Categories
Politik

Jangan Sampai Kita Mengikuti Venezuela

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pernahkah Anda mendengar nama Hugo Chavez? Dia adalah pemimpin otoriter Venezuela dari tahun 1999 hingga tahun 2013.

Chavez menjadi otoriter setelah secara demokratis terpilih menjadi pemimpin negara Amerika Latin tersebut. Proses menuju otoritarianisme tersebut melalui beberapa proses: penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, pembungkaman media, dan kejadiannya terjadi secara berangsur-angsur. Kita patut mewaspadai tanda-tanda proses tersebut agar kita bisa mengawal negara kita sendiri untuk tidak kembali pada otoritarianisme.

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, terpilih secara demokratis pada Pemilu tahun 2024. Dalam proses pencalonannya, hukum di Indonesia disesuaikan secara legal untuk melancarkan pencalonan wakilnya, Gibran, anak dari presiden sebelumnya, Joko Widodo.

Masyarakat mengingat bagaimana kasus ini bergulir di MK serta dinamikanya yang cukup mencuri perhatian masyarakat. Salah satunya terkait dengan usia minimum untuk dapat menjadi wakil presiden. Beberapa ahli, seperti Muhammad Tri Adika berpendapat bahwa Gibran menjadi kendaraan Prabowo untuk mendapatkan hati pendukung  Joko Widodo di daerah-daerah di Indonesia. Demokrasi biasanya mati secara perlahan bukan karena kudeta.

Pada tahun 2025, ketika Prabowo dilantik menjadi presiden, dalam politik Tanah Air, kita dapat melihat terlemahkannya toleransi antar aktor politik dan antar masyarakat, serta nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Kabinet gemuk yang dimiliki saat ini menunjukkan bagaimana oposisi hampir-hampir ditiadakan. Partai-partai pendukung Anies kini masuk ke rombongan besar ini. Dan hanya PDIP yang nampak berperan sebagai oposisi di tengah pemerintah.

Meskipun kita dapat mengkritisi kader-kader tindakan PDIP yang sempat tidak mengikuti retret kepala daerah karena kepala daerah adalah petugas rakyat dan bukan hanya petugas partai, kita bisa berargumen bahwa ada indikasi gaslighting yang dilakukan oleh pemerintahan pemegang kuasa dalam hal tersebut.

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, kebijakan juga seharusnya berpihak pada rakyat. Akan tetapi, kejadian ironis di kala seorang ayah di-PHK demi efisiensi dan pajak negara digunakan untuk Program Makan Siang Gratis.

Hal ini mungkin terjadi karena adanya miskoordinasi di dalam badan-badan milik pemerintah. Dalam kesempatan lain, pemerintah, dianggap oleh beberapa kalangan, membungkan kebebasan pelukis dan musisi yang menyuarakan kritik mereka melalui karya seni, seperti lagu “Bayar, bayar, bayar” dan lukisan “Tikus Garuda” yang “diamankan”. Namun, hal ini bisa saja terjadi karena koordinasi dan komunikasi yang kurang lancar. Bagaimanapun itu, kita perlu melihat seperti apa sebenarnya kasus ini bergulir.

Jika kita pantau lebih lanjut dan membandingkan apa yang terjadi di Indonesia dengan apa yang terjadi di Venezuela pada masa awal Hugo Chavez, kita bisa melihat persamaan penafikan aturan demokrasi, penolakan legitimasi lawan, penggunaan kekerasan, dan pengebirian kebebasan sipil.

Kita sedang menyaksikan mahasiswa dianggap “gaduh” dan “mengganggu” ketika sedang berunjuk rasa menolak pemotongan anggaran pendidikan. Kemudian hampir tiadanya oposisi di dalam pemerintahan, represi pada protes menentang Program Makan Siang Gratis oleh orang-orang Papua, serta pembungkaman secara halus akademisi, seniman, dan media melalui cara-cara seperti pengelolaan tambang.

Hal-hal tersebut adalah awal mula dari melemahnya demokrasi di negara ini. Bisa saja ada oknum yang menggunakan kekuasannya untuk memperkeruh suasana. Kita perlu duduk sebentar dan merenunginya, kemudian mempertayakan, apa yang sebenarnya terjadi.

