Categories
Sosial Budaya Trending

Riset: Jurnalis Perempuan Masih Menjadi Target Rentan Kekerasan

Berdasarkan survei berskala nasional itu, sebanyak 85,7% dari 1.256 jurnalis perempuan dari seluruh Indonesia yang menjadi responden pernah mengalami berbagai tindakan kekerasan. Sebanyak 753 jurnalis perempuan (70,1%) mengaku mengalami kekerasan, baik di ranah fisik maupun digital. Dari pengakuan responden yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 179 jurnalis (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka.

Data terbaru dari hasil riset kolaboratif antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada tahun 2022 juga menunjukkan fakta serupa. Riset tersebut mengungkapkan 82,6% dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang menjadi responden penelitian tersebut menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual.

Kedua temuan ini menjadi sinyal bahaya sekaligus ironi.

Bahaya karena menguatkan fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan masih mengancam, terus terjadi, bahkan semakin meningkat di sekitar kita, tanpa memandang profesi, termasuk dengan adanya jenis kekerasan gender berbasis online (KGBO), yakni ketidakadilan dan diskriminasi gender yang terjadi di ruang online, seperti pelecehan, intimidasi, penguntitan, penyadapan, dan pornografi yang tidak diminta.

Ironis karena kekerasan ini justru banyak dialami oleh jurnalis perempuan, kelompok yang secara sosial dan politik dapat dikategorikan lebih berdaya karena profesi dan pengetahuannya dibanding perempuan Indonesia pada umumnya.

Berawal dari ruang redaksi

Meskipun di era sekarang jumlah jurnalis perempuan terus meningkat, daya tawar sosial politik para jurnalis perempuan di tempat kerja masih terbatas. Kultur maskulin yang mengidentikkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan laki-laki lebih mendominasi ruang-ruang diskusi.

Isu-isu yang diangkat dan ditulis perempuan banyak diklasifikasi media sebagai isu yang dianggap ringan dan aman bagi perempuan, seperti gaya hidup, fesyen, dan kehidupan domestik. Eksistensi jurnalis perempuan yang menempati posisi struktural media dan aktif membahas isu-isu penting, seperti politik, ekonomi, dan hukum belum menjadi tren umum bagi media-media arus utama di Indonesia.

Penelitian PR2Media tahun 2021 juga menemukan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah rekan kerja (20,9%) dan atasan (6,9%).

Data ini memunculkan tanda tanya tentang apa yang telah dilakukan oleh organisasi media tempat jurnalis bekerja ketika menghadapi situasi tersebut. Lebih jauh ketika organisasi media tidak mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis mereka sendiri, ke mana penyintas kekerasan mengadukan kasusnya untuk mencari pertolongan dan keadilan?

Di sinilah perlunya menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan. Ruang aman yang mengedepankan budaya tanpa kekerasan, mulai dari individu jurnalis, organisasi atau perusahaan media, asosiasi jurnalis, dan regulator media.

Dilihat dari angka statistik AJI tahun 2012, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia dibanding jurnalis laki-laki hanya sekitar 1:4 (25%). Data lain dari Angela Romano, akademisi Australia yang meneliti perkembangan pers Indonesia dalam transisi politik 1998, merinci variasi data persentase jurnalis perempuan di Indonesia antara tahun 1973-2001 yang meningkat dari 2% hingga 30% dari total jurnalis.

Sayangnya, jumlah jurnalis perempuan yang meningkat tidak otomatis mengindikasikan rendahnya budaya kekerasan terhadap perempuan yang bekerja dalam media.

Fenomena ini disebut sebagai ‘glass ceiling’ atau ‘langit-langit kaca’, yang menggambarkan pengalaman perempuan yang bekerja pada mayoritas organisasi media di dunia.

Langit-langit kaca adalah istilah yang menggambarkan situasi meskipun perempuan mulai banyak berpartisipasi di media, lebih sedikit perempuan yang memegang posisi kunci, berkontribusi nyata dalam proses pengambilan keputusan besar, atau mampu naik ke posisi yang lebih tinggi, lebih kuat, dan menguntungkan selama karier mereka di media.

Kondisi ‘glass ceiling’ ini berpotensi melanggengkan kekerasan karena kebijakan atau keputusan tentang jurnalis perempuan akhirnya diselesaikan dari kacamata ‘boys club’, istilah yang merujuk pada dominasi laki-laki yang menduduki posisi-posisi puncak dalam manajemen media.

Perlunya regulasi yang mampu melindungi jurnalis perempuan

Selain mengikuti dan menindaklanjuti konvensi global dan lokal pada organisasi media secara nyata, Dewan Pers bersama asosiasi-asosiasi jurnalis dan organisasi media perlu segera mendorong dan menyusun regulasi serta kebijakan yang dapat melindungi dan mencegah kekerasan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan.

Selama ini belum ada regulasi khusus dan peraturan standar tentang pencegahan, perlindungan, dan penanganan kasus kekerasan untuk jurnalis perempuan di Indonesia. Peraturan Dewan Pers Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, misalnya, masih bersifat umum dan normatif.

Dukungan dan kehadiran semua pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem antikekerasan terhadap jurnalis perempuan diperlukan di semua lini. Langkah Dewan Pers menyelaraskan visi manajemen dan pemilik media untuk melindungi jurnalis perempuan menjadi keniscayaan. Dewan Pers diperlukan sebagai otoritas lembaga yang lebih tinggi dalam mengatur kehidupan pers di Indonesia.

Aturan yang melarang adanya kekerasan di media ini tidak hanya berkaitan dengan konten-konten media, tapi menyasar kebijakan struktural dalam organisasi sehingga mampu memberi payung hukum dan sanksi yang tegas bagi pengelola media.

Langkah konkret selanjutnya, media perlu menyusun aturan turunan yang detail, bisa berupa protokol, peraturan perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tentang perlindungan jurnalis, khususnya terhadap jurnalis perempuan, termasuk kekerasan seksual sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Keberadaan aturan ini akan memberikan jaminan kepada korban untuk berani melaporkan kasusnya, tanpa ancaman pemecatan atau konflik ketenagakerjaan lain yang merugikan.

Dengan adanya jaminan regulasi, jurnalis memiliki ruang yang leluasa untuk mewujudkan sistem pendukung berbentuk serikat, asosiasi, dan gugus tugas yang berorientasi pada perlindungan jurnalis perempuan. Ini tentunya disertai dengan beragam pelatihan yang berkelanjutan, termasuk memberi materi baru tentang perlindungan keamanan digital dan pemahaman KGBO bagi jurnalis.

Menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan

PR2media membuat modul Mencegah dan Mengatasi Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan dan mendefinisikan ruang aman untuk jurnalis perempuan sebagai kesadaran, sistem dukungan, dan ketersediaan infrastruktur yang menjamin keamanan mereka dari berbagai tindak kekerasan.

Ruang aman untuk jurnalis perempuan diawali dengan pengarusutamaan kesetaraan gender dan budaya antikekerasan di ruang redaksi dan perusahaan media secara umum. Ini dapat mencegah normalisasi adanya kekerasan terhadap jurnalis perempuan karena pandangan dan kultur misoginis. Sikap menyangkal adanya kekerasan karena pandangan dan kultur misoginis serta menganggap normal pelecehan lewat candaan atau lelucon bisa dicegah.

Tidak hanya eksklusif untuk aktivis perempuan, pengarusutamaan gender sangat diperlukan di semua lini kerja jurnalistik. Langkahnya bisa dimulai dengan mengajak jurnalis laki-laki peduli dan punya kesadaran yang sama tentang kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Maret 2023

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Peneliti pada riset jurnalisme, gender, dan media digital. 

