Categories
Pendidikan

Universitas sebagai tempat produksi pengetahuan bukan transmisi: upaya sistemik untuk hentikan pelanggaran akademis

Kasus pelanggaran akademis di pendidikan tinggi tengah menyita perhatian khalayak Indonesia dengan munculnya laporan The Conversation Indonesia _(TCID), _Majalah Tempo, dan Jaring.id yang terbit pada 28 Maret 2024 serta kasus mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional Jakarta Kumba Digdowiseiso.

Banyak yang berpandangan bahwa pelanggaran akademis itu terjadi karena beban kerja dosen, kepentingan naik pangkat/jabatan, serta insentif publikasi. Sehingga, diskusi permasalahan ini sering berakhir pada harapan atas kejujuran individual dosen.

Tulisan ini berargumen bahwa solusi atas pelanggaran akademis tidak hanya tergantung pada kejujuran individu, tetapi perubahan budaya kampus secara sistemik dan menyeluruh.

Sebab, meski sudah memiliki aturan plagiasi untuk perguruan tinggi sejak 2010, jika akademisi dan masyarakat masih melihat kampus sebagai tempat “transmisi pengetahuan” dan bukan “produsen pengetahuan”, maka kasus plagiasi, juga pelanggaran akademis lainnya, akan tetap terjadi.

Praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur

Walter J. Ong, profesor sastra dan budaya dari Amerika Serikat (AS) dalam Orality & Literacy menjelaskan bahwa masyarakat dalam budaya tutur terus-menerus mengulang dan menyalin ulang pengetahuan yang diperoleh. Karena itu, masyarakat dan akademisi di Indonesia cenderung melihat kampus sebagai tempat ‘transmisi pengetahuan’. Tujuan kampus adalah memindahkan pengetahuan pada mahasiswa. Mahasiswa dianggap sukses ketika ia mengetahui, atau hafal, pengetahuan yang diajarkan.

Ini mengapa mudah menemukan tips untuk menghafal teori di internet yang juga diajarkan dosen di ruang kelas. Ilmu diposisikan seperti ‘dogma’ dan penyalinan menjadi sesuatu yang dapat diterima, karena sebuah pengetahuan sulit dibaca secara analitis oleh masyarakat tutur. Kebiasaan seperti ini menciptakan peniruan alih-alih kebaruan.

Akibatnya, “menyalin” isi buku yang dianggap penting (buku yang memperkenalkan konsep baru) adalah hal biasa.

Ini tampak pada kasus Hamzah Ya’qub, seorang dosen sekaligus salah satu pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Banten. Pada 1973, ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan Teknik Dakwah.. Karya ini termasuk upaya awal sarjana Indonesia menghubungkan studi dakwah dengan publisistik (kemudian dikenal sebagai komunikasi).

Pada tahun 1986, buku tersebut disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam; Dari Zaman ke Zaman.

Seperti yang tampak di gambar, isi kedua buku itu nyaris sama. Bedanya hanya pada urutan tulisan, beberapa istilah/kata dan sedikit tambahan.

Namun, meski penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, tidak ada isu plagiasi terkait kemiripan dua buku itu hingga hari ini. Bahkan, buku kedua diterbitkan lagi pada tahun 1990.

Risiko kultur meniru

Selain karena rendahnya perhatian kampus pada tindakan plagiasi waktu itu, ketiadaan isu plagiat pada kasus Ya’qub disebabkan anggapan bahwa praktik meniru itu wajar. Ketiadaan aturan dan batasan yang jelas juga menjadi alasan mengapa praktik di atas tidak bisa serta merta disalahkan.

Namun, pengaturan pendidikan di masa Orde baru, yang bertujuan mencetak tenaga kerja demi pembangunan, melanggengkan kultur meniru ini—sehingga seakan-akan tidak ada cara lain dalam memperoleh pengetahuan.

Praktik pembelajaran semacam ini menguntungkan pendidikan kejuruan yang menyiapkan tenaga kerja langsung untuk masuk ke industri, tetapi tidak untuk pengembangan keilmuan. Pendidikan komunikasi, misalnya, sekadar ditujukan untuk mencetak wartawan, humas, atau penyuluh pembangunan, bukan menjadi ilmuwan. Akibatnya, nyaris tidak ada diskusi serius tentang pengembangan teori baru. Studi-studi komunikasi di Indonesia cenderung stagnan.

Ketika tujuan pendidikan adalah peniruan, pendisiplinan atas plagiasi di kampus menjadi tumpul.