Selanjutnya, institusi-institusi di pemerintahan mulai memperlihatkan perlemahan demokrasi dan kurangnya check and balances antar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di negara ini. Eksekutif dapat mengeluarkan aturan dan program dengan mendapatkan persetujuan dari DPR. DPR kita saat ini sudah didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintah.

Dan peraturan-peraturan kini dapat diubah melalui Mahkamah Konstitusi. Hampir tidak adanya oposisi akan berakibat pada tidak adanya pihak yang mengawasi kinerja pemerintah. Memang, dalam praktiknya, kondisi yang demikian itu akan lebih melancarkan program-program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat jika dijalankan oleh orang-orang yang berintegritas dan berkomitmen untuk pembangunan bangsa. Akan tetapi, dengan minimnya check and balances tersebut, rakyat dapat menjadi pihak yang senantiasa mengawasi pemerintah secara langsung, agar oknum-oknum nakal dapat diminimalisasi.

Ketika aktor pemerintahan tidak bisa lagi mengawasi jalannya pemerintahan, Masyarakat melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial), adalah cara berikutnya untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Sayangnya pada masa ini, algoritma dalam penggunaan media sosial atau elektronik sudah membuat semacam gelembung informasi. Seorang hanya akan mendengar atau menyaksikan informasi sesuai dengan kesukaan dan kebutuhannya saja, bukan informasi yang memang dia perlu untuk ketahui.

Sekarang ini pula, suatu berita tidak akan langsung dapat dikonsumsi atau disaksikan oleh masyarakat. Seorang pasangan yang tinggal dalam satu rumah saja dapat memperoleh narasi yang berbeda atas suatu kejadian berdasarkan algoritma yang mereka terima. Penyebaran informasi menjadi tidak merata.

Dengan kondisi saat ini, kesadaran masyarakat terhadap media yang kredibel mulai tergantikan oleh media sosial. Sehingga, Masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengkritisi sesuatu yang mereka tidak ketahui. Situasi ini membuat pemerintah, tidak perlu bersusah payah membatasi peran media di Masyarakat seperti yang terjadi di Venezuela pada era 2000-an.

Penggunaan buzzer juga menjadi sarana untuk melawan isu yang beredar di masyarakat seperti dalam kasus protes Indonesia Gelap yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Sudah seharusnya, kita menjadi lebih kritis terhadap apa yang pemerintah laksanakan. Dengan demikian, kita bersama dengan pemerintah, dapat membangun Indonesia menjadi negeri yang lebih maju.

Dari kenyataan yang kita hadapi saat ini, kita dapat mulai mewaspadai pihak-pihak yang dapat mengancam keberlangsungan kebebasan dan demokrasi di negara ini. Berkaca pada Hugo Chavez, bibit-bibit penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, dan pengebirian media sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat. Kita harus dapat waspada dan terus mengawasi orang-orang yang berkuasa agar Indonesia dapat tetap maju menjadi bangsa yang menyejahterakan masyarakatnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 3 Maret 2025

Mohamad Rezky Utama
Minat penelitian berfokus pada diplomasi, politik identitas, politik keagamaan, kebijakan luar negeri, Timur Tengah, dan kelompok kepentingan internasional. Bidang keahlian meliputi Politik Timur Tengah serta Aliran Keagamaan dan Politik.

Categories
Politik

Mencari Oposisi

Tanpa kehadiran oposisi di parlemen, fungsi kontrol dan keseimbangan tidak akan berjalan.

Tagar Indonesia gelap dengan simbol garuda kelir hitam menjadi penanda oposisi rakyat terhadap kebijakan pemerintah. Oposisi rakyat, yang diwarnai aksi mahasiswa merupakan elemen penting dalam demokrasi.

Dalam teori dan praktik demokrasi, absennya kelompok oposisi di dapat melemahkan demokrasi. Sistem demokrasi membutuhkan oposisi sebagai alat kontrol dan keseimbangan (check and balance). Menurut Robert A. Dahl, dalam arti yang sempit, oposisi merupakan pendirian yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Dalam sudut pandang yang lebih luas, oposisi tidak hanya dapat dijalankan oleh partai politik, tetapi juga oleh beragam aktor atau pihak di luar parlemen dan luar pemerintah.

