Categories
Sosial Budaya

Tren ‘Asoka Challenge’: Bagaimana TikTok Mengubah Cara Kita Berkomunikasi dan Berekspresi di Media Sosial

Pernah dengar potongan lagu yang berbunyi “San sanana nana, san sanana nan… Jaa jaa re jaa re jaa re, jaa re pawan”?

Setidaknya sejak 24 April 2024, banyak orang yang terngiang-ngiang dengan potongan lirik lagu dari film Asoka yang dibintangi Shah Rukh Khan (Asoka) dan Kareena Kapoor (Kaurwaki) tersebut.

Meski filmnya sendiri sudah rilis lama, lagu ini populer kembali sejak digunakan sebagai background music dari Asoka challenge—sebuah tren di TikTok yang mengajak pengguna meniru riasan dan gaya busana ala India lalu bertransformasi menjadi Kaurwaki.

Hasil penelusuran saya menunjukkan bahwa akun @izzynoteasy, @yunicantiek, @ayupurnamadewi, @azkhategar391, dan @farrajaidi adalah kreator pertama yang memopulerkan tren Asoka challenge di Indonesia sejak 2022. Melalui TikTok, tren tersebut tersebar di penjuru dunia.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana cara kita berkomunikasi dan berekspresi di media sosial telah berubah. Dari yang semula hanya bisa melihat, sekarang kita bisa berinteraksi, membuat, menyebarkan, dan mengundang pengguna lain untuk berpartisipasi melalui penggunaan hashtag (tanda pagar/tagar), partisipasi yang imitatif, dan meme audio.

Tagar memudahkan pencarian

Penggunaan tagar membatasi berlebihnya topik, sehingga memudahkan pencarian. Sebagai objek digital, tagar berfungsi sebagai indeks untuk mencari, menavigasi, berinteraksi, memantau, melacak, dan mengambil kumpulan data.

Dari 63 sebaran tag pada 20 video dengan penonton terbanyak, penulis menemukan lima tagar paling banyak digunakan yakni #asokamakeup (15,9%), #indiamakeup (7,9%), #makeuptransition (6,3%), #asoka (6,3%), dan #fyp (6,3%). Meski #fyp mendapatkan porsi kecil, tagar ini umum digunakan dan terpopuler di TikTok. Interaksi pada tagar mengekspresikan percakapan Asoka secara global. Terlihat dari sekitar 55,2 triliun penggunaan #fyp secara global, yang 10,51% diantaranya berada pada konten Asoka.

Meski TikTok tidak secara resmi menyatakan penggunaan tagar #fyp, para penggunanya percaya bahwa algoritme TikTok mempertimbangkan tagar ini, mencocokkan dengan pengguna yang tepat, sehingga meningkatkan peluang kemunculan di halaman For You—umpan video yang dipersonalisasi berdasarkan minat dan keterlibatanmu dengan konten tertentu.

Peniruan sebagai bentuk partisipasi

Pengguna TikTok menggambarkan challenge sebagai penunjukkan atas diri, mendapatkan rasa hormat, dan membuat prestasi. Misalnya, Asoka challenge memerlukan banyak waktu, keterampilan make-up, dan keahlian teknis yang mumpuni. Kurangnya ketersediaan ketiganya berarti dia ‘menjadi kreator yang aneh’. Ini kemudian menjadikan kreator (pencipta konten) terbagi menjadi dua golongan, peniru handal dan peniru amatiran. Namun, mereka yang berada pada golongan kedua tetap mendapatkan tempat karena algoritme diri yang aneh menjadi hiburan dan tampil di halaman For You.

Dengan TikTok, saat pengguna berpartisipasi, mereka menjadi bagian dari kreator, sehingga terdorong untuk konsisten mengisi konten. Saat berinteraksi dengan konten Asoka, kita memberikan semacam umpan balik kepada TikTok, yang membuat konten-konten yang direkomendasikan untuk kita disesuaikan dengan Asoka.

Variasi konten dalam halaman For You memang ditentukan oleh lima faktor yaitu konten yang selaras dengan standar lokal dan norma budaya, pengaturan bahasa, sistem operasi pada perangkat, video yang baru-baru ini kita lihat-selesaikan-sukai-lewati, kemudian juga video yang berhubungan dengan pengguna lain yang kita ikuti di TikTok. Ini membuat, interaksi dengan akun atau pengguna lain dapat terjadi secara real-time, instan, singkat, dan audiovisual.

Keputusan awal pengguna untuk berpartisipasi umumnya terjadi atas peran kunci selebriti. Farra Jaidi dan Jharna Bhagwani dipandang sebagai selebriti yang kompeten dalam make-up dan transisi. Partisipasi keduanya menyebar ke selebritas lain yang kita sukai dan kemudian membuat kita memutuskan untuk terlibat. Sebab, kedekatan merupakan elemen utama dalam pengambilan keputusan untuk berpartisipasi.

Kecepatan untuk melakukan peniruan juga merupakan ciri khas dari komunikasi ini. Pasalnya, terdapat implikasi sosial dari terlambatnya partisipasi dalam challenge seperti tidak diperolehnya validasi atas konten.

‘Meme’ audio sebagai navigasi kreator

TikTok mengutamakan audio daripada visual. Ini yang disebut sebagai meme audio, yang menjadi template penggerak produksi konten. Meme audio menjadi corong viralnya tren di TikTok. Meme audio adalah prinsip pengorganisasian bagaimana konten diarsipkan ke dalam repositori di TikTok sebagai navigasi pengguna untuk mencari dan membuat tren.

Audio San Sanana menjadi template terjadinya replikasi meme dan memprovokasi jutaan kreator TikTok. Penelusuran kata kunci ‘Asoka Makeup’ melalui Google Trends menunjukkan puncak popularitas tren ini pada 27 April 2024.

Hingga akhir Juni 2024, jutaan kreator berkreasi dalam challenge tersebut. Lebih dari 100 template audio diproduksi dengan banyak versi. Data TikTok per 4 Juni 2024 menunjukkan lima template audio dengan pengguna terbanyak yakni versi Jharna Bhagwani (1,6 juta pengguna), Sita Suwarnadwipa (2,1 juta pengguna), Kikiisifa_muamakassar (34,9 ribu pengguna), The Glamorous Girl (145,5 ribu pengguna), dan Bacan Studio (43,9 ribu pengguna).

Setiap audio memiliki cara untuk menetap di dalam otak, membuat kita tertawan, terus-menerus mendengar, tanpa sadar menyenandungkannya setiap hari, sampai-sampai membuat orang sekitar kita jengkel. Inilah yang disebut dengan earworm, suatu fenomena yang lumrah terjadi dalam platform digital berbasis partisipatori. Ini juga yang membuktikan bahwa audio memiliki kualitas khusus untuk menghibur dan menjadi fitur kunci pada TikTok.

Tren Asoka menunjukkan bahwa TikTok telah mengubah cara kita berkomunikasi dan berekspresi. Sehingga, siapapun dapat berinteraksi langsung dengan kreator, mengajak pengguna lain untuk berpartisipasi dan menikmati challenge, unjuk keterampilan bervideo, dan berkolaborasi antarpengguna.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 Juli 2024

Sumekar Tanjung
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada TikTok culture, media dan gender, produksi media audiovisual.

 

Categories
Hukum Politik

Memanusiakan Pekerja Kontrak

Hubungan industrial harmonis yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atas pelayanan jasa adalah cita-cita bersama.

