Categories
Hukum

Serangan Siber kian Masif, Akankah Angkatan Siber TNI jadi Solusi?

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.

Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam publik. UU ITE saja sudah kerap menjadi alat untuk membatasi publik dalam menyampaikan pendapat.

Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.

Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan disusupi agenda-agenda politik praktis.

Rentannya serangan siber

Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.

Indonesia sendiri termasuk negara yang masih sangat rentan terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.

Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa komponen pertahanan di bidang siber yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.

Namun, kenyataannya masih banyak terjadi serangan siber yang gagal diantisipasi. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.

Contohnya adalah kebocoran data paspor dan penduduk yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.

Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran ujaran kebencian dan hoax di media sosial.

Maka dari itu, usulan munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.

Usulan pembentukan Angkatan Siber ini perlu ditinjau secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.

Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat patroli siber Polri menjadi sangat agresif dalam menegakkan keamanan siber.

Agresivitas ini justru lambat laun menjadi mengkhawatirkan, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. Jika salah langkah, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru mengancam demokrasi.

Antara pertahanan dan keamanan

Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.

Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.

Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini.

Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “Sinergitas TNI-Polri”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.

Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Untuk pertahanan, bukan keamanan

Kita bisa belajar dari Digital and Intelligence Service (DIS), Angkatan Siber Singapura yang baru saja dibentuk pada Maret tahun lalu.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Operasi siber memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil.

Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.

Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 September 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

 



Categories
Hukum Politik

100 Hari Pertama Prabowo-Gibran, Masa Depan Perlindungan HAM Makin Dipertanyakan

Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) merupakan Asta Cita nomor 1 dari prioritas program Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini.

Namun, riset terbaru Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menemukan bahwa performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran justru suram pada 100 hari pertama kekuasaannya, terutama dari sisi substansi peraturan perundang-undangan. Kesenjangan ini menjadi fondasi untuk mempertanyakan masa depan perlindungan HAM dalam lima tahun ke depan.

Riset ini meneliti performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran dari sisi substansi peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama pemerintah. Kami berfokus pada 155 peraturan perundang-undangan, terbagi ke dalam 87 undang-undang, satu peraturan pemerintah, dan 67 peraturan presiden.

Dengan mendefinisikan orientasi HAM berdasarkan pernyataan formal dan eksplisit tentang HAM dalam peraturan-peraturan itu, riset ini berupaya untuk memahami cara pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM di dalam aturan bernegara.

Elemen HAM dianggap minoritas

Riset kami menemukan bahwa selama 100 hari pertama memimpin, pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan.

Temuan ini didasarkan pada penilaian terhadap orientasi HAM di dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan indikator pemuatan HAM dalam peraturan, pemerintahan Prabowo-Gibran memperoleh skor 0,14 dari skala 0-1. Sementara berdasarkan indikator cakupan hukum dan ragam HAM dalam peraturan, pemerintahan saat ini memperoleh skor 0,06 dari skala 0-1.

Peraturan Presiden tentang Kementerian Kehutanan, misalnya, tidak didekati dengan pokok pikiran dan alasan pembentukan yang berbasis HAM. Dasar hukum pembentukannya juga tidak merujuk satu pun instrumen hukum HAM. Begitu juga dengan materi muatannya yang tidak menyatakan pelbagai ragam HAM secara eksplisit dan formal. Padahal, terdapat keterhubungan yang ketat antara isu kehutanan dengan HAM.

Dengan demikian, skor orientasi HAM dalam peraturan-peraturan yang telah disahkan hanya berkisar 0,1 dari skala 0-1, menandakan orientasi HAM yang sangat lemah dari pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Ini artinya, aspek HAM belum menjadi perhatian bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam membentuk peraturan perundang-undangan pada 100 hari pertama.

Memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan bukan pertanda baik dalam upaya perlindungan HAM. Konstitusi menegaskan bahwa pemerintah mengemban tanggung jawab untuk menjamin penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Dengan demikian, tanggung jawab pemerintahan terhadap HAM tidak hanya harus dilakukan, tetapi juga harus sudah terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang disahkan.

Abaikan hukum HAM

Riset ini juga menemukan bahwa pendayagunaan hukum HAM masih sangat terbatas. Dari 15 instrumen hukum internasional dan nasional HAM yang menjadi acuan, hanya satu instrumen yang dirujuk dalam 155 peraturan yang disahkan, yaitu UUD 1945 atau Konstitusi. Di tengah banyaknya instrumen hukum HAM, praktik ini menandakan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung tertutup dari keberadaan hukum nasional dan internasional HAM.

Menurut riset PUSHAM UII, pertimbangan tentang HAM justru sukar ditemukan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan peraturan-peraturan yang telah disahkan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Dalam dasar hukum pembentukan, rujukan langsung pada hukum internasional dan nasional HAM disebut sebagai praktik yang langka. Ragam HAM hampir tidak pernah ditemukan dalam ketentuan pasal-pasal. Selain itu, konstruksi HAM dalam penjelasan resmi atas setiap peraturan amat jarang ditemukan .

Pengucilan HAM

Riset ini juga menemukan empat indikasi lain yang semakin membuat komitmen perlindungan HAM dari pemerintahan Prabowo-Gibran patut dipertanyakan.

Pertama, pengakuan hak-hak masyarakat adat yang setengah hati. Dalam hal ini, pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak yang dinikmati oleh masyarakat adat.

Hal ini terlihat dalam 80 undang-undang terkait penetapan provinsi, kabupaten, dan kota. Seluruh peraturan ini merujuk Pasal 18B ayat (2) Konstitusi sebagai dasar hukum pembentukannya. Pasal ini memang mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat.

Namun, pasal tersebut terletak dalam Bab Pemerintah Daerah di dalam Konstitusi. Ini mengindikasikan bahwa semangat dari pengakuan lebih mengakar pada penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah.

Pengakuan yang berbasis kepemilikan hak, padahal, dapat didasarkan pada Pasal 28I ayat (2) Konstitusi, yang secara khusus terletak dalam Bab Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, perujukan Pasal 18B ayat (2) Konstitusi tanpa diikuti dengan Pasal 28I ayat (2) menunjukkan pengakuan hak-hak masyarakat yang setengah hati dan tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak.

Kedua, terdapat klise pada frasa “Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Tumpah Darah Indonesia dan Memajukan Kesejahteraan Umum” dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini dapat dijumpai, misalnya, dalam penjelasan resmi pada 70 undang-undang penetapan kabupaten dan 9 undang-undang penetapan kota.

Ketika diteliti, frasa yang sama juga dapat dijumpai dalam UU Ibu Kota Negara. Sayangnya, riset lain dari PUSHAM UII menemukan bahwa UU Ibu Kota Negara (IKN), yang memuat frasa tersebut di dalam penjelasan resminya, justru memungkinkan pelanggaran HAM dalam implementasi pembangunan Nusantara. Praktik ini mengindikasikan bahwa dalam praktiknya, frasa tersebut belum dijiwai oleh semangat perlindungan yang substantif.

Ketiga, ketidakjelasan pemaknaan tentang agenda pembangunan berkelanjutan. Frasa “pembangunan…dilakukan secara berkelanjutan” ditemukan di bagian pertimbangan dalam 79 dari 87 undang-undang. Sayangnya, istilah pembangunan berkelanjutan seringkali disalahartikan untuk kepentingan sesaat aparat pemerintah dan mengakomodasi kebijakan yang eksploitatif.

Proyek-proyek besar seperti pembangunan Nusantara dan jalan tol Trans-Jawa, misalnya, telah mengganggu HAM dan keberlanjutan lingkungan hidup. Padahal, kedua proyek ini mengusung konsep “berkelanjutan” di dalam dasar-dasar hukumnya.

Keempat adalah pengucilan bidang HAM. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memerintahkan Kementerian HAM untuk bersinergi hanya dengan Kementerian Hukum dan Kementerian Imigrasi-Pemasyarakatan. Tidak ada perintah serupa bagi kementerian di bidang-bidang lain seperti investasi dan hilirisasi, keuangan, perdagangan, kehutanan, dan pariwisata untuk bersinergi dengan bidang HAM. Padahal, HAM ada di setiap bidang dari seluruh urusan pemerintahan.