Partai oposisi dapat menolak rencana kebijakan, memberikan alternatif kebijakan, menyetujui sebagian kebijakan pemerintah, atau dalam situasi tertentu dapat menyatakan mosi tidak percaya pada pemerintah. Selain itu, partai oposisi juga dapat mendorong transparansi pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Pola dan bentuk oposisi juga beragam.

Paling tidak ada tiga pola oposisi menurut Giovanni Sartori, oposisi konstitusional yang bertanggung jawab, oposisi konstitusional yang tidak bertanggung jawab, dan oposisi yang tidak konstitusional dan tidak bertanggung jawab.

Redupnya Oposisi Politik di Parlemen
Sejak satu dekade terakhir peranan oposisi politik di parlemen Indonesia meredup. Bahkan oposisi tidak meninggalkan jejak dalam masa pemerintahan baru Prabowo. Sejatinya, peranan oposisi ini dimainkan oleh partai politik yang tidak berkuasa. Namun, tawaran kursi di kabinet, kekuatan terbatas partai oposisi, dan mereduksi konflik dengan partai koalisi menjadi beberapa alasan leburnya partai oposisi di parlemen. Dengan kondisi demikian, paling tidak dalam lima tahun ke depan, parlemen hanya akan menjadi forum legitimasi atas kebijakan pemerintah.

Tanpa kehadiran oposisi di parlemen, fungsi kontrol dan keseimbangan tidak akan berjalan. Hal ini karena, tidak ada cabang kekuasaan pemerintahan lain yang menggantikan peranan oposisi. Tidak adanya argumen tandingan terhadap rencana kebijakan pemerintah, memberi dua kesan yang menyesatkan. Tanpa adanya perdebatan panjang di parlemen, mengesankan situasi politik nasional yang stabil. Tanpa adanya partai oposan, menunjukkan pengakuan terhadap kepiawaian pemerintah yang berkuasa dalam merangkul oposisi.

Namun pada kenyataannya, ketiadaan partai oposisi di parlemen justru lebih berisiko menjerumuskan Indonesia dalam praktik demokrasi semu atau kembali pada masa demokrasi terpimpin. Kontrol sempurna parlemen oleh partai koalisi pendukung pemerintah akan berpotensi mengerdilkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Meleburnya partai oposisi dalam partai pendukung pemerintah dapat menutup jalur aspirasi masyarakat yang memiliki pandangan berbeda dengan pemerintah.

Gejala ini bisa dilihat dalam beberapa kebijakan besar pemerintah baru-baru ini. Mulai dari penggemukan kabinet, kebijakan pembukaan satu juta hektar area program food estate di Merauke, program makan bergizi gratis, pemotongan anggaran besar-besaran, dan pembentukan badan investasi baru, Danantara. Dengan absennya oposisi di parlemen, program-program ini nyaris tidak ada tantangan dan melenggang mulus menjadi kebijakan.

Oposisi di luar Pemerintahan
Oposisi di luar pemerintah juga berperan penting dalam menjalankan mesin demokrasi. Peranan ini dapat dimainkan oleh berbagai pihak seperti media massa, kelompok kepentingan atau kelompok penekan, komunitas epiestemik, dan bahkan jaringan akar rumput. Dalam alam demokrasi, berbagai kelompok ini diakui sebagai pilar pendukung dan roda penggerak demokrasi.

Tetapi pergerakan oposisi di luar pemerintahan ini memiliki kelemahan dan risiko tersendiri. Salah satu kelemahannya adalah disparitas kepentingan yang disuarakan. Karena aktor oposisi di luar pemerintah terdiri dari banyak kelompok kepentingan, maka oposisi yang disuarakan sesuai dengan kepentingan kelompok masing-masing. Sehingga signifikansi suara oposisi menjadi bervariasi.

Di samping itu oposisi di luar pemerintahan dapat menuai risiko tekanan dari aparat pemerintah. Argumen oposisi yang biasanya berbentuk kritik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah, terkadang dianggap sebagai pembangkangan sosial, mengganggu, dan berujung kriminalisasi. Hal sederhana seperti ekspresi oposisi melalui seni, menjadi salah satu contoh gusarnya pemerintah. Perlakuan represif dan menekan semacam ini tentunya bertujuan membungkam oposisi yang seharusnya diayomi.

