Categories
Pendidikan

Studi Media dan Komunikasi di Indonesia Stagnan: Perlu Pendekatan Baru

Riset (tahun 2022) menunjukkan bahwa studi komunikasi atau media di Indonesia berada dalam kondisi statis. Penyebabnya, universitas makin menjadi perusahaan bisnis yang mengeksploitasi akademisinya sebagai buruh, alih-alih sebagai intelektual yang otonom. Hal ini diperkuat dengan hasil studi tahun 2022 tentang tata kelola universitas di Indonesia yang condong pada neoliberalisme (persaingan pasar bebas) pendidikan tinggi.

Temuan riset lain juga menyepakati hal ini. Riset tahun 2019 dan 2022), contohnya, menyebutkan bahwa selama beberapa dekade, riset komunikasi tidak beradaptasi dengan perkembangan masyarakat dan tidak melayani kepentingan publik, melainkan menjadi instrumen kekuasaan neoliberal.

Meski sangat penting, kritik pada liberalisasi pendidikan semacam ini umumnya hanya mengarahkan pada solusi perbaikan di level struktur yang bersifat makro, cenderung lebih lama atau bahkan tidak mengubah apa pun.

Riset komunikasi perlu pendekatan baru

Liberalisasi tidak hanya berimbas pada tata kelola universitas, tapi juga pada pengetahuan mengenai komunikasi. Selama beberapa dekade, pengetahuan komunikasi di ruang kuliah di Indonesia didominasi oleh pengertian komunikasi sebagai “transmisi pesan” dan/atau studi yang cenderung terpusat di media (media-sentris), sehingga mempelajari hal yang itu-itu saja.

Sementara, ada pendekatan komunikasi lain, yang hampir tidak pernah dibicarakan padahal dapat menjadi alternatif stagnansi studi komunikasi, yakni pendekatan materialist.

Pendekatan materialist atau nonmedia-sentris adalah pendekatan kritis yang bertujuan menyelidiki bagaimana kapital, sebagai penyebab ketimpangan sosial, menggunakan komunikasi sebagai solusi untuk menyembunyikan ketimpangan tersebut. Pendekatan ini memperluas kajian komunikasi tidak hanya pada pesan atau media, tetapi juga pada objek-objek fisik/material (seperti tubuh, ruang dan benda/komoditas) karena komunikasi didefinisikan sebagai “sirkulasi orang, komoditas, dan modal”.

Yang bermasalah dari pandangan media-sentris

Model transmisi pesan/informasi dalam tulisan ini merujuk pada pengertian dari (John Fiske) pakar media dan ahli teori budaya dari Amerika Serikat (AS) atau (Stephen W. Littlejohn & Karen A. Foss), ahli komunikasi manusia dan retorika dari AS. Mereka menyatakan bahwa dalam model ini, komunikasi dipahami sebagai studi tentang bagaimana proses pengirim dan penerima memaknai pesan, atau bagaimana penggunaan kanal dan media komunikasi.

Model ini terpusat di penggunaan media dan sebenarnya penting untuk menunjukkan kekhasan studi komunikasi, agar berbeda dari disiplin lainnya. Namun, ketika komunikasi hanya didefinisikan dengan cara demikian, komunikasi menjadi stagnan. Lebih jauh, stagnansi ini dapat berimbas pada ketidakmampuan berempati melihat realitas sosial yang timpang.

Contohnya adalah kasus relasi buruh dalam platform ride-hailing (Gojek, Grab, dll) yang sempat menjadi bahasan aktual di hampir semua studi di Indonesia. Jika studi hukum melihat dari sisi hukum, sosiologi berbicara soal organisasi buruh, apa yang dibicarakan oleh kajian komunikasi atau media? Mereka membicarakan kepuasan pelanggan, rebranding, proses kreatif dalam iklan Gojek atau bahkan (nilai kepahlawan dalam iklan Gojek). Jikapun ada artikel yang berusaha berempati pada buruh industri gigs ekonomi ini dalam pemberitaan media Indonesia), ia terbatasi oleh karakter media-sentrisnya dengan hanya menyoroti perlunya agenda pemberitaan buruh platform ride-hailing.

Preferensi topik yang hanya fokus pada masalah transmisi pesan atau media mumunculkan kesan bahwa takdir studi komunikasi adalah pengabdi korporasi. Ini membenarkan kritik James W Carey (tahun 1989), pakar komunikasi AS yang menyebut: “model komunikasi kita, menciptakan kepura-puraan yang tidak jujur pada realitas yang kita gambarkan”.

Apa yang dipelajari dalam pendekatan materialist?

Yves De La Haye, professor komunikasi dari Universitas Grenoble, Prancis, barangkali termasuk yang cukup awal mendeklarasikan pendekatan materialist—sebagai kritik atas pandangan transmisi informasi/media sentris.

Yves de la Haye berupaya mendefinisikan komunikasi/media dengan cara lain. Menurutnya, komunikasi/media bukanlah perkara transmisi informasi belaka, tetapi semua hal (komoditas, orang maupun ide) yang memudahkan mobilisasi, karena dan untuk penguasaan kapital/modal. Komunikasi memudahkan dominasi oleh (pemilik) modal seperti pelumas bagi mesin.

Armand Mattelart, professor ilmu komunikasi dan informasi di Prancis yang mengikuti jejak De la Haye, tak hanya berfokus pada media, tetapi juga jalan, kanal, benteng, perang, sebagai jalan pembentukan masyarakat sebagai organisme sosial untuk memudahkan liberalisasi Eropa dan dunia).

Selain Mattelart, eksponen pendekatan materialist/non media sentris adalah David Morley, professor media, komunikasi dan kajian budaya dari Universitas Goldsmith, Inggris. Morley sendiri mengarahkan riset medianya pada ‘kotak peti kemas’. Ia beralasan bahwa dalam dunia digital, konvergensi dan sistem pengiriman multiplatform hanyalah perluasan dari sistem pengiriman multiplatform yang ada di dunia transportasi semenjak penemuan ‘kotak peti kemas’ pada tahun 1950an.

Jadi, jika dalam studi mengenai platform ride-hailing di Indonesia, pendekatan “transmisi pesan” dan media sentris menganalisis medium/event komunikasi (terutama dari sisi penyedia aplikasi), maka pendekatan materialist atau nonmedia-sentris dapat menganalisis hal-hal material yang dapat menyebabkan komunikasi/mediasi dalam kasus ride-hailing berjalan.

Misal, peneliti komunikasi dapat mempertanyakan apa hubungan kemunculan motor di Indonesia dengan sirkulasi modal dan kondisi transportasi publik dan atau pembangunan perkotaan, serta bagaimana kemudian komunikasi/media berperan mendidik masyarakat Indonesia bahwa mengendarai motor adalah basic life skill sehingga masyarakat dan pemerintahnya mengabaikan transportasi publik.

Contoh lainnya adalah komunikasi pariwisata. Peneliti komunikasi pariwisata mungkin sulit menggunakan konsep branding untuk menganalisis fenomena “ziarah wali” dalam masyarakat kita. Branding mengasumsikan mekanisasi wisata modern dengan aparat teknologi modern, sementara ziarah wali terjadi karena kebudayaan khas lokal.

Pendekatan materialist, barangkali dapat fokus pada bagaimana bunga tabur hadir di tempat ziarah wali, sebagai komoditas ekonomi (pedagang kecil di tempat ziarah) sekaligus sebagai medium yang membentuk sakralitas dalam peristiwa tersebut. Ia juga dapat mempertanyakan mengapa tradisi ziarah mensyaratkan bunga dalam bentuk bunga tabur dan bukan karangan bunga.

Dengan bunga, peneliti komunikasi dapat melihat bagaimana modal dapat bekerja menggerakkan bunga, pedagang, pengelola tempat wisata dan peziarah dalam satu tindakan komunikasi bernama ziarah wali.

Riset komunikasi untuk semua

Dengan pendekatan materialist, pembelajar komunikasi dapat menangkap masalah riil dalam masyarakat. Hal itu dilakukan dengan memperluas area penelitiannya pada subjek-subjek yang diabaikan dalam studi komunikasi selama ini, misalnya pedagang sayur (yang memobilisasi komoditas sayur dari desa ke kota), pedagang jajanan di sekolah-sekolah, petani, nelayan dan seterusnya.

Subjek-subjek ini biasanya dianggap tidak layak diteliti dalam studi komunikasi. Dari 3.757 dokumen penelitian bertajuk ‘strategi komunikasi’ di laman Garuda.kemdikbud, portal karya ilmiah (jurnal) yang dihasilkan oleh akademisi dan peneliti di Indonesia, sebagian besar studi fokus pada lembaga bermodal besar. Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa tak ada riset komunikasi yang menganalisis pedagang tahu bulat, misalnya, meski strategi komunikasi mereka unik.

