Categories
Hukum

Sejarah Negara Teror

Teror terhadap warga yang bersuara kritis kian tak terkendali. Terbaru, teror terhadap FY, penulis opini di salah satu media nasional yang mengkritisi pengangkatan jenderal TNI dalam jabatan sipil.

Setelah mendapat teror, FY meminta media yang memuat tulisannya agar menghapus artikel itu. Penghapusan tulisan diberitakan dilakukan atas rekomendasi Dewan Pers dan dilakukan demi menjaga keselamatan penulis.

Peristiwa yang juga menguat ialah teror terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi salah satu pemohon uji materi (judicial review) UU TNI ke Mahkamah Konstitusi; penarikan lagu band Sukatani yang mengkritik praktik bayar-bayar oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, pemaksaan permintaan maaf terhadap siswa di Bogor yang mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penangkapan mahasiswa ITB karena membuat meme Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo.

Apa yang terjadi pada FY dan peristiwa lain yang hampir serupa sangat memprihatinkan. Hal itu mengingat UUD Tahun 1945 menjamin hak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani; memberikan jaminan atas hak untuk mengeluarkan pendapat; serta jaminan atas hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Teror dan intimidasi yang terjadi seperti meruntuhkan bangunan konstitusional yang selayaknya dijaga dan dijunjung tinggi. Kedaulatan rakyat dihilangkan dengan tindakan represi dan intimidasi.

Negara Teror
Keprihatinan terhadap teror yang terjadi mungkin agak ringan kalau terjadi di level horizontal, di mana warga yang diintimidasi oleh warga yang lain dapat meminta pertolongan aparat negara. Namun, persoalannya sangat serius jika pelaku teror adalah dari aparat negara sendiri.

Apa yang terjadi pada FY dan beberapa kasus di atas, pelakunya diyakini adalah aparat negara yang notabene digaji dengan pajak dari warga untuk menjaga hak atas rasa aman dan membebaskan warganya dari ketakutan untuk berpendapat.

Pertanyaannya, bisakah negara menjadi state terorism kepada warganya sendiri, padahal selayaknya negara bertugas menjaga hak atas rasa aman?

Dalam beberapa studi ternyata sangat mungkin negara jadi pelaku teror. Negara, jika tak diawasi, akan mudah menggunakan kekerasan terhadap warga sipil secara acak, dengan tujuan intimidasi atau menciptakan ketakutan agar tercapai tujuan politik kekuasaannya.

Teror bisa dilakukan oleh negara terhadap negara yang lain, seperti dilakukan Israel pada Palestina, atau teror negara terhadap warganya sendiri seperti yang terjadi di Myanmar.

Rohingya di Myanmar adalah contoh paling jelas dari begitu kejamnya state terorism, di mana pemerintahan yang berkuasa melakukan genosida secara terbuka pada warganya karena alasan ras (ciri-ciri fisik) dan agama. Secara ras, etnis Rohingya dianggap berbeda ciri-ciri fisiknya dengan mayoritas penduduk Myanmar.

Secara agama, etnis Rohingya sebagian besar beragama Islam, sementara penduduk Myanmar mayoritas beragama Buddha. Kondisi ini menjadi alasan pemerintah untuk secara aktif melakukan teror, pengusiran paksa, dan genosida.

Selain Myanmar, ada beberapa negara yang dianggap aktif melakukan teror terhadap warganya dengan alasan yang beragam: perbedaan politik, ideologi, etnis, agama, penguasaan tanah, dan seterusnya. Alasan pemicu bisa sangat beragam, tapi intinya adalah negara yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil dengan cara intimidasi atau menciptakan ketakutan yang di dalamnya memiliki motif politik tertentu.

Di Indonesia, teror secara masif oleh negara terjadi di era rezim Orde Baru, di mana ada begitu banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Antara lain dalam kasus Waduk Kedungombo, Nipah, pemberedelan media massa, DOM di Aceh, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, kasus Talangsari, penghilangan orang secara paksa, kasus Trisaksi (Semanggi I dan II), dan beberapa kasus yang lain.

Kekerasan negara oleh Orde Baru tidak lepas dari konfigurasi politik yang tunggal (homogen) dan monolitik saat itu. Menurut Alfred Stepan,  karakter tunggal dan monolitik terjadi pada tingkat negara (state) dan masyarakat (society).

Pada level negara terlihat solidnya semua unsur yang ada dalam negara sehingga berkarakter tunggal dan tidak ada check and balances; sementara pada level masyarakat terlihat kondisi pengendalian, penundukan, dan pengarahan pada agenda kepentingan politik kekuasaan tertentu.

Kondisi monolitik tersebut mendorong state terorism yang begitu luas, di mana negara melakukan penundukan secara paksa dan represif, baik secara fisik maupun mental, yang kemudian membungkam kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul masyarakat.

Menjaga demokrasi
Alasan penting mengapa kita prihatin terhadap teror yang menimpa warga dan tekanan terhadap media massa adalah karena situasi tersebut terjadi cukup serius di masa lampau dan menjadi luka sejarah yang begitu menyakitkan.

Karena hal tersebut, dilakukanlah amendemen UUD 1945 yang di dalamnya menegaskan perihal kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, dan ada jaminan hak asasi manusia yang menjadi pijakan warga dari segala tindakan dan kebijakan penguasa yang berpotensi melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang.

Jaminan konstitusional tersebut relatif cukup baik mengiringi proses demokratisasi pasca-jatuhnya rezim Orde Baru.

Pemerintahan di era Reformasi telah silih berganti dan terjadi pasang surut dan tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan warga negara.

Suara warga negara dan pers di era awal dan pertengahan Reformasi masih didengarkan, kekuasaan yang menyimpang masih terkritisi, tetapi di periode dua penguasa terakhir konfigurasi kekuasaan menjauh dari semangat negara hukum dan demokrasi.

Teror yang terjadi pada FY yang notabene seorang penulis dan atau terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi pemohon uji materi ke MK di pemerintahan sekarang ini merupakan bukti betapa penguasa dan aparatnya tidak serius belajar dari sejarah.

Yakni bahwa negara ini pernah jatuh pada lubang otoritarianisme di mana penguasa lewat aparat yang terkomando pernah menjadi aktor teror yang bengis pada warganya sendiri, dan negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat) karena hukum lewat konfiguasi politiknya semata mendukung kepentingan kekuasaan yang otoriter.

Terdapat tiga pandangan dalam melihat gerak sejarah.

Pertama, pandangan yang melihat sejarah sebagai sesuatu yang bersifat linier, sejarah bergerak menuju ke arah yang lebih maju. Kedua, pandangan yang melihat gerak sejarah tidak selalu maju, tapi kadang terjadi proses kemunduran saat berada pada tahap kemajuan.

Ketiga, pandangan yang melihat gerak sejarah bergerak secara berputar seperti siklus yang melingkar.

Dalam pembacaan ini, negara Indonesia saat ini seperti mengalami siklus berputar itu, di mana kekuasaan cenderung monolitik, ada dukungan aparat keamanan dan partai yang kuat, serta warga dan media massa ironisnya dikendalikan.

Tentu kita tidak ingin seperti itu. Gerak sejarah Indonesia selayaknya linier, bergerak ke arah yang lebih maju, yaitu negara yang demokratis, humanis dan tidak meneror warganya sendiri.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 Juni 2025

M Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Hukum

Memetik Pelajaran dari Kasus Agnez Mo

Hampir dua sampai tiga pekan ini media cetak maupun online tidak pernah berhenti memberitakan terbitnya putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terkait kasus gugatan Ari Bias terhadap Agnez Mo atas pelanggaran hak cipta musik dan lagu berjudul “Bilang Saja”, di mana kasus gugatan tersebut Ari Bias dimenangkan oleh pihak pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan menghukum Agnez Mo dikenakan ganti rugi sebesar Rp 1,5 M atas pelanggaran hak cipta musik dan lagu milik Ari Bias.