Justru, oposisi oleh kelompok masyarakat sipil harus diberikan ruang, diapresiasi, dan dilindungi. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28E dan Undang-undang Nomor 9 tahun 1998 menjadi landasan hukum yang memberikan hak masyarakat untuk bebas mengemukakan pendapat. Tentunya yang diharapkan adalah gerakan oposisi yang konstitusional dan bertanggung jawab.

Dengan pudarnya peran oposisi di parlemen, gerakan oposisi di masyarakat menjadi alternatif yang perlu diperkuat.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 27 Februari 2025

Irawan Jati
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada  politik Islam, khususnya dinamika politik di Timur Tengah, hukum internasional, kajian ASEAN, dan studi strategis.

Categories
Politik

Peringatan Hatta dan Fakta Hitler

Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.

Menurut Bung Hatta, jika tidak dikelola dengan benar, kedaulatan rakyat bisa menjadi perkakas untuk memakan rakyat. Dengan kata lain, demokrasi bisa membunuh demokrasi.

Bung Hatta berbicara banyak mengenai demokrasi, antara lain, melalui tulisan-tulisannya di majalah Daulat Ra’jat tahun 1931-1933, seperti dimuat dalam jilid 1 buku Karya Lengkap Bung Hatta (LP3ES, 1998).

Ketika Hatta menulis itu, 1931, Hitler di Jerman masih berjuang untuk meraih kekuasaan melalui proses demokrasi, yaitu memimpin partai dan ikut dalam pemilu. Namun, munculnya Hitler menjadi fakta bahwa yang dinyatakan oleh Bung Hatta itu benar.

Rakyat, jantung demokrasi
Waktu itu Hatta masuk dalam polemik tentang demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia. Pemantiknya adalah kecenderungan umum bahwa jika perjuangan untuk meraih kemerdekaan kelak berhasil, Indonesia harus memakai sistem demokrasi.

Banyak yang setuju dengan ide itu, tetapi ada juga yang tidak setuju. Ada yang setuju asalkan memakai demokrasi asli Indonesia, bukan demokrasi Barat.

Hatta mengatakan, demokrasi asli Indonesia yang diteriakkan itu harus ada penjelasannya, jangan hanya kalimat kosong, words, only words. Begitu juga perlu dijelaskan, mengapa dan sejauh mana demokrasi Barat harus kita tolak.

Bung Hatta kemudian menjelaskan tentang itu. Menurut Hatta, demokrasi sejak dulu sudah ada di berbagai belahan dunia, termasuk di masyarakat Indonesia. Esensinya sama, jantung demokrasi adalah rakyat.

Demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan keinginan dan kehendak rakyat. Meskipun begitu, filosofi dan bangunan (strukturisasi) demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia itu berbeda.

Filosofi demokrasi Barat adalah individualisme yang kemudian melahirkan kapitalisme dan liberalisme serta imperialisme di bidang politik dan ekonomi. Sedangkan filosofi demokrasi asli Indonesia adalah kolektivisme yang berwatak kerja sama dan tolong-menolong melalui usaha bersama untuk kemajuan seluruh rakyat.

Demokrasi asli, kata Hatta, sudah sejak berabad-abad hidup di desa-desa di Indonesia. Namun, demokrasi asli sudah melenceng karena dirusak oleh feodalisme (sifat perbudakan) yang dibangun oleh penguasa-penguasa lokal yang kemudian diperparah oleh hadirnya kaum penjajah. Rakyat kemudian mengalami inferiority complex (rendah diri) dan berkubang dalam keterbelakangan.

Oleh karena jantung demokrasi, di mana pun, adalah sama, yakni rakyat, maka demokrasi Barat ataupun demokrasi asli sama-sama bisa dipakai di Indonesia, tetapi tidak diambil mentah-mentah, harus disesuaikan dengan filosofi kerakyatan dan kebutuhan masa depan Indonesia yang adaptif dengan kemajuan zaman.

