Categories
Lingkungan

‘Megathrust’ Bukan Mitos: Membangun Budaya Sadar Bencana Lewat Komunikasi Risiko

Kabar mengenai ancaman gempa megathrust yang mengintai kawasan selatan Pulau Jawa kembali ramai diberitakan beberapa pekan terakhir ini.

Megathrust adalah gempa bumi sangat besar yang terjadi di zona subduksi—tempat pertemuan antara lempeng benua dan samudra. Ketika kedua lempeng itu bertemu, lempeng samudra yang lebih berat akan terdorong ke bawah sehingga memicu gempa yang sangat besar.

Para ilmuwan memprediksi bahwa gempa megathrust dengan magnitudo besar berpotensi menimbulkan bencana susulan seperti tsunami dan likuifaksi (pencairan tanah).

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat terdapat 13 zona megathrust di wilayah Indonesia, dua di antaranya sudah ratusan tahun tidak mengalami gempa akibat pergeseran kulit bumi atau tektonik, yaitu zona Mentawai-Siberut dan Selat Sunda. Ini biasa disebut dengan seismic gap.

Berita mengenai ancaman megathrust sebenarnya bukan hal baru. Pemberitaan serupa sudah muncul di beberapa media sejak beberapa tahun lalu, misalnya pada Maret 2018, Agustus 2019, dan setelah gempa Pandeglang di Banten pada Januari 2022.

Meski demikian, pola pemberitaannya masih fluktuatif, menunjukkan bahwa banyak media belum memiliki pendekatan yang sistematis dan berkelanjutan dalam menyajikan informasi seputar megathrust. Akibatnya, respon publik terhadap berita tersebut cenderung reaktif seperti pembatalan pemesanan di restoran-restoran sekitar kawasan pantai di Gunungkidul, Yogyakarta.

Tak hanya dibayangi ancaman megathrust, banyaknya titik rawan bencana membuat Indonesia rentan terhadap berbagai bencana alam lainnya seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, dan tsunami. Sebagai negara dengan iklim tropis lembap, Indonesia juga rawan banjir dan tanah longsor.

Sayangnya, pemerintah—sebagai pihak yang paling berwenang—acap gagal menyampaikan komunikasi risiko dengan baik, sehingga membuat pemberitaan mengenai bencana sering kali simpang siur. Bahkan, antarinstitusi pun kerap tidak sejalan. Pada medio 2018 misalnya, polisi sempat hendak memidanakan BMKG dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT) karena informasi mengenai ancaman gempa megathrust yang mereka sampaikan dianggap meresahkan dan merugikan perekonomian lokal.

Dalam situasi seperti ini, Indonesia memerlukan komunikasi risiko yang efektif untuk membangun kesadaran dan kesiapsiagaan berkelanjutan dengan memadukan pengetahuan ilmiah dengan budaya lokal.

Seperti apa komunikasi risiko yang efektif?

Komunikasi risiko melibatkan pertukaran informasi dan pandangan mengenai risiko serta faktor-faktor terkait.

Dalam penyampaian informasi bencana, membangun kepercayaan masyarakat menjadi elemen kunci. Kepercayaan yang tinggi terhadap sumber informasi dapat meningkatkan efektivitas komunikasi risiko dan memengaruhi respon masyarakat terhadap ancaman bencana. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemerintah seringkali dianggap sebagai sumber informasi risiko yang paling dipercaya.

Komunikasi risiko juga harus fleksibel agar dapat disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan yang ada. Banyak pakar menyebutkan bahwa tidak ada model komunikasi risiko tertentu yang paling mujarab untuk semua krisis. Setiap krisis membutuhkan pendekatan yang sesuai dengan situasi lokalnya.

Bagaimana seharusnya merespon informasi bencana?

Waspada secara terus-menerus terhadap ancaman bencana bisa melelahkan secara psikologis. Sebaliknya, mengabaikan ancaman bisa meningkatkan risiko, berupa melakukan respon yang tidak tepat ketika bencana terjadi.

Bagaimana seharusnya kita merespon informasi bencana?