Polemik Kasus Agnez Mo
Pemberitaaan yang terus menerus ini tidak terlepas dari munculnya pro kontra sendiri di kalangan musisi Indonesia. Di satu pihak ada yang yang mendukung terbitnya putusan ini. Mereka beranggapan bahwa putusan ini sudah benar karena menyangkut penghargaan, penghormatan, dan perlindungan terhadap pencipta yang karyanya telah digunakan secara komersial dan digunakan tanpa hak.

Namun demikian, di sisi lainnya, menganggap putusan ini berlebihan. Mereka mengkhawatirkan dengan adanya putusan ini akan menganggu ekosistem industri musik Indonesia.

Dua pandangan yang berbeda ini, sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi karena masing-masing pihak punya interest yang berbeda-beda. Namun, perbedaan pandangan ini mestinya tidak berujung pada permusuhan antar musisi di Indonesia karena ini pada akhirnya hanya akan merugikan musisi Indonesia itu sendiri.

Upaya Hukum
Kasus pelanggaran hak cipta oleh Agnez Mo atas ciptaan musik dan lagu milik Ari Bias telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dengan diterbitkannya putusan ini tentu pertanyaannya, apakah putusan tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum? Maka, jawabannya masih ada upaya hukum yaitu berupa kasasi ke Mahkamah Agung RI (MA RI). Menurut ketentuan Pasal 102 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan bahwa Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) hanya dapat diajukan kasasi.

Selanjutnya di dalam Pasal 102 ayat (2) UU Hak Cipta dinyatakan bahwa permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga diucapkan dalam sidang terbuka atau diberitahukan kepada para pihak.

Dengan disediakannya upaya hukum kasasi ke MA RI, hal ini dimaksudkan sebagai bentuk upaya korektif atas putusan Pengadilan Niaga, Adapun waktu yang disediakan oleh undang-undang hak cipta adalah 14 hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga diucapkan dalam sidang terbuka atau diberitahukan kepada para pihak.

Melalui kasasi ke MA RI, maka ada dua kemungkinan bentuk putusan dari MA RI, putusan kasasi MA RI akan menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, namun dapat juga membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Semua kemungkinan ini sangat tergantung kepada kemampuan kedua belah pihak dalam meyakinkan majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung RI.

Pelajaran yang harus dipetik
Hal penting lain dalam menyikapi kasus Agnez Mo ini adalah pelajaran yang harus dipetik oleh pencipta dan penyanyi. Perlu diketahui, pencipta dan penyanyi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kenyataan, pola hubungan pencipta dan penyanyi itu ada tiga, yaitu; (1) pencipta sekaligus menjadi penyanyi; (2) ppencipta yang tidak menjadi penyanyi; dan (3) penyanyi yang tidak menjadi pencipta. Memperhatikan pola hubungan pencipta dan penyanyi yang kedua dan ketiga, maka sebenarnya ada hubungan saling tergantung antara pencipta dan penyanyi. Hal ini terjadi juga dalam praktik industri musik di Indonesia.

Dengan menyadari hal seperti ini seharusnya semangat hubungan antara pencipta dan penyanyi dalam konteks kedua dan ketiga dapat dilakukan penuh kepercayaan dengan jalinan hubungan yang harmoni dan berlandaskan pada saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya. Tentunya, jika ada suatu perselisihan di antara keduanya hendaknya dapat dibicarakan dengan menjalin komunikasi yang baik, dan berfokus pada solusi yang dapat menguntungkan bagi kedua pihak (win-win solution).

Menghindari ego dan rasa benar sendiri menjadi prasyarat untuk dapat menghasilkan model solusi yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) ketika terjadi perselisihan. Namun demikian, akan menimbulkan hasil berbeda, jika prasyarat ini diabaikan oleh keduanya. Pastinya, istilah satu jadi arang dan lainnya jadi abu akan menjadi kenyataan ditengah hukum yang rapuh seperti saat ini.

Semangat ini sejalan dengan semangat yang terkandung di dalam konsep hak cipta. Di dalam konsep hak cipta dikenal konsep hak terkait (related rights or neighbouring rights). Hak terkait adalah melindungi kepentingan hukum dari orang dan badan hukum tertentu yang berkontribusi dalam membuat karya tersedia untuk publik. UU Hak cipta Indonesia juga mengenal hak terkait. Di dalam Pasal 1 angka 5 dinyatakan” Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, producer fonogram, atau lembaga Penyiaran.

Frase yang menyatakan “…berkaitan dengan hak cipta..” menjadi bukti ada hubungan erat antara hak cipta dan hak terkait. Hak terkait ini lahir dikarenakan adanya hak cipta, dan hak terkait ini tidak akan ada, jika tidak ada hak cipta. Hak terkait merupakan hak eksklusif yang diberikan salah satunya kepada pelaku pertunjukan (penyanyi), sedangkan hak cipta merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta (termasuk pencipta music dan lagu).

Dari sini, maka patut disadari bahwa sesungguhnya dengan konsep hak cipta dan hak terkait telah mengajarkan kepada kita pentingnya kebersamaan dan saling melengkapi antar dua hak tersebut. Semangat ini, sekali lagi sangat sejalan untuk menggambarkan hubungan antara pencipta dan penyanyi karena pada kenyataannya pencipta itu sebagai pemegang hak cipta, dan penyanyi sebagai pemegang hak terkait. Kebersamaan dan saling melengkapi menjadi kunci hubungan pencipta dan penyanyi dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan di masa depan. Wallahu’alam bis shawab.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 7 Maret 2025

Budi Agus Riswandi
Guru Besar Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum dagang dan hukum HKI

 



Categories
Hukum

Membangun Gaza

Presiden Prabowo kembali memicu perdebatan publik melalui pengumuman kebijakan kemanusiaan yang kontroversial. Dalam kunjungan kenegaraan ke kawasan Timur Tengah belum lama ini (baca KR 12/4), Presiden menyampaikan niat Indonesia untuk merelokasi sekitar 1.000 warga sipil dari Gaza ke wilayah Indonesia. Meskipun langkah ini dikemas sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan dan dukungan terhadap rakyat Palestina, kebijakan tersebut menuai respons beragam dari masyarakat Indonesia, termasuk kritik terhadap implikasi hukum, politik, dan sosial-budaya yang mungkin ditimbulkan.

Ide relokasi sebenarnya bermula dari gagasan Presiden Trump. Pada awal masa pemerintahannya, Trump secara terbuka mendorong relokasi penduduk Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania meskipun keduanya menolak keras gagasan tersebut. Trump menggagas mengubah Gaza menjadi kawasan wisata eksklusif di Timur Tengah atau “Riviera of the Middle East.”

Pelanggaran Hukum
Pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 melarang dengan tegas pemindahan atau deportasi secara paksa, baik terhadap individu maupun kelompok dari wilayah tempat tinggal mereka.

Meskipun ada pengecualian yang memungkinkan evakuasi jika terjadi ancaman serius terhadap keselamatan warga sipil atau alasan militer yang sangat mendesak, hal ini hanya dibolehkan secara sementara dan dengan syarat warga tersebut harus dipulangkan kembali setelah situasi membaik.

Sejalan dengan itu, Statuta Roma (1998) dalam Pasal 7 ayat (1) juga mengatur bahwa pengusiran atau pemindahan paksa yang dilakukan secara tidak sah dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini bukan sekadar teori. Dalam kasus Milan Martić—seorang tokoh dalam konflik di bekas Yugoslavia—dinyatakan bersalah karena melakukan pemindahan paksa terhadap warga sipil Muslim dan dijatuhi hukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Maka dari itu, jika Indonesia dengan dalih kemanusiaan turut terlibat dalam relokasi warga Gaza yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional, negara ini berisiko terlibat dalam pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Bahkan jika situasi di Gaza dianggap sebagai konflik bersenjata internasional, tindakan relokasi permanen juga bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2)(a)(viii) Statuta Roma.

Perkuat Kedaulatan
Indonesia perlu berhati-hati dan cermat dalam merumuskan kebijakan luar negeri, khususnya dalam konteks mendukung perjuangan bangsa Palestina. Dalam situasi yang semakin kompleks dan darurat, Palestina tidak hanya membutuhkan dukungan moral, tetapi juga langkah konkret dari komunitas internasional, termasuk Indonesia, untuk memperkuat kedaulatan dan hak-hak dasarnya sebagai sebuah bangsa.

