Categories
Pendidikan

Jangan Panggil Saya ‘Prof’: Mengapa Desakralisasi Gelar Profesor Perlu Dilakukan?

Masalah etika dan akademis para dosen untuk mencapai status ‘profesor’ atau ‘guru besar’ belakangan ini menjadi sorotan publik. Perkara-perkara mulai dari kontroversi guru besar muda, Kumba Digdowiseiso, praktik “aji mumpung” kampus untuk mengatrol guru besar, hingga para politikus yang berlomba-lomba mendapatkan gelar profesor, menggerus kredibilitas akademisi berikut kebijakan pemerintah seputar penilaian akademis di mata publik.

Di tengah persoalan tersebut, terbit surat edaran dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, yang meminta agar gelar akademisnya tidak dicantumkan di dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya. Rektor UII hanya mengecualikan edaran “jangan panggil saya Prof” ini untuk dokumen ijazah dan transkrip nilai.

Tradisi menanggalkan penyematan gelar dalam pergaulan akademis memang bukan praktik baru di banyak negara. Namun, di Indonesia, langkah rektor UII dapat kita lihat sebagai sebuah gerakan simbolik untuk membuka diskusi seputar desakralisasi gelar akademis di tengah fenomena inflasi guru besar di tanah air.

Sakralisasi gelar akademis

Di Indonesia, pencapaian gelar akademis maupun atribut lainnya sering terkait dengan motivasi ekonomi terutama kenaikan gaji dan tunjangan. Pencapaian juga menjadi simbol mobilitas vertikal untuk mendapatkan penghormatan dan perlakuan istimewa dalam masyarakat. Akibatnya, banyak orang mengejar gelar tersebut dengan menempuh berbagai siasat.

Ini dibuktikan dengan temuan penelitian yang menempatkan integritas publikasi ilmiah di Indonesia terendah nomor dua di dunia. Dalam hal ketidakjujuran akademis, skor Indonesia hanya 16,7%, di bawah Kazakhstan yang menempati urutan pertama (17%).

Di sisi lain, tradisi pengultusan hierarki profesor sebagai derajat akademis tertinggi semakin menguatkan budaya feodalisme sekaligus peneguh kesenjangan. Alih-alih merujuk pada tanggung jawab keilmuan dan kepakaran, gelar doktor atau profesor kerap secara sengaja disakralkan untuk memperlebar jarak sosial, termasuk di lingkungan kampus.

Penunjukan jabatan seperti kepala pusat studi di kampus, misalnya, sering kali berdasarkan pengutamaan status profesor, bukan berdasarkan kualitas individu dan rekam kinerja riset.

Para pemilik gelar mungkin tidak menyadari ataupun mengakui sakralisasi ini. Namun, tetap saja, masih ada profesor yang tersinggung jika gelarnya tidak ditulis dalam surat undangan ataupun merasa direndahkan jika orang lain memanggil namanya tanpa disertai sapaan “Prof”.

Antara budaya feodal dan iklim akademis yang egaliter
Harus diakui, tradisi akademis terkait panggilan profesor diterapkan secara berbeda di Indonesia atau secara umum di Asia, jika dibandingkan negara Barat.

Ini salah satunya bersumber pada kentalnya budaya paguyuban (gemeinschaft) yang merupakan ciri masyarakat feodal bercorak produksi agraris–pedesaan. Budaya paguyuban berdasar pada hubungan status seperti keluarga, tradisi, dan adat yang menempatkan kendali dan hormat kepada para senior atau mereka yang dianggap dituakan.

Namun, iklim akademis dan budaya intelektual di perguruan tinggi semestinya bersifat egaliter dan kolegial. Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada tahun 1833 memperkenalkan pendekatan andragogi yang kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat (AS), Malcolm Knowles. Andragogi adalah proses pelibatan peserta didik dewasa ke dalam pengalaman belajar dengan model interaksi egaliter antara mahasiswa dengan dosennya sebagai sesama orang dewasa.

Artinya, berdasarkan pendekatan andragogi, lembaga pendidikan tinggi diharapkan terus melahirkan para ahli dengan cara bertukar pikiran secara proporsional, asertif, kritis, dialogis, dan kolegial. Pelaksanaan cara ini pun harus berlandaskan sikap saling menghargai serta menghormati tata nilai dan budaya akademis yang berlaku universal.

Bentuk pengultusan seperti rasa segan dan hormat yang berlebihan, jika hanya didasarkan pada superioritas gelar, bukan pada kapasitas keilmuan dan rekam jejak akademis, akan menghambat perkembangan iklim akademis dan budaya intelektual yang sehat di kampus.

