Categories
Islam Pilihan

Satu Abad NU: Empat Hal yang Perlu Disiapkan Ormas Islam Terbesar di Indonesia ini untuk Memasuki Usia Abad Ke-2

Nahdlatul Ulama (NU) memasuki usia 100 tahun pada 7 Februari 2023 (berdasarkan penanggalan Hijriah). Melalui organisasi ini, para ulama Indonesia telah, dan masih, menghidupkan tradisi Islam yang menghormati keberagaman pemikiran keagamaan di tengah berkembangnya pemahaman dan penafsiran yang menolak praktik agama berdasarkan perkembangan modern.

Dalam sejarahnya, sejak diresmikan pada tahun 1926, NU telah menjalani dinamika yang pelik. Ini termasuk melalui periode-periode saat menjadi partai politik pada awal tahun 1950-an, lalu menghadapi rezim Orde Baru, hingga merangkak menjadi organisasi Islam dominan di era Reformasi.

Setelah meraih pengaruh secara politik dan keagamaan di tingkat nasional, NU kini mulai memperkuat kehadirannya di tingkat global. Salah satu upayanya adalah dengan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keagaman (Religion-20/R20), bagian dari perhelatan G20 2022 di Bali pada November lalu.

Namun, kuatnya posisi NU secara nasional dan meluasnya kiprah NU di ranah global saat ini bukan berarti organisasi ini tidak akan menghadapi tantangan ke depannya.

Setidaknya ada empat hal yang dapat disiapkan untuk menghadapi ragam tantangan memasuki abad ke-2 organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.

  1. Dakwah yang luwes tanpa menjegal

Pengunaan media sosial secara intensif dalam satu dekade belakangan telah menciptakan kontestasi baru untuk merebut dominasi atas otoritas keagamaan Islam di Indonesia.

Munculnya kanal-kanal dakwah Salafi yang berfokus pada penafsiran ajaran keagamaan secara literal menurut Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab, dan adanya gerakan kebangkitan semangat keagamaan (religious resurgence) melalui gelombang hijrah – kecenderungan mengajak menjadi seorang Muslim yang merujuk ke ajaran Islam ‘puritan’ atau sesuai dengan nilai pada masa awal Islam – mulai menggeser dominasi NU yang cenderung moderat.

Kanal-kanal dakwah Salafi dikenal dengan kajian-kajiannya yang tampak dikemas secara serius untuk kalangan Muslim di perkotaan. Sedangkan aktivitas gerakan hijrah banyak menyasar komunitas kaum muda yang awalnya aktif di klub musik atau geng motor.

Prinsip akidah (ketuhanan), fikih (hukum Islam), dan cara hidup keseharian yang diajarkan oleh pendakwah Salafi dan penggagas hijrah seringkali dianggap berlawanan dengan pakem yang diajarkan oleh NU lewat pemahaman Aswaja an-Nahdliyah. Ini merupakan ajaran Islam Sunni menurut penafsiran para ulama NU di Indonesia yang mengedepankan kontekstualisasi ajaran Islam terhadap budaya lokal dan cara hidup masyarakat setempat.

Beberapa ulama NU kerap mengritik dakwah Salafi karena dianggap menginterpretasi akidah dan fikih Islam secara kaku dan keras. Mereka juga berpandangan bahwa aktivis hijrah terlalu “sembarangan” dalam mengajarkan agama. Misalnya, ada komunitas hijrah yang hanya menekankan ajakan untuk segera menikah dan tidak pacaran, padahal perkara menikah pun membutuhkan beragam hal yang harus dipersiapkan dengan matang.

Bagi NU, kelompok-kelompok tersebut dapat berdampak buruk terhadap hubungan sesama Muslim dan, dalam jangka panjang, dikhawatirkan akan memperburuk kualitas demokrasi Indonesia.

Atas alasan tersebut, Lembaga Dakwah Pengurus Besar NU (PBNU) sempat meminta agar pemerintah dapat tegas melarang segala bentuk kegiatan dakwah yang diadakan oleh jamaah Salafi dan aktivis hijrah yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Namun, pembubaran dan pelarangan seperti itu justru akan membuat wacana keagamaan menjadi kaku dan tidak dinamis. Pada era keterbukaan media ini, NU seharusnya tidak mengambil langkah kontraproduktif yang justru akan membuat NU kehilangan simpati dari masyarakat Muslim yang saat ini sudah memiliki banyak opsi  dalam memilih konten dakwah.

Untuk melawan narasi agama yang radikal dan ekstrem, NU perlu lebih kreatif dalam mengemas ulang konten dakwah sesuai kebutuhan audiens.

NU memang sudah mulai melakukan langkah tersebut. Sebagai contoh, kanal resmi NU, NUOnline, menggaet pasangan dai atau pendakwah muda, Rifqil Muslim Suyuthi dan Imaz Fathimatuz Zahra, untuk membuat konten bersama yang menyasar generasi muda. Ada pula tokoh NU, Ulil Absar Abdalla yang mengadakan pengajian filsafat dan tasawuf (aliran sufisme) bernama Ngaji Ihya, serta Komunitas Santri Gayeng dengan program Kajian Tafsir yang dibawakan oleh ulama senior NU Bahauddin Nursalim dan Taj Yasin. Selain itu, ada inisiatif-inisiatif lain pula yang telah berhasil meraih perhatian masyarakat secara signifikan.

Dalam tahun-tahun kedepan, NU perlu mengintensifkan adanya dialog intraagama dengan melibatkan kelompok-kelompok Islam lainnya yang barangkali memiliki paham dan interpretasi berbeda. Harapannya, ini dapat menyinergikan dan menguatkan narasi keislaman yang senafas dengan semangat kebangsaan Indonesia.

