Categories
Pendidikan

Pemantauan dan Evaluasi Mutu Perguruan Tinggi

Saat ini proses penerimaan mahasiswa baru masih berlangsung, baik di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Salah satu yang menjadi pertimbangan calon maha- siswa dalam memilih perguruan tinggi (PT) adalah mutu PT yang unggul. Penjaminan mutu PT adalah kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan. Sistem Penjaminan Mutu (SPM) merupakan rangkaian unsur dan proses terkait mutu pendidikan tinggi yang saling berkaitan dan tersusun secara teratur dalam menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan. SPM terdiri atas internal (SPMI) dan eksternal (SPME). SPMI dilakukan di PT masing-masing secara otonom, sedang SPME berdasarkan proses akreditasi. Akreditasi PT berdasar 9 kriteria (baru) terdiri atas Unggul, Baik Sekali, Baik dan berdasar 7 standar (lama) terdiri atas A, B dan C.

Berdasarkan data dari Badan Akreditasi Nasional (BAN), sampai Juni 2025 ada 4.005 PT terakreditasi, terdiri atas Unggul 180 (4,49%), Baik Sekali 532 (13,28%), Baik 2.882 (71,96%), A (0,20%), B 390 (9,74%) dan C 13 (0,33%). Terlihat hanya 180 PT yang terakreditasi Unggul atau hanya sekitar 4,49% dari PT yang terakreditasi. Yang lebih mengejutkan ada sekitar 50 PT tidak terakreditasi dan seki- tar 361 PT belum terakreditasi (berdasar pangkalan data pendidikan tinggi total PT ada 4.416). PT senantiasa harus menjaga SPMI dan SPME dengan baik. BAN telah mengeluarkan Peraturan BAN Nomor 5 Tahun 2024 tentang Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Mutu PT untuk Perpanjangan Status Terakreditasi melalui Mekanisme Automasi. Ada sekitar 15 indikator yang harus dilalui agar PT dapat mempertahankan akreditasinya.

Yang pertama, setiap program studi di PT tersebut mempunyai minimal 5 dosen homebase. Selanjutnya jumlah dosen tidak tetap yang mengajar maksimal 40% dari total jumlah dosen. Berikutnya rasio dosen tetap berbanding jumlah mahasiswa aktif maksimal 1:40. Andaikata PT mempunyai dosen Merdeka Belajar Kampus Merdeka minimal 10%, khusus untuk PT vokasi minimal 40%. Seterusnya karya dosen tetap yang terekognisi/diterapkan masyarakat dalam tiga tahun terakhir minimal 10%.

Kemudian rerata persentase penurunan mahasiswa baru S1, D4, D3 dan lulusannya dalam 5 tahun terakhir maksimal 20%, khusus PTS vokasi dan sekolah tinggi maksimal 30%. Persentase jumlah dosen tetap yang tidak memiliki jabatan akademik, untuk PTN di bawah 10%, PTS di bawah 40%, PTS vokasi di bawah 55% dan PTS sekolah tinggi di bawah 70%.

Selanjutnya kelulusan tepat masa tempuh kurikulum untuk PTN minimal 40%, PTS minimal 35%, PT vokasi minimal 50% dan PTS sekolah tinggi minimal 30%. Yang terakhir, kelulusan tepat 2 kali waktu tempuh kurikulum untuk PTN minimal 70% dan PTS minimal 60%. Dalam SPME terlihat bahwa komponen jumlah dan kualitas dosen, mahasiswa serta lulusan menjadi bahan pertimbangan dalam pemantauan dan evaluasi PT. PT yang tidak mempertimbangkan dengan baik 15 indikator di atas, maka akan sulit untuk mempertahankan akreditasinya sehingga berakibat kurangnya minat calon tetap 100, maka jumlah maksimal mahasiswa baru dalam memilih PT hasiswa aktifnya 4.000.

Seterusnya semua program studinya harus terakreditasi. Kelima, bagi PT yang mempunyai program studi S3, maka setiap program studinya minimal memiliki 2 dosen tetap dengan kualifikasi Guru Besar. Kemudian persentase keterlibatan mahasiswa aktif dalam memperoleh prestasi tingkat internasional, nasional atau provinsi peringkat 1, 2 dan 3 minimal 0,01%. Persentase lulusan terserap lapangan kerja kurang dari sama dengan 1 tahun minimal 20%.

Selanjutnya rerata persentase luaran penelitian dan pengabdian dalam bentuk jurnal terindeks scopus, sinta 1 dan 2 yang dihasilkan oleh dosen tetap dalam 3 tahun minimal 10% dari jumlah dosen. Kesembilan, kepesertaan mahasiswa yang eligible mengikuti tersebut.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Juni 2025

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics

Categories
Pendidikan

Pendidikan Dasar Gratis

Biaya pendidikan menjadi pertimbangan utama setiap orang tua ketika akan menyekolahkan anaknya. Pertimbangan tersebut bahkan dimulai sejak sekolah tingkat dasar. Biaya pendidikan yang mahal tetap dilaluinya walau kadang berutang. Ketika kondisi ekonomi memburuk, anak bisa menjadi korban, kemudian putus sekolah.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat angka putus sekolah jenjang SD pada tahun ajaran 2024/2025 sebanyak 38.540 siswa, SMP (12.210 siswa), SMA (6.716 siswa), dan SMK (9.391 siswa). Anak putus sekolah terjadi dalam setiap tahun ajaran. Alasan berhenti sangat beragam. Faktor ekonomi keluarga selalu mengemuka.

Pertanyaannya, di mana peran pemerintah untuk biaya pendidikan gratis yang selama ini dijanjikan?

Secara normatif, negara telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 34 UU tersebut menyatakan, setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Sesuai dengan aturan, pemerintah telah memiliki pijakan agar akses pendidikan bisa gratis alias cuma cuma minimal pada jenjang pendidikan dasar. Menurut undang-undang, jenjang pendidikan dasar berbentuk SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat serta SMP dan MTs atau bentuk lain yang sederajat. Lewat aturan itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak merumuskan program aksi pendidikan gratis.

Putusan MK
Selama ini, pemerintah relatif telah melakukan langkah-langkah untuk mewujudkan pendidikan gratis lewat APBN dan APBD yang tersedia. Namun, program dan anggaran masih tersentralisasi di lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sementara anak-anak didik yang bersekolah di lembaga swasta atau masyarakat tidak mendapatkan sentuhan program.

Dampaknya cukup serius. Anak-anak yang bersekolah di lembaga swasta, khususnya dalam jenjang pendidikan dasar, harus membayar biaya yang sangat mahal. Sementara biaya sekolah negeri sangat terjangkau, bahkan sudah ada yang gratis. Kondisi itu memperlihatkan ketidakadilan. Apalagi kuota di sekolah negeri kerap penuh dan lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal sehingga memaksa anak didik mendaftar di sekolah swasta yang biayanya sangat mahal. Perlakuan yang tidak adil tersebut mendorong Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga pemohon Fathiyah, Novianisa, dan Riris Risma Ajiningrum mengajukan uji materi pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon mempermasalahkan frasa “wajib belajar minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Menurut para pemohon, pendidikan gratis di jenjang pendidikan dasar idealnya tidak hanya untuk siswa di sekolah negeri, tetapi juga untuk siswa di sekolah swasta.

Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 3/ PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pasal 34 ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”. Putusan itu menegaskan bahwa biaya pendidikan untuk sekolah negeri atau swasta di jenjang pendidikan dasar harus gratis.

Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Tugas Berikutnya
Putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final and binding. Pemerintah harus mengikuti putusan tersebut untuk memperbaiki desain program dan anggaran pada jenjang pendidikan dasar yang selama ini hanya difokuskan untuk sekolah negeri. Tentu, program pendidikan gratis akan membutuhkan anggaran besar. Namun, secara konsepsi, kebijakan pemenuhan hak pendidikan bersandar pada tiga pemikiran.