Pernahkah terbayang sebelumnya bahwa perbedaan mendasar antara pekerja atau buruh tetap dan pekerja atau buruh kontrak adalah jenis perjanjian kerja yang mengikat keduanya? Lalu mengapa kondisi yang sering dijumpai justru terkesan bahwa nasib pekerja kontrak sangat kontras dengan pekerja tetap?

Perjanjian kerja ini pada dasarnya memang terbagi menjadi dua, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang kemudian pekerjanya disebut sebagai pekerja atau buruh kontrak, dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) yang pekerjanya dikenal sebagai pekerja tetap. Perbedaan jenis perjanjian serta penyebutan status keduanya ini berdampak terhadap hak-hak yang diterima oleh keduanya.

Secara filosofis, mekanisme perjanjian kerja sudah tidak adil dari awal. Mengapa dikatakan demikian?

Perjanjian kerja berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adanya unsur perintah dalam hubungan kerjalah yang menjadikan perjanjian kerja jelas berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Unsur perintah ini yang membuat pihak pengusaha dengan leluasa memberikan perintah terhadap pekerjanya, dengan catatan perintah tersebut sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.

Selain itu, perjanjian kerja dibuat oleh salah satu pihak, yakni pengusaha, sehingga pekerja tidak memiliki daya tawar terhadap isi perjanjian kerja tersebut, berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Terlebih lagi ketika membahas perjanjian kerja waktu tertentu.

Lalu, mengapa dibutuhkan pekerja kontrak jika sudah ada pekerja tetap?

Kehadiran pekerja kontrak berawal dari kehadiran flexibility labour market (pasar tenaga kerja fleksibel) yang menghendaki keleluasaan dalam dunia pasar, kemudian pengusaha pun menghendaki pekerja yang easy to hire, easy to fire (mudah di-rekrut, mudah dipecat). Demi mengakomodasi tuntutan tersebut, lahirlah status pekerja kontrak, termasuk di Indonesia sendiri.

Pengusaha bahkan menyukai mekanisme ini karena ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dari pengusaha terhadap pekerja, maka pengusaha tidak perlu membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.

Mengapa demikian? Karena uang-uang tersebut hanya akan diterima oleh pekerja tetap jika mereka terdampak PHK oleh pengusaha. Bagaimana dengan pekerja kontrak? Mereka mendapatkan haknya dalam bentuk uang kompensasi saja.

Pada dasarnya, pengaturan mengenai aspek pekerja di Indonesia sudah cukup mengakomodasi jaminan kepastian nasib pekerja kontrak di masa depan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang saat ini telah dicabut dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang) yang membuat perasaan pekerja kontrak semakin cemas akan nasib mereka. Khususnya berkaitan dengan batasan jangka waktu maksimal penggunaan PKWT yang menjadi kabur.

”Angin segar” yang diembuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2024 lalu seolah memberikan harapan baru bagi pekerja/buruh kontrak. MK melalui amar putusannya menegaskan adanya batasan jangka waktu yang diperbolehkan dalam penggunaan PKWT, yaitu tidak melebihi jangka waktu 5 tahun termasuk jika terdapat perpanjangan.

Sayangnya dalam tahapan implementasi di lapangan, ”angin segar” itu masih jauh dari harapan. Mengapa? Masih banyak dijumpai pekerja yang mengalami ”pemutihan” perjanjian kerja dengan mekanisme apabila perjanjian kerjanya akan berakhir, maka pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja, lalu pekerja tersebut ditawarkan perjanjian kerja baru tanpa menghitung masa kerja sebelumnya dan ini terjadi secara berulang-ulang. Apabila dijumlahkan, masa kerja tersebut sudah dapat dipastikan melanggar peraturan perundang-undangan.

Kasus lain yang terjadi adalah para pekerja kontrak diberikan beban pekerjaan yang pada dasarnya bertentangan dengan batasan cakupan jenis pekerjaan yang boleh untuk diperjanjikan dengan jenis perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Secara aturan, PKWT tidak diperbolehkan digunakan terhadap pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tetap.

Namun lagi-lagi, batasan-batasan yang sudah ada hanya dituangkan dalam hitam putih dengan mengabaikan fakta di lapangan. Hal-hal demikian jelas merupakan penyelundupan hukum yang seolah-olah saat ini menjadi hal yang lumrah atau biasa dilakukan. Sangat miris.

Terlebih lagi, ketika berbicara mengenai perbedaan kewajiban antara pekerja tetap dan pekerja kontrak. Sering kali dijumpai dalam kasus tertentu (meskipun tidak seluruhnya) kewajiban atau beban kerja dari pekerja dinilai jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerja tetap. Bagaimana tidak, hak yang diterima dipastikan berbeda, tetapi beban kerja dinilai jauh lebih berat.

Contohnya adalah pengusaha dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerja kontrak ke dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Bukankah pekerja kontrak juga manusia? Terkadang, secara sengaja by design memang diperlakukan tidak seperti manusia pada umumnya, direnggut hak-haknya meski sudah secara jelas dan tegas pengaturannya diakomodasi melalui peraturan perundang-undangan.

Padahal hubungan industrial harmonis yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atas pelayanan jasa adalah cita-cita bersama. Tidak bisa egois, pengusaha membutuhkan kehadiran pekerja baik tetap maupun kontrak. Manusiakanlah pekerja karena mereka jugalah yang membantu kesuksesan dan keuntungan dalam kegiatan proses usahamu.

Semoga menjadi bahan renungan bersama demi kebaikan bersama pula.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 1 Mei 2025

Mustika Prabaningrum Kusumawati
Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ketenagakerjaan. 

Categories
Hukum

Mendesak Israel di ICJ

Tragedi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk pasca Israel melancarkan serangan balasan kepada Hamas. Israel berdalih dengan tindakan self defense (dibaca: membela diri) karena Hamas melakukan serangan roket pada 7 Oktober 2023. Akibatnya, masyarakat sipil menjadi korban serangan brutal dan diperkirakan 23,000 penduduk sipil di pihak Palestina tewas. Sebagian besar korban tersebut adalah perempuan dan anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan selama konflik.

Upaya untuk menghentikan serangan di kedua belah pihak baik melalui jalur diplomasi tampaknya tak membuahkan hasil yang signifikan. Forum-forum internasional hanya menghasilkan dokumen yang tak berarti. Dewan Keamanan PBB sebagai organ yang paling berwenang untuk menghasilkan resolusi juga terhalang oleh veto Amerika Serikat.

Situasi inilah yang kemudian mendorong Afrika Selatan berani untuk mengajukan permohonan putusan sela (provisional measure) di Mahkamah Internasional (Internasional Court of Justice/ICJ). Pada 29 Desember 2023 di Den Haag (Belanda), Afrika Selatan mengajukan permohonan kepada hakim Mahkamah Internasional yang salah satunya adalah untuk memerintahkan Israel untuk menghentikan operasi militernya di Gaza dan melakukan gencatan senjata.

 Kemana Indonesia?
Baik Israel dan Afrika Selatan merupakan negara peserta Konvensi Genosida tahun 1948. Afrika Selatan memandang bahwa tindakan balasan yang dilakukan oleh Israel telah memenuhi unsur tindakan genosida, yaitu melakukan tindakan baik sengaja maupun tidak sengaja yang menyebabkan tewasnya puluhan ribu warga sipil Palestina tewas serta ribuan warga terluka. Selain itu, tindakan Israel yang berupa pengepungan, pemindahan paksa, penghancuran infrastruktur medis, dan pembatasan akses bantuan kemanusiaan menimbulkan kondisi warga Palestina semakin tidak mungkin untuk bertahan hidup. Seluruh operasi militer yang dilakukan sangat tampak bukan hanya ditujukan kepada Hamas tetapi kepada seluruh warga Palestina.