  1. Amaliah dan amal usaha yang sejalan

NU dikenal sebagai organisasi yang rutin mengadakan “amaliah” atau serangkaian ritual pembacaan doa, salawat dan maulid (perayaan kelahiran Nabi Muhammad) – biasanya diadakan paling tidak seminggu sekali.

Namun, NU masih belum cukup strategis dalam menguatkan kapasitas material dan ekonomi para penggerak organisasinya, baik untuk individu maupun institusi pendidikan NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Padahal, potensi ekonomi NU dibutuhkan untuk keberlangsungan dan kemandirian NU secara organisasi.

Dalam mengoptimalkan potensi ekonominya, NU dapat belajar dari Muhammadiyah. Melalui konsep amal usaha, Muhammadiyah telah berhasil membangun sistem administrasi dan bisnis yang rapi dan membuat organisasi Islam kedua di Indonesia itu mampu menguatkan kemandirian ekonominya.

NU memang telah memiliki ragam amal usaha, seperti rumah sakit dan universitas. Beberapa upaya juga telah dilaksanakan NU untuk menguatkan potensi ekonomi yang bersifat link-and-match (penyesuaian kompetensi lulusan sekolah kejuruan dengan kebutuhan dunia kerja) di daerah, seperti rencana pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Masa Depan di Kawasan Industri Terpadu Batang, Jawa Tengah.

Hanya saja, untuk mengoptimalkan perkembangan amal usaha kedepannya, NU perlu melakukan standardisasi tata laksana administrasi serta membuat pangkalan data yang dapat memetakan potensi ekonomi NU di setiap daerah.

  1. Potensi diaspora untuk wacana globalisasi NU

Diaspora NU merupakan salah satu potensi besar yang akan menjadi penentu dalam menguatkan organisasi NU selama seratus tahun ke depan.

Terminologi diaspora NU lahir dari adanya cabang kepengurusan NU yang hadir di negara-negara di kawasan Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun 2000-an. Banyak kader NU telah menyelesaikan studi di berbagai negara, kemudian menetap dan melanjutkan karirnya di negara-negara tersebut. Ini termasuk akademisi Nadirsyah Hosen yang kini bekerja di Monash University di Australia, praktisi teknologi informasi Ainun Najib yang kini tinggal di Singapura, dan pakar teknik industri Hendro Wicaksono di Jerman.

Diaspora NU di tiap negara memiliki pola keahlian dan corak yang berbeda-beda. Contoh yang menarik adalah cabang NU Korea Selatan yang digerakkan oleh mahasiswa pascasarjana dan pekerja padat karya yang terdidik di perusahaan-perusahaan Korea Selatan. Sementara diaspora NU yang berada di negara-negara Barat kebanyakan terdiri dari profesional dan akademisi.

Diaspora NU ini tentunya dapat berperan dalam upaya globalisasi wacana Islam yang bernuansa Indonesia melalui masjid-masjid dan musala NU di berbagai negara.

  1. Cermat dalam menanggapi wacana Islam alternatif

Di media sosial, kerap muncul perdebatan panas tentang isu-isu sosial kemasyarakatan, seperti tentang peran gender dan ragam identitas gender, yang selalu memancing kubu konservatif dan liberal.

Belum lama ini, pernyataan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf seputar larangan paham feminisme di badan otonomi NU, seperti Fatayat dan PMII Korps Putri, telah menimbulkan kontroversi di internal dan eksternal NU.

Banyak tokoh publikaktivis, dan akademisi Islam mempertanyakan sikap Yahya dan mengkritik pernyataan tersebut.

Makin kencangnya perdebatan terkait dengan wacana gender maupun tumbuhnya gerakan-gerakan lain yang bernuansa ideologis di dalam tubuh NU juga harus disikapi secara cermat.

Husein Muhamad, salah satu ulama senior NU, pernah menyampaikan 7 nalar moderat yang perlu diingat dalam menghadapi dinamika wacana yang berkembang di era mendatang: (1) pemberian ruang pada pihak yang berbeda pendapat; (2) penghargaan pada pilihan keyakinan dan pandangan hidup; (3) tidak memaksakan kebenaran individu dan memutlakkan kesalahan orang; (4) penolakan akan makna tunggal atas teks keagamaan; (5) penolakan terhadap kekerasan atas nama apapun; (6) terbuka terhadap kritik yang konstruktif; (7) mencari pandangan yang adil dan maslahat bagi kehidupan bersama.

Nilai-nilai itulah yang harus tetap dipegang teguh oleh NU dalam mengarungi perjalanannya memasuki abad ke-2.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 7 Februari 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Politik

Setelah ‘Presidential Threshold’

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024 patut masuk dalam deretan Landmark Decision Pengadilan Indonesia. Setelah setidaknya melalui 33 kali proses judicial review, ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dikabulkan dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Selama ini, MK selalu mentok dengan klausa bahwa presidential threshold adalah konstitusional dan merupakan open legal policy pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.

Satu pertimbangan yang patut kita apresiasi bersama adalah MK menyatakan bahwa presidential threshold sekalipun adalah open legal policy, namun harus dikesampingkan demi melindungi kedaulatan rakyat dan hak pilih. Tentu saja, perlindungan atas hak pilih warga negara, sebagai instrumen penting hak asasi manusia, harus diutamakan dari pada aspek open legal policy. Artinya, memilih dan mengusulkan calon presiden adalah hak warga negara yang harus dilindungi dan diutamakan, jika hak itu terhalang oleh ketentuan presidential threshold 20% suara parlemen, maka sejatinya memang ketentuan presidential threshold itu yang harus dibatalkan. Konstitusi memang tidak menentukan dan mengatur mengenai presidential threshold, namun pengaturan 20% yang ada di UU Pemilu, jelas mengenyampingkan hak pilih dan melanggar prinsip demokrasi itu sendiri.