Tantangan ke depan

Temuan riset tersebut mengindikasikan bahwa perlindungan HAM tampaknya tidak akan terlaksana secara optimal dalam lima tahun ke depan. Sebab, bagaimana bisa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kemampuan melindungi HAM jika HAM sendiri terlihat tidak menjadi prioritas dalam peraturan perundang-undangannya?

Alih-alih memberikan perhatian secara kuat dan memastikan ruang yang dominan untuk HAM, pemerintahan Prabowo-Gibran justru mengeksklusi HAM dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama. Padahal, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memastikan perlindungan HAM.

Di negara-negara yang menganut prinsip negara hukum, seperti Indonesia, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu realitas di masa depan. Umumnya, keutamaan tentang realitas yang dikehendaki dituangkan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan suatu peraturan.

Kemudian, dengan didukung dasar-dasar hukum yang ada, jalan dan rambu-rambu untuk mencapai realitas itu dirumuskan dalam bentuk ketentuan pasal-pasal. Ketentuan ini menjadi penuntun yang mengikat mereka yang menjalankan pemerintahan, bahkan termasuk setiap orang dalam yurisdiksi negara.

Dengan menempatkan perlindungan HAM yang optimal sebagai realitas di masa depan, keutamaan tentang HAM seharusnya dituangkan, dirujuk, diekspresikan, dan dielaborasi dalam setiap elemen peraturan.

Keberadaan keutamaan tentang HAM ini menegaskan orientasi HAM dari peraturan perundang-undangan. Peraturan yang memiliki orientasi HAM kuat memungkinkan aparat negara, termasuk pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, untuk melindungi HAM secara optimal.

Sebaliknya, orientasi HAM yang sangat lemah dalam peraturan, sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, justru membuka ruang gangguan dan intervensi negara terhadap penikmatan HAM—membuat warga menyangsikan performa HAM dari suatu rezim pemerintahan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Februari 2025

Said Hadi
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum bisnis dan HAM, serta metodologi hukum.

Categories
Hukum

Presiden, DPR, dan MA Menunggu Apa Lagi

Pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung mau menunggu apa lagi untuk membenahi pengadilan kita?

Sudah banyak tulisan di pelbagai media, penelitian, dan seminar menyarankan dilakukan pembenahan total terhadap institusi pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung (MA).

Sudah puluhan, bahkan ratusan, hakim dan pegawai di semua tingkat pengadilan diberi sanksi, mulai dari yang ringan hingga berat; termasuk gelombang tangkap tangan yang dilakukan KPK.

Aktor penerima suap tidak hanya hakim, tetapi juga petugas pengadilan. Operator suap bahkan dilakukan oleh pegawai pengadilan di semua tingkat, mulai dari pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), hingga MA.

Kita masih ingat Edy Nasution, penerima suap pengurusan peninjauan kembali (PK) kasus sengketa perdata antardua korporasi besar. Juga Andri Triastianto Sutisna, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara MA, karena suap ”pengurusan” putusan hakim.

Kemudian, staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman, yang menerima suap dari pengacara Mario Carmelio Bernardo, penasihat hukum terpidana Hutomo Wijaya Ongowarsito. Puncaknya, dua sekretaris jenderal MA hingga kini masih meringkuk di lembaga pemasyarakatan.

Jauh sebelumnya, pada 2005, KPK menangkap lima staf MA, yakni Kepala Bagian Kepegawaian MA Malam Pagi Sinuhadji; Wakil Sekretaris Korpri Suhartoyo; staf Wakil Sekretaris Korpri, Sudi Ahmad; staf bagian perdata, Sriyadi; serta staf bagian kendaraan, Pono Waluyo, dalam kasus ”pengurusan” kasasi Probosutedjo.

Minggu lalu, Kejaksaan Agung menangkap mantan pejabat eselon satu MA yang diduga menjadi makelar kasus Gregorius Ronald Tannur. Ronald dibebaskan oleh majelis hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, dengan imbalan suap senilai miliaran rupiah.

Lebih mencengangkan adalah temuan uang hampir Rp 1 triliun hasil penggeledahan Kejaksaan Agung di beberapa properti milik tersangka Zarof Ricar. Uang dalam jumlah besar itu diduga hasil operasi suap-menyuap tersangka di seluruh pengadilan di Indonesia semenjak tahun 2012. Apakah pelaku bertindak sendiri? Tentu saja tidak.

Patut diduga tersangka memiliki jaringan kerja di tiap-tiap pengadilan; bisa orang dalam pengadilan (pegawai, panitera, hakim), makelar kasus lokal, pensiunan hakim, pensiunan pegawai pengadilan. Dengan kata lain, kejahatan ini bukan kejahatan individual (individual crime), melainkan kejahatan terorganisasi (organized crime) yang harus diungkap lebih jauh oleh Kejaksaan Agung.

Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.

Ragam penyimpangan

Aneka ragam tindakan menyimpang staf administrasi pengadilan dalam ”berbisnis” putusan sangat variatif, seolah tak ada bagian dari administrasi perkara yang luput dari permainan. Beberapa contoh berikut menunjukkan hal itu.

Pertama, memperlambat atau mempercepat mengunggah putusan ke direktori putusan; termasuk mempercepat atau memperlambat penyampaian salinan putusan ke terpidana, jaksa, penggugat, atau tergugat.

Kedua, menahan permohonan upaya hukum (banding atau kasasi) agar proses berlarut-larut. Ketiga, membocorkan putusan kasasi atau PK kepada terpidana yang tidak ditahan atau kepada penasihat hukum sebelum secara resmi putusan disampaikan sehingga terpidana yang berniat menghindari eksekusi punya kesempatan melarikan diri.

Keempat, menahan atau melambat-lambatkan penyerahan ekstrak vonis kepada jaksa agar terpidana punya kesempatan untuk kabur. Kelima, menahan putusan kasasi yang menguatkan atau meningkatkan vonis supaya tak buru-buru disampaikan ke pengadilan dan jaksa penuntut umum agar eksekusi tertunda, dan dalam penundaan eksekusi itu, terpidana bisa melakukan sesuatu.

Keenam, menghubungi pihak-pihak untuk merundingkan proses dan atau putusan kasasi atau PK yang diajukan.

Ketujuh, dalam perkara perdata, oknum pegawai MA menahan putusan kasasi atau PK sehingga pihak yang dikalahkan punya waktu meneruskan mengeksploitasi tambang, memetik hasil panen, menahan proses jual beli yang tinggal menunggu salinan resmi putusan.

Pembenahan

Praktik ”bisnis” putusan telah berlangsung lama, momentum perbaikan berkali-kali datang, tetapi momen tersebut berlalu begitu saja, sampai kemudian terjadi lagi suap atau gratifikasi berikutnya. Lalu, apa yang bisa dilakukan agar ada harapan?

Pertama, pemerintah, DPR, dan MA duduk bersama merevisi semua UU yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dengan fokus pada, pertama, rekrutmen hakim tingkat pertama dilakukan oleh lembaga independen Komisi Yudisial (KY) atau oleh tim seleksi yang memiliki integritas, kapasitas, dan kapabilitas.

Kedua, jadikan hakim sebagai pejabat negara (state apparatus), bukan pegawai negeri (government apparatus), agar independensi tidak terganggu oleh kewajiban-kewajiban administratif sebagai aparatur sipil negara.

Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan.

Ketiga, naikkan pendapatan hakim (take home pay). Keempat, perkuat sistem kontrol dengan menjadikan KY satu-satunya institusi yang melakukan pengawasan, setidaknya proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi sepenuhnya wewenang KY.

Kelima, staf administrasi perkara haruslah orang-orang andal, memiliki integritas dan kompetensi sesuai dengan peruntukannya sebagai pegawai pengadilan dengan mekanisme pengadaan tersendiri.

Keenam, administrasi perkara harus transparan dan akuntabel dengan basis teknologi informasi yang andal.