Melalui pernyataan resmi yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia pertengahan Januari ini, Indonesia memberikan dukungan penuh baik secara moral dan politis kepada Afrika Selatan. Meskipun demikian, secara hukum Indonesia tidak dapat turut hadir dan menggugat Israel bersama Afrika Selatan dikarenakan sampai hari ini Indonesia belum melakukan ratifikasi terhadap Konvensi Genosida 1948.

Untuk itu, tampaknya Indonesia perlu mempertimbangkan kembali untuk terlibat dan tunduk pada Konvensi Genosida 1948 sebagai tindakan nyata untuk turut serta bersama-sama masyarakat internasional lainnya untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights).

Menanti Putusan
Pasal 41 (1) Statuta Mahkamah Internasional (ICJ Statute) memberikan peluang bagi Afrika Selatan untuk meminta agar hakim mengeluarkan putusan sela yang pada intinya memerintahkan Israel (interim order) untuk menghentikan serangan yang secara bertubi- tubi, tidak proporsional, dan melanggar prinsip kemanusiaan. Berdasarkan preseden yang ada, permohonan putusan sela selalu dikabulkan apabila dalam situasi yang mendesak dan terdapat potensi pelanggaran/kekerasan yang dilakukan oleh suatu negara.

Setidaknya terdapat optimisme bahwa Mahkamah Internasional akan mengabulkan permohonan Afrika Selatan. Pada tahun 2020, Mahkamah mengabulkan permohonan Gambia dan memerintahkan Myanmar untuk menghentikan persekusi terhadap etnis minoritas Rohingya. Selain itu pada tahun 2022, Mahkamah juga mengabulkan permohonan Ukraina dan meminta Rusia untuk menghentikan operasi militer yang berlebihan dan masuk kategori genocidal intent.

Putusan sela secara hukum mengikat bagi para pihak yang bersengketa meskipun dalam praktiknya tidak disertai dengan sanksi. Akan tetapi, putusan sela Mahkamah akan memberikan arah baru dalam penyelesaian konflik Israel dan Palestina yang berkepanjangan. Tentu saja, hal yang paling mendesak adalah putusan sela diharapkan mampu mengakhiri tragedi kemanusiaan dan memulihkan situasi di Gaza.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada 22 Januari 2024

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional.

Categories
Pendidikan

Dosen adalah Buruh: Pengakuan Ini adalah Langkah Pertama dalam Memperjuangkan Kesejahteraan Akademisi

Pemberlakuan Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023 untuk memusatkan dan menyederhanakan pengelolaan jabatan fungsional Aparatur Sipil Negara (ASN), menuai sorotan publik–terutama kalangan dosen.

Di antara berbagai pro dan kontra yang terjadi akibat aturan ini, muncul satu perdebatan menarik terkait status ketenagakerjaan dosen di Indonesia.

Sebagian pihak mengkhawatirkan dosen yang kini berfokus menjalankan tugas administratif. Bahkan, belum lama ini dosen sempat dibuat kalang kabut menyelesaikan penyesuaian angka kredit untuk memenuhi aturan baru ini–di tengah segudang beban administratif lain yang sebelumnya sudah menjadi kewajiban mereka.

Dengan kata lain, usaha meneguhkan dosen sebagai “manusia birokrasi” dianggap langkah yang salah karena seolah menempatkan mereka sebagai buruh.

Melalui artikel ini, kami ingin mengajak komunitas akademik untuk berefleksi: Benarkah dosen bukan buruh? Apakah tepat jika kita geram apabila pengelolaan kampus disamakan dengan lembaga politik atau korporasi? Bagaimana komunitas akademik perlu menyikapinya?

Dosen: buruh atau bukan?
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja/buruh sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Aturan ketenagakerjaan di Indonesia menjamin perlindungan pekerja/buruh. Dalam istilah hukum ketenagakerjaan, hal ini kerap kita sebut “socialisering process” (vermaatschappelijking). Istilah ini adalah serapan dari bahasa Belanda yang merujuk pada campur tangan pemerintah dalam relasi kerja demi melindungi pekerja/buruh.

Di sini, pekerja/buruh adalah pihak yang dianggap lemah dalam hubungan kerja–pola relasinya terbentuk berdasarkan perjanjian kerja. Perjanjian kerja memberikan kewenangan (kuasa) pada pemberi kerja dalam bentuk perintah, sehingga membuat kedudukan kedua pihak menjadi tidak seimbang.

Apakah dosen memenuhi gambaran di atas?

Berdasarkan relasi kerja mereka dengan institusi pendidikan tempat mereka bernaung (pemberi kerja), jawabannya jelas: iya.

Pertama, dosen bekerja pada sebuah perguruan tinggi dan memiliki kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh institusi. Dosen juga memperoleh hak menerima upah atas pekerjaan yang telah ditunaikan. Hak dan kewajiban ini dituangkan dalam perjanjian kerja yang mendasari hubungan antara institusi pendidikan sebagai pemberi kerja dan dosen sebagai pekerja/buruh.

Dosen wajib melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat. Tiga hal ini merupakan indikator kinerja atau prestasi dalam sebuah perjanjian kerja yang wajib mereka tunaikan.

Hal ini sama halnya dengan pekerja/buruh lainnya di sektor formal yang berkewajiban bekerja di bidang masing-masing sesuai yang tercantum dalam perjanjian kerja.

Keduanya berada di posisi yang sama: melaksanakan prestasi, mendapatkan kontraprestasi, dan berhak atas perlindungan yang sama dari regulasi ketenagakerjaan di Indonesia.

Kedua, status dosen sebagai buruh/pekerja juga terlihat dari mekanisme penyelesaian apabila dosen mengalami perselisihan ketenagakerjaan.

Perjanjian kerja memuat tiga unsur: pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam praktiknya, masalah upah–termasuk yang dialami dosen–paling banyak muncul dan diselesaikan dengan mekanisme Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Masalah upah yang bisa saja terjadi, misalnya, ketika institusi pendidikan tidak membayarkan upah kepada dosen.

Hal itu menunjukkan pengakuan secara hukum bahwa perikatan antara institusi pendidikan dan dosen adalah suatu hubungan kerja, antara pemberi kerja dan buruh/pekerja. Perikatan ini berhak dilindungi oleh regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Minim kesadaran kolektif
Sayangnya, kesadaran kolektif mengenai definisi buruh di Indonesia masih terbatas dan diwarnai stereotip. Buruh sering dikaitkan dengan pekerja kerah biru yang pekerjaannya terkait “tenaga jasmani”, seputar “pertukangan”, maupun “buruh pabrik”.

Padahal, apapun profesi dan sektor industrinya, sejauh terdapat hubungan relasi kuasa antara pemilik modal dan pekerja, maka secara substansi pekerja tersebut adalah buruh.

Kesalahpahaman inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa literasi masyarakat mengenai buruh di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam peringatan Hari Buruh, kebanyakan demonstrasi yang muncul sepi dari suara pekerja kerah putih dan jauh dari perhatian kebanyakan akademisi Indonesia.

Penempatan dosen sebagai bagian dari kelompok buruh penting untuk mengadvokasi dan meluruskan berbagai norma dalam regulasi pemerintah yang masih belum secara tegas melindungi dan berpihak pada kesejahteraan dosen.