Tantangan ke Depan

Pasca Putusan MK Nomor 62/PUU- XXII/2024, muncul berbagai macam isu, terutama isu ipembangkangan konstitusionalî DPR dan pemerintah sebagai lembaga pembentuk undang-undang. Ada skenario yang beredar bahwa DPR dan Pemerintah akan mengenyampingkan Putusan MK dalam UU Pemilu terbaru, artinya akan tetap mengakomodir eksistensi presidential threshold. Tentu kita berharap, wacana ini tidak akan pernah ditempuh oleh DPR dan pemerintah, karena selain akan memunculkan gejolak penolakan masyarakat sipil dimana-mana, wacana ini juga akan semakin menjauhkan DPR sebagai wakil rakyat dengan rakyatnya sendiri karena perbedaan kehendak. Selain itu, jalan ini hampir dipastikan akan sia-sia karena UU baru yang disahkan nanti akan dibawa kembali MK untuk dibatalkan. Dengan logika yang sama, ketentuan presidential threshold juga akan dibatalkan kembali oleh MK.

Di luar itu, ada dua tantangan lain di depan yang patut menjadi pemikiran bersama pasca Putusan MK ini. Pertama, jika MK membatalkan ketentuan presidential threshold, yang artinya semua partai politik dapat mengusung dan mengusulkan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pemilu, maka partai politik mana yang berhak untuk mencalonkan pa- sangan Presiden dan Wakil Presiden tersebut? Apakah semua partai peserta pemilu? Artinya partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Atau kah hanya partai politik yang lolos parlement threshold saja yang dapat mengusung calon? Jika pilihan kedua yang diambil, pertanyaan berikutnya adalah kapan periode parlement threshold dihitung? Karena tidak mungkin pada periode yang sama, mengingat pemilu presiden dan DPR diselenggarakan secara bersamaan. Jika menggunakan standar parlement threshold pemilu sebelumnya, apakah mencerminkan keadilan bagi partai baru pasca putusan MK nantinya?

Kedua, dihapuskannya presidential threshold atas dasar pertimbangan perlindungan demokrasi, hak pilih, dan kedaulatan rakyat, maka memantik pula wacana agar juga menghapuskan parlement threshold. Artinya, semua partai politik yang dinyatakan oleh KPU lolos verifikasi dan menjadi peserta pemilu, sepanjang calon anggota DPR-nya mendapatkan suara terbanyak, maka dapat memiliki wakil di parlemen. Selain itu, skema ini akan relevan dengan penghapusan presidential threshold yang sebelumnya sudah dilakukan. Secara teknis, parlement threshold juga tidak dibutuhkan karena persyaratan menjadi peserta pemilu, sebagaimana akan diverifikasi oleh KPU sangatlah berat, jadi cukup itu saja yang dibenahi dan menjadi pintu seleksi partai politik untuk memiliki wakil di parlemen. Sedang secara filosofis, adalah tidak fair jika ada seorang calon dari partai politik yang mendapatkan suara terbanyak di wilayah tertentu, namun gagal menjadi anggota DPR dan suaranya hangus karena partai politiknya tidak lolos parlementer threshold. Situasi ini unfair bukan saja bagi calon dan partai politik, namun juga bagi rakyat yang sudah memilihnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 10 Januari 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. 

 

Categories
Lingkungan Pilihan

Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki

Lebih dari 60% wilayah Aceh atau 3,2 juta ha merupakan kawasan hutan.

Luasan ini membuat risiko perambahan hutan ilegal kian tinggi. Pada 20ekofeminismen 2.418 kasus pembalakan liar di Aceh.

Menurut pengamatan warga sekitar hutan, pelaku penebangan yang tertangkap hampir selalu laki-laki. Pengaduan masyarakat ke otoritas setempat seputar penebangan dan perburuan liar juga nyaris menemui jalan buntu.

Di sinilah kelompok Mpu Uteun (istilah dari bahasa Gayo yang berarti penjaga hutan) muncul di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Sejumlah perempuan membentuk kelompok ini sejak 2015 karena merasa resah dengan risiko bencana akibat perambahan hutan. Pada tahun itu, Desa Damaran Baru dilanda banjir bandang yang merusak puluhan rumah dan membuat warga mengungsi.

Mpu Uteun berpatroli mengatasi penebangan liar maupun perburuan, membongkar jerat pemburu, mendokumentasikan tanaman maupun satwa asli setempat, hingga menanam pohon.

Penelitian kami (masih dalam proses peninjauan) secara khusus membahas Mpu Uteun sebagai kelompok perempuan penjaga hutan pertama di Aceh. Kami menganggap kelompok ini penting karena menjadi contoh gerakan ekofeminisme untuk melawan tradisi patriarki yang menjadi sebab perambahan hutan di provinsi Aceh.

Mpu Uteun melawan dominasi laki-laki

Ekofeminisme adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta kerusakan lingkungan hidup dengan subordinasi dan pengekangan perempuan.

Pakar filsafat lingkungan dari Macalaster College Minnesota di Amerika Serikat, Karen Warren, dalam bukunya Ecofeminist Philosophy menjelaskan bahwa filosofi ekofeminisme berfokus pada tiga aspek yang saling berhubungan: 1) feminisme; 2) alam, ilmu pengetahuan (terutama ekologi), pembangunan, dan teknologi; dan 3) perspektif lokal dan masyarakat asli.

Dalam konteks Mpu Uteun, aspek feminisme muncul dalam peran kelompok ini untuk melindungi hutan. Mereka menyadari kerusakan hutan akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Kesadaran ini memicu anggota Mpu Uteun melakukan patroli hutan.

Di Aceh, kegiatan menjaga hutan lazim dilakukan laki-laki. Hal ini berangkat dari budaya patriarki bahwa laki-laki bertanggung jawab mencari nafkah, sehingga pengampuan hutan secara tidak langsung menjadi tugas mereka. Sementara, perempuan dianggap hanya cukup mengurus rumah tangga.