Tugas diplomasi Indonesia dalam isu Palestina masih jauh dari selesai. Salah satu agenda penting adalah mendorong pengakuan internasional yang lebih luas terhadap Negara Palestina, termasuk mendukung upayanya untuk menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di sisi lain, pemulihan kondisi internal di wilayah Palestina pasca agresi militer Israel juga menjadi urgensi besar. Indonesia, baik melalui pemerintah maupun masyarakat sipil, telah berkontribusi dalam penggalangan bantuan kemanusiaan. Namun, agar bantuan tersebut tepat sasaran dan berkelanjutan, perlu adanya koordinasi lintas negara dan peran besar organisasi internasional. Dalam hal ini, Indonesia dapat berperan sebagai pemimpin tim internasional untuk menyusun master plan pembangunan kembali Palestina yang mencakup sektor pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan tata kelola pemerintahan.

Yang tak kalah penting, seluruh upaya ini harus dilakukan dengan prinsip bahwa Palestina adalah subjek yang berdaulat, bukan objek belas kasih internasional. Bangsa Palestina membutuhkan dukungan untuk membangun kemandirian dan memperjuangkan hak-haknya secara bermartabat. Sebaliknya, dukungan terhadap ide relokasi yang didorong oleh Amerika Serikat dan sekutunya justru berpotensi memperburuk keadaan, mengingat rekam jejak mereka yang kerap mengabaikan norma dan prinsip hukum internasional.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 13 Mei 2025

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional. 

Categories
Hukum Politik

Potret Dwifungsi TNI yang Diributkan

Ayah saya ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS tidak melaksanakan monoloyalitas. Itulah ingatan tentang politik dwifungsi ABRI yang kini ditakutkan kembali.

Demo-demo karena khawatir atas kembalinya dwifungsi TNI bisa dimaklumi. Namun, banyak pendemo yang ketika ditanya ternyata tidak betul-betul paham, apa arti dwifungsi.

Ayah saya ditahan tentara. Pertama kali muncul bayangan tentang tentara dan dwifungsi di benak saya adalah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971.

Sehabis pemungutan suara tanggal 3 Juli 1971 pada pemilu pertama era Orde Baru itu, ayah saya, Mahmodin, dijemput oleh dua tentara, Pak Syukur dan Pak Gani, dan ditahan di Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Kecamatan Waru (Pamekasan, Madura), tanpa proses hukum. Waktu itu, saya masih kelas I SMTP.

Mengapa ayah dijemput dan ditahan? Ayah saya adalah pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Waru. Saat Pemilu 1971 itu, ayah saya diberi tugas untuk memimpin Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Sanah Laok.

Waktu itu, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan monoloyalitas atau loyalitas tunggal. PNS harus memilih Golongan Karya (Golkar) saat pemilu. Kebijakan monoloyalitas dikawal ketat pelaksanaannya oleh TNI—atau lebih dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—terutama TNI Angkatan Darat (TNI AD).

Di TPS tempat ayah saya ditugaskan, dengan personel KPPS plus Pertahanan Sipil yang berjumlah 12 orang itu, Golkar hanya mendapat tiga dan empat suara untuk DPR Pusat dan DPR Daerah. Selebihnya, hampir semua adalah suara untuk Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Ayah saya dipersalahkan karena dari 12 anggota KPPS saja, yang memilih Golkar hanya tiga orang. Saat akan mulai pencoblosan, ayah saya yang adalah aktivis NU di kecamatan memang berpidato bahwa setiap orang bebas memilih secara rahasia.

”Warga NU, tetap boleh memilih Partai NU,” katanya. Sesaat setelah pulang dari tugas di TPS, ayah saya dijemput dan ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS ia tidak melaksanakan monoloyalitas.

Itulah ingatan mendalam dari apa yang kemudian saya kenal sebagai Politik Dwifungsi ABRI. Tentara ikut campur secara resmi dalam berbagai kegiatan bidang sosial dan politik, termasuk tugas memenangkan agenda kelompok politik tertentu, yakni Golkar.

Awal ide dwifungsi
Sebenarnya ide dasar tentang dwifungsi itu tidaklah jelek. Ide ini didorong oleh tampilnya pemerintahan sipil yang dianggap selfish, selalu gaduh.

Pemerintahan sipil yang saat itu, sudah berlangsung hampir dua dasawarsa dianggap selalu menimbulkan pertikaian, mengancam persatuan, dan tidak kondusif untuk pembangunan. TNI, yang merasa dirinya ikut mendirikan negara, terpanggil tanggung jawabnya untuk menjaga dan menyelamatkan Republik Indonesia.

Ide peran ganda militer mulanya disampaikan oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di Akademi Militer pada tahun 1958, dengan istilah middle way (jalan tengah). Istilah middle way diganti menjadi dwifungsi, dan itu disampaikan oleh Nasution pada tahun 1960 dalam Rapat Pimpinan Polri di Porong.

Idenya, selain fungsi tempur, TNI juga perlu ikut mengadministrasikan negara melalui fungsi-fungsi nontempur dan pembinaan wilayah.

Konsepsi dwifungsi merupakan jalan tengah antara posisi militer di Barat yang tidak ikut-ikut urusan politik dan posisi militer ala Amerika Latin yang mendominasi kehidupan politik.

Dengan dwifungsi, TNI di Indonesia tidak perlu melakukan kudeta untuk membereskan kemelut politik dan pemerintahan karena TNI sudah ikut mengurusi dan mengantisipasi sejak awal agar berjalan baik.

Seiring dengan itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang tadinya berdiri sendiri sejak tahun 1960-an mulai digabungkan dengan TNI dengan sebutan ABRI.

Dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 121 Tahun 1960, Presiden Soekarno meletakkan Departemen Kepolisian/Kepala Polri di bawah Departemen Pertahanan. Selanjutnya, dengan Tap MPRS No II/MPRS/1960 yang dituangkan lagi di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1961, kedudukan Polri secara de jure dan de facto menjadi bagian dari ABRI.

Meskipun semula, melalui pidato tanggal 17 Agustus 1953, Presiden Soekarno tegas meminta TNI tidak ikut dalam politik, sejak akhir tahun 1950-an Bung Karno sudah memasukkan tugas selain perang bagi TNI ke dalam ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsepsi resmi.

Sekurang-kurangnya, ada tujuh produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno terkait tugas TNI dalam jabatan-jabatan sipil. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Organisasi Angkatan Perang, Keppres Nomor 21 Tahun 1959 tentang Peran Militer di Jabatan Sipil, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 1960 tentang Pembentukan Front Nasional.

Selain itu, Tap MPRS No II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, UU Nomor 18 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Tap MPRS No II/MPRS/1962 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN, dan Tap MPR No XIII/MPRS/1965 tentang Kedudukan dan Peran ABRI dalam Negara.

Hegemoni TNI era Orde Baru
Pada era Orde Baru, konsepsi dwifungsi diterapkan secara ketat, masif, dan sewenang-wenang. Kacaunya sistem politik dan ambruknya ekonomi yang diwariskan oleh rezim Orde Lama harus diselesaikan dengan hadirnya stabilitas nasional yang mantap untuk menjamin kelancaran pembangunan.

Untuk itu, ABRI harus memainkan peran utama dalam politik dan pembangunan. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu mengukuhkan adanya jatah kursi (tanpa ikut pemilu) di DPR/MPR bagi ABRI, yang kemudian menjadi fraksi tersendiri di DPR/MPR.

Dengan dwifungsi, TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil di pemerintahan, dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kepala daerah dan jabatan sipil lainnya bisa diduduki oleh anggota ABRI aktif, tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Kendali politik dalam berbagai sektor secara horizontal dan vertikal sepenuhnya ada di tangan Presiden Soeharto yang sekaligus merupakan Panglima Tertinggi ABRI.