Pertama, kewajiban pemerintah untuk mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps). Kedua, memaksimalkan sumber daya negara yang tersedia (to the maximum of tis available resources). Ketiga, mencapai secara bertahap perwujudan penuh dari hak-hak (to achieving progressively the full realization of the rights). Pemenuhan hak pendidikan gratis bagi anak didik di jenjang pendidikan dasar, baik sekolah negeri maupun swasta, sudah selayaknya, menjadi program aksi pusat atau daerah. Pemerintah wajib melakukan langkah – langkah terukur dengan ketersediaan anggaran APBN dan APBD agar pendidikan gratis dapat segera tercapai. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi penegas bahwa pemerintah wajib hadir di tengah biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Jawa Pos pada tanggal 29 Mei 2025

M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada hukum HAM, HAM dalam Islam, dan kewarganegaraan.

Categories
Pendidikan

Kampus Terjerat Tambang

Gagasan WIUP untuk kampus berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam.

Usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengenai pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi yang diajukan sebagai bagian dari Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memicu perdebatan.

Beberapa pihak, seperti Forum Rektor Indonesia, mendukung ide ini dengan dalih bahwa pendapatan dari tambang dapat digunakan untuk mensubsidi biaya operasional kampus, yang akhirnya mengurangi SPP mahasiswa. Namun, muncul juga suara kritis, seperti dari Rektor Universitas Islam Indonesia, yang menolak gagasan ini dan mengkhawatirkan dampaknya terhadap karakter kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai akademik.

Gagasan WIUP untuk kampus ini berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ruang bebas bagi pemikiran kritis dan advokasi kebenaran ilmiah, justru berisiko terjebak dalam dinamika korporatisasi dan subordinasi politik. Bagaimana perspektif ekonomi politik menjelaskan fenomena ini?

Jeratan negara berkembang
Negara berkembang seperti Indonesia memiliki ketergantungan historis terhadap eksploitasi sumber daya alam mentah sebagai sumber pendapatan utama. Ketergantungan ini merupakan warisan kolonial yang terus berlanjut dalam struktur ekonomi global. Perspektif Teori Sistem Dunia Immanuel Wallerstein menempatkan Indonesia dalam kategori negara “semi-peri,” yaitu entitas yang terjebak antara zona inti kapitalis global dan negara-negara pinggiran. Negara semi-peri cenderung menyediakan bahan mentah tanpa mendapatkan nilai tambah yang signifikan.

Program hilirisasi nikel yang digalakkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sering disebut sebagai upaya untuk keluar dari jeratan ini. Namun, kenyataannya, program tersebut lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak asing seperti Tiongkok, yang mengendalikan teknologi dan pasar, dibandingkan meningkatkan nilai tambah dalam negeri.

Hal ini mencerminkan relasi ekonomi politik internasional yang tetap timpang. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali terkunci dalam peran ekonomi yang menguntungkan negara-negara maju, ketimbang membangun kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Ketergantungan ini tidak hanya melanggengkan eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga melemahkan daya saing ekonomi nasional.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi harus dilihat dalam konteks ini. Alih-alih membantu Indonesia keluar dari ketergantungan struktural, langkah ini justru dapat memperkuat eksploitasi sumber daya alam tanpa perubahan mendasar pada struktur ekonomi. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi aktor transformasi justru dapat terjebak dalam pengulangan pola ekonomi lama yang bersifat ekstraktif.

Jeratan korporatisasi kampus
Transformasi ekonomi global sejak dekade 1970-an telah membawa pengaruh besar pada institusi pendidikan tinggi. Globalisasi telah mendorong kampus menjadi entitas yang berorientasi pada profit, menjauh dari misi utamanya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Tren ini semakin diperkuat oleh sistem pemeringkatan kampus global, yang memaksa perguruan tinggi untuk mengejar pendanaan alternatif agar tetap kompetitif secara reputasi.

Dalam kerangka ini, tidak mengherankan jika ide pengelolaan tambang oleh kampus muncul sebagai “solusi kreatif” untuk mengatasi tantangan pendanaan. Namun, langkah ini dapat mengecoh dan membawa konsekuensi besar. Kampus yang diberikan WIUP tidak hanya akan terjebak dalam arus korporatisasi, tetapi juga berpotensi mengorbankan tri dharma perguruan tinggi: pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat.

Dalih bahwa pendapatan dari pengelolaan tambang akan mengurangi SPP mahasiswa perlu dikritisi secara mendalam. Kenyataannya, sebagian besar kampus di Indonesia masih sangat bergantung pada SPP mahasiswa dan subsidi pemerintah untuk menopang operasionalnya. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan dari tambang, yang bersifat tidak stabil dan berisiko tinggi, bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi tantangan pendanaan. Sebaliknya, ketergantungan pada sumber pendapatan seperti tambang justru dapat memperburuk tata kelola kampus dan mengalihkan fokus dari inovasi pendanaan yang berkelanjutan dan sejalan dengan nilai-nilai pendidikan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang menimbulkan kontradiksi moral yang sulit dihindari. Kampus yang menyuarakan pembangunan berkelanjutan sekaligus melakukan eksploitasi sumber daya alam tidak hanya akan kehilangan legitimasi moral, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi generasi mendatang.

Jeratan subordinasi politik
Perspektif ekonomi politik juga membantu kita memahami risiko yang lebih subtil dari pemberian WIUP, yaitu ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah dan kampus. Sebagai penerima WIUP, perguruan tinggi akan berada dalam posisi yang rentan terhadap kontrol pemerintah. Izin yang diberikan, diperpanjang, atau dicabut berdasarkan keputusan politik dapat menjadi alat yang digunakan untuk membungkam suara kritis akademisi terhadap kebijakan negara. Tanpa mengakhiri hubungan subordinasi antara pemerintah dan kampus, kondisi riset dan pengembangan ilmu pengetahuan akan terus terpuruk dan kehilangan daya saing.

Hal ini bukan sekadar ancaman hipotetis. Dalam konteks di mana perguruan tinggi telah menjadi arena advokasi politik dan kritik terhadap kebijakan publik, ketergantungan pada WIUP akan mengurangi independensi akademik yang seharusnya menjadi pilar utama dunia pendidikan. Dalam jangka panjang, kampus berisiko berubah menjadi subordinat pemerintah, bukan lagi aktor independen yang mengedepankan kebenaran dan keadilan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang dapat merusak reputasi institusi itu sendiri. Kampus yang terlibat dalam aktivitas ekstraktif akan kehilangan kredibilitas sebagai pelopor pembangunan berkelanjutan, sekaligus menempatkan diri mereka pada posisi yang berlawanan dengan nilai-nilai akademik yang mereka ajarkan.

Setia pada misi
Untuk mencegah jeratan korporatisasi dan subordinasi politik, perguruan tinggi perlu menjaga integritasnya dengan menolak keterlibatan dalam pengelolaan tambang. Sebagai gantinya, perguruan tinggi dapat memanfaatkan keahliannya untuk beberapa hal strategis.

Pertama, kampus dapat memainkan peran sebagai pengawas independen untuk memastikan bahwa praktik pertambangan dilakukan sesuai dengan standar lingkungan dan sosial yang ketat. Peran ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dan melindungi hak masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas tambang.

Kedua, kampus juga dapat memperkuat riset di bidang teknologi hijau, seperti pengembangan energi terbarukan atau metode eksploitasi sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Kontribusi ini tidak hanya relevan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, tetapi juga membuka peluang inovasi yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada model ekonomi ekstraktif.

Ketiga, kampus memiliki tanggung jawab untuk menjadi advokat dalam mendorong kebijakan publik yang transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dengan konsistensi pada prinsip-prinsip tersebut, perguruan tinggi dapat memengaruhi tata kelola tambang agar lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, mengedepankan keberlanjutan lingkungan, dan menjaga integritas institusi akademik.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi adalah gagasan yang berisiko tinggi, baik dari segi ekonomi-politik, sosial, maupun lingkungan. Di tengah struktur ekonomi global yang timpang, keterlibatan kampus dalam bisnis tambang hanya akan memperkuat pola eksploitasi lama tanpa memberikan solusi jangka panjang bagi pembangunan bangsa. 