Karena itulah Mpu Uteun berdiri untuk ‘melawan’. Pendiri Mpu Uteun, Sumini, menyatakan bahwa perempuan turut merasa gusar terhadap perusakan alam dan berhak mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, upaya perlawanan ini tidak mudah. Anggota Mpu Uteun pada awalnya mendapatkan stigma sebagai perempuan tidak bermoral dari warga sekitar. Beberapa orang pun mencibir usaha mereka karena menganggap hutan bukanlah urusan perempuan.

Namun, perlahan-lahan, upaya mereka berbuah manis. Banyak orang, termasuk laki-laki eks penebang liar ataupun pemburu trenggiling, yang ‘menebus dosa’ dengan bergabung dalam Mpu Uteun.

Aktivitas Mpu Uteun pun diakui oleh pemerintah. Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan hak pengelolaan hutan desa kepada mereka. Pengakuan pemerintah terhadap perjuangan Mpu Uteun inilah, menurut kami, yang membuat gerakan mereka sesuai dengan aspek kedua ekofeminisme.

Sementara, Mpu Uteun jelas memenuhi aspek ketiga dalam ekofeminisme yaitu pengetahuan lokal. Para perempuan pendirinya bukan berasal dari kabupaten ataupun provinsi luar Aceh. Mereka adalah perempuan desa setempat yang menggantungkan hidup pada hutan. Upaya perlindungan hutan pun mereka mulai berdasarkan perspektif warga terhadap alam yang sudah ada turun-temurun.

Inilah sebabnya mengapa gerakan Mpu Uteun diamini oleh masyarakat setempat. Kelompok ini mendasarkan pencarian solusi dari perspektif masyarakat lokal, atas masalah lingkungan yang mereka alami sehari-hari.

Pengutamaan perempuan dalam pengelolaan hutan

Kelompok perempuan pengampu alam sudah lama bermunculan. Di Indonesia, ada perempuan Dayak Benawan di Kalimantan Barat, perempuan Kendeng di Jawa Tengah, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Taman Nasional Kerinci Seblat, atau perempuan Mollo di Nusa Tenggara Barat.

Sayangnya, karena budaya patriarki yang masih kental di Indonesia, sektor hutan dan lahan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan hanya memegang peran marginal dalam proses pembuatan kebijakan di sektor ini.

Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengubah situasi ini. Perempuan harus terlibat secara memadai dan berarti sejak tahap perencanaan pengelolaan sektor hutan dan lahan. Program ataupun kebijakan yang mengecilkan perempuan justru berisiko tak efektif atau bahkan berdampak lebih buruk terhadap kaum hawa.

Langkah praktis dapat dimulai dengan pemakaian perspektif ekofeminisme dalam perencanaan program ataupun kebijakan, misalnya dengan pelibatan perempuan setempat dalam perencanaan pengelolaan hutan di suatu daerah. Harapannya, suara perempuan bisa lebih didengarkan, terutama yang berasal dari komunitas lokal dan merasakan dampak langsung kerusakan hutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 April 2023

Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset meliputi masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Islam

Mengapa Ada Perbedaan dalam Penentuan Awal Puasa dan Lebaran?

Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan setiap tahunnya hampir jadi perbincangan masyarakat Indonesia. Ramadan adalah bulan kesembilan dalam sistem penanggalan Hijriah (penanggalan Islam berdasarkan peredaran bulan terhadap Bumi).

Bagi umat Islam, penentuan awal bulan Ramadan dan bulan Syawal cukup krusial. Sebab, hukum Islam mewajibkan ibadah puasa sejak 1 Ramadan (hari pertama puasa). Islam pun mengharamkan Muslim berpuasa pada 1 Syawal.

Syawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Islam setelah bulan suci Ramadhan. Hari pertama di bulan Syawal inilah yang kita rayakan sebagai Hari Raya Idulfitri.

Penentuan tanggal hari raya yang tepat dan akurat menjadi penting untuk memastikan ibadah sesuai dengan waktunya.

Selama ini, sebagian besar umat Muslim merujuk pada penentuan awal dan akhir Ramadan dari dua sumber mainstream, yakni pemerintah – yang diikuti oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) – dan organisasi Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Keduanya hampir selalu menetapkan tanggal awal dan akhir Ramadan yang berbeda karena memiliki metode penentuan yang tidak sama.

Perbedaan metode: apa dan bagaimana

Secara umum, ada dua metode utama dalam menentukan hari raya Islam dan penanggalan Islam.

Metode pertama adalah metode Rukyatul Hilal atau singkatnya disebut Rukyat (penglihatan).

Dalam metode Rukyat, awal dan akhir bulan ditentukan pada penglihatan yang jelas terhadap bulan baru.

Metode Rukyat sudah diadopsi oleh pemuka Islam sejak awal mula peradaban Islam. Sebab, kemunculan bulan baru merupakan peristiwa alami dan dapat diamati secara langsung.

Beberapa hadis Nabi juga secara jelas mengarahkan umat untuk melakukan Rukyat. Misalnya: “berpuasalah ketika kamu melihat bulan baru (Ramadan), dan berbukalah/akhirilah bulan puasa ketika kamu melihat bulan baru (Syawal)”.

Landasan hadis ini diadopsi secara umum oleh banyak pemerintahan negara dengan penduduk mayoritas Muslim hingga hari ini.

Metode Rukyat dianggap lebih kuat bagi penganutnya karena bulan baru bisa dilihat dengan jelas dan sudah menjadi tradisi sejak era Nabi Muhammad. Ditambah adanya peralatan astronomi yang canggih saat ini, aktivitas Rukyat dapat berjalan dengan lebih baik.

Metode kedua adalah metode hisab atau metode penghitungan. Dalam metode hisab, awal dan akhir bulan ditentukan pada penghitungan hari kalender Hijriah berdasarkan pada kalkulasi matematis dan astronomis.