Kultur meniru menjebak riset ke dalam praktik pengulangan. Di ilmu sosial terutama, tujuan riset terbatas pada upaya memverifikasi teori—mahasiswa berupaya membuktikan sebuah teori, bukan mengevaluasi. Riset studi komunikasi pada 1980 menemukan minimnya modifikasi dan adaptasi teori dalam pembelajaran di kampus Indonesia.

Peniruan dan pengulangan riset verifikatif ini memunculkan masalah lain: jual beli karya ilmiah yang menyedot perhatian di akhir 1980-an. Beberapa pihak membolehkan hal ini, dengan alasan karya ilmiah itu dapat ditiru “pola kerja, pola penyajian, dan topiknya”, bukan dijiplak.

Artinya, kampus bahkan membenarkan kultur “peniruan” ini. Meniru diperbolehkan tanpa khawatir apakah peniruan itu akan mengabaikan penghormatan atas pemikiran orang lain. Kasus ini sekaligus menandai bahaya lain dari kultur peniruan yang memungkinkan bisnis karya ilmiah lainnya seperti joki dan paper mills (pabrik jual beli artikel ilmiah).

Kampus sebagai produsen pengetahuan

Saat ini, banyak akademisi mulai memposisikan kampus sebagai “tempat produksi pengetahuan”. Fungsi dosen sebagai peneliti berusaha menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain, sehingga menghasilkan pengetahuan baru melalui publikasi di jurnal ilmiah.

Pemerintah menyusun aturan publikasi untuk mendukung hal ini. Bahkan, aturan plagiasi yang telah ada pada 2010 disempurnakan pada tahun 2021.

Meski demikian, studi mengenai riset ilmu komunikasi tahun 2022 menunjukkan pengulangan metode deskriptif kualitatif sederhana.

Ini menunjukkan kultur yang tak berubah. Peraturan pemerintah hanya memaksa dosen dan lulusan universitas turun ke gelanggang riset, tanpa keterlatihan yang cukup dan budaya diskusi ilmiah.

Pelatihan yang tersedia mayoritas terfokus pada strategi publikasi, ketimbang pendalaman substansi riset ilmiah itu sendiri. Sedangkan konferensi akademik yang semestinya digunakan sebagai pemantik budaya akademik cenderung terkooptasi oleh kepentingan politik dan berkualitas rendah.

Parahnya, insentif publikasi didasarkan hanya pada jenis kanal publikasi dan bukan pada kontribusi akademik. Buktinya, ketika tulisan kami terbit, alih-alih mendapatkan pertanyaan tentang substansi artikel, kami justru mendapatkan ucapan “Selamat atas publikasi-nya di SCOPUS/SINTA”.

SCOPUS dan SINTA adalah dua platform indeksasi jurnal ilmiah yang populer di Indonesia, dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi sebagai standar kenaikan pangkat dosen.

Upaya untuk mengejar indeksasi tersebut memunculkan prinsip “yang penting SINTA” atau “yang penting SCOPUS”, tanpa memikirkan kontribusi akademiknya.

Banyak dosen kemudian menjadi pemburu publikasi: memanfaatkan riset mahasiswa lalu mencari cara agar tembus jurnal.

Ubah cara pandang

Solusi untuk pelanggaran akademis di pendidikan tinggi membutuhkan perubahan cara pandang. Penegakan etika, perumusan kode etik, pengurangan beban kerja dosen adalah tindakan penting untuk mencegah dan menghilangkan pelanggaran akademis.

Tetapi yang lebih sistemik, dan belum dilakukan, adalah upaya untuk memosisikan kampus sebagai produsen (bukan lagi transmisi) pengetahuan, menghapus kultur peniruan, dan mendorong riset untuk tidak sekadar memverifikasi teori.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Mei 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

Categories
Pendidikan

Robohnya Kampus Kami

Langit masih berhiasan semburat merah awan selepas Magrib. Saya pun sampai di sebuah kedai kopi. Suasana masih lengang, karena ukurannya yang lumayan besar. Cacah tamu yang datang pun belum banyak. Sebagian orang mungkin masih meneruskan wirid atau menunda makan malamnya.

Tubuh saya arahkan ke salah satu kursi kosong. Saya sampaikan jika menunggu seorang kawan, ketika pelayan menghampiri.

Tak selang lama, kawan saya pun datang. Seperti biasanya, dia mendekat dengan langkah tegap dan senyum merekah. Topi laken fedora setia menutup kepalanya.

Kami pun menjadi kursi yang lebih nyaman. Agak di dalam. Setelah memesan minuman tradisional, kami pun berbincang.

“Mas, gelisah gak, dengan kondisi bangsa saat ini,” tanya seorang kawan. Kami cukup dekat meski mengabdi di kampus yang berbeda.

“Jelas sekali, Mas”, jawab saya.

Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini.