Ketujuh, harus ada mekanisme kontrol ketat dalam pendayagunaan teknologi informasi supaya tidak terjadi kelambanan mengunggah perkara, mengunggah putusan, tidak salah memuat nomor putusan, dan tidak terjadi perbedaan amar antara yang dimuat di laman dan salinan putusan resmi.

Langkah-langkah ini harus dilakukan segera oleh pemerintah dan DPR dengan merevisi secara luas peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Kepada pimpinan MA, bersikaplah responsif. Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan. Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 November 2024

Suparman Marzuki
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada sosiologi hukum dan hukum HAM. Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015

 

 

Categories
Hukum

Indonesia Sudah Lama Punya Pengadilan HAM sendiri. Mengapa Kiprahnya Jarang Terdengar?

Pemerintah meluncurkan kick off Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada 27 Juni 2023. Langkah ini diambil atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (Tim PPHAM), yang diketuai oleh Profesor Makarim Wibisono, pakar hukum HAM sekaligus eks duta besar RI.

Hingga kini, setidaknya ada12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih mangkrak. Padahal, mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia memiliki Pengadilan HAM sendiri yang mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lembaga ini sudah berdiri sejak lebih dari 20 tahun silam.

Pengadilan HAM Indonesia pernah menjadi ‘primadona’ perbincangan akademisi pada kurun tahun 2000-an. Setelah itu, seakan tertidur tak terdengar kembali rimbanya.

Pengadilan HAM Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM). Menurut ketentuannya, Pengadilan HAM merupakan bagian dari Peradilan Umum.

Indonesia saat ini memiliki empat Pengadilan HAM permanen yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Makassar, dan PN Medan. Selain itu, juga pernah dibentuk dua Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran sebelum tahun 2000.

Ketika ramai diberitakan tentang mekanisme nonyudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, para aktivis HAM kembali “mencolek” keberadaan Pengadilan HAM ini. Amnesty International Indonesia,  misalnya, masih vokal mendorong dilangsungkannya peradilan melalui Pengadilan HAM.

Jika kita punya Pengadilan HAM, mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial?

Sempitnya yurisdiksi

Setelah dibentuk pada tahun 2000, kritik terbesar bagi Pengadilan HAM adalah bahwa kompetensi kasus yang diadili terlalu sempit.

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki pernah mengkritik bahwa menunggu Pengadilan HAM menyelesaikan kasus pelanggaran di Indonesia hanyalah “harapan semu”, karena terlalu tinggi dan sempitnya level kejahatan yang dapat diadili Pengadilan HAM.

Ini karena yurisdiksi Pengadilan HAM hanya mencakup kejahatan genosida dan kemanusiaan – tipikal kejahatan yang hanya terjadi pada kondisi konflik bersenjata, atau minimal situasi internal disturbance (gangguan keamanan tingkat tinggi) semata. Sederhananya, kasus yang diadili oleh Pengadilan HAM hanya akan terjadi jika Indonesia sedang mengalami kekacauan keamanan.

Terbukti, Pengadilan HAM, baik ad hoc maupun permanen, sedikitnya baru menyelesaikan empat kasus saja sejak dibentuk. Dua pengadilan HAM ad hoc pernah mengadili kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Sementara Pengadilan HAM Permanen pernah menangani dua kasus, yaitu kasus Abepura dan Paniai di Provinsi Papua. Keduanya terjadi setelah tahun 2000. Padahal, setidaknya ada 15 kasus pelanggaran HAM yang telah diproses Kejaksaan dan seharusnya masuk menjadi kompetensi Pengadilan HAM. Artinya, ada 11 kasus yang menunggu untuk diselesaikan.

Pengadilan sandiwara

Pengadilan HAM juga banyak mendapat kritik dari kelompok pembela HAM karena dianggap sebagai “pengadilan sandiwara” dan penuh rekayasa. Nyaris semua kasus yang ditangani Pengadilan HAM hanya dianggap sandiwara semata dan cenderung memberikan kekebalan hukum pada aparat negara yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM.

Dalam kasus Abepura dan Paniai, Pengadilan HAM memvonis bebas para terdakwa yang merupakan personil TNI dan Polri.

Kasus Abepura merupakan kasus pelanggaran HAM pertama yang diselesaikan oleh Pengadilan HAM permanen. Peristiwa ini terjadi pada 7 Desember 2000. Bermula ketika sejumlah massa tak dikenal menyerang Markas Polsek Abepura yang mengakibatkan satu orang polisi meninggal dunia. Merespons penyerangan itu, pihak kepolisian melakukan pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.

Dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan polisi itulah diyakini telah terjadi kejahatan kemanusiaan, mengakibatkan setidaknya dua mahasiswa Papua tewas dan puluhan warga sipil luka-luka.

Saat itu, Pengadilan HAM menjadi harapan banyak masyarakat, terutama para korban dan keluarga korban peristiwa Abepura. Namun, majelis hakim Pengadilan HAM pada tahun 2005 justru memutus bahwa dua terdakwa yang merupakan personel aktif Polri tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.

Putusan bebas ini membuat publik pesimis bahwa eksistensi Pengadilan HAM akan membawa kemajuan bagi penegakkan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM. Sebaliknya, kasus ini justru menegaskan impunitas aparat keamanan terhadap institusi peradilan.

Sementara itu, peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014. Saat itu, warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan oleh aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Namun, pasukan militer malah menembaki warga sipil di sana. Empat pelajar tewas di tempat, satu tewas setelah sempat dirawat di rumah sakit, dan belasan orang lainnya luka-luka.

Pada 2022, majelis hakim Pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang seorang pensiunan TNI. Putusan ini dikecam banyak kelompok masyarakat sipil. Proses persidangan dianggap tidak berkualitas, penuh kejanggalan, dan seakan memang sejak awal dimaksudkan untuk gagal (intended to fail).

Carut marut konsep sejak pembentukannya

Patut dicurigai lemahnya taring lembaga Pengadilan HAM sudah “terdesain” sejak pertama dibentuk. Dengan kentalnya pelibatan TNI dan Polri dalam perumusannya, UU Pengadilan HAM justru berpotensi memberikan impunitas hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat, khususnya yang dilakukan oleh kedua lembaga negara tersebut.

Jika demikian, pantas saja kemauan politik (political will) untuk menuntaskan penanganan kasus pelanggaran HAM oleh negara selama ini sangat lemah.

Ketika pertama dibahas, konsep Pengadilan HAM digadang-gadang bertujuan untuk menangani tuntutan warga negara yang tidak terpenuhi hak-haknya. Namun, hasil pembahasan justru menyatakan bahwa lembaga ini hanya mengadili dua bentuk kejahatan semata, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua kompetensi ini sangat mirip dengan kompetensi yang dimiliki oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang dapat mengadili empat jenis kejahatan: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Ketika UU Pengadilan HAM masih dalam tahap pembahasan pada 1999, dunia internasional tengah mendesak Indonesia untuk mengadopsi dan mengakui yurisdiksi ICC guna menangani kasus pasca-disintegrasi Timor Timur.

Pun pada akhirnya, Indonesia menolak mengakui yurisdiksi ICC dan memilih membentuk Pengadilan HAM nasionalnya sendiri yang memiliki yurisdiksi yang mirip.

Padahal dua kompetensi tersebut telah dikritik sejak dalam pembahasan awal. Dalam catatan Pemandangan Umum Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, dikhawatirkan “pada masa yang akan datang bisa jadi Pengadilan HAM tidak akan dapat bekerja secara efektif, karena langkanya perkara. 

Kritik-kritik ini akhirnya menjadi kenyataan.

Hari ini, kita semakin jarang mendengar kiprah Pengadilan HAM. Sayangnya, hal ini tidak bisa serta-merta kita artikan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi semakin sedikit, karena yang terjadi adalah sebaliknya.

Label pengadilan sandiwara pun masih tersemat. Jika masalah-masalah ini tak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin penanganan kasus melalui Pengadilan HAM akan semakin ditinggalkan. Akibatnya, harapan untuk memenuhi rasa keadilan para korban pelanggaran HAM akan semakin menjadi mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.



