektivisme, tetapi kolektivisme baru. Secara politik demokrasi asli berwatak permufakatan yang berangkat dari desa-desa dan diteruskan secara berjonjong-jonjong sampai ke tingkat nasional melalui pembentukan Dewan Rakyat Indonesia, DPR kalau sekarang.

Secara mendasar pula, demokrasi asli mengandung cita-cita bagi rakyat untuk mendapat hak rapat (berkumpul), protes (termasuk menyatakan pendapat), dan tolong-menolong.

Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat.

Dalam bidang perekonomian filsafat kolektivisme Indonesia mengharuskan ekonomi disusun sebagai usaha bersama untuk kepentingan bersama, tidak lagi dengan pembagian cara dan hasil kerja tradisional melainkan harus diperbarui menjadi produksi koperasi. Hatta memberikan substansi makna yang sama untuk istilah demokrasi, kedaulatan rakyat, dan volkssouvereiniteit.

Dua sisi buruk demokrasi
Selanjutnya, Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.

Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat. Bentuknya, banyak keputusan negara yang merampas hak rakyat dan melanggar hak asasi manusia, tetapi dibuat melalui prosedur dan lembaga formal demokrasi.

Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi. Selain itu, Hatta mengingatkan juga kemungkinan runtuhnya demokrasi karena kebebasan yang berlebihan sehingga menimbulkan anarki di dalam masyarakat.

Hatta mencontohkan runtuhnya demokrasi di Perancis yang melahirkan kebebasan yang berlebihan menyusul Revolusi Perancis 1789 yang gemilang itu. Di sana anarki sehingga muncullah penguasa kuat dan otoriter, yakni Napoleon, yang membentuk Politiestaat (negara kekuasaan). Politiestaat ini kemudian menelan kembali demokrasi dengan alasan mengatasi anarki.

Fakta tentang Hitler
Kisah diktator Hitler, penguasa Jerman, dapat disebut sebagai contoh bahwa demokrasi bisa dipergunakan untuk membunuh demokrasi. Hitler adalah pimpinan Partai Nazi, Partai Pekerja Sosialis Nasional Jerman, tepatnya Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), yang pada 1923 dijatuhi hukuman penjara karena pemberontakan.

Setelah keluar dari penjara (1924), Hitler membawa NSDAP mengikuti pemilu sampai beberapa kali dan berhasil mendapat kursi meski tak signifikan. Dengan menggunakan modal politik NSDAP, Hitler merancang kediktatoran- nya lewat proses demokrasi. Mula-mula Hitler mengajak partai-partai untuk meminta Presiden Jerman Paul Von Hindenburg agar mengangkat dirinya menjadi kanselir (perdana menteri).

Meskipun tidak mudah karena semula Presiden Hindenburg menolak, pada 30 Januari 1933 Hitler berhasil diangkat sebagai kanselir.

Selanjutnya, pada 23 Maret 1933, Hitler berhasil memaksa diberlakukannya Undang-Undang Pemberian Kewenangan yang dengan undang-undang itulah Hitler membangun kediktatoran Nazi yang buas dan kejam hingga 1945. Perampasan hak rakyat dan kejahatan kemanusiaan dengan korban ribuan manusia dilakukan oleh Hitler.

Tak ada yang bisa menandingi kekejaman Hitler dalam kediktatorannya sehingga ia dijuluki sebagai penjahat perang terbesar pada Perang Dunia II.

Kediktatoran dan kejahatannya dibangun melalui mekanisme dan lembaga-lembaga demokrasi dengan kolusi dan koersi antaraktor-aktor politik. Itulah contoh, Hitler membunuh demokrasi dengan demokrasi.

Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi.

Seusai Perang Dunia II tahun 1945, kediktatoran Hitler berakhir. Hitler diburu tentara Sekutu dan dikejar-kejar oleh rakyatnya. Sejarah hidupnya berakhir tragis ketika dia dan istrinya berusaha kabur serta bersembunyi melalui sebuah terowongan di Berlin Bunker.

Mayat suami-istri itu tidak ditemukan dan tak ada kuburannya sampai sekarang. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya ditembak oleh anak buahnya sendiri dan mayatnya dibuang setelah dirusak. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya bunuh diri untuk kemudian jenazahnya dibakar sampai jadi abu.

