Categories
Politik

Asal-usul dan ideologi Hamas yang sering disalahpahami

Pascaserangan kelompok Hamas terhadap Israel–yang direspons oleh serangan balasan yang berlebihan oleh militer Israel–diskusi dan narasi tentang apa dan siapa Hamas, serta apa tujuannya, kembali menguat ke permukaan.

Konfrontasi militer antara Hamas dan Israel bukanlah hal yang baru. Hamas telah berperang beberapa kali dengan Israel sejak tahun 2007.

Sudah banyak akademisi dan peneliti yang telah menjabarkan tentang Hamas, tentunya dari pemahaman dan sudut pandang yang beragam. Salah satunya menyebutkan bahwa Hamas secara agama cenderung beraliran Salafi–yang agaknya kurang tepat secara konteks sejarah dan faktual.

Berdasarkan kapabilitas saya sebagai akademisi yang fokus meneliti studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam ilmu Hubungan Internasional, berikut hal-hal mendasar tentang Hamas yang perlu kita ketahui tetapi kerap disalahpahami.

Asal-usul Hamas

Akar gerakan Hamas–singkatan dari Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah (Gerakan Perlawanan Islam)–mulai muncul sejak tahun 1946, ketika kader pergerakan Ikhwanul Muslimin (IM), gerakan Islamis asal Mesir, membentuk cabang di Gaza. Paham Islamisme IM berdasar pada prinsip al-Islam huwa al-hal,yakni menawarkan Islam sebagai solusi menyeluruh untuk masalah dalam semua sektor kehidupan publik dan privat di era modern.

Pada masa itu, pemerintah Mesir berupaya melarang aktivitas dan operasi IM di Mesir dan Gaza. Sebab, IM dianggap sebagai ancaman bagi keamanan domestik dan berpotensi mengganggu gencatan senjata yang disepakati Israel dan Mesir pada tahun 1949.

Pelarangan tersebut kemudian membuat IM harus mengembangkan kegiatannya melalui beragam organisasi sosial, termasuk melalui pembentukan Perkumpulan Tauhid (Jam’iyah at-Tauhid). Perkumpulan Tauhid pun kerap mengalami rangkaian persekusi politik oleh pemerintah Mesir.

Di Gaza, gerakan IM memiliki perbedaan orientasi kebijakan dan ideologi dengan gerakan kemerdekaan Palestina lainnya–seperti Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang berideologi Marxisme dan Fatah yang berideologi sekuler-nasionalis.

Sementara itu, orientasi kebijakan IM Gaza lebih banyak berfokus pada rehabilitasi sosial dan ekonomi bagi para pengungsi Gaza yang terdampak perang melalui gerakan Mujamma’. Inilah mengapa IM Gaza, pada awalnya, selalu mengambil langkah yang legalistik dan tidak konfrontatif.

IM Gaza pernah terlibat dalam operasi bersenjata, tapi hal tersebut tidak dianggap sebagai solusi yang dapat membantu pengungsi Gaza–setidaknya hingga Hamas berdiri dan memulai gelombang baru perlawanan secara fisik.

Selain di Gaza, IM juga memiliki cabang di Tepi Barat. Perkembangan IM di Tepi Barat berbeda dengan IM Gaza. Pada penghujung dekade 1940-an, sebagian kader IM Tepi Barat yang kecewa akan hasil Perang Arab-Israel tahun 1948 membangun gerakan Hizbut Tahrir  di bawah kepemimpinan Taqiyuddin an-Nabhani, seorang hakim Mahkamah Syariah di Nablus, Tepi Barat Palestina. Sebagian kader yang lain melanjutkan IM di Tepi Barat di bawah koordinasi dengan IM di Yordania.

Pada dekade 1970-an, salah satu tokoh IM Gaza, Ahmad Yasin, membuat Gerakan Pusat Islam (Mujamma’ al-Islamiyyah atau Mujamma’). Mujamma’ menjadi sebuah gerakan sosial yang fokus sepenuhnya menolong masyarakat Gaza yang menjadi pengungsi di tanah sendiri. Israel bahkan melegalkan organisasi sosial ini untuk beroperasi di Gaza.

Gerakan sosial Mujamma’ kemudian mengalami proses radikalisasi akibat dua hal: (1) adanya kontestasi pengaruh dengan gerakan kemerdekaan Palestina dari ideologi lain; (2) terjadinya Intifada Pertama yang merupakan upaya resistensi konfrontatif terhadap represi Israel yang berkelanjutan terhadap Palestina.

Intifada Pertama ini mengubah arah Mujamma’ yang awalnya berdimensi sosial menjadi gerakan politik bernama Hamas yang kemudian mengembangkan sayap militernya.

Ideologi gerakan Hamas

Beberapa akademisi berpendapat bahwa Hamas menganut aliran Islam Salafisme. Namun kenyataannya, dalam perkara ideologi, Hamas tidak bisa dikatakan sebagai organisasi yang mengikuti ajaran Salafi secara seutuhnya.

Ini karena Salafi bukanlah sebuah pemikiran yang monolitik yang bisa direpresentasikan dalam satu bentuk gerakan dan gagasan tertentu. Salafi memiliki beragam bentuk yang berkembang sesuai dengan dinamika politik di dunia Islam.

