Categories
Sains Teknologi

Statistik Berkualitas untuk Indonesia Emas

Setiap tanggal 26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional (HSN). Peringatan tersebut menggambarkan betapa pentingnya peran statistik bagi pembangunan nasional. Dikutip dari situs Badan Pusat Statistik (BPS), HSN diperingati berdasarkan tanggal diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik. Tema HSN tahun ini adalah “Statistik Berkualitas untuk Indonesia Emas”. 

Indonesia Emas

Visi Indonesia Emas adalah suatu gagasan yang bertujuan untuk men- jadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil dan makmur pada tahun 2045, ketika Indonesia memperingati 100 ta- hun kemerdekaannya. Gagasan tersebut disiapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/- Bappenas) dan diresmikan oleh Presiden pada 9 Mei 2019. Kementerian PPN/Bappenas dalam mendukung visi Indonesia Emas telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yaitu mewujudkan Indonesia sebagai “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”.

Sasaran utama dari RPJPN 2025-2045 adalah Pendapatan per kapita setara dengan negara maju; Kemiskinan di angka 0 persen dan ketimpangan berkurang; Meningkatnya kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional; Daya saing sumber daya manusia Indonesia meningkat; dan intensitas emisi gas rumah kaca menurun menuju net zero emission. 

Ada 8 agenda pembangunan menuju Indonesia Emas, yaitu mewujudkan transformasi sosial, mewujudkan transformasi ekonomi, mewujudkan transformasi tata kelola, memantapkan supremasi hukum, stabilitas dan ketangguhan diplomasi, memantapkan ketangguhan sosial budaya dan ekologi, mewujudkan pembangunan kewilayahan yang merata dan berkualitas, dan mewujudkan sarana dan prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan, serta mewujudkan kesinambungan pembangunan.

Statistik Berkualitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), statistik adalah angka-angka atau catatan yang dikelompokkan, dikumpulkan, serta ditabulasi sehingga akan didapatkan informasi yang berkaitan dengan angka tertentu. Sedang statistika adalah ilmu yang mempelajari statistik, atau ilmu yang mempelajari cara mengumpulkan, menyajikan dan menganalisis data serta menarik kesimpulan.

Statistika sangat diperlukan dalam berbagai bidang, terutama dalam analisis data, riset atau penelitian, prediksi atau estimasi, survei, perencanaan atau pengendalian dan pengambilan keputusan serta keamanan data.

Analisis data memerlukan teknik statistik yang baik, sehingga diperoleh interpretasi data dalam bentuk pola, tren atau hubungan antar variabel. Statistika juga diperlukan dalam riset atau penelitian, yaitu dalam merancang eksperimen, teknik pengumpulan data, dan uji hipotesis. Statistika juga diperlukan dalam memprediksi atau mengestimasi. Dengan bantuan data sebelumnya, maka data tersebut dapat digunakan untuk estimasi atau prediksi data selanjutnya.

Dengan teknik statistik yang benar, kita dapat mengambil sampel yang representatif sehingga hasil survei dapat menggambarkan seluruh populasi. Di bidang industri, statistika juga memegang peranan yang penting dalam perencanaan dan pengendalian produksi sehingga menghasilkan produk yang optimal. Dalam bidang ekonomi, statistika juga berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Keamanan data juga bagian dari statistika yang penting.

Statistika yang kurang baik dapat menimbulkan masalah yang cukup serius. Sebagai contoh kasus 34 juta data paspor warga negara Indonesia (WNI) diduga bocor dan dijual di situs dark web. Kebocoran 337 juta data yang berasal dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, kebocoran data 279 juta peserta BPJS Kesehatan yang dijual di Raid Forums dan data daftar pemilih tetap (DPT) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga bocor dan diperjualbelikan di forum daring. Di medio tahun 1990an, juga ada kasus survei dalam bentuk angket tentang tokoh yang dikagumi yang berujung masalah hukum.

Statistik yang baik, dapat digunakan untuk merealisasikan transformasi sosial, ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Statistika yang benar juga dapat berkontribusi dalam memantapkan supremasi hukum, stabilitas dan ketangguhan diplomasi serta memantapkan ketangguhan sosial budaya dan ekologi. Teknik statistik yang berkualitas dapat membantu mewujudkan ‘pembangunan kewilayahan yang merata dan berkualitas, mewujudkan sarana dan prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan, serta mewujud- kan kesinambungan pembangunan.

