Categories
Politik

Pemilihan Kepala Daerah

Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kembali dipersoalkan, bahkan Presiden Prabowo secara implisit menginginkan agar Pilkada dikembalikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pilkada melalui DPRD sesunggunya bukan isu baru. Pasca reformasi sampai tahun 2005 Indonesia menerapkan Pilkada melalui DPRD. Baru setelah tahun 2005, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang saat ini menjadi Pilkada serentak dan langsung. Tahun 2014 lalu, DPR-RI dan Pemerintah pernah menyetujui penyelenggaraan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, namun hanya sehari setelahnya, UU ini dibatalkan oleh Presiden SBY melalui Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu).

Kalau ditelisik lebih dalam, wacana mengembalikan Pilkada oleh DPRD bukan tanpa alasan sama sekali. Pertama, secara sederhana penyelenggaraan Pilkada langsung membutuhkan cost atau biaya yang jauh lebih tinggi. Mulai dari percetakan kertas suara, distribusi kertas suara, pembentukan TPS, akomodasi panitia pemilihan dan pengawas, gaji panitia dari level kecamatan, desa, hingga TPS, dan masih banyak kebutuhan lain yang sangat besar.

Kedua, fenomena calon tunggal yang melawan kotak kosong semakin menguat setiap kali penyelenggaraan Pilkada. Harus dipahami, Pilkada secara langsung sedikit banyak berkontribusi atas kondisi ini, karena biaya politik yang tinggi menyebabkan partai politik enggan mengusung calon di daerah tertentu. Ketiga, apa yang cukup mengkhawatirkan dalam penyelenggaraan Pilkada langsung adalah menguatnya segregasi sosial, terutama beberapa daerah yang masih menggunakan dan memanfaatkan sentimen religius dan suku dalam mendulang elektabilitas.

Keempat, berbanding lurus dengan itu, adalah tingkat literasi masyarakat, terutama literasi politik yang masih lemah. Jika kita petakan, atau setidaknya telusuri melalui kajian Aspinal 2019 lalu, mayoritas masyarakat sama sekali tidak melihat rekam jejak calon dalam menentukan pilihan, namun digerakkan oleh money politics tim sukses. Artinya, pemilih tidak memilih berdasarkan hati nuraninya, dan calon tidak perlu menunjukkan rekam jejak dan prestasinya, semua dikendalikan oleh politik uang. Pemilu tahun 2024 ini, tampaknya keempat komponen ini bukan saja masih terjadi, tapi justru semakin memburuk.

Wacana Pemilihan Tidak Langsung 

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau tidak langsung, sebetulnya bukan-lah pilihan ideal. Sebagaimana pengalaman masa lalu Indonesia, Pilkada oleh DPRD sangat rentan dikooptasi atau dibajak oleh kepentingan politik penguasa. Dengan jumlah yang lebih sedikit, tentu akan lebih mudah mengendalikan anggota DPRD dari pada masyarakat luas. Maka, adalah rahasia umum jika money politics saat itu juga beredar, namun hanya di kalangan anggota DPRD dan partai politik.

Belum lagi, sekalipun dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) hanya menyebut pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, artinya tidak menyebut langsung maupun tidak langsung, namun perjalanan putusan MK secara konstitusional telah sampai pada penyatuatapan rezim Pilkada ke dalam pemilihan umum, sehingga juga diselenggarakan langsung oleh rakyat. Belum lagi, kalau kita membaca UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD didesain dengan sangat lemah. DPRD adalah bagian dari pemerintahan daerah, bukan lembaga legislatif di daerah. Artinya, sangat tidak konsisten dengan desain awal jika Pilkada diserahkan kepada DPRD. Selain itu, mengembalikan Pilkada kepada DPRD pasti akan berujung pada penolakan rakyat, demo akan terjadi di mana-mana, belum lagi judicial review terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena itu, tulisan ini sampai pada kesimpulan bahwa wacana mengembalikan Pilkada oleh DPRD ini jangan dibaca semata-mata hanya pilihan politik praktis elite. Kita tahu betul, Pilkada langsung saat ini melahirkan berbagai persoalan serius yang memperkuat segregasi sosial.

Isu mengembalikan Pilkada oleh DPRD harus menjadi alarm kuat, bahwa ada masalah pelik dengan pilkada langsung saat ini. Harus ada solusi agar sentimen identitas tidak lagi digunakan, money politics ditekan, politisasi lembaga negara (ASN, TNI, dan Polri) dihentikan, dan yang terutama adalah melembagakan literasi politik kepada seluruh masyarakat. Mengubah desain Pilkada bukanlah solusi, sebagaimana pengalaman dan perjalanan panjang Republik ini.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 24 Oktober 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. Penelitiannya berfokus pada isu hak penyandang disabilitas, perempuan, dan anak, otonomi daerah, dan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan.

Categories
Lingkungan

Efek Pandawara Group : Bagaimana Konten Positif Bisa Mengobati ‘Eco-Anxiety’ Kita

Pandawara Group adalah salah satu pemenang perhatian warganet belakangan ini.

Dengan konten pembersihan sampah di sungai lalu merambah ke pantai, Pandawara Group memikat warganet hingga mampu meraup pengikut sampai 8,4 juta akun hingga tulisan ini dibuat. Pandawara Group, yang digawangi lima anak muda, mulai beraksi di Tiktok sejak Agustus 2022.

Per Oktober lalu, Pandawara Group sudah membersihkan 620 ton sampah dari 187 titik yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka ini terus bertambah. Mereka menggarap aksinya bersama para kolaborator, terutama masyarakat dan pegiat lingkungan sekitar lokasi pembersihan.

Jumlah sampah yang sudah dibersihkan Pandawara memang jauh dibandingkan volume sampah plastik di Indonesia yang sebesar 7,8 juta ton per tahun. Namun, dalam artikel ini, kita tidak membicarakan dampak Pandawara mengurangi sampah, melainkan kemampuan konten mereka menciptakan nuansa positif di jagat di media sosial.

Konten semacam ini, berdasarkan studi terbaru, justru manjur mengobati dampak buruk dari konsumsi konten negatif seputar lingkungan—salah satunya adalah eco-anxiety atau kecemasan lingkungan yang rentan dialami anak muda. Menurut saya, inilah kekuatan Pandawara sebenarnya.

Apa itu eco anxiety?

Eco-anxiety adalah respons psikologis dan emosional yang timbul akibat maraknya krisis lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Mulai dari hujan dan badai, air laut meluber, tumpukan sampah, sungai tercemar, kebakaran hutan, dan sebagainya.

Menurut studi, eco-anxiety bermacam-macam gejalanya, mulai dari rasa tidak berdaya, frustasi, dan perasaan putus asa. Keresahan juga dapat memicu serangan panik atau panic attack bahkan gangguan konsentrasi dan gangguan tidur yang dapat mengganggu kesehatan tubuh kita.

Salah satu penyebab eco-anxiety adalah konsumsi berita yang kebanyakan berisi kabar buruk. Saat pandemi COVID-19, konsumsi berita buruk juga menyebabkan kecemasan senada pada anak-anak muda.

Bagaimana konten pembersihan sampah Pandawara mengobatinya?

Studi yang dilakukan Kathryn Buchanan dari University of Essex dan Gillian M. Sandstrom dari University of Sussex di Inggris menguji efek konten positif dan negatif ke 1.800 responden. Sebagian responden hanya menyaksikan konten negatif, sedangkan sebagian lainnya disuguhi konten positif dan negatif.

Konten positif memuat video terkait aksi kebaikan seperti pemberian perawatan gratis bagi hewan terlantar, ataupun aksi membantu gelandangan. Sedangkan konten negatif berisikan video teror di Manchester, maupun penyiksaan hewan.

Hasilnya, grup responden yang menyaksikan konten positif+negatif mengemukakan keresahan emosional yang lebih rendah dibandingkan grup penonton video negatif saja. Grup positif+negatif juga mengungkapkan persepsi lebih baik terhadap kemanusiaan dibandingkan grup negatif. Dalam studi ini, peneliti menganggap bahwa konten positif menjadi obat yang meredam keresahan emosional akibat konsumsi konten-konten negatif.

Studi juga membandingkan paparan konten hiburan dengan konten positif untuk mengungkit mood seseorang. Hasilnya, konten positif lebih efektif dibandingkan konten hiburan.

