Categories
Politik

Intoleransi Agama Kian Memburuk di Tengah Rezim yang Makin Otoriter

  • Deretan peristiwa intoleransi menjadi sinyal memburuknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
  • Klientelistime antara elite politik lokal dan rakyat memperparah intoleransi di tengah menguatnya otoritarianisme.
  • Cara pandang moderasi agama yang masih didominasi kontrol negara gagal menyelesaikan persoalan intoleransi.

Tepat sebulan setelah terjadinya peristiwa perusakan rumah singgah dan pembubaran acara retret di Cidahu, Jawa Barat pada 27 Juni lalu, insiden serupa kembali terjadi. Kali ini di Padang, Sumatra Barat, pada 27 Juli, terjadi perusakan rumah doa umat Kristen.

Rentetan peristiwa intoleransi ini menjadi pertanda yang mengindikasikan semakin buruknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, terutama dalam hal kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan.

Sejak Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai presiden pada Oktober 2024, telah terjadi sejumlah peristiwa ancaman terhadap kelompok agama dan/atau pemeluk keyakinan minoritas dalam menjalankan praktik keagamaan dan kepercayaan mereka.

Selain kekerasan terhadap komunitas antaragama, kekerasan juga dialami oleh komunitas intra-agama, seperti yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyyah Indonesia yang mendapat ancaman saat hendak mengadakan acara Jalsah Salanah pada akhir tahun lalu.

Dalam Asta Cita-nya, Prabowo berjanji akan “meningkatan toleransi antarumat beragama” sebagai salah satu visi utama dalam pemerintahannya. Namun, pemerintah justru menunjukkan sikap yang bertolak belakang saat merespons masalah intoleransi.

Alih-alih membela korban, Staf Khusus Menteri HAM malah menyatakan dirinya siap menjadi penjamin penangguhan penahanan bagi para tersangka dalam kasus Cidahu.

Lantas, apa yang membuat praktik-praktik intoleran tetap tumbuh subur di tengah rezim yang kian otoriter ini?

Politikus Demokratis, Tapi Intoleran
Akar dari melemahnya komitmen perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di negara ini sebenarnya sudah tampak sejak masa pemerintahan sebelumnya, Joko Widodo.

Beberapa pakar seperti Marcus Mietzner menyebut bahwa politik Indonesia mengalami proses kemunduran demokrasi dan penguatan otoritarianisme yang berdampak langsung pada melemahnya komitmen pemerintah dalam menjamin hak-hak sipil.

Keterkaitan antara otokratisasi dan intoleransi ini digambarkan dalam istilah “productive intolerance” oleh Jeremy Menchik, fenomena di mana intoleransi justru menjadi alat atau mekanisme yang menghasilkan atau mendukung sistem otokratis.

Dalam konteks ini, intoleransi tidak hanya sebagai sikap negatif terhadap perbedaan, tapi berfungsi secara aktif untuk mengonsolidasikan kekuasaan otoriter dengan menekan oposisi atau menindas kelompok lain sembari memperkuat dominasi kelompok tertentu.

Praktik ini semakin dimungkinkan dengan kehadiran “intoleran democrat”, yaitu para politikus yang terpilih melalui proses demokratis namun melanggengkan praktik intoleran.

Dinamika Politik Lokal
Dinamika politik lokal juga sangat berperan dalam merangsang atau menekan tumbuhnya intoleransi.

Indeks Kota Toleran yang dikembangkan oleh SETARA Institute memberikan gambaran yang komprehensif tentang pengaruh dari ekosistem politik lokal terhadap kondisi toleransi di satu wilayah.

Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan oleh SETARA Institute pada Mei 2025, hanya ada 10 kota yang dianggap berhasil menjaga iklim keberagaman. Mereka menerapkan aturan daerah yang mampu mencegah radikalisme, diskriminasi, serta kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Laporan yang sama menyebutkan, alokasi anggaran untuk inisiatif kegiatan sosial lintas iman oleh pemerintah daerah berperan dalam memperkuat ekosistem toleransi di beberapa kota, seperti yang dilakukan di Salatiga dan Semarang.