Obrolan pun mengalir menyangkut banyak hal. Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini. Tentu, kami pun merasa bagian dari mereka. Jika pun dianggap tidak benar, paling tidak, nurani kami mengirim sinyal seperti itu. Ada perasaan bersalah yang menghantui.

Kegelisahannya ini sudah lebih dari cukup untuk memproduksi asam lambung dan mengganggu ritme tidur. Sialnya, keberanian yang ditunggu juga tidak kunjung datang. Tulisan ini harus pun menunggu beberapa hari, sebelum saya putuskan untuk dirampungkan.

Kala itu, kami berbagi perspektif dan cerita, tentang apa yang mungkin dilakukan. Kami sadar dengan beragam kekangan dan risiko yang menghadang. Bukan hanya soal personal, tetapi juga gerbong institusi.  

Banyak kawan-kawan yang kami harapkan ternyata sudah terkooptasi dan terbeli. Saya pun tersentak seakan tak terpercaya, sebelum akal sehat saya kembali menyapa. Semuanya ternyata masuk akal dari kacamata pragmatisme.

Meski demikian, kami sepakat untuk menjaga optimisme. Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa. Tulisan ini juga bentuk sapaan terhadap mereka.

Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa.

Kampus kuburan

Obrolan di kedai itu mengingatkan saya kepada cerita seorang dosen senior yang sangat saya hormati. Dalam sebuah kesempatan, Prof Zaini Dahlan, Rektor Universitas Islam Indonesia 1994-2002, gelisah dan berkata, “Kampus kita kok sepi sekali ya, kayak kuburan”.

Komentar tersebut tidak mengarah kepada sepi fisik, tetapi sepi suara intelektual. Kampus di sini pun tidak merujuk kepada bangunan fisik semata, tetapi keseluruhan ekosistem pembentuk perguruan tinggi.

Karenanya, saya sangat senang, jika sebagian dosen masih menyempatkan menulis di kanal media publik untuk merespons berbagai masalah bangsa. Kadang secara personal, gagasan disampaikan. Di lain waktu, pusat studi menyampaikannya secara kolektif.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup. Meski saya yakin, tidak semua orang, termasuk kalangan terpelajar, menganggap budaya menyampaikan pemikiran kritis ini masih penting.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup.

Yang jelas, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan jika suara intelektual kampus sudah sangat jarang terdengar di ruang publik untuk merespons beragam isu dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pekerjaan rumah bangsa dan negara ini masih banyak.

Kita bisa sebut diantaranya, korupsi yang tak kunjung berkurang, kolusi dan nepotisme dalam semua bentuknya, penyalahgunaan kekuasaan yang melawan kepentingan publik, perusakan alam yang dibiarkan, sampai dengan beragam pengelabuan akal sehat publik.

Gelisah yang tersendat

Dalam diskusi terbatas, kegelisahan tersebut kadang muncul. Namun, kerongkongan para intelektual dapat tiba-tiba tersendat, ketika suara kritis hendak dikeluarkan. Ada beragam kemungkinan alasan.

Termasuk di antaranya adalah masalah labirin administratif yang menghantui para dosen dan pimpinan kampus. Tugas-tugas ini sudah menghabiskan banyak energi tanpa tambahan kualitas yang memadai. Meme Dr Strange bertangan banyak sebagai representasi dosen yang terjebak di semesta jamak dengan tugas bejibun, menggambarkan realitas ini.

Selain itu, menyampaikan gagasan di ruang publik pun bukan tanpa risiko. Saya masih simpan jawaban Prof Azyumardi Azra ketika kami mendiskusikan soal ini melalui WhatsApp, sekitar sebulan sebelum beliau wafat. Beliau pun sadar risiko bersuara kritis.

Prof Azra membalas pesan saya:  “Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”

Beragam definisi intelektual dapat ditemukan dalam literatur. Secara sederhana, intelektual adalah mereka yang selain mumpuni secara keilmuan, juga tetap menjaga sensitivitasnya untuk mengendus masalah publik dan meresponsnya.

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik. Ketika berhubungan dengan publik, tugas intelektual menurut Chomsky adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan; memberikan konteks kesejarahan; dan mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang debat. Karena para intelektual mempunyai banyak privilese yang dinikmati, maka tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan kalangan awam kebanyakan.

Saya dan Prof Azra pernah berdiskusi ringan soal isu kebebasan berpendapat kaum, terutama di kalangan intelektual. Pemicunya adalah teror yang diterima salah satu kolega saya, Prof Ni’matul Huda, ketika akan menjadi pembicara sebuah seminar.

Saya masih ingat, saat itu mengutip pendapat Acemoglu dan Robinson (2019) dalam bukunya The Narrow Corridor: “Kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.”