Perguruan tinggi harus menolak jeratan ini dan tetap setia pada misi akademik mereka sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan konsisten pada penguatan riset, advokasi, dan inovasi teknologi, kampus dapat memberikan kontribusi nyata tanpa harus mengorbankan integritas dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Mudah-mudahan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 7 Februari 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Pendidikan

Desakralisasi Profesor

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Surat edaran internal di Universitas Islam Indonesia terkait peniadaan penulisan jabatan dan gelar rektor dalam dokumen tiba-tiba menjadi viral.

Kejadian di luar dugaan ini merupakan berkah tersamar yang perlu disyukuri. Apa pasal? Ikhtiar kecil tersebut oleh banyak kalangan, termasuk warganet, dianggap sebagai antitesis dari praktik obral gelar dan jabatan kehormatan oleh beberapa kampus. Praktik ini tak jarang melibatkan pejabat dan politisi dengan alasan yang sulit dipahami dengan akal sehat.

Menurut kabar termutakhir, pengajuan untuk mendapatkan jabatan akademik profesor diduga melibatkan praktik suap dengan nominal yang cukup fantastis. Praktik tersebut tentu sangat memalukan di tengah harapan tinggi publik kepada kampus sebagai pengawal moral bangsa.

Surat edaran di atas tentu bukan sekadar instrumen administratif sebagaimana dipahami oleh sebagian orang.

Ada beragam alasan yang lebih substantif meski sudah dapat diduga perspektif ini tidak akan diamini oleh semua profesor. Perbedaan pendapat seperti ini merupakan hal yang sangat wajar di alam demokrasi selama didasari dengan nilai yang baik.

Apa alasan substantif di balik penerbitan surat edaran tersebut? Paling tidak adalah tiga, yakni menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah publik, dan mendesakralisasi jabatan profesor.

Semangat kolegialitas

Semangat kolegialitas ini sudah agak lama terkikis di tengah maraknya praktik neoliberalisme dalam manajemen perguruan tinggi. Salah satu indikasinya adalah kuasa pasar yang menentukan banyak pilihan sikap. Hubungan internal yang dibangun pun melahirkan jarak kuasa yang semakin jauh, antar-jenjang fungsional dan struktural.

Jabatan profesor yang menghuni jenjang fungsional tertinggi akan menambah jarak sosial dalam berinteraksi. Ujungnya adalah budaya feodalisme gaya baru yang mewujud dalam beragam bentuk di lapangan.

Dengan menghidupkan kembali semangat kolegialitas, jarak kuasa sesama kolega akan semakin dekat.

Kampus akhirnya dapat menjadi salah satu tempat yang paling demokratis. Para dosen menempatkan diri sebagai kolega intelektual yang mempunyai kedaulatan dalam berpikir dan menyatakan pendapatnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat.

Tanggung jawab publik

Betul, profesor adalah sebuah capaian jabatan akademik tertinggi. Namun, banyak yang lupa bahwa di dalam jabatan itu melekat tanggung jawab publik. Pemahaman ini perlu dilantangkan kembali agar menjadi kesadaran kolektif.

Tanggung jawab publik tersebut dapat termanifestasikan ke dalam beragam peran. Salah satunya adalah intelektual publik. Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik.

Tugasnya, meminjam formulasi Chomsky (2017), adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan, memberikan konteks kesejarahan, serta mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang perdebatan publik.

Intelektual publik berikhtiar mendekatkan bidang kajiannya dengan kepentingan publik, termasuk juga bersuara terhadap beragam penyelewengan yang muncul. Menurut Chomsky, karena para intelektual ini mempunyai banyak privilese yang dinikmati, tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan dengan mayoritas awam.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Didorong oleh kegeraman, seorang kawan bahkan berseloroh jika hari-hari ini kita mengalami surplus profesor, tetapi di saat yang sama kekurangan intelektual publik.

Ikhtiar desakralisasi

Saat ini sebagian kalangan memandang jabatan profesor sebagai sesuatu yang sakral. Banyak orang yang menjadikannya sebagai bagian dari status sosial yang perlu dikejar dengan segala cara, lantas dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan.

Sebagian banyak diduga menabrak etika. Kalangan non-akademisi, termasuk politisi dan pejabat, pun akhirnya terpincut untuk mendapatkannya.

Karena dianggap sebagai status sosial tinggi, cerita lucu di lapangan pun bermunculan, termasuk kemarahan si empu ketika jabatan tersebut tidak disematkan. Komentar warganet di beragam linimasa media sosial terkait dengan isu profesor abal-abal menambah daftar kelucuan.

Jika jabatan ini dianggap sakral, si empunya seakan menjadi orang suci, yang jika kebablasan akan menjelma menjadi makhluk yang kalis dari kritik dan kesalahan. Tentu bukan ini yang seharusnya terjadi di dunia akademik. Semua kebenaran bersifat nisbi dan terbuka untuk dikritisi.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Jabatan ini, karena itu, perlu didesakralisasi dengan memutus asosiasinya dengan beragam privilese yang menyertainya yang sebagian bersifat absurd. Privilese muncul karena merupakan legitimasi yang bersumber dari otorisasi pihak yang lebih berkuasa dan endorsemen dari sekelilingnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat. Pada saat yang sama, penghilangan penulisan jabatan dan pemanggilan dalam interaksi keseharian menjadi salah satu ikhtiar kultural untuk desakralisasi.

Dengan demikian, para pengejar jabatan ini akan diberikan koridor yang bermartabat. Jika mendapatkannya pun si empunya hanya akan merayakan seperlunya dengan penuh kesadaran adanya tanggung jawab publik yang melekat di dalamnya.

Jika kesadaran ini diikuti oleh semakin banyak profesor, tidaklah berlebihan untuk berharap jika gerakan simbolik dalam surat edaran tersebut akan semakin melantang dan melahirkan budaya akademik baru yang lebih egaliter. Semoga.

 

Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 25 Juli 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.



Categories
Pendidikan

Pimnas Menjaring Talenta Muda

Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) Ke-37 tahun ini dihelat di Kampus Universitas Airlangga (Unair) pada 14-19 Oktober 2024. Pimnas merupakan tahap terakhir kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

 Pimnas diselenggarakan Balai Pengembangan Talenta Indonesia (BPTI), Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendik- budristek). Tahun ini Pimnas mengambil tajuk “Berkompetisi Mengasah Kreativitas Mahasiswa Indonesia Bertalenta Menjadi Pribadi yang Solutif, Inovatif, dan Produktif. 

Pimnas bertujuan, antara lain, menjadi media dan sarana komunikasi mahasiswa seluruh Indonesia; membuka peluang bagi pengembangan potensi mahasiswa dalam kegiatan ilmiah; mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; serta meningkatkan posisi tawar mahasiswa di dunia kerja atau masyarakat. Pimnas juga menjadi sarana penelusuran talenta mahasiswa.

Ada sembilan bidang PKM yang dikompetisikan. Yaitu, PKM riset sosial humaniora (PKM-RSH), riset eksakta (PKM-RE), pengabdian kepada masyarakat (PKM-PM), penerapan teknologi (PKM- PI), PKM kewirausahaan (PKM-K), karsa cipta (PKM- KC), karya inovatif (PKM-KI), video gagasan konstruktif (PKM-VGK), dan gagasan futuristik tertulis (PKM-GFT). 

PKM-RSH meliputi riset yang mengungkap hubungan sebab akibat, penelitian deskriptif tentang perilaku sosial, ekonomi, pendidikan, seni, dan budaya masyarakat. PKM-RE meliputi riset hubungan sebab-akibat, aksi reaksi, rancang bangun, eksplorasi, materi alternatif, desain produk atraktif, blueprint dan sejenisnya, atau identifikasi senyawa kimia aktif.

PKM-PM bertujuan menumbuhkan empati mahasiswa kepada persoalan yang dihadapi masyarakat melalui penerapan iptek yang tidak berorientasi pada profit. PKM-PI bertujuan membuka wa- wasan iptek mahasiswa terhadap persoalan dunia usaha atau masyarakat yang berorientasi pada profit.

Kemudian, PKM-K bertujuan menumbuhkan pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam menghasilkan komoditas unik serta merintis kewirausahaan yang berorientasi pada profit. PKM- KC bertujuan membentuk kemampuan mahasiswa mengkreasikan sesuatu yang baru dan fungsional atas dasar karsa dan nalar. Berikutnya, PKM-KI bertujuan menumbuhkan kepekaan mahasiswa terhadap problematika faktual di masyarakat atau dunia usaha. Sekaligus mengasah kreativitas mahasiswa untuk menghasilkan karya fungsional inovatif yang solutif berbasis iptek.