Sebaliknya, jika elite politik yang didukung kelompok intoleran menang, patronase antara elite politik dan kelompok intoleran cenderung berlanjut. Beberapa daerah yang masuk dalam kategori intoleran adalah beberapa kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Banda Aceh, Lhoksumawe, dan Sabang.

Selain ketiadaan kepemimpinan politik dan inisiatif birokratis dalam memungkinkan kehidupan yang toleran, konsepsi kewarganegaraan di Aceh dibangun atas dasar dorman citizenship, di mana kaum muslim dianggap sebagai warga negara utama yang menjadi tuan rumah di provinsi yang menerapkan syariah; sedangkan yang non-muslim menjadi warganegara kelas kedua, sehingga diskriminasi terhadap minoritas tak terhindarkan.

Klientelisme Politik
Adanya hubungan klientelistik antara elite politik lokal dan rakyat di beberapa daerah, terutama pada masa pemilihan daerah, menyuburkan intoleransi dalam sistem yang makin otoriter.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Tasikmalaya menunjukkan bahwa banyak jemaat Ahmadiyah kesulitan mengakses jasa publik dan perlindungan dari pemerintah karena adanya kontrak politik antara pemimpin daerah dengan tokoh agama anti-Ahmadiyah.

Praktik serupa juga terjadi di Aceh. Klientelisme politik antara elite dan ulama dari dayah (pesantren tradisional) membuka ruang bagi lahirnya praktik intoleransi yang bersifat sektarian seperti fatwa yang membatasi kegiatan keagamaan kelompok Salafi.

Penelitian lain yang menelisik persepsi umat muslim terhadap etnis Tionghoa di Indonesia juga menunjukkan bahwa sikap intoleransi sering dimobilisasi dengan adanya hubungan klientelistik antar religio-political entrepreneur dengan beberapa segmen masyarakat muslim di Indonesia.

Penelitian ini menyebutkan bahwa sikap anti-minoritas merupakan sikap yang melekat di kelompok politik Islamis, yang berpengaruh pada bagaimana masyarakat muslim di Indonesia menyikapi isu pengadilan Basuki Tjahaja Purnama pada 2016.

Moderasi Semu
Moderasi awalnya ditawarkan sebagai narasi untuk menangkal radikalisasi di tengah masyarakat pada awal tahun 2000-an. Saat itu, Indonesia menghadapi serangkaian serangan teror yang digerakkan oleh beberapa individu yang terpengaruh ide-ide radikal.

Ide-ide moderasi keberagamaan kemudian mulai dilembagakan di masa kepresidenan Megawati Sukarnoputri melalui 1st International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada 2004. Namun, pelembagaan ini banyak tersandung hambatan domestik dengan adanya kasus diskriminasi keagamaan yang begitu marak dan pengaruh politik keagamaan yang kuat di Indonesia.

Di era Joko Widodo, moderasi keberagamaan diperkuat dengan pendirian lembaga seperti BPIP dan institusionalisasi praktik moderasi di Kementerian Agama melalui pendirian rumah moderasi.

Akhir-akhir ini, Kementerian Agama di era Prabowo juga menawarkan gagasan Kurikulum Cinta untuk membuat moderasi bisa dipahami tidak hanya sebagai konsep, namun juga sebagai sikap hidup. Jika melihat indikator yang dirilis oleh Pew Research Center pada 2024, Indonesia masih memiliki tingkat Government Restriction Index yang amat tinggi di angka 7,9 dan tingkat Social Hostility Index yang tinggi di angka 4,7.

Memang, jika dibandingkan dengan indeks dari tahun 2007, Indonesia telah mengalami perbaikan dalam kedua indeks dalam isu pembatasan pemerintah dalam KBB serta indeks kekerasan sosial.

Namun, tidak adanya perubahan cara pandang moderasi yang masih berbasis kontrol dominan negara dalam pengelolaan agama tidak akan menyelesaikan persoalan intoleransi.