Keputusan politik dan pemerintahan ditentukan oleh tiga pilar politik yang disebut ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) yang pucuknya adalah Presiden.

Penyelenggaraan pemilu tidak demokratis, tidak jujur, dan tidak adil. Represi atas lawan politik terjadi seakan hal yang biasa saja. Ketatapemerintahan dibangun secara korporatis dan hegemonik, yang kemudian menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pers dipasung, dibayangi ancaman pembredelan dengan istilah yang dihaluskan. Eks aktivis atau anggota PKI serta keluarganya, dirampas hak perdatanya. Bahkan, banyak mahasiswa ikatan dinas di luar negeri dilarang pulang, hanya karena ”dianggap” simpatisan PKI. Pokoknya, pengebirian atas demokrasi dan pelanggaran HAM terjadi secara masif.

Meskipun begitu, secara fair perlu diakui, pemerintahan Orde Baru berhasil dalam banyak bidang pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 7 persen. Swasembada pangan bertumbuh bagus. Angka partisipasi pendidikan tinggi terus meningkat. Kesejahteraan rakyat terus membaik secara bertahap.

Namun, catatan keberhasilan itu menjadi tak bermakna dan rapuh. Konfigurasi politik yang otoriter, hegemonik, dan tak menghormati hak asasi manusia (HAM) itu rontok, saat terjadi krisis moneter.

Reformasi dan rontoknya dwifungsi
Ketika pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, ketahanan politik pun menjadi rapuh. Rakyat bergerak melakukan perlawanan secara masif, melalui Reformasi 1998.

Salah satu prestasi penting dari Reformasi 1998 adalah penghapusan dwifungsi ABRI dan pemisahan Polri dari TNI. Bidang Sospol ABRI ditiadakan. Anggota TNI dan Polri hanya boleh masuk ke dunia politik dan jabatan sipil tertentu, dengan syarat mengajukan pensiun atau mengundurkan diri dari TNI/Polri.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika dalam kaitan revisi UU TNI sekarang ini, banyak demo sebagai reaksi penolakan. Reaksi besar itu muncul karena trauma atas pengalaman masa lalu, saat dwifungsi dilakukan secara melanggar HAM dan membunuh demokrasi.

Masyarakat takut kalau negara hegemonik yang menggunakan dwifungsi TNI akan muncul kembali.

Proses legislasi yang agak tertutup dalam revisi UU TNI Tahun 2025 memang memancing reaksi keras dari kelompok-kelompok masyarakat, terutama warga kampus dan civil society.

Karena pengalaman sejarah, tidak salah dan patut dimaklumi jika mereka melakukan demo-demo sebagai hak konstitusional. Mereka mencemaskan munculnya kembali dwifungsi. Apalagi di draf awal RUU TNI yang pernah beredar, ada isu bahwa TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil jika Presiden menganggap perlu dan jika di institusi sipil tersebut diperlukan tenaga atau keahlian dari anggota TNI.

Sekarang, tinggal DPR dan pemerintah yang perlu meyakinkan masyarakat bahwa produk final revisi UU TNI itu tetap menutup pintu bagi kembalinya dwifungsi TNI.

Tidak ada ketentuan Pasal 47 yang, katanya, akan membuka kembali politik dwifungsi itu. Tidak ada peluang bagi TNI masuk ke jalur jabatan sipil secara eksesif dan menakutkan seperti di era Orde Baru.

Apalagi pengaturan tentang larangan dwifungsi itu bukan hanya diatur dalam UU TNI, melainkan juga sudah dikunci oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang lain dan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 April 2025

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum Politik

Salah Konsep “Judicial Review”

Ada Perbedaan Mendasar antara Substansi Putusan MA dan MK

Polemik terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/P/HUM/2024 tentang syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah tidak lepas dari arogansi untuk terus memuluskan agenda mempertahankan kekuasaan.

Hal ini berpadu dengan realitas partai politik yang lemah idealisme sekaligus ideologi sehingga dengan mudah membebek loyal, baik berbasis insentif maupun penyanderaan.

Mengingat lakon politik penguasa selama ini, memang tidak sulit untuk menyimpulkan partai politik yang membebek itu tidak bisa berbuat banyak, baik karena telah menikmati insentif kuasa atau uang maupun karena tersandera oleh rekam jejak pelanggaran hukum masa lalu.

Constitutional disobedience yang sempat akan dilakukan oleh DPR dengan tetap memaksakan penghitungan syarat usia minimal dan ambang batas suara partai pengusung calon kepala daerah adalah puncak dari loyalitas buta itu. Namun, jangan pula dilupakan bahwa ada peran Mahkamah Agung (MA) yang ikut berkontribusi sehingga menimbulkan kekacauan seperti saat ini.

Kita masih ingat, polemik batas usia calon kepala dan wakil kepala daerah bermula dari keluarnya Putusan Mahkamah Agung No 23 P/HUM/2024 yang menentukan syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah adalah terhitung sejak masa pelantikan kepala daerah terpilih, bukan pada saat penetapan calon oleh KPU.

Dengan pertimbangan yang seadanya dan argumentasi yang dangkal, MA membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.

Putusan ini melahirkan penolakan yang cukup luas. Namun, tidak banyak yang dapat dilakukan publik karena putusan MA bersifat final and binding sama halnya dengan putusan MK.
Dengan keputusan itu, MA pun ikut bertanggung jawab atas kekacauan, demonstrasi besar-besaran, dan ketidakjelasan pemilihan kepala daerah yang saat ini terjadi.

Refleksi
Tulisan ini ingin memberikan refleksi atas munculnya putusan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Konstitusi yang tampaknya bertentangan dan menegasikan satu sama lain tersebut.

Putusan MA membatalkan Peraturan KPU yang sebelumnya mengatur batas usia 30 tahun terhitung sejak penetapan calon oleh KPU. Oleh MA, ditentukan usia 30 tahun terhitung sejak pelantikan.

UU Pilkada yang dijadikan sebagai batu uji Peraturan KPU di Mahkamah Agung lalu diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian, MK menegaskan syarat batas usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Artinya, ada perbedaan mendasar antara substansi putusan MA dan MK. MA menyatakan batas usia dihitung sejak pelantikan, sedangkan MK menyatakan batas usia terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Sebetulnya ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya sudah beberapa kali terdapat perbedaan putusan antara MA dan MK. Salah satunya terkait peninjauan kembali (PK) yang menurut MK dapat dilakukan berkali-kali, sedangkan menurut MA hanya dapat dilakukan sekali.

Mitigasi
Situasi ini cukup memprihatinkan. Bagaimana mungkin dua lembaga negara yang setara, sama-sama memiliki marwah menegakkan hukum dan keadilan, tetapi terjebak pada arogansi sektoral kelembagaan.

Dalam jangka panjang, tentu saja kondisi ini harus dimitigasi sebaik mungkin agar tegaknya negara hukum Indonesia tidak direcoki oleh hal-hal yang bersifat teknis belaka. Selain itu, sejarah memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional.

Pertama, dianutnya sistem dua kamar atau dua atap atau dualisme dalam pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) barangkali dapat dikatakan menjadi muara dari masalah ini.
UUD 1945 Pasal 24A Ayat (1) memang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Adapun Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 mengatur kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD. Artinya, dalam melakukan hal yang serupa, berupa judicial review terhadap peraturan perundang-undangan, kita meletakannya pada dua lembaga negara sekaligus. Dengan begitu, potensi perbedaan putusan antara MK dan MA memang ada, dan dalam situasi tertentu sangatlah besar.

Kedua, jika ditarik jauh ke belakang, tidak ada dasar argumentasi yang cukup kuat bagi pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah MA dan MK. Artinya, ini adalah pilihan politik saja, karena tidak ada ketentuan atau basis teoretis yang mengharuskan pemisahan ataupun penyatu-atapan.
Namun, dari aspek implikasinya, pemisahan dapat memunculkan masalah yang lebih serius jika dilihat dari bagaimana negara hukum Indonesia berjalan.