Visi Indonesia Emas yang didukung dengan sasaran utama RPJPN 2025- 2045 dan 8 agenda pembangunan akan dapat dicapai dengan statistik yang berkualitas.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 26 September 2024

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics.

Categories
Sosial Budaya

Senjakala Keberadaan RRI/TVRI

Viralnya peristiwa pemberhentian karyawan TVRI Yogyakarta imbas pemangkasan anggaran membuat prihatin berbagai pihak. Meski akhirnya ada instruksi pembatalan dari Menteri Keuangan, kasus sudah terjadi dan memicu perdebatan komitmen Presiden Prabowo terhadap penyiaran publik di Indonesia. Muncul kesimpulan no viral no justice yang menggambarkan bebalnya mentalitas aparat birokrasi dalam membuat kebijakan. Tulisan kecil ini menguraikan aspek fundamental penyiaran publik dan kekeliruan kebijakan pemangkasan anggaran yang menimpa dan oleh elite RRI/TVRI sebagai media publik. 

Postur Anggaran RRI/TVRI 

Keputusan Prabowo mangkas anggaran kementerian/lembaga hingga mencapai 306 triliun dengan antara lain mengalihkan ke program makan bergizi gratis sekilas baik dan sangat populis. Harus diakui, pemborosan anggaran sudah lama terjadi di berbagai lembaga negara termasuk di manajemen RRI/TVRI, antara lain pos kunjungan kerja, tim kebijakan dan pos rapat-rapat di luar kota. Jika penghematan menyasar pos-pos ini, maka ia patut didukung agar lembaga penyiaran publik mengalami penyehatan birokratis. 

Dalam satu dekade terakhir, APBN untuk kedua media cenderung naik secara gradual hingga mencapai triliunan pertahun. Sebagai contoh, tahun 2025 TVRI memperoleh pagu anggar an sebesar Rp 1,05 triliun, sedang RRI mendapat pagu sebesar Rp 1,07 triliun. Dari total budget ini, hampir 70% di- pakai untuk kebutuhan belanja pegawai dan layanan administrasi. Sisanya baru untuk produksi konten. Budget ini termasuk untuk honor tenaga lepas yang justru ujung tombak produksi konten. Artinya, ada ketidakseimbangan dan salah postur, yang diakibatkan besarnya jumlah ASN di sektor administrasi.

Lembaga penyiaran publik di berbagai negara dilindungi paripurna karena tugas historis dan politisnya sebagai penjaga moralitas, pemersatu jiwa lewat konten terbaik. Oleh tugas mulia ini, anggaran LPP bersumber langsung dari publik yang dikelola negara terpisah dari APBN. Istilah yang kini populer: media trusted fund, agar terhindar dari aksi pangkas memangkas oleh kepentingan politik tentatif. Dalam budaya politik anggaran di Indonesia, APBN selalu naik turun, diputuskan secara politik praktis di parlemen, rawan korupsi.

Lebih jauh, oleh budaya organisasi media publik itu sendiri yang birokratis, penuh birokrat, pemangkasan budget RRI/TVRI justru menimpa para tenaga lepas dan sektor produksi siaran sebagai jantung layanan publik, tak menyentuh elite kedua media. Berbeda dengan lembaga negara lain yang dominan fungsi administrasi, media publik memiliki peran strategis pada penguatan nasionalisme, mencerdaskan kehidupan bangsa lewat kon- ten berkualitas, sifatnya produktif. Ini, jauh lebih utama dari makan bergizi gratis yang bersifat karitatif. Muncul kesan buruk di publik: negara dan RRI/TVRI lebih mengutamakan perut kenyang, ketimbang otak dan kecerdasan berpikir. Senjakala penyiaran publik sudah tampak.

Bagaimana memahami munculnya pemutusan hubungan kerja (sejenak) dan masa depan lembaga penyiaran publik? mengapa pemangkasan anggaran justru menimpa sektor produksi dan harus viral? Pertanyaan ini harus dijawab dan direfleksikan oleh pekerja kedua media itu sendiri. Setidaknya ada dua kesimpulan umum. Pertama, Presiden Prabowo tidak punya prioritas anggaran, dan aksi memangkas anggaran yang menyasar RRI TVRI tampak ugal ugalan. Kedua, tidak ada sense of crisis pimpinan RRI/TVRI ketika merespons pemangkasan. Langkah PHK kepada pembuat konten mencerminkan suatu keputusan buruk, yang justru memicu risiko penurunan kualitas produksi, senjakala kedua media itu sendiri sebagai lembaga pelayanan konten publik yang profesional. 