PKM-VGK bertujuan memotivasi mahasiswa dalam mengelola imajinasi, persepsi dan nalar, memikirkan tata kelola yang konstruktif sebagai upaya mencapai tujuan SDGs di Indonesia. PKM-GFT bertujuan meningkatkan daya imajinasi mahasiswa dalam merespons tantangan zaman. Umumnya berupa konsep perubahan atau pengembangan berbagai aspek berbangsa, bersifat futuristis, jangka panjang, tetapi berpotensi untuk direalisasikan

Pimnas Ke-37 Unair ini terbagi atas 25 kelas dengan sebaran PKM-RSH (4 kelas), PKM-PSH (6), PKM-PM (4), PKM-PI (1), PKM-K (4), PKM- KC (3), PKM-KI (1), PKM-VGK (1), dan PKM-GFT (1). Jumlah proposal PKM 2024 dari PT dikti mencapai 37.891 proposal. Yang memperoleh pendanaan hanya 3.520 proposal. Sementara dari PT vokasi ada 3.552 proposal dan yang didanai hanya 401 proposal. 

Setelah melalui seleksi ketat dari proposal yang didanai, akhirnya hanya 525 tim yang lolos ke Pimnas Ke-37. Mereka berasal dari 118 PT. Mahasiswa yang terlibat tercatat 2.411 orang dan 525 dosen pendamping. 

Pimnas bertujuan mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Juga sarana penelusuran talenta mahasiswa.

Penghargaan setara emas diberikan setiap kelas kepada satu kelompok terbaik yang memperoleh nilai total tertinggi. Perak diberikan kepada satu kelompok terbaik kedua dengan nilai total tertinggi kedua. Perunggu diberikan kepada satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

Di samping penghargaan setara emas, perak, dan perunggu, di setiap kelas diberikan penghargaan terfavorit kepada kelompok selain penerima emas, perak, dan perunggu dengan kriteria tertentu. Penghargaan lain berupa mahasiswa bertalenta yang diberikan kepada individu kreatif yang memiliki bakat atau keahlian khusus.

Selain penilaian dalam kelas, ada penilaian poster. Poster adalah alat atau media transfer informasi berupa teks dan gambar. Media itu dianggap efisien dan efektif dalam menyampaikan informasi. Penghargaan setara emas untuk setiap kelas poster diberikan kepada satu kelompok terbaik dengan nilai tertinggi, perak untuk satu kelompok terbaik kedua dengan nilai tertinggi kedua,. dan perunggu untuk satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

PKM-VGK bertujuan memotivasi mahasiswa dalam mengelola imajinasi, persepsi dan nalar, memikirkan tata kelola yang konstruktif sebagai upaya mencapai tujuan SDGs di Indonesia. PKM-GFT bertujuan meningkatkan daya imajinasi mahasiswa dalam merespons tantangan zaman. Umumnya berupa konsep perubahan atau pengembangan berbagai aspek berbangsa, bersifat futuristis, jangka panjang, tetapi berpotensi untuk direalisasikan.

Di samping penghargaan setara emas, perak, dan perunggu, di setiap kelas diberikan penghargaan terfavorit kepada kelompok selain penerima emas, perak, dan perunggu dengan kriteria tertentu. Penghargaan lain berupa mahasiswa bertalenta yang diberikan kepada individu kreatif yang memiliki bakat atau keahlian khusus.

Selain penilaian dalam kelas, ada penilaian poster. Poster adalah alat atau media transfer informasi berupa teks dan gambar. Media itu dianggap efisien dan efektif dalam menyampaikan informasi. Penghargaan setara emas untuk setiap kelas poster diberikan kepada satu kelompok terbaik dengan nilai tertinggi, perak untuk satu kelompok terbaik kedua dengan nilai tertinggi kedua, dan perunggu untuk satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

Jumlah juri yang terlibat sebanyak 77 juri. Mereka adalah pakar yang terdiri atas dosen, peneliti, dan praktisi yang memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian dan evaluasi secara adil, cerdas, transparan, patuh pada etika penjurian, serta bertanggung jawab atas penilaiannya danpaham PKM. Juara umum perguruan tinggi ditetapkan berdasar angka tertinggi nilai Pimnas.

Perolehan medali setara emas, perak, dan perunggu untuk presentasi diberi bobot 80 persen, sedangkan poster 20 persen. Setiap perolehan emas diberi skor 3, perak 2, dan perunggu 1. Juara umum berhak atas piala bergilir Adhikarta Kertawidya dari Kemendikbudristek. Pimnas Ke-37 diharapkan bisa menjaring talenta muda dengan pribadi solutif, inovatif, dan produktif. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 14 Oktober 2024

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics

 

Categories
Pendidikan

Ketika Tambang Masuk Kampus

Pendirian dan keberlanjutan perguruan tinggi jadi tanggung jawab negara dan masyarakat, dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik.

 

Dalam satu pekan ini publik dikejutkan oleh rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang antara lain membuka peluang bagi perguruan tinggi (PT) menjadi pengelola bisnis tambang.

Ini kejutan kedua dan kelanjutan dari kontroversi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas menjelang akhir pemerintahan Joko Widodo. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, menerima tawaran ini. Apakah kampus juga memilih jalan yang sama?

Penulis mewakili Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) berpendapat, gagasan pemberian IUP kepada PT adalah sesat pikir kebijakan negara (Kompas, 20/1/2025).

Korporatisasi PT

Dalam artikel ”Higher Education in Indonesia: The Political Economy of Institution” (2023), Andrew Rosser mengidentifikasi dua problem predatoris yang menyebabkan krisis PT di Indonesia.

Pertama, ketatnya kontrol politik atas semua keputusan akademik dan non-akademik di kampus. Kedua, manajemen internal yang birokratis. Keduanya warisan Orde Baru dalam pengelolaan kampus. Tujuannya, penundukan sivitas akademika agar selaras dengan politik monoloyalitas pembangunanisme Soeharto.

Meminjam Gramsci, di era Orde Baru, kampus adalah ideological state apparatus yang harus tunduk kepada kemauan pemerintah melalui kementerian pendidikan.

Kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya.

Kontrol kebijakan akademik berlaku lewat mekanisme kerja pengambilan keputusan yang birokratis sejak di level kampus hingga kementerian, baik dalam pemilihan rektor, dekan, maupun perencanaan keuangan.

Kampus adalah kepanjangan tangan negara dalam urusan produksi pengetahuan dan SDM yang menunjang pembangunan. Perbedaan pendapat, apalagi penolakan, dianggap mbalelo, melawan. Risikonya pemecatan rektor, minimal pengurangan jatah anggaran PTN yang bersumber dari APBN.

Intinya, kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya. Dalam konteks ini, kita menjadi paham mengapa suara para rektor PTN cenderung seragam untuk setuju, atau minimal diam, atas rencana pemberian IUP, yang jelas berisiko tinggi bagi reputasi kampus di mata publik.

Anehnya, pascareformasi 1998, kondisi tersebut berlanjut di era Jokowi dan Prabowo. Hal itu berkelindan dengan agenda neoliberalisasi dalam bentuk korporatisasi kampus. Jargon kampus mandiri, merdeka secara ekonomi, lebih kuat. Maknanya: harus mencari uang sendiri dan negara lepas tangan.

Dalam hubungan ini, rencana pemberian IUP dikerangka dalam wacana yang sempit dan pragmatis: tambang akan menjawab kesulitan ekonomi di PT (dahaga anggaran operasional kampus yang tak terpenuhi oleh terbatasnya guyuran dana APBN). Kampus tak ubahnya korporasi biasa, turun jauh marwah sebagai lembaga sosial yang menjaga etika dan tanggung jawab setiap kegiatannya.