Studi ini juga dapat dihubungkan dengan konten-konten yang diproduksi Pandawara Group. Melalui aksi bersih-bersihnya, Pandawara Group menyebarkan muatan kebaikan sehingga menampilkan lingkungan yang lebih bersih.

Karena itulah, konten-konten positif tersebut berpotensi menjadi peredam keresahan emosional terkait lingkungan yang timbul dari konsumsi berita-berita seputar kerusakan lingkungan akibat ulah manusia seperti gunung sampah, penyu tertusuk sedotan, ataupun buaya terperangkap ban bekas.

Pandawara Group memantik aksi lingkungan

Studi Buchanan dan Sandstrom turut menggarisbawahi konten-konten positif dapat memantik perasaan untuk melakukan kebaikan.

Dengan menyaksikan konten positif, seseorang akan mendapatkan persepsi baik dari perbuatan orang lain kemudian bercermin untuk melihat apa yang kurang dari dirinya.

Seseorang juga dapat merasa malu karena secara tak langsung menjadi orang yang dibantu. Perasaan ini bisa menggerakkan seseorang menjadi pihak yang membantu.

Saya juga menemukan bagaimana konten-konten Pandawara Group memancing munculnya konten serupa dari akun lain. Misalnya, akun tiktok Pandawara Cilik yang berisikan konten bersih-bersih lingkungan, serupa dengan aksi Pandawara Group. Mereka juga memiliki semboyan yang sama, yakni “bukan membersihkan tapi mengurangi”.

Menghadapi eco-anxiety

Dunia telah merasakan dampak perubahan iklim yang begitu hebat, dari mulai banjir bandang di Pakistan, kebakaran hebat di Kanada, maupun kekeringan parah di wilayah tanduk Afrika. Dampak perubahaniklim jauh lebih parah dibandingkan perkiraan para ilmuwan.

Sementara, di Indonesia, polusi udara juga menjadi perhatian karena menyekap warga di kota-kota besar, mengakibatkan ratusan ribu warga mengalami gangguan pernapasan. Cuaca ekstrem juga mengakibatkan banjir di suatu tempat dan kekeringan di tempat lainnya, dengan jarak tak terpaut jauh.

Di masa depan, situasi tersebut berisiko memicu eco-anxiety yang lebih intens bagi anak muda. Karena itu, kita mesti belajar menghadapi–bukan menghindari–keresahan lingkungan agar berdampak minimal bagi kehidupan.

Salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah mengonsumsi konten-konten media digital secara seimbang. Kita harus menghindari menyaksikan konten bermuatan negatif terlalu banyak, serta menebusnya dengan konten positif dan konten hiburan lainnya.

Konsumsi konten memang bukan satu-satunya cara. Kita bisa menjajal langkah lainnya seperti berpartisipasi dalam aksi lingkungan, bersosialisasi dengan komunitas pegiat lingkungan, hingga healing dengan pergi ke tempat yang bernuansa alami seperti gunung dan pantai.

Kita juga tak bisa melupakan aksi self-care seperti tidur yang cukup, berolahraga teratur, dan makan yang bergizi untuk menopang kesehatan mental kita.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 November 2023

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Hukum

Mengidulfitrikan Penegakan Hukum

Agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.

Ungkapan ”mengidulfitrikan penegakan hukum” dimaksudkan untuk menyatakan ”menyucikan penegakan hukum agar bisa meraih kembali sukmanya”. Artinya, kembali ke fitrah dan filosofi, mengapa manusia berhukum.

Sampai hari ini, kita masih berada di bulan Syawal 1445 H, berada pada suasana Lebaran, menyusul hari raya Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 10 April 2024. Di mana-mana masih banyak diadakan acara syawalan, Lebaran, atau halalbihalal yang di dalam ritualnya selalu ada ucapan ”Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin”.

Salah satu makna ungkapan selamat Idul Fitri adalah doa dan syukur atas keadaan kita sebagai manusia yang kembali menjadi suci, kembali ke asal penciptaan, bersih dari dosa dan segala keburukan. Bagi orang Islam, anugerah kembali suci itu didapatkan seusai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.

Banyak public common sense dilanggar dan banyak ekspresi perasaan publik bahwa sekarang ini hukum bisa dibeli.

Idul Fitri, asal mula kejadian

Baik menurut Al Quran maupun menurut hadis Nabi Muhammad, asal kejadian manusia adalah makhluk bertauhid (beriman) dan lahir dalam keadaan suci (fitrah), tanpa noda.

Adalah perjalanan hidup yang banyak godaan yang kemudian membawa manusia melakukan perbuatan buruk dan banyak dosa yang menodai kesucian asal penciptaan-Nya. Nah, dengan melakukan ibadah puasa Ramadhan secara sungguh-sungguh, manusia menjadi suci kembali (aid al fithr), bersih dari dosa-dosa masa lalunya.

Di Indonesia, keadaan kembalinya manusia ke kesucian diri (aid al fithr) menimbulkan tradisi Islam yang sangat baik, yakni saling meminta dan memberi maaf dengan ritual pada bulan Syawal agar kesucian dan kebersihan diri itu menjadi sempurna. Dasarnya, dosa kepada sesama manusia tak menjadi bersih sebelum dimintakan maaf kepada yang bersangkutan.

Halalbihalal, Lebaran, dan syawalan dikategorikan sebagai tradisi Islam di Indonesia—dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara—karena menurut sumber primer Islam tidak ada ajaran tentang ritual halalbihalal atau syawalan. Menurut Al Quran dan sunah Nabi, saling bermaafan tidak harus menunggu bulan Syawal, tetapi perlu dilakukan sesegera kesalahan terhadap orang lain dilakukan.

Tradisi syawalan jika dikaitkan dengan kaidah usul fikih, Al ’adah al muhakkamah, bahwa suatu tradisi (adat) bisa bernilai hukum, maka ritual tersebut termasuk tradisi Islam yang baik, bernilai hukum sunah, dan berpahala jika dilakukan. Tradisi ini telah membuat ritual indah untuk saling memaafkan di momen tertentu selain yang bisa dilakukan setiap waktu.

Fitrah dan sukma hukum

Jika fitrah diartikan sebagai asal kejadian atau kesucian manusia, hukum pun mempunyai fitrah dan ruh atau sukmanya. Ruh hukum adalah nilai-nilai yang bersumber dari akhlak, moral, dan etika yang kemudian sering disebut juga sebagai sukma hukum.

Di awal-awal memulai kuliah mahasiswa fakultas hukum diajari dalil bahwa hukum adalah aturan hidup bersama yang ditetapkan secara resmi (disepakati) oleh lembaga yang berwenang yang pelaksanaannya bisa dipaksakan oleh aparat dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya. Norma-norma di dalam masyarakat yang bersumber dari akhlak, moral, dan etika biasanya dikelompokkan menjadi empat norma, yakni norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.

Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah penegakan hukum yang telah terlepas dari sukmanya, menyimpang dari tuntutan agama, moral, dan etika.

Norma hukum adalah norma yang digradasikan ke atas dari nilai-nilai ketiga norma lainnya melalui penetapan secara resmi oleh lembaga yang berwenang. Ketiga norma yang belum ditetapkan sebagai norma hukum itu tetap berlaku sebagai sumber nilai hukum dan aturan perilaku di dalam masyarakat.

Ada dua hal penting dari penjelasan singkat itu. Pertama, di dalam masyarakat ada banyak norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku yang bersumber dari agama, moral, dan etika.

Kedua, hukum adalah salah satu norma yang diberlakukan secara resmi dari nilai-nilai agama, moral, dan etika sehingga hukum dinyatakan sebagai perkembangan gradual dari berbagai norma yang ada. Karena peresmiannya itulah, maka norma hukum menjadi mengikat dan bisa dipaksakan dengan adanya ancaman sanksi.

Dengan demikian, nilai-nilai norma selain hukum, yaitu agama, moral, dan etika, yang belum diresmikan menjadi hukum, tetap mengikat sebagai pedoman nilai-nilai dan perilaku yang menjadi sukma atau ruh hukum.

Selain perbedaan gradual bahwa hukum adalah semua norma dalam masyarakat yang diberlakukan secara (dilegalkan, dihukumkan), maka penegakan dan sanksinya pun berbeda dari norma-norma yang lain.