Pemangkasan budget oleh Prabowo menjadi pelajaran mahal agar TVRI/RRI membenahi kinerja, semakin dekat ke publik sehingga dalam jangka pendek dapat menerapkan model mixed budget: iuran, crowed fund dll., tanpa tergantung lagi kepada dana APEN. Evaluasi anggaran negara yang selama lebih dari lima puluh tahun dipakai di kedua media juga mutlak dilakukan, termasuk dengan cara melakukan rasionalisasi sumber daya manusia yang tidak produktif di era digital, mayoritas di sektor administrasi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 Februari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.



Categories
Hukum Trending

Apa Jadinya jika Pemilu 2024 Ditunda dan Terjadi Kekosongan Kekuasaan?

Namun, ada kondisi yang dapat menyebabkan perintah konstitusi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena beberapa hal, misalnya ketika negara mengalami kondisi darurat, baik Darurat Sipil, Darurat Militer, Darurat Perang, maupun Darurat Bencana (alam dan non alam) .

Terjadinya kedaruratan yang berujung pada penundaan pemilu ini pernah dialami juga oleh banyak negara, terutama dalam rentang waktu 2020-2022, ketika COVID-19 melanda. Terdapat 80 negara atau teritori di berbagai belahan dunia yang terpaksa menunda pelaksanaan pemilunya sebagai akibat dari pandemi.

Dalam kondisi normal pun tetap ada potensi terjadinya penundaan pemilu. Misalnya karena perintah dari lembaga peradilan melalui putusan hakimnya. Kondisi inilah yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Partai PRIMA melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku tergugat. Salah satu putusannya adalah meminta tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ditetapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal dalam 2 tahun 4 bulan 7 hari.

KPU sedang mengupayakan banding ke Pengadilan Tinggi untuk membatalkan putusan tersebut dengan harapan pemilu akan tetap terlaksana sesuai jadwal. Namun, bila upaya banding, dan mungkin kasasi, yang dilakukan oleh KPU gagal, putusan PN Jakarta Pusat tersebut akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan harus dilaksanakan.

Jika itu terjadi, penyelenggaraan pemilu sudah pasti tidak akan dapat diselenggarakan sesuai jadwal. Ini kemudian akan berakibat pada kekosongan kekuasaan, karena masa jabatan kepemimpinan nasional, baik eksekutif maupun legislatif, akan tetap berakhir pada 2024, sementara penggantinya belum tersedia.

Kekosongan kekuasaan dalam suatu negara merupakan suatu kondisi yang berbahaya dan harus dihindari, karena akan menyebabkan instabilitas politik tingkat tinggi yang berujung pada terancamnya keamanan masyarakat.

Sejarah sebelum kehidupan bernegara

Jika merujuk pada catatan sejarah, peran negara sebagai institusi kekuasaan yang mengatur dan mengelola kehidupan umat manusia secara kolektif merupakan fenomena baru.

Jauh sebelum negara ada, atau dalam keilmuan disebut dengan istilah pra-bernegara, masing-masing individu mengatur urusannya secara mandiri.

Situasinya pada masa pra-bernegara sangat mencekam dan menyeramkan, sebab yang berlaku adalah hukum rimba – yang menang adalah yang kuat. Tidak ada ukuran salah-benar sebab semuanya didasarkan pada kekuatan. Aturan kehidupan bersama hanya ditentukan oleh kemauan dari mereka yang perkasa.

Pihak yang lemah akan sama sekali tidak berdaya dan tidak terlindungi hak dan kepentingannya. Setiap orang berperilaku seenaknya sendiri, tidak ada kekuasaan manapun yang bisa mencegah kesewenang-wenangan individual. Manusia kala itu diistilahkan sebagai Homo homini lupus, yang artinya “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”.

Kengerian dari kondisi kehidupan umat manusia sebelum ada negara ini digambarkan oleh Thomas Hobbes sebagai Bellum Ominium Contra Omnes, atau sebuah perang antar segala melawan semuanya.