Categories
Hukum

Restu Amendemen dari Pak Amien

Jangan pernah terlalu percaya bahwa amendemen lagi atas UUD lantas bisa menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan kita.

 

Amien Rais menyatakan meminta maaf karena perhitungannya yang naif saat memimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat dan karena melakukan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Dia pun mempersilakan jika MPR yang sekarang hendak mengamendemen lagi UUD tersebut.

Pernyataan mantan Ketua MPR tersebut disampaikannya saat menemui pimpinan MPR, 6 Juni 2024 lalu. Konteksnya, Pak Amien merasa keliru (terlalu naif) telah memelopori perubahan (amendemen) atas UUD 1945 yang ternyata ada beberapa isinya yang membuat kehidupan politik dan ketatanegaraan kita terjebak dalam kubangan politik yang buruk.

Dua hal buruk yang secara eksplisit dicontohkan oleh Amien Rais kepada wartawan adalah tentang pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara langsung dan tentang syarat kewarganegaraan untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Cara pemilihan presiden dan wakil presiden yang menurut Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 yang asli dipilih oleh MPR diubah menjadi dipilih langsung oleh rakyat melalui Pasal 6A Ayat (1) UUD hasil amendemen. Dalam praktiknya, ternyata ini berbalikan dengan apa yang saat itu dibayangkan oleh Amien Rais bahwa pilpres secara langsung akan lebih demokratis karena tidak mungkin ada yang bisa menyuap rakyat dengan politik uang (money politics).

Praktiknya, pilpres langsung malah marak dengan transaksi dan money politics. Bahkan, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai Pemilu 2024 pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia.

Hal lainnya, terkait dengan salah satu syarat untuk menjadi presiden/wakil presiden, yang semula menurut Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang asli harus ”orang Indonesia asli”, diubah frasanya dalam UUD 1945 hasil amendemen menjadi ”warga negara Indonesia”.

Ini menimbulkan masalah karena “dianggap” menggerus hak konstitusional dan historik pribumi. Meskipun secara ilmiah masih menjadi persoalan, masih banyak anggapan bahwa orang Indonesia asli pasti pribumi, sedangkan warga negara Indonesia belum tentu pribumi.

”Resultante” poleksosbud

Amien Rais menyatakan meminta maaf karena hal-hal tersebut, tetapi bagi banyak orang mungkin kurang tepat kalau hanya Amien yang harus meminta maaf, sebab perubahan UUD 1945 saat itu merupakan arus besar aspirasi masyarakat yang tidak bisa dibendung.

Kalau amendemen itu dianggap salah, yang harus meminta maaf adalah semua pejuang reformasi 1998 karena tidak bisa mengendalikan amendemen konstitusi sehingga memuat hal-hal yang dianggap tidak baik. Kalau amendemen tersebut salah, itu adalah kesalahan kolektif kita. Begitu pun, statement Amien Rais yang mempersilakan jika UUD akan diamendemen lagi merupakan statement yang wajar dan tepat sebab UUD memang bisa diamendemen dengan mekanisme dan syarat tertentu.

KC Wheare dalam The Modern Constitutions (1960) mengatakan bahwa konstitusi adalah resultante atau kesepakatan para pembentuknya berdasar keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud) bangsa yang bersangkutan pada saat konstitusi itu dibuat.

Perjalanan waktu dan keadaan bisa melahirkan perubahan konstitusi berdasar kesepakatan sesuai dengan situasi poleksosbudnya. Apa yang dilakukan Amien Rais dan kawan-kawan ketika melakukan amendemen atas UUD 1945 adalah sesuai dengan resultante umum saat itu. Jika sekarang diperlukan resultante baru, kita bisa melakukannya dengan mengamendemennya lagi.

Diubah tiap tahun pun, jika moral, etik, dan konsistensi kita dalam berhukum tidak diperbaiki, amendemen seperti apa pun tidak akan ada gunanya.

Selalu diubah, selalu disalahkan

Jadi, ilmu hukum tata negara tidak boleh tidak setuju jika ada kehendak untuk membuat resultante baru yang mungkin diperlukan untuk melakukan amendemen lagi terhadap UUD 1945 hasil amendemen.

Namun, yang harus diingat, jangan pernah terlalu percaya bahwa amendemen lagi atas UUD lantas bisa menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan kita. Dalam perjalanan sejarah kita, UUD selalu dibuat dan selalu diubah, tetapi tidak ada satu pun yang kemudian dianggap benar sehingga selalu diamendemen dan diamendemen lagi.

Jika dihitung dari sejarah perjalanan bangsa, baik secara resmi maupun dalam praktik ketatanegaraan sejak tahun 1945, kita sudah melakukan perubahan konstitusi tidak kurang dari sepuluh kali, yang kemudian selalu digugat untuk diamendemen lagi.

Kita tahu, tak sampai dua bulan setelah pengesahan UUD 1945 yang pertama (yang asli) tanggal 18 Agustus 1945, pada 16 Oktober 1945 sudah dikeluarkan Maklumat Wapres Nomor X yang disusul dengan maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 yang isinya mengubah praktik ketatanegaraan dari sistem presidensial menjadi sistem ministerial tanpa mengubah UUD secara resmi.

Kemudian, berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, UUD kita diganti secara resmi dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Konstitusi RIS 1949 ini pun tidak berlaku lama karena sejak 17 Agustus 1950 diganti lagi dengan konstitusi baru, yakni Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Pada akhir tahun 1950-an, UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer dianggap terlalu liberal, memicu kegaduhan, dan mengancam persatuan bangsa sehingga dibentuk Konstituante melalui Pemilu 1955 dengan tugas membentuk konstitusi baru yang definitif. Sejalan dengan tersendat-sendatnya Konstituante untuk membentuk UUD yang baru, Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang mencabut berlakunya UUDS 1950 dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Pascakejatuhan Presiden Soekarno tahun 1966/1967, di era pemerintahan Orde Baru muncul juga usul-usul agar UUD 1945 diganti lagi, tetapi pemerintahan Orde Baru menegaskan tetap memberlakukan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Pemerintah Orde Baru bersikap kokoh dengan jargon “murni dan konsekuen” tersebut. Tiga tokoh yang berbicara tentang kemungkinan perubahan UUD 1945, yaitu Ismail Sunny, Bung Tomo, dan Mahbub Djunaidi, pernah ditahan oleh pemerintah Orde Baru tanpa proses pengadilan.

Meskipun begitu, tekad untuk murni dan konsekuen Orde Baru atas ideologi dan konstitusi tidaklah melahirkan pemerintahan yang bersih. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi kanker ganas di tubuh bangsa. Sejalan dengan krisis moneter, tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi tak bisa dibendung hingga pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto runtuh melalui gerakan reformasi 1998.

Setelah itu, agenda reformasi dan konsolidasi demokrasi dikerjakan dalam berbagai aspek dan yang paling menonjol di antaranya adalah amendemen atau perubahan UUD 1945. Semboyannya waktu itu, “Tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi”.

Maka, UUD 1945 diamendemen oleh MPR hasil Pemilu 1999 yang diketuai oleh Amien Rais melalui empat tahap (empat kali sidang tahunan), yakni tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Sekarang muncul lagi ide yang, antara lain, disuarakan oleh Amien Rais tentang kemungkinan dilakukannya lagi amendemen atas UUD hasil amendemen.

Masalahnya moral dan etika

Pada dua periode (sekitar 10 tahun) pertama perjalanan reformasi 1998, pemerintahan berjalan relatif bagus.

Berbagai peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga baru dibentuk dengan kerja-kerja yang cukup demokratis dan efektif. Namun, semakin lama politik demokratis bergeser menjadi oligarkis. KKN merajalela lagi, penegakan hukum menjadi karut-marut.

Itulah alasan munculnya ide mengamendemen lagi UUD 1945. Namun, seperti saya kemukakan di atas, kita bisa saja bersetuju dengan ide amendemen lagi tersebut, sebab kapan pun kita mau membuat resultante baru tidaklah salah. Namun, hendaknya diingat, masalah yang paling pokok adalah sikap moral, etika, dan konsistensi dalam berkonstitusi dan berhukum.