Salafi adalah sebuah aliran dalam Islam yang mengajarkan pemurnian ajaran Islam melalui penafsiran tekstual yang ketat terhadap dua sumber hukum utama Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits. Aliran ini dikembangkan secara komprehensif oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab pada pertengahan abad ke-19, berdasarkan pada ajaran ahli fikih Ahmad Ibnu Hanbal–pendiri mazhab Hambali dari abad ke-9, dan pemikiran Ibnu Taimiyyah, seorang teolog Islam dari abad pertengahan.

Saat ini, tipologi gerakan Salafi secara umum dapat dibagi menjadi tiga: (1) Salafi preservasionis yang dekat atau terafiliasi resmi dengan Arab Saudi, (2) Salafi subversif yang bersifat simbolis dan sosial, dan (3) Salafi transformatif yang bersifat agresif dan ofensif (serupa dengan Salafi Jihadis).

Jika melihat pandangan Salafi preservasionis yang berasal dari Arab Saudi, maka dapat dilihat bahwa beberapa ulama Salafi dari negara tersebut sebenarnya telah menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Hamas.

Ada dua ketidaksetujuan dari Salafi preservasionis terhadap Hamas: (1) inkonsistensi Hamas dalam menjalankan sistem Islam dengan mengikuti pemilu yang berbasis pada demokrasi Barat, (2) kerja sama dengan Iran yang menganut ajaran Syiah Imamiyah (ajaran Islam yang mengikuti pemahaman keagamaan yang dibangun oleh dua belas imam penerus Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin politik umat Islam) yang secara teologis bertentangan dengan ajaran Islam Sunni pada umumnya.

Menurut para ulama Salafi, Hamas beserta gerakan perjuangan kemerdekaan Palestina harus berkomitmen dahulu menegakkan nilai-nilai keislaman di negara mereka dengan menyingkirkan pengaruh ideologi sekuler dalam melakukan perjuangan mereka.

Selain itu, gerakan Hamas juga sempat diancam dominasinya oleh beberapa gerakan Salafi transformatif yang hendak meraih pengaruh di Jalur Gaza.

Ideologi Hamas dapat dikatakan berdasar pada nilai-nilai politik Islam ala IM yang bersifat lebih modernis dan pragmatis dalam memandang dinamika politik. Hal ini pula yang kemudian membuat Hamas menerima eksistensi aliran Sufi di Jalur Gaza, bahkan juga toleran terhadap komunitas Kristen dari beragam denominasi di Gaza.

Sebagian pengaruh pemikiran Salafi subversif yang fokus pada pemurnian agama secara sosial memang dapat dideteksi pada upaya Hamas dalam menafsirkan ajaran keagamaan dan menerapkan hukum Islam. Namun, hal ini selalu mereka imbangi dengan sikap pragmatisme politik.

Hamas dalam rencana perdamaian Israel-Palestina

Satu hal penting yang seringkali menjadi kontroversi dalam diskusi tentang Hamas adalah pandangan organisasi ini terhadap Israel dan perdamaian antara Israel-Palestina.

Hamas seringkali dipandang sebagai sebuah organisasi antisemit yang memandang kaum Yahudi amat rendah dan tidak manusiawi.

Hal ini sering kali ditunjukkan dengan Piagam Hamas versi awal yang mengutip langsung Protokol Para Tetua Zion yang sebenarnya merupakan dokumen palsu.

Kebencian Hamas terhadap Yahudi dan Zionisme jelas terlihat pada bagaimana Hamas menggambarkan Yahudi sebagai kuasa setan. Zionisme bagi Hamas adalah alat politik yang memungkinkan ide-ide Yahudi bernuansa kekerasan menjadi kenyataan dalam Piagam Hamas awal, nampak tidak ada upaya bagi Hamas untuk membedakan antara Yahudi dan Zionisme.

Selain itu, Hamas juga tidak percaya pada solusi dua-negara (two-state solution) sebagai sebuah solusi yang realistis untuk diterapkan. Menurut Hamas, eksistensi Palestina sebagai negara merdeka tidak akan pernah bisa disandingkan dengan negara Israel.

Dalam perkembangan terakhir, Hamas berupaya untuk mengadopsi pendekatan yang lebih realistis terhadap konflik Israel-Palestina dengan merevisi beberapa poin.

Pertama, dalam piagam yang baru, Hamas membedakan Yahudi dan Zionisme. Sebagai contoh, Hamas mulai membuka diri dengan beberapa organisasi Yahudi anti-Zionis, seperti Neturei Karta yang aktif di Israel dan Amerika Serikat.

Kedua, dalam pertanyaan Ismail Haniyah, Kepala Biro Politik Hamas, tersirat bahwa Hamas mulai mengakui bahwa Palestina yang sah merupakan Palestina yang berdasar pada peta tahun 1967. Dalam peta ini, wilayah Palestina terbagi atas Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hal ini merupakan suatu pencapaian signifikan, karena sebelumnya Hamas teguh meyakini bahwa Palestina yang sah adalah Palestina menurut peta tahun 1948.