Dengan demikian, liberalisasi pendidikan dalam studi komunikasi tidak hanya berimbas pada tata kelola, tetapi juga pengetahuan dalam studi komunikasi. Definisi komunikasi selama ini telah ditata sedemikian rupa untuk mengabaikan mereka yang tidak bermodal besar dan terpinggirkan.

Menggunakan pendekatan materialist dalam studi komunikasi tidak hanya menjamin keragaman penelitian agar tidak itu-itu saja, tetapi sekaligus menjawab kritik James W. Carey, bahwa studi mengenai fenomena komunikasi dan media bukanlah kepura-puraan belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 April 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Bidang riset pada sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

 

 

Categories
Politik Sosial Budaya

Riset Ungkap Bentuk Empat Model Afiliasi Media dan Politik di Indonesia

Dalam 20 tahun terakhir, kepemilikan media konvensional dan digital di Indonesia dipandang strategis, bukan semata-mata untuk tujuan bisnis murni tapi juga politik praktis.

Media, terutama televisi dan media digital terafiliasi, milik politikus digunakan sebagai alat kampanye politik selama pemilihan umum (pemilu), termasuk Pemilu 2014 dan 2019.

Merespons isu ini, riset terbaru kami memotret kondisi aktual kepemilikan media serta menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik (pemerintah, parlemen, dan partai politik).

Riset ini dibuat dengan harapan bisa membantu pembuat kebijakan, pekerja dan aktivis media, dan masyarakat sipil dalam memahami interelasi media dan politik praktis yang akan berimplikasi pada kontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan kurang dari sepekan lagi.

Riset ini menunjukkan adanya bentuk-bentuk kepemilikan media dan afiliasi politik praktis yang kompleks. Kepemilikan dan hubungan itu diduga kuat menabrak regulasi media pers, penyiaran, dan keterbukaan informasi publik.

Empat model afiliasi

Dalam menyusun riset ini, kami terinspirasi buku klasik Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (1999) karya Robert McChesney. Buku ini kami pakai karena bisa membantu menjelaskan fenomena interkoneksi antara kepemilikan media dan perpolitikan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Dengan mengambil latar di Amerika Serikat (AS) dalam era media konvensional, McChesney mensinyalir jumlah media komersial yang tak terhingga, angkanya tidak bisa lagi dihitung, tetapi kontribusinya terhadap demokrasi sangat minimal. Pascadisrupsi digital, situasi serupa berlanjut, dan bukannya memberi optimisme atas demokrasi elektoral, tetapi mengancam dan memicu kemunduran demokrasi.

Temuan hampir serupa muncul dalam riset terbaru kami yang datanya diambil di Jakarta dalam periode November 2022 hingga September 2023. Data riset ini digali lewat focused group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan para stakeholder media dan penyelenggara pemilihan umum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), organisasi jurnalis, akademisi komunikasi, dan wakil organisasi masyarakat. Data-data primer ini didukung dengan data sekunder yang berupa analisis dokumen legal perusahaan pers.

Data riset kami menunjukkan bahwa salah satu masalah mendasar yang mengancam demokrasi khususnya pemilu adalah kepemilikan media yang terkonsentrasi di segelintir pengusaha yang sekaligus menjadi pemilik/pengurus partai politik.

Mengenai analisis kepemilikan media ini, terdapat beragam pendekatan dan konsep. Konsep kepemilikan bisnis media yang digunakan dalam riset ini diadaptasi dari pemikiran Gillian Doyle dalam publikasinya Media Ownership (2002); dan Media Ownership Transparency in Europe: Closing the Gap between European Aspiration and Domestic Reality (2021)  dari Rachael Craufurd Smith, di antaranya: horizontal (satu platform banyak saluran), vertikal (bisnis media dari hulu ke hilir), diagonal (campuran horizontal dan vertikal) dan konglomerasi: lintas usaha.

Dalam mencermati kepemilikan, kami menggunakan dua pintu masuk: uang (saham pada media) dan posisi kekuasaan dalam struktur media.

Adapun konsep afiliasi politik dapat dilihat dalam dua sisi: (1) afiliasi langsung, yakni pemilik atau pengelola media sekaligus merupakan pejabat publik, calon atau anggota parlemen (DPR, DPR, DPD) dan pengurus partai politik. (2) Afiliasi tidak langsung, yakni para pekerja media terhubung kepada partai politik, pejabat pemerintah, anggota DPR, tim sukses, calon anggota legislatif, tim ahli, dan konsultan.

Dengan konsepsi ini dan data-data di lapangan, kami mengembangkan empat tingkatan konseptual afiliasi media dan politik di Indonesia.

Pertama, afiliasi ekstrem yang muncul ketika pemilik media dan keluarganya (pemegang saham-komisaris-direksi) sekaligus menjadi ketua partai, calon legislatif (caleg) atau anggota parlemen pusat atau daerah, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh paling jelas dari tipe ini adalah Hary Tanoesoedibjo. Pada sisi media, dia merangkap pemilik (pemegang saham) MNC group, direktur utama (memimpin operasional). Sementara, dari sisi politik, dia menjadi Ketua Umum Perindo, sekaligus menjadi caleg DPR.

Pada saat yang sama, Hary memiliki anak perempuan, Angela Tanoesoedibjo, yang menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada perhelatan Pemilu 2024 ini, seluruh keluarga inti Hary Tanoesoedibjo juga maju menjadi calon anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan.

Di luar keluarga, hasil wawancara riset ini juga menunjukkan bahwa Hary aktif mengimbau karyawannya untuk maju sebagai calon legislatif.

Dari temuan data ini, dapat dikatakan bahwa Hary Tanoesoedibjo memiliki interkoneksi media dan politik praktis yang nyaris paripurna. Ia memegang kendali banyak media, memiliki satu partai, punya anak yang duduk di pemerintahan, dan berpotensi duduk di parlemen (jika terpilih). Model ini barangkali hanya ada di Indonesia.

Kedua adalah afiliasi kuat. Afiliasi ini muncul ketika seseorang berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contohnya adalah Surya Paloh (SP). SP adalah pemilik Media Group (dengan saham mayoritas sekaligus direktur utamanya). Dia juga Ketua Umum Partai Nasdem. Anaknya, Prananda Surya Paloh, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan juga anggota DPR periode 2019-2024. Prananda kini maju kembali di Pemilu 2024.

Partai milik SP, Nasdem, juga menempatkan tiga Menteri dalam kabinet Jokowi selama dua periode: Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate; Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, dan; Menteri Pertanian Syahru Yasin Limpo.

Ketiga adalah bentuk afiliasi moderat. Afiliasi ini teridentifikasi ketika seseorang menjabat direksi di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh model ini adalah Syafril Nasution. Dia menjabat sekretaris perusahaan Media Nusantara Citra (MNC), Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) 2019-2022, dan kini menjadi caleg Perindo daerah pemilihan Jawa Tengah 1. Selain itu, Syafril juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Perindo.

Keempat adalah afiliasi lemah. Afiliasi ini muncul ketika jurnalis atau editor media menjadi caleg, anggota parlemen, atau pengurus partai. Pada hasil penelitian, jurnalis tingkat nasional yang menjadi caleg antara lain adalah Aiman Witjaksono. Selain menjadi jurnalis di MNC Group, Aiman juga maju calon DPR lewat Partai Perindo.

Dalam wawancara riset ini, Aiman menyatakan keputusannya pindah dari Kompas TV ke MNC Group salah satunya juga karena adanya peluang berkiprah di dunia politik. Aiman dalam wawancara mengatakan “Jadi di sini (MNC Group) saya lihat, saya bisa masuk ke media di mana saya juga bisa berkiprah di partai politik. Tapi, bukan mencampuradukkan keduanya.”

Di luar Aiman, penelitian kami juga menunjukkan bahwa ada beberapa jurnalis senior di berbagai provinsi di Indonesia yang maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Dampaknya, media-media tempat mereka bekerja menunjukkan keberpihakan kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita.

Menarik diperhatikan, bahwa empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya, seperti EMTEK, Grup Kompas Gramedia, Jawa Pos Group, Berita Satu Media Holding, CT. Corps, dan TEMPO Media Group.

Perlu perubahan peraturan

Riset ini mengonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan media dan afiliasi politik. Hal ini menjadi peringatan pada tiga pihak: regulator media, regulator terkait pemilu, dan regulator terkait persaingan usaha di Indonesia.

Untuk memitigasi isu ini, kami menyampaikan rekomendasi reformasi kebijakan terkait kepemilikan media, afiliasi media dan jurnalis ke dalam struktur politik. Reformasi kebijakan ini penting untuk mewujudkan pemilu yang adil dan sehat ke depan.