Diubah tiap tahun pun, jika moral, etik, dan konsistensi kita dalam berhukum tidak diperbaiki, amendemen seperti apa pun tidak akan ada gunanya. Buktinya, setiap hasil amendemen yang semula dianggap baik kemudian selalu digugat untuk diamendemen lagi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 15 Juni 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

Categories
Hukum Kesehatan

Rokok dan UU Kesehatan 2023

Polemik dan perdebatan tentang rokok dan kesehatan adalah polemik lama berkepanjangan yang tampaknya tidak akan pernah usai. Seilmiah apa pun hasil penelitian kesehatan menunjukkan bahaya rokok dan menghirup asap rokok. Pada faktanya banyak orang merokok yang tetap sehat dan bugar, sebaliknya tidak sedikit juga orang yang tidak merokok tetapi memiliki masalah yang kompleks terhadap kesehatannya.

Kondisi ini bersamaan pula dengan merebaknya penjual rokok, baik yang legal maupun ilegal, bahkan belakangan semakin banyak bermunculan merek-merek rokok baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Maka tidak heran, jika berhenti merokok untuk alasan kesehatan belum menjadi kesadaran bersama masyarakat Indonesia.

Mari kita coba kembali pada persoalan klasik mengenai merokok atau hak untuk merokok. Banyak orang berasalan bahwa merokok adalah hak asasi setiap orang. Oleh karena itu, sama dengan komponen hak lainnya, negara berkewajiban untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati hak tersebut. Benarkah demikian menurut konsepsi hak asasi manusia?

Dalam konsepsi hak asasi manusia, merokok bukanlah bagian dari hak asasi, sebaliknya yang merupakan hak asasi adalah hak untuk sehat dan mendapatkan udara yang sehat. Oleh karena itu, justru yang harus dilakukan dan dilindungi oleh negara adalah jaminan bahwa setiap orang mendapatkan udara yang bersih, segar, dan sehat.

Dengan demikian, apakah merokok mejadi terlarang? Tentu tidak, merokok sah-sah saja bagi siapa pun yang menginginkannya, bahkan merokok dapat mejadi hak jika kebolehannya ini diatur dalam sebuah peraturan, misalnya dalam peraturan daerah. Namun, dalam konteks ruang publik, negara justru wajib memastikan agar setiap orang terbebas dari asap rokok yang dapat mengganggu kesehatannya. Jadi, merokok justeru dapat bahkan harus dilarang jika berpotensi atau telah mengganggu hak mendapatkan udara yang segar dan sehat.

Kewajiban di UU Kesehatan

Saat ini, pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan 2023) yang salah satunya mengatur tentang rokok. Dari aspek formal prosedural, ini kali kesekian pemerintah dan DPR mengesahkan UU secara tergesa-gesa, tidak melewati partisipasi yang memadai, juga tidak melalui kajian yang cukup baik.

Dampaknya, tidak ada dasar dan pijakan ilmiah terhadap pilihan kebijakan yang diambil. Salah satu misalnya adalah kesalahan berpikir dalam memaknai rokok dan hak asasi manusia. Misalnya ketentuan Pasal 151 UU Kesehatan 2023 yang berbunyi, “Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok”.

Pasal ini mewajibkan agar tempat-tempat publik menyediakan tempat khusus bagi perokok. Sekilas, ini seperti jalan tengah antara perokok dan bukan perokok, ini seperti jalan keluar agar perokok tetap mendapatkan tempat untuk merokok, di sisi lain tidak mengganggu orang yang tidak merokok.

UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut.

Namun, jika dilihat lebih dalam, Pasal 151 ini justru ambigu, anomali, dan bertentangan dengan UUDN RI Tahun 1945. Pasal 28H UUD menegaskan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.

UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut. Dengan demikian, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, dan tempat umum sejatinya harus membantu memastikan agar tempat publik terbebas dari asap rokok.

Selain itu, jika ketentuan di atas disahkan, lalu ada pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja dan tempat umum yang karena menjalankan mandat konstitusi ingin melindungi hak atas lingkungan yang sehat, dengan cara tidak menyediakan tempat khusus merokok, maka akan mendapatkan sanksi, karena frasa ”wajib” dalam pasal tersebut. Ini sangat anomali, bagaimana mungkin ada pihak yang melindungi masyarakat dari lingkungan yang kotor akibat asap rokok justru mendapatkan hukuman.

Ini mengindikasikan bahwa ketentuan pasal tersebut harus ditinjau ulang, jalan singkat yang dipilih oleh DPR dan pemerintah ini akan berdampak fatal bagi jaminan atas hak mendapatkan udara sehat dan segar. Terlebih, penormaan ini dengan mengesampingkan partisipasi publik yang memadai. Sejatinya, urusan rokok ini sudah sangat jelas terpampang di bungkusnya bahwa ”merokok membunuhmu”, jika pemerintah mewajibkan penyediaan tempat khusus untuk merokok, tampaknya mengamini adagium itu.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 26 Juli 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.



Categories
Hukum

Mengidulfitrikan Penegakan Hukum

Agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.

Ungkapan ”mengidulfitrikan penegakan hukum” dimaksudkan untuk menyatakan ”menyucikan penegakan hukum agar bisa meraih kembali sukmanya”. Artinya, kembali ke fitrah dan filosofi, mengapa manusia berhukum.

Sampai hari ini, kita masih berada di bulan Syawal 1445 H, berada pada suasana Lebaran, menyusul hari raya Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 10 April 2024. Di mana-mana masih banyak diadakan acara syawalan, Lebaran, atau halalbihalal yang di dalam ritualnya selalu ada ucapan ”Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin”.

Salah satu makna ungkapan selamat Idul Fitri adalah doa dan syukur atas keadaan kita sebagai manusia yang kembali menjadi suci, kembali ke asal penciptaan, bersih dari dosa dan segala keburukan. Bagi orang Islam, anugerah kembali suci itu didapatkan seusai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.

Banyak public common sense dilanggar dan banyak ekspresi perasaan publik bahwa sekarang ini hukum bisa dibeli.

Idul Fitri, asal mula kejadian

Baik menurut Al Quran maupun menurut hadis Nabi Muhammad, asal kejadian manusia adalah makhluk bertauhid (beriman) dan lahir dalam keadaan suci (fitrah), tanpa noda.

Adalah perjalanan hidup yang banyak godaan yang kemudian membawa manusia melakukan perbuatan buruk dan banyak dosa yang menodai kesucian asal penciptaan-Nya. Nah, dengan melakukan ibadah puasa Ramadhan secara sungguh-sungguh, manusia menjadi suci kembali (aid al fithr), bersih dari dosa-dosa masa lalunya.

Di Indonesia, keadaan kembalinya manusia ke kesucian diri (aid al fithr) menimbulkan tradisi Islam yang sangat baik, yakni saling meminta dan memberi maaf dengan ritual pada bulan Syawal agar kesucian dan kebersihan diri itu menjadi sempurna. Dasarnya, dosa kepada sesama manusia tak menjadi bersih sebelum dimintakan maaf kepada yang bersangkutan.

Halalbihalal, Lebaran, dan syawalan dikategorikan sebagai tradisi Islam di Indonesia—dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara—karena menurut sumber primer Islam tidak ada ajaran tentang ritual halalbihalal atau syawalan. Menurut Al Quran dan sunah Nabi, saling bermaafan tidak harus menunggu bulan Syawal, tetapi perlu dilakukan sesegera kesalahan terhadap orang lain dilakukan.

Tradisi syawalan jika dikaitkan dengan kaidah usul fikih, Al ’adah al muhakkamah, bahwa suatu tradisi (adat) bisa bernilai hukum, maka ritual tersebut termasuk tradisi Islam yang baik, bernilai hukum sunah, dan berpahala jika dilakukan. Tradisi ini telah membuat ritual indah untuk saling memaafkan di momen tertentu selain yang bisa dilakukan setiap waktu.