Krisis otonomi akademik

UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi pada Pasal 4 memberi mandat kampus dalam pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan membentuk watak, peradaban bangsa yang bermartabat. Maknanya, kampus lembaga sosial yang menjalankan amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sejak pemerintahan Orde Baru, PT terus mengalami represi secara sistemik, ketika menjalankan peran sosial di atas. Merujuk EJ Perry (2019) dalam Educated-acquiescence, represi atau koersi dapat bersifat negatif seperti pemecatan akademisi yang kritis, pelarangan diskusi akademik, atau bersifat positif (positive coercion), seperti pemberian remunerasi dan ”peluang/tugas” jabatan birokrasi serta unit usaha.

Tujuannya sama: menghambat laju pencapaian akademik dan otonomi akademia sebagai kritikus atas kekuasaan yang koruptif. Proyek merdeka belajar kampus merdeka, link & match, hingga IUP adalah bagian dari skenario ini, yang kerap tidak disadari para dosen.

Pendirian dan keberlanjutan PT adalah tanggung jawab negara dan masyarakat dan dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik.

Pemberian IUP yang banyak memicu konflik horizontal jelas bertentangan dengan logika di atas dan memicu krisis reputasi PT di benak publik. Terjadi konflik kepentingan antara peran penyuplai gagasan, SDM, dan evaluator dengan pelaku usaha ekonomi ekstraktif yang menggerus sikap obyektif.

Dalam iklim pendidikan tinggi yang sehat, pola relasi tiga pihak—kampus dengan industri dan pemerintah—seharusnya lebih setara. Ketiganya berbagi tugas masing masing sehingga dapat saling melengkapi, tidak bertabrakan.

Terkait sumber pendanaan dari industri, titik berpijaknya adalah mandat atas tanggung jawab sosial industri ke masyarakat lewat PT yang harus terus diperkuat, bukan penerjunan PT sebagai pelaku, pemilik bisnis berskala besar itu sendiri.

Penting disadari bahwa otonomi PT hanya bisa dirawat lewat fokus kerja sivitas akademikanya pada pelayanan akademik, bukan sambilan setelah mengelola industri tambang atau unit usaha komersial lain.

Akhirnya, jawaban atas krisis keuangan PT belakangan ini harus dikembalikan kepada komitmen alokasi APBN untuk pendidikan, dan evaluasi menyeluruh kinerja kampus sebagai lembaga sosial.

Antara lain untuk menjaga stabilitas dan kualitas, jumlah PT yang terlampau banyak (peringkat kedua di dunia setelah India) dapat ditinjau ulang agar dukungan pendanaan publik ke kampus menjadi lebih rasional.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Januari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.



Categories
Pendidikan

Jangan Panggil Saya ‘Prof’: Mengapa Desakralisasi Gelar Profesor Perlu Dilakukan?

Masalah etika dan akademis para dosen untuk mencapai status ‘profesor’ atau ‘guru besar’ belakangan ini menjadi sorotan publik. Perkara-perkara mulai dari kontroversi guru besar muda, Kumba Digdowiseiso, praktik “aji mumpung” kampus untuk mengatrol guru besar, hingga para politikus yang berlomba-lomba mendapatkan gelar profesor, menggerus kredibilitas akademisi berikut kebijakan pemerintah seputar penilaian akademis di mata publik.

Di tengah persoalan tersebut, terbit surat edaran dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, yang meminta agar gelar akademisnya tidak dicantumkan di dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya. Rektor UII hanya mengecualikan edaran “jangan panggil saya Prof” ini untuk dokumen ijazah dan transkrip nilai.

Tradisi menanggalkan penyematan gelar dalam pergaulan akademis memang bukan praktik baru di banyak negara. Namun, di Indonesia, langkah rektor UII dapat kita lihat sebagai sebuah gerakan simbolik untuk membuka diskusi seputar desakralisasi gelar akademis di tengah fenomena inflasi guru besar di tanah air.

Sakralisasi gelar akademis

Di Indonesia, pencapaian gelar akademis maupun atribut lainnya sering terkait dengan motivasi ekonomi terutama kenaikan gaji dan tunjangan. Pencapaian juga menjadi simbol mobilitas vertikal untuk mendapatkan penghormatan dan perlakuan istimewa dalam masyarakat. Akibatnya, banyak orang mengejar gelar tersebut dengan menempuh berbagai siasat.

Ini dibuktikan dengan temuan penelitian yang menempatkan integritas publikasi ilmiah di Indonesia terendah nomor dua di dunia. Dalam hal ketidakjujuran akademis, skor Indonesia hanya 16,7%, di bawah Kazakhstan yang menempati urutan pertama (17%).

Di sisi lain, tradisi pengultusan hierarki profesor sebagai derajat akademis tertinggi semakin menguatkan budaya feodalisme sekaligus peneguh kesenjangan. Alih-alih merujuk pada tanggung jawab keilmuan dan kepakaran, gelar doktor atau profesor kerap secara sengaja disakralkan untuk memperlebar jarak sosial, termasuk di lingkungan kampus.

Penunjukan jabatan seperti kepala pusat studi di kampus, misalnya, sering kali berdasarkan pengutamaan status profesor, bukan berdasarkan kualitas individu dan rekam kinerja riset.

Para pemilik gelar mungkin tidak menyadari ataupun mengakui sakralisasi ini. Namun, tetap saja, masih ada profesor yang tersinggung jika gelarnya tidak ditulis dalam surat undangan ataupun merasa direndahkan jika orang lain memanggil namanya tanpa disertai sapaan “Prof”.

Antara budaya feodal dan iklim akademis yang egaliter
Harus diakui, tradisi akademis terkait panggilan profesor diterapkan secara berbeda di Indonesia atau secara umum di Asia, jika dibandingkan negara Barat.

Ini salah satunya bersumber pada kentalnya budaya paguyuban (gemeinschaft) yang merupakan ciri masyarakat feodal bercorak produksi agraris–pedesaan. Budaya paguyuban berdasar pada hubungan status seperti keluarga, tradisi, dan adat yang menempatkan kendali dan hormat kepada para senior atau mereka yang dianggap dituakan.

Namun, iklim akademis dan budaya intelektual di perguruan tinggi semestinya bersifat egaliter dan kolegial. Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada tahun 1833 memperkenalkan pendekatan andragogi yang kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat (AS), Malcolm Knowles. Andragogi adalah proses pelibatan peserta didik dewasa ke dalam pengalaman belajar dengan model interaksi egaliter antara mahasiswa dengan dosennya sebagai sesama orang dewasa.

Artinya, berdasarkan pendekatan andragogi, lembaga pendidikan tinggi diharapkan terus melahirkan para ahli dengan cara bertukar pikiran secara proporsional, asertif, kritis, dialogis, dan kolegial. Pelaksanaan cara ini pun harus berlandaskan sikap saling menghargai serta menghormati tata nilai dan budaya akademis yang berlaku universal.

Bentuk pengultusan seperti rasa segan dan hormat yang berlebihan, jika hanya didasarkan pada superioritas gelar, bukan pada kapasitas keilmuan dan rekam jejak akademis, akan menghambat perkembangan iklim akademis dan budaya intelektual yang sehat di kampus.

Upaya desakralisasi
Sebelum Rektor UII, banyak tokoh dan akademisi di tanah air yang juga menerapkan praktik sapaan egaliter. Mendiang Ahmad Syafii Maarif, misalnya, jarang menuliskan gelar akademisnya. Meski telah didapuk sebagai “tokoh bangsa” dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia lebih nyaman dipanggil “Buya” daripada gelar berderet “Prof. K.H. Ahmad Syafii Maarif, M.A, Ph.D”.

Contoh lain akademisi asal Indonesia yang konsisten menolak dipanggil “Prof” adalah sosiolog Ariel Heryanto. Ia selalu mengatakan, “Panggil saja saya Ariel,” kepada orang-orang yang memanggilnya dengan sapaan “Prof Ariel”.

Belakangan, beberapa instansi terkait pendidikan dan riset di Indonesia seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga tidak lagi menuliskan gelar akademis dalam standar pengesahan dokumen-dokumen resmi.

Lebih dari sekadar panggilan
Akar masalah integritas akademis di Indonesia bukanlah terbatas pada perlu-tidaknya panggilan-penulisan, desakralisasi, atau sebaliknya pemurnian gelar “profesor”.