  1. Membentuk budaya sadar bencana

Masyarakat membutuhkan budaya sadar bencana. Greg Bankoff, ahli sejarah bencana dari Inggris, menyebutnya sebagai ‘cultures of disasters’. Dalam ‘budaya sadar bencana’ ini, ancaman bencana alam telah terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, menciptakan pemahaman kolektif tentang risiko dan respons terhadap bencana.

Budaya sadar bencana akan tercermin dalam kesiapsiagaan warga ketika menghadapi berbagai situasi. Contoh ini dapat dilihat pada masyarakat di lereng Merapi yang sudah terbiasa dengan ancaman erupsi gunung.

Ketika status Gunung Merapi dinaikkan menjadi Siaga (Level III), masyarakat sudah tahu harus berbuat apa. Mereka bisa tetap menjalankan kehidupan sehari-hari dengan normal sambil menyiapkan tas darurat, memahami jalur evakuasi, dan mengikuti informasi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG).

Kebiasaan ini dibentuk melalui edukasi bencana yang panjang sejak pertengahan 1990-an, yakni setelah erupsi Merapi pada 1994. BPPTKG juga telah memulai program Wajib Latih Penanggulangan Bencana (WLPB) untuk masyarakat sejak 2008.

  1. Memadukan pendekatan sains dan nilai lokal

Orang mungkin tidak selalu mengingat ancaman gempa, namun pengetahuan dan ingatan tentangnya selalu ada. Sehingga, ketika mereka menerima peringatan dini gempa atau mengalami gempa, respons yang tepat dapat dilakukan karena pengetahuan dan ingatan tersebut tertanam dalam diri mereka.

Contohnya adalah masyarakat Simeulue di Aceh yang mengenal fenomena smong. Ketika terjadi gempa besar disertai surutnya air laut, mereka akan segera berlari ke bukit untuk menghindari tsunami sambil berteriak bersahut-sahutan, “smong, smong, smong”. Dalam bahasa lokal, smong berarti tsunami.

Pengetahuan lokal ini telah menyelamatkan banyak nyawa pada peristiwa tsunami 2004. Tercatat, hanya lima warga Simeulue yang meninggal. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan ratusan ribu korban di Banda Aceh dan sekitarnya.

Penelitian terbaru kami mengenai fenomena smong menunjukkan bahwa pengetahuan kebencanaan, baik pengetahuan tradisional maupun pengetahuan ilmiah, harus diadaptasi dalam budaya populer atau praktik keseharian agar nilai-nilai tersebut terus melekat dalam budaya itu sendiri.

Setelah tsunami 2004, beberapa seniman Simeulue mengadaptasi kisah tentang smong dalam nandong, nyanyian lokal masyarakat Simeuleu. Pengetahuan lokal ini juga diadaptasi sebagai media edukasi oleh lembaga-lembaga kebencanaan seperti Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), pusat riset, dan organisasi masyarakat sipil yang fokus pada isu kebencanaan.

  1. Memprioritaskan ancaman utama

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, orang cenderung lebih responsif terhadap ancaman yang jelas dan langsung dibandingkan dengan ancaman yang lebih abstrak dan jauh, seperti ancaman gempa megathrust.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, media, lembaga masyarakat sipil, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk menempatkan megathrust sebagai ancaman prioritas dalam mitigasi bencana.

Pendekatan top hazard—metode alternatif yang memfokuskan perencanaan pada bahaya dengan risiko dan dampak tertinggi—dapat membantu mengidentifikasi dan mengelola risiko dengan lebih efektif, dengan fokus pada ancaman yang paling signifikan bagi masyarakat.

Warga adalah subjek aktif

Ancaman megathrust bukanlah mitos, tapi sesuatu yang niscaya terjadi. Gempa megathrust diikuti tsunami raksasa yang paling diingat dalam sejarah modern Indonesia adalah tsunami 2004 yang meluluhlantakkan Aceh dan beberapa daerah sekitarnya.

Selain itu, gempa megathrust juga pernah menerjang beberapa kawasan di Jawa, seperti Banten (1903), Yogyakarta (1937 dan 1943), Banyuwangi (1994), dan Pangandaran (2006).