Dosen, kampus, dan transformasi struktural
Pendekatan pemerintah Indonesia dalam pengembangan mutu dan sumber daya pendidikan tinggi sudah sewajarnya mendapatkan umpan balik dari seluruh pemangku kepentingan. Permen PAN-RB Nomor 1 Tahun 2023, misalnya, dianggap berpotensi menambah kompleksitas birokrasi dan memperkeruh kepastian karier dosen, sehingga patut dikritik.

Namun, kritik tersebut tak semestinya melenceng sampai menganggap bahwa penyamaan dosen sebagai buruh sama dengan merendahkan martabat mereka.

Misalnya, apakah betul dosen memiliki karakteristik profesi yang lebih mulia dibanding pekerja pada umumnya?

Pembedaan status kampus sebagai lembaga khusus yang berbeda dibanding korporasi, jika tidak cermat dalam memahaminya, justru dapat menjebak kampus dalam menara gading yang abai dengan perubahan sosial.

Birokratisasi kampus yang terjadi saat ini, selain merupakan warisan era penjajahan, sebenarnya lebih tepat kita lihat sebagai dampak atas transformasi struktural di tingkat global yang membuat kampus bergerak dengan logika kompetisi ala korporasi dan mengejar predikat kelas dunia.

Transformasi itu dimulai sejak munculnya perubahan paradigma dalam memahami peran perguruan tinggi seiring globalisasi ekonomi yang terjadi pada dekade 1960-an.

Sebelumnya, kampus dianggap sebagai aktor utama yang berperan mengembangkan pengetahuan. Riset cenderung berbasis pengabdian sosial dan lebih banyak didorong oleh semangat kebaruan ilmu pengetahuan.

Kini, dunia terjerat dalam sistem kapitalisme neoliberal–yang menekankan kompetisi pasar bebas dan transfer wewenang dari sektor publik ke sektor swasta dalam mengendalikan perekonomian. Akibatnya, eksistensi kampus ikut terseret ke dalam perangkap mekanisme pasar.

Kampus berubah menjadi korporasi pengetahuan dan membuat mutu riset lebih banyak diukur dari keberhasilan komersialisasi dan publikasi berbasis angka.

Kriteria mutu staf akademik juga berubah: dari kinerja yang berfokus pada pengajaran atau riset, ke kriteria profesionalisme akademik yang lebih universal dan komersial.

Universalisasi, misalnya, terlihat dari bagaimana indeksasi jurnal – seperti Scopus – mendikte persepsi mengenai mutu artikel ilmiah. Sementara, komersialisasi membuat akademisi dipacu untuk berkontribusi terhadap inovasi negara melalui paten. Semakin banyak jumlah paten, peringkat universitas di tataran global pun semakin terdongkrak.

Dampaknya, kampus menjadi kian hierarkis–layaknya tangga korporasi–sehingga menghilangkan semangat kolegialitas (menekankan solidaritas sesama pengajar). Dosen juga menghadapi beban birokrasi yang masif.

Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Riset menunjukkan bahwa birokratisasi kampus sebenarnya adalah tren global yang tengah terjadi di berbagai negara, termasuk di kawasan Eropa dan Australia. Kampus menjadi lembaga yang semakin birokratis, tidak lagi kolegial dalam proses pembuatan kebijakan.

Transformasi struktural ini juga berhasil mengubah model sistem penghargaan akademik dari kedalaman kepakaran dosen menjadi prestasi dosen berbasis metrik.

Pemeringkatan kampus dunia menjadi puncak komersialisasi kampus. Mutu dan peringkat pendidikan tinggi akhirnya sekadar berkiblat pada model-model perguruan tinggi di negara maju.

Saat kampus terjerat mekanisme pasar, peran dosen menjadi semakin kering. Fungsi dosen sebagai pembentuk karakter generasi tidak lagi diukur. Demi peringkat, dosen dipaksa produktif menghasilkan publikasi “bereputasi”–bahkan terkadang membuat mereka melakukan praktik buruk dan mengambil jalan pintas.

Desain ketenagakerjaan dosen semakin dibatasi dengan aturan karier dan performa kinerja yang semakin berbasis metrik, administratif, dan menjauhi substansi akademik.

Sebagai buruh, dosen perlu lebih awas terhadap isu ketenagakerjaan yang timbul akibat dinamika di atas.

Birokrasi memang punya sejumlah manfaat, tapi dosen juga tetap harus kritis mengawalnya agar efisien. Pasalnya, banyak perguruan tinggi yang menerapkan berbagai kewajiban administrasi sehingga mengganggu tanggung jawab utama dosen, yakni aktivitas akademik dan riset.

Untuk mengawal hal-hal ini, sekaligus melindungi nasib dosen secara kolektif, serikat pekerja kampus di Indonesia perlu kita tumbuhkan. Di dalamnya bisa termasuk serikat dosen dan tenaga kependidikan. Semakin banyak serikat pekerja kampus, semakin bagus.

Selama ini organisasi dosen lebih didorong oleh kesamaan rumpun ilmu dan minat pengembangan akademik. Kini, tiba waktunya warga kampus membangun kanal negosiasi kolektif dengan berserikat guna melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 01 Mei 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Pendidikan

Dilema Karier Akademik Dosen

Permendikbudristek No 44/2024 memberi harapan sekaligus memicu kekhawatiran. Permen ini tak menyinggung aspek dasar yang melekat pada dosen sebagai kaum intelektual.

Perdebatan soal karier, jabatan akademik, kehormatan, dan etika akademik dosen menjadi sorotan publik dan secara berkesinambungan dimuat harian Kompas dalam hampir satu tahun terakhir. Keadaan ini selaras dengan pemberitaan buruk yang juga terus muncul, berkenaan krisis reputasi dosen dan perguruan tinggi, misalnya yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Pemicunya beragam, sejak kebijakan pemerintah yang cenderung berubah-ubah, aksi politisasi jabatan akademik dan praktik buruk pelanggaran etik berjemaah dalam publikasi ilmiah di jurnal. Terbaru, terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen.

Bagaimana kita memahami ketentuan tersebut? Apakah ketentuan tersebut menjawab kompleksitas permasalahan yang melanda dosen selaku kaum akademik di Indonesia?

Empat masalah
Pasca-1998, profesi dosen dan perguruan tinggi sebagai institusi yang menaunginya menghadapi dilema oleh beragam kepentingan yang saling bertolak belakang. Kepentingan itu berkelindan di antara tiga arus besar.

Pertama, hasrat menempatkan perguruan tinggi sebagai aparatus negara dan karena itu para profesional di dalamnya adalah ’birokrat’, penyambung lidah kebijakan pemerintah melalui kerja riset, pengajaran dan publikasi.

Kedua, menjadikan perguruan tinggi sebagai korporasi komersial yang menempatkan dosen sebagai profesional akademis, seperti halnya profesi di dunia bisnis lainnya. Ketiga, upaya menjaga marwah dosen dan perguruan tinggi sebagai lembaga sosial yang mengedepankan tradisi ilmiah secara otonom, tradisi kritis dan berpihak kepada kaum tertindas.

Dalam 25 tahun terakhir, tarikan ke arus pertama dan kedua cenderung lebih menguat.

Pada kompleksitas beragam tarikan itu, perguruan tinggi termasuk dosen menghadapi empat masalah struktural yang tidak pernah terselesaikan menyeluruh oleh setiap pergantian pejabat kementerian.