Kejujuran, kedisiplinan, etika, dan integritas akademis perlu segera ditegakkan oleh semua pihak, lebih dari sekadar perlu atau tidaknya atribusi bagi seorang profesor.

Banyak persoalan integritas akademis dalam proses pengajuan guru besar yang juga perlu disorot. Sebut saja kelayakan dan riwayat integritas akademis individu pengaju jabatan guru besar, independensi asesor administratif dan substantif, impunitas (pembebasan dari hukuman) terhadap pelaku perjokian dan praktik predatory karya ilmiah, dan normalisasi plagiarisme. Kita juga perlu mengawasi kurangnya transparansi, kecepatan merespons dan menangani kasus, serta ketegasan penegakan aturan disiplin etika akademis oleh institusi pengelola yaitu pihak kampus dan Kemendikbudristek.

Gerakan moral desakralisasi gelar profesor ini telah diinisiasi oleh Rektor UII, dan ternyata berhasil menarik perhatian publik lebih luas. Oleh karena itu, mengapa tidak kita dukung sebagai momentum untuk berbenah?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2024

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.

Categories
Pendidikan

Glorifikasi terhadap Institusi ‘Negeri’ adalah Warisan Kolonial. Perlukah Dipertahankan?

 

  • Glorifikasi terhadap institusi negeri di Indonesia adalah warisan kolonial yang terus-menerus dilanggengkan negara.
  • Ketimpangan antara perguruan tinggi negeri dan swasta menciptakan diskriminasi simbolik.
  • Masyarakat perlu menghargai kualitas serta inovasi dari berbagai ekosistem alternatif selain institusi negeri.

Di Indonesia, kita sering mendengar kalimat seperti “yang penting bisa masuk kampus negeri” atau “kerja di instansi negeri lebih terjamin”. Status ‘negeri’—baik dalam pendidikan maupun pekerjaan—kerap dianggap sebagai simbol keberhasilan, kemapanan, bahkan kehormatan sosial.

Glorifikasi terhadap institusi negeri dapat dilacak sejak masa kolonial. Pada era Hindia Belanda, hanya sebagian kecil penduduk pribumi yang memiliki akses ke pendidikan formal seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA. Kala itu, akses ke institusi ini sangat terbatas dan hanya bisa ditempuh oleh anak-anak priayi (lapisan masyarakat dengan kedudukan yang dianggap terhormat) atau mereka yang memiliki koneksi dengan kekuasaan kolonial.

Sayangnya, hingga saat ini, negara masih melanggengkan glorifikasi tersebut. Institusi negeri, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), mendapat alokasi anggaran yang lebih besar, akses ke program unggulan, dan dukungan politis yang lebih kuat. Sementara perguruan tinggi swasta (PTS) harus berjuang sendiri, dengan sumber daya terbatas dan dukungan yang minim.

Akibatnya, tidak sedikit lowongan pekerjaan yang secara eksplisit maupun implisit memprioritaskan lulusan perguruan tinggi negeri, bahkan ketika kualifikasi lulusan swasta sama atau lebih unggul dalam pengalaman dan keterampilan.

Di beberapa sektor, lulusan dari PTS masih harus ‘membuktikan diri dua kali lipat’ melalui syarat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang lebih tinggi. Ini adalah bentuk diskriminasi simbolik yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Mengapa status negeri diglorifikasi

Menurut perspektif Louis Althusser, filsuf asal Prancis, sekolah-sekolah seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA merupakan bagian dari aparatus ideologis negara, atau alat kekuasaan yang tidak bekerja dengan paksaan, tetapi melalui penanaman nilai-nilai.

Melalui sistem pendidikan, kolonialisme menanamkan gagasan bahwa menjadi bagian dari struktur negeri berarti menjadi lebih “beradab”, lebih dekat pada kekuasaan, dan lebih terhormat secara sosial.

Sementara itu, pekerjaan sebagai pegawai pemerintah kolonial—dikenal sebagai ambtenaar, dan di antara pribumi direpresentasikan lewat posisi pangreh praja—diposisikan sebagai jalur mobilitas sosial yang terhormat. Menjadi bagian dari struktur pemerintahan Belanda adalah bukti kedekatan dengan kekuasaan dan modernitas, sekaligus menjanjikan stabilitas ekonomi. Dalam kerangka pemikiran ilmuwan sosiologi Pierre Bourdieu, status sebagai bagian dari institusi negeri menciptakan kapital simbolik: bentuk pengakuan sosial yang dilekatkan bukan karena capaian substansial, melainkan karena asosiasinya dengan negara dan kekuasaan.

Menurut Frantz Fanon, psikiatris sekaligus filsuf politik asal Prancis,, masyarakat pascakolonial sering kali menginternalisasi nilai-nilai kolonial yang dulu menjadi alat penjajahan, dan menjadikannya tolok ukur kemajuan. Glorifikasi terhadap institusi negeri adalah contoh nyata dari internalisasi ini.

Jebakan dominasi pasar dan negara

Dari kacamata ekonomi-politik Gramsci, kondisi ini mencerminkan hegemoni negara dalam sistem pendidikan.

Negara memosisikan institusi negeri sebagai standar ideal, menciptakan ketimpangan akses, pendanaan, dan pengakuan antara lembaga negeri dan non-negeri. Glorifikasi status negeri dijadikan alat untuk mempertahankan dominasi negara dalam struktur sosial.

Banyak PTN juga semakin terjebak dalam logika pasar. Skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang awalnya bertujuan memberikan otonomi akademis, kini mendorong kampus untuk mencari pembiayaan sendiri.

Akibatnya, banyak PTNBH memperbesar jumlah mahasiswa, membuka program-program populer tanpa pertimbangan strategis jangka panjang, dan menaikkan biaya pendidikan. Mereka menjelma menjadi semacam kapal keruk, mengangkut sebanyak mungkin sumber daya dari masyarakat demi menjaga kelangsungan operasional, tetapi tetap dikultuskan sebagai simbol kemuliaan negara.

Dalam konteks ekonomi-politik, ini menunjukkan kontradiksi antara neoliberalisme dan patronase negara. Negara menarik diri dari tanggung jawab pembiayaan, tetapi tetap mempertahankan pengaruh simbolik dan hierarki kelembagaan. Hasilnya adalah glorifikasi kosong yang menjebak masyarakat dalam ilusi kemajuan.

Bukan norma universal

Menariknya, glorifikasi terhadap institusi negeri seperti yang terjadi di Indonesia tidak selalu berlaku di negara lain. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, universitas yang paling bergengsi justru didominasi oleh institusi swasta seperti Harvard, Stanford, dan Yale.

Status sosial lulusan juga lebih sering dikaitkan dengan reputasi akademis, kontribusi ilmiah, dan jejaring alumni, bukan semata karena afiliasi dengan negara. Bahkan universitas negeri seperti University of California atau University of Michigan bersaing secara terbuka dengan swasta, dan harus membuktikan keunggulannya lewat riset dan inovasi.

Situasi ini tidak otomatis menyingkirkan peran publik, tetapi justru mendorong institusi membangun legitimasi berbasis kualitas, bukan sekadar simbol negara.

Lepaskan ukuran lalu

Masyarakat perlu berpikir ulang tentang apa arti keberhasilan dan kemajuan, sekaligus menyadari bahwa banyak cara pandang kita terhadap status ‘negeri’ adalah hasil warisan simbolik kolonial yang layak dikaji ulang.

Institusi swasta, komunitas independen, hingga kelompok masyarakat sipil telah banyak menunjukkan kemampuan berinovasi, beradaptasi, dan menghadirkan solusi di luar struktur negara.

Misalnya, munculnya gerakan pendidikan akar rumput di berbagai daerah, inisiatif teknologi oleh anak-anak muda di start-up yang tidak pernah ‘berlabel negeri,’ atau organisasi keagamaan yang justru lebih cepat tanggap dalam menghadapi kebutuhan publik dibanding institusi formal.

Di luar glorifikasi simbolik, ada ekosistem keberhasilan lain yang tidak kalah bermakna dan layak diapresiasi.

Kita juga perlu berhati-hati terhadap jebakan meritokrasi semu yang hanya mengakui “keberhasilan” berdasarkan asal lembaga.