Menyadari betapa berbahayanya kehidupan tanpa aturan dan kekuasaan yang dapat menegakkan aturan tersebut kemudian mendorong umat manusia untuk mendirikan negara melalui proses perjanjian masyarakat (social contract).

Desain konstitusional untuk mencegah kekosongan kekuasaan

Negara sebagai institusi tentu tidak bisa bergerak sendiri menjalankan tugas dan kewenangannya. Ia membutuhkan “personel” agar dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuannya, yaitu menciptakan perdamaian, kesejahteraan, ketertiban, dan sebagainya.

Personel itulah yang kita sebut dengan pejabat negara atau aparatur pemerintahan. Adapun pejabat yang menduduki jabatan tertinggi dalam negara disebut pemimpin negara.

Ada dua prinsip dalam memilih pemimpin, yakni secara monarki dan secara sistem demokrasi.

Dalam negara monarki, pemimpinnya tidak dipilih oleh rakyat melainkan ditetapkan berdasarkan keturunan, dan tidak mengenal pembatasan masa jabatan. Seorang pemimpin akan menduduki jabatannya sampai jatah umurnya habis.

Sementara dalam negara demokrasi, pemimpin selalu dipilih melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Masa jabatan pemimpin yang terpilih pun dibatasi, sehingga seseorang tidak mungkin menjadi pemimpin seumur hidup. Negara demokrasi memiliki ciri utama menyelenggarakan pemilu secara periodik.

Karena itu, ketika seorang pemimpin sudah habis masa jabatannya, maka harus dipastikan penggantinya telah tersedia agar tidak menimbulkan kekosongan jabatan. Estafet kepemimpinan wajib dijaga sehingga terjadi kesinambungan bagi jalannya pemerintahan.

Di sinilah pentingnya pemilu dilaksanakan secara terencana yang menurut ketentuan konstitusi Indonesia wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Salah satu contoh nyata dari dampak buruk akibat terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) adalah runtuhnya Yugoslavia. Negara tersebut awalnya adalah negara besar, tapi kemudian terpecah belah menjadi beberapa negara kecil karena muncul disintegrasi.

Peraturan perundangan-undangan di Indonesia sebenarnya sudah mengantisipasi agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan. Misalnya, ketika Wakil Presiden berhalangan di tengah masa jabatannya, menurut Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 Presiden berhak untuk mengajukan dua nama sebagai calon pengganti kepada Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) untuk memilih salah satunya sebagai Wakil Presiden.

Jika yang berhalangan tetap adalah Presiden, secara otomatis yang akan menggantikannya adalah Wakil Presiden. Namun apabila yang berhalangan tetap adalah keduanya (Presiden dan Wakil Presiden) secara bersamaan, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 kendali kekuasaan negara akan dipegang oleh tiga kementerian (triumvirat) yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan.

Sayangnya, peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur perihal kekosongan kekuasaan negara yang disebabkan oleh penundaan pemilu. Ini berpotensi menimbulkan konflik sosial dan huru hara massa.

Apa yang harus dilakukan?

Sudah saatnya Indonesia memiliki perangkat hukum yang komprehensif guna mengatur mengenai hal ini. Peraturan dimaksud harus berisi, di antaranya: Pertama, alasan penundaan pemilu. Peraturan perundangan-undangan harus secara limitatif memberi batasan bahwa pemilu boleh ditunda hanya karena terdapat kondisi yang mengancam keselamatan seluruh bangsa. Di luar alasan itu, harus dilarang.

Kedua, lembaga yang diberi kewenangan memutuskan penundaan pemilu. Sesuai fungsinya yaitu sebagai peradilan tata negara, sebaiknya kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, dan bukan oleh lembaga peradilan biasa.

Ketiga, lama waktu penundaan pemilu. Terkait hal ini misalnya dapat ditawarkan maksimal 3 bulan dengan opsi dapat dievaluasi dan diperpanjang kembali sesuai kebutuhan berdasarkan putusan pengadilan.

Keempat, pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa periode pemerintahan sudah berakhir sementara belum dihasilkan penguasa baru akibat pemilunya ditunda. Terkait hal ini, yang paling rasional dan mudah dilakukan adalah dengan memperpanjang masa kekuasaan pemerintahan yang ada sebelumnya.