Penegakan hukum dilakukan dengan sanksi heteronom (dipaksakan oleh kekuatan aparat negara) dalam bentuk perampasan kemerdekaan dan atau benda-benda tertentu. Sementara, norma-norma selain hukum keberlakuannya bertumpu pada penghayatan dan kesadaran kolektif yang sanksinya berupa sanksi otonom.

Berbeda dengan sanksi heteronom, sanksi otonom muncul dari kesadaran dan gedoran hati nurani yang menimbulkan rasa menyesal, malu, gelisah karena merasa berdosa, cemas kalau pelanggaran atas agama, moral, dan etika nantinya berakibat buruk dan menyebabkan musibah bagi keluarganya karena dosa atau karma, merasa tidak aman dan hidup tertekan karena takut ketahuan, dan diisolasi atau dijauhi masyarakat dan familinya.

Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum.

Kembali ke sukma hukum

Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah penegakan hukum yang telah terlepas dari sukmanya, menyimpang dari tuntutan agama, moral, dan etika.

Kolusi antara penjahat dan pejabat banyak terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam dan penggunaan anggaran negara yang tidak bisa diselesaikan karena hukumnya ditumpulkan.

Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum. Kita tak kaget lagi mendengar berita banyaknya pejabat, hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang diadili dan dijebloskan ke penjara. Sekarang ini banyak hukum dipandang hanya sebagai bunyi undang-undang (UU) yang produknya jauh dari sukma hukum, yaitu keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran sebagai sukma hukum.

Banyak orang tidak takut melanggar moral dan etika dengan alasan tidak melanggar aturan hukum yang resmi, sementara para penegak hukum sering hanya menggunakan teks undang-undang tanpa mau masuk ke sukma yang ada di balik teks, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran. Banyak public common sense dilanggar dan banyak ekspresi perasaan publik bahwa sekarang ini hukum bisa dibeli.

Makanya, agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran, demi kesejahteraan rakyat. Salah satu kunci untuk itu adalah leadership.

Kepemimpinan harus berjiwa merah dan putih. Merah artinya berani dan tegas tanpa pandang bulu. Putih artinya jujur, bersih, dan bijaksana. Tak cukup hanya merah, tak cukup hanya putih. Yang diperlukan adalah keduanya: merah dan putih.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 29 April 2024

Moh Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

 

Categories
Politik

Paradoks ”Negeri Paman Sam”

Lalu, jika sang penggagas liberalisme kini berbalik arah, adakah yang tersisa dari janji keterbukaan ekonomi global?


Selama puluhan tahun, Amerika Serikat berdiri sebagai pilar liberalisasi perdagangan global. Lewat Bretton Woods, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), hingga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), negeri itu mendorong dunia untuk membuka diri atas nama efisiensi, kompetisi terbuka, dan pertumbuhan ekonomi bersama.

Namun, pada Kamis (3/4/2025), Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan tarif impor hingga 32 persen terhadap produk dari Indonesia.

Inilah titik balik yang menampakkan paradoks ”Negeri Paman Sam”: sang penjaga pasar bebas, kini memasang pagar tinggi terhadap yang datang dari luar.

Dunia pun terkejut, meski sebetulnya tak sepenuhnya asing dengan ironi ini. Sebab, sejarah memang gemar berulang dan hanya berganti baju: kali ini ia datang dari negeri yang dikenal lantang menjunjung kebebasan pasar.

Lalu, jika sang penggagas liberalisme kini berbalik arah, adakah yang tersisa dari janji keterbukaan ekonomi global?

Paradoks liberalisme

Kebijakan proteksionis ini pun tidak berdiri sendiri. Negara-negara seperti China, Vietnam, Thailand, Australia, dan bahkan Kanada juga menjadi sasaran tarif sepihak. Ironisnya, negara-negara yang selama ini dituding tidak adil oleh AS justru adalah mitra dagang utama yang berkontribusi pada keseimbangan rantai pasok global.

Dan kini, serangan politik dagang itu sampai di Indonesia, yang menikmati surplus nonmigas dengan AS senilai lebih dari 17,9 miliar dollar AS pada 2024.

Penting untuk melihat lebih dekat bahwa apa yang kita saksikan bukan sekadar kebijakan tarif. Tindakan AS ini merupakan bentuk dekonstruksi terhadap narasi besar liberalisme ekonomi.

Seperti halnya kritik postmodern terhadap Abad Pencerahan: walau membawa akal dan kemajuan, juga menghadirkan sisi kelam kapitalisme, kolonialisme, dan perang dunia (Adorno dan Horkheimer, 1947). Liberalisme pun kini mempertontonkan paradoksnya.

AS, sang promotor perdagangan bebas, kini justru memelopori proteksi. Ini adalah semacam otokritik Barat terhadap dirinya sendiri, serupa orangtua yang akhirnya harus mengakui bahwa doktrin yang diajarkannya tak selalu membawa damai.

Seperti postmodernisme yang menelanjangi luka-luka peradaban modern, dunia kini mulai berani bicara: bahwa kebebasan dan pasar, bila tidak diikat dengan nilai, bisa juga mewujud menjadi penindasan gaya baru.

Dampak bagi Indonesia

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kebijakan AS bukan hanya pukulan ekonomi. Ini juga alarm ideologis: bahwa dalam dunia pascahegemoni, tak ada lagi jaminan konsistensi. Jika sang penjaga pasar bebas bisa dengan mudah meninggalkan prinsipnya, negara-negara Selatan perlu lebih cermat membaca arah angin global.

Secara teori, ada beberapa pendekatan yang bisa membingkai respons Indonesia. Dari sisi realisme, negara perlu memperkuat kapasitas domestik dan memperluas aliansi strategis, bahkan jika itu di luar struktur multilateral formal. Dari liberalisme institusional, forum seperti WTO dan ASEAN tetap penting sebagai ruang advokasi kolektif.

Sementara pendekatan ekonomi politik kritis justru mendorong Indonesia untuk memperkuat solidaritas Selatan-Selatan dan membangun sistem dagang alternatif yang lebih adil.

Namun, membayangkan respons strategis Indonesia tanpa menyentuh kenyataan politik domestik adalah seperti membangun kapal tanpa memeriksa lambungnya. Sebab, satu tantangan mendasar datang justru dari dalam: struktur kebijakan ekonomi kita masih sangat dipengaruhi oleh oligarki.

Yang lebih memprihatinkan, secara lebih umum, Indonesia pun belakangan tampak makin jauh dari keberanian untuk menempatkan nilai sebagai pijakan kebijakan perdagangan dan investasi.

Prinsip keadilan kerap ditenggelamkan oleh suara kalkulasi pragmatis dan logika transaksi. Maka, bukan hanya AS yang perlu dikritik, melainkan juga kita sendiri yang kian hari makin malu-malu bersenyawa dengan nilai.

Misalnya, dalam proyek-proyek hilirisasi tambang atau perjanjian dagang bebas, prinsip keadilan dan keberlanjutan sering kali hanya menjadi pemanis dokumen. Komunitas lokal tidak terdengar, lingkungan dikesampingkan, dan keberlanjutan berubah menjadi sekadar jargon.

Alih-alih memanfaatkan momentum ini untuk mendorong diversifikasi pasar dan transformasi industri, respons yang muncul selama ini cenderung bersifat reaktif, tambal sulam, atau bahkan tak keluar sama sekali karena tersandera oleh kepentingan segelintir elite yang sudah nyaman dengan status quo.

Bagi sebagian pelaku besar ekspor-impor, tarif tinggi boleh jadi hanyalah bermakna biaya lobi tambahan, bukan ancaman eksistensial. Namun, bagi buruh tekstil, petani kopi, dan pelaku UMKM, ini bisa berarti kehilangan pasar, penghasilan, bahkan pekerjaan.

Dan, bagi mereka, tidak ada juru runding. Tidak ada kursi dalam forum dagang dunia. Hanya harap-harap cemas menunggu pesanan yang mungkin tak pernah datang.

Bercermin ke dalam

Sebagaimana ditulis oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), demokrasi Indonesia pascareformasi tidak sepenuhnya membongkar oligarki, tetapi justru mengorganisasi ulang kekuasaan dalam format yang lebih elektoral, tetapi tetap eksklusif.