Dalam beberapa kasus, akses ke institusi negeri lebih ditentukan oleh latar belakang sosial dan ekonomi, sehingga memelihara glorifikasi semacam ini justru memperkuat ketidakadilan struktural.

Tanpa kesadaran akan hal ini, masyarakat akan terus melanggengkan sistem hierarki sosial yang tidak adil, hanya demi status ‘negeri’.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 25 April 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Pendidikan

Universitas sebagai Tempat Produksi Pengetahuan Bukan Transmisi: Upaya Sistemik untuk Hentikan Pelanggaran Akademis

Kasus pelanggaran akademis di pendidikan tinggi tengah menyita perhatian khalayak Indonesia dengan munculnya laporan The Conversation Indonesia _(TCID), _Majalah Tempo, dan Jaring.id yang terbit pada 28 Maret 2024 serta kasus mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional Jakarta Kumba Digdowiseiso.

Banyak yang berpandangan bahwa pelanggaran akademis itu terjadi karena beban kerja dosen, kepentingan naik pangkat/jabatan, serta insentif publikasi. Sehingga, diskusi permasalahan ini sering berakhir pada harapan atas kejujuran individual dosen.

Tulisan ini berargumen bahwa solusi atas pelanggaran akademis tidak hanya tergantung pada kejujuran individu, tetapi perubahan budaya kampus secara sistemik dan menyeluruh.

Sebab, meski sudah memiliki aturan plagiasi untuk perguruan tinggi sejak 2010, jika akademisi dan masyarakat masih melihat kampus sebagai tempat “transmisi pengetahuan” dan bukan “produsen pengetahuan”, maka kasus plagiasi, juga pelanggaran akademis lainnya, akan tetap terjadi.

Praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur

Walter J. Ong, profesor sastra dan budaya dari Amerika Serikat (AS) dalam Orality & Literacy menjelaskan bahwa masyarakat dalam budaya tutur terus-menerus mengulang dan menyalin ulang pengetahuan yang diperoleh. Karena itu, masyarakat dan akademisi di Indonesia cenderung melihat kampus sebagai tempat ‘transmisi pengetahuan’. Tujuan kampus adalah memindahkan pengetahuan pada mahasiswa. Mahasiswa dianggap sukses ketika ia mengetahui, atau hafal, pengetahuan yang diajarkan.

Ini mengapa mudah menemukan tips untuk menghafal teori di internet yang juga diajarkan dosen di ruang kelas. Ilmu diposisikan seperti ‘dogma’ dan penyalinan menjadi sesuatu yang dapat diterima, karena sebuah pengetahuan sulit dibaca secara analitis oleh masyarakat tutur. Kebiasaan seperti ini menciptakan peniruan alih-alih kebaruan.

Akibatnya, “menyalin” isi buku yang dianggap penting (buku yang memperkenalkan konsep baru) adalah hal biasa.

Ini tampak pada kasus Hamzah Ya’qub, seorang dosen sekaligus salah satu pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Banten. Pada 1973, ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan Teknik Dakwah.. Karya ini termasuk upaya awal sarjana Indonesia menghubungkan studi dakwah dengan publisistik (kemudian dikenal sebagai komunikasi).

Pada tahun 1986, buku tersebut disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam; Dari Zaman ke Zaman.

Seperti yang tampak di gambar, isi kedua buku itu nyaris sama. Bedanya hanya pada urutan tulisan, beberapa istilah/kata dan sedikit tambahan.

Namun, meski penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, tidak ada isu plagiasi terkait kemiripan dua buku itu hingga hari ini. Bahkan, buku kedua diterbitkan lagi pada tahun 1990.

Risiko kultur meniru

Selain karena rendahnya perhatian kampus pada tindakan plagiasi waktu itu, ketiadaan isu plagiat pada kasus Ya’qub disebabkan anggapan bahwa praktik meniru itu wajar. Ketiadaan aturan dan batasan yang jelas juga menjadi alasan mengapa praktik di atas tidak bisa serta merta disalahkan.

Namun, pengaturan pendidikan di masa Orde baru, yang bertujuan mencetak tenaga kerja demi pembangunan, melanggengkan kultur meniru ini—sehingga seakan-akan tidak ada cara lain dalam memperoleh pengetahuan.

Praktik pembelajaran semacam ini menguntungkan pendidikan kejuruan yang menyiapkan tenaga kerja langsung untuk masuk ke industri, tetapi tidak untuk pengembangan keilmuan. Pendidikan komunikasi, misalnya, sekadar ditujukan untuk mencetak wartawan, humas, atau penyuluh pembangunan, bukan menjadi ilmuwan. Akibatnya, nyaris tidak ada diskusi serius tentang pengembangan teori baru. Studi-studi komunikasi di Indonesia cenderung stagnan.

Ketika tujuan pendidikan adalah peniruan, pendisiplinan atas plagiasi di kampus menjadi tumpul.

Kultur meniru menjebak riset ke dalam praktik pengulangan. Di ilmu sosial terutama, tujuan riset terbatas pada upaya memverifikasi teori—mahasiswa berupaya membuktikan sebuah teori, bukan mengevaluasi. Riset studi komunikasi pada 1980 menemukan minimnya modifikasi dan adaptasi teori dalam pembelajaran di kampus Indonesia.

Peniruan dan pengulangan riset verifikatif ini memunculkan masalah lain: jual beli karya ilmiah yang menyedot perhatian di akhir 1980-an. Beberapa pihak membolehkan hal ini, dengan alasan karya ilmiah itu dapat ditiru “pola kerja, pola penyajian, dan topiknya”, bukan dijiplak.

Artinya, kampus bahkan membenarkan kultur “peniruan” ini. Meniru diperbolehkan tanpa khawatir apakah peniruan itu akan mengabaikan penghormatan atas pemikiran orang lain. Kasus ini sekaligus menandai bahaya lain dari kultur peniruan yang memungkinkan bisnis karya ilmiah lainnya seperti joki dan paper mills (pabrik jual beli artikel ilmiah).

Kampus sebagai produsen pengetahuan

Saat ini, banyak akademisi mulai memposisikan kampus sebagai “tempat produksi pengetahuan”. Fungsi dosen sebagai peneliti berusaha menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain, sehingga menghasilkan pengetahuan baru melalui publikasi di jurnal ilmiah.

Pemerintah menyusun aturan publikasi untuk mendukung hal ini. Bahkan, aturan plagiasi yang telah ada pada 2010 disempurnakan pada tahun 2021.

Meski demikian, studi mengenai riset ilmu komunikasi tahun 2022 menunjukkan pengulangan metode deskriptif kualitatif sederhana.

Ini menunjukkan kultur yang tak berubah. Peraturan pemerintah hanya memaksa dosen dan lulusan universitas turun ke gelanggang riset, tanpa keterlatihan yang cukup dan budaya diskusi ilmiah.

Pelatihan yang tersedia mayoritas terfokus pada strategi publikasi, ketimbang pendalaman substansi riset ilmiah itu sendiri. Sedangkan konferensi akademik yang semestinya digunakan sebagai pemantik budaya akademik cenderung terkooptasi oleh kepentingan politik dan berkualitas rendah.

Parahnya, insentif publikasi didasarkan hanya pada jenis kanal publikasi dan bukan pada kontribusi akademik. Buktinya, ketika tulisan kami terbit, alih-alih mendapatkan pertanyaan tentang substansi artikel, kami justru mendapatkan ucapan “Selamat atas publikasi-nya di SCOPUS/SINTA”.

SCOPUS dan SINTA adalah dua platform indeksasi jurnal ilmiah yang populer di Indonesia, dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi sebagai standar kenaikan pangkat dosen.

Upaya untuk mengejar indeksasi tersebut memunculkan prinsip “yang penting SINTA” atau “yang penting SCOPUS”, tanpa memikirkan kontribusi akademiknya.

Banyak dosen kemudian menjadi pemburu publikasi: memanfaatkan riset mahasiswa lalu mencari cara agar tembus jurnal.

Ubah cara pandang

Solusi untuk pelanggaran akademis di pendidikan tinggi membutuhkan perubahan cara pandang. Penegakan etika, perumusan kode etik, pengurangan beban kerja dosen adalah tindakan penting untuk mencegah dan menghilangkan pelanggaran akademis.