Alasan dangkal lainnya, sejak sebelum amendemen, sudah ditentukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang berada di bawah MA sehingga tetap dilanjutkan. Dengan ketiadaan argumentasi filosofis, teoretis, ataupun sosiologis, serta dengan melihat dampak yang kini muncul, akan jauh lebih baik jika agenda besar ke depan salah satunya adalah menyatu-atapkan judicial review di bawah MK.

Pertanyaannya, mengapa MK dan bukan MA? Dari aspek faktual ini karena di MA sendiri telah terjadi penumpukan kasus kasasi ataupun PK. Akibatnya, keberadaan judicial review sejatinya menambah beban kerja hakim MA. Selain itu, sejarah memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional.

Adapun pengujian di MA, sebagaimana yang selama ini dikeluhkan banyak pihak, bersifat tertutup dan tak dapat ditebak. Dengan pengalaman yang ada, MK jauh lebih siap mengelola keterbukaan dan aspirasi publik. Ketiga, MA sebaiknya berfokus menyelesaikan kasus faktual, baik perdata, pidana, tata usaha negara, maupun militer. Adapun MK berfokus pada pengujian norma, agar pembagian tugas menjadi lebih jelas batasannya. Dengan demikian, semua pengujian peraturan perundang-undangan terhadap peraturan yang lebih tinggi menjadi kewenangan MK.

 

Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 September 2023.

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII. Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. 

Categories
Hukum

Profesionalisme Hakim Penunda Pemilu

Dalam prinsip konstitusionalisme modern, hakim merupakan aktor yang memiliki peran terhadap fungsi pelayanan umum kepada masyarakat. Independensi yang diperoleh para hakim juga perlu dipertanggungjawabkan ke publik.

Komisi Yudisial (KY) melalui juru bicaranya pada 3 Maret 2023 menyatakan untuk memulai melakukan pendalaman atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst terhadap gugatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima). Upaya ini dilakukan untuk menilai ada tidaknya pelanggaran kode etik dan profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo.

Paling tidak, dalam hal ini KY dihadapkan atas dua tantangan besar. Di satu sisi kerangka kerja KY dalam menilai putusan harus cermat, proporsional, dan terukur karena bisa berpengaruh kepada independensi hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Di sisi lain, KY juga memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin marwah dan kehormatan putusan hakim terhindar dari perilaku unprofessional act.

Profesionalisme
Secara kontroversial, amar putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Silogisme putusan ini memang cukup aneh dan menjadi ”riuh” di kalangan para ahli hukum setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, soal kompetensi absolut PN Jakarta Pusat dalam memeriksa dan mengadili pokok perkara. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah karena keputusannya semestinya menjadi domain Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kedua, jikapun majelis hakim tetap menilai untuk dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum perdata, amar putusannya hanya bisa mengikat penggugat dan tergugat. Dalam konteks penalaran hukum, putusan ini tak dapat berlaku secara umum (orga omnes) sehingga mengikat seluruh elemen masyarakat dan pemerintah serta memengaruhi pelaksanaan pemilu yang telah terjadwal dalam kalender kenegaraan.

Ketiga, penundaan jadwal pelaksanaan pemilu secara periodik dalam konstitusi hanya bisa dilakukan dalam kondisi force majeur, misalnya bencana alam yang dapat mengganggu eksistensi negara dan jalannya pemerintahan.

Dari tiga anotasi di atas, putusan majelis hakim jelas keliru dan di luar dari koridor kompetensi PN Jakarta Pusat. Untuk menganulir putusan tersebut tentu hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum oleh tergugat (KPU) kepada majelis hakim tingkat banding maupun kasasi.

Namun, perlu diberikan penekanan bahwa upaya hukum tingkat banding merupakan hal yang berbeda dengan memeriksa dan mengadili ada tidaknya pelanggaran profesionalisme majelis hakim PN Jakarta Pusat di dalamnya. Upaya hukum banding hanya berpengaruh kepada dua probabilitas. Menguatkan putusan pada tingkat pertama, atau sebaliknya menganulir putusan pada tingkat pertama.

Sementara pendalaman pelanggaran etik dan profesionalisme lebih ditujukan kepada perilaku masing-masing individu hakim mulai dari proses persidangan sampai dengan tahapan pengambilan keputusan di forum rapat permusyawaratan hakim. Dalam memeriksa dugaan pelanggaran etik dan profesionalisme hakim pada putusan PN Jakarta Pusat tersebut, KY dapat melakukan pendalaman pada dua wilayah.

Putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut perlu diasesmen melalui tahapan eksaminasi.

Pertama, pemeriksaan dilakukan atas ada tidaknya tekanan dari pihak luar atau kelompok tertentu dalam pengambilan keputusan majelis hakim PN Jakarta Pusat. Kedua, pemeriksaan dilakukan dengan melihat kesesuaian dasar pertimbangan (ratio decidendi) dan konklusi.

Artinya, putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut perlu diasesmen melalui tahapan eksaminasi, untuk melihat relevansi antara alasan dan konklusinya terhadap asas-asas hukum, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kode etik KY dan Mahkamah Agung (MA) telah menjamin prinsip ini dalam tiga domain pengaturan, yaitu berdisiplin tinggi, berintegritas tinggi, dan profesional.

Independensi
Untuk mengadili profesionalisme hakim dengan menggunakan KY sebagai pengawas eksternal memang tak mudah. Persoalan mendasar itu justru datang dari tingkat kesepahaman antara KY dan MA atas prinsip independensi hakim. Dalam beberapa kasus konkret pelanggaran etik yang didalami oleh KY karena alasan profesionalisme hakim dalam membangun putusan, tak semua bermuara kepada penjatuhan sanksi.

Meskipun kebenaran materil sudah terpenuhi, usul penjatuhan sanksi bisa saja mendapatkan penolakan dari MA. Hal ini terjadi karena kebebasan hakim terhadap keyakinannya selalu dianggap berkorelasi dengan independensinya dalam membangun pertimbangan putusan.

Dalam konteks putusan penundaan pemilu, momentum ini sebenarnya bisa jadi bahan evaluasi untuk kasus-kasus serupa. Contini dan Mohr (2008) menegaskan, independensi tak dapat dilihat secara parsial. Preferensi para hakim dalam membangun pertimbangan hingga putusan tak lagi dapat dimaknai sebagai domain eksklusif yang merepresentasikan independensi hakim.

Dalam prinsip konstitusionalisme modern, hakim merupakan aktor yang memiliki peran terhadap fungsi pelayanan umum kepada masyarakat. Independensi yang diperoleh para hakim juga perlu dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

Dalam hal ini, perilaku unprofessional act bisa saja dijatuhkan kepada hakim yang basis pertimbangannya bertentangan dengan asas hukum dan prinsip-prinsip konstitusi yang berlaku secara universal. Sebab, independensi bukanlah ”privilese”, melainkan prinsip yang juga perlu dipertanggungjawabkan dengan sikap profesional di hadapan publik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 14 Maret 2023

Idul Rishan
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII

Categories
Hukum Pilihan Politik

Perlukah TNI Ikut Menjaga Pertandingan Sepak Bola, Konser Musik dan Kegiatan Sipil Lainnya? Bagi Negara Demokrasi, Ini Tidak Lazim

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer.

Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.

Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.

Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.

Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.

Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut
Adanya posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.

Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap “rawan”.

Sementara dalam konser musik, mulai dari pop sampai dangdut, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut berjaga di tengah keramaian.

Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.

Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?

Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’
Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip disertasi Profesor Salim Said, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.

Militer Indonesia lahir selepas Perang Revolusi Nasional 1945-1949 dari gabungan laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.

Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.

Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.

Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “Jalan Tengah” dengan memberikan TNI dua fungsi: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara.

Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.

Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penggunaan alat-alat kekerasan yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.

Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. Tap MPR VI/2000 yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini.

Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.

Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.

Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan UU Polri. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “Sinergitas TNI-Polri”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri.

Gesekan sipil-militer
Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.

Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.

Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.

Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi trained killer.

Prajurit menjadi trained killer bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.

Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Mendamba sebuah perbaikan
Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.

Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi.

Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional.

Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 9 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Hukum Politik

Tak Ada Permintaan Maaf kepada PKI

Tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain.