Fitrah dan sukma hukum

Jika fitrah diartikan sebagai asal kejadian atau kesucian manusia, hukum pun mempunyai fitrah dan ruh atau sukmanya. Ruh hukum adalah nilai-nilai yang bersumber dari akhlak, moral, dan etika yang kemudian sering disebut juga sebagai sukma hukum.

Di awal-awal memulai kuliah mahasiswa fakultas hukum diajari dalil bahwa hukum adalah aturan hidup bersama yang ditetapkan secara resmi (disepakati) oleh lembaga yang berwenang yang pelaksanaannya bisa dipaksakan oleh aparat dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya. Norma-norma di dalam masyarakat yang bersumber dari akhlak, moral, dan etika biasanya dikelompokkan menjadi empat norma, yakni norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.

Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah penegakan hukum yang telah terlepas dari sukmanya, menyimpang dari tuntutan agama, moral, dan etika.

Norma hukum adalah norma yang digradasikan ke atas dari nilai-nilai ketiga norma lainnya melalui penetapan secara resmi oleh lembaga yang berwenang. Ketiga norma yang belum ditetapkan sebagai norma hukum itu tetap berlaku sebagai sumber nilai hukum dan aturan perilaku di dalam masyarakat.

Ada dua hal penting dari penjelasan singkat itu. Pertama, di dalam masyarakat ada banyak norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku yang bersumber dari agama, moral, dan etika.

Kedua, hukum adalah salah satu norma yang diberlakukan secara resmi dari nilai-nilai agama, moral, dan etika sehingga hukum dinyatakan sebagai perkembangan gradual dari berbagai norma yang ada. Karena peresmiannya itulah, maka norma hukum menjadi mengikat dan bisa dipaksakan dengan adanya ancaman sanksi.

Dengan demikian, nilai-nilai norma selain hukum, yaitu agama, moral, dan etika, yang belum diresmikan menjadi hukum, tetap mengikat sebagai pedoman nilai-nilai dan perilaku yang menjadi sukma atau ruh hukum.

Selain perbedaan gradual bahwa hukum adalah semua norma dalam masyarakat yang diberlakukan secara (dilegalkan, dihukumkan), maka penegakan dan sanksinya pun berbeda dari norma-norma yang lain.

Penegakan hukum dilakukan dengan sanksi heteronom (dipaksakan oleh kekuatan aparat negara) dalam bentuk perampasan kemerdekaan dan atau benda-benda tertentu. Sementara, norma-norma selain hukum keberlakuannya bertumpu pada penghayatan dan kesadaran kolektif yang sanksinya berupa sanksi otonom.

Berbeda dengan sanksi heteronom, sanksi otonom muncul dari kesadaran dan gedoran hati nurani yang menimbulkan rasa menyesal, malu, gelisah karena merasa berdosa, cemas kalau pelanggaran atas agama, moral, dan etika nantinya berakibat buruk dan menyebabkan musibah bagi keluarganya karena dosa atau karma, merasa tidak aman dan hidup tertekan karena takut ketahuan, dan diisolasi atau dijauhi masyarakat dan familinya.

Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum.

Kembali ke sukma hukum

Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah penegakan hukum yang telah terlepas dari sukmanya, menyimpang dari tuntutan agama, moral, dan etika.

Kolusi antara penjahat dan pejabat banyak terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam dan penggunaan anggaran negara yang tidak bisa diselesaikan karena hukumnya ditumpulkan.

Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum. Kita tak kaget lagi mendengar berita banyaknya pejabat, hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang diadili dan dijebloskan ke penjara. Sekarang ini banyak hukum dipandang hanya sebagai bunyi undang-undang (UU) yang produknya jauh dari sukma hukum, yaitu keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran sebagai sukma hukum.

Banyak orang tidak takut melanggar moral dan etika dengan alasan tidak melanggar aturan hukum yang resmi, sementara para penegak hukum sering hanya menggunakan teks undang-undang tanpa mau masuk ke sukma yang ada di balik teks, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran. Banyak public common sense dilanggar dan banyak ekspresi perasaan publik bahwa sekarang ini hukum bisa dibeli.

Makanya, agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran, demi kesejahteraan rakyat. Salah satu kunci untuk itu adalah leadership.

Kepemimpinan harus berjiwa merah dan putih. Merah artinya berani dan tegas tanpa pandang bulu. Putih artinya jujur, bersih, dan bijaksana. Tak cukup hanya merah, tak cukup hanya putih. Yang diperlukan adalah keduanya: merah dan putih.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 29 April 2024

Moh Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

 

Categories
Hukum

Disabilitas dan Kesetaraan di Hadapan Hukum

Penyandang disabilitas atau siapa pun, jika berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan sama. Perlu ada peraturan lebih detail untuk pelaksanaan teknisnya.

Kasus yang menimpa Agus, seorang penyandang disabilitas tanpa tangan, di Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyita perhatian publik dan diberitakan hampir setiap hari di media cetak dan elektronik. Bagaimana mungkin, seorang laki-laki yang tidak memiliki tangan dapat menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan yang mengaku sebagai korbannya dan dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Di luar itu, yang menarik adalah bagaimana proses hukum dilakukan terhadap penyandang disabilitas tersebut oleh pihak yang berwenang, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan. Bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum?

Perspektif sosial dan akomodasi yang layak

Melihat kasus tersebut, publik, termasuk juga instrumen penegakan hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan petugas lapas, masih rancu dalam menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses hukum. Ada yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan secara istimewa atau dispesialkan dari pelaku tindak pidana lainnya.

Ada pula yang berpandangan bahwa seorang penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum seharusnya tidak diproses secara pidana, kondisi disabilitasnya dijadikan sebagai alasan pemaaf atas tindak pidana yang dilakukannya. Ada juga yang berpandangan bahwa penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum tidak perlu mendapat perhatian, biasa saja sebagaimana yang lainnya.

Semua anggapan di atas adalah tidak tepat, penyandang disabilitas tidak perlu diperlakukan istimewa atau dispesialkan karena justru akan menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana lainnya. Penyandang disabilitas juga tidak boleh dilepaskan dari tuntutan pidana karena kondisi disabilitasnya semata, terutama disabilitas fisik, ia harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana mestinya.

Lalu, bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum? Dalam konteks proses, penyandang disabilitas atau siapa pun harus diperlakukan sama, tidak boleh ada pembedaan.

Namun, instansi penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan harus memastikan bahwa semua hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam proses peradilan tersebut harus dihilangkan. Misalnya, jika ada penyandang disabilitas tuli-bisu, dengan alasan berdasarkan undang-undang dia juga bisa ditangkap dan ditahan, tetapi proses penangkapan dan penahanannya harus menghilangkan hambatan komunikasi yang dimiliki oleh penyandang disabilitas tersebut, misalnya dengan menghadirkan juru bahasa isyarat.

Begitu seterusnya dalam proses yang lain. Penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda, misalnya, boleh ditangkap dan ditahan, bahkan harus jika itu menurut perintah hukum, tetapi polisi harus memastikan di kantor polisi saat proses BAP (berita acara pemeriksaan), pengguna kursi roda dapat bergerak dengan mudah ke mana pun ia mau.

Coba bayangkan, misalnya, aparat penegak hukum menahan seorang pengguna kursi roda, tetapi di rumah tahanan tidak ada kamar hunian yang memiliki kakus duduk. Dalam kondisi demikian, bagaimana seorang pengguna kursi roda dapat memenuhi hajatnya?

Di Polri belum ada peraturan teknis tentang bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam tugas dan fungsi kepolisian.

Kebutuhan regulasi ke depan

Dari aspek regulasi jaminan hak penyandang disabilitas, sebetulnya Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang sangat lengkap. Ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), lalu ada UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Lalu, di level yang lebih konkret ada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Hanya saja, dalam aspek yang lebih teknis, belum ada peraturan yang lebih lanjut terutama di level kepolisian dan Mahkamah Agung (MA).

