Categories
Hukum Pilihan Politik

Perlukah TNI Ikut Menjaga Pertandingan Sepak Bola, Konser Musik dan Kegiatan Sipil Lainnya? Bagi Negara Demokrasi, Ini Tidak Lazim

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer.

Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.

Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.

Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.

Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.

Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut
Adanya posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.

Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap “rawan”.

Sementara dalam konser musik, mulai dari pop sampai dangdut, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut berjaga di tengah keramaian.

Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.

Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?

Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’
Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip disertasi Profesor Salim Said, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.

Militer Indonesia lahir selepas Perang Revolusi Nasional 1945-1949 dari gabungan laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.

Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.

Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.

Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “Jalan Tengah” dengan memberikan TNI dua fungsi: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara.

Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.

Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penggunaan alat-alat kekerasan yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.

Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. Tap MPR VI/2000 yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini.

Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.

Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.

Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan UU Polri. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “Sinergitas TNI-Polri”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri.

Gesekan sipil-militer
Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.

Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.

Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.

Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi trained killer.

Prajurit menjadi trained killer bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.

Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Mendamba sebuah perbaikan
Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.

Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi.

Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional.

Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 9 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Islam Pilihan

Satu Abad NU: Empat Hal yang Perlu Disiapkan Ormas Islam Terbesar di Indonesia ini untuk Memasuki Usia Abad Ke-2

Nahdlatul Ulama (NU) memasuki usia 100 tahun pada 7 Februari 2023 (berdasarkan penanggalan Hijriah). Melalui organisasi ini, para ulama Indonesia telah, dan masih, menghidupkan tradisi Islam yang menghormati keberagaman pemikiran keagamaan di tengah berkembangnya pemahaman dan penafsiran yang menolak praktik agama berdasarkan perkembangan modern.

Dalam sejarahnya, sejak diresmikan pada tahun 1926, NU telah menjalani dinamika yang pelik. Ini termasuk melalui periode-periode saat menjadi partai politik pada awal tahun 1950-an, lalu menghadapi rezim Orde Baru, hingga merangkak menjadi organisasi Islam dominan di era Reformasi.

Setelah meraih pengaruh secara politik dan keagamaan di tingkat nasional, NU kini mulai memperkuat kehadirannya di tingkat global. Salah satu upayanya adalah dengan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keagaman (Religion-20/R20), bagian dari perhelatan G20 2022 di Bali pada November lalu.

Namun, kuatnya posisi NU secara nasional dan meluasnya kiprah NU di ranah global saat ini bukan berarti organisasi ini tidak akan menghadapi tantangan ke depannya.

Setidaknya ada empat hal yang dapat disiapkan untuk menghadapi ragam tantangan memasuki abad ke-2 organisasi Islam terbesar di Indonesia ini.

  1. Dakwah yang luwes tanpa menjegal

Pengunaan media sosial secara intensif dalam satu dekade belakangan telah menciptakan kontestasi baru untuk merebut dominasi atas otoritas keagamaan Islam di Indonesia.

Munculnya kanal-kanal dakwah Salafi yang berfokus pada penafsiran ajaran keagamaan secara literal menurut Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab, dan adanya gerakan kebangkitan semangat keagamaan (religious resurgence) melalui gelombang hijrah – kecenderungan mengajak menjadi seorang Muslim yang merujuk ke ajaran Islam ‘puritan’ atau sesuai dengan nilai pada masa awal Islam – mulai menggeser dominasi NU yang cenderung moderat.

Kanal-kanal dakwah Salafi dikenal dengan kajian-kajiannya yang tampak dikemas secara serius untuk kalangan Muslim di perkotaan. Sedangkan aktivitas gerakan hijrah banyak menyasar komunitas kaum muda yang awalnya aktif di klub musik atau geng motor.

Prinsip akidah (ketuhanan), fikih (hukum Islam), dan cara hidup keseharian yang diajarkan oleh pendakwah Salafi dan penggagas hijrah seringkali dianggap berlawanan dengan pakem yang diajarkan oleh NU lewat pemahaman Aswaja an-Nahdliyah. Ini merupakan ajaran Islam Sunni menurut penafsiran para ulama NU di Indonesia yang mengedepankan kontekstualisasi ajaran Islam terhadap budaya lokal dan cara hidup masyarakat setempat.