Kita semua tahu, saat ini, tidak semua media kalis dari kooptasi dan tidak semua kelompok masyarakat sipil steril dari intervensi. Namun, ketika intelektualisme di kalangan terpelajar juga memudar, tanpa bermaksud jemawa, gantungan harapan publik akan semakin sirna.

Kita pun menjadi saksi, secara perlahan bangunan intelektualisme tergerogoti beragam sebab dan dalih. Pilar-pilarnya pun menjadi keropos. Tanpa kemunculan kesadaran kolektif kaum intelektual, kampus dalam imajinasi moral pun menunggu waktu untuk roboh.

Semoga tidak!

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 13 November 2023

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS), Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta, Rektor Universitas Islam Indonesia, Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada  eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

 

Categories
Pendidikan

Studi Media dan Komunikasi di Indonesia Stagnan: Perlu Pendekatan Baru

Riset (tahun 2022) menunjukkan bahwa studi komunikasi atau media di Indonesia berada dalam kondisi statis. Penyebabnya, universitas makin menjadi perusahaan bisnis yang mengeksploitasi akademisinya sebagai buruh, alih-alih sebagai intelektual yang otonom. Hal ini diperkuat dengan hasil studi tahun 2022 tentang tata kelola universitas di Indonesia yang condong pada neoliberalisme (persaingan pasar bebas) pendidikan tinggi.

Temuan riset lain juga menyepakati hal ini. Riset tahun 2019 dan 2022), contohnya, menyebutkan bahwa selama beberapa dekade, riset komunikasi tidak beradaptasi dengan perkembangan masyarakat dan tidak melayani kepentingan publik, melainkan menjadi instrumen kekuasaan neoliberal.

Meski sangat penting, kritik pada liberalisasi pendidikan semacam ini umumnya hanya mengarahkan pada solusi perbaikan di level struktur yang bersifat makro, cenderung lebih lama atau bahkan tidak mengubah apa pun.

Riset komunikasi perlu pendekatan baru

Liberalisasi tidak hanya berimbas pada tata kelola universitas, tapi juga pada pengetahuan mengenai komunikasi. Selama beberapa dekade, pengetahuan komunikasi di ruang kuliah di Indonesia didominasi oleh pengertian komunikasi sebagai “transmisi pesan” dan/atau studi yang cenderung terpusat di media (media-sentris), sehingga mempelajari hal yang itu-itu saja.

Sementara, ada pendekatan komunikasi lain, yang hampir tidak pernah dibicarakan padahal dapat menjadi alternatif stagnansi studi komunikasi, yakni pendekatan materialist.

Pendekatan materialist atau nonmedia-sentris adalah pendekatan kritis yang bertujuan menyelidiki bagaimana kapital, sebagai penyebab ketimpangan sosial, menggunakan komunikasi sebagai solusi untuk menyembunyikan ketimpangan tersebut. Pendekatan ini memperluas kajian komunikasi tidak hanya pada pesan atau media, tetapi juga pada objek-objek fisik/material (seperti tubuh, ruang dan benda/komoditas) karena komunikasi didefinisikan sebagai “sirkulasi orang, komoditas, dan modal”.

Yang bermasalah dari pandangan media-sentris

Model transmisi pesan/informasi dalam tulisan ini merujuk pada pengertian dari (John Fiske) pakar media dan ahli teori budaya dari Amerika Serikat (AS) atau (Stephen W. Littlejohn & Karen A. Foss), ahli komunikasi manusia dan retorika dari AS. Mereka menyatakan bahwa dalam model ini, komunikasi dipahami sebagai studi tentang bagaimana proses pengirim dan penerima memaknai pesan, atau bagaimana penggunaan kanal dan media komunikasi.

Model ini terpusat di penggunaan media dan sebenarnya penting untuk menunjukkan kekhasan studi komunikasi, agar berbeda dari disiplin lainnya. Namun, ketika komunikasi hanya didefinisikan dengan cara demikian, komunikasi menjadi stagnan. Lebih jauh, stagnansi ini dapat berimbas pada ketidakmampuan berempati melihat realitas sosial yang timpang.

Contohnya adalah kasus relasi buruh dalam platform ride-hailing (Gojek, Grab, dll) yang sempat menjadi bahasan aktual di hampir semua studi di Indonesia. Jika studi hukum melihat dari sisi hukum, sosiologi berbicara soal organisasi buruh, apa yang dibicarakan oleh kajian komunikasi atau media? Mereka membicarakan kepuasan pelanggan, rebranding, proses kreatif dalam iklan Gojek atau bahkan (nilai kepahlawan dalam iklan Gojek). Jikapun ada artikel yang berusaha berempati pada buruh industri gigs ekonomi ini dalam pemberitaan media Indonesia), ia terbatasi oleh karakter media-sentrisnya dengan hanya menyoroti perlunya agenda pemberitaan buruh platform ride-hailing.