Categories
Sosial Budaya

Demi Konten

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang tanpa batas bagi siapa saja untuk memproduksi dan mengonsumsi konten. Namun, kebebasan tersebut sering kali melupakan aspek nalar dan etika. Sensasi dan kontroversi lebih diprioritaskan dibandingkan tanggung jawab moral.

Sangat banyak contoh dan kini terus bertambah konten-konten yang memprihatinkan, tidak hanya melanggar batas etika, bahkan tak sedikit yang melanggar hukum hingga bermain-main dengan kematian. Sekali lagi demi jalan pintas meraih popularitas, viralitas, atau keuntungan finansial dari hasil monetisasi konten.

Jalan raya kini sering dijadikan tempat membuat konten ekstrem oleh remaja, seperti berjoget saat lampu merah atau menantang truk yang melaju. Aksi berbahaya ini berujung tragis, seperti kasus Tangerang ketika dua remaja tewas. Konten yang awalnya dimaksudkan untuk hiburan justru membawa malapetaka.

Bukan hanya masyarakat awam yang terjerat dalam obsesi konten, tetapi juga kalangan selebriti dan profesional. Seorang selebriti dikritik karena menjadikan musibah keluarga, yakni meninggalnya Sang Ayah sebagai konten, mengaburkan batas antara penghormatan pribadi dan eksploitasi.

Di ranah profesional, beberapa tenaga medis melanggar etika demi konten. Dua perawat menghadapi masalah hukum karena merekam pemasangan kateter pada pasien dan mengunggahnya ke media sosial. Kejadian lainnya, seorang perawat bayi di Yogyakarta melanggar privasi pasien dengan merekam dirinya menciumi bayi yang baru lahir dan membagikannya di TikTok.

Mengejar Validasi Sosial
Di tengah beban hidup yang menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hiburan, pakar psikologi mengindikasikan bahwa masyarakat saat ini mulai mengalami gangguan kejiwaan dalam bermedia sosial. Beberapa gangguan kejiwaan yang sering dikaitkan dengan fenomena ini antara lain kepribadian narsistik, social climber atau panjat sosial (pansos), vouyerisme, Internet Asperger Syndrome, dan FOMO (Fear of Missing Out).

Gangguan kepribadian narsistik menyebabkan individu terus-menerus mencari validasi dalam bentuk likes dan komentar, sehingga mereka rela melakukan tindakan berlebihan demi menarik perhatian.

Fenomena social climber memperburuk situasi, ketika individu berusaha meningkatkan status sosial dengan menciptakan konten sensasional mengikuti sesuatu yang sedang disorot publik. Mereka percaya bahwa semakin banyak perhatian yang didapat saat itu, semakin menguntungkan.

Di sisi lain, voyeurisme mendorong individu untuk mengamati dan mengeksploitasi kehidupan pribadinya atau orang lain demi hiburan, tanpa mempertimbangkan aspek privasi dan etika.

Sementara itu, internet Asperger Syndrome mencerminkan bagaimana keribadian individu berubah drastis ketika berinteraksi di dunia maya. Misalnya kehilangan empati dan kesadaran sosial jika sudah memposting sesuatu di media sosal tanpa tidak menyadari bahwa konten yang dibuat dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain di dunia nyata.

FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi faktor utama yang dituding menjadi penggerak banyaknya konten bermasalah. Banyak individu merasa tertekan jika tertinggal dan kehilangan momentum, sehingga terdorong terus membuat beragam konten agar tetap eksis.

Semua atau salah satu faktor di atas berkontribusi meningkatkan kecenderungan individu untuk mengorbankan etika demi mendapatkan validasi sosial dalam bentuk likes, komentar, atau jumlah pengikut, tak jarang diikuti dengan tindakan “mengemis online” untuk mengejar keuntungan instan.

Literasi Digital sebagai Penyeimbang
Untuk mengimbangi fenomena ini, penting bagi pengguna teknologi untuk meningkatkan literasi digital. Pemahaman tentang cara kerja media sosial, bagaimana algoritma mempengaruhi perilaku pengguna, serta dampak psikologis dari konsumsi media digital harus menjadi bagian dari pendidikan sejak dini.

Kesadaran akan etika digital harus dikampanyekan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang eksploitasi demi popularitas, tetapi juga tempat untuk berbagi informasi yang bermanfaat, menginspirasi, dan membangun komunitas yang lebih sehat secara mental dan sosial.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang terjebak dalam ilusi dunia maya dari konten yang tidak berfaedah, di mana nilai dan moral terabaikan demi sensasi sesaat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.



Categories
Sosial Budaya

‘Superheroes Never Die’, tapi Peminatnya Menurun di Kalangan Kaum Muda. Mengapa?

 

  • Popularitas film superhero menurun akibat kejenuhan pasar dan narasi yang berulang-ulang
  • Generasi muda semakin kritis terhadap nilai dan representasi dalam film sehingga mudah resisten.
  • Mendengarkan umpan balik penonton penting untuk menjaga keberhasilan film.

Dulu, menonton film superhero itu ibarat “ritual” suci yang dinanti-nanti. Banyak orang, terutama kaum muda, rela antre, berburu tiket jauh-jauh hari, bahkan sampai puasa media sosial demi menghindari spoiler. Tapi sekarang, era kejayaan pahlawan super itu sepertinya mulai redup.

Genre film yang satu dekade terakhir merajai industri perfilman dunia dengan jutaan penonton dan pendapatan miliaran dolar ini belakangan menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Beberapa film terbaru gagal memenuhi ekspektasi box office dan menuai banyak kritik. Bahkan, para kritikus dan komunitas pecinta film terus memberi rating rendah untuk film-film bertema pahlawan super yang baru dirilis. 

Mengapa peminat film superhero menurun?

Sejak kesuksesan besar Avengers: Endgame pada 2019, studio-studio besar seperti Marvel dan DC terus memproduksi film dan serial superhero dalam jumlah besar. Hingga awal 2025, setidaknya sudah ada 35 judul film superhero dari Marvel Cinematic Universe dan 15 judul dari DC Extended Universe.

Tingginya frekuensi perilisan ini membuat banyak penonton merasa lelah dan bosan karena formula cerita yang terkesan diulang-ulang, dengan plot dan karakter yang tidak jauh berbeda.

Situasi ini juga tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran kritis di kalangan kaum muda yang dekat dengan budaya boikot dan cancel culture.

Generasi muda saat ini tidak sekadar menonton, tapi mereka juga memperhatikan nilai-nilai yang diusung sebuah karya. Ini termasuk siapa yang terlibat di balik layar dan bagaimana representasi kelompok sosial tertentu ditampilkan.

Bila dianggap tidak sejalan dengan nilai keadilan sosial, inklusivitas, dan perdamaian, mereka cenderung menolak atau bahkan mengajak orang lain memboikot. Salah satu contohnya adalah seruan boikot terhadap Captain America: Brave New World  (2025) yang dianggap mendukung normalisasi agresi Israel di tengah konflik Israel-Palestina.

Tak hanya aksi, tapi juga narasi

Banyak kaum muda kini menganggap film-film superhero sebagai produk kapitalisme yang mengulang narasi “heroik” dari sudut pandang dominan laki-laki kulit putih dan menyuarakan pesan-pesan usang yang tak lagi relevan. Alih-alih menginspirasi, karakter superhero kini tak ubahnya simbol korporasi yang jauh dari semangat perlawanan atau keadilan sosial.