Maka, wajar jika strategi perdagangan kita sering kali tak berbicara soal bangsa, tetapi soal siapa yang dekat dengan pusat kekuasaan.

Menghadapi tekanan eksternal seperti tarif Trump, Indonesia bukan hanya dituntut untuk merespons ke luar, melainkan juga harus berani bercermin ke dalam.

Sebab, jika arsitektur ekonomi nasional masih ditentukan oleh segelintir tangan, kebijakan sebesar apa pun hanya akan mengulang sejarah: berganti baju, tetapi mengusung logika lama.

Sejarah memang berulang. Kadang berwujud tragedi, kadang sebagai ironi. Di masa kini, kita menyaksikannya tampil kembali, bukan dengan tank dan senjata api, melainkan dengan tarif dan retorika nasionalisme ekonomi.

Dunia yang dulu dibentuk oleh liberalisme, kini harus belajar bertahan darinya. Meski demikian, dunia tidak sedang kehilangan arah. Perlahan tetapi pasti, ia sedang membentuk keseimbangan baru, menapak jalan baru yang tumbuh dari keteguhan bangsa-bangsa yang sebelumnya dibungkam sejarah.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 4 April 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII dengan fokus pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

 

 

Categories
Islam

Pemborosan Makanan dalam Islam

Makanan merupakan salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada manusia. Makanan bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga bagian dari rezeki yang harus disyukuri dan dikelola dengan baik. Namun saat ini, pemborosan makanan telah menjadi fenomena yang semakin meningkat, baik dalam skala individu maupun global. Banyak orang membeli makanan dalam jumlah berlebihan, memasaknya tanpa perhitungan, dan akhirnya membuangnya begitu saja. Padahal, ada jutaan orang yang mengalami kelaparan dan kekurangan gizi.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahun, setara dengan sepertiga dari total makanan yang diproduksi secara global. Sementara lebih dari 820 juta orang di dunia tidur dalam keadaan lapar, sepertiga makanan yang diproduksi tidak pernah mencapai piring mereka.

Islam dengan tegas melarang pemborosan dan memberikan panduan agar umatnya selalu bersikap bijak dalam mengelola makanan. Allah memperingatkan manusia agar tidak berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk dalam konsumsi makanan. Dalam firman-Nya: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)

Ayat ini memberikan petunjuk bahwa Islam tidak melarang umatnya menikmati makanan, tetapi melarang konsumsi yang berlebihan yang berujung pada pemborosan. Pemborosan dalam Islam disebut dengan istilah “israf”, yang berarti menggunakan sesuatu secara berlebihan tanpa manfaat yang jelas. Dalam ayat lain, Allah bahkan menyebut orang-orang yang boros sebagai saudara setan: “Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 27)

Dalam konteks makanan, pemborosan bisa terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari mengambil porsi yang lebih banyak dari yang mampu dikonsumsi, membuang makanan yang masih layak, hingga membeli makanan hanya karena keinginan, bukan kebutuhan. Rasulullah memberikan contoh bagaimana seorang Muslim seharusnya bersikap dalam hal makanan. Beliau tidak pernah mencela makanan. Jika beliau menyukainya, beliau memakannya, dan jika tidak, beliau meninggalkannya tanpa mencelanya (HR. Bukhari, no. 5409 dan dan Muslim no. 2064). Sikap ini menunjukkan bahwa jika seseorang tidak menyukai suatu makanan, sebaiknya diberikan kepada orang lain yang membutuhkan, bukan dibuang begitu saja.

Salah satu dampak negatif dari pemborosan makanan adalah hilangnya keberkahan dalam rezeki. Makanan yang dibuang menunjukkan kurangnya rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah. Rasulullah bersabda Jika suapan salah seorang dari kalian jatuh, hendaklah ia membersihkannya dari kotoran lalu memakannya, dan jangan dibiarkan untuk setan.” (HR. Muslim, no. 2033).

Hadis ini mengajarkan bahwa bahkan makanan yang jatuh masih memiliki nilai dan tidak boleh dibuang begitu saja. Prinsip ini mengajarkan kita untuk selalu menghargai makanan sekecil apa pun, karena di dalamnya terdapat berkah yang Allah berikan.

Selain aspek spiritual, pemborosan makanan juga memiliki dampak sosial dan lingkungan yang besar. Ketika sebagian orang membuang makanan, di sisi lain banyak orang yang mengalami kelaparan. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa pemborosan makanan bukan hanya merugikan individu, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Jika seseorang memiliki makanan berlebih, alangkah baiknya jika makanan tersebut disedekahkan kepada yang membutuhkan daripada dibiarkan rusak atau dibuang. Rasulullah SAW bersabda: Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya (HR At-Thabrani).

Islam juga mengajarkan kesederhanaan dalam makan. Rasulullah bersabda Cukuplah bagi anak Adam beberapa suap makanan untuk menegakkan punggungnya. Jika ia harus makan lebih banyak, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk napasnya (HR. Tirmidzi, no. 2380)

Hadis ini memberikan panduan praktis dalam pola makan agar tidak berlebihan. Dengan mengontrol porsi makanan, seseorang tidak hanya menghindari pemborosan tetapi juga menjaga kesehatannya.

Dari beberapa hal uraian di atas, dalam menghindari pemborosan makanan bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Pertama, mengambil makanan secukupnya sesuai dengan kebutuhan. Kedua, menyimpan dan mengolah kembali makanan yang masih bisa dimanfaatkan. Ketiga, membiasakan berbagi makanan dengan orang lain, baik melalui sedekah atau berbagi dengan tetangga. Keempat, mengajarkan kesadaran akan pentingnya menghargai makanan sejak dini kepada anak-anak agar mereka tumbuh dengan kebiasaan yang baik dalam mengelola makanan.

Menghindari pemborosan makanan bukan hanya soal kepatuhan terhadap ajaran agama, tetapi juga bagian dari tanggung jawab moral dan sosial kita sebagai manusia. Dengan mengelola makanan dengan bijak, kita tidak hanya menjaga keberkahan dalam hidup tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan. Semoga kita semua dapat menjadi hamba yang senantiasa bersyukur dan menghargai setiap rezeki yang diberikan Allah. (Dr. Drs. Imam Djati Widodo, M.Eng.Sc, Dosen Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri/FTI, Universitas Islam Indonesia/UII Yogyakarta)

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 11 Maret 2025

Imam Djati Widodo
Dosen Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri UII. Bidang riset pada ilmu operasional

Categories
Hukum

Disabilitas dan Kesetaraan di Hadapan Hukum

Penyandang disabilitas atau siapa pun, jika berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan sama. Perlu ada peraturan lebih detail untuk pelaksanaan teknisnya.

Kasus yang menimpa Agus, seorang penyandang disabilitas tanpa tangan, di Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyita perhatian publik dan diberitakan hampir setiap hari di media cetak dan elektronik. Bagaimana mungkin, seorang laki-laki yang tidak memiliki tangan dapat menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan yang mengaku sebagai korbannya dan dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Di luar itu, yang menarik adalah bagaimana proses hukum dilakukan terhadap penyandang disabilitas tersebut oleh pihak yang berwenang, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan. Bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum?

Perspektif sosial dan akomodasi yang layak

Melihat kasus tersebut, publik, termasuk juga instrumen penegakan hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan petugas lapas, masih rancu dalam menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses hukum. Ada yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan secara istimewa atau dispesialkan dari pelaku tindak pidana lainnya.

Ada pula yang berpandangan bahwa seorang penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum seharusnya tidak diproses secara pidana, kondisi disabilitasnya dijadikan sebagai alasan pemaaf atas tindak pidana yang dilakukannya. Ada juga yang berpandangan bahwa penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum tidak perlu mendapat perhatian, biasa saja sebagaimana yang lainnya.

Semua anggapan di atas adalah tidak tepat, penyandang disabilitas tidak perlu diperlakukan istimewa atau dispesialkan karena justru akan menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana lainnya. Penyandang disabilitas juga tidak boleh dilepaskan dari tuntutan pidana karena kondisi disabilitasnya semata, terutama disabilitas fisik, ia harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana mestinya.

Lalu, bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum? Dalam konteks proses, penyandang disabilitas atau siapa pun harus diperlakukan sama, tidak boleh ada pembedaan.