Preferensi topik yang hanya fokus pada masalah transmisi pesan atau media mumunculkan kesan bahwa takdir studi komunikasi adalah pengabdi korporasi. Ini membenarkan kritik James W Carey (tahun 1989), pakar komunikasi AS yang menyebut: “model komunikasi kita, menciptakan kepura-puraan yang tidak jujur pada realitas yang kita gambarkan”.

Apa yang dipelajari dalam pendekatan materialist?

Yves De La Haye, professor komunikasi dari Universitas Grenoble, Prancis, barangkali termasuk yang cukup awal mendeklarasikan pendekatan materialist—sebagai kritik atas pandangan transmisi informasi/media sentris.

Yves de la Haye berupaya mendefinisikan komunikasi/media dengan cara lain. Menurutnya, komunikasi/media bukanlah perkara transmisi informasi belaka, tetapi semua hal (komoditas, orang maupun ide) yang memudahkan mobilisasi, karena dan untuk penguasaan kapital/modal. Komunikasi memudahkan dominasi oleh (pemilik) modal seperti pelumas bagi mesin.

Armand Mattelart, professor ilmu komunikasi dan informasi di Prancis yang mengikuti jejak De la Haye, tak hanya berfokus pada media, tetapi juga jalan, kanal, benteng, perang, sebagai jalan pembentukan masyarakat sebagai organisme sosial untuk memudahkan liberalisasi Eropa dan dunia).

Selain Mattelart, eksponen pendekatan materialist/non media sentris adalah David Morley, professor media, komunikasi dan kajian budaya dari Universitas Goldsmith, Inggris. Morley sendiri mengarahkan riset medianya pada ‘kotak peti kemas’. Ia beralasan bahwa dalam dunia digital, konvergensi dan sistem pengiriman multiplatform hanyalah perluasan dari sistem pengiriman multiplatform yang ada di dunia transportasi semenjak penemuan ‘kotak peti kemas’ pada tahun 1950an.

Jadi, jika dalam studi mengenai platform ride-hailing di Indonesia, pendekatan “transmisi pesan” dan media sentris menganalisis medium/event komunikasi (terutama dari sisi penyedia aplikasi), maka pendekatan materialist atau nonmedia-sentris dapat menganalisis hal-hal material yang dapat menyebabkan komunikasi/mediasi dalam kasus ride-hailing berjalan.

Misal, peneliti komunikasi dapat mempertanyakan apa hubungan kemunculan motor di Indonesia dengan sirkulasi modal dan kondisi transportasi publik dan atau pembangunan perkotaan, serta bagaimana kemudian komunikasi/media berperan mendidik masyarakat Indonesia bahwa mengendarai motor adalah basic life skill sehingga masyarakat dan pemerintahnya mengabaikan transportasi publik.

Contoh lainnya adalah komunikasi pariwisata. Peneliti komunikasi pariwisata mungkin sulit menggunakan konsep branding untuk menganalisis fenomena “ziarah wali” dalam masyarakat kita. Branding mengasumsikan mekanisasi wisata modern dengan aparat teknologi modern, sementara ziarah wali terjadi karena kebudayaan khas lokal.

Pendekatan materialist, barangkali dapat fokus pada bagaimana bunga tabur hadir di tempat ziarah wali, sebagai komoditas ekonomi (pedagang kecil di tempat ziarah) sekaligus sebagai medium yang membentuk sakralitas dalam peristiwa tersebut. Ia juga dapat mempertanyakan mengapa tradisi ziarah mensyaratkan bunga dalam bentuk bunga tabur dan bukan karangan bunga.

Dengan bunga, peneliti komunikasi dapat melihat bagaimana modal dapat bekerja menggerakkan bunga, pedagang, pengelola tempat wisata dan peziarah dalam satu tindakan komunikasi bernama ziarah wali.

Riset komunikasi untuk semua

Dengan pendekatan materialist, pembelajar komunikasi dapat menangkap masalah riil dalam masyarakat. Hal itu dilakukan dengan memperluas area penelitiannya pada subjek-subjek yang diabaikan dalam studi komunikasi selama ini, misalnya pedagang sayur (yang memobilisasi komoditas sayur dari desa ke kota), pedagang jajanan di sekolah-sekolah, petani, nelayan dan seterusnya.