Penonton film superhero saat ini tidak lagi hanya puas dengan adegan laga dan efek visual khusus yang memukau, tetapi juga menginginkan narasi yang mendalam dan karakter yang menarik. Ketika film superhero gagal memenuhi ekspektasi ini, kekecewaan penonton pun meningkat.

Konsistensi, bukan agenda politik

Faktor lain yang juga semakin disorot dalam penurunan minat film superhero adalah penyisipan agenda politik dan sosial secara berlebihan sehingga film kehilangan daya tarik universal sebagai tontonan keluarga.

Film Lightyear (2022) misalnya, yang ditujukan untuk semua segmentasi usia, dilarang tayang di 14 negara, termasuk Indonesia, karena menampilkan adegan ciuman sesama jenis. Sejumlah penonton mengkritik bagaimana film superhero saat ini lebih berfokus pada agenda representasi LGBTQ+, yang sering kali dianggap sebagai keputusan politis daripada kebutuhan naratif dalam cerita.

Ini misalnya terjadi pada Eternals (2021), yang menghadirkan superhero LGBTIQ+ pertama dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Meskipun film ini menawarkan efek visual yang spektakuler, banyak penonton merasa bahwa pesan sosial yang disisipkan terlalu dipaksakan. Pesan tersebut sulit terhubung dengan cerita utamanya.

Namun, pujian terhadap film ini juga tak kalah banyak. Sang sutradara, Chloe Zao, memperoleh apresiasi atas keberhasilannya menggaungkan isu inklusivitas atau keberagaman, terutama representasi perempuan disabilitas sebagai pahlawan super.

Kontroversi lain muncul dari praktik black-washing atau white-washing. Istilah ini merujuk pada upaya mengubah karakter yang sudah ada dengan ras tertentu demi alasan representasi. Beberapa film superhero mengganti tokoh kulit putih dengan aktor berkulit hitam, atau sebaliknya, tanpa alasan yang kuat dalam cerita. Ini memicu reaksi negatif dari sebagian penonton yang merasa bahwa perubahan ini dilakukan semata-mata demi alasan politik, bukan demi kualitas cerita.

Contohnya adalah reaksi publik terhadap The Little Mermaid versi live-action. Meskipun bukan tentang superhero, film ini menunjukkan bagaimana perubahan besar pada karakter ikonik bisa memicu reaksi keras dari penonton.

Mendengarkan umpan balik

Mendengarkan masukan dari penonton adalah salah satu faktor penting keberhasilan film. Contohnya saat trailer Sonic the Hedgehog (2020) pertama kali dirilis, banyak penggemar yang mengkritik desain karakter Sonic karena dianggap terlalu jauh dari versi aslinya di gim. Pihak studio kemudian melakukan perombakan besar. Hasilnya, film Sonic the Hedgehog sukses di pasaran.

Sebaliknya, ada beberapa adaptasi film yang mengabaikan masukan penggemar dan berujung kegagalan besar. Sebut saja adaptasi live-action dari Dragon Ball Evolution (2009) dan The Last Airbender (2010), yang dibuat dengan pendekatan khas Hollywood tanpa mempertimbangkan esensi cerita dan karakter asli yang sudah dicintai penggemar.

Contoh terbaru terjadi ketika remake Snow White (2025) produksi Disney mencatatkanrating terendah di IMDb: 1,6/10. Kritik tajam datang dari segala arah, bahkan sebelum film dirilis secara luas.

Di sinilah pentingnya studio mendengarkan umpan balik dari penonton dan kritikus. Pemahaman yang mendalam tentang apa yang diinginkan dan diharapkan oleh audiens bisa membantu pengembangan proyek-proyek yang lebih relevan dan menarik, tanpa mengurangi independensi sutradara.

Transparansi studio dalam proses kreatif dan keterlibatan penonton dalam tahap-tahap awal pengembangan bisa membangun kembali kepercayaan dan minat terhadap film superhero.

Penurunan popularitas film superhero bukanlah akhir dari genre ini, melainkan sebuah panggilan untuk inovasi. Dengan adaptasi dan inovasi yang tepat, film superhero bisa kembali merebut hati penonton dan mempertahankan relevansinya dalam lanskap perfilman yang terus berubah.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 26 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop



Categories
Sosial Budaya

Senjakala Keberadaan RRI/TVRI

Viralnya peristiwa pemberhentian karyawan TVRI Yogyakarta imbas pemangkasan anggaran membuat prihatin berbagai pihak. Meski akhirnya ada instruksi pembatalan dari Menteri Keuangan, kasus sudah terjadi dan memicu perdebatan komitmen Presiden Prabowo terhadap penyiaran publik di Indonesia. Muncul kesimpulan no viral no justice yang menggambarkan bebalnya mentalitas aparat birokrasi dalam membuat kebijakan. Tulisan kecil ini menguraikan aspek fundamental penyiaran publik dan kekeliruan kebijakan pemangkasan anggaran yang menimpa dan oleh elite RRI/TVRI sebagai media publik. 

Postur Anggaran RRI/TVRI 

Keputusan Prabowo mangkas anggaran kementerian/lembaga hingga mencapai 306 triliun dengan antara lain mengalihkan ke program makan bergizi gratis sekilas baik dan sangat populis. Harus diakui, pemborosan anggaran sudah lama terjadi di berbagai lembaga negara termasuk di manajemen RRI/TVRI, antara lain pos kunjungan kerja, tim kebijakan dan pos rapat-rapat di luar kota. Jika penghematan menyasar pos-pos ini, maka ia patut didukung agar lembaga penyiaran publik mengalami penyehatan birokratis. 

Dalam satu dekade terakhir, APBN untuk kedua media cenderung naik secara gradual hingga mencapai triliunan pertahun. Sebagai contoh, tahun 2025 TVRI memperoleh pagu anggar an sebesar Rp 1,05 triliun, sedang RRI mendapat pagu sebesar Rp 1,07 triliun. Dari total budget ini, hampir 70% di- pakai untuk kebutuhan belanja pegawai dan layanan administrasi. Sisanya baru untuk produksi konten. Budget ini termasuk untuk honor tenaga lepas yang justru ujung tombak produksi konten. Artinya, ada ketidakseimbangan dan salah postur, yang diakibatkan besarnya jumlah ASN di sektor administrasi.

Lembaga penyiaran publik di berbagai negara dilindungi paripurna karena tugas historis dan politisnya sebagai penjaga moralitas, pemersatu jiwa lewat konten terbaik. Oleh tugas mulia ini, anggaran LPP bersumber langsung dari publik yang dikelola negara terpisah dari APBN. Istilah yang kini populer: media trusted fund, agar terhindar dari aksi pangkas memangkas oleh kepentingan politik tentatif. Dalam budaya politik anggaran di Indonesia, APBN selalu naik turun, diputuskan secara politik praktis di parlemen, rawan korupsi.

Lebih jauh, oleh budaya organisasi media publik itu sendiri yang birokratis, penuh birokrat, pemangkasan budget RRI/TVRI justru menimpa para tenaga lepas dan sektor produksi siaran sebagai jantung layanan publik, tak menyentuh elite kedua media. Berbeda dengan lembaga negara lain yang dominan fungsi administrasi, media publik memiliki peran strategis pada penguatan nasionalisme, mencerdaskan kehidupan bangsa lewat kon- ten berkualitas, sifatnya produktif. Ini, jauh lebih utama dari makan bergizi gratis yang bersifat karitatif. Muncul kesan buruk di publik: negara dan RRI/TVRI lebih mengutamakan perut kenyang, ketimbang otak dan kecerdasan berpikir. Senjakala penyiaran publik sudah tampak.