Meskipun ilmuwan belum bisa memprediksi secara pasti kapan gempa besar ini akan terjadi lagi, kita harus mulai menggerakkan ‘budaya sadar bencana’. Ini adalah agenda kolektif yang perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan terkait seperti pemerintah, akademisi dan peneliti, organisasi masyarakat dan keagaaman, lembaga masyarakat sipil, dan pihak swasta.

Dalam praktiknya, kita juga harus melihat masyarakat sebagai subjek aktif dalam mitigasi bencana yang demokratis. Pemberdayaan masyarakat seharusnya menjadi fokus utama dalam membangun budaya sadar bencana yang kuat dan berkelanjutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 27 September 2024

Muzayin Nazaruddin
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Minat riset meliputi komunikasi bencana dan risiko, komunikasi lingkungan, serta hubungan antara manusia dan lingkungan.

 



Categories
Hukum

Kejahatan Konstitusi

Bagaimana membaca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Batas Usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah? Kita memang kecewa dengan hampir seluruh Putusan MK yang terakhir, mengenai syarat usia calon wakil presiden, mengenai sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden. Tidak hanya kecewa, bahkan publik mengkritik tajam putusan itu, sekaligus mengalamatkan telunjuk jari pada kemandirian dan kapasitas hakim MK.

Namun, semua itu dilakukan tetap dengan kesadaran penuh bahwa Mahkamah Konstitusi adalah the sole interpreter of the constitutionî. Oleh karenanya publik menerima putusan MK sebagai jalan hukum legal yang harus dipilih. Ini adalah prinsip yang kita sepakati bersama saat mendirikan Mahkamah Konstitusi. Di banyak negara, Mahkamah Konstitusi apapun putusannya menjadi akhir dari polemik politik berkepanjangan.

Pada selasa 20 Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi menge- luarkan Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, kedua putusan ini mengatur tentang syarat usia calon kepala daerah dan/atau kepala daerah yang sebelumnya berdasarkan keputusan MA 30 tahun terhitung sejak pelantikan, menjadi terhitung 30 tahun sejak penetapan calon sebagaimana Peraturan KPU sebelumnya, serta tentang syarat ambang batas calon kepala daerah dengan syarat calon perseorangan. Sehari pasca putusan MK, DPR melakukan sidang bersama pemerintah dan menyepakati untuk mengenyampingkan putusan MK dan mengikuti putusan MA, serta menolak menerapkan ketentuan ambang batas sebagaimana ditentukan putusan MK.

Melihat animo yang beredar, kalangan akademisi, aktivis, dan jaringan masyarakat sipil, memberi apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi atas Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Tentu saja, jika dibaca lebih jauh apresiasi yang diberikan bukan terhadap instansi Mahkamah Konstitusi atau hakim MK, namun terhadap nilai keadilan dan kebenaran yang diakui bersama terkandung di dalam putusan. Tidak ada yang berubah dari komposisi hakim MK, artinya kita dapat memahami, dalam hegemoni kekuasaan seperti saat ini, mengeluarkan Putusan a quo bukanlah perkara gampang dan mudah, sudah pasti ada tekanan besar baik dari luar maupun dalam MK sendiri.

Kejahatan Konstitusi

Tulisan ini ingin melihat dinamika yang terjadi dari aspek hukum. Pertama, jika dilihat dari kacamata ilmu perundang-undangan, kedudukan Putusan MK, baik Putusan Nomor 23/P/HUM/2- 024 maupun Putusan Nomor 60/PUU- XXII/2024, sangatlah kuat. Memang ada perdebatan di kalangan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mengenai kedudukan Putusan MK, ada yang mengatakan ia sejajar dengan konstitusi/UUD sehingga berada di atas UUD, ada pula yang mengatakan ia sejajar kedudukannya dengan UU. Terlepas dari perdebatan itu, satu fakta yang diketahui bersama bahwa MK adalah the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution, artinya MK lah satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan UUD dengan Putusannya, lalu membatalkan UU, sehingga sekalipun tidak sejajar dengan UUD, namun Putusan MK setingkat lebih tinggi daripada UU, karena merupakan tafsir langsung atas konstitusi. Karena itu, Putusan MK bersifat final dan binding, artinya tidak dapat diuji lagi dan langsung berlaku pada saat itu juga.