Di Polri belum ada peraturan teknis tentang bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam tugas dan fungsi kepolisian. Begitupun dengan MA, belum ada peraturan yang lebih detail menerjemahkannya dalam kewenangan hakim dan pengadilan.

Diskusi mengenai pemenuhan akomodasi yang layak melalui peraturan internal, baik di Polri maupun MA, sebetulnya sudah dimulai dan berulang kali dilakukan. Namun, masih tarik ulur karena perbedaan persepektif dan pemahaman yang belum merata dalam memahami paradigma disabilitas.

Kasus Agus yang disebutkan di awal tulisan ini sejatinya mengenyak kita bersama dan menjadi kesadaran bersama bahwa peraturan internal yang lebih teknis, bahka sampai ke level prosedur standar operasi (SOP) sangatlah dibutuhkan. Agus tidak sendiri, ada banyak Agus lain di Indonesia, penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, yang mengharuskan instansi penegak hukum melayaninya.

Dalam catatan penulis, berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan, ada 1.092 penyandang disabilitas di Indonesia yang berada di rutan dan lapas. Artinya, angkanya tidaklah sedikit. Dengan peraturan internal dan SOP yang jelas, maka polisi, jaksa, maupun hakim tidak lagi akan kesulitan dan kebingungan jika menghadapi kasus serupa. Selain itu, justru akan melindungi anggota yang bertugas karena bertindak berdasarkan SOP yang tersedia.

Dalam kasus Agus, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun lapas, beruntung karena dengan pendampingan yang tepat dari jaringan masyarakat sipil tidak terjadi kesalahan tindakan ataupun pelayanan yang cukup serius. Pada level ini, kita harus mengapresiasi petugas yang bekerja di lapangan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 12 Februari 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada  hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.  



Categories
Hukum Politik

A Breakthrough for Freedom of Expression in Indonesia

The Constitutional Court on April 29 handed down a landmark decision; one that could mark a turning point for digital freedom of expression in the country. 

The court declared it unconstitutional to prosecute individuals simply for criticizing government institutions, corporations, professions or public officials. 

Human rights activists and legal scholars have welcomed the decision as a major step forward in human rights reform. But the question remains: does this ruling truly safeguard the digital rights of Indonesian citizens, or is it merely symbolic progress in a system still riddled with ambiguity? 

The court’s ruling hinged on three key points, each targeting the vague and overly broad language found in Articles 27A, 45(4), 28(2) and 45A(2) of Law No.1/2024 which amended Law No.11/2008 on Electronic Information and Transactions (ITE) which are deemed to be contradictory to the 1945 Constitution. 

First, the phrase “another person” (orang lain) was clarified to exclude corporations, government institutions, public officials and public figures. In plain terms: criticism of power is no longer criminal by default. 

Second, the term “something accusatory” (suatu hal) was declared unconstitutional and void of legal force – unless interpreted strictly as referring to actions that genuinely degrade someone’s dignity or reputation. Viewpoint Every Thursday ADD THIS TOPIC Whether you’re looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, “Viewpoint” is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most. 

Third, the provision criminalizing the online dissemination of material that might incite hatred or hostility was deemed unconstitutional unless narrowly interpreted. According to the court, it must apply only to content that (1) is clearly hate-based, (2) targets specific identities, (3) is intentional and public and (4) presents a real risk of discrimination, hostility or violence. In short: context, intention and identity matter. 

In his expert testimony, Herlambang Wiratraman argued that such offenses should be understood as cyber-enabled crimes, not cyber-dependent ones – meaning they exist offline too, and digital platforms are just the medium. He emphasized that hate speech provisions in the ITE Law should not operate in isolation but refer back to Articles 156 and 157(1) of the Criminal Code. Prosecutors, he argued, should focus on proving the actual content (actus reus), the speaker’s intent (mens rea) and the social standing or role of the person making the statement.

 According to expert Bambang Harymurti, the original intent of the law was to regulate the technical aspects of electronic information and transactions – not to police speech. But in a last-minute twist, outdated and irrelevant criminal provisions were slipped in, effectively turning the law into a tool for silencing dissent and criminalizing free expression. 

A 2024 report from SAFEnet highlights the scale of the problem: 146 cases of digital expression violations were recorded, impacting 170 individuals – most tied to Article 27A. While the motives ranged from personal disputes to political criticism, accusations of blasphemy and economic conflicts, a striking pattern emerged: among the top five complainants were organizations, corporations, political parties and public officials – precisely the actors now excluded from protection under the Court’s latest decision. 

From an employee venting about her toxic workplace to a consumer exposing fraud by a car leasing company and a TikToker jailed for reviewing a disappointing apartment he bought – the victims of the ITE Law come from all walks of life. Ironically, Daniel Frits, the very activist who brought the case that led the Constitutional Court to reinterpret the law, nearly became its casualty. His alleged crime? Sharing electronic information in defense of Karimunjawa’s environmental sustainability. 

Indonesia has long struggled to protect freedom of expression in the digital space. The ITE Law has frequently been used to criminalize dissent, satire and legitimate criticism, often under vague legal provisions. For years, the state’s approach aligned more closely with regimes that repress rather than protect free speech. 

But with the recent Constitutional Court decision, there is a glimmer of change. While we should consider this a turning point – we must also ask: where does Indonesia stand when it comes to regulating online expression? 

Freedom of expression (FoE) online is typically governed through three approaches: absolute, proportional and abusive. The absolute model permits unrestricted expression, based on the belief that rational individuals can navigate falsehoods without state interference. No country fully adopts this approach, as it assumes an idealized public immune to harm or misinformation. The proportional approach (which is accepted in most democratic states), recognizes FoE but allows restrictions based on international standards such as the Siracusa and Johannesburg Principles. Limitations must be lawful, necessary and serve legitimate aims such as protecting public order, safety,or others’ rights. Crucially, such restrictions must be clear, proportionate and subject to remedy.

 The abusive approach, by contrast, erodes FoE with or without legal cover. Courts also offer little protection; laws are often vague or weaponized – through tactics like SLAPPs – to silence dissent. This model breeds fear, not dialogue. Countries such as China, Russia, the UAE, Myanmar, Laos, Vietnam and Cambodia exemplify this approach. It is open to the public’s criticism in which approach Indonesia falls. 

There is no denying that the Constitutional Court’s recent decision is a step forward. In the face of mounting threats to freedom of expression (especially online), it narrows the scope for criminal prosecution against critical voices in civil society. 

However, the public should temper their optimism. Major barriers to free expression remain, including the lack of comprehensive anti-SLAPP protections. Without such safeguards, the court’s ruling risks being read narrowly by law enforcement, applying only to the ITE Law while ignoring broader systemic issues. 

The Institute for Criminal Justice Reform has raised red flags about the new Criminal Code set to take effect in 2026. Several provisions still threaten free expression: Articles 263 and 264 on “fake news,” Article 433 on contempt (which, like the ITE ruling, should exclude criticism of institutions) and Articles 218 and 219 on defamation of state leaders – all of which risk replicating the very problems the Court sought to correct. 

Additionally, the amendment of the Indonesian Military (TNI) Law brings controversy because of an article that expands the TNI’s function to help combat cyber threats. According to SafeNet, the militarization of cyberspace can give rise to coercive-militaristic policies such as censorship, information operations and tightening of regulations regarding online expression. 

Nevertheless, with the Court’s decision being final and legally binding, citizens are on firmer ground to voice criticism, whether aimed at government bodies, corporations or public figures. 

This protection should empower not only activists, but also journalists, students, workers, consumers and everyday internet users to speak out against injustice or misconduct. In any democratic society, challenging power – wherever it resides – is not just a right, but a public duty. 

 

The article was published in the Opinion section of The Jakarta Post on May 7, 2025.

Sahid Hadi
A Civil Law Lecturer at the Faculty of Law, Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on business law and human rights, as well as legal methodology.



Categories
Hukum Politik

Bahaya Revisi UU TNI: Multifungsi Membuat Prajurit Jadi ‘Kurang Militer’, Publik Terancam Direpresi

Wacana pemerintah dan parlemen untuk merevisi ketentuan dalam Undang-Undang TNI kini tengah jadi sorotan. Ada ketakutan revisi ini akan melonggarkan pembatasan peran militer di ranah sipil. Pembahasan ini masuk dalam agenda prioritas legislasi.