Bagaimana memahami munculnya pemutusan hubungan kerja (sejenak) dan masa depan lembaga penyiaran publik? mengapa pemangkasan anggaran justru menimpa sektor produksi dan harus viral? Pertanyaan ini harus dijawab dan direfleksikan oleh pekerja kedua media itu sendiri. Setidaknya ada dua kesimpulan umum. Pertama, Presiden Prabowo tidak punya prioritas anggaran, dan aksi memangkas anggaran yang menyasar RRI TVRI tampak ugal ugalan. Kedua, tidak ada sense of crisis pimpinan RRI/TVRI ketika merespons pemangkasan. Langkah PHK kepada pembuat konten mencerminkan suatu keputusan buruk, yang justru memicu risiko penurunan kualitas produksi, senjakala kedua media itu sendiri sebagai lembaga pelayanan konten publik yang profesional. 

Pemangkasan budget oleh Prabowo menjadi pelajaran mahal agar TVRI/RRI membenahi kinerja, semakin dekat ke publik sehingga dalam jangka pendek dapat menerapkan model mixed budget: iuran, crowed fund dll., tanpa tergantung lagi kepada dana APEN. Evaluasi anggaran negara yang selama lebih dari lima puluh tahun dipakai di kedua media juga mutlak dilakukan, termasuk dengan cara melakukan rasionalisasi sumber daya manusia yang tidak produktif di era digital, mayoritas di sektor administrasi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 Februari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.



Categories
Politik Sosial Budaya

Bagaimana Aktivisme Digital Penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024

Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga politik. 

Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 55%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Dunia.  

Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.

Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini menyangkal bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.

‘Anies Bubble’ dan manuver politik

Akun @aniesbubble mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023.

Akun @aniesbubble mengadopsi karakter fandom K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai pendukung hak asasi manusia, lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak, dan memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis). 

Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas clicktivismmetavoicing, dan assertion yang diungkapkan oleh Jordana J.George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat. 

Aktivisme ini diawali dengan clicktivism, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian likevoting, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun @aniesbubble muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip Live TikTok Anies yang pertama  pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan like sebanyak 4,1 ribu. Voting dilakukan saat @aniesbubble membuka voting pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024, antara Humanies atau Manies.

Aktivitas berikutnya adalah metavoicing, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang post (reposting), sharing, dan retweeting unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan repost terbanyak adalah konten mensenai guru PAUD, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.

@aniesbubble juga melakukan metavoicing dengan mengunggah ulang potongan-potongan video live Tiktok Anies ke platform X. Repost maupun retweeting merupakan aktivitas yang satu level lebi tinggi daripada liking karena membutuhkan usaha yang lebih.

Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari live Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X.

Sementara itu, assertion didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan skill yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada clicktivism dan metavoicing karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.

@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat konten-konten promosi seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.

Melalui wawancaranya dengan media Magdalene , admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.

Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop. Akun X dengan username @olpproject bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. Video promosi Anies dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.

Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut

Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.

Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka. 

Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan banyak disindir oley warganet di X “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.

Adu ‘branding’ kandidat di media sosial

Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (botism).

Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha menciptakan branding diri agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.

Capres Prabowo Subianto juga membentuk image ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah podcast pada 2019 lalu yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.

Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana pengguna media sosial menunjukkan perspektifnyaHype di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Februari 2024

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada  masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Ekonomi Islam Sosial Budaya

Daftar Gelap Produk Israel dan Persaingan Bisnis

Hingga saat ini, himbauan dan gerakan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel terus bergulir. Gerakan ini tidak hanya berakar pada solidaritas kemanusiaan, tetapi juga membawa dimensi ekonomi yang luas. Boikot produk terkait Israel dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian, terutama jika dilakukan secara konsisten dan berjangka panjang. Dalam jangka pendek, dampaknya mungkin terbatas dan tidak langsung memengaruhi perekonomian secara makro. Namun, jika aksi boikot berlangsung selama satu kuartal atau lebih, efek ekonomi yang lebih besar akan mulai dirasakan.

Sayangnya, hingga saat ini, aturan yang jelas dan terstruktur mengenai boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel belum muncul. Dalam situasi ini, peran pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah perlu memberikan arahan tegas terkait produk apa saja yang masuk dalam daftar boikot, alasan di balik pemboikotan, dan bagaimana mekanisme pemboikotannya dijalankan. Boikot adalah tindakan sukarela, bukan paksaan. Walaupun ada himbauan untuk memboikot, masyarakat tetap memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan berpartisipasi atau tidak. Namun, ketidakjelasan aturan dapat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan, terutama di sektor bisnis.

Aksi boikot yang tidak terkoordinasi dengan baik dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Ada kemungkinan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini untuk menyerang pesaingnya. Misalnya, mereka dapat memasukkan produk kompetitor ke dalam daftar produk yang diboikot dengan alasan yang tidak berdasar. Situasi semacam ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga mencederai prinsip persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, kehadiran negara atau pemerintah untuk mengawasi dan mengatur aksi boikot menjadi sangat penting.

Aksi Boikot Seringkali Tidak Tepat Sasaran

Meski demikian, langkah boikot ini kemungkinan besar tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Israel. Bahkan jika boikot berlangsung secara meluas, kecil kemungkinannya untuk membuat ekonomi Israel runtuh. Sebaliknya, dampak negatifnya justru lebih terasa di dalam negeri, khususnya bagi perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang terpengaruh oleh boikot mungkin akan mengalami penurunan pendapatan, yang pada akhirnya dapat memaksa mereka untuk mengurangi jumlah karyawan atau bahkan melakukan PHK massal. Ini menjadi alasan utama mengapa pemerintah perlu hadir untuk memberikan arahan yang jelas dan mencegah efek domino yang merugikan.

Aksi boikot ini juga sering kali tidak tepat sasaran. Sebagian besar produk yang diboikot sebenarnya bukan langsung diproduksi oleh Israel, melainkan oleh perusahaan multinasional yang memiliki jaringan global. Di Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi tenaga kerja yang besar, dampak boikot ini justru dapat dirasakan secara langsung oleh sektor tenaga kerja. Banyak perusahaan lokal yang terkena dampak secara tidak langsung, sehingga masyarakat perlu lebih jeli dan bijaksana dalam memilih produk untuk diboikot. Sasaran utama dari aksi boikot harus dipastikan tercapai tanpa menimbulkan kerugian yang tidak perlu pada masyarakat lokal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa boikot produk pro-Israel telah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu efeknya adalah perubahan pola konsumsi masyarakat, di mana banyak konsumen yang beralih dari produk impor ke produk lokal. Meskipun ini terlihat sebagai peluang untuk mendukung produk dalam negeri, kenyataannya dampak lain yang muncul adalah penurunan investasi dari luar negeri dan berkurangnya produktivitas di sektor-sektor tertentu. Selain itu, aksi boikot ini juga memengaruhi bisnis lokal yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa daftar produk yang diboikot sering kali tidak diverifikasi dengan baik, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang tidak seharusnya terlibat.

Dampak Boikot Terhadap Ekonomi Nasional

Dampak langsung dari aksi boikot juga terasa di sektor ritel dan restoran. Penurunan penjualan hingga 40% dilaporkan oleh beberapa pelaku usaha di sektor ini. Hal ini berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja massal, yang tentu saja berdampak buruk bagi tenaga kerja lokal. Meskipun pemerintah Indonesia tidak secara resmi mengeluarkan kebijakan boikot terhadap produk Israel, gerakan boikot yang dilakukan oleh masyarakat tetap memengaruhi banyak perusahaan lokal yang sebenarnya tidak terafiliasi dengan Israel.

Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatur aksi boikot menjadi sangat penting untuk mencegah efek domino yang merugikan. Tanpa regulasi yang jelas, daftar produk yang diduga terafiliasi dengan Israel hanya akan menjadi “daftar gelap” yang membuka peluang untuk penyalahgunaan. Pemerintah harus menyediakan pedoman yang objektif dan berbasis data, sehingga aksi boikot dapat dilakukan secara tepat sasaran. Selain itu, masyarakat juga perlu mengambil langkah rasional dalam memutuskan apakah suatu produk layak diboikot atau tidak.

Aksi boikot tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga etika. Dalam perspektif bisnis, pemboikotan yang tidak terarah dapat menciptakan ketegangan dalam persaingan usaha. Di sisi lain, dari sudut pandang sosial, aksi boikot mencerminkan kepedulian terhadap isu global, seperti pelanggaran hak asasi manusia. Namun, kepedulian ini harus disertai dengan pemahaman yang komprehensif agar tidak menciptakan masalah baru di tingkat lokal.

Penutup

Kesimpulannya, aksi boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi dengan Israel harus dilaksanakan dengan hati-hati dan berdasarkan data yang akurat. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur dan mengawasi aksi ini agar tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu. Masyarakat juga perlu lebih kritis dan bijaksana dalam menyikapi himbauan boikot, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian lokal dan tenaga kerja. Dengan pendekatan yang tepat, aksi boikot dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung keadilan global tanpa merugikan kepentingan domestik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 November 2024

Yusdani
Guru Besar Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Pengurus Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM). Pengurus ICMI Kabupaten Sleman. Bidang riset pada studi Islam. 

Categories
Kesehatan Sosial Budaya

Jumlah Ibu yang Berikan ASI Eksklusif Menurun : Pesan Kampanye ASI harus Lebih Efektif

Selama lima tahun terakhir, pemerintah gencar kampanyekan pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sebagai bagian dari upaya pencegahan stunting di Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama usia enam bulan pertama bayi agar tumbuh kembangnya optimal. Selama masa awal kehidupannya, bayi hanya boleh menerima ASI dan tidak boleh mendapatkan asupan makanan lain.

Sayangnya, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) melalui Survey Status Gizi Indonesia justru menunjukkan drastisnya penurunan pemberian ASI eksklusif dari 48.6% pada tahun 2021 menjadi 16,7% pada 2022. Angka tersebut jauh dari target yang dicanangkan Majelis Kesehatan Dunia (WHA) mengenai pemberian ASI eksklusif di setiap negara, setidaknya mencapai 50% pada 2025.

Meski bukan faktor penentu keberhasilan pemberian ASI eksklusif, penelitian menunjukkan bahwa kampanye ASI bisa berdampak nyata (signifikan) dalam meningkatkan jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif.

Di Indonesia, pesan kampanye ASI eksklusif selama ini berkutat seputar ASI merupakan nutrisi terbaik yang dibutuhkan bayi hingga pentingnya pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Namun, penelitian menunjukkan pesan kampanye ASI sejenis ini justru dikritisi banyak ibu menyusui (busui).

Meramu pesan kampanye ASI yang efektif

Para busui peserta penelitian di Inggris pada 2016 menilai perlunya promosi alternatif pesan kampanye ASI yang lebih efektif agar mendorong kesadaran para ibu mengenai pentingnya pemberian ASI.

Berikut elaborasi pandangan mereka soal pesan alternatif dalam kampanye ASI yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengembangkan strategi kampanye ASI eksklusif di Indonesia:

  1. Memberikan ASI adalah cara normal menyusui

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI seharusnya tidak digambarkan sebagai cara menyusui “yang terbaik,” melainkan cara menyusui “yang normal.”

Melabeli ASI sebagai “yang terbaik” berisiko menimbulkan pemahaman di antara para ibu bahwa menyusui adalah proses sulit yang hanya bisa dilakukan orang-orang tertentu. Pandangan lain yang mungkin muncul, yaitu jika ASI adalah “yang terbaik,” berarti susu formula “cukup baik” sehingga tidak masalah jika dikonsumsi bayi.

Penelitian mengenai promosi ASI  kemudian merekomendasikan agar pesan kampanye ASI adalah yang terbaik dihentikan karena justru membuat para orang tua beralih ke susu formula. Di Indonesia, angka pemberian susu formula pada bayi terus meningkat dari 45,2% pada tahun 2021 menjadi 61,6 persen pada 2022, dengan total belanja mencapai Rp3 triliun per tahun.

Sebagai gantinya, pesan kampanye berupa “pemberian ASI adalah cara normal menyusui” perlu digalakkan. Produksi ASI merupakan proses biologis normal yang dialami semua ibu usai melahirkan, kecuali ibu dengan kondisi kesehatan tertentu.

Karena itu, sangat penting untuk menormalisasi pemberian ASI sebagai “aturan biologis.” Menekankan praktik menyusui sebagai aturan biologis bisa menghasilkan efek positif.

Pertama, pesan kampanye ini bisa memotivasi para ibu untuk percaya pada kemampuan tubuhnya dalam memproduksi ASI. Kedua, menyusui tidak dijadikan sebagai pilihan, tetapi diharapkan menjadi tindakan otomatis yang dilakukan para ibu setelah melahirkan. Dengan begitu, pemberian susu formula untuk bayi jadi pilihan terakhir saat menyusui tidak bisa dilakukan.

  1. Menyusui tak mudah, ibu butuh dukungan

Dalam kampanye ASI eksklusif, menyusui digambarkan sebagai proses yang mudah, murah, dan memberikan banyak manfaat kesehatan. Pesan ini tidak keliru, tapi kurang menggambarkan situasi nyata yang dihadapi para ibu saat menyusui.

Busui menghadapi banyak sekali tantangan secara fisik dan psikis, seperti sakit di area payudara, kelelahan, khawatir berlebih, dan mudah stres akibat hormon yang tidak stabil usai melahirkan.

Penelitian menunjukkan ketidaktahuan busui mengenai tantangan saat menyusui dan cara mengatasinya membuat mereka tidak siap dan gampang menyerah saat menghadapi kesulitan dalam proses menyusui.

Penting untuk menginformasikan risiko-risiko tersebut kepada busui dan pasangannya sebelum dan selama proses menyusui. Dengan begitu, para orang tua akan lebih siap menghadapi tantangan dari proses menyusui, termasuk mengetahui kapan dan ke mana mereka harus meminta pertolongan saat menghadapi kesulitan.

  1. Efek samping susu formula

IDAI melalui Panduan Pemberian Susu Formula pada Bayi Lahir menjelaskan bahwa bayi diperbolehkan mengonsumsi susu formula jika sang bayi atau ibunya memiliki kondisi medis tertentu, seperti bayi lahir prematur atau ibu HIV positif. Selain alasan medis yang disebutkan dalam panduan tersebut, bayi di bawah enam bulan tidak dianjurkan mengonsumsi susu formula karena dapat membahayakan kesehatannya di masa depan.

Meski sudah ada kesepakatan bersama (konsensus) bahwa konsumsi susu formula harus dibatasi, penelitian menunjukkan masih adanya kesalahpahaman mengenai susu formula tidak berbahaya.

Padahal, konsumsi susu formula dalam jangka waktu lama bisa berdampak buruk pada kesehatan bayi maupun produksi ASI sang ibu. Bayi berisiko mengalami masalah medis, seperti alergi susu dan gagal mendapatkan perlindungan kekebalan tubuh dari kolostrum, cairan pertama yang dikonsumsi bayi dan keluar dari kelenjar payudara ibu, sebelum ASI.