Kedua, dengan demikian, maka secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa penolakan terhadap Putusan MK, bukan saja bermakna pembangkangan terhadap putusan itu sendiri, melainkan pembangkangan terhadap konstitusi. Mengapa demikian, karena Putusan MK sejatinya adalah tafsir konstitusi, atau dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa Putusan MK adalah konstitusi yang hidup. Melampaui terminologi itu, penulis lebih setuju menyebut bahwa sejatinya DPR dan Pemerintah telah melakukan kejahatan konstitusi atau kejahatan terhadap konsti- tusi. DPR dan Pemerintah bukan hanya tidak mau menyelenggarakan Putusan MK, namun dengan kesadaran dan mata telan- jang merancang peraturan yang bertentangan dengan Putusan MK, yang mana putusan itu adalah tafsir konstitusi itu sendiri.

Sayangnya, dalam situasi sulit dan darurat seperti saat ini, tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk me-recall anggota DPR yang telah dipilihnya. Padahal, logika sederhananya, sebagai pemilih orang yang mewakilinya di parlemen, maka rakyat memiliki hak dan dibuatkan mekanisme, jika suatu ketika merasa keinginan wakil tidak lagi sejalan dengan yang diwakilinya, untuk mencabut kembali mandat yang telah diberikan sebelumnya. 

Apa yang dapat dilakukan oleh rakyat hari ini adalah terus mengawal agar Putusan MK sebagai tafsir konstitusi tetap tegak dan dijalankan penyelenggara pemilu, serta terus mengawal berbagai kebijakan pemerintah tetap berada dalam jangkauan kehendak rakyat.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Agustus 2024

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

Categories
Politik Sosial Budaya

Integritas Pejabat Negara

Sudah seharusnya, penegakan etika dapat perhatian lebih serius. Kepercayaan publik tidak dapat dibeli, tetapi diperoleh melalui dedikasi dan komitmen yang konsisten.

“Untuk meneruskan jabatan saya sebagai Menteri Kesehatan, saya harus mendapatkan kepercayaan. Saya berhenti dari pekerjaan menakjubkan ini.” Demikian pernyataan Ingvild Kjerkol, mantan Menteri Kesehatan Norwegia.

Pernyataan disampaikan setelah ia memutuskan mundur dari jabatannya, pertengahan April 2024, menyusul kasus plagiarisme dalam tesis magisternya di Nord University. Seiring mencuatnya skandal ini, sebagaimana dilaporkan Aftenposten, Perdana Menteri Norwegia, Jonas Gahr Store, memutuskan Kjerkol harus mundur. Almamaternya pun membatalkan tesis tersebut dan mencabut gelarnya.

Kepercayaan publik

Kasus ini bukanlah yang pertama di Norwegia. Tiga bulan sebelumnya, pada Januari 2024, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Norwegia Sandra Borch juga memutuskan mengundurkan diri segera setelah pelanggaran yang dilakukannya terungkap.

”Ketika menulis tesis magister saya sekitar 10 tahun lalu, saya membuat kesalahan besar. Saya mengambil teks dari tesis lain tanpa menuliskan sumbernya, dan untuk itu saya memohon maaf,” ungkapnya.

Meskipun Kjerkol tidak langsung mengundurkan diri seperti Borch, keduanya menyadari bahwa kepercayaan publik adalah aset yang tak ternilai bagi seorang pejabat negara. Pelanggaran terhadap integritas akademik bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan juga indikasi dari cacat moral yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap kepemimpinan mereka.

Jika pejabat negara memandang perilaku tidak etis sebagai sesuatu yang lumrah, publik berhak merasa khawatir bahwa amanah yang diberikan dapat diselewengkan kapan saja.

Kasus pelanggaran integritas akademik yang melibatkan pejabat tinggi tak hanya terjadi di Norwegia. Pada 2011, Menteri Pertahanan Jerman Karl- Theodor zu Guttenberg terpaksa mengundurkan diri setelah Bremen University mencabut gelar doktornya karena ia terbukti melakukan plagiarisme dalam disertasinya.