Dengan adanya peraturan yang mengatur soal penundaan pemilu ini diharapkan ada kepastian hukum. Sehingga bila situasinya mengharuskan pemilu ditunda, tidak akan menimbulkan kekosongan kekuasaan yang dapat berakibat munculnya kegaduhan sosial dan instabilitas pemerintahan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 7 April 2023

Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Anggota Dewan Pakar Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII.

Categories
Hukum

Kita Belum Punya UU Contempt of Court

Masyarakat harus diberi pencerahan agar tak tertipu dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku ahli atau sangat menguasai.

Banyak sarjana hukum mengira penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) sebagai nama tindak pidana itu sudah ada. Padahal, di Indonesia, belum ada nama dan unsur untuk jenis tindak pidana tentang itu.

Baru-baru ini kita dikejutkan oleh viralnya seorang pengacara atau advokat yang berteriak kalap dan akan memperkarakan seseorang, sebutlah Pak Fulan, ke peradilan pidana.

Alasannya, katanya, Pak Fulan melakukan kejahatan, karena Pak Fulan memberi opini atas perkara yang sedang ditanganinya. Pengacara ini dengan lantang mengaku dirinya ahli pidana dan sangat menguasai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Padahal, Pak Fulan tak berbicara sama sekali tentang perkara yang dia tangani. Ketika ditanya, Pak Fulan tak peduli dan tertawa ringan atas sensasi itu.

Meskipun begitu, kita harus memberikan pencerahan kepada masyarakat karena hal tersebut merupakan tragedi profesionalisme seorang pengacara yang tak paham bedanya hukum dan ilmu hukum. Masyarakat harus diberi pencerahan agar tak tertipu dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku ahli atau sangat menguasai.

Pemahaman tentang ini sangat penting tidak hanya bagi pembelajar, pengamat, dan profesional hukum, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya agar tak disesatkan pikiran dan pemahamannya.

Ada dua hal di sini. Pertama, tentang opini atau pendapat hukum atas perkara yang sedang berlangsung, termasuk mulai dari mediasi, di pengadilan.

Kedua, Pak Fulan akan diperkarakan melakukan kejahatan contempt of court karena mengomentari perkara yang sedang berjalan di pengadilan (dalam kasus ini perkara sudah masuk tahap mediasi setelah sidang pemeriksaan perkara dimulai).

Opini atau pendapat hukum

Tiba-tiba si pengacara berteriak bahwa Pak Fulan telah mengomentari perkara yang sedang ditanganinya dan sedang dalam tahap mediasi di pengadilan. Katanya, perkara yang sedang berlangsung atau tahap mediasi di pengadilan tak boleh dikomentari.

Wow, ilmu hukum dari mana itu?

Justru para pakar, pengamat, wartawan, dan sebagainya sangat boleh mengomentari dan beropini tentang perkara yang belum ataupun sedang berjalan di pengadilan.

Saat ini, dari luar gedung pengadilan hampir semua televisi dan podcast justru menyiarkan opini pakar dan profesional hukum tentang perkara yang sedang berlangsung ataupun baru pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Sebutlah, opini tentang peradilan Zarof Ricar, opini tentang penyuapan hakim di Jakarta Selatan, bahkan opini tentang perkara ijazah asli atau palsu yang sedang berproses di Bareskrim dan di Polda Metro Jaya.

Itu sangat boleh dilakukan. Saat Ferdi Sambo diselidiki, disidik, dan disidang di pengadilan, semua pakar diundang ke televisi, ke podcast-podcast, bahkan ke sidang pengadilan, untuk memberi opini dari sudut keahliannya.

Bukan hanya ahli hukum, melainkan juga ikut dan diminta memberi opini ahli-ahli di bidang lain, seperti ahli psikologi, ahli TI, dan ahli sosiologi, yang semua berbicara dari dalam ataupun dari luar pengadilan untuk memberi legal opinion. Sang pengacara tidak tahu bahwa yang tidak boleh mengomentari perkara yang sedang berlangsung hanya hakim yang menangani perkara itu.

Itu pun masuk dalam masalah etika, bukan masalah pidana. Bahkan pengacara dan jaksa boleh mengomentari perkara yang sedang ditanganinya dari luar persidangan. Oleh karena itu, mereka sering berdebat melalui media massa dengan para pengacara, bahkan instansi penegak hukum menggunakan humas resmi untuk meladeni adu pendapat dan penilaian.