Upaya desakralisasi
Sebelum Rektor UII, banyak tokoh dan akademisi di tanah air yang juga menerapkan praktik sapaan egaliter. Mendiang Ahmad Syafii Maarif, misalnya, jarang menuliskan gelar akademisnya. Meski telah didapuk sebagai “tokoh bangsa” dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia lebih nyaman dipanggil “Buya” daripada gelar berderet “Prof. K.H. Ahmad Syafii Maarif, M.A, Ph.D”.

Contoh lain akademisi asal Indonesia yang konsisten menolak dipanggil “Prof” adalah sosiolog Ariel Heryanto. Ia selalu mengatakan, “Panggil saja saya Ariel,” kepada orang-orang yang memanggilnya dengan sapaan “Prof Ariel”.

Belakangan, beberapa instansi terkait pendidikan dan riset di Indonesia seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga tidak lagi menuliskan gelar akademis dalam standar pengesahan dokumen-dokumen resmi.

Lebih dari sekadar panggilan
Akar masalah integritas akademis di Indonesia bukanlah terbatas pada perlu-tidaknya panggilan-penulisan, desakralisasi, atau sebaliknya pemurnian gelar “profesor”.

Kejujuran, kedisiplinan, etika, dan integritas akademis perlu segera ditegakkan oleh semua pihak, lebih dari sekadar perlu atau tidaknya atribusi bagi seorang profesor.

Banyak persoalan integritas akademis dalam proses pengajuan guru besar yang juga perlu disorot. Sebut saja kelayakan dan riwayat integritas akademis individu pengaju jabatan guru besar, independensi asesor administratif dan substantif, impunitas (pembebasan dari hukuman) terhadap pelaku perjokian dan praktik predatory karya ilmiah, dan normalisasi plagiarisme. Kita juga perlu mengawasi kurangnya transparansi, kecepatan merespons dan menangani kasus, serta ketegasan penegakan aturan disiplin etika akademis oleh institusi pengelola yaitu pihak kampus dan Kemendikbudristek.

Gerakan moral desakralisasi gelar profesor ini telah diinisiasi oleh Rektor UII, dan ternyata berhasil menarik perhatian publik lebih luas. Oleh karena itu, mengapa tidak kita dukung sebagai momentum untuk berbenah?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2024

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.

Categories
Hukum

Mengidulfitrikan Penegakan Hukum

Agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.

Ungkapan ”mengidulfitrikan penegakan hukum” dimaksudkan untuk menyatakan ”menyucikan penegakan hukum agar bisa meraih kembali sukmanya”. Artinya, kembali ke fitrah dan filosofi, mengapa manusia berhukum.

Sampai hari ini, kita masih berada di bulan Syawal 1445 H, berada pada suasana Lebaran, menyusul hari raya Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 10 April 2024. Di mana-mana masih banyak diadakan acara syawalan, Lebaran, atau halalbihalal yang di dalam ritualnya selalu ada ucapan ”Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin”.

Salah satu makna ungkapan selamat Idul Fitri adalah doa dan syukur atas keadaan kita sebagai manusia yang kembali menjadi suci, kembali ke asal penciptaan, bersih dari dosa dan segala keburukan. Bagi orang Islam, anugerah kembali suci itu didapatkan seusai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.

Banyak public common sense dilanggar dan banyak ekspresi perasaan publik bahwa sekarang ini hukum bisa dibeli.

Idul Fitri, asal mula kejadian

Baik menurut Al Quran maupun menurut hadis Nabi Muhammad, asal kejadian manusia adalah makhluk bertauhid (beriman) dan lahir dalam keadaan suci (fitrah), tanpa noda.

Adalah perjalanan hidup yang banyak godaan yang kemudian membawa manusia melakukan perbuatan buruk dan banyak dosa yang menodai kesucian asal penciptaan-Nya. Nah, dengan melakukan ibadah puasa Ramadhan secara sungguh-sungguh, manusia menjadi suci kembali (aid al fithr), bersih dari dosa-dosa masa lalunya.

Di Indonesia, keadaan kembalinya manusia ke kesucian diri (aid al fithr) menimbulkan tradisi Islam yang sangat baik, yakni saling meminta dan memberi maaf dengan ritual pada bulan Syawal agar kesucian dan kebersihan diri itu menjadi sempurna. Dasarnya, dosa kepada sesama manusia tak menjadi bersih sebelum dimintakan maaf kepada yang bersangkutan.

Halalbihalal, Lebaran, dan syawalan dikategorikan sebagai tradisi Islam di Indonesia—dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara—karena menurut sumber primer Islam tidak ada ajaran tentang ritual halalbihalal atau syawalan. Menurut Al Quran dan sunah Nabi, saling bermaafan tidak harus menunggu bulan Syawal, tetapi perlu dilakukan sesegera kesalahan terhadap orang lain dilakukan.