Dua tahun kemudian, pada 2013, kasus serupa kembali terjadi di Jerman. Menteri Pendidikan Annette Schavan memilih mundur setelah ditemukan plagiarisme dalam disertasinya yang telah ditulis lebih dari 30 tahun sebelumnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa pelanggaran akademik, meskipun terjadi di masa lampau, tetap memiliki konsekuensi yang nyata dalam kehidupan profesional.

Di luar Eropa, kasus serupa juga mengguncang Taiwan. Pada 2013, Menteri Pertahanan Taiwan Andrew Yang mengundurkan diri setelah diketahui bahwa artikel yang diterbitkan atas namanya pada 2007, hasil dari plagiarisme.

Dalam konferensi pers, Yang menyatakan, ”Ini adalah kesalahan personal saya, dan saya meminta maaf karenanya.” Yang mundur hanya enam hari setelah menduduki jabatannya, sebuah tindakan yang mencerminkan keseriusan skandal semacam ini dalam lanskap politik di Taiwan.

Kasus-kasus itu memberikan pelajaran berharga bahwa integritas akademik bukanlah sekadar norma yang berlaku di lingkungan akademisi, melainkan ia juga pilar fundamental dalam kepercayaan publik terhadap para pemimpin mereka. Dunia akademik dibangun di atas fondasi kejujuran dan etika; tanpa itu, seluruh sistem akan rapuh.

Pelanggaran terhadap nilai-nilai akademik membawa konsekuensi serius, bukan hanya bagi individu bersangkutan, melainkan juga bagi institusi yang mereka wakili. Gelar akademik yang dicabut bukan hanya hukuman administratif, melainkan juga simbol bahwa pelanggaran semacam ini memiliki dampak jangka panjang terhadap reputasi seseorang.

Keputusan para pejabat negara yang memilih mundur juga menunjukkan bahwa di negara-negara dengan standar etika yang tinggi, tanggung jawab moral diutamakan dibandingkan kepentingan pribadi. Tindakan mereka menjadi preseden penting bahwa kepercayaan publik lebih bernilai daripada mempertahankan jabatan dengan mengorbankan prinsip-prinsip integritas.

Standar etika

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam soal bagaimana standar etika dan akuntabilitas diterapkan di beragam belahan dunia.

Di beberapa negara, pejabat yang terlibat dalam skandal akademik dapat tetap bertahan di posisinya. Dalih yang dibangun: kesalahan itu bagian dari masa lalu dan tak memengaruhi kinerja mereka saat ini. Relasi kuasa antara pejabat negara dan kampus juga menjadikan penegakan etika tak seperti yang seharusnya.

Namun, contoh dari Norwegia, Jerman, dan Taiwan menunjukkan bahwa kepercayaan publik adalah hal yang sakral dan sekaligus rapuh. Karena itu, ia harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Keberanian untuk mengakui kesalahan dan mengambil konsekuensi adalah sikap yang patut diapresiasi. Pilihan ini bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi, melainkan juga sebagai upaya untuk mempertahankan standar integritas dalam pemerintahan dan dunia akademik.

Sudah seharusnya penegakan etika dapat perhatian lebih serius. Kepercayaan publik tidak dapat dibeli, tetapi diperoleh melalui dedikasi dan komitmen yang konsisten terhadap prinsip-prinsip etika. Kasus-kasus itu menjadi pengingat bahwa pelanggaran kecil pun dapat berakibat besar, dan bagi pejabat publik, kehilangan kepercayaan bisa berarti akhir dari karier mereka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 15 April 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Pendidikan

Memudarnya Semangat Universus Kampus

Universitas kian kehilangan semangat universus-nya. Kampus kian terfragmentasi dan eksklusif.

Setiap 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Namun, dalam ingar-bingar seremoni dan slogan, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah universitas-yang semestinya menjadi mercusuar akal dan nurani—masih setia pada jiwanya?