Beberapa ulama NU kerap mengritik dakwah Salafi karena dianggap menginterpretasi akidah dan fikih Islam secara kaku dan keras. Mereka juga berpandangan bahwa aktivis hijrah terlalu “sembarangan” dalam mengajarkan agama. Misalnya, ada komunitas hijrah yang hanya menekankan ajakan untuk segera menikah dan tidak pacaran, padahal perkara menikah pun membutuhkan beragam hal yang harus dipersiapkan dengan matang.

Bagi NU, kelompok-kelompok tersebut dapat berdampak buruk terhadap hubungan sesama Muslim dan, dalam jangka panjang, dikhawatirkan akan memperburuk kualitas demokrasi Indonesia.

Atas alasan tersebut, Lembaga Dakwah Pengurus Besar NU (PBNU) sempat meminta agar pemerintah dapat tegas melarang segala bentuk kegiatan dakwah yang diadakan oleh jamaah Salafi dan aktivis hijrah yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Namun, pembubaran dan pelarangan seperti itu justru akan membuat wacana keagamaan menjadi kaku dan tidak dinamis. Pada era keterbukaan media ini, NU seharusnya tidak mengambil langkah kontraproduktif yang justru akan membuat NU kehilangan simpati dari masyarakat Muslim yang saat ini sudah memiliki banyak opsi  dalam memilih konten dakwah.

Untuk melawan narasi agama yang radikal dan ekstrem, NU perlu lebih kreatif dalam mengemas ulang konten dakwah sesuai kebutuhan audiens.

NU memang sudah mulai melakukan langkah tersebut. Sebagai contoh, kanal resmi NU, NUOnline, menggaet pasangan dai atau pendakwah muda, Rifqil Muslim Suyuthi dan Imaz Fathimatuz Zahra, untuk membuat konten bersama yang menyasar generasi muda. Ada pula tokoh NU, Ulil Absar Abdalla yang mengadakan pengajian filsafat dan tasawuf (aliran sufisme) bernama Ngaji Ihya, serta Komunitas Santri Gayeng dengan program Kajian Tafsir yang dibawakan oleh ulama senior NU Bahauddin Nursalim dan Taj Yasin. Selain itu, ada inisiatif-inisiatif lain pula yang telah berhasil meraih perhatian masyarakat secara signifikan.

Dalam tahun-tahun kedepan, NU perlu mengintensifkan adanya dialog intraagama dengan melibatkan kelompok-kelompok Islam lainnya yang barangkali memiliki paham dan interpretasi berbeda. Harapannya, ini dapat menyinergikan dan menguatkan narasi keislaman yang senafas dengan semangat kebangsaan Indonesia.

  1. Amaliah dan amal usaha yang sejalan

NU dikenal sebagai organisasi yang rutin mengadakan “amaliah” atau serangkaian ritual pembacaan doa, salawat dan maulid (perayaan kelahiran Nabi Muhammad) – biasanya diadakan paling tidak seminggu sekali.

Namun, NU masih belum cukup strategis dalam menguatkan kapasitas material dan ekonomi para penggerak organisasinya, baik untuk individu maupun institusi pendidikan NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Padahal, potensi ekonomi NU dibutuhkan untuk keberlangsungan dan kemandirian NU secara organisasi.

Dalam mengoptimalkan potensi ekonominya, NU dapat belajar dari Muhammadiyah. Melalui konsep amal usaha, Muhammadiyah telah berhasil membangun sistem administrasi dan bisnis yang rapi dan membuat organisasi Islam kedua di Indonesia itu mampu menguatkan kemandirian ekonominya.

NU memang telah memiliki ragam amal usaha, seperti rumah sakit dan universitas. Beberapa upaya juga telah dilaksanakan NU untuk menguatkan potensi ekonomi yang bersifat link-and-match (penyesuaian kompetensi lulusan sekolah kejuruan dengan kebutuhan dunia kerja) di daerah, seperti rencana pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Masa Depan di Kawasan Industri Terpadu Batang, Jawa Tengah.