Ada juga yang bilang, Hitler dan istrinya ditangkap oleh tentara Sekutu untuk kemudian dieksekusi di tempat yang dirahasiakan kepada umum.

Peringatan bagi Indonesia
Dalam suasana peringatan hari proklamasi kemerdekaan tahun ini, ada baiknya kita mengingat peringatan Bung Hatta tentang dua sisi bahaya dari demo- krasi itu. Melihat perkembangan dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, banyak hasil kajian yang mengkhawatirkan kelangsungan Indonesia kita.

Masalahnya, korupsi terus merajalela, kejahatan bermunculan, demokrasinya kolutif. Penegakan hukum masih lemah dan diwarnai oleh kolusi, penyuapan, dan berbagai transaksi gelap sampai pada isu saling sandera.

Banyak hasil kajian, korupsi dan berbagai jenis kolusi di Indonesia ditempuh dengan mekanisme formal di lembaga-lembaga demokrasi, yakni kongkalikong antara tokoh-tokoh dan lembaga demokrasi yang melibatkan oknum di lembaga-lembaga penegak hukum.

Bersamaan dengan itu muncul juga gejala anarki yang mengkhawatirkan karena kebebasan yang berlebihan dalam masyarakat.

Untuk Indonesia yang lebih baik dan dalam menuju Indonesia Emas, perlu kita pedomani peringatan Hatta tentang sisi buruk demokrasi yang ditulisnya dengan cemerlang pada 1931, atau 93 tahun lalu, 14 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan kita.

Selamat HUT Kemerdekaan Ke-79 Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2024 dan Hari Konstitusi Republik Indonesia 18 Agustus 2024. Merdeka!

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 20 Agustus 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

 

Categories
Hukum Pilihan Politik

Perlukah TNI Ikut Menjaga Pertandingan Sepak Bola, Konser Musik dan Kegiatan Sipil Lainnya? Bagi Negara Demokrasi, Ini Tidak Lazim

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer.

Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.

Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.

Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.

Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.

Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut
Adanya posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.

Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap “rawan”.

Sementara dalam konser musik, mulai dari pop sampai dangdut, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut berjaga di tengah keramaian.

Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.

Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?

Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’
Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip disertasi Profesor Salim Said, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.

Militer Indonesia lahir selepas Perang Revolusi Nasional 1945-1949 dari gabungan laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.

Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.

Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.

Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “Jalan Tengah” dengan memberikan TNI dua fungsi: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara.

Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.

Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penggunaan alat-alat kekerasan yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.

Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. Tap MPR VI/2000 yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini.

Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.

Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.

Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan UU Polri. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “Sinergitas TNI-Polri”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri.

Gesekan sipil-militer
Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.

Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.

Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.

Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi trained killer.

Prajurit menjadi trained killer bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.

Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Mendamba sebuah perbaikan
Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.

Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi.

Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional.

Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 9 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Politik

Mengkritisi Pertimbangan MK tentang Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK

Pada 25 Mei 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi 5 tahun , dari yang sebelumnya 4 tahun. Pemohon dalam uji materi ini adalah Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK periode saat ini.

Menurut putusannya, terdapat dua alasan mengapa MK mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.

Pertama adalah adanya perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap KPK apabila menyamakannya dengan lembaga pemerintah independen lainnya yang sama-sama memiliki constitutional importance, yakni memiliki masa jabatan 5 tahun. Kedua adalah karena berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama 5 tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien sehingga dapat sesuai dengan satu periode jabatan presiden.

Putusan MK tersebut langsung menjadi sorotan dari berbagai pihak. Banyak elemen yang menyayangkan putusan MK ini karena berdekatan dengan momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sehingga dinilai sarat dengan kepentingan politik.

Kekecewaan publik terhadap Putusan MK bisa dipahami, karena Ketua KPK periode 2019-2023, Firli Bahuri, kerap berhadapan dengan masalah kode etik. Namun, ia selalu lolos dari sanksi berat Dewan Pengawas KPK. Terlebih lagi, suara 9 hakim MK pun terpecah untuk putusan MK. Sebanyak 4 hakim MK menolak (dissenting opinion) perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK ini.

Meskipun putusan MK sudah tidak dapat diganggu gugat (final and binding), paling tidak ada beberapa kritik yang dapat kita sampaikan sebagai publik, sebagai sarana edukasi agar kita bisa lebih ketat dan kritis dalam mengawal kinerja MK.