Dari akar bahasanya, universitas berasal dari kata Latin, yaitu universus, yang berarti “menyeluruh” atau “utuh.” Dalam semangat itulah, universitas sejak abad pertengahan dimaknai sebagai rumah besar ilmu pengetahuan: tempat cabang-cabang ilmu saling bertemu dalam semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.

Namun, dalam praktik hari ini, semangat universus di universitas justru memudar. Banyak kampus di Indonesia mengalami fragmentasi kelembagaan, bukan penyatuan. Salah satu gejala ini terlihat dari nama-nama fakultas yang tak hanya menandai bidang keahlian, tapi juga menjadi simbol identitas eksklusif lengkap dengan pagar epistemik yang semakin tinggi. Di Indonesia, fakultas terkesan lebih mirip benteng disipliner ketimbang wadah kolaborasi.

Padahal fakultas semestinya menjadi ruang temu gagasan, tempat ilmu saling bersilang. Namun yang terlihat kini sebaliknya: ilmu dikurung dalam menara eksklusif dan para penjaganya terkecoh, sibuk menjaga ego disiplin.

Pierre Bourdieu dalam Homo Academicus (1984) menyebut hal ini sebagai bentuk illusio: keterpukauan akademikus terhadap permainan simbolik dunia mereka sendiri hingga lupa bahwa ilmu bukan sekadar pengakuan internal, melainkan tanggung jawab eksternal. Ego disiplin membuat kita merasa cukup dengan menjadi ahli, padahal dunia menuntut lebih dari sekadar kepakaran : ia butuh keterlibatan, keberpihakan, dan tindakan nvata untuk mendorong perubahan sosial.

Salah satu wajah ego ini terlihat dari cara kita memandang disiplin lain. Tidak jarang kita mendengar komentar sinis terhadap bidang yang dianggap “tak ilmiah”, “kurang metodologis”, atau “tidak laku di pasar.” Ironisnya, penilaian ini sering datang dari keengganan mempelajari dan memahami disiplin lain.

Akibatnya, ruang kolaborasi menjadi sempit, diskusi antardisiplin terhambat, dan mahasiswa tumbuh dalam lingkungan yang miskin koneksi lintas gagasan. C.P. Snow pernah memperingatkan lewat pidato terkenalnya, The Two Cultures (1959), bahwa jurang antara ilmu alam dan humaniora menciptakan krisis budaya modern karena keduanya berhenti saling berbicara. Apa yang terjadi di kampus hari ini adalah versi baru dari krisis itu dan diperparah oleh keangkuhan keilmuan yang semakin terlembaga.

Situasi semakin parah saat ego ini berpilin dengan logika pasar. Ketika kampus dijalankan seperti pabrik dan program studi dilihat sebagai jalur produksi, nilai-nilai luhur pendidikan tinggi tergantikan oleh retorika efisiensi serta manfaat ekonomi. Banyak program studi merasa cukup hanya karena lulusannya cepat bekerja. Mereka merasa berhasil karena “disiplin” mereka laku di pasar tanpa pernah bertanya: apakah mereka telah mendidik mahasiswanya menjadi manusia yang berpikir? Apakah mereka berhasil mencetak calon pemimpin yang memahami tantangan kemanusiaan dan kebangsaan?

Dalam jeratan logika pasar pula sistem pemeringkatan kampus dunia memperparah fragmentasi ilmu. Dengan menjadikan publikasi dan reputasi keilmuan sebagai tolok ukur utama, khususnya pemeringkatan berbasis rumpun keilmuan, banyak kampus justru memperkuat sekat antardisiplin. Alih-alih mendorong kolaborasi, pemeringkatan ini mendorong persaingan dalam ruang sempit dan memperkokoh menara gading masing-masing.

Lebih ironis lagi, reputasi institusi kini kian bergantung pada publikasi jurnal internasional bereputasi yang aksesnya sering tertutup dan berbayar. Pertanyaannya: berapa persen masyarakat dunia yang punya akses ke jurnal-jurnal tersebut? Siapa pembaca dari pengetahuan “berkelas dunia” ini? Tak berlebihan untuk menduga keras bahwa sebagian besar pembacanya adalah akademikus itu sendiri. Ilmu pun tereduksi menjadi komoditas yang menaikkan gengsi institusi dan karier, tapi abai terhadap problem rakyat di luar pagar kampus.