Hanya saja, untuk mengoptimalkan perkembangan amal usaha kedepannya, NU perlu melakukan standardisasi tata laksana administrasi serta membuat pangkalan data yang dapat memetakan potensi ekonomi NU di setiap daerah.

  1. Potensi diaspora untuk wacana globalisasi NU

Diaspora NU merupakan salah satu potensi besar yang akan menjadi penentu dalam menguatkan organisasi NU selama seratus tahun ke depan.

Terminologi diaspora NU lahir dari adanya cabang kepengurusan NU yang hadir di negara-negara di kawasan Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun 2000-an. Banyak kader NU telah menyelesaikan studi di berbagai negara, kemudian menetap dan melanjutkan karirnya di negara-negara tersebut. Ini termasuk akademisi Nadirsyah Hosen yang kini bekerja di Monash University di Australia, praktisi teknologi informasi Ainun Najib yang kini tinggal di Singapura, dan pakar teknik industri Hendro Wicaksono di Jerman.

Diaspora NU di tiap negara memiliki pola keahlian dan corak yang berbeda-beda. Contoh yang menarik adalah cabang NU Korea Selatan yang digerakkan oleh mahasiswa pascasarjana dan pekerja padat karya yang terdidik di perusahaan-perusahaan Korea Selatan. Sementara diaspora NU yang berada di negara-negara Barat kebanyakan terdiri dari profesional dan akademisi.

Diaspora NU ini tentunya dapat berperan dalam upaya globalisasi wacana Islam yang bernuansa Indonesia melalui masjid-masjid dan musala NU di berbagai negara.

  1. Cermat dalam menanggapi wacana Islam alternatif

Di media sosial, kerap muncul perdebatan panas tentang isu-isu sosial kemasyarakatan, seperti tentang peran gender dan ragam identitas gender, yang selalu memancing kubu konservatif dan liberal.

Belum lama ini, pernyataan Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf seputar larangan paham feminisme di badan otonomi NU, seperti Fatayat dan PMII Korps Putri, telah menimbulkan kontroversi di internal dan eksternal NU.

Banyak tokoh publikaktivis, dan akademisi Islam mempertanyakan sikap Yahya dan mengkritik pernyataan tersebut.

Makin kencangnya perdebatan terkait dengan wacana gender maupun tumbuhnya gerakan-gerakan lain yang bernuansa ideologis di dalam tubuh NU juga harus disikapi secara cermat.

Husein Muhamad, salah satu ulama senior NU, pernah menyampaikan 7 nalar moderat yang perlu diingat dalam menghadapi dinamika wacana yang berkembang di era mendatang: (1) pemberian ruang pada pihak yang berbeda pendapat; (2) penghargaan pada pilihan keyakinan dan pandangan hidup; (3) tidak memaksakan kebenaran individu dan memutlakkan kesalahan orang; (4) penolakan akan makna tunggal atas teks keagamaan; (5) penolakan terhadap kekerasan atas nama apapun; (6) terbuka terhadap kritik yang konstruktif; (7) mencari pandangan yang adil dan maslahat bagi kehidupan bersama.

Nilai-nilai itulah yang harus tetap dipegang teguh oleh NU dalam mengarungi perjalanannya memasuki abad ke-2.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 7 Februari 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Lingkungan Pilihan

Mpu Uteun: Kelompok Perempuan Pelindung Hutan Aceh yang Melawan Patriarki

Lebih dari 60% wilayah Aceh atau 3,2 juta ha merupakan kawasan hutan.

Luasan ini membuat risiko perambahan hutan ilegal kian tinggi. Pada 20ekofeminismen 2.418 kasus pembalakan liar di Aceh.

Menurut pengamatan warga sekitar hutan, pelaku penebangan yang tertangkap hampir selalu laki-laki. Pengaduan masyarakat ke otoritas setempat seputar penebangan dan perburuan liar juga nyaris menemui jalan buntu.