Kritik terhadap putusan MK
Pertama, MK bukan lembaga negara sepenuhnya demokratis karena tidak dipilih langsung oleh rakyat, sementara masa jabatan sangat berkaitan erat dengan domain perumusan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).

Dengan kata lain, perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga manapun seharusnya dilakukan melalui lembaga pembuat undang-undang, yakni lembaga legislatif, yang secara resmi didaulat sebagai wakil rakyat dan di dalamnya memiliki proses partisipasi publik.

Kedua, dalil perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang diterima oleh pimpinan KPK sebenarnya bisa terbantahkan dengan adanya ketidakseragaman masa jabatan sejumlah lembaga negara, seperti pimpinan Komisi Informasi (4 tahun) dan pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (3 tahun).

Terlebih lagi, definisi perlakuan diskriminatif memiliki kriteria khusus. Ini termasuk pembedaan berdasar atas alasan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Kriteria tersebut secara faktual tidak terjadi pada pimpinan KPK.

Ketiga, jika memang masa jabatan pimpinan KPK perlu diperpanjang demi efektivitas kinerja mereka, ketentuan ini lebih baik diberlakukan untuk periode selanjutnya, bukan kepada pimpinan KPK aktif yang saat ini masih menjabat. Putusan seperti ini seharusnya menerapkan asas non-retroaktif yang bersifat universal, yakni ketika suatu aturan hukum tidak dapat berlaku surut.

Keempat, mengubah masa jabatan pejabat aktif jelas akan mengancam independensi lembaga negara terkait, dan ini bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari. Apalagi ini terjadi pada lembaga antirasuah, lembaga yang telah bertahun-tahun menjadi salah satu lembaga yang paling dipercaya publik berdasarkan hampir semua hasil survei.

Ke depannya, dikhawatirkan MK sewaktu-waktu bisa saja mengubah masa jabatan pimpinan lembaga negara yang sedang menjalankan tugasnya atas dasar kepentingan dan motif politik tertentu.

Kita semua percaya bahwa MK masih kokoh berdiri sebagai lembaga independen yang menjadi garda terdepan dalam mengawal konstitusi kita. Namun, jika demi kepentingan politik, apalagi menjelang tahun politik, segala sesuatunya bisa terjadi, sehingga tidak salah jika publik lebih waspada.

Praktik perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga negara
Praktik perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga negara kerap kali menjadi jurus andalan bagi penyelenggara negara guna seseorang untuk duduk di kursi kekuasaan lebih lama.

Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, setidaknya ada 3 kali upaya untuk mengubah masa jabatan lembaga negara, termasuk MK sendiri, KPK, dan lembaga kepresidenan , meskipun perpanjangan gagal diterapkan pada lembaga kepresidenan.

Perpanjangan masa jabatan hakim pada MK yang sedang aktif menjabat dilakukan pada 2020, dengan cara mengubah UU tentang Mahkamah Konstitusi. Masa jabatan periodik hakim MK yang sebelumnya hanya 5 tahunan diubah dengan penentuan usia pensiun 70 tahun dengan keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.

Pada awal tahun 2022, para petinggi partai politik sempat menggaungkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024. Elemen masyarakat sipil ramai-ramai menolak wacana tersebut karena diyakini akan membuka ruang untuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Perubahan masa jabatan presiden memang sulit diwujudkan karena harus melalui amendemen UUD 1945. Namun, sekali lagi, menjelang tahun politik, apa pun bisa terjadi.

Praktik perpanjangan masa jabatan hampir selalu dilakukan dengan balutan hukum, padahal sebenarnya telah merusak independensi dan mengikis demokrasi. Hal seperti ini banyak ditemui di negara-negara dengan rezim legalisme otokratis (autocratic legalism), yaitu kondisi ketika kekuasaan suatu negara hanya dipegang oleh satu atau segelintir orang saja dan hukum disalahgunakan untuk melegitimasinya, seperti Turki dan Venezuela.

Jalan tengah
Kita tidak boleh terjebak menjadi rezim semacam itu. Pada kasus perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembuat UU bersepakat untuk menindaklanjuti putusan MK dengan memberlakukannya pada pimpinan KPK yang berikutnya.