Sheila Slaughter dan Gary Rhoades dalam Academic Capitalism (2004) menunjukkan bagaimana kampus tunduk pada logika pasar, dari struktur pembiayaan, orientasi riset, hingga cara pandang terhadap mahasiswa. Fenomena ini juga tampak dari semakin menguatnya kecenderungan menjadikan gelar dan reputasi sebagai tujuan semu, yang pada akhirnya merusak makna sejati pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi disempitkan menjadi alat produksi tenaga kerja, bukan ruang refleksi dan pembentukan karakter. Ketika tren ini terjadi bersamaan dengan menguatnya ego disiplin, keangkuhan sektoral menjadi kian tebal dan sulit ditembus.

Konsekuensinya? Kampus semakin terasa asing bagi masyarakat. Mahasiswa kehilangan makna belajar-ia dibentuk menjadi teknokrat yang cakap bekerja, tapi miskin kepekaan dan keberpihakan. Ilmu kehilangan daya hidup sosialnya karena disajikan dalam potongan kaku yang kehilangan konteks.

Bill Readings dalam The University in Ruins (1996) telah membunyikan alarm bahwa universitas telah kehilangan proyek kebudayaannya. Kampus tidak tahu lagi untuk apa ia ada, kecuali sekadar menjadi “excellent”, sebuah istilah abstrak yang kerap justru mengecoh karena excellence kini diukur dari angka-angka administratif, bukan dari dampak sosial.

Pada momen Hari Pendidikan Nasional, kita diingatkan kembali pada pesan Ki Hadjar Dewantara: bahwa pendidikan harus memerdekakan, bukan menyeragamkan. Karena itu, universitas pun harus kembali menjadi ruang merdeka bagi ilmu untuk bertemu, bukan terpecah.

Bagaimanapun, situasi ini bukan akhir segalanya. Masih ada harapan asalkan para akademikus berani bersikap jujur, rendah hati, dan membuka diri. Sudah saatnya kampus membongkar ego disiplin dan mengakui bahwa tak satu pun disiplin cukup untuk memahami dunia yang terus berubah. Kolaborasi bukan ancaman, tapi keniscayaan.

Ronald Barnett dalam Higher Education: A Critical Business (1997) mengajak kita melihat kampus sebagai ruang reflektif dan kritis, bukan sekadar tempat distribusi pengetahuan. Akademikus bukan sekadar pengumpul gelar dan publikasi, tapi juga berperan sebagai penjaga akal sehat publik.

Kita harus kembali ke misi luhur pendidikan tinggi: membentuk manusia yang seutuhnya. Bukan hanya siap kerja, tapi juga siap berpikir. Bukan hanya laku di pasar, tapi juga mampu memperjuangkan nilai. Misi ini hanya mungkin terwujud jika kita bangun dari tidur panjang keangkuhan sektoral dan membuka ruang bagi pertemuan antardisiplin.

Sejumlah universitas di Inggris dan Australia mulai merombak struktur fakultas mereka dari yang terfragmentasi menjadi lintas bidang. Mereka sadar bahwa masa depan pendidikan tinggi tak bisa berdiri di atas menara-menara ego disiplin. Maka, pertanyaannya: apakah kampus-kampus di Indonesia siap meretas jalan dari pagar sektoral menuju ruang interdisiplin?

Jika universitas ingin bermakna, universus harus kembali menjadi jiwanya. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 5 Mei 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Politik

Meredupnya Efek ‘Selebritas Politik’

Puncak Pilkada 2024, yaitu pemungutan telah usai. Kompetisi politik satu orang satu suara ini selalu menunjukkan fenomena sosial politik yang menarik: partisipasi, motivasi memilih, hingga efek penggunaan media konvensional dan media digital dalam membangun citra atau elektabilitas kandidat. Selain prosedur pemungutan suara yang berjalan lancar, ada kejutan yang perlu mendapat perhatian dari sisi komunikasi politik, yaitu, memudarnya efek elektoral dari tingkah polah politisi yang dimediasi oleh media sosial.