Namun, Haniyah dalam pertanyaannya, menegaskan bahwa Hamas masih tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara.

Ketiga, adanya pendekatan hudna atau gencatan senjata berkepanjangan yang diadopsi Hamas sejak 2010 merupakan cara mereka untuk berpikir lebih strategis dalam mengelola konflik dengan Israel sembari mencari cara untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan Palestina.

Hal ini menunjukkan bahwa Hamas bukan organisasi yang semata-mata berorientasi pada konflik berkepanjangan (perpetual conflict), tetapi lebih kepada mencari solusi di tengah keterbatasan opsi yang ada.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 19 Oktober 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Meneliti studi gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Hukum Pilihan Politik

Perlukah TNI ikut menjaga pertandingan sepak bola, konser musik dan kegiatan sipil lainnya? Bagi negara demokrasi, ini tidak lazim

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer.

Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.

Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.

Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.

Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.

Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut

Adanya posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.

Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap “rawan”.

Sementara dalam konser musik, mulai dari pop sampai dangdut, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut berjaga di tengah keramaian.

Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.

Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?

Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’

Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip disertasi Profesor Salim Said, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.

Militer Indonesia lahir selepas Perang Revolusi Nasional 1945-1949 dari gabungan laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.

Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.

Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.

Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “Jalan Tengah” dengan memberikan TNI dua fungsi: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara.

Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.

Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penggunaan alat-alat kekerasan yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.

Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. Tap MPR VI/2000 yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini.

Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.

Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.

Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan UU Polri. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “Sinergitas TNI-Polri”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri.

Gesekan sipil-militer

Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.

Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.

Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.

Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi trained killer.

Prajurit menjadi trained killer bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.

Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Mendamba sebuah perbaikan

Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.

Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi.

Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional.

Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 9 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada iru hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Politik

Mengkritisi pertimbangan MK tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK

Pada 25 Mei 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi 5 tahun , dari yang sebelumnya 4 tahun. Pemohon dalam uji materi ini adalah Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK periode saat ini.

Menurut putusannya, terdapat dua alasan mengapa MK mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.

Pertama adalah adanya perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap KPK apabila menyamakannya dengan lembaga pemerintah independen lainnya yang sama-sama memiliki constitutional importance, yakni memiliki masa jabatan 5 tahun. Kedua adalah karena berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama 5 tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien sehingga dapat sesuai dengan satu periode jabatan presiden.

Putusan MK tersebut langsung menjadi sorotan dari berbagai pihak. Banyak elemen yang menyayangkan putusan MK ini karena berdekatan dengan momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sehingga dinilai sarat dengan kepentingan politik.

Kekecewaan publik terhadap Putusan MK bisa dipahami, karena Ketua KPK periode 2019-2023, Firli Bahuri, kerap berhadapan dengan masalah kode etik. Namun, ia selalu lolos dari sanksi berat Dewan Pengawas KPK. Terlebih lagi, suara 9 hakim MK pun terpecah untuk putusan MK. Sebanyak 4 hakim MK menolak (dissenting opinion) perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK ini.

Meskipun putusan MK sudah tidak dapat diganggu gugat (final and binding), paling tidak ada beberapa kritik yang dapat kita sampaikan sebagai publik, sebagai sarana edukasi agar kita bisa lebih ketat dan kritis dalam mengawal kinerja MK.

Kritik terhadap putusan MK

Pertama, MK bukan lembaga negara sepenuhnya demokratis karena tidak dipilih langsung oleh rakyat, sementara masa jabatan sangat berkaitan erat dengan domain perumusan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).

Dengan kata lain, perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga manapun seharusnya dilakukan melalui lembaga pembuat undang-undang, yakni lembaga legislatif, yang secara resmi didaulat sebagai wakil rakyat dan di dalamnya memiliki proses partisipasi publik.

Kedua, dalil perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang diterima oleh pimpinan KPK sebenarnya bisa terbantahkan dengan adanya ketidakseragaman masa jabatan sejumlah lembaga negara, seperti pimpinan Komisi Informasi (4 tahun) dan pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (3 tahun).

Terlebih lagi, definisi perlakuan diskriminatif memiliki kriteria khusus. Ini termasuk pembedaan berdasar atas alasan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Kriteria tersebut secara faktual tidak terjadi pada pimpinan KPK.

Ketiga, jika memang masa jabatan pimpinan KPK perlu diperpanjang demi efektivitas kinerja mereka, ketentuan ini lebih baik diberlakukan untuk periode selanjutnya, bukan kepada pimpinan KPK aktif yang saat ini masih menjabat. Putusan seperti ini seharusnya menerapkan asas non-retroaktif yang bersifat universal, yakni ketika suatu aturan hukum tidak dapat berlaku surut.

Keempat, mengubah masa jabatan pejabat aktif jelas akan mengancam independensi lembaga negara terkait, dan ini bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari. Apalagi ini terjadi pada lembaga antirasuah, lembaga yang telah bertahun-tahun menjadi salah satu lembaga yang paling dipercaya publik berdasarkan hampir semua hasil survei.