Cara ini dilakukan agar, di satu sisi, pemerintah dan DPR tetap menghormati Putusan MK yang bersifat final dan mengikat, tetapi di sisi lain juga untuk melindungi independensi lembaga negara penegak hukum.

Dalam hal ini, Presiden perlu mengambil peran penting untuk menyelesaikan polemik ini dan menjamin bahwa independensi lembaga negara tidak dapat diganggu dengan cara apa pun. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tunduk pada konstitusi juga memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan harapan bahwa reformasi hukum ketatanegaraan terus bergerak ke arah yang lebih baik.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 17 Juni 2023

M. Addi Fauzani
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII.

 

Categories
Lingkungan Politik

Bagaimana Aturan Indonesia Belum Menjamin Obligasi Hijau Bebas ‘Greenwashing’

Indonesia membutuhkan dana sangat besar untuk mencapai kondisi bebas emisi guna meredam perubahan iklim. Jumlahnya diperkirakan mencapai Rp28,2 ribu triliun hingga 2060.

Kas negara jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itu, dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan yang mendukung pelestarian bumi. Salah satunya melalui obligasi hijau atau green bond atau green sukuk (obligasi syariah).

Tren obligasi hijau cukup moncer. Pada 2018 dan 2020, nilai green bond maupun green sukuk yang terbit di Indonesia mencapai US$2,75 miliar (Rp 40,8 triliun) dan US$ 1,27 miliar (Rp 33,6 triliun).

Meski perkembangannya kelihatan cerah, ada risiko yang mengintai: greenwashing. Kondisi ini terjadi jika perusahaan menginformasikan bahwa proyek mereka berwawasan lingkungan, tetapi beroperasi dengan cara yang merusak. Contoh lainnya adalah dana yang terkumpul tidak digunakan untuk membiayai proyek hijau.

Risiko tersebut sudah terjadi di belahan dunia. Per September 2020, insiden greenwashing dalam penerbitan obligasi hijau mencapai US$40 miliar (Rp 593 triliun).

Karena itulah, dunia-–termasuk Indonesia–memerlukan aturan penerbitan green bond yang memadai untuk melindungi masyarakat. Saya mencoba menelaah aturan penerbitan obligasi hijau yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hasilnya, saya menemukan aspek perlindungan investor dari greenwashing masih jauh dari memadai.

Aturan tak memadai
Indonesia memiliki Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan atau Green Bond (POJK GB).

Aturan ini memuat persyaratan Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL), dokumen dan pelaporan yang harus disiapkan penerbit, serta sanksi jika melakukan pelanggaran.

POJK GB mensyaratkan proyek yang dapat didanai hasil green bond hanya yang bertujuan untuk melindungi, memperbaiki, dan/atau meningkatkan kualitas atau fungsi lingkungan. Ada sebelas macam KUBL di dalam peraturan tersebut. Contohnya kegiatan efisiensi energi, transportasi ramah lingkungan, serta pencegahan dan pengendalian polusi.

Setidaknya ada empat catatan saya dalam POJK tersebut.

Pertama, aturan ini masih sangat abstrak karena hanya mengatur tujuan dan menitikberatkan pada jenis kegiatan yang dibolehkan. Bahkan, Pasal 4(k) aturan ini membolehkan suatu green bond membiayai proyek yang tidak ada dalam kategori KUBL selama memiliki “tujuan lingkungan”.

Aturan ini amat terasa longgar jika dibandingkan dengan aturan persyaratan green bond di Uni Eropa.

Di Eropa, suatu proyek tidak serta merta dapat dikatakan hijau jika hanya sekadar memiliki tujuan lingkungan. Pengelola juga harus menjamin proyek tersebut “tidak menyebabkan bahaya signifikan” dan sesuai dengan “aturan perlindungan minimum”.

Artinya, meskipun suatu proyek memiliki kontribusi signifikan dalam mitigasi iklim, tetapi dalam pelaksanaannya semisal mencemari air dan tidak dilakukan dengan standar keamanan minimum, maka tidak dapat didanai oleh green bond.