Pemberian susu formula dalam waktu lama juga berisiko mengurangi, bahkan menghentikan produksi ASI ibu. Soalnya, bayi yang sudah terbiasa mengonsumsi susu formula cenderung malas menyusu sehingga ASI yang menumpuk dalam payudara menyebabkan pembengkakan dan nyeri yang pada akhirnya menghentikan produksi ASI. Kegagalan ASI eksklusif juga merupakan salah satu faktor risiko anak mengalami stunting di masa depan.

Kendati risiko pemberian susu formula cukup besar, belum ada upaya khusus dari pemerintah dalam menginformasikan efek samping tersebut kepada masyarakat lewat pelabelan produk maupun kampanye ASI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi telah memuat aturan pelabelan dalam produk susu formula, di antaranya pencantuman informasi nilai gizi, cara penggunaan, dan dukungan terhadap ASI eksklusif. Namun, tidak ada aturan khusus yang mewajibkan produsen untuk mencantumkan efek samping pemberian susu formula pada bayi dan produksi ASI ibu.

Padahal, dengan menyertakan efek samping susu formula lewat pelabelan produk dan kampanye ASI, kesadaran masyarakat mengenai risiko kesehatan yang ditimbulkan susu formula akan meningkat sehingga dapat memotivasi para orang tua dalam mengupayakan pemenuhan ASI eksklusif untuk bayi mereka.

Evaluasi kampanye ASI

Sudah saatnya pemerintah dan lembaga terkait mengevaluasi strategi kampanye ASI eksklusif di Indonesia. Apakah pesan kampanye yang ada saat ini masih relevan dan efektif mendorong orang tua untuk konsisten memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama bayi mereka?

Tiga pesan alternatif di atas dapat dipertimbangkan dan diuji coba sebagai upaya meningkatkan pemberian ASI eksklusif di Indonesia. Tanpa meningkatkan pemberian ASI eksklusif, rencana penurunan stunting bisa jadi hanya mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 September 2024

Lutviah
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada komunikasi pemberdayaan, promosi kesehatan, gender dan pembangunan.

 



Categories
Sosial Budaya

Refleksi Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia: Mendialogkan Pemikiran Fransiskan dengan Perspektif Sufi Yunus Emre

Kunjungan apostolik yang dilakukan oleh Paus Fransiskus ke Indonesia memberikan hikmah dan pelajaran yang berlimpah bagi seluruh umat beriman. Dalam pidato dan khotbah yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam ragam forum di Indonesia, ada satu poin utama yang coba ditegaskan oleh Paus dalam setiap penjelasannya, yaitu bagaimana umat beriman di Indonesia dapat memaknai kembali hubungan Allah, alam, dan umat manusia.

Penjelasan yang disampaikan dan solusi yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus didasarkan pada filsafat fransiskan yang berangkat dari pemikiran dan laku Santo Fransiskus dari Asisi, seorang rahib dan teolog Katolik pada Abad Pertengahan.

Pemikiran Santo Fransiskus dari Asisi juga tumbuh pada masa-masa krisis setelah kontestasi berdarah antara kuasa muslim dan kristen pada masa itu yang menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat sipil.

Hal itulah yang membuat Paus Fransiskus memilih Santo Fransiskus dari Asisi sebagai nama kepausan. Pola pikir fransiskan memberikan takhta suci Vatikan kesempatan untuk memikirkan kembali posisi agama dan takhta suci dalam krisis multidimensional yang tidak mudah pada kurun kedua abad ke-21.

Dasar pemikiran Fransiskan
Terdapat tujuh nilai dasar Fransiskan yang menjadi laku harian para pengikut tarikat fransiskan hingga masa kini dan menginspirasi pola hidup umat Katolik. Pertama, fransiskan sangat mengutamakan penghormatan dan perlindungan terhadap makhluk hidup seperti yang tergambar dalam dalam doa Santo Fransiskus dari Asisi yang menginspirasi ensiklik Laudato St.

Kedua, fransiskan memberikan tempat khusus pada perlindungan terhadap muruah dan harga diri manusia. Ketiga, fransiskan menganggap bahwa setiap manusia harus dijaga kehidupannya terlepas dari latar belakang kehidupan manusia tersebut. Keempat, fransiskan juga memberikan penekanan yang amat besar terhadap kaum miskin dan masyarakat yang memiliki kerentanan secara sosial dan ekonomi.

Fransiskan memiliki teologi kasih yang berpusat pada welas asih dan laku hidup sederhana yang memberikan umat beragama ruang eksplorasi untuk peduli pada sesama.

Kelima, fransiskan dikenal juga dengan aktivismenya dalam isu perdamaian dan rekonsiliasi konflik yang tergambar dalam slogannya Pax et bonum, damai dan kelakuan baik. Dasar dari slogan Pax et bonum itulah yang kemudian menginspirasi Paus Fransiskus untuk merumuskan dokumen bersejarah Deklarasi Persaudaraan Manusia dan ensiklik Fratelli Tutti untuk mendorong pola pikir yang menerobos kejumudan dan konflik yang tak kunjung berakhir.

Keenam, fransiskan juga beranggapan bahwa ada kesejalanan di antara keadilan dan kedamaian yang perlu berjalan secara seiringan untuk mengoreksi kuasa yang dapat berlaku lalim dan tanpa batas sehingga merugikan hidup kaum miskin dan masyarakat rentan.

Ketujuh, fransiskan memberikan peluang untuk transformasi diri yang akan berpe- ngaruh pada transformasi masyarakat se- hingga setiap orang Katolik yang mengikuti teologi Fransiskan diekspektasikan untuk menjadi agen perubahan.

Yunus Emre sebagai sufi rakyat
Dalam perspektif Islam, filsafat fransiskan dapat didialogkan secara berkelanjutan dengan filsafat sufi. Salah satu figur sufi dalam sejarah Islam, Yunus Emre, merupakan seorang tokoh yang memiliki latar belakang yang cukup serupa dengan Santo Fransiskus dari Asisi dan mengembangkan pemikirannya seputar Allah, alam, dan manusia dalam konteks sosial-politik yang cukup serupa.

Yunus Emre merupakan seorang sufi yang merakyat dan hidup mengembara dalam laku hidup miskin di tanah Anatolia (sekarang Turki), serupa dengan Santo Fransiskus dari Asisi. Sebagai seorang sufi, Yunus Emre tentunya hidup dengan bimbingan guru spiritualnya, yakni Taptuk Emre yang dikenal sebagai salah satu santri kinasih dari Maulana Jalaluddin Rumi yang tersohor dan Haji Bektash Veli yang merupakan pendiri tarikat bektashi di Turki.

Dalam menyebarkan ajaran sufinya, Yunus Emre dikenal sering membuat syair-syair yang sampai sekarang dikenal luas dan dihafal oleh masyarakat Turki secara keseluruhan. Layaknya Santo Fransiskus dari Asisi yang menyampaikan ajaran Katolik dalam bahasa Italia yang sederhana, Yunus Emre menyederhanakan ajaran agama Islam dengan bahasa Turki yang digunakan oleh rakyat sehari-sehari.