Subjek-subjek ini biasanya dianggap tidak layak diteliti dalam studi komunikasi. Dari 3.757 dokumen penelitian bertajuk ‘strategi komunikasi’ di laman Garuda.kemdikbud, portal karya ilmiah (jurnal) yang dihasilkan oleh akademisi dan peneliti di Indonesia, sebagian besar studi fokus pada lembaga bermodal besar. Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa tak ada riset komunikasi yang menganalisis pedagang tahu bulat, misalnya, meski strategi komunikasi mereka unik.

Dengan demikian, liberalisasi pendidikan dalam studi komunikasi tidak hanya berimbas pada tata kelola, tetapi juga pengetahuan dalam studi komunikasi. Definisi komunikasi selama ini telah ditata sedemikian rupa untuk mengabaikan mereka yang tidak bermodal besar dan terpinggirkan.

Menggunakan pendekatan materialist dalam studi komunikasi tidak hanya menjamin keragaman penelitian agar tidak itu-itu saja, tetapi sekaligus menjawab kritik James W. Carey, bahwa studi mengenai fenomena komunikasi dan media bukanlah kepura-puraan belaka.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 April 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Bidang riset pada sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

 


Categories
Pendidikan

Dosen adalah Buruh: Pengakuan Ini adalah Langkah Pertama dalam Memperjuangkan Kesejahteraan Akademisi

Pemberlakuan Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023 untuk memusatkan dan menyederhanakan pengelolaan jabatan fungsional Aparatur Sipil Negara (ASN), menuai sorotan publik–terutama kalangan dosen.

Di antara berbagai pro dan kontra yang terjadi akibat aturan ini, muncul satu perdebatan menarik terkait status ketenagakerjaan dosen di Indonesia.

Sebagian pihak mengkhawatirkan dosen yang kini berfokus menjalankan tugas administratif. Bahkan, belum lama ini dosen sempat dibuat kalang kabut menyelesaikan penyesuaian angka kredit untuk memenuhi aturan baru ini–di tengah segudang beban administratif lain yang sebelumnya sudah menjadi kewajiban mereka.

Dengan kata lain, usaha meneguhkan dosen sebagai “manusia birokrasi” dianggap langkah yang salah karena seolah menempatkan mereka sebagai buruh.

Melalui artikel ini, kami ingin mengajak komunitas akademik untuk berefleksi: Benarkah dosen bukan buruh? Apakah tepat jika kita geram apabila pengelolaan kampus disamakan dengan lembaga politik atau korporasi? Bagaimana komunitas akademik perlu menyikapinya?

Dosen: buruh atau bukan?

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja/buruh sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Aturan ketenagakerjaan di Indonesia menjamin perlindungan pekerja/buruh. Dalam istilah hukum ketenagakerjaan, hal ini kerap kita sebut “socialisering process” (vermaatschappelijking). Istilah ini adalah serapan dari bahasa Belanda yang merujuk pada campur tangan pemerintah dalam relasi kerja demi melindungi pekerja/buruh.

Di sini, pekerja/buruh adalah pihak yang dianggap lemah dalam hubungan kerja–pola relasinya terbentuk berdasarkan perjanjian kerja. Perjanjian kerja memberikan kewenangan (kuasa) pada pemberi kerja dalam bentuk perintah, sehingga membuat kedudukan kedua pihak menjadi tidak seimbang.

Apakah dosen memenuhi gambaran di atas?

Berdasarkan relasi kerja mereka dengan institusi pendidikan tempat mereka bernaung (pemberi kerja), jawabannya jelas: iya.

Pertama, dosen bekerja pada sebuah perguruan tinggi dan memiliki kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh institusi. Dosen juga memperoleh hak menerima upah atas pekerjaan yang telah ditunaikan. Hak dan kewajiban ini dituangkan dalam perjanjian kerja yang mendasari hubungan antara institusi pendidikan sebagai pemberi kerja dan dosen sebagai pekerja/buruh.

Dosen wajib melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat. Tiga hal ini merupakan indikator kinerja atau prestasi dalam sebuah perjanjian kerja yang wajib mereka tunaikan.

Hal ini sama halnya dengan pekerja/buruh lainnya di sektor formal yang berkewajiban bekerja di bidang masing-masing sesuai yang tercantum dalam perjanjian kerja.

Keduanya berada di posisi yang sama: melaksanakan prestasi, mendapatkan kontraprestasi, dan berhak atas perlindungan yang sama dari regulasi ketenagakerjaan di Indonesia.

Kedua, status dosen sebagai buruh/pekerja juga terlihat dari mekanisme penyelesaian apabila dosen mengalami perselisihan ketenagakerjaan.

Perjanjian kerja memuat tiga unsur: pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam praktiknya, masalah upah–termasuk yang dialami dosen–paling banyak muncul dan diselesaikan dengan mekanisme Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Masalah upah yang bisa saja terjadi, misalnya, ketika institusi pendidikan tidak membayarkan upah kepada dosen.