Tetapi yang lebih sistemik, dan belum dilakukan, adalah upaya untuk memosisikan kampus sebagai produsen (bukan lagi transmisi) pengetahuan, menghapus kultur peniruan, dan mendorong riset untuk tidak sekadar memverifikasi teori.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Mei 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

Categories
Pendidikan

Kampus Masa Bodoh

Kampus adalah rumah para intelektual yang dituntut untuk turut serta memikirkan kondisi republik.

Dalam sejarah Republik, kampus pernah menjadi penjuru moral. Kaum intelektual lantang menyuarakan kebenaran di tengah hiruk-pikuk kekuasaan. Namun, kini, kampus membisu ketika penyalahgunaan kekuasaan terjadi dalam banyak aspek penyelenggaraan negara.

Beragam kritik telah dialamatkan kepada kaum intelektual di kampus. Mereka dianggap masa bodoh ketika berbagai penyalahgunaan kekuasaan terjadi secara terang benderang. Tak jarang, praktik ini dikemas dengan peraturan yang mengesankan keabsahan praktik kekuasaan yang brutal.

Publik merindukan kaum intelektual yang bersuara kritis. Kampus sebagai lokomotif utama masyarakat sipil jadi salah satu tumpuan harapan publik.

Suara moral yang kritis dari berbagai organisasi keagamaan pun mulai parau. Pelbagai fakta di lapangan menghadirkan cerita yang memprihatinkan.

Studi-studi terbaru tentang demokrasi Indonesia menunjukkan bukan saja aspek kemunduran demokrasi, melainkan juga otoritarianisme yang bercorak populis.

Tidak banyak kampus yang bersuara jernih dan kritis. Apa yang terjadi pada 22 Agustus 2024, ketika banyak warga kampus bersama elemen masyarakat sipil lain turun ke jalan menolak revisi Undang-Undang Pilkada, memang sedikit menjadi pengobat rindu. Namun, sebagian besar kampus masih tenggelam dalam kebisuan.

Mengapa kampus menjadi masa bodoh dan bahkan apatis? Proses dialog dan interaksi personal dengan banyak pemimpin kampus menghasilkan penjelasan awal.

Termasuk di dalamnya adalah ketiadaan kesadaran akan tanggung jawab, eksposur kepada informasi yang terbatas, kompas moral yang rusak, dan kemerdekaan intelektual yang terenggut. Penjelasan ini bersifat bertingkat.

Bukan urusan kampus

Sikap apatis bisa dijelaskan karena sebagian menganggap bersuara kritis saat ada pelanggaran bukan tanggung jawab kampus. Kesadaran akan tanggung jawab kampus sebagai penjuru moral bangsa tidak tumbuh dengan baik.

Kampus sudah terlalu sibuk dengan urusan domestik. Energi warga kampus sudah terkuras, untuk beragam aktivitas kejar setoran guna memenuhi banyak indikator capaian, baik individual maupun institusional. Aktivitas ini terkadang penuh cucuran keringat, tetapi minim manfaat bagi kampus.

Atau jangan-jangan memang hal itu disengaja, untuk menguras energi, sehingga kampus dan warganya tidak lagi sempat berpikir dan bersuara kritis? Jika ini benar, aktivisme intelektual kampus dimatikan dengan sistematis dan masif tanpa banyak disadari di kalangan intelektual.

Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, saatnya petinggi dan warga kampus perlu meningkatkan literasi akan tanggung jawabnya dari sumber otoritatif yang variatif. Salah satunya terkait dengan tanggung jawab intelektual publik. Kampus adalah rumah para intelektual ini yang dituntut untuk turut serta memikirkan kondisi republik.

Eksposur informasi

Kalaupun kesadaran akan tanggung jawab intelektual masih ada, keterbatasan eksposur ke informasi belum mampu memantik kampus untuk bersuara.

Informasi terkait dengan pelanggaran yang sampai ke media sering kali sudah tersaring. Potret terkait pelanggaran pun menjadi kabur. Hal ini ditambah dengan narasi tandingan yang sengaja disebar di ruang publik, termasuk dengan melibatkan para pendengung dan warganet yang terkecoh.

Untuk itu, petinggi dan warga kampus perlu keberanian untuk membuka diri terhadap keberagaman informasi. Hanya dengan demikian, kampus tidak seperti katak di dalam tempurung yang abai dengan perkembangan mutakhir di sekitarnya. Pergaulan pun perlu diperluas supaya tidak terjebak pada kamar gema, yang kalis dari wacana alternatif.

Kampus sebagai lokomotif utama masyarakat sipil jadi salah satu tumpuan harapan publik.

Kebenaran tak ditentukan oleh frekuensi paparan informasi yang kita dengar, tonton, atau baca. Kebenaran kadang tersembunyi di dalam informasi yang jarang kita akses karena kanal penyebarannya sering kali dipersempit. Eksposur yang baik terhadap informasi valid akan sangat berperan dalam memantik dan merawat kesadaran yang ujungnya adalah kemauan untuk bersuara.

Kompas moral

Bisa jadi akses informasi sudah baik, tetapi kampus tetap saja diam seribu bahasa. Mengapa demikian? Penjelasan lainnya adalah kompas moral kampus yang soak. Kompas moral yang seperti ini perlu dikalibrasi karena tidak lagi sensitif mendeteksi dan menunjukkan arah dengan benar.

Medan magnet di sekitar kompas moral sudah diganggu. Salah satu caranya adalah dengan sebaran narasi publik yang disetir atau bahkan dimanipulasi oleh para autokrat informasi (Guriev dan Treisman, 2019).

Pelanggaran telah dinormalisasi dengan peraturan yang dalam perumusannya disuntik dengan beragam kepentingan. Demokrasi dikatakan masih baik-baik saja dengan bermacam-macam dalih meski kenyataannya jauh dari itu.

Studi-studi terbaru tentang demokrasi Indonesia menunjukkan bukan saja aspek kemunduran demokrasi, melainkan juga otoritarianisme yang bercorak populis. Logika publik dipermainkan. Kebenaran pun menjadi samar dan sengaja dihancurkan supaya publik mengalami kekaburan dalam melihat kebenaran.

Efek dari operasi ini bisa sangat mengerikan karena kampus bisa saling bersitegang dalam mencari kesepakatan di era pascakebenaran.

Kampus mer(d)eka

Jika kompas moral masih bekerja tetapi kampus tetap tidak bersikap, penjelasan lain dapat diberikan.

Kampus tidak merdeka karena beragam sebab. Sebagian kampus tergantung kepada sumber daya negara dalam operasinya. Hal ini menjadikannya tidak bebas bersuara karena risiko yang bakal mendera. Bahkan, sampai hari ini, kampus dengan ratusan profesor pun masih belum diberi hak secara merdeka memilih pemimpinnya. Tangan kekuasaan pemerintah masih mencengkeram kuat, baik secara terbuka, samar, maupun tersembunyi.

Akibatnya, pemimpin kampus yang terpilih pun tersandera politik utang budi. Suara yang tidak sejalan dengan penguasa, meski jernih, hanya akan tebersit di dalam hati atau tersendat di kerongkongan.

Di sini keberanian kampus untuk bersuara perlu ditumbuhkan dan dikondisikan. Kebebasan akademik tidak sekadar menjadi slogan. Program kampus merdeka yang dalam beberapa tahun terakhir menyita perhatian sama sekali tidak menyentuh aspek ini.

Merdeka hanya sebatas jargon di tengah cengkeraman tangan kekuasaan yang halus dan terbukti membunuh kemerdekaan intelektual.

Bayangkan, mayoritas kaum intelektual di kampus mengalami ketakutan dan kekhawatiran untuk—meminjam pesan salah satu pendiri Universitas Islam Indonesia, Bung Hatta—mengatakan kesalahan kepada penguasa.

Tentu, tanggung jawab moral ini tidak lantas menjadi alasan kampus abai dari kewajiban lainnya, seperti pengajaran, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. Kewarasan kampus harus tetap dijaga dengan semestinya. Jika tidak, kampus merdeka akan berubah menjadi kampus mereka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 23 September 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.