Pertama, pengendalian administrasi kepegawaian dan kinerja oleh/dari pemerintah yang memicu birokrasi panjang, baik dalam karier akademik maupun pemberian remunerasi. Situasi ini diperparah oleh aksi politisasi jabatan akademik melalui gelar profesor kehormatan yang sangat melukai dosen karier.

Kedua, penegasan ukuran kinerja akademik pada luaran publikasi dan atau peringkat yang dikonstruksi sebagai ambisi menuju perguruan tinggi kelas dunia, target yang ingin dicapai pemerintah atas nama daya saing pasar global pendidikan tinggi.

Ketiga, isu klasik krisis keuangan perguruan tinggi dan krisis kemampuan pemerintah memberikan penghargaan finansial terhadap profesi dosen. Profesi dosen yang melekat di dalamnya mandat ilmiah, intelektualitas, dan moralitas publik menjadi terjun bebas setara profesi sosial biasa karena penghargaan finansial yang tidak layak.

Keempat dan ini problem paling mendasar, menguatnya represi atas otonomi akademik, kebebasan berekspresi dosen atas berbagai pelanggaran prinsip demokrasi bernegara.

Jati diri dosen sebagai kaum intelektual, aktivis sosial, dan afirmasi perguruan tinggi sebagai elemen masyarakat sipil makin terpinggirkan.

Dalam 10 tahun terakhir, orientasi kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi semakin menguat, antara lain memindah model intervensi negara kepada mekanisme pasar terbuka dalam manajemen PTN.

Dalam konteks ini, pola pikir profesi dosen kian mengacu pada jati diri sebagai ’profesional’ pengajar, peneliti, dan penghasil karya publikasi/paten ilmiah, yang muaranya pada inovasi pasar, daya saing pengetahuan sebagai komoditas global. Jati diri dosen sebagai kaum intelektual, aktivis sosial, dan afirmasi perguruan tinggi sebagai elemen masyarakat sipil makin terpinggirkan.

Keadaan ini terbukti, misalnya, ketika pemerintah cenderung merespons isu pragmatis soal gaji rendah, mendorong otonomi keuangan kampus melalui pengembangan unit usaha, mengurangi subsidi, dan sebagainya. Akibatnya, perguruan tinggi makin sibuk mengeksploitasi sumber daya mahasiswa, dosen, dan sebagainya, untuk usaha kemandirian ekonomi, mengabaikan dimensi otonomi ilmiah akademik.

Permendikbudristek No 44/2024
Keluarnya Permendikbudristek No 44/2024 memberi harapan penyelesaian sejumlah isu di atas sekaligus memicu kekhawatiran dalam jangka panjang. Harapan perbaikan patut disematkan kepada kebijakan penyederhanaan status dan pemisahan tugas sebagai dosen tetap dan dosen tidak tetap, tugas dosen pengajar dengan dosen birokrat kampus, seperti rektor/dekan, dan seterusnya.

Kebijakan ini menutup peluang beragam status dosen pada kebijakan sebelumnya yang membingungkan, termasuk peluang adanya dosen/guru besar kehormatan yang tanpa disertai kinerja akademik terstruktur.

Harapan baik juga tersirat dari pemberian otonomi kampus untuk mengajukan promosi dan demosi dosen, termasuk memberi jabatan akademik profesor bagi dosen tanpa lewat birokrasi pemerintah. Kisruh administrasi proses pengajuan jabatan akademik dan mafianya dapat berkurang.

Terakhir, penetapan kebijakan gaji minimum dosen setara upah minimum regional (UMR) akan memberikan apresiasi dan kepercayaan diri sekaligus menjadikannya sebagai profesi yang layak secara ekonomi.

Namun, kekhawatiran muncul karena beragam harapan di atas hanya berpijak pada cara pandang liberalistik atas dosen dan perguruan tinggi, bukan cara pandang publik. Permen juga masih disertai ketentuan yang menempatkan pemerintah selaku pembuat standar minimalnya. Adapun perguruan tinggi (sepanjang dianggap telah memadai) hanyalah aktor pelaksana kebijakan karier dan profesionalisme dosen.

Lebih jauh, permen sama sekali tidak menyinggung aspek dasar yang melekat pada dosen sebagai kaum intelektual, yaitu jaminan hak kebebasan berekspresi khususnya dari tekanan politik. Jaminan kebebasan akademik menjadi elementer mengingat dosen adalah figur akademis yang memiliki mandat perbaikan struktur sosial dan politik melalui kritik ilmiah.

Konstruksi berpikir permendikbudristek masih mengundang dilema moralitas antara dosen sebagai profesi yang harus sejahtera dan/atau merdeka. Untuk itu, diperlukan regulasi lebih lanjut yang melengkapi, memberi perlindungan intelektualitas, agar dosen sebagai masyarakat sipil senantiasa bersikap kritis untuk menjaga demokrasi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 19 Desember 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Ekonomi Sosial Budaya

 15,74 Triliun Rupiah

Berapa potensi pengeluaran mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama setahun? Angka di atas adalah jawabannya: Rp15,74 triliun per tahun atau Rp1,31 miliar per bulan atau Rp 43,72 miliar per hari. Angka itu setara dengan 8,71 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kehadiran sekitar 442 ribu mahasiswa tentu sangat penting. Sekitar 75 persen dari mereka berasal dari luar DIY. Karenanya, kontribusi mereka sangat luar biasa. Pengeluaran mereka (Rp 3,06 juta per bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa lokal (Rp 2,15 juta).

Nominal ini belum termasuk biaya pendidikan yang dibayarkan ke kampus dengan nominal bervariasi. Data tersebut diambil dari hasil Survei Biaya Hidup Mahasiswa DIY yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY. Laporannya dirilis beberapa waktu lalu. Sulit untuk tidak bersepakat, jika kontribusi mahasiswa sangat signifikan dalam menggerakkan roda ekonomi lokal.

Banyak sektor bisnis terkait mahasiswa yang mendapatkan manfaat langsung. Sektor kuliner rata-rata menerima sekitar Rp 780 ribu per mahasiswa selama sebulan. Proporsi pengeluaran untuk makan dan minum adalah yang paling tinggi, sebesar 26 persen dari belanja bulanan. Pengeluaran besar setelahnya di sektor gaya hidup, yang meliputi antara lain perawatan kulit, berkumpul di kafe, rekreasi/hiburan, dan olah raga. Nominalnya sekitar Rp 685 per bulan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tempat tinggal yang menempati urutan ketiga, dengan angka pengeluaran sekitar Rp 655 ribu. Tentu ada komponen pengeluaran lain, seperti untuk transportasi, komunikasi, kesehatan, belanja keperluan pribadi, dan cuci pakaian.

Melihat dampak ekonomi yang signifikan dari kehadiran mahasiswa, yang sebagian besar pendatang, perhatian serius sudah seharusnya diberikan oleh semua pemangku kepentingan terkait. Termasuk di dalamnya pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dapat terlibat dengan memikirkan program yang relevan untuk perguruan tinggi. Membantu promosi, memastikan keamanan, dan meningkatkan layanan transportasi publik adalah beberapa di antaranya.

Masyarakat juga serupa. Salah satu kontribusinya adalah menyambut mahasiswa pendatang dengan suka cita dan memastikan kenyamanannya. Tentu, ini bukan berarti menoleransi apa pun yang dilakukan oleh mahasiswa. Justru masyarakat bisa membantu dalam mendidik mahasiswa dengan mengenalkan nilai- nilai jogjawi yang ramah, santun, dan menghargai liyan. Lunturnya nilai-nilai jogjawi ini menjadi salah satu hal yang dikeluhkan oleh orangtua mahasiswa. Selama ini, perguruan tinggi seakan-akan menjadi satu-satunya pihak yang paling berkepentingan dan harus bertanggung jawab untuk hal yang terkait dengan menarik mahasiswa ke DIY.