Tradisi syawalan jika dikaitkan dengan kaidah usul fikih, Al ’adah al muhakkamah, bahwa suatu tradisi (adat) bisa bernilai hukum, maka ritual tersebut termasuk tradisi Islam yang baik, bernilai hukum sunah, dan berpahala jika dilakukan. Tradisi ini telah membuat ritual indah untuk saling memaafkan di momen tertentu selain yang bisa dilakukan setiap waktu.

Fitrah dan sukma hukum

Jika fitrah diartikan sebagai asal kejadian atau kesucian manusia, hukum pun mempunyai fitrah dan ruh atau sukmanya. Ruh hukum adalah nilai-nilai yang bersumber dari akhlak, moral, dan etika yang kemudian sering disebut juga sebagai sukma hukum.

Di awal-awal memulai kuliah mahasiswa fakultas hukum diajari dalil bahwa hukum adalah aturan hidup bersama yang ditetapkan secara resmi (disepakati) oleh lembaga yang berwenang yang pelaksanaannya bisa dipaksakan oleh aparat dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya. Norma-norma di dalam masyarakat yang bersumber dari akhlak, moral, dan etika biasanya dikelompokkan menjadi empat norma, yakni norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.

Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah penegakan hukum yang telah terlepas dari sukmanya, menyimpang dari tuntutan agama, moral, dan etika.

Norma hukum adalah norma yang digradasikan ke atas dari nilai-nilai ketiga norma lainnya melalui penetapan secara resmi oleh lembaga yang berwenang. Ketiga norma yang belum ditetapkan sebagai norma hukum itu tetap berlaku sebagai sumber nilai hukum dan aturan perilaku di dalam masyarakat.

Ada dua hal penting dari penjelasan singkat itu. Pertama, di dalam masyarakat ada banyak norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku yang bersumber dari agama, moral, dan etika.

Kedua, hukum adalah salah satu norma yang diberlakukan secara resmi dari nilai-nilai agama, moral, dan etika sehingga hukum dinyatakan sebagai perkembangan gradual dari berbagai norma yang ada. Karena peresmiannya itulah, maka norma hukum menjadi mengikat dan bisa dipaksakan dengan adanya ancaman sanksi.

Dengan demikian, nilai-nilai norma selain hukum, yaitu agama, moral, dan etika, yang belum diresmikan menjadi hukum, tetap mengikat sebagai pedoman nilai-nilai dan perilaku yang menjadi sukma atau ruh hukum.

Selain perbedaan gradual bahwa hukum adalah semua norma dalam masyarakat yang diberlakukan secara (dilegalkan, dihukumkan), maka penegakan dan sanksinya pun berbeda dari norma-norma yang lain.

Penegakan hukum dilakukan dengan sanksi heteronom (dipaksakan oleh kekuatan aparat negara) dalam bentuk perampasan kemerdekaan dan atau benda-benda tertentu. Sementara, norma-norma selain hukum keberlakuannya bertumpu pada penghayatan dan kesadaran kolektif yang sanksinya berupa sanksi otonom.

Berbeda dengan sanksi heteronom, sanksi otonom muncul dari kesadaran dan gedoran hati nurani yang menimbulkan rasa menyesal, malu, gelisah karena merasa berdosa, cemas kalau pelanggaran atas agama, moral, dan etika nantinya berakibat buruk dan menyebabkan musibah bagi keluarganya karena dosa atau karma, merasa tidak aman dan hidup tertekan karena takut ketahuan, dan diisolasi atau dijauhi masyarakat dan familinya.

Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum.

Kembali ke sukma hukum

Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah penegakan hukum yang telah terlepas dari sukmanya, menyimpang dari tuntutan agama, moral, dan etika.

Kolusi antara penjahat dan pejabat banyak terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam dan penggunaan anggaran negara yang tidak bisa diselesaikan karena hukumnya ditumpulkan.

Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum. Kita tak kaget lagi mendengar berita banyaknya pejabat, hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang diadili dan dijebloskan ke penjara. Sekarang ini banyak hukum dipandang hanya sebagai bunyi undang-undang (UU) yang produknya jauh dari sukma hukum, yaitu keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran sebagai sukma hukum.

Banyak orang tidak takut melanggar moral dan etika dengan alasan tidak melanggar aturan hukum yang resmi, sementara para penegak hukum sering hanya menggunakan teks undang-undang tanpa mau masuk ke sukma yang ada di balik teks, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran. Banyak public common sense dilanggar dan banyak ekspresi perasaan publik bahwa sekarang ini hukum bisa dibeli.

Makanya, agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran, demi kesejahteraan rakyat. Salah satu kunci untuk itu adalah leadership.

Kepemimpinan harus berjiwa merah dan putih. Merah artinya berani dan tegas tanpa pandang bulu. Putih artinya jujur, bersih, dan bijaksana. Tak cukup hanya merah, tak cukup hanya putih. Yang diperlukan adalah keduanya: merah dan putih.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 29 April 2024

Moh Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)