Metode hisab biasanya dilakukan oleh para ahli falak. Mereka adalah pakar yang mendalami peredaran benda-benda angkasa yang dapat digunakan untuk menghitung penanggalan dan siklus astronomis seperti gerhana.

Secara global, ada beberapa institusi Islam yang menganut metode Hisab, salah satunya adalah Ummul Qura, salah satu universitas Islam terkemuka di Arab Saudi.

Di Indonesia, metode Hisab diterapkan oleh Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang mengusung upaya tajdid (pembaruan) hukum Islam. Muhammadiyah menggunakan metode yang disebut Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang artinya penghitungan kalender berdasarkan posisi astronomis bulan tanpa harus dikonfirmasi melalui penampakan fisik secara langsung.

Bagi Muhammadiyah, ada dua alasan mengapa penggunaan metode Hisab ini penting.

Pertama, Muhammadiyah memandang metode hisab sesuai dengan kondisi masyarakat Muslim saat ini, yaitu yang telah terdidik dengan baik dalam ilmu astronomi, matematika dan fisika.

Pada zaman Nabi Muhammad (abad ke-7 Masehi), masyarakat Muslim belum memahami cara menghitung dengan baik, sehingga Nabi Muhammad memberikan arahan agar awal bulan ditentukan dengan penglihatan bulan sabit langsung dengan mata telanjang. Dalam konteks sejarah, ketidakmampuan masyarakat Muslim dalam ilmu matematika dan astronomi ini menjadi ‘illat (alasan hukum) dalam dianjurkannya metode Rukyat ketimbang Hisab.

Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, alasan tersebut menjadi semakin tidak relevan. Ini membuat Muhammadiyah mengadopsi metode hisab yang lebih saintifik.

Kedua, Muhammadiyah menganggap metode Hisab memiliki kepastian dan akurasi yang lebih besar.

Metode Rukyat, menurut Muhammadiyah, hanya akan memberikan konfirmasi penanggalan untuk satu hari. Sementara, Hisab mengonfirmasi penanggalan untuk rentang waktu yang lebih panjang, sehingga dapat digunakan terus-menerus.

Metode hisab juga dianggap memiliki basis hukum Islam yang jelas.

Sementara itu, pemerintah Indonesia saat ini mengadopsi metode yang mempertemukan perbedaan antara metode Hisab dan Rukyat_. Metode ini disebut Hisab Imkanur Rukyat.

Metode tersebut menekankan pada penggunaan tarikh Hijriah, tapi awal bulan tetap harus dikonfirmasi dengan penglihatan bulan baru secara langsung dengan mata telanjang. Hisab Imkanur Rukyat juga dianggap lebih akurat karena mempertimbangkan faktor atmosfer dan sensitivitas mata dalam observasi bulan baru.

Metode ini sudah diadopsi oleh pemerintah Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Di Indonesia, metode ini menjadi standar yang diterapkan oleh pemerintah, dan diikuti oleh sebagian besar organisasi Muslim di Indonesia, termasuk NU.

Untuk menentukan awal bulan, ada ketinggian tertentu yang harus dicapai bulan. Dalam kriteria MABIMS (pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia dan Malaysia), ketinggian tersebut ditentukan sebesar minimal 3 derajat. Hasil observasi imkanur rukyat kemudian didiskusikan dalam sidang penentuan yang dikenal dengan istilah Sidang Isbat oleh Kementerian Agama.

Penentuan derajat ini ditentukan oleh pendapat para ahli ilmu falak, sesuai dengan pemahaman fikih (ilmu tentang hukum Islam) dan astronomi yang mereka miliki. Ketika hilal tidak dapat dilihat karena berbagai faktor, maka sidang dapat menerapkan istikmal atau penggenapan bulan menjadi 30 hari.

Bisakah mencari jalan tengah?

Dalam salah satu tulisannya, ahli hukum Islam terkemuka di Indonesia, Afifuddin Muhajir, mengutip pendapat dari pakar hukum Islam klasik yakni Taqiyuddin as-Subki. Dia menyatakan bahwa ada kemungkinan untuk mencari jalan tengah (al-manhaj al-wasathi) antara pengadopsi metode Hisab dan Rukyat.

Jalan tengah yang dapat ditempuh adalah pemerintah mengakomodasi ide Hisab dengan mempertimbangkan posisi ilmu astronomi yang bisa divalidasi secara saintifik dan matematis ketimbang metode Rukyat.

Ketika mencapai derajat kepastian yang lebih tinggi, Hisab bisa menggeser Rukyat sebagai metode yang valid.

Di beberapa negara mayoritas Muslim lain, seperti Turki, pemerintahnya melakukan penyatuan kalender Hijriah. Dalam beberapa tahun belakangan, Turki mengadakan Konferensi Internasional Penyatuan Kalender Hijriah sebagai upaya mengembangkan metode Hisab yang universal dan bisa diterima oleh otoritas Muslim sedunia.

Terlepas dari segala macam ketidaksepakatan, ada satu kaidah hukum Islam yang perlu diingat umat Muslim sedunia dalam perbedaan kalender Hijriah, yakni “la yunkaru mukhtalaf fihi, wa innama yunkarul mujma’ ‘alaihi ” .

Dalam hal Hisab dan Rukyat, kaidah tersebut bermakna bahwa perbedaan itu niscaya sehingga tidak boleh diingkari sampai muncul kesepakatan yang bisa diterima oleh otoritas Muslim sedunia.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 18 April 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Meneliti studi gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Politik

In Indonesia, Albanese has a Chance to Reset a Relationship Held Back by Anxiety and Misperceptions

Prime Minister Anthony Albanese has wasted little time taking his first overseas trip since Labor won a historic victory in Australia’s federal election. He’ll head to Indonesia today to meet the country’s new president, Prabowo Subianto.

With both nations entering new political chapters, the visit carries symbolic weight. But it will also have practical importance.