Ketika ada oknum mahasiswa yang bermasalah di tempat tinggalnya, sebagai contoh, tak jarang masyarakat melayangkan komplain ke pihak kampus. Seharusnya ini menjadi tanggung jawab bersama. Pun, ketika dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi lokal berteriak karena secara umum cacah maha siswa barunya menurun, suaranya seakan hilang ditelan kegelapan malam. Sirna tanpa jejak. Kampus seperti berjuang sendirian.

Tentu, misi utama perguruan tinggi adalah menghasilkan lulusan yang mumpuni dan menghasilkan karya akademik yang berkualitas. Namun, perguruan tinggi juga perlu dianggap penting dalam memutar ekonomi lokal. Sekaranglah saatnya menyatukan langkah para pemangku kepentingan dengan bingkai kesadaran kolektif yang diperbarui: bahwa di sana ada kepentingan bersama.

Tulisan ini dibuat untuk memantik kesadaran tersebut, karena kampus tidak punya hak menginstruksikan pemerintah dan memerintah masyarakat. Misi utamanya adalah menguatkan DIY sebagai salah satu penjuru atau jika mungkin penjuru utama pendidikan nasional. Tanpa langkah bersama, jangan kaget jika predikat DIY sebagai ‘kota’ pendidikan agak memudar. Semoga bukan ini yang terjadi. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 9 Januari 2025

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada Bidang penelitian: eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Sosial Budaya

Menjamin Keberlanjutan Media dan Jurnalisme

Peraturan Presiden Media Berkelanjutan harus menjadi pintu masuk untuk merawat jurnalisme berkualitas. Untuk itu, draf perpres tersebut perlu dibuka kepada publik, mendapatkan masukan dari publik.


Harian Kompas pada halaman 8 edisi 16 Februari 2023 memuat pernyataan Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Pusat Wenseslaus Manggut yang mendorong transparansi draf Peraturan Presiden Media Berkelanjutan, yang sedang digodok Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam pernyataannya, Ketua AMSI Pusat menilai pentingnya uji publik perpres oleh komunitas pers, masyarakat sipil, dan platform global.

Perpres Media Berkelanjutan ini urgen dan sudah jamak terjadi di sejumlah negara maju, seperti Jerman dan Australia. Namun, regulasi yang berpola pikir business to business antara perusahaan pers di Indonesia dan platform digital tidak otomatis menjamin ekosistem media yang sehat. Seraya sepakat dengan aspirasi ini, penulis melalui forum ini juga ingin mengulas berbagai hal yang harus menjadi perhatian dalam penetapan regulasi ini nanti.

Tiga diskursus
Sepanjang lima tahun terakhir, isu keberlanjutan media (media sustainability) menjadi diskursus di kalangan pers dan pemerhati media global. Lembaga pemeringat keberlanjutan media yang berbasis di Washington, International Research and Exchanges Board (IREX), misalnya, setiap tahun mengeluarkan indeks global kesehatan media. Indikatornya sangat luas, dari ekonomi korporasi, teknologi, hingga jaminan kebebasan redaksional.

Frere (2013) mendefinisikan keberlanjutan media sebagai daya tahan organisasi berita dan jurnalisme di suatu negara untuk bekerja efektif menjamin tersedianya jurnalisme berkualitas menghadapi tekanan struktur politik-ekonomi.

Di Indonesia, isu ini tampak terpusat pada tiga diskursus. Pertama, keberlanjutan media konvensional (cetak, radio, dan televisi) sebagai entitas korporasi komersial pascakrisis popularitas menyusul revolusi teknologi digital. Teknologi internet telah mendisrupsi proses produksi dan distribusi berita menjadi lebih efisien dan cepat. Berita tidak lagi memerlukan birokrasi yang panjang untuk sampai ke publik. Model bisnis bergeser dari korporasi padat modal ke ”media rumahan”.

Model bisnis agregasi berita oleh platform digital berskala global memicu krisis korporasi media konvensional. Platform digital seperti Google mendominasi perolehan iklan sekaligus. Pola relasi media berita versus platform digital tidak imbang karena kontrol algoritma sepenuhnya berada di tangan korporasi digital.

Berita sebagai produk informasi mengalami krisis kualitas, dan sebagai risiko dari kualitas yang rendah, berita mengalami penurunan nilai kepublikan.

Kedua, terjadinya penurunan kualitas jurnalisme secara drastis setelah merebaknya situs berita daring (online) yang hanya mengacu logika click bait, tingginya disinformasi, hoaks, dan lain-lain. Berita sebagai produk informasi mengalami krisis kualitas, dan sebagai risiko dari kualitas yang rendah, berita mengalami penurunan nilai kepublikan.

Di sisi lain, platform digital dan portal berita daring sejak kelahirannya menganut prinsip berita sebagai produk yang tersaji gratis, bukan berbayar (eceran atau berlangganan) seperti tradisi media cetak. Iklim ini menyulitkan media berita untuk menjaring pendanaan produksi dari publik.

Ketiga, pandemi Covid-19 memicu disrupsi pola kerja jurnalisme pascakebijakan pembatasan mobilitas fisik warga. Pembatasan fisik membatasi akses kerja jurnalisme di satu sisi, dan mempercepat migrasi digital bisnis media di sisi lain.

Muncul dua iklim yang saling bertolak belakang. Pertama, dua tahun Covid-19 memicu pandemi bisnis media jurnalisme, yang ditandai oleh pemutusan hubungan kerja akibat melemahnya kinerja bisnis. UNESCO (2021) merilis, 40 persen media pers mengalami krisis multidimensi yang berujung kepada pemutusan hubungan kerja, pengurangan biaya produksi, hingga penghentian produksi berita.

Berbeda dari iklim pertama, disrupsi digital juga memicu transformasi bisnis media jurnalisme konvensional. Sejumlah media berita nasional melakukan migrasi layanan berita ke platform digital sejak produksi, distribusi, hingga pemasaran.

Di luar media berita arus utama, berkembang pula inisiatif start up media jurnalisme alternatif yang menawarkan/melanjutkan jurnalisme berbasis data dan jurnalisme investigasi. Project Multatuli, Konde.co, Magdalene.co, misalnya, lahir dari jurnalis senior yang sebelumnya bekerja untuk jurnalisme media arus utama.

Fenomena ini memberi optimisme tetap hidupnya jurnalisme setelah platform berita konvensional (cetak dan siaran) semakin terpinggirkan. Jurnalisme di Indonesia tidak mati, mengalami evolusi bahkan revolusi format dan strategi diseminasi, dari platform lama ke platform baru.

Rencana pembuatan Perpres Media Berkelanjutan harus dilihat sebagai bentuk proteksi negara atas nama kepentingan nasional terkait kedaulatan digital.

Sayangnya, dari ketiga konteks di atas, konteks pertama lebih mengemuka ketimbang konteks kedua dan ketiga. Terdapat reduksi perdebatan pegiat pers dari kepentingan publik yang terganggu akibat disrupsi digital di sektor media jurnalisme, kepada semata kepentingan korporasi media yang mengalami krisis keberlanjutan usaha. Padahal, diskursus keberlanjutan media bersifat holistik: bisnis, politik redaksi, dan legalitas.