Namun, instansi penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan harus memastikan bahwa semua hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam proses peradilan tersebut harus dihilangkan. Misalnya, jika ada penyandang disabilitas tuli-bisu, dengan alasan berdasarkan undang-undang dia juga bisa ditangkap dan ditahan, tetapi proses penangkapan dan penahanannya harus menghilangkan hambatan komunikasi yang dimiliki oleh penyandang disabilitas tersebut, misalnya dengan menghadirkan juru bahasa isyarat.

Begitu seterusnya dalam proses yang lain. Penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda, misalnya, boleh ditangkap dan ditahan, bahkan harus jika itu menurut perintah hukum, tetapi polisi harus memastikan di kantor polisi saat proses BAP (berita acara pemeriksaan), pengguna kursi roda dapat bergerak dengan mudah ke mana pun ia mau.

Coba bayangkan, misalnya, aparat penegak hukum menahan seorang pengguna kursi roda, tetapi di rumah tahanan tidak ada kamar hunian yang memiliki kakus duduk. Dalam kondisi demikian, bagaimana seorang pengguna kursi roda dapat memenuhi hajatnya?

Di Polri belum ada peraturan teknis tentang bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam tugas dan fungsi kepolisian.

Kebutuhan regulasi ke depan

Dari aspek regulasi jaminan hak penyandang disabilitas, sebetulnya Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang sangat lengkap. Ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), lalu ada UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Lalu, di level yang lebih konkret ada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Hanya saja, dalam aspek yang lebih teknis, belum ada peraturan yang lebih lanjut terutama di level kepolisian dan Mahkamah Agung (MA).

Di Polri belum ada peraturan teknis tentang bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam tugas dan fungsi kepolisian. Begitupun dengan MA, belum ada peraturan yang lebih detail menerjemahkannya dalam kewenangan hakim dan pengadilan.

Diskusi mengenai pemenuhan akomodasi yang layak melalui peraturan internal, baik di Polri maupun MA, sebetulnya sudah dimulai dan berulang kali dilakukan. Namun, masih tarik ulur karena perbedaan persepektif dan pemahaman yang belum merata dalam memahami paradigma disabilitas.

Kasus Agus yang disebutkan di awal tulisan ini sejatinya mengenyak kita bersama dan menjadi kesadaran bersama bahwa peraturan internal yang lebih teknis, bahka sampai ke level prosedur standar operasi (SOP) sangatlah dibutuhkan. Agus tidak sendiri, ada banyak Agus lain di Indonesia, penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, yang mengharuskan instansi penegak hukum melayaninya.

Dalam catatan penulis, berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan, ada 1.092 penyandang disabilitas di Indonesia yang berada di rutan dan lapas. Artinya, angkanya tidaklah sedikit. Dengan peraturan internal dan SOP yang jelas, maka polisi, jaksa, maupun hakim tidak lagi akan kesulitan dan kebingungan jika menghadapi kasus serupa. Selain itu, justru akan melindungi anggota yang bertugas karena bertindak berdasarkan SOP yang tersedia.

Dalam kasus Agus, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun lapas, beruntung karena dengan pendampingan yang tepat dari jaringan masyarakat sipil tidak terjadi kesalahan tindakan ataupun pelayanan yang cukup serius. Pada level ini, kita harus mengapresiasi petugas yang bekerja di lapangan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 12 Februari 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada  hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.  



Categories
Pendidikan

Studi Media dan Komunikasi di Indonesia Stagnan: Perlu Pendekatan Baru

Riset (tahun 2022) menunjukkan bahwa studi komunikasi atau media di Indonesia berada dalam kondisi statis. Penyebabnya, universitas makin menjadi perusahaan bisnis yang mengeksploitasi akademisinya sebagai buruh, alih-alih sebagai intelektual yang otonom. Hal ini diperkuat dengan hasil studi tahun 2022 tentang tata kelola universitas di Indonesia yang condong pada neoliberalisme (persaingan pasar bebas) pendidikan tinggi.

Temuan riset lain juga menyepakati hal ini. Riset tahun 2019 dan 2022), contohnya, menyebutkan bahwa selama beberapa dekade, riset komunikasi tidak beradaptasi dengan perkembangan masyarakat dan tidak melayani kepentingan publik, melainkan menjadi instrumen kekuasaan neoliberal.

Meski sangat penting, kritik pada liberalisasi pendidikan semacam ini umumnya hanya mengarahkan pada solusi perbaikan di level struktur yang bersifat makro, cenderung lebih lama atau bahkan tidak mengubah apa pun.

Riset komunikasi perlu pendekatan baru

Liberalisasi tidak hanya berimbas pada tata kelola universitas, tapi juga pada pengetahuan mengenai komunikasi. Selama beberapa dekade, pengetahuan komunikasi di ruang kuliah di Indonesia didominasi oleh pengertian komunikasi sebagai “transmisi pesan” dan/atau studi yang cenderung terpusat di media (media-sentris), sehingga mempelajari hal yang itu-itu saja.

Sementara, ada pendekatan komunikasi lain, yang hampir tidak pernah dibicarakan padahal dapat menjadi alternatif stagnansi studi komunikasi, yakni pendekatan materialist.

Pendekatan materialist atau nonmedia-sentris adalah pendekatan kritis yang bertujuan menyelidiki bagaimana kapital, sebagai penyebab ketimpangan sosial, menggunakan komunikasi sebagai solusi untuk menyembunyikan ketimpangan tersebut. Pendekatan ini memperluas kajian komunikasi tidak hanya pada pesan atau media, tetapi juga pada objek-objek fisik/material (seperti tubuh, ruang dan benda/komoditas) karena komunikasi didefinisikan sebagai “sirkulasi orang, komoditas, dan modal”.

Yang bermasalah dari pandangan media-sentris

Model transmisi pesan/informasi dalam tulisan ini merujuk pada pengertian dari (John Fiske) pakar media dan ahli teori budaya dari Amerika Serikat (AS) atau (Stephen W. Littlejohn & Karen A. Foss), ahli komunikasi manusia dan retorika dari AS. Mereka menyatakan bahwa dalam model ini, komunikasi dipahami sebagai studi tentang bagaimana proses pengirim dan penerima memaknai pesan, atau bagaimana penggunaan kanal dan media komunikasi.

Model ini terpusat di penggunaan media dan sebenarnya penting untuk menunjukkan kekhasan studi komunikasi, agar berbeda dari disiplin lainnya. Namun, ketika komunikasi hanya didefinisikan dengan cara demikian, komunikasi menjadi stagnan. Lebih jauh, stagnansi ini dapat berimbas pada ketidakmampuan berempati melihat realitas sosial yang timpang.

Contohnya adalah kasus relasi buruh dalam platform ride-hailing (Gojek, Grab, dll) yang sempat menjadi bahasan aktual di hampir semua studi di Indonesia. Jika studi hukum melihat dari sisi hukum, sosiologi berbicara soal organisasi buruh, apa yang dibicarakan oleh kajian komunikasi atau media? Mereka membicarakan kepuasan pelanggan, rebranding, proses kreatif dalam iklan Gojek atau bahkan (nilai kepahlawan dalam iklan Gojek). Jikapun ada artikel yang berusaha berempati pada buruh industri gigs ekonomi ini dalam pemberitaan media Indonesia), ia terbatasi oleh karakter media-sentrisnya dengan hanya menyoroti perlunya agenda pemberitaan buruh platform ride-hailing.

Preferensi topik yang hanya fokus pada masalah transmisi pesan atau media mumunculkan kesan bahwa takdir studi komunikasi adalah pengabdi korporasi. Ini membenarkan kritik James W Carey (tahun 1989), pakar komunikasi AS yang menyebut: “model komunikasi kita, menciptakan kepura-puraan yang tidak jujur pada realitas yang kita gambarkan”.

Apa yang dipelajari dalam pendekatan materialist?

Yves De La Haye, professor komunikasi dari Universitas Grenoble, Prancis, barangkali termasuk yang cukup awal mendeklarasikan pendekatan materialist—sebagai kritik atas pandangan transmisi informasi/media sentris.

Yves de la Haye berupaya mendefinisikan komunikasi/media dengan cara lain. Menurutnya, komunikasi/media bukanlah perkara transmisi informasi belaka, tetapi semua hal (komoditas, orang maupun ide) yang memudahkan mobilisasi, karena dan untuk penguasaan kapital/modal. Komunikasi memudahkan dominasi oleh (pemilik) modal seperti pelumas bagi mesin.