Ke depannya, dikhawatirkan MK sewaktu-waktu bisa saja mengubah masa jabatan pimpinan lembaga negara yang sedang menjalankan tugasnya atas dasar kepentingan dan motif politik tertentu.

Kita semua percaya bahwa MK masih kokoh berdiri sebagai lembaga independen yang menjadi garda terdepan dalam mengawal konstitusi kita. Namun, jika demi kepentingan politik, apalagi menjelang tahun politik, segala sesuatunya bisa terjadi, sehingga tidak salah jika publik lebih waspada.

Praktik perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga negara

Praktik perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga negara kerap kali menjadi jurus andalan bagi penyelenggara negara guna seseorang untuk duduk di kursi kekuasaan lebih lama.

Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, setidaknya ada 3 kali upaya untuk mengubah masa jabatan lembaga negara, termasuk MK sendiri, KPK, dan lembaga kepresidenan , meskipun perpanjangan gagal diterapkan pada lembaga kepresidenan.

Perpanjangan masa jabatan hakim pada MK yang sedang aktif menjabat dilakukan pada 2020, dengan cara mengubah UU tentang Mahkamah Konstitusi. Masa jabatan periodik hakim MK yang sebelumnya hanya 5 tahunan diubah dengan penentuan usia pensiun 70 tahun dengan keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.

Pada awal tahun 2022, para petinggi partai politik sempat menggaungkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024. Elemen masyarakat sipil ramai-ramai menolak wacana tersebut karena diyakini akan membuka ruang untuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Perubahan masa jabatan presiden memang sulit diwujudkan karena harus melalui amendemen UUD 1945. Namun, sekali lagi, menjelang tahun politik, apa pun bisa terjadi.

Praktik perpanjangan masa jabatan hampir selalu dilakukan dengan balutan hukum, padahal sebenarnya telah merusak independensi dan mengikis demokrasi. Hal seperti ini banyak ditemui di negara-negara dengan rezim legalisme otokratis (autocratic legalism), yaitu kondisi ketika kekuasaan suatu negara hanya dipegang oleh satu atau segelintir orang saja dan hukum disalahgunakan untuk melegitimasinya, seperti Turki dan Venezuela.

Jalan tengah

Kita tidak boleh terjebak menjadi rezim semacam itu. Pada kasus perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembuat UU bersepakat untuk menindaklanjuti putusan MK dengan memberlakukannya pada pimpinan KPK yang berikutnya.

Cara ini dilakukan agar, di satu sisi, pemerintah dan DPR tetap menghormati Putusan MK yang bersifat final dan mengikat, tetapi di sisi lain juga untuk melindungi independensi lembaga negara penegak hukum.

Dalam hal ini, Presiden perlu mengambil peran penting untuk menyelesaikan polemik ini dan menjamin bahwa independensi lembaga negara tidak dapat diganggu dengan cara apa pun. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tunduk pada konstitusi juga memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan harapan bahwa reformasi hukum ketatanegaraan terus bergerak ke arah yang lebih baik.

Categories
Lingkungan Politik

Bagaimana aturan Indonesia belum menjamin obligasi hijau bebas ‘greenwashing’

Indonesia membutuhkan dana sangat besar untuk mencapai kondisi bebas emisi guna meredam perubahan iklim. Jumlahnya diperkirakan mencapai Rp28,2 ribu triliun hingga 2060.

Kas negara jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itu, dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan yang mendukung pelestarian bumi. Salah satunya melalui obligasi hijau atau green bond atau green sukuk (obligasi syariah).

Tren obligasi hijau cukup moncer. Pada 2018 dan 2020, nilai green bond maupun green sukuk yang terbit di Indonesia mencapai US$2,75 miliar (Rp 40,8 triliun) dan US$ 1,27 miliar (Rp 33,6 triliun).

Meski perkembangannya kelihatan cerah, ada risiko yang mengintai: greenwashing. Kondisi ini terjadi jika perusahaan menginformasikan bahwa proyek mereka berwawasan lingkungan, tetapi beroperasi dengan cara yang merusak. Contoh lainnya adalah dana yang terkumpul tidak digunakan untuk membiayai proyek hijau.

Risiko tersebut sudah terjadi di belahan dunia. Per September 2020, insiden greenwashing dalam penerbitan obligasi hijau mencapai US$40 miliar (Rp 593 triliun).

Karena itulah, dunia-–termasuk Indonesia–memerlukan aturan penerbitan green bond yang memadai untuk melindungi masyarakat. Saya mencoba menelaah aturan penerbitan obligasi hijau yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hasilnya, saya menemukan aspek perlindungan investor dari greenwashing masih jauh dari memadai.

Aturan tak memadai

Indonesia memiliki Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan atau Green Bond (POJK GB).

Aturan ini memuat persyaratan Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL), dokumen dan pelaporan yang harus disiapkan penerbit, serta sanksi jika melakukan pelanggaran.

POJK GB mensyaratkan proyek yang dapat didanai hasil green bond hanya yang bertujuan untuk melindungi, memperbaiki, dan/atau meningkatkan kualitas atau fungsi lingkungan. Ada sebelas macam KUBL di dalam peraturan tersebut. Contohnya kegiatan efisiensi energi, transportasi ramah lingkungan, serta pencegahan dan pengendalian polusi.