Demokrasi di Indonesia tetap harus berdasarkan kolektivisme, tetapi kolektivisme baru. Secara politik demokrasi asli berwatak permufakatan yang berangkat dari desa-desa dan diteruskan secara berjonjong-jonjong sampai ke tingkat nasional melalui pembentukan Dewan Rakyat Indonesia, DPR kalau sekarang.

Secara mendasar pula, demokrasi asli mengandung cita-cita bagi rakyat untuk mendapat hak rapat (berkumpul), protes (termasuk menyatakan pendapat), dan tolong-menolong.

Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat.

Dalam bidang perekonomian filsafat kolektivisme Indonesia mengharuskan ekonomi disusun sebagai usaha bersama untuk kepentingan bersama, tidak lagi dengan pembagian cara dan hasil kerja tradisional melainkan harus diperbarui menjadi produksi koperasi. Hatta memberikan substansi makna yang sama untuk istilah demokrasi, kedaulatan rakyat, dan volkssouvereiniteit.

Dua sisi buruk demokrasi
Selanjutnya, Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.

Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat. Bentuknya, banyak keputusan negara yang merampas hak rakyat dan melanggar hak asasi manusia, tetapi dibuat melalui prosedur dan lembaga formal demokrasi.

Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi. Selain itu, Hatta mengingatkan juga kemungkinan runtuhnya demokrasi karena kebebasan yang berlebihan sehingga menimbulkan anarki di dalam masyarakat.

Hatta mencontohkan runtuhnya demokrasi di Perancis yang melahirkan kebebasan yang berlebihan menyusul Revolusi Perancis 1789 yang gemilang itu. Di sana anarki sehingga muncullah penguasa kuat dan otoriter, yakni Napoleon, yang membentuk Politiestaat (negara kekuasaan). Politiestaat ini kemudian menelan kembali demokrasi dengan alasan mengatasi anarki.

Fakta tentang Hitler
Kisah diktator Hitler, penguasa Jerman, dapat disebut sebagai contoh bahwa demokrasi bisa dipergunakan untuk membunuh demokrasi. Hitler adalah pimpinan Partai Nazi, Partai Pekerja Sosialis Nasional Jerman, tepatnya Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), yang pada 1923 dijatuhi hukuman penjara karena pemberontakan.

Setelah keluar dari penjara (1924), Hitler membawa NSDAP mengikuti pemilu sampai beberapa kali dan berhasil mendapat kursi meski tak signifikan. Dengan menggunakan modal politik NSDAP, Hitler merancang kediktatoran- nya lewat proses demokrasi. Mula-mula Hitler mengajak partai-partai untuk meminta Presiden Jerman Paul Von Hindenburg agar mengangkat dirinya menjadi kanselir (perdana menteri).

Meskipun tidak mudah karena semula Presiden Hindenburg menolak, pada 30 Januari 1933 Hitler berhasil diangkat sebagai kanselir.

Selanjutnya, pada 23 Maret 1933, Hitler berhasil memaksa diberlakukannya Undang-Undang Pemberian Kewenangan yang dengan undang-undang itulah Hitler membangun kediktatoran Nazi yang buas dan kejam hingga 1945. Perampasan hak rakyat dan kejahatan kemanusiaan dengan korban ribuan manusia dilakukan oleh Hitler.

Tak ada yang bisa menandingi kekejaman Hitler dalam kediktatorannya sehingga ia dijuluki sebagai penjahat perang terbesar pada Perang Dunia II.

Kediktatoran dan kejahatannya dibangun melalui mekanisme dan lembaga-lembaga demokrasi dengan kolusi dan koersi antaraktor-aktor politik. Itulah contoh, Hitler membunuh demokrasi dengan demokrasi.

Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi.

Seusai Perang Dunia II tahun 1945, kediktatoran Hitler berakhir. Hitler diburu tentara Sekutu dan dikejar-kejar oleh rakyatnya. Sejarah hidupnya berakhir tragis ketika dia dan istrinya berusaha kabur serta bersembunyi melalui sebuah terowongan di Berlin Bunker.

Mayat suami-istri itu tidak ditemukan dan tak ada kuburannya sampai sekarang. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya ditembak oleh anak buahnya sendiri dan mayatnya dibuang setelah dirusak. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya bunuh diri untuk kemudian jenazahnya dibakar sampai jadi abu.