Di sinilah kelompok Mpu Uteun (istilah dari bahasa Gayo yang berarti penjaga hutan) muncul di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Sejumlah perempuan membentuk kelompok ini sejak 2015 karena merasa resah dengan risiko bencana akibat perambahan hutan. Pada tahun itu, Desa Damaran Baru dilanda banjir bandang yang merusak puluhan rumah dan membuat warga mengungsi.

Mpu Uteun berpatroli mengatasi penebangan liar maupun perburuan, membongkar jerat pemburu, mendokumentasikan tanaman maupun satwa asli setempat, hingga menanam pohon.

Penelitian kami (masih dalam proses peninjauan) secara khusus membahas Mpu Uteun sebagai kelompok perempuan penjaga hutan pertama di Aceh. Kami menganggap kelompok ini penting karena menjadi contoh gerakan ekofeminisme untuk melawan tradisi patriarki yang menjadi sebab perambahan hutan di provinsi Aceh.

Mpu Uteun melawan dominasi laki-laki

Ekofeminisme adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta kerusakan lingkungan hidup dengan subordinasi dan pengekangan perempuan.

Pakar filsafat lingkungan dari Macalaster College Minnesota di Amerika Serikat, Karen Warren, dalam bukunya Ecofeminist Philosophy menjelaskan bahwa filosofi ekofeminisme berfokus pada tiga aspek yang saling berhubungan: 1) feminisme; 2) alam, ilmu pengetahuan (terutama ekologi), pembangunan, dan teknologi; dan 3) perspektif lokal dan masyarakat asli.

Dalam konteks Mpu Uteun, aspek feminisme muncul dalam peran kelompok ini untuk melindungi hutan. Mereka menyadari kerusakan hutan akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Kesadaran ini memicu anggota Mpu Uteun melakukan patroli hutan.

Di Aceh, kegiatan menjaga hutan lazim dilakukan laki-laki. Hal ini berangkat dari budaya patriarki bahwa laki-laki bertanggung jawab mencari nafkah, sehingga pengampuan hutan secara tidak langsung menjadi tugas mereka. Sementara, perempuan dianggap hanya cukup mengurus rumah tangga.

Karena itulah Mpu Uteun berdiri untuk ‘melawan’. Pendiri Mpu Uteun, Sumini, menyatakan bahwa perempuan turut merasa gusar terhadap perusakan alam dan berhak mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, upaya perlawanan ini tidak mudah. Anggota Mpu Uteun pada awalnya mendapatkan stigma sebagai perempuan tidak bermoral dari warga sekitar. Beberapa orang pun mencibir usaha mereka karena menganggap hutan bukanlah urusan perempuan.

Namun, perlahan-lahan, upaya mereka berbuah manis. Banyak orang, termasuk laki-laki eks penebang liar ataupun pemburu trenggiling, yang ‘menebus dosa’ dengan bergabung dalam Mpu Uteun.

Aktivitas Mpu Uteun pun diakui oleh pemerintah. Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan hak pengelolaan hutan desa kepada mereka. Pengakuan pemerintah terhadap perjuangan Mpu Uteun inilah, menurut kami, yang membuat gerakan mereka sesuai dengan aspek kedua ekofeminisme.

Sementara, Mpu Uteun jelas memenuhi aspek ketiga dalam ekofeminisme yaitu pengetahuan lokal. Para perempuan pendirinya bukan berasal dari kabupaten ataupun provinsi luar Aceh. Mereka adalah perempuan desa setempat yang menggantungkan hidup pada hutan. Upaya perlindungan hutan pun mereka mulai berdasarkan perspektif warga terhadap alam yang sudah ada turun-temurun.

Inilah sebabnya mengapa gerakan Mpu Uteun diamini oleh masyarakat setempat. Kelompok ini mendasarkan pencarian solusi dari perspektif masyarakat lokal, atas masalah lingkungan yang mereka alami sehari-hari.

Pengutamaan perempuan dalam pengelolaan hutan

Kelompok perempuan pengampu alam sudah lama bermunculan. Di Indonesia, ada perempuan Dayak Benawan di Kalimantan Barat, perempuan Kendeng di Jawa Tengah, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Taman Nasional Kerinci Seblat, atau perempuan Mollo di Nusa Tenggara Barat.