Setidaknya ada empat catatan saya dalam POJK tersebut.

Pertama, aturan ini masih sangat abstrak karena hanya mengatur tujuan dan menitikberatkan pada jenis kegiatan yang dibolehkan. Bahkan, Pasal 4(k) aturan ini membolehkan suatu green bond membiayai proyek yang tidak ada dalam kategori KUBL selama memiliki “tujuan lingkungan”.

Aturan ini amat terasa longgar jika dibandingkan dengan aturan persyaratan green bond di Uni Eropa.

Di Eropa, suatu proyek tidak serta merta dapat dikatakan hijau jika hanya sekadar memiliki tujuan lingkungan. Pengelola juga harus menjamin proyek tersebut “tidak menyebabkan bahaya signifikan” dan sesuai dengan “aturan perlindungan minimum”.

Artinya, meskipun suatu proyek memiliki kontribusi signifikan dalam mitigasi iklim, tetapi dalam pelaksanaannya semisal mencemari air dan tidak dilakukan dengan standar keamanan minimum, maka tidak dapat didanai oleh green bond.

Uni Eropa juga mewajibkan suatu proyek untuk memenuhi standar hijau dalam EU Taxonomy, yaitu daftar kegiatan yang dianggap memenuhi prinsip berkelanjutan. Proyek pun harus lulus Kriteria Penilaian Teknis atau Technical Screening Criteria untuk menjamin manfaat lingkungannya.

Di Indonesia, OJK sebenarnya memiliki Taksonomi Hijau. Namun, penggunaannya masih bersifat sukarela. Kredibilitas suatu proyek hijau juga hanya ditentukan oleh penilaian ahli lingkungan. Tidak ada kriteria teknis yang diwajibkan untuk memastikan sebuah proyek benar-benar “hijau”.

Kelonggaran ini pada akhirnya memungkinkan proyek pertambangan batu bara masuk sebagai “kegiatan usaha lain yang berwawasan lingkungan” jika didukung pendapat ahli lingkungan. Dalam taksonomi hijau Indonesia, batu bara tergolong bidang usaha “kuning” yang berarti tidak menyebabkan bahaya signifikan.

Kedua, lemahnya pelaksanaan transparansi proyek hijau.

POJK GB mewajibkan pengelola proyek menerapkan transparansi informasi melalui pengungkapan dan pelaporan mengenai penjelasan KUBL dan penilaian ahli lingkungan.

Namun, aturan ini tidak mengatur detail informasi yang harus dilaporkan. Regulasi juga belum memastikan kualitas informasi karena Indonesia belum memiliki standar kriteria hijau seperti di Eropa.

Akhirnya, masyarakat lah yang harus lebih cermat dalam membaca laporan hijau yang dikeluarkan oleh perusahaan penerbit. Publik terpaksa menimbang sendiri: apakah laporan tersebut kredibel atau tidak.

Ketiga, aturan tidak memuat mekanisme detail seperti prosedur seleksi atau verifikasi laporan ahli lingkungan untuk memastikan kredibilitas mereka.

Proses verifikasi penting untuk memastikan bahwa laporan yang disampaikan sesuai dengan fakta di lapangan, bukan pencitraan saja. Apabila laporan hanya ditulis oleh pihak perusahaan dan mendapat penilaian dari ahli lingkungan yang dibayar perusahaan tersebut, maka bias informasi akibat konflik kepentingan rawan terjadi.

Verifikasi dari pihak ketiga juga diperlukan untuk memvalidasi informasi mengenai dampak atau manfaat hijau dari suatu proyek green bond secara kredibel dan berkualitas. Jika tidak ada proses verifikasi ini, perusahaan dapat dengan mudah membuat pelaporan hijau yang menyesatkan (greenwashing) karena tidak ada jaminan atas reliabilitas informasi tersebut.

Risiko ini akan mengurangi kepercayaan investor terhadap produk green bond dan meredam kesempatan pendanaan proyek hijau yang optimal.

Keempat, belum ada aturan yang melindungi investor dari pelanggaran substansial. Sejauh ini, Undang-undang Pasar Modal ataupun POJK GB hanya mengatur perlindungan investor dari pelanggaran formil atau prosedur. Contohnya misalnya gagal mendapat penilaian ahli lingkungan, tidak menyertakan informasi mengenai KUBL, atau pendanaan untuk KUBL yang tak sesuai ketentuan.

Lemahnya perlindungan ini amat disayangkan. Investor semestinya berhak mendapatkan kepastian bahwa dana yang mereka keluarkan benar-benar akan berdampak pada kelestarian bumi.

Aturan juga seharusnya menyentuh aspek perlindungan materiil seperti kualifikasi ahli lingkungan, kredibilitas informasi, dan penggunaan dana 100% untuk KUBL. Harapannya, investor menjadi lebih yakin untuk memberi kontribusi pada proyek hijau yang ditawarkan.

Langkah ke depan

Indonesia masih dalam tahap pengembangan keuangan berkelanjutan. Sejauh ini, aturan-aturan yang dibuat merupakan suatu bentuk dorongan bagi para pihak untuk berpartisipasi dalam transisi ekonomi rendah karbon.