Kekalahan ‘Selebriti Politik’
Contoh paling nyata di Pilkada Jakarta. Kekalahan Ridwan Kamil (RK) dalam Pilkada Jakarta 2024, menyusul sebelumnya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo di Pilpres, adalah tanda berakhirnya gaya kampanye politik yang mengandalkan sisi personal (karakter, keluarga, ruang privat) dalam budaya politik kontemporer Indonesia. Kampanye memakai ruang digital (media sosial) dalam bentuk memoles kandidat sebagai selebriti mikro. Sejarah mencatat, taktik personalisasi ini dipelopori dua mantan Presiden: SBY (sebagai penyanyi) dan Jokowi (periksa gorong- gorong rusak). Keduanya kini sudah mantan. Jokowi bahkan mewariskan kemarahan loyalisnya yang merasa tertipu oleh personalisasi sebagai orang baik, yang dikonstruksi secara digital oleh para pendengung.

Para selebritas poitik lainnya: Anies, RK, Ganjar, gagal maju ke pentas kekuasaan di periode 2024-2029. RK dikenal rajin bermedsos atau medsosholic. Ia dan timnya rajin mengolah isu yang ‘remeh temeh’ khas kaum rebahan. Puncak personalisasi politik RK terjadi saat anaknya meninggal di sungai Aare Swiss. Ganjar sejak gubernur hingga Capres aktif mereplika Jokowi sebagai ‘orang kampung’ di medsos yang menyapa kaum pinggiran. Taktik serupa jarang kita temukan pada politisi yang menang Pilkada di Jawa: Pramono, Khafifah, Ahmad Luthfi. Mereka menang karena faktor-faktor lain.

Personalisasi politik (Wheeler, 2014; Kaplan, 2021) adalah praktek political branding, jelas tak orisinal, ada rekayasa selebritisasi oleh tim media digital, dibantu influencer sebagai cheerleader. Praktek ini semarak ketika media sosial menjadi sumber informasi politik utama dan menjadi ruang yang banal. Politisi yang tidak siap dengan program politik cerdas, sekadar ingin populer lewat sentuhan emosi kepada milenial berebut bikin konten romantis dengan istri/suami, memproduksi kata/diksi yang memicu viralitas, dan lain-lain. Konten digital makin keruh, overload, niredukasi politik, menghilangkan substansi. Muaranya ia berubah menjadi gudang sampah digital yang tidak lagi mempunyai efek elektoral.

Secara makro, praktek personalisasi politik tumbuh subur karena struktur dan budaya politik kita yang tidak sehat pada dua sektor. Pertama, partai politik yang lemah, feodalistik,msangat bergantung pada figur Ketua Umum. Modalitas Parpol bukanlah ideologi atau program tetapi figur – figur populer, medioker. Kedua, kuatnya warisan politik massa mengambang. Politik dianggap urusan lima tahunan saja, bukan sehari-hari. Politik urusan di TPS, mendapat sembako, urusan idol, memilih calon populer, bukan rekam jejak prestasi.

Artikel berjudul: social media, electoral politics and political personalization in Indonesia (Masduki, 2024) telah mengulas personalisasi politik dalam sejarah politik digital sejak era SBY hingga Jokowi. Studi ini awalnya berangkat dari semaraknya talk- show yang dihadiri politisi/pejabat negara di televisi yang kini beralih ke podcast di Youtube. Menjadi host atau pengisi talkshow di TV adalah panggung drama para politisi, panggung memoles citra. Lebih dari berpendapat, mereka ‘menjual’ intimitas dengan keluarga sebagai komoditas politik jangka pendek. Target proyek personalisasi atau selebritisasi politik tentu bukan hanya subscribers, followers, tapi electoral voters. Mengikuti logika algoritma digital, panggung digital ini dikemas menjadi hiburan nakal, tujuannya viral, bukan agar publik rasional. Nah, jika kini gaya ini sudah berakhir dan blunder, apakah komunikasi politik digital ke depan akan semakin sehat, kaya konten programatik, bukan slapstick.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 2 Desember 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.