Tidak ada permintaan maaf, baik tertulis maupun lisan, oleh Presiden Joko Widodo kepada Partai Komunis Indonesia atau PKI. Saya pastikan, itu tidak ada.

Ada isu politik dan hukum yang bersumber dari kesesatan informasi sejak akhir September sampai awal Oktober 2024 yang mengitari suasana peringatan G30S PKI dan Hari Kesaktian Pancasila tahun 2024 ini, yakni isu permintaan maaf pemerintah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada PKI dan keturunannya. Kita pastikan bahwa isu itu tidak benar karena sumber informasinya sesat dan tidak otentik.

Isu tentang permintaan maaf kepada PKI itu terpantik lagi setelah, sekitar 30 September dan 1 Oktober 2024, beredar pemberitaan dan video Ibu Amelia Yani yang akan menuntut Presiden Jokowi ke Mahkamah Agung (MA) karena telah meminta maaf kepada PKI dengan merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) No 17 Tahun 2022 dan Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2023.

Amelia Yani adalah putri Jenderal Ahmad Yani, salah seorang korban keganasan PKI. Sebagai orang yang ikut menangani langsung pembentukan keppres dan inpres tersebut, saya merasa terpanggil untuk menjelaskannya agar informasi yang salah tidak dikunyah berlanjut-lanjut.

Penyelesaian 13 peristiwa
Saya berani memastikan bahwa, baik di dalam Keppres No 17 Tahun 2022 dan Inpres No 2 Tahun 2003 maupun di dalam pernyataan-pernyataan lisan Presiden Jokowi, tidak ada kata-kata atau frasa dalam kalimat yang menyebutkan tentang permintaan maaf kepada PKI dan atau keturunannya.

Saya menyatakan itu karena sayalah yang ditugasi untuk mengawal detail pembuatan keppres dan inpres dimaksud. Sampai sekarang, naskah keppres dan inpres tersebut bisa dilihat di laman Sekretariat Negara ataupun di Google.

Keppres dan inpres tersebut dibuat atas perintah Tap MPR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, baik melalui pengadilan maupun melalui rekonsiliasi nasional dan nonyudisial untuk menguatkan kembali persatuan Indonesia. Tap MPR dan beberapa undang-undang (UU) tentang itu dibuat MPR yang diketuai Amien Rais pada awal-awal Reformasi.

Berbarengan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ditugasi untuk menyelidiki dan menetapkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang perlu diselesaikan, baik melalui pengadilan (yudisial) maupun melalui rekonsiliasi (nonyudisial).

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil (dan dipaksakan dengan pembuktian seadanya) dibawa ke pengadilan diputus bebas oleh MA.

Ada 33 terdakwa yang dibebaskan dan ada satu orang yang dijatuhi hukuman, tetapi kemudian dibebaskan melalui peninjauan kembali oleh MA.

Adapun upaya melakukan rekonsiliasi tidak bisa berjalan efektif karena UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 006/PUU-IV/2006.

Upaya merevisi UU tersebut dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo, tetapi selalu gagal, teradang di perdebatan politik.

Itulah sebabnya pemerintahan Presiden Joko Widodo mengambil langkah lebih maju dengan mengonsentrasikan diri untuk memenuhi hak-hak korban, bukan pelakunya. Maka, dikeluarkanlah Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

Isi keppres tersebut menekankan pentingnya pengungkapan peristiwa dan pemulihan hak korban peristiwa pelanggaran HAM berat. Tidak ada sama sekali kata permintaan maaf kepada siapa pun, apalagi kepada pelaku.

Keppres itu juga tak menutup pintu penyelesaian secara yudisial karena (seperti dimuat dalam konsiderans, Menimbang butir c) penyelesaian nonyudisial merupakan jalan paralel yang dilakukan di samping jalur yudisial, sesuai perintah Tap MPR No XVII/MPR/1998, UU No 1 Tahun 1999, UU No 39 Tahun 1999, dan UU No 26 Tahun 2000.

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR.

Keppres No 17 Tahun 2022 hanya berisi pembentukan Tim PPHAM untuk mendalami keputusan Komnas HAM tentang terjadinya 13 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tim PPHAM kemudian merekomendasikan langkah-langkah pemulihan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan, antara lain, dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

Jadi yang dikembalikan hak-haknya adalah hak para korban yang tidak terlibat atau hanya menjadi korban. Sementara pelakunya harus tetap dibawa ke pengadilan sepanjang bisa dibuktikan secara hukum. Pemerintah harus mengakui keputusan tentang pelanggaran HAM berat yang ditemukan Komnas HAM karena Tap MPR dan UU memang menugaskan Komnas HAM untuk memutuskan tentang itu dan pemerintah tak bisa menolaknya.

Rekomendasi Tim PPHAM yang disampaikan kepada Presiden tersebut kemudian dituangkan dalam Inpres No 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat tanggal 15 Maret 2023.

Inpres ini memerintahkan kepada 19 kementerian dan lembaga pemerintahan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM.

Saat menerima dan mengumumkan rekomendasi Tim PPHAM yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya inpres itu, tidak ada pernyataan atau satu kata pun tentang permintaan maaf.

Yang dikatakan Presiden adalah mengakui bahwa 13 peristiwa itu betul terjadi dan pengakuan itu memang harus dilakukan karena yang menetapkan adalah lembaga negara yang memang ditugaskan untuk itu, yakni Komnas HAM. Presiden tidak boleh tidak mengakui keputusan Komnas HAM.

Sebagai kesaksian, ketika proses sosialisasi ke berbagai daerah dan ormas-ormas, saya memang mencatat ada beberapa orang yang mengusulkan kepada Tim PPHAM agar pemerintah menyatakan meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Akan tetapi, usul itu ditolak keseluruhan anggota Tim PPHAM dan tidak pernah dijadikan kesimpulan yang ditulis ataupun diucapkan.

Jadi yang dilakukan pemerintah terbatas pada mengakui dan tidak menyatakan meminta maaf sebab kesalahan atas terjadinya peristiwa-peristiwa itu tidak bisa secara hitam putih ditimpakan kepada pemerintah, apalagi rezimnya sudah berganti-ganti dan setiap rezim sudah berusaha menanganinya.

Penulisan sejarah
Hal yang tidak benar lainnya dari pernyataan Ibu Amelia Yani adalah tentang izin pemerintah untuk melakukan penulisan ulang sejarah G30S PKI.

Itu tidak benar sebab pemerintah justru menolak jika sejarah 1965/1966 ditulis ulang sebagai versi resmi pemerintah. Tegas, di sidang kabinet pemerintah menolak itu.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang. Tetapi, kepada mereka yang menyampaikan usul itu, pemerintah menyatakan menolak sebab jika ada sejarah baru versi pemerintah, pasti akan ada versi lain yang mempersoalkannya lagi.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang.

Versi sejarah tentang peristiwa 1965/1966 sudah banyak. Ada versi Pusat Sejarah ABRI, versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, versi Cornell, versi intelijen asing, versi sejarawan Nahdlatul Ulama, dan lain-lain, termasuk versi berbagai disertasi dan tesis.

Oleh karena, itu tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain. Akan tetapi, semua ilmuwan dan peneliti sejarah boleh saja melakukan penelitian-penelitian lanjutan sesuai dengan metodologi sejarah masing-masing.

Versinya bisa berbeda-beda, tetapi tetap merupakan pandangan akademik masing-masing, bukan versi pemerintah. Dananya, tentu saja, bisa memakai dana pemerintah sebagai dana program penelitian yang ada di Kemendikbudristek, BRIN, dan di berbagai perguruan tinggi. Yang penting, proposalnya memenuhi syarat. Masa, orang mau meneliti secara ilmiah-akademik akan dilarang?

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 8 Oktober 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

Categories
Hukum Trending

Apa Jadinya jika Pemilu 2024 Ditunda dan Terjadi Kekosongan Kekuasaan?