Pada tahap ini, berdasarkan pengamatan saya, korporasi masih dalam tahap mengurangi dan menyeimbangkan antara proyek “coklat” (tidak ramah lingkungan) dan proyek “hijau”.

Jika ekosistem dan kesadaran sudah terbentuk, OJK harus segera memperkuat aturannya. Ada tiga hal yang bisa dilakukan:

Pertama, mewajibkan implementasi Taksonomi Hijau Indonesia maupun standar hijau lain yang diterima secara internasional sebagai dasar penilaian proyek. Indonesia juga harus melakukan proses verifikasi kompetensi terhadap ahli lingkungan yang terlibat.

Kedua, OJK perlu membuat kriteria teknis pelaporan atau informasi apa saja yang harus diungkapkan oleh perusahaan penerbit terkait dengan KUBL, termasuk mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan portofolio seluruh usaha mereka.

Ketiga, dua saran di atas dapat dilengkapi aturan sanksi yang memadai dan memberikan efek jera agar perusahaan lebih berhati-hati dalam mengklaim proyek mereka sebagai “kegiatan hijau”.

Categories
Lingkungan Pilihan

Mpu Uteun: kelompok perempuan pelindung hutan Aceh yang melawan patriarki

Lebih dari 60% wilayah Aceh atau 3,2 juta ha merupakan kawasan hutan.

Luasan ini membuat risiko perambahan hutan ilegal kian tinggi. Pada 20ekofeminismen 2.418 kasus pembalakan liar di Aceh.

Menurut pengamatan warga sekitar hutan, pelaku penebangan yang tertangkap hampir selalu laki-laki. Pengaduan masyarakat ke otoritas setempat seputar penebangan dan perburuan liar juga nyaris menemui jalan buntu.

Di sinilah kelompok Mpu Uteun (istilah dari bahasa Gayo yang berarti penjaga hutan) muncul di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Sejumlah perempuan membentuk kelompok ini sejak 2015 karena merasa resah dengan risiko bencana akibat perambahan hutan. Pada tahun itu, Desa Damaran Baru dilanda banjir bandang yang merusak puluhan rumah dan membuat warga mengungsi.

Mpu Uteun berpatroli mengatasi penebangan liar maupun perburuan, membongkar jerat pemburu, mendokumentasikan tanaman maupun satwa asli setempat, hingga menanam pohon.

Penelitian kami (masih dalam proses peninjauan) secara khusus membahas Mpu Uteun sebagai kelompok perempuan penjaga hutan pertama di Aceh. Kami menganggap kelompok ini penting karena menjadi contoh gerakan ekofeminisme untuk melawan tradisi patriarki yang menjadi sebab perambahan hutan di provinsi Aceh.

Mpu Uteun melawan dominasi laki-laki

Ekofeminisme adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta kerusakan lingkungan hidup dengan subordinasi dan pengekangan perempuan.

Pakar filsafat lingkungan dari Macalaster College Minnesota di Amerika Serikat, Karen Warren, dalam bukunya Ecofeminist Philosophy menjelaskan bahwa filosofi ekofeminisme berfokus pada tiga aspek yang saling berhubungan: 1) feminisme; 2) alam, ilmu pengetahuan (terutama ekologi), pembangunan, dan teknologi; dan 3) perspektif lokal dan masyarakat asli.

Dalam konteks Mpu Uteun, aspek feminisme muncul dalam peran kelompok ini untuk melindungi hutan. Mereka menyadari kerusakan hutan akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Kesadaran ini memicu anggota Mpu Uteun melakukan patroli hutan.

Di Aceh, kegiatan menjaga hutan lazim dilakukan laki-laki. Hal ini berangkat dari budaya patriarki bahwa laki-laki bertanggung jawab mencari nafkah, sehingga pengampuan hutan secara tidak langsung menjadi tugas mereka. Sementara, perempuan dianggap hanya cukup mengurus rumah tangga.

Karena itulah Mpu Uteun berdiri untuk ‘melawan’. Pendiri Mpu Uteun, Sumini, menyatakan bahwa perempuan turut merasa gusar terhadap perusakan alam dan berhak mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, upaya perlawanan ini tidak mudah. Anggota Mpu Uteun pada awalnya mendapatkan stigma sebagai perempuan tidak bermoral dari warga sekitar. Beberapa orang pun mencibir usaha mereka karena menganggap hutan bukanlah urusan perempuan.

Namun, perlahan-lahan, upaya mereka berbuah manis. Banyak orang, termasuk laki-laki eks penebang liar ataupun pemburu trenggiling, yang ‘menebus dosa’ dengan bergabung dalam Mpu Uteun.

Aktivitas Mpu Uteun pun diakui oleh pemerintah. Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan hak pengelolaan hutan desa kepada mereka. Pengakuan pemerintah terhadap perjuangan Mpu Uteun inilah, menurut kami, yang membuat gerakan mereka sesuai dengan aspek kedua ekofeminisme.