Ada juga yang bilang, Hitler dan istrinya ditangkap oleh tentara Sekutu untuk kemudian dieksekusi di tempat yang dirahasiakan kepada umum.

Peringatan bagi Indonesia
Dalam suasana peringatan hari proklamasi kemerdekaan tahun ini, ada baiknya kita mengingat peringatan Bung Hatta tentang dua sisi bahaya dari demo- krasi itu. Melihat perkembangan dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, banyak hasil kajian yang mengkhawatirkan kelangsungan Indonesia kita.

Masalahnya, korupsi terus merajalela, kejahatan bermunculan, demokrasinya kolutif. Penegakan hukum masih lemah dan diwarnai oleh kolusi, penyuapan, dan berbagai transaksi gelap sampai pada isu saling sandera.

Banyak hasil kajian, korupsi dan berbagai jenis kolusi di Indonesia ditempuh dengan mekanisme formal di lembaga-lembaga demokrasi, yakni kongkalikong antara tokoh-tokoh dan lembaga demokrasi yang melibatkan oknum di lembaga-lembaga penegak hukum.

Bersamaan dengan itu muncul juga gejala anarki yang mengkhawatirkan karena kebebasan yang berlebihan dalam masyarakat.

Untuk Indonesia yang lebih baik dan dalam menuju Indonesia Emas, perlu kita pedomani peringatan Hatta tentang sisi buruk demokrasi yang ditulisnya dengan cemerlang pada 1931, atau 93 tahun lalu, 14 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan kita.

Selamat HUT Kemerdekaan Ke-79 Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2024 dan Hari Konstitusi Republik Indonesia 18 Agustus 2024. Merdeka!

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 20 Agustus 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

 

Categories
Hukum Pilihan Politik

Perlukah TNI Ikut Menjaga Pertandingan Sepak Bola, Konser Musik dan Kegiatan Sipil Lainnya? Bagi Negara Demokrasi, Ini Tidak Lazim

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer.

Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.

Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.

Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.

Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.

Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut
Adanya posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.

Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap “rawan”.

Sementara dalam konser musik, mulai dari pop sampai dangdut, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut berjaga di tengah keramaian.

Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.

Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?

Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’
Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip disertasi Profesor Salim Said, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.

Militer Indonesia lahir selepas Perang Revolusi Nasional 1945-1949 dari gabungan laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.

Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.

Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.

Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “Jalan Tengah” dengan memberikan TNI dua fungsi: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara.

Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.

Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penggunaan alat-alat kekerasan yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.

Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. Tap MPR VI/2000 yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini.

Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.

Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.

Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan UU Polri. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “Sinergitas TNI-Polri”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri.

Gesekan sipil-militer
Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.

Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.

Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.

Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi trained killer.

Prajurit menjadi trained killer bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.

Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Mendamba sebuah perbaikan
Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.

Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi.

Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional.

Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 9 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Politik

Jokowisme, Trumpisme, dan Dinasti Politik: Bagaimana Fenomena Pendangkalan Demokrasi Kian Mendunia

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa maju dalam kontestasi pemilihan presiden kian melebarkan jalan dinasti politik yang diduga tengah dibangun oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Putusan MK akan membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk mengikuti kontestasi pencapresan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Saat ini Gibran tengah menjabat Walikota Solo. Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hal yang kemudian turut memantik kontroversi karena Kaesang hampir nihil pengalaman politik.

Yang menarik adalah PSI memunculkan dan mempopulerkan terminologi Jokowisme, terminologi yang mengagungkan figur tertentu. Metafora semu semacam ini akan turut berperan mendangkalkan praktik demokrasi. Kedaulatan rakyat kini menjadi arena pertaruhan sekelompok elit politik demi mempertahankan maupun merebut kekuasaan.

Namun, pada kenyataannya, pendangkalan demokrasi semacam ini telah menjadi tren global yang terjadi di negara-negara pelopor demokrasi seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Ini menunjukkan bahwa ternyata praktik demokrasi di dunia tengah menghadapi tantangan yang makin meningkat, yang membuat kita mempertanyakan kembali definisi demokrasi itu sendiri.