Despite the two nations’ proximity and strengths, the relationship has often been held back by outdated perceptions and strategic hesitation. This is a timely opportunity to reset the relationship.

Prabowo’s emerging foreign policy

Prabowo succeeded outgoing President Joko “Jokowi” Widodo in October after a decade of his infrastructure-driven and globally engaged leadership.

Prabowo, a former army general and defence minister, had projected a populist and nationalist image during his 2024 election campaign. He frequently emphasised Indonesia’s food self-sufficiency, military strength and national sovereignty.

Since taking office, however, he has moderated his tone. While seen by some in the West as assertive, he has signalled a willingness to strengthen bilateral defence ties with Australia. He also has an interest in modernising Indonesia’s military and engaging more transparently with partners.

Still, questions remain about how he will shape Indonesia’s foreign policy. This includes whether he will maintain Jokowi’s emphasis on multilateralism and economic diplomacy. Both are key to the tone and outcomes of Albanese’s visit.

Prabowo’s leadership style is nuanced. Despite his polarising image, Indonesia’s foreign policy is still shaped by pragmatism and non-alignment. As such, Prabowo will likely focus on balancing relations with China, the United States and Russia, while protecting Indonesia’s sovereignty.

Indonesia’s decision to join BRICS, the economic group that includes both China and Russia, for example, should be seen as a diplomatic hedge, not a new geopolitical alignment.

Other recent decisions, such as providing aid to Fiji, suggest an increasingly outward-facing regional posture.

Albanese should offer Prabowo credible alternatives to Russian and Chinese engagement through trade, technology and education exchanges, rather than reacting to Jakarta’s moves with suspicion.

Opportunities for cooperation

In his election campaign, Albanese reaffirmed his government’s commitment to working closely with Southeast Asia. He also promised a foreign policy grounded in diplomacy, climate cooperation and economic diversification.

This provides a strong incentive for both leaders to deepen ties. For Australia, deepening ties with Indonesia supports its Indo-Pacific strategy. The goal: promoting a stable and inclusive regional order, particularly amid concerns over growing strategic competition between the US and China.

For Indonesia, Australia offers investment, education partnerships, and critical expertise in clean energy and innovation.

A free-trade agreement signed in 2019 provides a platform for deeper integration and less competition in certain industries.

For example, there are huge opportunities to collaborate in clean energy, particularly after the neighbours signed a climate partnership last year. The agreement will secure supplies of lithium for Indonesia’s EV battery production, while Australia will gain more export markets for its critical minerals.

People-to-people ties are also vital, while education remains a longstanding pillar of the bilateral relationship.

Both countries face skills shortages in key sectors. Indonesia needs skilled workers in health care, clean technology and digital literacy. Australia has shortages in critical infrastructure, aged care and engineering.

There are good opportunities here for student exchanges, joint employment training programs and other vocational collaborations.

New Australian university campuses in Indonesia are a positive step, but they remain commercially focused and concentrated in elite, urban areas. With over 4,000 universities across the archipelago, these partnerships could go much further.

Where tensions might arise

The relationship is not without friction. Australia’s involvement in the AUKUS agreement, and its close alignment with the United States and United Kingdom, has raised concerns for Indonesia, which has long championed non-alignment.

Jakarta has voiced unease over the perceived risks of nuclear submarine proliferation in the region.

Albanese’s visit is a key opportunity to clarify that AUKUS involves nuclear-powered — not nuclear-armed — submarines. He should also reinforce Australia’s commitment to transparency over the deal. This is essential to avoiding misunderstandings and building trust.

A more recent flashpoint is speculation around a possible Russian military presence in Indonesia — a claim the Indonesian government has firmly denied.

Indonesia’s response exemplifies its longstanding commitment to strategic autonomy. However, the whole ordeal reveals the complexity of Jakarta’s foreign relations, which often involve balancing ties with competing powers.

For Australia, acknowledging Indonesia’s independent foreign policy — rather than interpreting it through a great-power rivalry lens — is critical to sustaining mutual trust.

A chance to re-anchor the relationship

This moment offers both governments the chance to move beyond symbolic gestures toward a deeper, more inclusive and people-centred partnership.

Amid global fragmentation, trust is not just desirable — it’s essential. And while differences remain, they are not insurmountable when guided by mutual respect, strategic patience and a commitment to genuine cooperation.

For Australia, the challenge is to move past strategic anxiety and invest in a resilient, multidimensional relationship with Indonesia. This visit could be the first step in doing just that.

 

The article was published in  The Conversation Indonesia on May 14, 2025.

Hangga Fathana
A lecturer in the Department of International Relations at the Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on Australia studies, global political economy, trade politics, and the dynamics of capitalist development.

Categories
Sosial Budaya

‘Superheroes Never Die’, tapi Peminatnya Menurun di Kalangan Kaum Muda. Mengapa?

 

  • Popularitas film superhero menurun akibat kejenuhan pasar dan narasi yang berulang-ulang
  • Generasi muda semakin kritis terhadap nilai dan representasi dalam film sehingga mudah resisten.
  • Mendengarkan umpan balik penonton penting untuk menjaga keberhasilan film.

Dulu, menonton film superhero itu ibarat “ritual” suci yang dinanti-nanti. Banyak orang, terutama kaum muda, rela antre, berburu tiket jauh-jauh hari, bahkan sampai puasa media sosial demi menghindari spoiler. Tapi sekarang, era kejayaan pahlawan super itu sepertinya mulai redup.

Genre film yang satu dekade terakhir merajai industri perfilman dunia dengan jutaan penonton dan pendapatan miliaran dolar ini belakangan menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Beberapa film terbaru gagal memenuhi ekspektasi box office dan menuai banyak kritik. Bahkan, para kritikus dan komunitas pecinta film terus memberi rating rendah untuk film-film bertema pahlawan super yang baru dirilis. 