Namun, ada kondisi yang dapat menyebabkan perintah konstitusi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena beberapa hal, misalnya ketika negara mengalami kondisi darurat, baik Darurat Sipil, Darurat Militer, Darurat Perang, maupun Darurat Bencana (alam dan non alam) .

Terjadinya kedaruratan yang berujung pada penundaan pemilu ini pernah dialami juga oleh banyak negara, terutama dalam rentang waktu 2020-2022, ketika COVID-19 melanda. Terdapat 80 negara atau teritori di berbagai belahan dunia yang terpaksa menunda pelaksanaan pemilunya sebagai akibat dari pandemi.

Dalam kondisi normal pun tetap ada potensi terjadinya penundaan pemilu. Misalnya karena perintah dari lembaga peradilan melalui putusan hakimnya. Kondisi inilah yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Partai PRIMA melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku tergugat. Salah satu putusannya adalah meminta tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ditetapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal dalam 2 tahun 4 bulan 7 hari.

KPU sedang mengupayakan banding ke Pengadilan Tinggi untuk membatalkan putusan tersebut dengan harapan pemilu akan tetap terlaksana sesuai jadwal. Namun, bila upaya banding, dan mungkin kasasi, yang dilakukan oleh KPU gagal, putusan PN Jakarta Pusat tersebut akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan harus dilaksanakan.

Jika itu terjadi, penyelenggaraan pemilu sudah pasti tidak akan dapat diselenggarakan sesuai jadwal. Ini kemudian akan berakibat pada kekosongan kekuasaan, karena masa jabatan kepemimpinan nasional, baik eksekutif maupun legislatif, akan tetap berakhir pada 2024, sementara penggantinya belum tersedia.

Kekosongan kekuasaan dalam suatu negara merupakan suatu kondisi yang berbahaya dan harus dihindari, karena akan menyebabkan instabilitas politik tingkat tinggi yang berujung pada terancamnya keamanan masyarakat.

Sejarah sebelum kehidupan bernegara

Jika merujuk pada catatan sejarah, peran negara sebagai institusi kekuasaan yang mengatur dan mengelola kehidupan umat manusia secara kolektif merupakan fenomena baru.

Jauh sebelum negara ada, atau dalam keilmuan disebut dengan istilah pra-bernegara, masing-masing individu mengatur urusannya secara mandiri.

Situasinya pada masa pra-bernegara sangat mencekam dan menyeramkan, sebab yang berlaku adalah hukum rimba – yang menang adalah yang kuat. Tidak ada ukuran salah-benar sebab semuanya didasarkan pada kekuatan. Aturan kehidupan bersama hanya ditentukan oleh kemauan dari mereka yang perkasa.

Pihak yang lemah akan sama sekali tidak berdaya dan tidak terlindungi hak dan kepentingannya. Setiap orang berperilaku seenaknya sendiri, tidak ada kekuasaan manapun yang bisa mencegah kesewenang-wenangan individual. Manusia kala itu diistilahkan sebagai Homo homini lupus, yang artinya “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”.

Kengerian dari kondisi kehidupan umat manusia sebelum ada negara ini digambarkan oleh Thomas Hobbes sebagai Bellum Ominium Contra Omnes, atau sebuah perang antar segala melawan semuanya.

Menyadari betapa berbahayanya kehidupan tanpa aturan dan kekuasaan yang dapat menegakkan aturan tersebut kemudian mendorong umat manusia untuk mendirikan negara melalui proses perjanjian masyarakat (social contract).

Desain konstitusional untuk mencegah kekosongan kekuasaan

Negara sebagai institusi tentu tidak bisa bergerak sendiri menjalankan tugas dan kewenangannya. Ia membutuhkan “personel” agar dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuannya, yaitu menciptakan perdamaian, kesejahteraan, ketertiban, dan sebagainya.

Personel itulah yang kita sebut dengan pejabat negara atau aparatur pemerintahan. Adapun pejabat yang menduduki jabatan tertinggi dalam negara disebut pemimpin negara.

Ada dua prinsip dalam memilih pemimpin, yakni secara monarki dan secara sistem demokrasi.

Dalam negara monarki, pemimpinnya tidak dipilih oleh rakyat melainkan ditetapkan berdasarkan keturunan, dan tidak mengenal pembatasan masa jabatan. Seorang pemimpin akan menduduki jabatannya sampai jatah umurnya habis.

Sementara dalam negara demokrasi, pemimpin selalu dipilih melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Masa jabatan pemimpin yang terpilih pun dibatasi, sehingga seseorang tidak mungkin menjadi pemimpin seumur hidup. Negara demokrasi memiliki ciri utama menyelenggarakan pemilu secara periodik.

Karena itu, ketika seorang pemimpin sudah habis masa jabatannya, maka harus dipastikan penggantinya telah tersedia agar tidak menimbulkan kekosongan jabatan. Estafet kepemimpinan wajib dijaga sehingga terjadi kesinambungan bagi jalannya pemerintahan.

Di sinilah pentingnya pemilu dilaksanakan secara terencana yang menurut ketentuan konstitusi Indonesia wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Salah satu contoh nyata dari dampak buruk akibat terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) adalah runtuhnya Yugoslavia. Negara tersebut awalnya adalah negara besar, tapi kemudian terpecah belah menjadi beberapa negara kecil karena muncul disintegrasi.

Peraturan perundangan-undangan di Indonesia sebenarnya sudah mengantisipasi agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan. Misalnya, ketika Wakil Presiden berhalangan di tengah masa jabatannya, menurut Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 Presiden berhak untuk mengajukan dua nama sebagai calon pengganti kepada Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) untuk memilih salah satunya sebagai Wakil Presiden.

Jika yang berhalangan tetap adalah Presiden, secara otomatis yang akan menggantikannya adalah Wakil Presiden. Namun apabila yang berhalangan tetap adalah keduanya (Presiden dan Wakil Presiden) secara bersamaan, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 kendali kekuasaan negara akan dipegang oleh tiga kementerian (triumvirat) yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan.

Sayangnya, peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur perihal kekosongan kekuasaan negara yang disebabkan oleh penundaan pemilu. Ini berpotensi menimbulkan konflik sosial dan huru hara massa.

Apa yang harus dilakukan?

Sudah saatnya Indonesia memiliki perangkat hukum yang komprehensif guna mengatur mengenai hal ini. Peraturan dimaksud harus berisi, di antaranya: Pertama, alasan penundaan pemilu. Peraturan perundangan-undangan harus secara limitatif memberi batasan bahwa pemilu boleh ditunda hanya karena terdapat kondisi yang mengancam keselamatan seluruh bangsa. Di luar alasan itu, harus dilarang.

Kedua, lembaga yang diberi kewenangan memutuskan penundaan pemilu. Sesuai fungsinya yaitu sebagai peradilan tata negara, sebaiknya kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, dan bukan oleh lembaga peradilan biasa.

Ketiga, lama waktu penundaan pemilu. Terkait hal ini misalnya dapat ditawarkan maksimal 3 bulan dengan opsi dapat dievaluasi dan diperpanjang kembali sesuai kebutuhan berdasarkan putusan pengadilan.

Keempat, pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa periode pemerintahan sudah berakhir sementara belum dihasilkan penguasa baru akibat pemilunya ditunda. Terkait hal ini, yang paling rasional dan mudah dilakukan adalah dengan memperpanjang masa kekuasaan pemerintahan yang ada sebelumnya.

Dengan adanya peraturan yang mengatur soal penundaan pemilu ini diharapkan ada kepastian hukum. Sehingga bila situasinya mengharuskan pemilu ditunda, tidak akan menimbulkan kekosongan kekuasaan yang dapat berakibat munculnya kegaduhan sosial dan instabilitas pemerintahan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 7 April 2023

Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII.

Categories
Hukum

Kita Belum Punya UU Contempt of Court

Masyarakat harus diberi pencerahan agar tak tertipu dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku ahli atau sangat menguasai.

Banyak sarjana hukum mengira penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) sebagai nama tindak pidana itu sudah ada. Padahal, di Indonesia, belum ada nama dan unsur untuk jenis tindak pidana tentang itu.