Menyemai Solidaritas Dari Bawah
Praktik-praktik solidaritas antaragama dan intra-agama dimungkinkan oleh adanya peran kolaboratif antara aktor negara dan masyarakat. Negara perlu hadir sebagai penjamin kebebasan beragama, bukan hanya sebagai tukang ronda yang hanya menindak kasus-kasus pelanggaran kebebasan tersebut ketika terjadi.

Inisiatif bersifat organik, seperti membuka ruang perjumpaan antar komunitas antaragama dan intra-agama, penguatan solidaritas sosial melalui kolaborasi kegiatan, serta pengenalan keberagaman agama sejak dini, dapat membantu memperkuat toleransi dan solidaritas antar warga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 1 Agustus 2025

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Politik

Jangan Sampai Kita Mengikuti Venezuela

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pernahkah Anda mendengar nama Hugo Chavez? Dia adalah pemimpin otoriter Venezuela dari tahun 1999 hingga tahun 2013.

Chavez menjadi otoriter setelah secara demokratis terpilih menjadi pemimpin negara Amerika Latin tersebut. Proses menuju otoritarianisme tersebut melalui beberapa proses: penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, pembungkaman media, dan kejadiannya terjadi secara berangsur-angsur. Kita patut mewaspadai tanda-tanda proses tersebut agar kita bisa mengawal negara kita sendiri untuk tidak kembali pada otoritarianisme.

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, terpilih secara demokratis pada Pemilu tahun 2024. Dalam proses pencalonannya, hukum di Indonesia disesuaikan secara legal untuk melancarkan pencalonan wakilnya, Gibran, anak dari presiden sebelumnya, Joko Widodo.

Masyarakat mengingat bagaimana kasus ini bergulir di MK serta dinamikanya yang cukup mencuri perhatian masyarakat. Salah satunya terkait dengan usia minimum untuk dapat menjadi wakil presiden. Beberapa ahli, seperti Muhammad Tri Adika berpendapat bahwa Gibran menjadi kendaraan Prabowo untuk mendapatkan hati pendukung  Joko Widodo di daerah-daerah di Indonesia. Demokrasi biasanya mati secara perlahan bukan karena kudeta.

Pada tahun 2025, ketika Prabowo dilantik menjadi presiden, dalam politik Tanah Air, kita dapat melihat terlemahkannya toleransi antar aktor politik dan antar masyarakat, serta nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Kabinet gemuk yang dimiliki saat ini menunjukkan bagaimana oposisi hampir-hampir ditiadakan. Partai-partai pendukung Anies kini masuk ke rombongan besar ini. Dan hanya PDIP yang nampak berperan sebagai oposisi di tengah pemerintah.

Meskipun kita dapat mengkritisi kader-kader tindakan PDIP yang sempat tidak mengikuti retret kepala daerah karena kepala daerah adalah petugas rakyat dan bukan hanya petugas partai, kita bisa berargumen bahwa ada indikasi gaslighting yang dilakukan oleh pemerintahan pemegang kuasa dalam hal tersebut.

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, kebijakan juga seharusnya berpihak pada rakyat. Akan tetapi, kejadian ironis di kala seorang ayah di-PHK demi efisiensi dan pajak negara digunakan untuk Program Makan Siang Gratis.

Hal ini mungkin terjadi karena adanya miskoordinasi di dalam badan-badan milik pemerintah. Dalam kesempatan lain, pemerintah, dianggap oleh beberapa kalangan, membungkan kebebasan pelukis dan musisi yang menyuarakan kritik mereka melalui karya seni, seperti lagu “Bayar, bayar, bayar” dan lukisan “Tikus Garuda” yang “diamankan”. Namun, hal ini bisa saja terjadi karena koordinasi dan komunikasi yang kurang lancar. Bagaimanapun itu, kita perlu melihat seperti apa sebenarnya kasus ini bergulir.

Jika kita pantau lebih lanjut dan membandingkan apa yang terjadi di Indonesia dengan apa yang terjadi di Venezuela pada masa awal Hugo Chavez, kita bisa melihat persamaan penafikan aturan demokrasi, penolakan legitimasi lawan, penggunaan kekerasan, dan pengebirian kebebasan sipil.