Armand Mattelart, professor ilmu komunikasi dan informasi di Prancis yang mengikuti jejak De la Haye, tak hanya berfokus pada media, tetapi juga jalan, kanal, benteng, perang, sebagai jalan pembentukan masyarakat sebagai organisme sosial untuk memudahkan liberalisasi Eropa dan dunia).

Selain Mattelart, eksponen pendekatan materialist/non media sentris adalah David Morley, professor media, komunikasi dan kajian budaya dari Universitas Goldsmith, Inggris. Morley sendiri mengarahkan riset medianya pada ‘kotak peti kemas’. Ia beralasan bahwa dalam dunia digital, konvergensi dan sistem pengiriman multiplatform hanyalah perluasan dari sistem pengiriman multiplatform yang ada di dunia transportasi semenjak penemuan ‘kotak peti kemas’ pada tahun 1950an.

Jadi, jika dalam studi mengenai platform ride-hailing di Indonesia, pendekatan “transmisi pesan” dan media sentris menganalisis medium/event komunikasi (terutama dari sisi penyedia aplikasi), maka pendekatan materialist atau nonmedia-sentris dapat menganalisis hal-hal material yang dapat menyebabkan komunikasi/mediasi dalam kasus ride-hailing berjalan.

Misal, peneliti komunikasi dapat mempertanyakan apa hubungan kemunculan motor di Indonesia dengan sirkulasi modal dan kondisi transportasi publik dan atau pembangunan perkotaan, serta bagaimana kemudian komunikasi/media berperan mendidik masyarakat Indonesia bahwa mengendarai motor adalah basic life skill sehingga masyarakat dan pemerintahnya mengabaikan transportasi publik.

Contoh lainnya adalah komunikasi pariwisata. Peneliti komunikasi pariwisata mungkin sulit menggunakan konsep branding untuk menganalisis fenomena “ziarah wali” dalam masyarakat kita. Branding mengasumsikan mekanisasi wisata modern dengan aparat teknologi modern, sementara ziarah wali terjadi karena kebudayaan khas lokal.

Pendekatan materialist, barangkali dapat fokus pada bagaimana bunga tabur hadir di tempat ziarah wali, sebagai komoditas ekonomi (pedagang kecil di tempat ziarah) sekaligus sebagai medium yang membentuk sakralitas dalam peristiwa tersebut. Ia juga dapat mempertanyakan mengapa tradisi ziarah mensyaratkan bunga dalam bentuk bunga tabur dan bukan karangan bunga.

Dengan bunga, peneliti komunikasi dapat melihat bagaimana modal dapat bekerja menggerakkan bunga, pedagang, pengelola tempat wisata dan peziarah dalam satu tindakan komunikasi bernama ziarah wali.

Riset komunikasi untuk semua

Dengan pendekatan materialist, pembelajar komunikasi dapat menangkap masalah riil dalam masyarakat. Hal itu dilakukan dengan memperluas area penelitiannya pada subjek-subjek yang diabaikan dalam studi komunikasi selama ini, misalnya pedagang sayur (yang memobilisasi komoditas sayur dari desa ke kota), pedagang jajanan di sekolah-sekolah, petani, nelayan dan seterusnya.

Subjek-subjek ini biasanya dianggap tidak layak diteliti dalam studi komunikasi. Dari 3.757 dokumen penelitian bertajuk ‘strategi komunikasi’ di laman Garuda.kemdikbud, portal karya ilmiah (jurnal) yang dihasilkan oleh akademisi dan peneliti di Indonesia, sebagian besar studi fokus pada lembaga bermodal besar. Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa tak ada riset komunikasi yang menganalisis pedagang tahu bulat, misalnya, meski strategi komunikasi mereka unik.

Dengan demikian, liberalisasi pendidikan dalam studi komunikasi tidak hanya berimbas pada tata kelola, tetapi juga pengetahuan dalam studi komunikasi. Definisi komunikasi selama ini telah ditata sedemikian rupa untuk mengabaikan mereka yang tidak bermodal besar dan terpinggirkan.

Menggunakan pendekatan materialist dalam studi komunikasi tidak hanya menjamin keragaman penelitian agar tidak itu-itu saja, tetapi sekaligus menjawab kritik James W. Carey, bahwa studi mengenai fenomena komunikasi dan media bukanlah kepura-puraan belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 April 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Bidang riset pada sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

 

 

Categories
Politik Sosial Budaya

Riset Ungkap Bentuk Empat Model Afiliasi Media dan Politik di Indonesia

Dalam 20 tahun terakhir, kepemilikan media konvensional dan digital di Indonesia dipandang strategis, bukan semata-mata untuk tujuan bisnis murni tapi juga politik praktis.

Media, terutama televisi dan media digital terafiliasi, milik politikus digunakan sebagai alat kampanye politik selama pemilihan umum (pemilu), termasuk Pemilu 2014 dan 2019.

Merespons isu ini, riset terbaru kami memotret kondisi aktual kepemilikan media serta menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik (pemerintah, parlemen, dan partai politik).

Riset ini dibuat dengan harapan bisa membantu pembuat kebijakan, pekerja dan aktivis media, dan masyarakat sipil dalam memahami interelasi media dan politik praktis yang akan berimplikasi pada kontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan kurang dari sepekan lagi.

Riset ini menunjukkan adanya bentuk-bentuk kepemilikan media dan afiliasi politik praktis yang kompleks. Kepemilikan dan hubungan itu diduga kuat menabrak regulasi media pers, penyiaran, dan keterbukaan informasi publik.

Empat model afiliasi

Dalam menyusun riset ini, kami terinspirasi buku klasik Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (1999) karya Robert McChesney. Buku ini kami pakai karena bisa membantu menjelaskan fenomena interkoneksi antara kepemilikan media dan perpolitikan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Dengan mengambil latar di Amerika Serikat (AS) dalam era media konvensional, McChesney mensinyalir jumlah media komersial yang tak terhingga, angkanya tidak bisa lagi dihitung, tetapi kontribusinya terhadap demokrasi sangat minimal. Pascadisrupsi digital, situasi serupa berlanjut, dan bukannya memberi optimisme atas demokrasi elektoral, tetapi mengancam dan memicu kemunduran demokrasi.

Temuan hampir serupa muncul dalam riset terbaru kami yang datanya diambil di Jakarta dalam periode November 2022 hingga September 2023. Data riset ini digali lewat focused group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan para stakeholder media dan penyelenggara pemilihan umum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), organisasi jurnalis, akademisi komunikasi, dan wakil organisasi masyarakat. Data-data primer ini didukung dengan data sekunder yang berupa analisis dokumen legal perusahaan pers.

Data riset kami menunjukkan bahwa salah satu masalah mendasar yang mengancam demokrasi khususnya pemilu adalah kepemilikan media yang terkonsentrasi di segelintir pengusaha yang sekaligus menjadi pemilik/pengurus partai politik.

Mengenai analisis kepemilikan media ini, terdapat beragam pendekatan dan konsep. Konsep kepemilikan bisnis media yang digunakan dalam riset ini diadaptasi dari pemikiran Gillian Doyle dalam publikasinya Media Ownership (2002); dan Media Ownership Transparency in Europe: Closing the Gap between European Aspiration and Domestic Reality (2021)  dari Rachael Craufurd Smith, di antaranya: horizontal (satu platform banyak saluran), vertikal (bisnis media dari hulu ke hilir), diagonal (campuran horizontal dan vertikal) dan konglomerasi: lintas usaha.

Dalam mencermati kepemilikan, kami menggunakan dua pintu masuk: uang (saham pada media) dan posisi kekuasaan dalam struktur media.

Adapun konsep afiliasi politik dapat dilihat dalam dua sisi: (1) afiliasi langsung, yakni pemilik atau pengelola media sekaligus merupakan pejabat publik, calon atau anggota parlemen (DPR, DPR, DPD) dan pengurus partai politik. (2) Afiliasi tidak langsung, yakni para pekerja media terhubung kepada partai politik, pejabat pemerintah, anggota DPR, tim sukses, calon anggota legislatif, tim ahli, dan konsultan.