Sang pengacara bilang, Pak Fulan yang mengomentari perkara sebagai pembicara kunci pada satu seminar di kampus akan dilaporkan ke polisi karena melakukan kejahatan pidana, berupa contempt of court. Memangnya, dalam undang-undang apa dan pasal berapa diatur tindak pidana contempt of court bagi yang mengomentari atau mengulas suatu perkara?

Ada yang disamakan

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang ada jenis tindak pidana yang sering disamakan dengan contempt of court, seperti Pasal 207 dan Pasal 217. Namun, nama kejahatan untuk jenis kejahatan yang diatur oleh kedua pasal tersebut bukan contempt of court (penghinaan atas peradilan), melainkan, seperti menjadi judul Bab VIII KUHP, disebut kejahatan terhadap penguasa umum.

Dalam kedua pasal itu sama sekali tak ada ketentuan bahwa mengomentari perkara yang sedang berlangsung di pengadilan termasuk kategori kejahatan terhadap penguasa umum, apalagi contempt of court. Tidak ada isi frasa yang seperti itu. Ingat, di dalam hukum pidana tidak boleh ada analogi atau membuat ”kias” yang meng-”gatuk-gatukkan”.

Pasal 207 KUHP mengatur, ”Barang siapa yang dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Sementara, yang diatur dalam Pasal 2017 KUHP adalah larangan menimbulkan kegaduhan dalam ”sidang” pengadilan. Bunyinya, ”Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”.

Jadi, ketentuan Pasal 207 dan Pasal 217—sesuai dengan judul bab yang menaungi (Bab VIII) dalam KUHP, yang masih berlaku sekarang—disebut kejahatan terhadap penguasa umum. Di dalam KUHP yang baru, yakni UU No 1 Tahun 2023 yang akan mulai berlaku Januari 2026, tidak ada juga kualifikasi tindak pidana penghinaan terhadap peradilan atau contempt of court yang oleh si pengacara tersebut disebut kejahatan.

KUHP yang baru tetap memberlakukan substansi Pasal 207 dan Pasal 217 yang ada di KUHP lama. Substansi Pasal 207 KUHP yang lama dimasukkan ke dalam Pasal 240 KUHP yang baru dengan kualifikasi penghinaan terhadap penguasa umum. Sementara itu, substansi Pasal 217 KUHP yang lama dimasukkan ke dalam Pasal 281 KUHP baru dengan kualifikasi sebagai gangguan (bukan hinaan) terhadap proses peradilan.

Di dalam kedua pasal itu juga tidak ada larangan dan ancaman hukuman bagi orang yang mengomentari atau beropini terhadap perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Mengomentari perkara dari ruang sidang pengadilan pada umumnya malah dianggap penting guna mengawasi jalannya pengadilan yang memang harus terbuka untuk umum.

Janji pembentukan UU ”contempt of court”

Terlepas dari soal adanya ketidakpahaman sebagian sarjana hukum atas perbedaan antara hukum dan ilmu hukum, tepatnya antara ius constitutum dan ius constituendum, adanya UU tentang contempt of court di Indonesia memang diperlukan.

Saat ini gejala penghinaan atas martabat pengadilan memang kerap terjadi, bukan hanya oleh orang-orang yang berperkara, bisa juga oleh hakim yang mengadili suatu perkara karena perilakunya yang tak pantas. Jika ada hakim, misalnya, ikut bertepuk tangan ketika seorang koruptor divonis ringan, padahal sidang belum ditutup, hal itu melanggar etika.

Kita belum mempunyai undang-undang tentang contempt of court, tetapi negara sudah lama menjanjikan untuk membuat undang-undang itu. Kita bisa melihat janji negara itu, misalnya, dalam UU No 14 Tahun 1985 yang telah diperbarui dengan UU No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Dalam Penjelasan Umum Butir 4 UU tentang Mahkamah Agung itu ditegaskan tentang perlunya pembentukan undang-undang khusus yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, yang dikenal sebagai contempt of court.

Kita catat bahwa bunyi Butir 4 Penjelasan UU Mahkamah Agung tersebut adalah janji negara yang sudah ditulis selama sekitar 40 tahun (sejak 1985).