Pada konteks kepemilikan media, sebenarnya sudah ada dua aturan pembatasan kepemilikan, yakni (1) pelarangan kepemilikan oleh pemerintah dan warga negara asing dan (2) pembatasan cross ownership di UU Penyiaran.

Menurut kami, masih perlu adanya penambahan aturan di UU, berupa pembatasan kepemilikan media oleh politikus, pejabat pemerintah atau pengurus partai politik (secara langsung atau tidak langsung).

Kita juga perlu mendorong revisi aturan partisipasi politik di UU Pemilu, khususnya kandidasi dalam kepemiluan demi menjaga independensi media dan jurnalis. Pelarangan jurnalis saja menjadi caleg tidak cukup dan tidak adil. Pelarangan terjun ke politik elektoral juga harus melingkupi para pemilik saham dan pejabat tinggi media juga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 1 Februari 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Hukum Politik

A Breakthrough for Freedom of Expression in Indonesia

The Constitutional Court on April 29 handed down a landmark decision; one that could mark a turning point for digital freedom of expression in the country. 

The court declared it unconstitutional to prosecute individuals simply for criticizing government institutions, corporations, professions or public officials. 

Human rights activists and legal scholars have welcomed the decision as a major step forward in human rights reform. But the question remains: does this ruling truly safeguard the digital rights of Indonesian citizens, or is it merely symbolic progress in a system still riddled with ambiguity? 

The court’s ruling hinged on three key points, each targeting the vague and overly broad language found in Articles 27A, 45(4), 28(2) and 45A(2) of Law No.1/2024 which amended Law No.11/2008 on Electronic Information and Transactions (ITE) which are deemed to be contradictory to the 1945 Constitution. 

First, the phrase “another person” (orang lain) was clarified to exclude corporations, government institutions, public officials and public figures. In plain terms: criticism of power is no longer criminal by default. 

Second, the term “something accusatory” (suatu hal) was declared unconstitutional and void of legal force – unless interpreted strictly as referring to actions that genuinely degrade someone’s dignity or reputation. Viewpoint Every Thursday ADD THIS TOPIC Whether you’re looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, “Viewpoint” is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most. 

Third, the provision criminalizing the online dissemination of material that might incite hatred or hostility was deemed unconstitutional unless narrowly interpreted. According to the court, it must apply only to content that (1) is clearly hate-based, (2) targets specific identities, (3) is intentional and public and (4) presents a real risk of discrimination, hostility or violence. In short: context, intention and identity matter. 

In his expert testimony, Herlambang Wiratraman argued that such offenses should be understood as cyber-enabled crimes, not cyber-dependent ones – meaning they exist offline too, and digital platforms are just the medium. He emphasized that hate speech provisions in the ITE Law should not operate in isolation but refer back to Articles 156 and 157(1) of the Criminal Code. Prosecutors, he argued, should focus on proving the actual content (actus reus), the speaker’s intent (mens rea) and the social standing or role of the person making the statement.

 According to expert Bambang Harymurti, the original intent of the law was to regulate the technical aspects of electronic information and transactions – not to police speech. But in a last-minute twist, outdated and irrelevant criminal provisions were slipped in, effectively turning the law into a tool for silencing dissent and criminalizing free expression. 

A 2024 report from SAFEnet highlights the scale of the problem: 146 cases of digital expression violations were recorded, impacting 170 individuals – most tied to Article 27A. While the motives ranged from personal disputes to political criticism, accusations of blasphemy and economic conflicts, a striking pattern emerged: among the top five complainants were organizations, corporations, political parties and public officials – precisely the actors now excluded from protection under the Court’s latest decision. 

From an employee venting about her toxic workplace to a consumer exposing fraud by a car leasing company and a TikToker jailed for reviewing a disappointing apartment he bought – the victims of the ITE Law come from all walks of life. Ironically, Daniel Frits, the very activist who brought the case that led the Constitutional Court to reinterpret the law, nearly became its casualty. His alleged crime? Sharing electronic information in defense of Karimunjawa’s environmental sustainability. 

Indonesia has long struggled to protect freedom of expression in the digital space. The ITE Law has frequently been used to criminalize dissent, satire and legitimate criticism, often under vague legal provisions. For years, the state’s approach aligned more closely with regimes that repress rather than protect free speech. 

But with the recent Constitutional Court decision, there is a glimmer of change. While we should consider this a turning point – we must also ask: where does Indonesia stand when it comes to regulating online expression? 

Freedom of expression (FoE) online is typically governed through three approaches: absolute, proportional and abusive. The absolute model permits unrestricted expression, based on the belief that rational individuals can navigate falsehoods without state interference. No country fully adopts this approach, as it assumes an idealized public immune to harm or misinformation. The proportional approach (which is accepted in most democratic states), recognizes FoE but allows restrictions based on international standards such as the Siracusa and Johannesburg Principles. Limitations must be lawful, necessary and serve legitimate aims such as protecting public order, safety,or others’ rights. Crucially, such restrictions must be clear, proportionate and subject to remedy.

 The abusive approach, by contrast, erodes FoE with or without legal cover. Courts also offer little protection; laws are often vague or weaponized – through tactics like SLAPPs – to silence dissent. This model breeds fear, not dialogue. Countries such as China, Russia, the UAE, Myanmar, Laos, Vietnam and Cambodia exemplify this approach. It is open to the public’s criticism in which approach Indonesia falls. 

There is no denying that the Constitutional Court’s recent decision is a step forward. In the face of mounting threats to freedom of expression (especially online), it narrows the scope for criminal prosecution against critical voices in civil society. 

However, the public should temper their optimism. Major barriers to free expression remain, including the lack of comprehensive anti-SLAPP protections. Without such safeguards, the court’s ruling risks being read narrowly by law enforcement, applying only to the ITE Law while ignoring broader systemic issues. 

The Institute for Criminal Justice Reform has raised red flags about the new Criminal Code set to take effect in 2026. Several provisions still threaten free expression: Articles 263 and 264 on “fake news,” Article 433 on contempt (which, like the ITE ruling, should exclude criticism of institutions) and Articles 218 and 219 on defamation of state leaders – all of which risk replicating the very problems the Court sought to correct. 

Additionally, the amendment of the Indonesian Military (TNI) Law brings controversy because of an article that expands the TNI’s function to help combat cyber threats. According to SafeNet, the militarization of cyberspace can give rise to coercive-militaristic policies such as censorship, information operations and tightening of regulations regarding online expression. 

Nevertheless, with the Court’s decision being final and legally binding, citizens are on firmer ground to voice criticism, whether aimed at government bodies, corporations or public figures. 

This protection should empower not only activists, but also journalists, students, workers, consumers and everyday internet users to speak out against injustice or misconduct. In any democratic society, challenging power – wherever it resides – is not just a right, but a public duty. 

 

The article was published in the Opinion section of The Jakarta Post on May 7, 2025.

Sahid Hadi
A Civil Law Lecturer at the Faculty of Law, Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on business law and human rights, as well as legal methodology.



Categories
Politik

Pascapemilu Serentak 2024

Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan, apakah penyelenggaraan pemilu serentak pada 2024 akan secara signifikan berdampak kepada kehidupan moral etik politik di Indonesia? Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung kompleksitas yang cukup rumit.

Jika politik dimaknai sebagai segenap upaya seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umum, rasa-rasanya dengan melihat gelagat politik partai politik dan kandidat pemilu hari-hari ini, jauh panggang dari api. Artinya, pemilu serentak 2024 tidak akan memiliki relevansi yang signifikan terhadap perubahan politik Indonesia setidaknya satu periode mendatang. Mengapa demikian?

Pertama, harus diakui, politik Indonesia termasuk demokrasi di dalamnya masih berkutat kepada aspek prosedural, sedangkan substansi dan inti politik itu sendiri lama tak tersentuh. Perubahan model pemilu misalnya, yang sebelumnya terpisah menjadi pemilu serentak legislatif dan eksekutif, level pusat maupun daerah, suka tidak suka adalah bentuk perubahan prosedural semata. Ia hanya mengubah prosedur yang sebelumnya dalam waktu yang berbeda menjadi dalam waktu yang sama atau paling tidak berdekatan.

Perubahan mekanisme ini disinyalir akan berdampak pada penghematan anggaran negara karena dilakukan dalam sekali waktu. Logika ini sekilas tampak rasional meskipun belum tentu karena pemilu serentak dipastikan akan menambah kuantitas penyelenggara dan pengawas pemilu. Selain itu, sekalipun penghematan anggaran ini betul-betul terjadi, tetap saja ini baru menyentuh aspek prosedural dari politik, tidak berdampak kepada kehidupan politik kebangsaan kita.