Hal itu menunjukkan pengakuan secara hukum bahwa perikatan antara institusi pendidikan dan dosen adalah suatu hubungan kerja, antara pemberi kerja dan buruh/pekerja. Perikatan ini berhak dilindungi oleh regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Minim kesadaran kolektif

Sayangnya, kesadaran kolektif mengenai definisi buruh di Indonesia masih terbatas dan diwarnai stereotip. Buruh sering dikaitkan dengan pekerja kerah biru yang pekerjaannya terkait “tenaga jasmani”, seputar “pertukangan”, maupun “buruh pabrik”.

Padahal, apapun profesi dan sektor industrinya, sejauh terdapat hubungan relasi kuasa antara pemilik modal dan pekerja, maka secara substansi pekerja tersebut adalah buruh.

Kesalahpahaman inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa literasi masyarakat mengenai buruh di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam peringatan Hari Buruh, kebanyakan demonstrasi yang muncul sepi dari suara pekerja kerah putih dan jauh dari perhatian kebanyakan akademisi Indonesia.

Penempatan dosen sebagai bagian dari kelompok buruh penting untuk mengadvokasi dan meluruskan berbagai norma dalam regulasi pemerintah yang masih belum secara tegas melindungi dan berpihak pada kesejahteraan dosen.

Dosen, kampus, dan transformasi struktural

Pendekatan pemerintah Indonesia dalam pengembangan mutu dan sumber daya pendidikan tinggi sudah sewajarnya mendapatkan umpan balik dari seluruh pemangku kepentingan. Permen PAN-RB Nomor 1 Tahun 2023, misalnya, dianggap berpotensi menambah kompleksitas birokrasi dan memperkeruh kepastian karier dosen, sehingga patut dikritik.

Namun, kritik tersebut tak semestinya melenceng sampai menganggap bahwa penyamaan dosen sebagai buruh sama dengan merendahkan martabat mereka.

Misalnya, apakah betul dosen memiliki karakteristik profesi yang lebih mulia dibanding pekerja pada umumnya?

Pembedaan status kampus sebagai lembaga khusus yang berbeda dibanding korporasi, jika tidak cermat dalam memahaminya, justru dapat menjebak kampus dalam menara gading yang abai dengan perubahan sosial.

Birokratisasi kampus yang terjadi saat ini, selain merupakan warisan era penjajahan, sebenarnya lebih tepat kita lihat sebagai dampak atas transformasi struktural di tingkat global yang membuat kampus bergerak dengan logika kompetisi ala korporasi dan mengejar predikat kelas dunia.

Transformasi itu dimulai sejak munculnya perubahan paradigma dalam memahami peran perguruan tinggi seiring globalisasi ekonomi yang terjadi pada dekade 1960-an.

Sebelumnya, kampus dianggap sebagai aktor utama yang berperan mengembangkan pengetahuan. Riset cenderung berbasis pengabdian sosial dan lebih banyak didorong oleh semangat kebaruan ilmu pengetahuan.

Kini, dunia terjerat dalam sistem kapitalisme neoliberal–yang menekankan kompetisi pasar bebas dan transfer wewenang dari sektor publik ke sektor swasta dalam mengendalikan perekonomian. Akibatnya, eksistensi kampus ikut terseret ke dalam perangkap mekanisme pasar.

Kampus berubah menjadi korporasi pengetahuan dan membuat mutu riset lebih banyak diukur dari keberhasilan komersialisasi dan publikasi berbasis angka.

Kriteria mutu staf akademik juga berubah: dari kinerja yang berfokus pada pengajaran atau riset, ke kriteria profesionalisme akademik yang lebih universal dan komersial.

Universalisasi, misalnya, terlihat dari bagaimana indeksasi jurnal – seperti Scopus – mendikte persepsi mengenai mutu artikel ilmiah. Sementara, komersialisasi membuat akademisi dipacu untuk berkontribusi terhadap inovasi negara melalui paten. Semakin banyak jumlah paten, peringkat universitas di tataran global pun semakin terdongkrak.

Dampaknya, kampus menjadi kian hierarkis–layaknya tangga korporasi–sehingga menghilangkan semangat kolegialitas (menekankan solidaritas sesama pengajar). Dosen juga menghadapi beban birokrasi yang masif.

Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Riset menunjukkan bahwa birokratisasi kampus sebenarnya adalah tren global yang tengah terjadi di berbagai negara, termasuk di kawasan Eropa dan Australia. Kampus menjadi lembaga yang semakin birokratis, tidak lagi kolegial dalam proses pembuatan kebijakan.