Oleh karena itu, kita perlu melakukan langkah-langkah yang lebih konkret untuk melanjutkan upaya mewujudkannya. Bahan-bahan untuk ini sudah cukup banyak. Instrumen The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), ditambah dengan pengalaman kita sendiri, perlu digali nilai-nilainya untuk dinormakan dalam hukum tentang contempt of court.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 12 Mei 2025


Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum

Serangan Siber kian Masif, Akankah Angkatan Siber TNI jadi Solusi?

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.

Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam publik. UU ITE saja sudah kerap menjadi alat untuk membatasi publik dalam menyampaikan pendapat.

Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.

Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan disusupi agenda-agenda politik praktis.

Rentannya serangan siber

Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.

Indonesia sendiri termasuk negara yang masih sangat rentan terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.

Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa komponen pertahanan di bidang siber yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.

Namun, kenyataannya masih banyak terjadi serangan siber yang gagal diantisipasi. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.

Contohnya adalah kebocoran data paspor dan penduduk yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.

Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran ujaran kebencian dan hoax di media sosial.

Maka dari itu, usulan munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.

Usulan pembentukan Angkatan Siber ini perlu ditinjau secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.

Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat patroli siber Polri menjadi sangat agresif dalam menegakkan keamanan siber.

Agresivitas ini justru lambat laun menjadi mengkhawatirkan, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. Jika salah langkah, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru mengancam demokrasi.

Antara pertahanan dan keamanan

Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.

Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.

Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini.

Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “Sinergitas TNI-Polri”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.

Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Untuk pertahanan, bukan keamanan

Kita bisa belajar dari Digital and Intelligence Service (DIS), Angkatan Siber Singapura yang baru saja dibentuk pada Maret tahun lalu.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Operasi siber memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil.

Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.

Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 September 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

 



Categories
Pendidikan

Jangan Panggil Saya ‘Prof’: Mengapa Desakralisasi Gelar Profesor Perlu Dilakukan?

Masalah etika dan akademis para dosen untuk mencapai status ‘profesor’ atau ‘guru besar’ belakangan ini menjadi sorotan publik. Perkara-perkara mulai dari kontroversi guru besar muda, Kumba Digdowiseiso, praktik “aji mumpung” kampus untuk mengatrol guru besar, hingga para politikus yang berlomba-lomba mendapatkan gelar profesor, menggerus kredibilitas akademisi berikut kebijakan pemerintah seputar penilaian akademis di mata publik.

Di tengah persoalan tersebut, terbit surat edaran dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, yang meminta agar gelar akademisnya tidak dicantumkan di dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya. Rektor UII hanya mengecualikan edaran “jangan panggil saya Prof” ini untuk dokumen ijazah dan transkrip nilai.

Tradisi menanggalkan penyematan gelar dalam pergaulan akademis memang bukan praktik baru di banyak negara. Namun, di Indonesia, langkah rektor UII dapat kita lihat sebagai sebuah gerakan simbolik untuk membuka diskusi seputar desakralisasi gelar akademis di tengah fenomena inflasi guru besar di tanah air.

Sakralisasi gelar akademis

Di Indonesia, pencapaian gelar akademis maupun atribut lainnya sering terkait dengan motivasi ekonomi terutama kenaikan gaji dan tunjangan. Pencapaian juga menjadi simbol mobilitas vertikal untuk mendapatkan penghormatan dan perlakuan istimewa dalam masyarakat. Akibatnya, banyak orang mengejar gelar tersebut dengan menempuh berbagai siasat.

Ini dibuktikan dengan temuan penelitian yang menempatkan integritas publikasi ilmiah di Indonesia terendah nomor dua di dunia. Dalam hal ketidakjujuran akademis, skor Indonesia hanya 16,7%, di bawah Kazakhstan yang menempati urutan pertama (17%).

Di sisi lain, tradisi pengultusan hierarki profesor sebagai derajat akademis tertinggi semakin menguatkan budaya feodalisme sekaligus peneguh kesenjangan. Alih-alih merujuk pada tanggung jawab keilmuan dan kepakaran, gelar doktor atau profesor kerap secara sengaja disakralkan untuk memperlebar jarak sosial, termasuk di lingkungan kampus.

Penunjukan jabatan seperti kepala pusat studi di kampus, misalnya, sering kali berdasarkan pengutamaan status profesor, bukan berdasarkan kualitas individu dan rekam kinerja riset.