Jokowisme dan dinasti politik di Indonesia

PSI mengklaim istilah Jokowisme sebagai metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat serta memiliki paham progresivitas pembangunan negara yang berkeadilan dan berdaulat. Penjelasan ini kemudian memunculkan anggapan bahwa Jokowisme telah melampaui sekat ideologi.

Ini sekilas memberi angin sejuk bagi platform (prinsip atau kebijakan yang didukung) pergerakan partai politik di Indonesia yang kebanyakan saat ini susah dibedakan–hampir semuanya menganut platform nasionalis religius, atau sebaliknya, religius nasionalis.

PSI dan para loyalisnya menjustifikasi bahwa mereka yang mengkritik maupun menolak Jokowisme telah gagal memahami cara kerja kekuasaan. Padahal, metafora Jokowisme itu sulit dipisahkan dari kesan proses pembentukan dinasti politik bagi anak-anak Jokowi.

Dengan kata lain, secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa cara kerja kekuasaan dalam metafora Jokowisme sendiri ternyata tidak berbasis sistem meritokrasi yang mendasarkan pada kapabilitas, melainkan tidak lebih dari sekadar fanatisme terhadap tokoh tertentu. Dan ini akan sangat mendorong terbangunnya dinasti politik.

Di Indonesia fenomena dinasti politik memang tidak hanya dilakukan oleh keluarga Jokowi. Di tingkat nasional, dengan skala yang berbeda, beberapa yang masih terlihat di antaranya adalah Puan Maharani (keluarga Megawati Soekarnoputri), Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono (keluarga Susilo Bambang Yudhoyono), dan mungkin belakangan muncul Yenny Wahid (keluarga Abdurrahman Wahid).

Trumpisme dan ancaman terhadap demokrasi AS

Pendangkalan demokrasi melalui terminologi semu juga menjalar di AS. Polarisasi antara dua partai besar di AS–Partai Republik dan Partai Demokrat–terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ada istilah Trumpisme yang muncul ketika mantan Presiden AS Donald Trump maju sebagai kandidat presiden dari Partai Republik dalam Pemilu Presiden AS 2016.

Trumpisme kemudian kerap digunakan untuk menyebut arah kebijakan dan sikap Trump terhadap berbagai kebijakan, baik domestik maupun luar negeri, serta gerakan yang mendukung atau sejalan dengan pandangan Trump. Sejumlah pengamat politik AS menyebut Trump sebagai presiden yang mempromosikan autokrasi yang akan mengancam demokrasi AS.

Peter J. Katzenstein, profesor politik dari Cornell University, mendefinisikan bahwa Trumpisme terdiri dari tiga pilar yaitu etnonasionalisme, agama, dan ras. Etnonasionalisme berfokus pada loyalitas kaum kulit putih AS. Sementara, pilar agama berpusat pada kelompok Kristen sayap kanan dan isu ras meminggirkan kelompok kulit hitam, hispanik, Muslim, dan kelompok minoritas lain.

Politik yang Trump lakukan lebih berfokus kepada dirinya sendiri sebagai tokoh. Ketika kalah dalam Pemilu AS 2020, Trump memprovokasi pendukungnya hingga menciptakan kerusuhan di Gedung Capitol, bahkan sempat melontarkan wacana untuk membuat partai baru.

Arah politik yang dibawa Trump tidak selalu mewakili ideologi partai yang mendukungnya. Bahkan muncul gerakan Never Trump oleh tokoh-tokoh Partai Republik yang lebih moderat karena mereka tidak mendukung kebijakan Trump.

Menjelang Pemilu AS 2024, narasi Trumpisme masih kembali muncul dalam debat kandidat presiden Partai Republik, padahal Trump sendiri sedang berkutat dengan berbagai dakwaan hukum.

Bagaimanapun, sistem demokrasi AS yang telah dibangun berdasarkan meritokrasi sejak abad ke-18 mampu bertahan meski sempat menghadapi berbagai ancaman. Peran dan pembagian kekuasaan yang dimiliki kongres serta pemerintah negara bagian, independensi lembaga yudikatif, serta kebebasan pers menjadi pengawal dan penjamin utama berjalannya sistem demokrasi di AS.