Salah satu ajaran Yunus Emre yang menjadi dasar pemikirannya ialah pentingnya untuk memahami dan mengubah diri sendiri sebelum melakukan transformasi terhadap sekitar. Hal itu tergambar dalam bait syairnya: ‘lim ilim bilmekdir, ilim ken- din bilmekdir. Sen kendini bilmezsin ya nice okumakdr yang bermakna: Ilmu itu berarti ilmu untuk memahami kebenaran, dan ilmu untuk memahami kebenaran yang paling paripurna ialah memahami diri sendiri yang menjadi bagian dari ciptaan Tuhan, seberapa besar pun pengetahuan yang dipelajari akan kebenaran, tiada bermakna tanpa pengetahuan akan diri sendiri.

Bait itu disampaikan oleh Yunus Emre sebagai kritik akan para ulama skripturalis yang terlalu berfokus akan kebenaran yang dideliberasi secara tekstual tanpa ada pe- mahaman kontekstual yang baik di alam sekitar. Teologi Islam, menurut Yunus Emre, akan menjadi tidak bermakna tanpa ada refleksi diri yang kuat dan kontekstualisasi kebenaran dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat. Pemikiran itu tentunya sejalan pula dengan laku fransiskan yang menekankan pada iman dalam laku, serta iman yang menghidupkan masyarakat dalam tindakan-tindakan yang nyata.

Teologi kasih sebagai sumber laku dan inspirasi dialog
Kesepadanan pemikiran Yunus Emre dan Santo Fransiskus dari Asisi juga terlihat dalam fokusnya akan teologi kasih. Salah satu bait puisi yang menjadi prinsip sentral dalam filsafat Yunus Emre ialah ‘sevelim sevilelim, dunyaya kimseye kalmaz (marilah mencintai dan saling memberikan cinta/ kasih karena tiada sesiapa yang akan hidup selamanya di dunia).

Ketika cinta dan kasih menjadi inti dalam laku agama, ia akan menggerakkan umat beriman untuk berlaku damai dan baik pada sesama. Dalam salah satu ceramahnya, Paus Fransiskus menyampaikan bahwa teologi penuh hikmat kebijaksanaan (sapiential the ology) ialah teologi kasih. Paus Fransiskus menjelaskan pula bahwa siapa pun yang hidup tanpa kasih, ia hidup tanpa Tuhan karena esensi Tuhan ialah kasih.

Sikap kasih mendorong manusia untuk sadar bahwa materialisme dunia bukan merupakan tujuan, melainkn sekadar alat yang membantu manusia untuk melanjut kan hidup di dunia. Sikap berserah diri pada Tuhan-lah yang selayaknya menjadi referensi untuk menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual di dunia yang fana.” Itu tergambar pula dalam bait Yunus Emre, ‘neyi sever isen imann oldur, nice sevmeyesin sultann oldur,(keimanan seseorang itu bergantung apa yang ia kasihi dan apalah arti kasih itu jika tidak dapat memahami kasih sejati yang berasal dari sang Penguasa).

Dalam bait yang lain, Yunus Emre bahkan mengritik sikap rakus dan eksploitatif ma- nusia sebagai salah satu dasar terjadinya konflik yang merugikan sesama manusia dan merusak lingkungan sekitar. Hal itu tergambar dalam bait ‘ana durur buhl u hased key mubariz durur gayet, kokunu kaz yabana at farig otur ey gam- güzar (di mana pun ada sikap kikir dan cemburu, di situlah ada seteru yang menderu. Maka, bersihkanlah jiwamu dan jauhkanlah dirimu dari sikap- sikap seperti itu).

Dalam beberapa kesempatan, Paus Fransiskus juga mengingatkan bahwa sikap materialisme dan hoarding (menumpuk barang) sebagai laku konsumerisme ekstrem yang menjauhkan seseorang dari kebenaran Tuhan, yang menekankan hidup penuh kasih dan hidup yang berbagi pada sesama. Seperti yang tercantum di dalam ensiklik Fratelli Tutti, konflik yang terjadi di dunia merupakan ejawantah dari keserakahan material yang marak terjadi di dunia ini. Sudah selayaknya laku hidup reflektif dan kembara yang dilakukan oleh Yunus Emre dan Santo Fransiskus dari Asisi menjadi inspirasi yang memberikan manusia peluang untuk memotong rantai konflik dengan memahami lingkungan sekitar secara lebih mendalam.

Dengan mendialogkan ajaran fransiskan dan Yunus Emre itu, sudah selayaknya dialog-dialog yang lebih intensif layak dibuka antarumat Islam dan umat Katolik, utamanya dalam isu-isu spiritualisme yang bersifat kontekstual dan menapak tanah. Hal itu amat penting dilakukan untuk mentransformasi agama yang tidak hanya eksis sebagai sekumpulan doktrin, tetapi juga menjadi semangat hidup yang dapat menginspirasi solusi akan masalah-masalah yang mendera masyarakat Indonesia dan dunia.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Media Indonesia pada tanggal 13 September 2024

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Sosial Budaya

Dilema Organisasi Masyarakat Sipil: Pejuang Aspirasi Publik, Terlilit Masalah Pendanaan

Sejarah mencatat organisasi masyarakat sipil (OMS) berperan besar di Indonesia bahkan sejak dalam proses pembentukan negara. Dalam risalah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sedikitnya terdapat 50 OMS yang terlibat, misalnya ada Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), Sumpah Pemuda (1928), Indonesia Muda (1931), dan lain-lain.

Peran OMS di Indonesia mencakup berbagai aspek, mulai dari memperjuangkan hak asasi manusia dan hak sipil—khususnya bagi kelompok rentan, hingga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. OMS juga berperan penting dalam menangani krisis dan menyokong proses pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

OMS juga lebih efektif dalam merespons isu sosial karena mereka sudah berfokus pada isu-isu kemanusiaan dan keadilan. Lain halnya pemerintah yang terkadang lambat beraksi karena struktur birokrasi dan administrasi yang kaku.

Sayangnya, pelaksanaan peran penting OMS kerap tersandung masalah pendanaan. Sejauh ini,, mayoritas OMS di Indonesia bergantung pada donor (terutama dari luar negeri) ketimbang mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Pendanaan internasional bagi OMS semakin berkurang setelah Indonesia bergabung dalam G20 pada dan masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas pada 2008. Situasi ini amat memengaruhi OMS, apalagi di tingkat lokal.

Minimnya pendanaan dari pemerintah

Berdasarkan laporan The Civil Society Organization Sustainability Index (CSOSI), indeks kemampuan finansial OMS Indonesia dalam dua tahun terakhir (2023-2024) masih berkembang tapi cenderung terhambat. Jumlah OMS yang mencapai 300 ribu pada masa reformasi, kini menurun drastis menjadi kurang dari 8 ribu organisasi akibat minimnya dukungan pemerintah dan donor internasional.

Masalah utama sumber daya dan diversifikasi pendanaan OMS tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.

Di sisi lain, ketergantungan pada donor internasional membuat akuntabilitas OMS di Indonesia meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan donor untuk membuat pelaporan yang lebih transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Untuk pendanaan OMS dari pemerintah, pengelolaannya mengikuti mekanisme khusus bernama Swakelola Tipe 3. Sejauh ini, jumlah pendanaan untuk OMS dari mekanisme ini masih sangat kecil.

Pengalaman tahun 2023 juga menunjukkan banyak kesalahan pelabelan dalam paket Swakelola Tipe 3. Beberapa paket yang seharusnya ditujukan untuk OMS justru mencakup proyek konstruksi, operasional pemerintah, pengadaan barang, hibah, dan jasa pihak ketiga.

OMS juga merasa kesulitan mengakses Swakelola Tipe 3. Ini terjadi karena mereka kesulitan mengakses informasi dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi penerima dana.