Sayangnya, karena budaya patriarki yang masih kental di Indonesia, sektor hutan dan lahan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan hanya memegang peran marginal dalam proses pembuatan kebijakan di sektor ini.

Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengubah situasi ini. Perempuan harus terlibat secara memadai dan berarti sejak tahap perencanaan pengelolaan sektor hutan dan lahan. Program ataupun kebijakan yang mengecilkan perempuan justru berisiko tak efektif atau bahkan berdampak lebih buruk terhadap kaum hawa.

Langkah praktis dapat dimulai dengan pemakaian perspektif ekofeminisme dalam perencanaan program ataupun kebijakan, misalnya dengan pelibatan perempuan setempat dalam perencanaan pengelolaan hutan di suatu daerah. Harapannya, suara perempuan bisa lebih didengarkan, terutama yang berasal dari komunitas lokal dan merasakan dampak langsung kerusakan hutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 April 2023

Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset meliputi masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Kesehatan Pilihan

Ada Mikroplastik dalam Teh Celup, Haruskah Kita Khawatir?

  • Mikroplastik ditemukan dalam lima produk teh celup di Indonesia
  • Kontaminasi partikel ini diduga bisa menyebabkan masalah pencernaan, gangguan hormon, hingga kanker
  • Paparan mikroplastik sulit untuk dihindari, tapi bisa dikurangi, salah satunya dengan kurangi konsumsi produk kemasan

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan temuan mikroplastik pada lima merek teh celup di Indonesia. Peneliti dari Ecological Observation and Wetland Conservation (ECOTON) menemukan keberadaan partikel mikroplastik saat kantong teh—berbahan kertas kraft—diseduh dalam suhu 95 derajat Celcius.

Mikroplastik adalah komponen kecil plastik berukuran kurang dari lima milimeter (mm) yang tidak dapat larut dalam air dan sulit terurai. Sebagian besar partikel ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan, lalu mengendap di ginjal, hati, hingga otak.

Menurut peneliti ECOTON, mikroplastik berisiko menimbulkan efek kesehatan negatif, mulai dari peradangan, gangguan hormon, hingga kanker. Namun, selama lebih dari 20 tahun penelitian mikroplastik (mayoritas pada hewan coba), pengetahuan soal dampak langsung keracunan partikel ini terhadap kesehatan manusia masih sangat terbatas.

Lantas, apakah teh celup masih aman untuk dikonsumsi?

Amankah minum teh celup?

Mikroplastik terdiri dari tujuh komponen dengan karakteristik masing-masing, yaitu polipropilena (PP), polivinil klorida (PC), polietilena (PE), polietilena tereftalat (PET), poliformaldehida (POM), nilon 6 (PA6), dan polistirena (PS).

Ketujuh komponen tersebut dapat ditemui dalam produk sehari-hari, misalnya air kemasan, buah, sayuran, botol minuman, produk kosmetik, hingga kantong teh seperti yang diteliti ECOTON. Mikroplastik bisa masuk ke tubuh, saat kita mengonsumsi atau memakai produk yang sudah terkontaminasi partikel plastik ini.

Sayangnya, hasil penelitian ECOTON tidak mencantumkan informasi estimated daily intake (EDI) alias perkiraan jumlah mikroplastik yang tertelan ketika minum teh tersebut. Alhasil, masyarakat tidak memperoleh informasi utuh mengenai risiko kesehatan akibat mengonsumsi teh yang tercemar mikroplastik.

Sebagai perbandingan, di bawah ini EDI mikroplastik dalam buah dan sayuran:

Data penelitian tahun 2020 di atas memaparkan dugaan tingginya jumlah mikroplastik dalam buah dan sayuran yang tertelan oleh anak-anak dan orang dewasa. Besaran konsentrasi mikroplastik pada buah dan sayuran dipengaruhi oleh keragaman paparan, cara mengemas, dan mencuci yang dapat mengurangi kadar partikel pada buah dan sayuran.

Meski perkiraan jumlah mikroplastik dalam buah dan sayuran yang tertelan sangat banyak, penelitian tersebut tidak menjelaskan secara lengkap dampak konsumsi mikroplastik terhadap kesehatan manusia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri belum mengumumkan secara resmi ambang batas aman EDI mikroplastik dari buah, sayuran, dan produk konsumsi sehari-hari.