Lalu, apakah prosedur demokrasi tidak penting sama sekali? Tentu saja penting. Prosedur adalah pintu masuk menuju substansi politik. Artinya, prosedur penting tetapi tidak berhenti di situ, ia harus beranjak menuju yang lebih substantif.

Kedua, laku politik yang selama ini tampak sama sekali tidak mencerminkan moral serta etik politik, dan itu tidak mungkin berubah jika pendekatan perubahan baru pada level prosedural. Beberapa masalah dalam politik Indonesia, misalnya menguatnya primordialisme, politik uang dalam pemilu, dan merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah masalah pada level inti, mengubahnya tidak cukup hanya dengan mengubah sistem dan mekanisme pemilu semata.

Primordialisme dalam bentuk suku dan agama, misalnya, yang sejatinya tidak mungkin mendapatkan tempat di panggung politik karena politik mensyaratkan kesetaraan dan keadilan, maka dengan sendirinya secara alamiah primordialisme ini bertentangan dengan politik. Namun pada kenyataannya, jualan primordialisme ini masih laku keras digunakan untuk mendulang suara sebanyak mungkin.

Ruang publik yang sejatinya inklusif diisi oleh sintesis tindakan komunikasi yang dapat diterima oleh publik, tetapi diisi oleh ujaran-ujaran untuk mendukung calon dari suku dan/atau agama tertentu lalu menjelekkan calon lain yang berasal dari identitas berbeda. Ini diperparah pula dengan pemakluman terhadap politik uang, baik dari sisi pelaku maupun penerima.

Laku politik yang selama ini tampak sama sekali tidak mencerminkan moral serta etik politik, dan itu tidak mungkin berubah jika pendekatan perubahan baru pada level prosedural.

Ruang politik yang demikian, lalu berimplikasi kepada wajah pejabat negara yang lekat dengan KKN. Sulit untuk menggambarkan bagaimana mengguritanya KKN di Indonesia saat ini, tetapi gambaran sederhananya mungkin bisa dilihat dari ilustrasi berikut:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang selama ini menjadi satu-satunya batu sandungan bagi para koruptor karena KPK kerap merepotkan pejabat ”nakal” yang akan korupsi. Maka, yang dilakukan bukan lagi mencari metode KKN yang lebih canggih agar tidak tercium KPK, melainkan dengan mematikan KPK itu sendiri. KPK hari ini, nyaris seperti mayat berjalan, secara kelembagaan dia ada, tetapi tidak memiliki ruh pemberantasan korupsi yang hidup sehingga arahnya dapat ”dikendalikan” oleh oknum-oknum yang keberatan jika KPK independen.

Berbagai persoalan di atas hampir dapat dipastikan masih akan terus tumbuh di Indonesia pasca-Pemilu 2024. Artinya, tanpa perubahan politik yang radikal, tanpa merehabilitasi arah politik Indonesia, tidak akan ada yang berubah sekalipun mekanisme pemilunya beruang-ulang diubah.

Politik adalah tentang keterlibatan seluruh warga dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan umum. Politik selama ini kerap disalahartikan sebagai ajang perebutan kekuasaan semata dan dikerdilkan menjadi biang kerok dari segala permasalahan yang dihadapi bangsa.

Padahal, politik sejatinya adalah tentang tindakan yang dilakukan untuk tujuan kehidupan bersama dan keadilan. Tindakan itu harus diwujudkan dengan komunikasi yang setara antarkelompok yang ada. Politik juga berkaitan dengan pemisahan antara yang publik dan privat, urusan pribadi dan urusan kenegaraan, kepentingan individu dan kepentingan umum, di mana yang umum akan selalu berada di atas kepentingan pribadi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 24 Agustus 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

 

 



Categories
Politik

Gagasan Angkatan Siber: Seberapa Perlukah Dibentuk?

Indonesia masih rentan terhadap serangan siber pada dimensi keamanan. Jadi, usulan pembentukan Angkatan Siber bisa diterima nalar. Namun, usulan ini harus ditinjau secara komprehensif.

Komisi I DPR mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai matra keempat Tentara Nasional Indonesia pada 14 Agustus 2023. Pembentukan Angkatan Siber diproyeksikan untuk memperkuat pertahanan nasional dan mendukung tiga matra yang sudah ada sebelumnya, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Menurut DPR, keberadaan Angkatan Siber sudah lazim di negara-negara tetangga, seperti Singapura.

Usulan DPR ini berawal dari gagasan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto. Menurut Andi, diperlukan evolusi di ranah pertahanan siber. Saat ini, ancaman serangan siber semakin tinggi, dibuktikan dengan beberapa kali serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah belakangan.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolak usulan ini. Pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan dimanfaatkan untuk membungkam publik. Mengingat, para pegiat demokrasi juga sudah dibatasi oleh penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apalagi, tahun politik dan pemilu presiden sedang di depan mata.

Pertahanan-keamanan siber

Usulan Lemhannas dan DPR ini perlu ditinjau secara komprehensif. Indonesia selama ini telah memiliki komponen pertahanan di bidang siber. Bahkan, komponen ini lebih dari satu. Pertahanan siber di Indonesia selama ini menjadi tanggung jawab beberapa lembaga, antara lain Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri, Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), serta beberapa komponen lain di bawah TNI. Pertanyaannya publik kemudian, bagaimana komponen-komponen ini bekerja?

Kenyataannya masih banyak serangan siber terjadi. Belum lama ini, kita kembali mendengar data pribadi masyarakat di paspor dan penduduk di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bocor. Belum lagi kita pernah dibuat geger oleh serangan peretas Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Serangan-serangan ini ditengarai berasal dari luar Indonesia.

Sementara di dalam negeri, kasus-kasus ujaran kebencian di media sosial gencar digarap oleh satuan siber Polri. Tak perlu waktu lama, patroli siber Polri telah menunjukkan tajinya dalam menegakkan keamanan siber. Pun taji inilah yang justru ditakuti oleh pegiat demokrasi.

Pemisahan fungsi

Bisa jadi, kekhawatiran para pegiat demokrasi diakibatkan adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan keamanan di Indonesia. Zona abu-abu ini sudah sejak lama muncul akibat tidak tegasnya praktik keterlibatan penugasan TNI dan Polri di tengah masyarakat. Selain itu, trauma masa lalu dari pemanfaatan TNI oleh aktor-aktor politik selama Orde Baru pun menjadi kata kunci.

Fakta memang menunjukkan Indonesia masih rentan terhadap serangan siber pada dimensi pertahanan sehingga usulan pembentukan Angkatan Siber oleh Lemhannas dan DPR bisa diterima nalar. Meskipun demikian, tidak serta-merta diartikan bahwa Angkatan Siber ini akan menjadi komponen yang ”benar-benar baru”.

Angkatan Siber baru ini harus meleburkan komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Dengan kata lain, diperlukan ”kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika peleburan ini tidak dilakukan, tumpang tindih kewenangan dan tugas tak ayal akan terjadi.

Angkatan Siber juga harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah Reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini meskipun masih akan diperdebatkan bagaimana jika Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Sebab, kita telah telanjur menerima jargon ”Sinergitas TNI-Polri” yang merupakan implementasi tugas perbantuan TNI menurut Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.

Pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus tetap diprioritaskan. Jangan sampai, matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer. Mengingat, Indonesia belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil. Jangan sampai, operasi keamanan yang diembankan kepada Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Fokus untuk pertahanan

Jika memang Singapura yang digaungkan menjadi role model, pembentukan Angkatan Siber mutlak harus difokuskan pada upaya pertahanan nasional dan kepentingan militer. Digital and Intelligence Service (DIS) yang merupakan Angkatan Siber Singapura sebenarnya juga masih belia. Angkatan ini dibentuk pada 2 Maret 2022. Namun, yang perlu digarisbawahi, DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Hal ini mengingat doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, bak invasi naik pesawat dan kapal, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Sebab, sebuah serangan pada jadwal kereta cepat, misalnya, dapat membunuh ratusan penumpangnya.

Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern. Operasi siber telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil. Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan. Hal ini harus dipertimbangkan jika kelak matra baru ini benar-benar dibentuk.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Ekonomi

Anjloknya Saham

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam dari 6.471,95 (17/3/205) menjadi 6.233,39 (18/3/2025) atau turun sebesar 5 persen. Setelah itu, pergerakan liar saham terus terjadi sehingga kembali turun 6.161,22 (24/3/2025) meskipun kembali naik menjadi 6.510,62 (27/3/2025).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemangku kebijakan agar IHSG tidak terus melemah. Penghentian sementara perdagangan (trading halt) telah dilakukan pada 18/3/2025 dan juga kebijakan buyback saham bagi emiten yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar tanpa RUPS. Pertanyaan yang muncul, apa yang sedang terjadi dengan ekonomi Indonesia saat ini?