Mengapa peminat film superhero menurun?

Sejak kesuksesan besar Avengers: Endgame pada 2019, studio-studio besar seperti Marvel dan DC terus memproduksi film dan serial superhero dalam jumlah besar. Hingga awal 2025, setidaknya sudah ada 35 judul film superhero dari Marvel Cinematic Universe dan 15 judul dari DC Extended Universe.

Tingginya frekuensi perilisan ini membuat banyak penonton merasa lelah dan bosan karena formula cerita yang terkesan diulang-ulang, dengan plot dan karakter yang tidak jauh berbeda.

Situasi ini juga tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran kritis di kalangan kaum muda yang dekat dengan budaya boikot dan cancel culture.

Generasi muda saat ini tidak sekadar menonton, tapi mereka juga memperhatikan nilai-nilai yang diusung sebuah karya. Ini termasuk siapa yang terlibat di balik layar dan bagaimana representasi kelompok sosial tertentu ditampilkan.

Bila dianggap tidak sejalan dengan nilai keadilan sosial, inklusivitas, dan perdamaian, mereka cenderung menolak atau bahkan mengajak orang lain memboikot. Salah satu contohnya adalah seruan boikot terhadap Captain America: Brave New World  (2025) yang dianggap mendukung normalisasi agresi Israel di tengah konflik Israel-Palestina.

Tak hanya aksi, tapi juga narasi

Banyak kaum muda kini menganggap film-film superhero sebagai produk kapitalisme yang mengulang narasi “heroik” dari sudut pandang dominan laki-laki kulit putih dan menyuarakan pesan-pesan usang yang tak lagi relevan. Alih-alih menginspirasi, karakter superhero kini tak ubahnya simbol korporasi yang jauh dari semangat perlawanan atau keadilan sosial.

Penonton film superhero saat ini tidak lagi hanya puas dengan adegan laga dan efek visual khusus yang memukau, tetapi juga menginginkan narasi yang mendalam dan karakter yang menarik. Ketika film superhero gagal memenuhi ekspektasi ini, kekecewaan penonton pun meningkat.

Konsistensi, bukan agenda politik

Faktor lain yang juga semakin disorot dalam penurunan minat film superhero adalah penyisipan agenda politik dan sosial secara berlebihan sehingga film kehilangan daya tarik universal sebagai tontonan keluarga.

Film Lightyear (2022) misalnya, yang ditujukan untuk semua segmentasi usia, dilarang tayang di 14 negara, termasuk Indonesia, karena menampilkan adegan ciuman sesama jenis. Sejumlah penonton mengkritik bagaimana film superhero saat ini lebih berfokus pada agenda representasi LGBTQ+, yang sering kali dianggap sebagai keputusan politis daripada kebutuhan naratif dalam cerita.

Ini misalnya terjadi pada Eternals (2021), yang menghadirkan superhero LGBTIQ+ pertama dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Meskipun film ini menawarkan efek visual yang spektakuler, banyak penonton merasa bahwa pesan sosial yang disisipkan terlalu dipaksakan. Pesan tersebut sulit terhubung dengan cerita utamanya.

Namun, pujian terhadap film ini juga tak kalah banyak. Sang sutradara, Chloe Zao, memperoleh apresiasi atas keberhasilannya menggaungkan isu inklusivitas atau keberagaman, terutama representasi perempuan disabilitas sebagai pahlawan super.

Kontroversi lain muncul dari praktik black-washing atau white-washing. Istilah ini merujuk pada upaya mengubah karakter yang sudah ada dengan ras tertentu demi alasan representasi. Beberapa film superhero mengganti tokoh kulit putih dengan aktor berkulit hitam, atau sebaliknya, tanpa alasan yang kuat dalam cerita. Ini memicu reaksi negatif dari sebagian penonton yang merasa bahwa perubahan ini dilakukan semata-mata demi alasan politik, bukan demi kualitas cerita.

Contohnya adalah reaksi publik terhadap The Little Mermaid versi live-action. Meskipun bukan tentang superhero, film ini menunjukkan bagaimana perubahan besar pada karakter ikonik bisa memicu reaksi keras dari penonton.

Mendengarkan umpan balik

Mendengarkan masukan dari penonton adalah salah satu faktor penting keberhasilan film. Contohnya saat trailer Sonic the Hedgehog (2020) pertama kali dirilis, banyak penggemar yang mengkritik desain karakter Sonic karena dianggap terlalu jauh dari versi aslinya di gim. Pihak studio kemudian melakukan perombakan besar. Hasilnya, film Sonic the Hedgehog sukses di pasaran.

Sebaliknya, ada beberapa adaptasi film yang mengabaikan masukan penggemar dan berujung kegagalan besar. Sebut saja adaptasi live-action dari Dragon Ball Evolution (2009) dan The Last Airbender (2010), yang dibuat dengan pendekatan khas Hollywood tanpa mempertimbangkan esensi cerita dan karakter asli yang sudah dicintai penggemar.

Contoh terbaru terjadi ketika remake Snow White (2025) produksi Disney mencatatkanrating terendah di IMDb: 1,6/10. Kritik tajam datang dari segala arah, bahkan sebelum film dirilis secara luas.

Di sinilah pentingnya studio mendengarkan umpan balik dari penonton dan kritikus. Pemahaman yang mendalam tentang apa yang diinginkan dan diharapkan oleh audiens bisa membantu pengembangan proyek-proyek yang lebih relevan dan menarik, tanpa mengurangi independensi sutradara.

Transparansi studio dalam proses kreatif dan keterlibatan penonton dalam tahap-tahap awal pengembangan bisa membangun kembali kepercayaan dan minat terhadap film superhero.