Sementara, Mpu Uteun jelas memenuhi aspek ketiga dalam ekofeminisme yaitu pengetahuan lokal. Para perempuan pendirinya bukan berasal dari kabupaten ataupun provinsi luar Aceh. Mereka adalah perempuan desa setempat yang menggantungkan hidup pada hutan. Upaya perlindungan hutan pun mereka mulai berdasarkan perspektif warga terhadap alam yang sudah ada turun-temurun.

Inilah sebabnya mengapa gerakan Mpu Uteun diamini oleh masyarakat setempat. Kelompok ini mendasarkan pencarian solusi dari perspektif masyarakat lokal, atas masalah lingkungan yang mereka alami sehari-hari.

Pengutamaan perempuan dalam pengelolaan hutan

Kelompok perempuan pengampu alam sudah lama bermunculan. Di Indonesia, ada perempuan Dayak Benawan di Kalimantan Baratperempuan Kendeng di Jawa Tengah, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Taman Nasional Kerinci Seblat, atau perempuan Mollo di Nusa Tenggara Barat.

Sayangnya, karena budaya patriarki yang masih kental di Indonesia, sektor hutan dan lahan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan hanya memegang peran marginal dalam proses pembuatan kebijakan di sektor ini.

Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengubah situasi ini. Perempuan harus terlibat secara memadai dan berarti sejak tahap perencanaan pengelolaan sektor hutan dan lahan. Program ataupun kebijakan yang mengecilkan perempuan justru berisiko tak efektif atau bahkan berdampak lebih buruk terhadap kaum hawa.

Langkah praktis dapat dimulai dengan pemakaian perspektif ekofeminisme dalam perencanaan program ataupun kebijakan, misalnya dengan pelibatan perempuan setempat dalam perencanaan pengelolaan hutan di suatu daerah. Harapannya, suara perempuan bisa lebih didengarkan, terutama yang berasal dari komunitas lokal dan merasakan dampak langsung kerusakan hutan.


Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 April 2023


Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.

 Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset meliputi masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Islam

Mengapa ada perbedaan dalam penentuan awal puasa dan Lebaran?

Penentuan awal dan akhir bulan Ramadan setiap tahunnya hampir jadi perbincangan masyarakat Indonesia. Ramadan adalah bulan kesembilan dalam sistem penanggalan Hijriah (penanggalan Islam berdasarkan peredaran bulan terhadap Bumi).

Bagi umat Islam, penentuan awal bulan Ramadan dan bulan Syawal cukup krusial. Sebab, hukum Islam mewajibkan ibadah puasa sejak 1 Ramadan (hari pertama puasa). Islam pun mengharamkan Muslim berpuasa pada 1 Syawal.

Syawal adalah bulan kesepuluh dalam kalender Islam setelah bulan suci Ramadhan. Hari pertama di bulan Syawal inilah yang kita rayakan sebagai Hari Raya Idulfitri.

Penentuan tanggal hari raya yang tepat dan akurat menjadi penting untuk memastikan ibadah sesuai dengan waktunya.

Selama ini, sebagian besar umat Muslim merujuk pada penentuan awal dan akhir Ramadan dari dua sumber mainstream, yakni pemerintah – yang diikuti oleh organisasi Nahdlatul Ulama (NU) – dan organisasi Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Keduanya hampir selalu menetapkan tanggal awal dan akhir Ramadan yang berbeda karena memiliki metode penentuan yang tidak sama.

Perbedaan metode: apa dan bagaimana

Secara umum, ada dua metode utama dalam menentukan hari raya Islam dan penanggalan Islam.

Metode pertama adalah metode Rukyatul Hilal atau singkatnya disebut Rukyat (penglihatan).

Dalam metode Rukyat, awal dan akhir bulan ditentukan pada penglihatan yang jelas terhadap bulan baru.

Metode Rukyat sudah diadopsi oleh pemuka Islam sejak awal mula peradaban Islam. Sebab, kemunculan bulan baru merupakan peristiwa alami dan dapat diamati secara langsung.

Beberapa hadis Nabi juga secara jelas mengarahkan umat untuk melakukan Rukyat. Misalnya: “berpuasalah ketika kamu melihat bulan baru (Ramadan), dan berbukalah/akhirilah bulan puasa ketika kamu melihat bulan baru (Syawal)”.

Landasan hadis ini diadopsi secara umum oleh banyak pemerintahan negara dengan penduduk mayoritas Muslim hingga hari ini.

Metode Rukyat dianggap lebih kuat bagi penganutnya karena bulan baru bisa dilihat dengan jelas dan sudah menjadi tradisi sejak era Nabi Muhammad. Ditambah adanya peralatan astronomi yang canggih saat ini, aktivitas Rukyat dapat berjalan dengan lebih baik.

Metode kedua adalah metode hisab atau metode penghitungan. Dalam metode hisab, awal dan akhir bulan ditentukan pada penghitungan hari kalender Hijriah berdasarkan pada kalkulasi matematis dan astronomis.

Metode hisab biasanya dilakukan oleh para ahli falak. Mereka adalah pakar yang mendalami peredaran benda-benda angkasa yang dapat digunakan untuk menghitung penanggalan dan siklus astronomis seperti gerhana.

Secara global, ada beberapa institusi Islam yang menganut metode Hisab, salah satunya adalah Ummul Qura, salah satu universitas Islam terkemuka di Arab Saudi.