Uni Eropa juga mewajibkan suatu proyek untuk memenuhi standar hijau dalam EU Taxonomy, yaitu daftar kegiatan yang dianggap memenuhi prinsip berkelanjutan. Proyek pun harus lulus Kriteria Penilaian Teknis atau Technical Screening Criteria untuk menjamin manfaat lingkungannya.

Di Indonesia, OJK sebenarnya memiliki Taksonomi Hijau. Namun, penggunaannya masih bersifat sukarela. Kredibilitas suatu proyek hijau juga hanya ditentukan oleh penilaian ahli lingkungan. Tidak ada kriteria teknis yang diwajibkan untuk memastikan sebuah proyek benar-benar “hijau”.

Kelonggaran ini pada akhirnya memungkinkan proyek pertambangan batu bara masuk sebagai “kegiatan usaha lain yang berwawasan lingkungan” jika didukung pendapat ahli lingkungan. Dalam taksonomi hijau Indonesia, batu bara tergolong bidang usaha “kuning” yang berarti tidak menyebabkan bahaya signifikan.

Kedua, lemahnya pelaksanaan transparansi proyek hijau.

POJK GB mewajibkan pengelola proyek menerapkan transparansi informasi melalui pengungkapan dan pelaporan mengenai penjelasan KUBL dan penilaian ahli lingkungan.

Namun, aturan ini tidak mengatur detail informasi yang harus dilaporkan. Regulasi juga belum memastikan kualitas informasi karena Indonesia belum memiliki standar kriteria hijau seperti di Eropa.

Akhirnya, masyarakat lah yang harus lebih cermat dalam membaca laporan hijau yang dikeluarkan oleh perusahaan penerbit. Publik terpaksa menimbang sendiri: apakah laporan tersebut kredibel atau tidak.

Ketiga, aturan tidak memuat mekanisme detail seperti prosedur seleksi atau verifikasi laporan ahli lingkungan untuk memastikan kredibilitas mereka.

Proses verifikasi penting untuk memastikan bahwa laporan yang disampaikan sesuai dengan fakta di lapangan, bukan pencitraan saja. Apabila laporan hanya ditulis oleh pihak perusahaan dan mendapat penilaian dari ahli lingkungan yang dibayar perusahaan tersebut, maka bias informasi akibat konflik kepentingan rawan terjadi.

Verifikasi dari pihak ketiga juga diperlukan untuk memvalidasi informasi mengenai dampak atau manfaat hijau dari suatu proyek green bond secara kredibel dan berkualitas. Jika tidak ada proses verifikasi ini, perusahaan dapat dengan mudah membuat pelaporan hijau yang menyesatkan (greenwashing) karena tidak ada jaminan atas reliabilitas informasi tersebut.

Risiko ini akan mengurangi kepercayaan investor terhadap produk green bond dan meredam kesempatan pendanaan proyek hijau yang optimal.

Keempat, belum ada aturan yang melindungi investor dari pelanggaran substansial. Sejauh ini, Undang-undang Pasar Modal ataupun POJK GB hanya mengatur perlindungan investor dari pelanggaran formil atau prosedur. Contohnya misalnya gagal mendapat penilaian ahli lingkungan, tidak menyertakan informasi mengenai KUBL, atau pendanaan untuk KUBL yang tak sesuai ketentuan.

Lemahnya perlindungan ini amat disayangkan. Investor semestinya berhak mendapatkan kepastian bahwa dana yang mereka keluarkan benar-benar akan berdampak pada kelestarian bumi.

Aturan juga seharusnya menyentuh aspek perlindungan materiil seperti kualifikasi ahli lingkungan, kredibilitas informasi, dan penggunaan dana 100% untuk KUBL. Harapannya, investor menjadi lebih yakin untuk memberi kontribusi pada proyek hijau yang ditawarkan.

Langkah ke depan
Indonesia masih dalam tahap pengembangan keuangan berkelanjutan. Sejauh ini, aturan-aturan yang dibuat merupakan suatu bentuk dorongan bagi para pihak untuk berpartisipasi dalam transisi ekonomi rendah karbon.

Pada tahap ini, berdasarkan pengamatan saya, korporasi masih dalam tahap mengurangi dan menyeimbangkan antara proyek “coklat” (tidak ramah lingkungan) dan proyek “hijau”.