Dengan konsepsi ini dan data-data di lapangan, kami mengembangkan empat tingkatan konseptual afiliasi media dan politik di Indonesia.

Pertama, afiliasi ekstrem yang muncul ketika pemilik media dan keluarganya (pemegang saham-komisaris-direksi) sekaligus menjadi ketua partai, calon legislatif (caleg) atau anggota parlemen pusat atau daerah, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh paling jelas dari tipe ini adalah Hary Tanoesoedibjo. Pada sisi media, dia merangkap pemilik (pemegang saham) MNC group, direktur utama (memimpin operasional). Sementara, dari sisi politik, dia menjadi Ketua Umum Perindo, sekaligus menjadi caleg DPR.

Pada saat yang sama, Hary memiliki anak perempuan, Angela Tanoesoedibjo, yang menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada perhelatan Pemilu 2024 ini, seluruh keluarga inti Hary Tanoesoedibjo juga maju menjadi calon anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan.

Di luar keluarga, hasil wawancara riset ini juga menunjukkan bahwa Hary aktif mengimbau karyawannya untuk maju sebagai calon legislatif.

Dari temuan data ini, dapat dikatakan bahwa Hary Tanoesoedibjo memiliki interkoneksi media dan politik praktis yang nyaris paripurna. Ia memegang kendali banyak media, memiliki satu partai, punya anak yang duduk di pemerintahan, dan berpotensi duduk di parlemen (jika terpilih). Model ini barangkali hanya ada di Indonesia.

Kedua adalah afiliasi kuat. Afiliasi ini muncul ketika seseorang berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contohnya adalah Surya Paloh (SP). SP adalah pemilik Media Group (dengan saham mayoritas sekaligus direktur utamanya). Dia juga Ketua Umum Partai Nasdem. Anaknya, Prananda Surya Paloh, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan juga anggota DPR periode 2019-2024. Prananda kini maju kembali di Pemilu 2024.

Partai milik SP, Nasdem, juga menempatkan tiga Menteri dalam kabinet Jokowi selama dua periode: Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate; Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, dan; Menteri Pertanian Syahru Yasin Limpo.

Ketiga adalah bentuk afiliasi moderat. Afiliasi ini teridentifikasi ketika seseorang menjabat direksi di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh model ini adalah Syafril Nasution. Dia menjabat sekretaris perusahaan Media Nusantara Citra (MNC), Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) 2019-2022, dan kini menjadi caleg Perindo daerah pemilihan Jawa Tengah 1. Selain itu, Syafril juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Perindo.

Keempat adalah afiliasi lemah. Afiliasi ini muncul ketika jurnalis atau editor media menjadi caleg, anggota parlemen, atau pengurus partai. Pada hasil penelitian, jurnalis tingkat nasional yang menjadi caleg antara lain adalah Aiman Witjaksono. Selain menjadi jurnalis di MNC Group, Aiman juga maju calon DPR lewat Partai Perindo.

Dalam wawancara riset ini, Aiman menyatakan keputusannya pindah dari Kompas TV ke MNC Group salah satunya juga karena adanya peluang berkiprah di dunia politik. Aiman dalam wawancara mengatakan “Jadi di sini (MNC Group) saya lihat, saya bisa masuk ke media di mana saya juga bisa berkiprah di partai politik. Tapi, bukan mencampuradukkan keduanya.”

Di luar Aiman, penelitian kami juga menunjukkan bahwa ada beberapa jurnalis senior di berbagai provinsi di Indonesia yang maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Dampaknya, media-media tempat mereka bekerja menunjukkan keberpihakan kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita.

Menarik diperhatikan, bahwa empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya, seperti EMTEK, Grup Kompas Gramedia, Jawa Pos Group, Berita Satu Media Holding, CT. Corps, dan TEMPO Media Group.

Perlu perubahan peraturan

Riset ini mengonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan media dan afiliasi politik. Hal ini menjadi peringatan pada tiga pihak: regulator media, regulator terkait pemilu, dan regulator terkait persaingan usaha di Indonesia.

Untuk memitigasi isu ini, kami menyampaikan rekomendasi reformasi kebijakan terkait kepemilikan media, afiliasi media dan jurnalis ke dalam struktur politik. Reformasi kebijakan ini penting untuk mewujudkan pemilu yang adil dan sehat ke depan.

Pada konteks kepemilikan media, sebenarnya sudah ada dua aturan pembatasan kepemilikan, yakni (1) pelarangan kepemilikan oleh pemerintah dan warga negara asing dan (2) pembatasan cross ownership di UU Penyiaran.

Menurut kami, masih perlu adanya penambahan aturan di UU, berupa pembatasan kepemilikan media oleh politikus, pejabat pemerintah atau pengurus partai politik (secara langsung atau tidak langsung).

Kita juga perlu mendorong revisi aturan partisipasi politik di UU Pemilu, khususnya kandidasi dalam kepemiluan demi menjaga independensi media dan jurnalis. Pelarangan jurnalis saja menjadi caleg tidak cukup dan tidak adil. Pelarangan terjun ke politik elektoral juga harus melingkupi para pemilik saham dan pejabat tinggi media juga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 1 Februari 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Hukum Politik

A Breakthrough for Freedom of Expression in Indonesia

The Constitutional Court on April 29 handed down a landmark decision; one that could mark a turning point for digital freedom of expression in the country. 

The court declared it unconstitutional to prosecute individuals simply for criticizing government institutions, corporations, professions or public officials. 

Human rights activists and legal scholars have welcomed the decision as a major step forward in human rights reform. But the question remains: does this ruling truly safeguard the digital rights of Indonesian citizens, or is it merely symbolic progress in a system still riddled with ambiguity? 

The court’s ruling hinged on three key points, each targeting the vague and overly broad language found in Articles 27A, 45(4), 28(2) and 45A(2) of Law No.1/2024 which amended Law No.11/2008 on Electronic Information and Transactions (ITE) which are deemed to be contradictory to the 1945 Constitution. 

First, the phrase “another person” (orang lain) was clarified to exclude corporations, government institutions, public officials and public figures. In plain terms: criticism of power is no longer criminal by default. 

Second, the term “something accusatory” (suatu hal) was declared unconstitutional and void of legal force – unless interpreted strictly as referring to actions that genuinely degrade someone’s dignity or reputation. Viewpoint Every Thursday ADD THIS TOPIC Whether you’re looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, “Viewpoint” is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most. 

Third, the provision criminalizing the online dissemination of material that might incite hatred or hostility was deemed unconstitutional unless narrowly interpreted. According to the court, it must apply only to content that (1) is clearly hate-based, (2) targets specific identities, (3) is intentional and public and (4) presents a real risk of discrimination, hostility or violence. In short: context, intention and identity matter. 

In his expert testimony, Herlambang Wiratraman argued that such offenses should be understood as cyber-enabled crimes, not cyber-dependent ones – meaning they exist offline too, and digital platforms are just the medium. He emphasized that hate speech provisions in the ITE Law should not operate in isolation but refer back to Articles 156 and 157(1) of the Criminal Code. Prosecutors, he argued, should focus on proving the actual content (actus reus), the speaker’s intent (mens rea) and the social standing or role of the person making the statement.

 According to expert Bambang Harymurti, the original intent of the law was to regulate the technical aspects of electronic information and transactions – not to police speech. But in a last-minute twist, outdated and irrelevant criminal provisions were slipped in, effectively turning the law into a tool for silencing dissent and criminalizing free expression. 

A 2024 report from SAFEnet highlights the scale of the problem: 146 cases of digital expression violations were recorded, impacting 170 individuals – most tied to Article 27A. While the motives ranged from personal disputes to political criticism, accusations of blasphemy and economic conflicts, a striking pattern emerged: among the top five complainants were organizations, corporations, political parties and public officials – precisely the actors now excluded from protection under the Court’s latest decision. 

From an employee venting about her toxic workplace to a consumer exposing fraud by a car leasing company and a TikToker jailed for reviewing a disappointing apartment he bought – the victims of the ITE Law come from all walks of life. Ironically, Daniel Frits, the very activist who brought the case that led the Constitutional Court to reinterpret the law, nearly became its casualty. His alleged crime? Sharing electronic information in defense of Karimunjawa’s environmental sustainability. 