Menarik untuk dicermati kenapa IHSG anjlok. IHSG adalah indikotor jangka pendek kondisi ekonomi makro suatu negara. Pasar saham adalah tempat para investor menanamkan modalnya di sektor keuangan untuk mendapatkan retum dalam jangka pendek. Keuntungan diperoleh dari perbedaan dari harga beli dan harga jual kembali (capital gain). Karena sifatnya jangka pendek, maka harga saham pergerakannya sangat fluktuatif.

Lalu faktor apa yang menjadikan harga saham naik dan turun, ada dua faktor yaitu fundamental pasar dan sintimen pasar. Fundamental pasar adalah kondisi perekonomian makro. Fundamental pasar menjadi pemicu utama anjloknya harga saham saat ini. Pertama, turunnya daya beli masyarakat yang ditunjukkan adanya deflasi pada awal tahun 2025. Deflasi telah terjadi dua bulan berturut turut yaitu 0,76% pada bulan Januari dan 0,48% pada bulan Februari. Fenomena deflasi di awal tahun ini mengulangi kembali gejala deflasi tahun 2024 selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei-September. Artinya, kondisi ekonomi Indonesia masih dalam kondisi kelesuan.

Melemahnya ekonomi karena deflasi ini diperparah adanya penurunan kepercayaan konsumen. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada bulan Desember 2024 sebesar 127,70 dan mengalami penurunan menjadi 127.20 pada bulan Januari 2025. Penurunan IKK ini menunjukkan adanya perlambatan ekonomi dan gambaran akan sulitnya mencari lapangan pekerjaan.

Kedua, adanya tekanan terhadap anggaran pemerintah (APBN). Target pengeluaran APBN sebesar 3.620 triliun sedangkan target pendapatan APBN 2025 sebesar Rp3.005 triliun sehingga terjadi defisit anggaran sebesar Rp616 triliun. Namun, diperkirakan pendapatan sulit dicapai melihat melemahnya kondisi ekonomi dan akibatnya defisit akan membangkak.

Upaya untuk meningkatkan pendapatan sudah diupayakan dengan menaikkan PPN sebesar 12%. Begitu pula, adanya kebijakan efisien anggaran adalah bagian memangkas agar defisit tidak melebihi 3%. Adanya kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar 72 triliun juga menjadi beban tambahan anggaran setiap tahun. MBG belum cukup jelas pola pelaksanaannya dan sehingga sulit mengukur hasilnya, meskipun dimungkinan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi.

Hasil pemotongan belanja hasil efisiensi ditargetkan mencapai Rp 306 triliun. Namun, efisiensi anggaran dengan melakukan pemotongan belanja di berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) akan menimbulkan persoalan. APBN adalah instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting ketika kondisi ekonomi sedang mengalami kelesuan. Kebijakan fiskal ekspansif sangat diperlukan ketika kondisi dunia usaha masih lesu dan belum pulihnya bisnis mereka akibat Covid-19. Namun, kebijakan fiskal kontraktif dengan adanya efisiensi anggaran ini, tentunya akan semakin memperlemah pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ketiga, adanya sentimen negatif pasar juga mendorong anjloknya harga saham. Isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani semakin menambah ketidakpastian para investor yang mempengaruhi anjloknya harga saham. Begitu pula, isu miring tentang pengelolaan Danantara sebagai lembaga yang mengelola investasi negara melalui konsolidasi aset-aset Badan BUMN strategis yang dananya sangat fantastis sebesar 900 juta dolar AS.

Anjloknya IHSG secara langsung berdampak terhadap penurunan nilai tukar rupiah. Rupiah melemah dari 16.406 per dollar (17/3/2005) menjadi 16.410,5 (18/3/2025). Tekanan terhadap rupiah terus berlanjut sehingga rupiah mencapai level 16.550 (27/3/2025). Jika pelemahan rupiah terus berlangsung akan berdampak langsung kepada sektor riil karena sebagian besar produksi domestik masih mengandalkan bahan baku impor.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 2 April 2025

Agus Widarjono
Guru Besar Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII. Bidang riset pada ekonomi mikro dan ekonometrika.

Categories
Lingkungan Sosial Budaya

Tsunami Aceh : Bagaimana Monumen Bencana Membantu Kita Mengingat, Sekaligus Melupakan Bencana

20 tahun sudah Aceh pulih dari tsunami yang menimbulkan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya para penyintas. Dalam periode yang berdekatan, Aceh juga berusaha bangkit setelah didera konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah selama puluhan tahun.

Setelah mengalami bencana, masyarakat terdampak akan menghadapi tarik-menarik antara mengingat dan melupakan bencana. Di satu sisi, mereka harus mampu melupakan bencana yang dialami agar bisa move on. Di sisi lain, masyarakat penyintas harus tetap merawat ingatan bencana, khususnya untuk mengenang keluarga dan kerabat yang menjadi korban, juga untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman bencana serupa di masa depan.

Dalam tarik-menarik ini, ingatan bencana selalu ada, tapi bukan sebagai memori yang terus diingat dalam keseharian. Memori bencana tersebut akan muncul sebagai ingatan aktif ketika dipicu oleh pemantik tertentu, misalnya tempat, benda, atau peristiwa.

Memori ini erat kaitannya dengan pemaknaan atas bencana. Dalam tsunami Aceh 2004, masyarakat Aceh menafsirkan bencana secara beragam.

Awalnya, terdapat narasi awal tsunami sebagai hukuman atau peringatan dari Allah. Lalu, seiring berjalannya waktu, muncul makna atas bencana yang disepakati secara sosial, yaitu tsunami sebagai ujian dari Allah.

Narasi tsunami sebagai ujian ini terbukti ampuh mempercepat proses pemulihan pascatsunami. Pemulihan psikologis bisa berjalan cepat karena orang-orang move on dari trauma tsunami dengan meyakini bahwa keluarga yang meninggal adalah syuhada, berada di surga. Sementara mereka yang masih hidup diberi kesempatan oleh Allah untuk hidup lebih baik lagi.

Langkah menyepakati narasi ini disebut sebagai memory canonization (kanonisasi memori), yaitu ketika pemerintah dan para elit yang berkuasa mengajukan tafsir atau narasi tertentu atas bencana yang terjadi, termasuk tentang apa yang harus diingat dan bagaimana mengingat bencana tersebut.

Kanonisasi memori bencana juga mewujud dalam pendirian monumen-monumen bencana dan acara-acara peringatan bencana. Sayangnya, kanonisasi memori seperti ini kerap meminggirkan atau melupakan narasi-narasi lain yang tidak sejalan dengan narasi utama yang diajukan. Ini membuat banyak monumen bencana di Aceh yang justru tidak memicu ingatan penyintas akan tsunami.

Kontestasi memori bencana

Pembangunan memorial permanen setelah peristiwa bencana adalah tren umum di masyarakat modern. Di Aceh, kita bisa menjumpai banyak sekali monumen tsunami—banyak diantaranya bahkan menjadi destinasi wisata.

Secara umum, monumen tsunami bisa dibedakan menjadi dua berdasarkan proses pendiriannya.

Pertama monumen yang didirikan dari puing-puing sisa tsunami, yang sengaja dijaga, dimodifikasi atau ditambahi elemen tertentu, dan dirawat sebagai monumen tsunami. Contohnya adalah Kapal PLTD Apung, Monumen Kapal di Atas Rumah di Lampulo, atau puing tsunami di Masjid Rahmatullah Lampuuk.

Kedua monumen yang sengaja didesain dan didirikan setelah tsunami sebagai bangunan baru, misalnya Museum Tsunami Aceh atau Tugu Tsunami yang didirikan di lebih dari 50 titik di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Pendirian memorial bencana selalu bersifat politis. Monumen bencana adalah perwujudan nyata bagaimana pemerintah dan para elit mendorong dan merawat tafsir tertentu agar menjadi tafsir utama atas bencana. Ini bisa dilakukan dengan merancang desain arsitektur tertentu dan memilih koleksi atau narasi tertentu untuk disajikan di monumen.

Di sisi lain, proses kanonisasi tersebut tidak akan pernah final. Setelah didirikan, setiap monumen bencana akan menjadi tempat pembentukan, penguatan, modifikasi, pengubahan, hingga revisi tafsir atas bencana.

Dalam keseharian, masyarakat penyintas akan berinteraksi dengan monumen dalam beragam konteks—misalnya menjadi sumber penghasilan atau tempat menghabiskan waktu luang. Artinya, makna sebuah monumen bencana bisa bermacam-macam, yang seringkali tidak ada kaitannya sama sekali dengan narasi dan tujuan awal dari pihak-pihak yang menginisiasi monumen.