Penurunan popularitas film superhero bukanlah akhir dari genre ini, melainkan sebuah panggilan untuk inovasi. Dengan adaptasi dan inovasi yang tepat, film superhero bisa kembali merebut hati penonton dan mempertahankan relevansinya dalam lanskap perfilman yang terus berubah.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 26 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop



Categories
Pendidikan

Ketika Tambang Masuk Kampus

Pendirian dan keberlanjutan perguruan tinggi jadi tanggung jawab negara dan masyarakat, dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik.

 

Dalam satu pekan ini publik dikejutkan oleh rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang antara lain membuka peluang bagi perguruan tinggi (PT) menjadi pengelola bisnis tambang.

Ini kejutan kedua dan kelanjutan dari kontroversi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas menjelang akhir pemerintahan Joko Widodo. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, menerima tawaran ini. Apakah kampus juga memilih jalan yang sama?

Penulis mewakili Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) berpendapat, gagasan pemberian IUP kepada PT adalah sesat pikir kebijakan negara (Kompas, 20/1/2025).

Korporatisasi PT

Dalam artikel ”Higher Education in Indonesia: The Political Economy of Institution” (2023), Andrew Rosser mengidentifikasi dua problem predatoris yang menyebabkan krisis PT di Indonesia.

Pertama, ketatnya kontrol politik atas semua keputusan akademik dan non-akademik di kampus. Kedua, manajemen internal yang birokratis. Keduanya warisan Orde Baru dalam pengelolaan kampus. Tujuannya, penundukan sivitas akademika agar selaras dengan politik monoloyalitas pembangunanisme Soeharto.

Meminjam Gramsci, di era Orde Baru, kampus adalah ideological state apparatus yang harus tunduk kepada kemauan pemerintah melalui kementerian pendidikan.

Kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya.

Kontrol kebijakan akademik berlaku lewat mekanisme kerja pengambilan keputusan yang birokratis sejak di level kampus hingga kementerian, baik dalam pemilihan rektor, dekan, maupun perencanaan keuangan.

Kampus adalah kepanjangan tangan negara dalam urusan produksi pengetahuan dan SDM yang menunjang pembangunan. Perbedaan pendapat, apalagi penolakan, dianggap mbalelo, melawan. Risikonya pemecatan rektor, minimal pengurangan jatah anggaran PTN yang bersumber dari APBN.

Intinya, kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya. Dalam konteks ini, kita menjadi paham mengapa suara para rektor PTN cenderung seragam untuk setuju, atau minimal diam, atas rencana pemberian IUP, yang jelas berisiko tinggi bagi reputasi kampus di mata publik.

Anehnya, pascareformasi 1998, kondisi tersebut berlanjut di era Jokowi dan Prabowo. Hal itu berkelindan dengan agenda neoliberalisasi dalam bentuk korporatisasi kampus. Jargon kampus mandiri, merdeka secara ekonomi, lebih kuat. Maknanya: harus mencari uang sendiri dan negara lepas tangan.

Dalam hubungan ini, rencana pemberian IUP dikerangka dalam wacana yang sempit dan pragmatis: tambang akan menjawab kesulitan ekonomi di PT (dahaga anggaran operasional kampus yang tak terpenuhi oleh terbatasnya guyuran dana APBN). Kampus tak ubahnya korporasi biasa, turun jauh marwah sebagai lembaga sosial yang menjaga etika dan tanggung jawab setiap kegiatannya.

Krisis otonomi akademik

UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi pada Pasal 4 memberi mandat kampus dalam pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan membentuk watak, peradaban bangsa yang bermartabat. Maknanya, kampus lembaga sosial yang menjalankan amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sejak pemerintahan Orde Baru, PT terus mengalami represi secara sistemik, ketika menjalankan peran sosial di atas. Merujuk EJ Perry (2019) dalam Educated-acquiescence, represi atau koersi dapat bersifat negatif seperti pemecatan akademisi yang kritis, pelarangan diskusi akademik, atau bersifat positif (positive coercion), seperti pemberian remunerasi dan ”peluang/tugas” jabatan birokrasi serta unit usaha.

Tujuannya sama: menghambat laju pencapaian akademik dan otonomi akademia sebagai kritikus atas kekuasaan yang koruptif. Proyek merdeka belajar kampus merdeka, link & match, hingga IUP adalah bagian dari skenario ini, yang kerap tidak disadari para dosen.

Pendirian dan keberlanjutan PT adalah tanggung jawab negara dan masyarakat dan dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik.

Pemberian IUP yang banyak memicu konflik horizontal jelas bertentangan dengan logika di atas dan memicu krisis reputasi PT di benak publik. Terjadi konflik kepentingan antara peran penyuplai gagasan, SDM, dan evaluator dengan pelaku usaha ekonomi ekstraktif yang menggerus sikap obyektif.

Dalam iklim pendidikan tinggi yang sehat, pola relasi tiga pihak—kampus dengan industri dan pemerintah—seharusnya lebih setara. Ketiganya berbagi tugas masing masing sehingga dapat saling melengkapi, tidak bertabrakan.

Terkait sumber pendanaan dari industri, titik berpijaknya adalah mandat atas tanggung jawab sosial industri ke masyarakat lewat PT yang harus terus diperkuat, bukan penerjunan PT sebagai pelaku, pemilik bisnis berskala besar itu sendiri.

Penting disadari bahwa otonomi PT hanya bisa dirawat lewat fokus kerja sivitas akademikanya pada pelayanan akademik, bukan sambilan setelah mengelola industri tambang atau unit usaha komersial lain.

Akhirnya, jawaban atas krisis keuangan PT belakangan ini harus dikembalikan kepada komitmen alokasi APBN untuk pendidikan, dan evaluasi menyeluruh kinerja kampus sebagai lembaga sosial.

Antara lain untuk menjaga stabilitas dan kualitas, jumlah PT yang terlampau banyak (peringkat kedua di dunia setelah India) dapat ditinjau ulang agar dukungan pendanaan publik ke kampus menjadi lebih rasional.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Januari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.