Dalam rapat dengan DPR pada 11 Maret lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan bahwa Prabowo meminta agar prajurit TNI yang akan ditugaskan di kementerian atau lembaga harus pensiun dini. Selain itu, TNI yang aktif diusulkan agar bisa menempati 15 kementerian/lembaga. Ini semua diminta dimasukkan dalam pembahasan revisi UU TNI.

Pada Juni 2024, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa TNI bisa bersifat multifungsi. Peristiwa ini mengawali pergulatan sengit antara aktivis masyarakat sipil dengan DPR-pemerintah terkait revisi UU TNI.

Revisi UU TNI mencakup beberapa isu nonkrusial, seperti penambahan jabatan berupa Wakil Panglima, perluasan kewenangan untuk fungsi keamanan, hak berbisnis, dan pelonggaran pengisian jabatan publik oleh TNI aktif.

Agenda pengaturan tersebut mencederai semangat Reformasi TNI tahun 1998. Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dan maraknya PHK, hal ini semakin menambah kekhawatiran publik. Revisi UU TNI yang menambah peran aparat militer ditakutkan dapat mengembalikan Indonesia pada masa kelam kebebasan sipil seperti pada era Orde Baru. Kala itu, kebijakan Dwifungsi ABRI disorot sebagai salah satu biang kerok masalah.

Padahal, Dwifungsi ABRI telah dikubur dalam agenda Reformasi TNI dan pembubaran ABRI melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000.  

Multifungsi militer tidak hanya cenderung berbahaya bagi kehidupan demokrasi sipil, tetapi juga berpotensi membuat prajurit menjadi “kurang militer” (demiliterisasi). Pada akhirnya nanti, fokus utama TNI sebagai alat pertahanan menjadi tidak optimal.

Militerisme di segala lini

Istilah “multifungsi” yang dilontarkan Agus Subiyanto sebenarnya menarasikan praktik kiprah TNI yang ada di tengah masyarakat.

Kita tidak asing melihat TNI berseragam bertugas mengamankan kegiatan warga hingga penanganan bencana. Militer aktif juga terlibat dalam proyek ketahanan pangan, distribusi program makan bergizi gratis (MBG), bahkan menduduki jabatan publik.

Namun sejauh ini, kebijakan-kebijakan di atas belum memiliki payung hukum yang jelas. Kalaupun ada, posisinya masih terlalu umum dan banyak mendapatkan kritikan. Revisi UU TNI yang sedang digarap ini dimaksudkan untuk memberikan payung hukum pada kiprah-kiprah TNI tersebut.

Jika revisi tersebut lolos dan menjadi beleid baru, bangkitnya nuansa militer dalam pemerintahan niscaya benar terwujud. Sebab, baru beberapa bulan menjabat saja, Presiden Prabowo Subianto sudah mewarnai pemerintahan dengan nuansa militerisme.

Sebagai contoh, ia mengawali masa jabatannya dengan melakukan retret bersama dengan seluruh jajaran menteri Kabinet Merah-Putih di Akademi Militer, Magelang. Tradisi ini diteruskan dengan melaksanakan retret bagi seluruh Kepala Daerah terpilih beberapa waktu lalu.

Meskipun ia menegaskan bahwa agenda tersebut bukan untuk menjadikan urusan sipil sebagai militer, publik tentu dapat merasakan vibe militer, apalagi sebagian besar fasilitator kegiatan adalah berasal dari militer.

Di Indonesia, tampaknya militer harus ‘multitalenta’. Prajurit tidak hanya bertempur, tetapi diminta juga harus siap bertani, mengurusi dapur makanan, hingga manajemen publik dalam birokrasi. Padahal, sejatinya tugas militer yang utama adalah berperang dan menjaga pertahanan negara dari ancaman luar.

Demiliterisasi TNI

Wacana multifungsi TNI ini bak menuntut militer sebagai “satuan serba bisa” (jack of all trades). Hal ini berisiko menjadikan keahlian utama yang seharusnya dimiliki TNI menjadi tidak optimal.

TNI memiliki tugas utama untuk menjaga pertahanan negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945. Sederhananya, TNI adalah komponen tempur nasional.

Memberikan TNI beban tugas selain fungsi utamanya dapat berisiko besar terhadap kualitas para prajurit. Jika agenda multifungsi tetap diakomodasi dalam revisi UU TNI, dapat terjadi demiliterisasi terhadap angkatan tempur nasional Indonesia.

Profesionalisme militer diwujudkan dalam fokus dan pengembangan militer nasional. Jika dioptimalkan, potensi utama militer akan terwujud.

Amerika Serikat (AS) misalnya, telah berhasil membentuk satuan tempur luar angkasa pertama di dunia. Singapura, meski dengan jumlah militer yang tak banyak, telah memiliki satuan pertahanan siber yang tangguh di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, Laos yang tidak memiliki wilayah maritim (landlock) memiliki angkatan laut karena memprioritaskan pertahanan perairannya di Sungai Mekong. Negara-negara ini mengupayakan peningkatan potensi militernya semaksimal mungkin.

Kita tidak bisa mengatakan kondisi militer nasional Indonesia saat ini tanpa cela. Prabowo telah lama menyoroti urgensi peremajaan alutsista nasional. Selain alutsista, pada 2023, jumlah personel TNI pun masih dianggap kurang untuk menjaga teritorial negara yang begitu luas.

Bahkan, pemerintah sampai mendorong pembentukan Komponen Cadangan untuk membantu tugas-tugas TNI.

Belum lagi jumlah serangan siber yang bertambah di Indonesia. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) sampai mencetuskan pembentukan Angkatan Siber sebagai matra keempat di Indonesia.

Ini menunjukkan betapa peningkatan kapasitas militer nasional masih jauh dari kata sempurna.

Daripada “memaksa” militer untuk menambah kemampuan di ranah sipil, sebaiknya pemerintah fokus membangun kapasitas internal militer terlebih dahulu agar bisa menghasilkan prajurit yang lebih terlatih untuk menjaga pertahanan nasional.

Urusan ranah sipil dan birokrasi pemerintahan, biarlah pemerintah merekrut talenta-talenta melalui rekrutmen publik dari unsur sipil.

Jalan masuk potensi kekerasan

Kala diterapkan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru, banyak perwira dan jenderal militer menempati pelbagai jabatan publik yang seharusnya ditempati pemerintahan sipil. Sejarah merekam  bagaimana campur tangan militer tersebut berujung pada penindasan, bahkan kekerasan, terhadap kritik pada pemerintah.

Memang, belum tentu adanya militer di ranah sipil akan serta merta menjadikan lembaga negara bersifat militeristik. Namun, hal ini membuka potensi bagi prajurit militer terlibat jauh dalam ranah sipil, dan menjadikan mereka rentan untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum: lewat tindakan berbasis kekerasan. Pasalnya, tentara memang dilatih dalam nuansa itu. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Padahal, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan di benua Eropa, yang memiliki pengalaman panjang dengan peperangan, menerapkan diskursus untuk mengontrol dan membatasi peran militer dalam kehidupan bernegara sehari-hari. Paradigma ini memiliki ide pokok untuk memisahkan militer dari ranah pemerintahan sipil dan meningkatkan profesionalisme militer.

Agenda Reformasi TNI telah menyepakati adanya pembatasan keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil. Sehingga, semboyan “Multifungsi TNI” jelas akan menjadi langkah yang bertolak belakang.

Publik harus terus mengawasi agenda revisi UU TNI ini. Saat ini, Pemerintah dan DPR membahasnya dalam senyap. Ditambah, kita perlu waspada mengingat parlemen punya pengalaman proses legislasi serampangan. Jangan sampai, revisi UU TNI yang dibuat malah menimbulkan masalah baru dan mengembalikan Indonesia ke masa gelapnya (dark-time).

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 16 Maret 2025

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.