Penelitian yang sedang saya lakukan di Banda Aceh sejak November 2024 (belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa di kalangan penyintas, ingatan tsunami justru sering kali dipicu oleh tempat tertentu yang berasosiasi dengan pengalaman mereka. Beberapa di antaranya seperti bangunan rumah tempat mereka selamat dari tsunami, kawasan pantai di mana mereka digulung tsunami, atau puing-puing rumah mereka.

Para penyintas ini merawat ingatan personal yang unik dan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Ingatan ini juga berbeda dengan narasi utama yang dibangun pemerintah melalui monumen tsunami—saya menyebutnya sebagai the forgotten memories of tsunami (memori tsunami yang terlupakan).

Bagi para penyintas, monumen-monumen yang didirikan justru tidak memicu ingatan mereka pada tsunami. Memang, banyak monumen tsunami didirikan tanpa melibatkan warga lokal. Akibatnya, warga tidak merasa terhubung, alih-alih merasa memiliki monumen tersebut.

Monumen bencana dan pendidikan kebencanaan

Saat ini, 20 tahun setelah tsunami, kita masih bisa menjumpai para penyintas tsunami dengan mudah.

Dari mereka, kita bisa mendapatkan banyak kisah menarik yang sangat berguna untuk pendidikan kebencanaan. Misalnya: bagaimana penyintas membangun keluarga baru setelah tsunami; membangun kembali rumah dan desa mereka di tempat yang sama, di kawasan pantai; membangun kesadaran kultural tentang tsunami sembari hidup di tempat yang sangat rentan gelombang pasang, dan seterusnya.

Namun, seiring waktu para penyintas tersebut akan meninggal dan generasi berganti. Dari mana orang-orang baru dan generasi baru akan belajar tentang tsunami? Terlebih para pendatang yang pindah ke sana setelah tsunami dan menyewa rumah di kawasan pantai.

Lama kelamaan, mereka akan bergantung dari memorial tsunami di sekitar mereka, karena hanya itu artefak yang tersisa. Sayangnya, banyak memorial tsunami yang kini terlupakan, bahkan sengaja tidak dirawat.

Untuk memitigasi potensi risiko tersebut, saya merekomendasikan beberapa hal.

Pertama, kita bisa mendokumentasikan ‘memori tsunami yang terlupakan’ secara kreatif, misalnya dengan video dokumenter, komik, foto, konten media sosial, atau lainnya. Ini bisa berfokus pada ingatan dan kisah yang memberikan wawasan bagi upaya pengurangan risiko bencana dan pendidikan kebencanaan untuk generasi muda.

Kedua, kita perlu mendorong interaksi yang berkelanjutan dan bermakna antara warga lokal dengan monumen-monumen tsunami. Memorial bencana akan berfungsi secara maksimal—dalam merawat ingatan bencana sekaligus mendidik generasi muda tentang bencana—ketika terhubung dengan aktivitas keseharian warga sehingga memiliki makna, peran dan fungsi tertentu bagi warga.

Dalam konteks Aceh, ini dapat dilakukan melalui pelibatan siswa sekolah untuk berkunjung dan melakukan aktivitas tertentu di monumen. Langkah lainnya adalah pelibatan warga sekitar untuk merawat kembali memorial tsunami yang mulai terlupakan. Masyarakat juga dapat diajak berpartisipasi dalam pencarian dan pemilihan koleksi-koleksi yang akan dipamerkan di monumen atau museum tsunami.

Langkah-langkah tersebut bertujuan mendorong rasa kepemilikan warga atas monumen tsunami yang ada di lingkungan mereka. Dengan cara itu, mereka akan sukarela merawat monumen tersebut, menjadikannya bagian integral dalam upaya pengurangan risiko bencana.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 Desember 2024

Muzayin Nazaruddin
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset padakomunikasi bencana dan risiko, komunikasi lingkungan, serta hubungan antara manusia dan lingkungan.

Categories
Hukum Politik

Bahaya Revisi UU TNI: Multifungsi Membuat Prajurit Jadi ‘Kurang Militer’, Publik Terancam Direpresi

Wacana pemerintah dan parlemen untuk merevisi ketentuan dalam Undang-Undang TNI kini tengah jadi sorotan. Ada ketakutan revisi ini akan melonggarkan pembatasan peran militer di ranah sipil. Pembahasan ini masuk dalam agenda prioritas legislasi.

Dalam rapat dengan DPR pada 11 Maret lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan bahwa Prabowo meminta agar prajurit TNI yang akan ditugaskan di kementerian atau lembaga harus pensiun dini. Selain itu, TNI yang aktif diusulkan agar bisa menempati 15 kementerian/lembaga. Ini semua diminta dimasukkan dalam pembahasan revisi UU TNI.

Pada Juni 2024, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa TNI bisa bersifat multifungsi. Peristiwa ini mengawali pergulatan sengit antara aktivis masyarakat sipil dengan DPR-pemerintah terkait revisi UU TNI.

Revisi UU TNI mencakup beberapa isu nonkrusial, seperti penambahan jabatan berupa Wakil Panglima, perluasan kewenangan untuk fungsi keamanan, hak berbisnis, dan pelonggaran pengisian jabatan publik oleh TNI aktif.

Agenda pengaturan tersebut mencederai semangat Reformasi TNI tahun 1998. Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dan maraknya PHK, hal ini semakin menambah kekhawatiran publik. Revisi UU TNI yang menambah peran aparat militer ditakutkan dapat mengembalikan Indonesia pada masa kelam kebebasan sipil seperti pada era Orde Baru. Kala itu, kebijakan Dwifungsi ABRI disorot sebagai salah satu biang kerok masalah.

Padahal, Dwifungsi ABRI telah dikubur dalam agenda Reformasi TNI dan pembubaran ABRI melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000.  

Multifungsi militer tidak hanya cenderung berbahaya bagi kehidupan demokrasi sipil, tetapi juga berpotensi membuat prajurit menjadi “kurang militer” (demiliterisasi). Pada akhirnya nanti, fokus utama TNI sebagai alat pertahanan menjadi tidak optimal.

Militerisme di segala lini

Istilah “multifungsi” yang dilontarkan Agus Subiyanto sebenarnya menarasikan praktik kiprah TNI yang ada di tengah masyarakat.

Kita tidak asing melihat TNI berseragam bertugas mengamankan kegiatan warga hingga penanganan bencana. Militer aktif juga terlibat dalam proyek ketahanan pangan, distribusi program makan bergizi gratis (MBG), bahkan menduduki jabatan publik.

Namun sejauh ini, kebijakan-kebijakan di atas belum memiliki payung hukum yang jelas. Kalaupun ada, posisinya masih terlalu umum dan banyak mendapatkan kritikan. Revisi UU TNI yang sedang digarap ini dimaksudkan untuk memberikan payung hukum pada kiprah-kiprah TNI tersebut.

Jika revisi tersebut lolos dan menjadi beleid baru, bangkitnya nuansa militer dalam pemerintahan niscaya benar terwujud. Sebab, baru beberapa bulan menjabat saja, Presiden Prabowo Subianto sudah mewarnai pemerintahan dengan nuansa militerisme.

Sebagai contoh, ia mengawali masa jabatannya dengan melakukan retret bersama dengan seluruh jajaran menteri Kabinet Merah-Putih di Akademi Militer, Magelang. Tradisi ini diteruskan dengan melaksanakan retret bagi seluruh Kepala Daerah terpilih beberapa waktu lalu.

Meskipun ia menegaskan bahwa agenda tersebut bukan untuk menjadikan urusan sipil sebagai militer, publik tentu dapat merasakan vibe militer, apalagi sebagian besar fasilitator kegiatan adalah berasal dari militer.

Di Indonesia, tampaknya militer harus ‘multitalenta’. Prajurit tidak hanya bertempur, tetapi diminta juga harus siap bertani, mengurusi dapur makanan, hingga manajemen publik dalam birokrasi. Padahal, sejatinya tugas militer yang utama adalah berperang dan menjaga pertahanan negara dari ancaman luar.

Demiliterisasi TNI

Wacana multifungsi TNI ini bak menuntut militer sebagai “satuan serba bisa” (jack of all trades). Hal ini berisiko menjadikan keahlian utama yang seharusnya dimiliki TNI menjadi tidak optimal.

TNI memiliki tugas utama untuk menjaga pertahanan negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945. Sederhananya, TNI adalah komponen tempur nasional.