Indonesia has long struggled to protect freedom of expression in the digital space. The ITE Law has frequently been used to criminalize dissent, satire and legitimate criticism, often under vague legal provisions. For years, the state’s approach aligned more closely with regimes that repress rather than protect free speech. 

But with the recent Constitutional Court decision, there is a glimmer of change. While we should consider this a turning point – we must also ask: where does Indonesia stand when it comes to regulating online expression? 

Freedom of expression (FoE) online is typically governed through three approaches: absolute, proportional and abusive. The absolute model permits unrestricted expression, based on the belief that rational individuals can navigate falsehoods without state interference. No country fully adopts this approach, as it assumes an idealized public immune to harm or misinformation. The proportional approach (which is accepted in most democratic states), recognizes FoE but allows restrictions based on international standards such as the Siracusa and Johannesburg Principles. Limitations must be lawful, necessary and serve legitimate aims such as protecting public order, safety,or others’ rights. Crucially, such restrictions must be clear, proportionate and subject to remedy.

 The abusive approach, by contrast, erodes FoE with or without legal cover. Courts also offer little protection; laws are often vague or weaponized – through tactics like SLAPPs – to silence dissent. This model breeds fear, not dialogue. Countries such as China, Russia, the UAE, Myanmar, Laos, Vietnam and Cambodia exemplify this approach. It is open to the public’s criticism in which approach Indonesia falls. 

There is no denying that the Constitutional Court’s recent decision is a step forward. In the face of mounting threats to freedom of expression (especially online), it narrows the scope for criminal prosecution against critical voices in civil society. 

However, the public should temper their optimism. Major barriers to free expression remain, including the lack of comprehensive anti-SLAPP protections. Without such safeguards, the court’s ruling risks being read narrowly by law enforcement, applying only to the ITE Law while ignoring broader systemic issues. 

The Institute for Criminal Justice Reform has raised red flags about the new Criminal Code set to take effect in 2026. Several provisions still threaten free expression: Articles 263 and 264 on “fake news,” Article 433 on contempt (which, like the ITE ruling, should exclude criticism of institutions) and Articles 218 and 219 on defamation of state leaders – all of which risk replicating the very problems the Court sought to correct. 

Additionally, the amendment of the Indonesian Military (TNI) Law brings controversy because of an article that expands the TNI’s function to help combat cyber threats. According to SafeNet, the militarization of cyberspace can give rise to coercive-militaristic policies such as censorship, information operations and tightening of regulations regarding online expression. 

Nevertheless, with the Court’s decision being final and legally binding, citizens are on firmer ground to voice criticism, whether aimed at government bodies, corporations or public figures. 

This protection should empower not only activists, but also journalists, students, workers, consumers and everyday internet users to speak out against injustice or misconduct. In any democratic society, challenging power – wherever it resides – is not just a right, but a public duty. 

 

The article was published in the Opinion section of The Jakarta Post on May 7, 2025.

Sahid Hadi
A Civil Law Lecturer at the Faculty of Law, Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on business law and human rights, as well as legal methodology.



Categories
Politik

Pascapemilu Serentak 2024

Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan, apakah penyelenggaraan pemilu serentak pada 2024 akan secara signifikan berdampak kepada kehidupan moral etik politik di Indonesia? Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung kompleksitas yang cukup rumit.

Jika politik dimaknai sebagai segenap upaya seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umum, rasa-rasanya dengan melihat gelagat politik partai politik dan kandidat pemilu hari-hari ini, jauh panggang dari api. Artinya, pemilu serentak 2024 tidak akan memiliki relevansi yang signifikan terhadap perubahan politik Indonesia setidaknya satu periode mendatang. Mengapa demikian?

Pertama, harus diakui, politik Indonesia termasuk demokrasi di dalamnya masih berkutat kepada aspek prosedural, sedangkan substansi dan inti politik itu sendiri lama tak tersentuh. Perubahan model pemilu misalnya, yang sebelumnya terpisah menjadi pemilu serentak legislatif dan eksekutif, level pusat maupun daerah, suka tidak suka adalah bentuk perubahan prosedural semata. Ia hanya mengubah prosedur yang sebelumnya dalam waktu yang berbeda menjadi dalam waktu yang sama atau paling tidak berdekatan.

Perubahan mekanisme ini disinyalir akan berdampak pada penghematan anggaran negara karena dilakukan dalam sekali waktu. Logika ini sekilas tampak rasional meskipun belum tentu karena pemilu serentak dipastikan akan menambah kuantitas penyelenggara dan pengawas pemilu. Selain itu, sekalipun penghematan anggaran ini betul-betul terjadi, tetap saja ini baru menyentuh aspek prosedural dari politik, tidak berdampak kepada kehidupan politik kebangsaan kita.

Lalu, apakah prosedur demokrasi tidak penting sama sekali? Tentu saja penting. Prosedur adalah pintu masuk menuju substansi politik. Artinya, prosedur penting tetapi tidak berhenti di situ, ia harus beranjak menuju yang lebih substantif.

Kedua, laku politik yang selama ini tampak sama sekali tidak mencerminkan moral serta etik politik, dan itu tidak mungkin berubah jika pendekatan perubahan baru pada level prosedural. Beberapa masalah dalam politik Indonesia, misalnya menguatnya primordialisme, politik uang dalam pemilu, dan merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah masalah pada level inti, mengubahnya tidak cukup hanya dengan mengubah sistem dan mekanisme pemilu semata.

Primordialisme dalam bentuk suku dan agama, misalnya, yang sejatinya tidak mungkin mendapatkan tempat di panggung politik karena politik mensyaratkan kesetaraan dan keadilan, maka dengan sendirinya secara alamiah primordialisme ini bertentangan dengan politik. Namun pada kenyataannya, jualan primordialisme ini masih laku keras digunakan untuk mendulang suara sebanyak mungkin.

Ruang publik yang sejatinya inklusif diisi oleh sintesis tindakan komunikasi yang dapat diterima oleh publik, tetapi diisi oleh ujaran-ujaran untuk mendukung calon dari suku dan/atau agama tertentu lalu menjelekkan calon lain yang berasal dari identitas berbeda. Ini diperparah pula dengan pemakluman terhadap politik uang, baik dari sisi pelaku maupun penerima.

Laku politik yang selama ini tampak sama sekali tidak mencerminkan moral serta etik politik, dan itu tidak mungkin berubah jika pendekatan perubahan baru pada level prosedural.

Ruang politik yang demikian, lalu berimplikasi kepada wajah pejabat negara yang lekat dengan KKN. Sulit untuk menggambarkan bagaimana mengguritanya KKN di Indonesia saat ini, tetapi gambaran sederhananya mungkin bisa dilihat dari ilustrasi berikut:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang selama ini menjadi satu-satunya batu sandungan bagi para koruptor karena KPK kerap merepotkan pejabat ”nakal” yang akan korupsi. Maka, yang dilakukan bukan lagi mencari metode KKN yang lebih canggih agar tidak tercium KPK, melainkan dengan mematikan KPK itu sendiri. KPK hari ini, nyaris seperti mayat berjalan, secara kelembagaan dia ada, tetapi tidak memiliki ruh pemberantasan korupsi yang hidup sehingga arahnya dapat ”dikendalikan” oleh oknum-oknum yang keberatan jika KPK independen.

Berbagai persoalan di atas hampir dapat dipastikan masih akan terus tumbuh di Indonesia pasca-Pemilu 2024. Artinya, tanpa perubahan politik yang radikal, tanpa merehabilitasi arah politik Indonesia, tidak akan ada yang berubah sekalipun mekanisme pemilunya beruang-ulang diubah.

Politik adalah tentang keterlibatan seluruh warga dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan umum. Politik selama ini kerap disalahartikan sebagai ajang perebutan kekuasaan semata dan dikerdilkan menjadi biang kerok dari segala permasalahan yang dihadapi bangsa.

Padahal, politik sejatinya adalah tentang tindakan yang dilakukan untuk tujuan kehidupan bersama dan keadilan. Tindakan itu harus diwujudkan dengan komunikasi yang setara antarkelompok yang ada. Politik juga berkaitan dengan pemisahan antara yang publik dan privat, urusan pribadi dan urusan kenegaraan, kepentingan individu dan kepentingan umum, di mana yang umum akan selalu berada di atas kepentingan pribadi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 24 Agustus 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.