Kita sedang menyaksikan mahasiswa dianggap “gaduh” dan “mengganggu” ketika sedang berunjuk rasa menolak pemotongan anggaran pendidikan. Kemudian hampir tiadanya oposisi di dalam pemerintahan, represi pada protes menentang Program Makan Siang Gratis oleh orang-orang Papua, serta pembungkaman secara halus akademisi, seniman, dan media melalui cara-cara seperti pengelolaan tambang.

Hal-hal tersebut adalah awal mula dari melemahnya demokrasi di negara ini. Bisa saja ada oknum yang menggunakan kekuasannya untuk memperkeruh suasana. Kita perlu duduk sebentar dan merenunginya, kemudian mempertayakan, apa yang sebenarnya terjadi.

Selanjutnya, institusi-institusi di pemerintahan mulai memperlihatkan perlemahan demokrasi dan kurangnya check and balances antar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di negara ini. Eksekutif dapat mengeluarkan aturan dan program dengan mendapatkan persetujuan dari DPR. DPR kita saat ini sudah didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintah.

Dan peraturan-peraturan kini dapat diubah melalui Mahkamah Konstitusi. Hampir tidak adanya oposisi akan berakibat pada tidak adanya pihak yang mengawasi kinerja pemerintah. Memang, dalam praktiknya, kondisi yang demikian itu akan lebih melancarkan program-program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat jika dijalankan oleh orang-orang yang berintegritas dan berkomitmen untuk pembangunan bangsa. Akan tetapi, dengan minimnya check and balances tersebut, rakyat dapat menjadi pihak yang senantiasa mengawasi pemerintah secara langsung, agar oknum-oknum nakal dapat diminimalisasi.

Ketika aktor pemerintahan tidak bisa lagi mengawasi jalannya pemerintahan, Masyarakat melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial), adalah cara berikutnya untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Sayangnya pada masa ini, algoritma dalam penggunaan media sosial atau elektronik sudah membuat semacam gelembung informasi. Seorang hanya akan mendengar atau menyaksikan informasi sesuai dengan kesukaan dan kebutuhannya saja, bukan informasi yang memang dia perlu untuk ketahui.

Sekarang ini pula, suatu berita tidak akan langsung dapat dikonsumsi atau disaksikan oleh masyarakat. Seorang pasangan yang tinggal dalam satu rumah saja dapat memperoleh narasi yang berbeda atas suatu kejadian berdasarkan algoritma yang mereka terima. Penyebaran informasi menjadi tidak merata.

Dengan kondisi saat ini, kesadaran masyarakat terhadap media yang kredibel mulai tergantikan oleh media sosial. Sehingga, Masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengkritisi sesuatu yang mereka tidak ketahui. Situasi ini membuat pemerintah, tidak perlu bersusah payah membatasi peran media di Masyarakat seperti yang terjadi di Venezuela pada era 2000-an.

Penggunaan buzzer juga menjadi sarana untuk melawan isu yang beredar di masyarakat seperti dalam kasus protes Indonesia Gelap yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Sudah seharusnya, kita menjadi lebih kritis terhadap apa yang pemerintah laksanakan. Dengan demikian, kita bersama dengan pemerintah, dapat membangun Indonesia menjadi negeri yang lebih maju.

Dari kenyataan yang kita hadapi saat ini, kita dapat mulai mewaspadai pihak-pihak yang dapat mengancam keberlangsungan kebebasan dan demokrasi di negara ini. Berkaca pada Hugo Chavez, bibit-bibit penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, dan pengebirian media sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat. Kita harus dapat waspada dan terus mengawasi orang-orang yang berkuasa agar Indonesia dapat tetap maju menjadi bangsa yang menyejahterakan masyarakatnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 3 Maret 2025

Mohamad Rezky Utama
Minat penelitian berfokus pada diplomasi, politik identitas, politik keagamaan, kebijakan luar negeri, Timur Tengah, dan kelompok kepentingan internasional. Bidang keahlian meliputi Politik Timur Tengah serta Aliran Keagamaan dan Politik.