Memberikan TNI beban tugas selain fungsi utamanya dapat berisiko besar terhadap kualitas para prajurit. Jika agenda multifungsi tetap diakomodasi dalam revisi UU TNI, dapat terjadi demiliterisasi terhadap angkatan tempur nasional Indonesia.

Profesionalisme militer diwujudkan dalam fokus dan pengembangan militer nasional. Jika dioptimalkan, potensi utama militer akan terwujud.

Amerika Serikat (AS) misalnya, telah berhasil membentuk satuan tempur luar angkasa pertama di dunia. Singapura, meski dengan jumlah militer yang tak banyak, telah memiliki satuan pertahanan siber yang tangguh di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, Laos yang tidak memiliki wilayah maritim (landlock) memiliki angkatan laut karena memprioritaskan pertahanan perairannya di Sungai Mekong. Negara-negara ini mengupayakan peningkatan potensi militernya semaksimal mungkin.

Kita tidak bisa mengatakan kondisi militer nasional Indonesia saat ini tanpa cela. Prabowo telah lama menyoroti urgensi peremajaan alutsista nasional. Selain alutsista, pada 2023, jumlah personel TNI pun masih dianggap kurang untuk menjaga teritorial negara yang begitu luas.

Bahkan, pemerintah sampai mendorong pembentukan Komponen Cadangan untuk membantu tugas-tugas TNI.

Belum lagi jumlah serangan siber yang bertambah di Indonesia. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) sampai mencetuskan pembentukan Angkatan Siber sebagai matra keempat di Indonesia.

Ini menunjukkan betapa peningkatan kapasitas militer nasional masih jauh dari kata sempurna.

Daripada “memaksa” militer untuk menambah kemampuan di ranah sipil, sebaiknya pemerintah fokus membangun kapasitas internal militer terlebih dahulu agar bisa menghasilkan prajurit yang lebih terlatih untuk menjaga pertahanan nasional.

Urusan ranah sipil dan birokrasi pemerintahan, biarlah pemerintah merekrut talenta-talenta melalui rekrutmen publik dari unsur sipil.

Jalan masuk potensi kekerasan

Kala diterapkan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru, banyak perwira dan jenderal militer menempati pelbagai jabatan publik yang seharusnya ditempati pemerintahan sipil. Sejarah merekam  bagaimana campur tangan militer tersebut berujung pada penindasan, bahkan kekerasan, terhadap kritik pada pemerintah.

Memang, belum tentu adanya militer di ranah sipil akan serta merta menjadikan lembaga negara bersifat militeristik. Namun, hal ini membuka potensi bagi prajurit militer terlibat jauh dalam ranah sipil, dan menjadikan mereka rentan untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum: lewat tindakan berbasis kekerasan. Pasalnya, tentara memang dilatih dalam nuansa itu. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Padahal, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan di benua Eropa, yang memiliki pengalaman panjang dengan peperangan, menerapkan diskursus untuk mengontrol dan membatasi peran militer dalam kehidupan bernegara sehari-hari. Paradigma ini memiliki ide pokok untuk memisahkan militer dari ranah pemerintahan sipil dan meningkatkan profesionalisme militer.

Agenda Reformasi TNI telah menyepakati adanya pembatasan keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil. Sehingga, semboyan “Multifungsi TNI” jelas akan menjadi langkah yang bertolak belakang.

Publik harus terus mengawasi agenda revisi UU TNI ini. Saat ini, Pemerintah dan DPR membahasnya dalam senyap. Ditambah, kita perlu waspada mengingat parlemen punya pengalaman proses legislasi serampangan. Jangan sampai, revisi UU TNI yang dibuat malah menimbulkan masalah baru dan mengembalikan Indonesia ke masa gelapnya (dark-time).

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 16 Maret 2025

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Lingkungan

‘Megathrust’ Bukan Mitos: Membangun Budaya Sadar Bencana Lewat Komunikasi Risiko

Kabar mengenai ancaman gempa megathrust yang mengintai kawasan selatan Pulau Jawa kembali ramai diberitakan beberapa pekan terakhir ini.

Megathrust adalah gempa bumi sangat besar yang terjadi di zona subduksi—tempat pertemuan antara lempeng benua dan samudra. Ketika kedua lempeng itu bertemu, lempeng samudra yang lebih berat akan terdorong ke bawah sehingga memicu gempa yang sangat besar.

Para ilmuwan memprediksi bahwa gempa megathrust dengan magnitudo besar berpotensi menimbulkan bencana susulan seperti tsunami dan likuifaksi (pencairan tanah).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat terdapat 13 zona megathrust di wilayah Indonesia, dua di antaranya sudah ratusan tahun tidak mengalami gempa akibat pergeseran kulit bumi atau tektonik, yaitu zona Mentawai-Siberut dan Selat Sunda. Ini biasa disebut dengan seismic gap.

Berita mengenai ancaman megathrust sebenarnya bukan hal baru. Pemberitaan serupa sudah muncul di beberapa media sejak beberapa tahun lalu, misalnya pada Maret 2018, Agustus 2019, dan setelah gempa Pandeglang di Banten pada Januari 2022.

Meski demikian, pola pemberitaannya masih fluktuatif, menunjukkan bahwa banyak media belum memiliki pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan dalam menyajikan informasi seputar megathrust. Akibatnya, respon publik terhadap berita tersebut cenderung reaktif seperti pembatalan pemesanan di restoran-restoran sekitar kawasan pantai di Gunungkidul, Yogyakarta.

Tak hanya dibayangi ancaman megathrust, banyaknya titik rawan bencana membuat Indonesia rentan terhadap berbagai bencana alam lainnya seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Sebagai negara dengan iklim tropis lembap, Indonesia juga rawan banjir dan tanah longsor.

Sayangnya, pemerintah—sebagai pihak yang paling berwenang—acap gagal menyampaikan komunikasi risiko dengan baik, sehingga membuat pemberitaan mengenai bencana sering kali simpang siur. Bahkan, antarinstitusi pun kerap tidak sejalan. Pada medio 2018 misalnya, polisi sempat hendak memidanakan BMKG dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT) karena informasi mengenai ancaman gempa megathrust yang mereka sampaikan dianggap meresahkan dan merugikan perekonomian lokal.

Dalam situasi seperti ini, Indonesia memerlukan komunikasi risiko yang efektif untuk membangun kesadaran dan kesiapsiagaan berkelanjutan dengan memadukan pengetahuan ilmiah dengan budaya lokal.

Seperti apa komunikasi risiko yang efektif?

Komunikasi risiko melibatkan pertukaran informasi dan pandangan mengenai risiko serta faktor-faktor terkait.

Dalam penyampaian informasi bencana, membangun kepercayaan masyarakat menjadi elemen kunci. Kepercayaan yang tinggi terhadap sumber informasi dapat meningkatkan efektivitas komunikasi risiko dan memengaruhi respon masyarakat terhadap ancaman bencana. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemerintah seringkali dianggap sebagai sumber informasi risiko yang paling dipercaya.

Komunikasi risiko juga harus fleksibel agar dapat disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan yang ada. Banyak pakar menyebutkan bahwa tidak ada model komunikasi risiko tertentu yang paling mujarab untuk semua krisis. Setiap krisis membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan situasi lokalnya.

Bagaimana seharusnya merespon informasi bencana?

Waspada secara terus-menerus terhadap ancaman bencana bisa melelahkan secara psikologis. Sebaliknya, mengabaikan ancaman bisa meningkatkan risiko, berupa melakukan respon yang tidak tepat ketika bencana terjadi.

Bagaimana seharusnya kita merespon informasi bencana?

  1. Membentuk budaya sadar bencana

Masyarakat membutuhkan budaya sadar bencana. Greg Bankoff, ahli sejarah bencana dari Inggris, menyebutnya sebagai ‘cultures of disasters’. Dalam ‘budaya sadar bencana’ ini, ancaman bencana alam telah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, menciptakan pemahaman kolektif tentang risiko dan respons terhadap bencana.

Budaya sadar bencana akan tercermin dalam kesiapsiagaan warga ketika menghadapi berbagai situasi. Contoh ini dapat dilihat pada masyarakat di lereng Merapi yang sudah terbiasa dengan ancaman erupsi gunung.

Ketika status Gunung Merapi dinaikkan menjadi Siaga (Level III), masyarakat sudah tahu harus berbuat apa. Mereka bisa tetap menjalankan kehidupan sehari-hari dengan normal sambil menyiapkan tas darurat, memahami jalur evakuasi, dan mengikuti informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG).

Kebiasaan ini dibentuk melalui edukasi bencana yang panjang sejak pertengahan 1990-an, yakni setelah erupsi Merapi pada 1994. BPPTKG juga telah memulai program Wajib Latih Penanggulangan Bencana (WLPB) untuk masyarakat sejak 2008.