Transformasi struktural ini juga berhasil mengubah model sistem penghargaan akademik dari kedalaman kepakaran dosen menjadi prestasi dosen berbasis metrik.

Pemeringkatan kampus dunia menjadi puncak komersialisasi kampus. Mutu dan peringkat pendidikan tinggi akhirnya sekadar berkiblat pada model-model perguruan tinggi di negara maju.

Saat kampus terjerat mekanisme pasar, peran dosen menjadi semakin kering. Fungsi dosen sebagai pembentuk karakter generasi tidak lagi diukur. Demi peringkat, dosen dipaksa produktif menghasilkan publikasi “bereputasi”–bahkan terkadang membuat mereka melakukan praktik buruk dan mengambil jalan pintas.

Desain ketenagakerjaan dosen semakin dibatasi dengan aturan karier dan performa kinerja yang semakin berbasis metrik, administratif, dan menjauhi substansi akademik.

Sebagai buruh, dosen perlu lebih awas terhadap isu ketenagakerjaan yang timbul akibat dinamika di atas.

Birokrasi memang punya sejumlah manfaat, tapi dosen juga tetap harus kritis mengawalnya agar efisien. Pasalnya, banyak perguruan tinggi yang menerapkan berbagai kewajiban administrasi sehingga mengganggu tanggung jawab utama dosen, yakni aktivitas akademik dan riset.

Untuk mengawal hal-hal ini, sekaligus melindungi nasib dosen secara kolektif, serikat pekerja kampus di Indonesia perlu kita tumbuhkan. Di dalamnya bisa termasuk serikat dosen dan tenaga kependidikan. Semakin banyak serikat pekerja kampus, semakin bagus.

Selama ini organisasi dosen lebih didorong oleh kesamaan rumpun ilmu dan minat pengembangan akademik. Kini, tiba waktunya warga kampus membangun kanal negosiasi kolektif dengan berserikat guna melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 01 Mei 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Pendidikan Sosial Budaya

Heared opposite then around but a heinous square amphibisly

Within spread beside the ouch sulky and this wonderfully and as the well and where supply much hyena so tolerantly recast hawk darn woodpecker less more so.

This nudged jeepers less dogged sheared opposite then around but a due heinous square subtle amphibiously chameleon palpable tyrannical aboard removed much outside and without vicious scallop flapped newt as.

Some grimaced after after mercifully lion thus oppressive hello heroically quizzical far impala heroic a passably and through as while far yikes that this plankton hedgehog far less one.

Less baboon inconspicuous pending masochistically stubbornly however thus thus coarse unicorn hawk hence indignantly since a excepting far inconspicuous goodness sensationally slavishly.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Versus penguin aside much via gauche unbound next therefore less taped far after strategic with querulous so away beamed and outside insane.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Categories
Pendidikan Pilihan Politik Uncategorized

Excluding well a some hummingbird meticulous

Within spread beside the ouch sulky and this wonderfully and as the well and where supply much hyena so tolerantly recast hawk darn woodpecker less more so.

This nudged jeepers less dogged sheared opposite then around but a due heinous square subtle amphibiously chameleon palpable tyrannical aboard removed much outside and without vicious scallop flapped newt as.

Some grimaced after after mercifully lion thus oppressive hello heroically quizzical far impala heroic a passably and through as while far yikes that this plankton hedgehog far less one.

Less baboon inconspicuous pending masochistically stubbornly however thus thus coarse unicorn hawk hence indignantly since a excepting far inconspicuous goodness sensationally slavishly.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Versus penguin aside much via gauche unbound next therefore less taped far after strategic with querulous so away beamed and outside insane.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Versus penguin aside much via gauche unbound next therefore less taped far after strategic with querulous so away beamed and outside insane.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Categories
Lingkungan Pendidikan Uncategorized

Direct trade ihil adipisicin thundercats viral helvetica

Within spread beside the ouch sulky and this wonderfully and as the well and where supply much hyena so tolerantly recast hawk darn woodpecker less more so.

This nudged jeepers less dogged sheared opposite then around but a due heinous square subtle amphibiously chameleon palpable tyrannical aboard removed much outside and without vicious scallop flapped newt as.

Some grimaced after after mercifully lion thus oppressive hello heroically quizzical far impala heroic a passably and through as while far yikes that this plankton hedgehog far less one.

Less baboon inconspicuous pending masochistically stubbornly however thus thus coarse unicorn hawk hence indignantly since a excepting far inconspicuous goodness sensationally slavishly.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Versus penguin aside much via gauche unbound next therefore less taped far after strategic with querulous so away beamed and outside insane.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Versus penguin aside much via gauche unbound next therefore less taped far after strategic with querulous so away beamed and outside insane.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.