Jika ekosistem dan kesadaran sudah terbentuk, OJK harus segera memperkuat aturannya. Ada tiga hal yang bisa dilakukan:

Pertama, mewajibkan implementasi Taksonomi Hijau Indonesia maupun standar hijau lain yang diterima secara internasional sebagai dasar penilaian proyek. Indonesia juga harus melakukan proses verifikasi kompetensi terhadap ahli lingkungan yang terlibat.

Kedua, OJK perlu membuat kriteria teknis pelaporan atau informasi apa saja yang harus diungkapkan oleh perusahaan penerbit terkait dengan KUBL, termasuk mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan portofolio seluruh usaha mereka.

Ketiga, dua saran di atas dapat dilengkapi aturan sanksi yang memadai dan memberikan efek jera agar perusahaan lebih berhati-hati dalam mengklaim proyek mereka sebagai “kegiatan hijau”.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Juni 2023

Sheila Noor Baity
Dosen Program Studi Hukum Bisnis dan Hukum Perdata Fakultas Hukum UII. 

Categories
Politik Uncategorized

Menyambut Albanese, Memperkuat Kemitraan Indonesia-Australia

Indonesia tujuan pertama kunjungan Albanese. Gestur simbolik positif ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Indonesia pada 14 Mei 2025 bukan sekadar simbol diplomatik. Langkah ini adalah sinyal kuat bahwa Australia menempatkan Indonesia sebagai mitra utama kawasan. Albanese tidak menunggu lama setelah pelantikannya untuk menegaskan komitmen ini.

Pertanyaannya, mampukah kita memanfaatkan momen ini sebagai kesempatan untuk memperkuat pendekatan yang sudah dibangun selama ini dengan arah yang lebih strategis dan seimbang? Sudahkah kita memberi perhatian yang sebanding dengan potensi besar yang dimiliki Australia sebagai mitra strategis kita di kawasan?

Mitra strategis
Hubungan Indonesia dan Australia telah melalui berbagai tahap perkembangan yang positif dan membuahkan hasil yang signifikan. Kemitraan strategis kedua negara dalam bidang ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan keamanan telah terbukti menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam bidang ekonomi, Australia telah menjadi salah satu mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai perdagangan dua arah yang mencapai 32,2 miliar dollar Amerika Serikat pada 2023-2024. Australia juga menjadi tujuan utama ekspor Indonesia di sektor pertanian dan sumber investasi penting bagi berbagai sektor di Indonesia.

Program-program perdagangan yang dijalankan dalam kerangka Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) telah meningkatkan akses Indonesia ke pasar Australia, dan sebaliknya, mendiversifikasi hubungan ekonomi kedua negara.

Sektor pendidikan juga telah mengalami kemajuan signifikan. Lebih dari 15.000 mahasiswa Indonesia menempuh pendidikan tinggi di Australia, berkontribusi pada kehidupan sosial dan ekonomi Australia. Selain itu, berbagai kolaborasi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan juga memperkaya hubungan kedua negara, dengan sejumlah program pertukaran akademik yang terbukti saling menguntungkan.

Di bidang keamanan, kedua negara telah bekerja sama dalam menjaga stabilitas kawasan, terutama dalam hal keamanan maritim dan penanggulangan terorisme. Keterlibatan aktif Indonesia dan Australia dalam forum-forum internasional dan regional, seperti ASEAN dan Indo-Pacific Dialogue, menunjukkan keduanya berkomitmen pada tatanan kawasan yang aman dan stabil.

Namun, meskipun keberhasilan ini patut diapresiasi, kita tidak bisa mengabaikan tantangan-tantangan yang masih ada dalam memperkuat hubungan ini lebih lanjut.

Ketimpangan perhatian
Dari sisi Indonesia, salah satu tantangan besar dalam memperkuat hubungan Indonesia-Australia adalah perlunya perhatian yang lebih mendalam terhadap negeri Kangguru tersebut.

Boleh jadi, tantangan ini muncul karena masih melekat stigma di negeri kita bahwa Australia lebih membutuhkan Indonesia ketimbang sebaliknya. Padahal, Indonesia membutuhkan Australia, sama seperti mereka membutuhkan Indonesia.

Selain itu, ketimpangan perhatian ini mungkin muncul karena Indonesia selama ini terlalu sering melihat ke utara, mengarahkan fokus pada negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan China, yang lebih sering menjadi sorotan dalam pemberitaan dan kebijakan luar negeri kita.