Di Indonesia, metode Hisab diterapkan oleh Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang mengusung upaya tajdid (pembaruan) hukum Islam. Muhammadiyah menggunakan metode yang disebut Hisab Hakiki Wujudul Hilal yang artinya penghitungan kalender berdasarkan posisi astronomis bulan tanpa harus dikonfirmasi melalui penampakan fisik secara langsung.

Bagi Muhammadiyah, ada dua alasan mengapa penggunaan metode Hisab ini penting.

Pertama, Muhammadiyah memandang metode hisab sesuai dengan kondisi masyarakat Muslim saat ini, yaitu yang telah terdidik dengan baik dalam ilmu astronomi, matematika dan fisika.

Pada zaman Nabi Muhammad (abad ke-7 Masehi), masyarakat Muslim belum memahami cara menghitung dengan baik, sehingga Nabi Muhammad memberikan arahan agar awal bulan ditentukan dengan penglihatan bulan sabit langsung dengan mata telanjang. Dalam konteks sejarah, ketidakmampuan masyarakat Muslim dalam ilmu matematika dan astronomi ini menjadi ‘illat (alasan hukum) dalam dianjurkannya metode Rukyat ketimbang Hisab.

Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, alasan tersebut menjadi semakin tidak relevan. Ini membuat Muhammadiyah mengadopsi metode hisab yang lebih saintifik.

Kedua, Muhammadiyah menganggap metode Hisab memiliki kepastian dan akurasi yang lebih besar.

Metode Rukyat, menurut Muhammadiyah, hanya akan memberikan konfirmasi penanggalan untuk satu hari. Sementara, Hisab mengonfirmasi penanggalan untuk rentang waktu yang lebih panjang, sehingga dapat digunakan terus-menerus.

Metode hisab juga dianggap memiliki basis hukum Islam yang jelas.

Sementara itu, pemerintah Indonesia saat ini mengadopsi metode yang mempertemukan perbedaan antara metode Hisab dan Rukyat_. Metode ini disebut Hisab Imkanur Rukyat.

Metode tersebut menekankan pada penggunaan tarikh Hijriah, tapi awal bulan tetap harus dikonfirmasi dengan penglihatan bulan baru secara langsung dengan mata telanjang. Hisab Imkanur Rukyat juga dianggap lebih akurat karena mempertimbangkan faktor atmosfer dan sensitivitas mata dalam observasi bulan baru.

Metode ini sudah diadopsi oleh pemerintah Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Di Indonesia, metode ini menjadi standar yang diterapkan oleh pemerintah, dan diikuti oleh sebagian besar organisasi Muslim di Indonesia, termasuk NU.

Untuk menentukan awal bulan, ada ketinggian tertentu yang harus dicapai bulan. Dalam kriteria MABIMS (pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia dan Malaysia), ketinggian tersebut ditentukan sebesar minimal 3 derajat. Hasil observasi imkanur rukyat kemudian didiskusikan dalam sidang penentuan yang dikenal dengan istilah Sidang Isbat oleh Kementerian Agama.

Penentuan derajat ini ditentukan oleh pendapat para ahli ilmu falak, sesuai dengan pemahaman fikih (ilmu tentang hukum Islam) dan astronomi yang mereka miliki. Ketika hilal tidak dapat dilihat karena berbagai faktor, maka sidang dapat menerapkan istikmal atau penggenapan bulan menjadi 30 hari.

Bisakah mencari jalan tengah?

Dalam salah satu tulisannya, ahli hukum Islam terkemuka di Indonesia, Afifuddin Muhajir, mengutip pendapat dari pakar hukum Islam klasik yakni Taqiyuddin as-Subki. Dia menyatakan bahwa ada kemungkinan untuk mencari jalan tengah (al-manhaj al-wasathi) antara pengadopsi metode Hisab dan Rukyat.

Jalan tengah yang dapat ditempuh adalah pemerintah mengakomodasi ide Hisab dengan mempertimbangkan posisi ilmu astronomi yang bisa divalidasi secara saintifik dan matematis ketimbang metode Rukyat.

Ketika mencapai derajat kepastian yang lebih tinggi, Hisab bisa menggeser Rukyat sebagai metode yang valid.

Di beberapa negara mayoritas Muslim lain, seperti Turki, pemerintahnya melakukan penyatuan kalender Hijriah. Dalam beberapa tahun belakangan, Turki mengadakan Konferensi Internasional Penyatuan Kalender Hijriah sebagai upaya mengembangkan metode Hisab yang universal dan bisa diterima oleh otoritas Muslim sedunia.

Terlepas dari segala macam ketidaksepakatan, ada satu kaidah hukum Islam yang perlu diingat umat Muslim sedunia dalam perbedaan kalender Hijriah, yakni “la yunkaru mukhtalaf fihi, wa innama yunkarul mujma’ ‘alaihi ” .

Dalam hal Hisab dan Rukyat, kaidah tersebut bermakna bahwa perbedaan itu niscaya sehingga tidak boleh diingkari sampai muncul kesepakatan yang bisa diterima oleh otoritas Muslim sedunia.