  1. Memadukan pendekatan sains dan nilai lokal

Orang mungkin tidak selalu mengingat ancaman gempa, namun pengetahuan dan ingatan tentangnya selalu ada. Sehingga, ketika mereka menerima peringatan dini gempa atau mengalami gempa, respons yang tepat dapat dilakukan karena pengetahuan dan ingatan tersebut tertanam dalam diri mereka.

Contohnya adalah masyarakat Simeulue di Aceh yang mengenal fenomena smong. Ketika terjadi gempa besar disertai surutnya air laut, mereka akan segera berlari ke bukit untuk menghindari tsunami sambil berteriak bersahut-sahutan, “smong, smong, smong”. Dalam bahasa lokal, smong berarti tsunami.

Pengetahuan lokal ini telah menyelamatkan banyak nyawa pada peristiwa tsunami 2004. Tercatat, hanya lima warga Simeulue yang meninggal. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan ratusan ribu korban di Banda Aceh dan sekitarnya.

Penelitian terbaru kami mengenai fenomena smong menunjukkan bahwa pengetahuan kebencanaan, baik pengetahuan tradisional maupun pengetahuan ilmiah, harus diadaptasi dalam budaya populer atau praktik keseharian agar nilai-nilai tersebut terus melekat dalam budaya itu sendiri.

Setelah tsunami 2004, beberapa seniman Simeulue mengadaptasi kisah tentang smong dalam nandong, nyanyian lokal masyarakat Simeuleu. Pengetahuan lokal ini juga diadaptasi sebagai media edukasi oleh lembaga-lembaga kebencanaan seperti Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), pusat riset, dan organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu kebencanaan.

  1. Memprioritaskan ancaman utama

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, orang cenderung lebih responsif terhadap ancaman yang jelas dan langsung dibandingkan dengan ancaman yang lebih abstrak dan jauh, seperti ancaman gempa megathrust.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, media, lembaga masyarakat sipil, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menempatkan megathrust sebagai ancaman prioritas dalam mitigasi bencana.

Pendekatan top hazard—metode alternatif yang memfokuskan perencanaan pada bahaya dengan risiko dan dampak tertinggi—dapat membantu mengidentifikasi dan mengelola risiko dengan lebih efektif, dengan fokus pada ancaman yang paling signifikan bagi masyarakat.

Warga adalah subjek aktif

Ancaman megathrust bukanlah mitos, tapi sesuatu yang niscaya terjadi. Gempa megathrust diikuti tsunami raksasa yang paling diingat dalam sejarah modern Indonesia adalah tsunami 2004 yang meluluhlantakkan Aceh dan beberapa daerah sekitarnya.

Selain itu, gempa megathrust juga pernah menerjang beberapa kawasan di Jawa, seperti Banten (1903), Yogyakarta (1937 dan 1943), Banyuwangi (1994), dan Pangandaran (2006).

Meskipun ilmuwan belum bisa memprediksi secara pasti kapan gempa besar ini akan terjadi lagi, kita harus mulai menggerakkan ‘budaya sadar bencana’. Ini adalah agenda kolektif yang perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait seperti pemerintah, akademisi dan peneliti, organisasi masyarakat dan keagaaman, lembaga masyarakat sipil, dan pihak swasta.

Dalam praktiknya, kita juga harus melihat masyarakat sebagai subjek aktif dalam mitigasi bencana yang demokratis. Pemberdayaan masyarakat seharusnya menjadi fokus utama dalam membangun budaya sadar bencana yang kuat dan berkelanjutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 27 September 2024

Muzayin Nazaruddin
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Minat riset meliputi komunikasi bencana dan risiko, komunikasi lingkungan, serta hubungan antara manusia dan lingkungan.

 



Categories
Hukum

Kejahatan Konstitusi

Bagaimana membaca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Batas Usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah? Kita memang kecewa dengan hampir seluruh Putusan MK yang terakhir, mengenai syarat usia calon wakil presiden, mengenai sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden. Tidak hanya kecewa, bahkan publik mengkritik tajam putusan itu, sekaligus mengalamatkan telunjuk jari pada kemandirian dan kapasitas hakim MK.

Namun, semua itu dilakukan tetap dengan kesadaran penuh bahwa Mahkamah Konstitusi adalah the sole interpreter of the constitutionî. Oleh karenanya publik menerima putusan MK sebagai jalan hukum legal yang harus dipilih. Ini adalah prinsip yang kita sepakati bersama saat mendirikan Mahkamah Konstitusi. Di banyak negara, Mahkamah Konstitusi apapun putusannya menjadi akhir dari polemik politik berkepanjangan.

Pada selasa 20 Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi menge- luarkan Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, kedua putusan ini mengatur tentang syarat usia calon kepala daerah dan/atau kepala daerah yang sebelumnya berdasarkan keputusan MA 30 tahun terhitung sejak pelantikan, menjadi terhitung 30 tahun sejak penetapan calon sebagaimana Peraturan KPU sebelumnya, serta tentang syarat ambang batas calon kepala daerah dengan syarat calon perseorangan. Sehari pasca putusan MK, DPR melakukan sidang bersama pemerintah dan menyepakati untuk mengenyampingkan putusan MK dan mengikuti putusan MA, serta menolak menerapkan ketentuan ambang batas sebagaimana ditentukan putusan MK.

Melihat animo yang beredar, kalangan akademisi, aktivis, dan jaringan masyarakat sipil, memberi apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi atas Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Tentu saja, jika dibaca lebih jauh apresiasi yang diberikan bukan terhadap instansi Mahkamah Konstitusi atau hakim MK, namun terhadap nilai keadilan dan kebenaran yang diakui bersama terkandung di dalam putusan. Tidak ada yang berubah dari komposisi hakim MK, artinya kita dapat memahami, dalam hegemoni kekuasaan seperti saat ini, mengeluarkan Putusan a quo bukanlah perkara gampang dan mudah, sudah pasti ada tekanan besar baik dari luar maupun dalam MK sendiri.

Kejahatan Konstitusi

Tulisan ini ingin melihat dinamika yang terjadi dari aspek hukum. Pertama, jika dilihat dari kacamata ilmu perundang-undangan, kedudukan Putusan MK, baik Putusan Nomor 23/P/HUM/2- 024 maupun Putusan Nomor 60/PUU- XXII/2024, sangatlah kuat. Memang ada perdebatan di kalangan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mengenai kedudukan Putusan MK, ada yang mengatakan ia sejajar dengan konstitusi/UUD sehingga berada di atas UUD, ada pula yang mengatakan ia sejajar kedudukannya dengan UU. Terlepas dari perdebatan itu, satu fakta yang diketahui bersama bahwa MK adalah the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution, artinya MK lah satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan UUD dengan Putusannya, lalu membatalkan UU, sehingga sekalipun tidak sejajar dengan UUD, namun Putusan MK setingkat lebih tinggi daripada UU, karena merupakan tafsir langsung atas konstitusi. Karena itu, Putusan MK bersifat final dan binding, artinya tidak dapat diuji lagi dan langsung berlaku pada saat itu juga.

Kedua, dengan demikian, maka secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa penolakan terhadap Putusan MK, bukan saja bermakna pembangkangan terhadap putusan itu sendiri, melainkan pembangkangan terhadap konstitusi. Mengapa demikian, karena Putusan MK sejatinya adalah tafsir konstitusi, atau dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa Putusan MK adalah konstitusi yang hidup. Melampaui terminologi itu, penulis lebih setuju menyebut bahwa sejatinya DPR dan Pemerintah telah melakukan kejahatan konstitusi atau kejahatan terhadap konsti- tusi. DPR dan Pemerintah bukan hanya tidak mau menyelenggarakan Putusan MK, namun dengan kesadaran dan mata telan- jang merancang peraturan yang bertentangan dengan Putusan MK, yang mana putusan itu adalah tafsir konstitusi itu sendiri.

Sayangnya, dalam situasi sulit dan darurat seperti saat ini, tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk me-recall anggota DPR yang telah dipilihnya. Padahal, logika sederhananya, sebagai pemilih orang yang mewakilinya di parlemen, maka rakyat memiliki hak dan dibuatkan mekanisme, jika suatu ketika merasa keinginan wakil tidak lagi sejalan dengan yang diwakilinya, untuk mencabut kembali mandat yang telah diberikan sebelumnya. 

Apa yang dapat dilakukan oleh rakyat hari ini adalah terus mengawal agar Putusan MK sebagai tafsir konstitusi tetap tegak dan dijalankan penyelenggara pemilu, serta terus mengawal berbagai kebijakan pemerintah tetap berada dalam jangkauan kehendak rakyat.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Agustus 2024

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.