Baru-baru ini kita dikejutkan oleh viralnya seorang pengacara atau advokat yang berteriak kalap dan akan memperkarakan seseorang, sebutlah Pak Fulan, ke peradilan pidana.

Alasannya, katanya, Pak Fulan melakukan kejahatan, karena Pak Fulan memberi opini atas perkara yang sedang ditanganinya. Pengacara ini dengan lantang mengaku dirinya ahli pidana dan sangat menguasai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Padahal, Pak Fulan tak berbicara sama sekali tentang perkara yang dia tangani. Ketika ditanya, Pak Fulan tak peduli dan tertawa ringan atas sensasi itu.

Meskipun begitu, kita harus memberikan pencerahan kepada masyarakat karena hal tersebut merupakan tragedi profesionalisme seorang pengacara yang tak paham bedanya hukum dan ilmu hukum. Masyarakat harus diberi pencerahan agar tak tertipu dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku ahli atau sangat menguasai.

Pemahaman tentang ini sangat penting tidak hanya bagi pembelajar, pengamat, dan profesional hukum, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya agar tak disesatkan pikiran dan pemahamannya.

Ada dua hal di sini. Pertama, tentang opini atau pendapat hukum atas perkara yang sedang berlangsung, termasuk mulai dari mediasi, di pengadilan.

Kedua, Pak Fulan akan diperkarakan melakukan kejahatan contempt of court karena mengomentari perkara yang sedang berjalan di pengadilan (dalam kasus ini perkara sudah masuk tahap mediasi setelah sidang pemeriksaan perkara dimulai).

Opini atau pendapat hukum

Tiba-tiba si pengacara berteriak bahwa Pak Fulan telah mengomentari perkara yang sedang ditanganinya dan sedang dalam tahap mediasi di pengadilan. Katanya, perkara yang sedang berlangsung atau tahap mediasi di pengadilan tak boleh dikomentari.

Wow, ilmu hukum dari mana itu?

Justru para pakar, pengamat, wartawan, dan sebagainya sangat boleh mengomentari dan beropini tentang perkara yang belum ataupun sedang berjalan di pengadilan.

Saat ini, dari luar gedung pengadilan hampir semua televisi dan podcast justru menyiarkan opini pakar dan profesional hukum tentang perkara yang sedang berlangsung ataupun baru pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Sebutlah, opini tentang peradilan Zarof Ricar, opini tentang penyuapan hakim di Jakarta Selatan, bahkan opini tentang perkara ijazah asli atau palsu yang sedang berproses di Bareskrim dan di Polda Metro Jaya.

Itu sangat boleh dilakukan. Saat Ferdi Sambo diselidiki, disidik, dan disidang di pengadilan, semua pakar diundang ke televisi, ke podcast-podcast, bahkan ke sidang pengadilan, untuk memberi opini dari sudut keahliannya.

Bukan hanya ahli hukum, melainkan juga ikut dan diminta memberi opini ahli-ahli di bidang lain, seperti ahli psikologi, ahli TI, dan ahli sosiologi, yang semua berbicara dari dalam ataupun dari luar pengadilan untuk memberi legal opinion. Sang pengacara tidak tahu bahwa yang tidak boleh mengomentari perkara yang sedang berlangsung hanya hakim yang menangani perkara itu.

Itu pun masuk dalam masalah etika, bukan masalah pidana. Bahkan pengacara dan jaksa boleh mengomentari perkara yang sedang ditanganinya dari luar persidangan. Oleh karena itu, mereka sering berdebat melalui media massa dengan para pengacara, bahkan instansi penegak hukum menggunakan humas resmi untuk meladeni adu pendapat dan penilaian.

Sang pengacara bilang, Pak Fulan yang mengomentari perkara sebagai pembicara kunci pada satu seminar di kampus akan dilaporkan ke polisi karena melakukan kejahatan pidana, berupa contempt of court. Memangnya, dalam undang-undang apa dan pasal berapa diatur tindak pidana contempt of court bagi yang mengomentari atau mengulas suatu perkara?

Ada yang disamakan

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang ada jenis tindak pidana yang sering disamakan dengan contempt of court, seperti Pasal 207 dan Pasal 217. Namun, nama kejahatan untuk jenis kejahatan yang diatur oleh kedua pasal tersebut bukan contempt of court (penghinaan atas peradilan), melainkan, seperti menjadi judul Bab VIII KUHP, disebut kejahatan terhadap penguasa umum.

Dalam kedua pasal itu sama sekali tak ada ketentuan bahwa mengomentari perkara yang sedang berlangsung di pengadilan termasuk kategori kejahatan terhadap penguasa umum, apalagi contempt of court. Tidak ada isi frasa yang seperti itu. Ingat, di dalam hukum pidana tidak boleh ada analogi atau membuat ”kias” yang meng-”gatuk-gatukkan”.

Pasal 207 KUHP mengatur, ”Barang siapa yang dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Sementara, yang diatur dalam Pasal 2017 KUHP adalah larangan menimbulkan kegaduhan dalam ”sidang” pengadilan. Bunyinya, ”Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”.

Jadi, ketentuan Pasal 207 dan Pasal 217—sesuai dengan judul bab yang menaungi (Bab VIII) dalam KUHP, yang masih berlaku sekarang—disebut kejahatan terhadap penguasa umum. Di dalam KUHP yang baru, yakni UU No 1 Tahun 2023 yang akan mulai berlaku Januari 2026, tidak ada juga kualifikasi tindak pidana penghinaan terhadap peradilan atau contempt of court yang oleh si pengacara tersebut disebut kejahatan.

KUHP yang baru tetap memberlakukan substansi Pasal 207 dan Pasal 217 yang ada di KUHP lama. Substansi Pasal 207 KUHP yang lama dimasukkan ke dalam Pasal 240 KUHP yang baru dengan kualifikasi penghinaan terhadap penguasa umum. Sementara itu, substansi Pasal 217 KUHP yang lama dimasukkan ke dalam Pasal 281 KUHP baru dengan kualifikasi sebagai gangguan (bukan hinaan) terhadap proses peradilan.

Di dalam kedua pasal itu juga tidak ada larangan dan ancaman hukuman bagi orang yang mengomentari atau beropini terhadap perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Mengomentari perkara dari ruang sidang pengadilan pada umumnya malah dianggap penting guna mengawasi jalannya pengadilan yang memang harus terbuka untuk umum.

Janji pembentukan UU ”contempt of court”

Terlepas dari soal adanya ketidakpahaman sebagian sarjana hukum atas perbedaan antara hukum dan ilmu hukum, tepatnya antara ius constitutum dan ius constituendum, adanya UU tentang contempt of court di Indonesia memang diperlukan.

Saat ini gejala penghinaan atas martabat pengadilan memang kerap terjadi, bukan hanya oleh orang-orang yang berperkara, bisa juga oleh hakim yang mengadili suatu perkara karena perilakunya yang tak pantas. Jika ada hakim, misalnya, ikut bertepuk tangan ketika seorang koruptor divonis ringan, padahal sidang belum ditutup, hal itu melanggar etika.

Kita belum mempunyai undang-undang tentang contempt of court, tetapi negara sudah lama menjanjikan untuk membuat undang-undang itu. Kita bisa melihat janji negara itu, misalnya, dalam UU No 14 Tahun 1985 yang telah diperbarui dengan UU No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Dalam Penjelasan Umum Butir 4 UU tentang Mahkamah Agung itu ditegaskan tentang perlunya pembentukan undang-undang khusus yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, yang dikenal sebagai contempt of court.

Kita catat bahwa bunyi Butir 4 Penjelasan UU Mahkamah Agung tersebut adalah janji negara yang sudah ditulis selama sekitar 40 tahun (sejak 1985).

Oleh karena itu, kita perlu melakukan langkah-langkah yang lebih konkret untuk melanjutkan upaya mewujudkannya. Bahan-bahan untuk ini sudah cukup banyak. Instrumen The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), ditambah dengan pengalaman kita sendiri, perlu digali nilai-nilainya untuk dinormakan dalam hukum tentang contempt of court.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 12 Mei 2025


Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).