Intervensi negara
Rencana pembuatan Perpres Media Berkelanjutan harus dilihat sebagai bentuk proteksi negara atas nama kepentingan nasional terkait kedaulatan digital. Kepentingan ini melingkupi hajat hidup korporasi media untuk terus beroperasi dan juga hajat hidup publik atas layanan berita dan kegiatan jurnalisme yang sehat.

Dalam kerangka ini, semangat perpres harus menjawab keseluruhan konteks di atas, tidak semata-mata berpola pikir business to business, antara platform global dan korporasi media pers. Perpres harus menjadi pintu masuk untuk merawat jurnalisme berkualitas (good journalism), yang pada era digital tidak hanya dilayani oleh korporasi media arus utama, tetapi juga media alternatif.

Dalam upaya mencapai misi ini, draf perpres perlu dibuka kepada publik, mendapat masukan dari publik agar memenuhi seluruh kepentingan dari ekosistem jurnalisme. Langkah ini sekaligus menunjukkan keberpihakan negara kepada semua pelaku media dan jurnalisme.

Penerapan kebijakan yang hanya berfokus kepada pembagian kue iklan antara platform digital dan korporasi penyelenggara jurnalisme bersifat elitis, tidak menyentuh kepada ekosistem media dan jurnalisme digital yang kompleks. Lebih jauh, upaya penyelamatan korporasi media dari bencana bisnis hanya bersifat sektoral-institusional, dan tidak berdampak kepada kebutuhan warga digital terhadap konten berkualitas sebagai public good.

Menimbang adanya keterbatasan regulasi setingkat perpes, perlu dipikirkan juga agar posisi regulasi ini sebagai ”pintu masuk” pembuatan Undang-Undang Media Berkelanjutan di masa depan. Kita bisa belajar dari Jerman yang mempunyai UU Penanggulangan Disinformasi (Network Enforcement Act) sejak 2018.

Kita juga bisa belajar ke Irlandia yang pada 2022 membuat UU Keamanan Daring bagi warganya. UU ini secara tegas melarang platform digital menjadi ruang diseminasi ujaran kebencian dan disinformasi. Pembiaran disinformasi adalah pemicu utama krisis reputasi jurnalisme di media digital.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 5 Maret 2023

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Ekonomi

Peran Kelas Menengah sebagai Penggerak Ekonomi

Kondisi kelas menengah di Indonesia saat ini menunjukkan dinamika yang cukup menarik dalam beberapa dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), pada akhir Agustus tercatat sebesar 47,85 juta penduduk masuk dalam kategori kelas menengah. Kondisi ini lebih rendah dibanding tahun 2022, di mana 52% dari total populasi di Indonesia dalam kelas menengah. Aspiring Indonesia Expanding the Middle Class (2024) yang dipublikasi kan oleh World Bank menyebutkan, kelas menengah merupakan masyarakat yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp 1,2 juta –  Rp 6 juta per bulannya. Dengan besaran pendapatan tersebut, Indonesia cenderung sulit untuk keluar dari middle income trap.

Jika ingin keluar dari jerat middle income trap, pendapatan per kapita minimal harus berada di atas 4.465 dollar AS. Dengan rata-rata pengeluaran tersebut, masyarakat masih memungkinkan untuk mengakses barang dan jasa yang lebih beragam seperti teknologi, transportasi, pendidikan tinggi, hingga layanan kesehatan. Namun demikian kondisi perekonomian nasional yang dihadapi merupakan kondisi yang penuh dengan tantangan seperti inflasi, tekanan terhadap daya beli, dan disparitas.

Kelas menengah di Indonesia memiliki karakteristik utama yaitu pola konsumsi beragam dengan pengeluaran terbesar dialokasikan untuk pangan, diikuti sandang dan perumahan, kendaraan, kesehatan, pendidikan, hingga hiburan. Jika ditinjau dari karakteristik pekerjaan, mayoritas pekerja dari kelas menengah bekerja pada sektor formal, sedang sisanya menjalankan bisnis produktif atau wirausaha.

Masyarakat kelas menengah sejatinya menjadi harapan bagi pertumbuhan ekonomi di jangka panjang dengan mengoptimalkan konsumsi. Kemenko Bidang Perekonomian RI (2024) menjelaskan, pertumbuhan triwulan II tahun 2024 dalam sisi pengeluaran ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang mencapai 4,93%. Terjadinya peningkatan ini tidak hanya menciptakan peluang ekonomi, tetapi juga mempengaruhi pola konsumsi dan aspirasi sosial, menjadikan kelas menengah sebagai pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kelas menengah memegang peran penting dalam keberlangsungan perekonomian negara. Hal ini dapat dilihat melalui data oleh BPS (2024) yang menyatakan bahwa sebesar 41,7% pengeluaran yang dilakukan oleh kelas menengah ditujukan untuk konsumsi, sehingga bila terjadi penurunan konsumsi yang signifikan oleh kelas menengah maka akan menggambarkan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Peran lain kelas menengah adalah sebagai berkontribusi dalam penerimaan pajak, penciptaan lapangan kerja, serta meningkatkan keberlangsungan produktivitas perdagangan dan industri.

Pada sisi lain, keterlibatan kelas menengah dalam perekonomian Indonesia berada dalam situasi dua sisi yang bermata dua. Hal ini disebabkan beban yang ditanggung oleh kelas menengah. dengan pendapatan pas-pasan akan semakin berat ke depannya. Pasalnya penerimaan kelas menengah semakin tergerus akibat kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti kenaikan PPN menjadi 12%, iuran Tapera yang didasarkan oleh UMR, kenaikan harga bahan pokok, hingga pembatasan BBM bersubsidi (CNBC Indonesia, 2024).

Hal ini menjadikan peran kelas menengah menjadi cukup krusial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan stabilitas sosial. Sebagai konsumen yang aktif dalam kontribusi pasar domestik, mereka sangat berperan dalam inovasi sosial dan investasi. Dalam perjalanan ke depan bila kelompok masyarakat kelas menengah tidak bisa berperan dalam mendorong inovasi dan perubahan, maka dampaknya lebih dirasakan oleh kelas bawah yang sangat bergantung pada keberlanjutan perekonomian untuk meningkatkan taraf hidup.

Sebagai upaya dukungan kepada kelas menengah, Pemerintah meluncurkan berbagai kebijakan di antaranya program perlindungan sosial, insentif pajak, Kartu Prakerja, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta subsidi dan kompensasi energi. Langkah strategis yang diambil ini selain untuk menjaga daya beli kelas menengah, juga untuk mencegah penurunan kelas menengah ke kelompok rentan serta memastikan pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Oktober 2024

Unggul Priyadi
Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UII. Bidang riset pada ekonomi kelembagaan. 

Categories
Islam Sosial Budaya

Tiga Manfaat Pengajian bagi Perempuan: Jalan untuk Berkiprah di Ruang Publik dan Menyuarakan Kesetaraan

Dalam kegiatan yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Februari lalu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, mengomentari kebiasaan ibu-ibu yang senang mengikuti pengajian. Beliau mengatakan bahwa seringnya ibu-ibu mengikuti kegiatan keagamaan ini membuat mereka cenderung meninggalkan anak dan keluarganya.

Pernyataan tersebut memantik beragama tanggapan dari berbagai kalangan, utamanya karena dianggap tidak relevan dengan topik pidato yang saat itu disampaikan, yakni tentang stunting pada anak.