Oleh karena itu, sejauh belum ada regulasi batas aman mikroplastik pada bahan makanan, maka konsumsi teh celup masih diperbolehkan. Masyarakat pun tidak perlu khawatir, tetapi tetap harus waspada.

Waspada efek negatif mikroplastik

Pada dasarnya, mikroplastik ada di mana-mana. Partikel ini pun bisa memasuki tubuh manusia lewat hidung, kulit, ataupun mulut. Sejumlah penelitian menemukan keberadaan mikroplastik dalam ASI, dahak, feses, hingga darah.

Meski begitu, dampak langsung keracunan mikroplastik terhadap kesehatan manusia perlu diteliti lebih lanjut. Pasalnya, riset sebelumnya lebih banyak dilakukan pada hewan coba, berikut sejumlah temuannya:

  1. Masalah pencernaan

Penelitian tahun 2022 pada hewan coba mengungkapkan bahwa paparan mikroplastik yang tertelan dan mengontaminasi saluran cerna menyebabkan ketidakseimbangan komposisi bakteri baik dan jahat di dalam usus.

Akibatnya, penyerapan makanan pun terganggu sehingga menyebabkan hewan yang keracunan mengalami masalah pencernaan.

  1. Gangguan pernapasan

Kontaminasi mikroplastik pada pernapasan manusia diduga dapat menyebabkan stres oksidatif—yang bisa memicu peradangan, merusak saluran napas, dan menimbulkan gangguan pernapasan.

  1. Gangguan hormon dan perkembangan janin

Bisphenol A merupakan mikroplastik yang dapat terakumulasi dalam darah dan menyebabkan gangguan hormon, reproduksi, pertumbuhan, maupun perkembangan janin. 

Penelitian terbaru menemukan keberadaan mikroplastik dalam empat sampel plasenta bayi. Ukuran mikroplastik yang sangat kecil menyebabkan partikel ini sanggup melewati plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi janin.

Studi lainnya juga menemukan 59 sampel ASI yang terkontaminasi mikroplastik polipropilena (PP), polivinil klorida (PC), dan polietilena (PE). Mikroplastik bisa mengikat hormon estrogen sehingga partikel ini bisa ikut masuk ke dalam ASI.

  1. Kanker

Kontaminasi mikroplastik pada hewan dan manusia diduga bisa mendorong pembelahan sel secara tidak terkendali. Kondisi ini bisa memicu berbagai jenis kanker, seperti paru-paru, darah, payudara, prostat, dan ovarium.

Namun, penelitian lanjutan diperlukan untuk memahami bagaimana paparan mikroplastik menyebabkan pembelahan sel.

Mengurangi dampak buruk mikroplastik

Mikroplastik bisa ada di mana-mana sehingga sulit untuk benar-benar menghindari paparannya. Hal yang bisa kita lakukan adalah mengurangi risiko paparan mikroplastik lewat sejumlah cara berikut:

  • Cuci bersih buah, sayur, daging, dan ikan berulang kali. Pastikan membuang jeroannya yang mungkin mengandung zat racun berbahaya.
  • Gunakan kosmetik seperlunya. Penggunaan berlebihan berisiko menyebabkan mikroplastik masuk lewat kulit dan terserap ke dalam tubuh melalui pembuluh darah kulit.
  • Gunakan masker wajah saat keluar rumah untuk menghindari zat yang mengiritasi pernapasan.
  • Kurangi konsumsi air kemasan, teh celup, dan produk kemasan lainnya.
  • Hindari menyimpan dan memanaskan barang dalam plastik.
  • Jaga kesehatan dengan tidur yang cukup, konsumsi makan sehat bergizi seimbang, dan rutin berolahraga.

Minum teh celup boleh-boleh saja. Namun, kita tetap perlu waspada dengan tidak mengonsumsinya terlalu sering agar terhindar dari risiko efek negatif mikroplastik.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Mei 2025

Sani Rahman Soleman
Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UII.