Referendum dan prospek demokrasi Australia

Tren pendangkalan demokrasi menjadi tantangan bagi Australia sejak satu dekade terakhir. Terbaru, hasil referendum Australia yang dilaksanakan 14 Oktober 2023 menunjukkan bahwa 60,6% rakyat Australia menolak usulan untuk mengubah konstitusi agar mengakui penduduk asli (Aborigin dan Pribumi Selat Torres). Padahal, penyelenggaraan referendum ini sendiri awalnya merupakan indikasi demokrasi Australia yang kian progresif.

Sekilas, hasil referendum ini menunjukkan kedaulatan rakyat karena adanya proses pemungutan suara yang demokratis. Namun, dalam konteks praktik demokrasi, ini mencerminkan kebangkitan tren demokrasi reaksioner.

Demokrasi reaksioner adalah gambaran kebangkitan rasisme dan populisme yang sekilas tampak sebagai cerminan tuntuan masyarakat, meski sebenarnya kebangkitan tersebut adalah hasil manipulasi yang dilakukan secara sadar oleh elit untuk mendorong kemunculan ide-ide reaksioner.

Dari definisi tersebut, boleh jadi, antiklimaks hasil referendum Australia ini muncul akibat ide-ide reaksioner yang menggagalkan dukungan pengakuan penduduk asli.

Pemimpin oposisi, Peter Dutton dan politikus populis Pauline Hanson menjadi yang terdepan dalam menolak pengakuan penduduk asli dalam konstitusi.

Menurut Hanson, dukungan terhadap perubahan konstitusi hanya akan menambah kekuasaan yang dimiliki oleh penduduk asli. Pandangan ini dinilai rasis dan kian menguatkan istilah Hansonism yang dilekatkan padanya sebagai metafora antiglobalisasi. Hanson juga dikenal sebagai politikus demagog–yang menarik dukungan dengan memanfaatkan isu populer, bukan dengan menggunakan argumen rasional.

Selain antiklimaks hasil referendum, ancaman pendangkalan demokrasi Australia juga sempat marak dengan terjadinya instabilitas politik dalam pemerintahan federal, seperti pergantian perdana menteri yang sengaja dirancang oleh kolega kabinet sendiri, menyimpangi hasil pemilu.

Ujian demokrasi reaksioner: dinasti dan demagogi

Tren politik dunia yang tengah menghadapi ancaman pendangkalan demokrasi memberikan tanda bahwa perjuangan negara merawat demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia.

Meski Indonesia, Australia, dan AS menghadapi konteks masalah berbeda dalam melawan erosi demokrasi, ketiganya tampak menghadapi ujian yang sama: demokrasi reaksioner yang ditunjukkan dari praktik politik demagogi dan politik dinasti.

Di Australia dan AS, ujian ini lebih terlihat dari pergerakan demagog yang menyebarkan isu-isu reaksioner seperti etnonasionalisme, agama, dan ras. Isu ini dijadikan komoditas politik demi mendulang popularitas dan merebut kekuasaan. Untungnya, kejelasan peran oposisi dalam badan legislatif pada kedua negara tersebut sedikit banyak menangkal kampanye demagogi yang kian memprihatinkan.

Di Indonesia, tidak mudah mengidentifikasi politik demagogi. Di atas permukaan, lebih banyak muncul fenomena dinasti politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dengan sokongan fanatisme dari para pendukung yang mengidolakan patron.

Demagog dari luar terlihat sebagi seorang yang seolah memperjuangkan rakyat, padahal semua itu sekadar hasutan yang dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Jika demagog sering diidentikan sebagai suara oposan yang menebar ketakutan demi meraih kekuasaan, hal ini sulit ditemukan di Indonesia.

Pada beberapa hal, ketiadaan oposisi formal dalam sistem pemerintahan Indonesia berpotensi membuka kemungkinan politik demagogi justru dapat muncul dari pucuk penguasa.

Demi keberlangsungan nilai-nilai demokrasi di Indonesia, sikap Jokowi yang selama ini tidak netral dalam kontestasi pemilihan presiden 2024, jika memang harus diteruskan, perlu disajikan dengan pendekatan yang lebih bermartabat guna menghindari kemungkinan kebangkitan politik demagogi dari penguasa.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.