Namun, ada pula yang membela Megawati. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD yang mengatakan bahwa Megawati hanya mengingatkan ibu-ibu yang terlalu sering hadir ke pengajian, bukan melarang.

Terlepas dari segala kontroversi terkait pernyataan politikus senior tersebut, kita perlu melihat secara mendalam mengenai sejarah keterlibatan perempuan dalam kegiatan keagamaan.

Mungkin Megawati juga harus tahu, kegiatan keagamaan bisa menjadi salah satu jalan bagi perempuan untuk berkiprah di luar ranah domestik dan bisa lebih menggaungkan kepentingan perempuan di ranah publik.

Perempuan dan religiositas
Sepanjang sejarah, perempuan kerap kali disingkirkan oleh laki-laki dalam wacana dan ritual keagamaan. Bahkan, posisi mereka sering sebagai pihak yang seakan bertentangan dengan agama.

Misalnya, ada pemahaman keagamaan yang menganggap bahwa perempuan adalah pelaku dosa pada awal periode manusia di bumi, melalui sosok Hawa. Ini kemudian membuat perempuan sering kali dianggap sumber masalah bagi agamawan.

Padahal, penelitian dari Pew Research Center tentang kesenjangan gender dalam agama di ranah global menunjukkan bahwa secara umum, perempuan dari beragam latar belakang keagamaan di seluruh dunia cenderung lebih taat daripada laki-laki dalam partisipasi kegiatan keagamaan.

Dalam salah satu indikator terkait partisipasi peribadatan, riset Pew mengungkap bahwa laki-laki di Indonesia lebih banyak terlibat dalam kegiatan peribadatan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak lebih aktif dalam kegiatan peribadatan dan keagamaan.

Pembacaan yang kurang tepat dalam riset Pew ini disebabkan karena pemaknaan kegiatan keagamaan hanya terbatas pada ritus dan ibadah wajib. Kegiatan harusnya juga meliputi hal lain seperti diskusi keagamaan dan acara-acara yang berlangsung dalam perkumpulan keagamaan. Dalam Islam, contohnya adalah pengajian dan majelis taklim sebagai tempat mengkaji dan mempelajari ajaran keagamaan.

Di sini, partisipasi perempuan dalam kegiatan keagamaan di Indonesia bukanlah hal yang baru.

Pada awal abad ke-20, lahirnya gerakan Muhammadiyah (organisasi Islam modernis) dan Aisyiyah (organisasi otonom perempuan Muhammadiyah) telah berkontribusi mendorong emansipasi perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan dan keagamaan.

Salah satu gebrakan penting yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Aisiyah pada masa itu adalah pendirian Mushola Aisyiyah yang diprakarsai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mushola Aisiyah didirikan untuk memberikan ruang bersosialisasi dan berkumpul bagi perempuan yang selama ini perannya cenderung terbatas di ranah publik.

Setelah Aisyiyah, beberapa organisasi lain seperti Persatuan Islam Istri (Persistri), Muslimat Nahdlatul Ulama, Wanita Islam, dan Badan Koordinasi Majelis Taklim juga muncul untuk memberdayakan perempuan muslim Indonesia. Selain itu, salah satu perempuan muslim Indonesia, Rahmah el Yunusiyyah juga terkenal dengan kiprahnya mendirikan Diniyah Putri sebagai sekolah tinggi keagamaan putri yang pertama di dunia. Hal ini kemudian menginspirasi Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, untuk membangun Kulliyat al-Banat sebagai kampus perempuan untuk mahasiswi di negara tersebut.

Dari pencapaian-pencapaian tersebut, kita bisa melihat bahwa partisipasi perempuan dalam organisasi keagamaan Islam telah memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan status perempuan Indonesia.

Organisasi-organisasi tersebut membuka jalan bagi perempuan muslim Indonesia untuk berkiprah di luar ranah domestik.

Perempuan ikut pengajian: tidak sekadar mencari ilmu agama
Sebagai akademisi hubungan internasional yang fokus pada studi agama dan gagasan politik Islam, saya mengamati adanya empat hal utama yang mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam kegiatan keagamaan, terutama dalam pengajian.

Pertama, riset menunjukkan bahwa menghadiri pengajian bisa berkorelasi positif terhadap kesehatan mental mereka, terutama untuk perempuan lanjut usia (lansia).

Perempuan lansia cenderung semangat mengikuti pengajian karena kegiatan tersebut memberikan kesempatan mereka untuk bersosialisasi. Hal ini biasanya sulit didapatkan oleh perempuan lansia yang sudah tidak memiliki pekerjaan atau rutinitas yang padat.

Adanya kesempatan bagi para perempuan lansia untuk mendalami agama sembari berbagi cerita hidup dan tips keseharian merupakan aktivitas dalam pengajian yang dapat mengurangi kecenderungan mereka mengalami depresi dan kecemasan. Pengajian ternyata dapat membantu perempuan lansia menghadapi masa tua dengan bahagia tanpa perlu takut merasa sendirian.

Kedua, motif ekonomi dan kesejahteraan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong keikutsertaan perempuan dalam kegiatan pengajian.

Perempuan yang bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang pasar, misalnya, seringkali terjebak jeratan utang karena adanya kerentanan dan ketidakstabilan ekonomi. Beberapa pengajian atau majelis taklim menyadari adanya masalah ini, sehingga sebagian pengurus pengajian berinisiatif membentuk jaring pengaman sosial yang dibakukan dalam bentuk baitul mal wa tamwil (BMT) – yang berarti rumah harta dan permodalan usaha.

BMT ini memberikan kesempatan kepada perempuan anggota pengajian untuk mendapatkan akses mikrokredit dengan syarat yang relatif mudah, sehingga mereka dapat keluar dari jeratan utang dan menjadi lebih mandiri secara ekonomi. Beberapa pengajian bahkan juga berinisiatif mendirikan pelatihan kewirausahaan.

Ketiga, adanya pengajian memberikan kesempatan kepada perempuan untuk beraspirasi di ruang publik secara lebih terbuka.

Pengajian maupun majelis taklim menjadi ruang publik bagi para perempuan untuk menyuarakan kepentingannya kepada pihak terkait.

Biasanya para anggota pengajian akan menyampaikan aspirasi dan opininya kepada para ustazah atau pengelola pengajian untuk diteruskan kepada para anggota dewan atau politikus di daerah terkait.

Salah satu contohnya adalah koordinasi antarpengajian perempuan di bawah pimpinan Tutty Alawiyah, pendiri Badan Koordinasi Majlis Taklim. Mereka berhasil mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Anti Minuman Alkohol dan Prostitusi.

Masa depan pengajian perempuan
Mengingat besarnya potensi pengajian dalam menggerakan perempuan di ruang publik, maka ke depannya kegiatan pengajian ini harus lebih dikembangkan secara terfokus.

Contohnya, pengajian perempuan perlu lebih banyak membahas tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di ruang publik. Isu-isu seperti hak pekerja perempuan dan rumah tangga, maraknya perkawinan anak, serta praktik pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan, bisa menjadi kajian bersama dalam pengajian guna meluruskan perspektif yang keliru.

Pengajian perempuan juga perlu mempertimbangkan kolaborasi dengan ragam organisasi. Ini termasuk diskusi lintas iman untuk membahas isu-isu krusial yang berkaitan dengan masalah lingkungan, ketahanan keluarga dan kesehatan masyarakat. Srikandi Lintas Iman adalah salah satu contoh gerakan yang bisa menjadi inspirasi bagi kegiatan pengajian lainnya di seluruh Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 20 April 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam Hubungan Internasional.