Para pemilik gelar mungkin tidak menyadari ataupun mengakui sakralisasi ini. Namun, tetap saja, masih ada profesor yang tersinggung jika gelarnya tidak ditulis dalam surat undangan ataupun merasa direndahkan jika orang lain memanggil namanya tanpa disertai sapaan “Prof”.

Antara budaya feodal dan iklim akademis yang egaliter
Harus diakui, tradisi akademis terkait panggilan profesor diterapkan secara berbeda di Indonesia atau secara umum di Asia, jika dibandingkan negara Barat.

Ini salah satunya bersumber pada kentalnya budaya paguyuban (gemeinschaft) yang merupakan ciri masyarakat feodal bercorak produksi agraris–pedesaan. Budaya paguyuban berdasar pada hubungan status seperti keluarga, tradisi, dan adat yang menempatkan kendali dan hormat kepada para senior atau mereka yang dianggap dituakan.

Namun, iklim akademis dan budaya intelektual di perguruan tinggi semestinya bersifat egaliter dan kolegial. Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada tahun 1833 memperkenalkan pendekatan andragogi yang kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat (AS), Malcolm Knowles. Andragogi adalah proses pelibatan peserta didik dewasa ke dalam pengalaman belajar dengan model interaksi egaliter antara mahasiswa dengan dosennya sebagai sesama orang dewasa.

Artinya, berdasarkan pendekatan andragogi, lembaga pendidikan tinggi diharapkan terus melahirkan para ahli dengan cara bertukar pikiran secara proporsional, asertif, kritis, dialogis, dan kolegial. Pelaksanaan cara ini pun harus berlandaskan sikap saling menghargai serta menghormati tata nilai dan budaya akademis yang berlaku universal.

Bentuk pengultusan seperti rasa segan dan hormat yang berlebihan, jika hanya didasarkan pada superioritas gelar, bukan pada kapasitas keilmuan dan rekam jejak akademis, akan menghambat perkembangan iklim akademis dan budaya intelektual yang sehat di kampus.

Upaya desakralisasi
Sebelum Rektor UII, banyak tokoh dan akademisi di tanah air yang juga menerapkan praktik sapaan egaliter. Mendiang Ahmad Syafii Maarif, misalnya, jarang menuliskan gelar akademisnya. Meski telah didapuk sebagai “tokoh bangsa” dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia lebih nyaman dipanggil “Buya” daripada gelar berderet “Prof. K.H. Ahmad Syafii Maarif, M.A, Ph.D”.

Contoh lain akademisi asal Indonesia yang konsisten menolak dipanggil “Prof” adalah sosiolog Ariel Heryanto. Ia selalu mengatakan, “Panggil saja saya Ariel,” kepada orang-orang yang memanggilnya dengan sapaan “Prof Ariel”.

Belakangan, beberapa instansi terkait pendidikan dan riset di Indonesia seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga tidak lagi menuliskan gelar akademis dalam standar pengesahan dokumen-dokumen resmi.

Lebih dari sekadar panggilan
Akar masalah integritas akademis di Indonesia bukanlah terbatas pada perlu-tidaknya panggilan-penulisan, desakralisasi, atau sebaliknya pemurnian gelar “profesor”.

Kejujuran, kedisiplinan, etika, dan integritas akademis perlu segera ditegakkan oleh semua pihak, lebih dari sekadar perlu atau tidaknya atribusi bagi seorang profesor.

Banyak persoalan integritas akademis dalam proses pengajuan guru besar yang juga perlu disorot. Sebut saja kelayakan dan riwayat integritas akademis individu pengaju jabatan guru besar, independensi asesor administratif dan substantif, impunitas (pembebasan dari hukuman) terhadap pelaku perjokian dan praktik predatory karya ilmiah, dan normalisasi plagiarisme. Kita juga perlu mengawasi kurangnya transparansi, kecepatan merespons dan menangani kasus, serta ketegasan penegakan aturan disiplin etika akademis oleh institusi pengelola yaitu pihak kampus dan Kemendikbudristek.

Gerakan moral desakralisasi gelar profesor ini telah diinisiasi oleh Rektor UII, dan ternyata berhasil menarik perhatian publik lebih luas. Oleh karena itu, mengapa tidak kita dukung sebagai momentum untuk berbenah?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2024

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.