Sebagai contoh, ketika Indonesia menggelar Pemilu 2024, media dan akademisi Australia menunjukkan perhatian besar dengan eksposur publik yang intensif. Bahkan, dalam Pemilu Federal Australia 2025, politik luar negeri Indonesia termasuk salah satu isu hangat dalam debat calon perdana menteri.

Sebaliknya, jika dibandingkan dengan Pemilu AS yang sering dibahas secara komprehensif, perhatian publik Indonesia terhadap Pemilu Federal Australia 2025 hanya terbatas pada hasil akhir tanpa mendalami dinamika, seperti isu energi, perubahan iklim, imigrasi, atau kepemimpinan partai politik.

Ketimpangan perhatian ini membuka ruang bagi kita untuk lebih proaktif dalam memahami dinamika kebijakan luar negeri Australia, bukan sekadar meresponsnya. Perlu kita ingat bahwa keputusan yang diambil di Canberra dapat berdampak signifikan bagi mahasiswa Indonesia, pengusaha, dan bahkan posisi kita di kawasan.

Tentu saja, tantangan ini bukanlah tugas pemerintah saja. Media kita memiliki peluang untuk memperluas cakrawala liputannya, dengan lebih sering menghadirkan perspektif Australia dalam pembahasan kawasan. Pelaku bisnis dapat lebih peka terhadap perubahan kebijakan yang memengaruhi perdagangan dan investasi. Begitu pula dengan dunia pendidikan yang memiliki kesempatan untuk memperkaya kurikulum dengan kajian-kajian lebih dalam tentang Australia, agar hubungan ini lebih terbangun dengan fondasi yang kuat dan seimbang.

Jika pendidikan ingin benar-benar menjadi fondasi dari hubungan strategis kedua negara, ruang kerja sama perlu menjangkau lebih jauh dengan menyentuh institusi vokasi dan perguruan tinggi di daerah. Upaya seperti kolaborasi riset dua arah, pertukaran dosen, serta skema pendanaan bersama bisa menjadi jalan untuk itu.

Dalam kerja sama pendidikan, Indonesia perlu memperkuat posisinya tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai mitra sejajar dalam produksi pengetahuan. Dengan demikian, diplomasi pendidikan dapat menjelma dari sekadar simbol menjadi strategi jangka panjang yang setara dan berdampak. 

Jika ikhtiar kolektif tersebut dicapai bersama, masyarakat luas niscaya akan mulai membayangkan Australia bukan semata sebagai destinasi studi atau negara ”jauh di selatan”, melainkan sebagai tetangga dekat yang memainkan peran penting dalam dinamika regional kita.

Poros Jakarta-Canberra
Langkah Albanese memilih Jakarta sebagai tujuan pertama kunjungan luar negerinya mempertegas tradisi panjang hampir semua Perdana Menteri Australia sejak 2008—baik dari Partai Buruh maupun Koalisi Liberal—yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi pertama setelah pelantikan. Hal ini mencerminkan konsensus bipartisan bahwa Indonesia adalah mitra utama di kawasan. Namun, gestur simbolik ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Albanese adalah sinyal. Namun, agar sinyal ini tidak menguap, semua pemangku kepentingan di Indonesia perlu meresponsnya dengan lebih serius. Mengharapkan Australia selalu mengambil inisiatif tanpa membangun kesiapan internal hanya akan melanggengkan relasi yang timpang. Kemitraan strategis yang sejati hanya mungkin lahir dari kesetaraan persepsi, komitmen, dan partisipasi.

Indonesia dan Australia memiliki sejarah panjang hubungan diplomatik yang berkesinambung. Meski demikian, untuk menghadapi tantangan di masa mendatang, kedua negara tidak hanya membutuhkan sejarah, tetapi juga visi bersama yang solid. Visi tentang kawasan yang stabil, adil, dan saling memperkuat. Untuk itu, poros Jakarta-Canberra harus dibangun atas dasar kebutuhan timbal balik dan kemauan untuk benar-benar mendengarkan satu sama lain.

Sudah saatnya Indonesia turut merancang arah masa depan hubungan bilateral ini dengan gagasan, perhatian, dan kesiapan yang setara.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 16 Mei 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.