Berdasarkan penelitian USAID-MADANI terhadap 437 OMS di Indonesia, sumber pendanaan dari pemerintah hanya mencapai 21%. Sementara itu, mayoritas pendanaan berasal dari internal organisasi, yaitu sebanyak 46%.

Sebanyak 52% OMS yang diteliti menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan dukungan yang memadai atau tidak mendukung pemberdayaan OMS sama sekali, terutama terkait pendanaan. 

Alasan mereka antara lain pemerintah tidak mendukung program OMS, akses terhadap pendanaan terbatas dan syaratnya rumit, dan pemerintah tidak mendukung penguatan OMS secara keseluruhan. Meski demikian, yang menarik adalah sebanyak 58% OMS telah berkolaborasi dengan pemerintah daerah.

Lemahnya komitmen pemerintah untuk memberikan anggaran pada sektor yang ditangani oleh OMS dapat dilihat pada penanganan HIV/AIDS dalam kerangka Target Three Zero 2030. Pada tahun 2021, pemerintah Medan, Surabaya, Makassar, Sorong, dan Jayapura tidak menganggarkan dana untuk program ini. 

Kondisi ini menggambarkan bahwa pendanaan dari kas negara minim bukan karena anggaran tak memadai, melainkan karena pemerintah tidak menjadikan bantuan dana OMS sebagai prioritas.

Minimnya pendanaan tidak hanya memengaruhi operasional organisasi tetapi juga pada para anggota dan aktivis yang terlibat di dalamnya. OMS kerap kepayahan dalam mempertahankan pekerja yang kompeten karena keterbatasan anggaran untuk memberikan gaji yang stabil. Situasi ini mengancam pengembangan organisasi dan keberlanjutan program-programnya.

Sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi minimnya pendanaan dari pemerintah, lahirlah inisiatif bernama Ananta Fund pada 2022.

Ananta Fund merupakan forum kolaborasi untuk membuka peluang kerja sama penyedia dana dari berbagai sektor, mulai dari organisasi bilateral, multilateral, filantropi, dan perusahaan. Inisiatif ini berupaya meningkatkan jumlah dana abadi Ananta Fund serta pendanaan langsung untuk program penguatan OMS.

Dukungan wajib dari pemerintah

Kesejahteraan OMS, baik secara organisasi maupun individu, sangat bergantung pada pendanaan. Sayangnya, akses terhadap sumber dana, terutama dari pemerintah, juga sangat terbatas.

Sebagai gantinya, OMS mencoba diversifikasi donor agar tidak bergantung dari satu sumber dana. Sebagai contoh, mereka mencari pendanaan dari CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) maupun platform urun dana atau crowdfunding seperti Kitabisa.com.

Melihat situasi tersebut, pemerintah seharusnya lebih peka dan mengakui peran OMS dengan memberikan dana yang memadai. Pemerintah perlu mendefinisikan peran OMS sebagai mitra strategis dalam membantu masyarakat dan mengakui peran penting mereka dalam perubahan sosial.

Selain itu, keterbukaan pemerintah dan peluang kerja sama yang lebih luas untuk OMS akan membantu menopang keberlanjutan OMS dalam menggaungkan aspirasi publik dan merealisasikannya dalam bentuk pembangunan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 Maret 2025

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.



Categories
Politik Sosial Budaya

Urgensi Perda Kebudayaan

Kota Yogyakarta sampai tahun 2025 ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara khusus mengenai kebudayaan. Meski pada tingkat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah diatur secara komprehensif di dalam Perdais DIY Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan, tetapi sebagai kota yang memiliki kewenangan tersendiri sudah sepatutnya Kota Yogya karta juga memiliki Perda Kebudayaan. 

Sedikit lebih maju daripada Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul telah memiliki Perda khusus mengenai pengelolaan kebudayaan sejak tahun 2022 lalu. Perda tersebut setidaknya dapat menjadi pijakan dan jaminan akan hadirnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam urusan kebudayaan, baik sekarang maupun mendatang. 

Mendesak 

Setidaknya ada beberapa argumentasi mengapa pembentukan Perda tentang Kebudayaan sangat urgen untuk segera diwujudkan di Kota Yogyakarta. Secara filosofis, sebagai bagian dari DIY, Kota Yogyakarta mewarisi nilai-nilai luhur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat. Warisan budaya tersebut perlu dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan dan dibina agar terus lestari. Pemerintah Daerah harus hadir dalam rangka mempertahankan eksistensinya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan di tengah tantangan dan hambatan peradaban daerah. 

Secara sosiologis, tren positif pengelolaan kebudayaan yang dianggap telah baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Raihan kategori terbaik/emas oleh Kota Yogyakarta dalam penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 dari Kementerian Kebudayaan, perlu juga diimbangi dengan kontribusi murni Kota Yogyakarta kepada pengelolaan kebu- dayaan. 

Saat ini, kontribusi Kota Yogyakarta dalam tata kelola kebudayaan, secara mayoritas masih dalam kedudukannya sebagai pelaksana dan penerima tugas urusan keistimewaan bidang kebudayaan dari Pemerintah DIY, bukan murni dari inisiatif atau otonomi Kota Yogyakarta. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberikan kesempatan kepada Pemerintah Kota untuk juga turut aktif dalam memajukan dan melestarikan kebudayaan di daerahnya.

Secara yuridis, kontribusi yang belum optimal di atas dapat dimaklumi karena Pemerintah Kota Yogyakarta sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Tahunan 2023 Dinas Kebudayaan mengamini sendiri bahwa Kota Yogyakarta memiliki keterbatasan perangkat regulasi teknis terkait dengan pelestarian, pengawasan, dan pengembangan seni budaya di Kota Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasi- kan bahwa terjadi kekosongan hukum bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan tata kelola kebudayaan yang berlandaskan atas otonomi daerah. 

Materi Muatan 

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka ke depan, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta perlu segera membentuk Perda Kota Yogyakarta tentang Kebudayaan. Materi muatan yang perlu diatur dapat berisi beberapa hal berikut. Pertama, sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan antara Pemerintah Daerah DIY dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tujuannya bukan untuk memperumit pembagian kewenangan, tetapi justru dapat memperjelas masing-masing kewenangan dari dua daerah tersebut. Di samping sebagai pelaksana tugas dari Pemerintah DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta juga perlu dimak- simalkan kontribusinya seba- gai daerah yang memiliki kewenangan tertentu. 

Kedua, pemetaan mengenai objek kebudayaan.yang bersumber dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat yang memang berada di Kota Yogyakarta di antaranya nilai hamemayu hayuning bawana, segoro amarto, dan rewang/balad. Ketiga, perlu pengaturan mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan urusan di bidang kebudayaan yang dapat terdiri pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. 

Keempat, pemeliharaan dan pengembangan rintisan ke lurahan budaya serta kelurahan budaya. Dua entitas ini perlu diberi pembinaan dan pelestarian melalui diantaranya peningkatan manajemen, kungan dan fasilitasi sarana dan prasarana serta pendampingan tenaga teknis. Ketentuan ini menjadi lokalitas (local wisdom) karena menjadi kekhasan Kota Yogyakarta. Kelima, pemberian pengha gaan kepada pihak-pihak yang telah be. prestasi dan berperan penting dalam upaya pengelolaan kebudayaan. Penghargaan dapat berupa fasilitas, insentif dan bentuk lainnya. 

Keenam, peran serta masyarakat. Ketentuan ini mengatur mengenai peran apa saja yang dapat diberikan oleh masyarakat di dalam pengelolaan kebudayaan. Peran serta dapat berupa bantuan upaya pengelolaan kebudayaan, bantuan pendanaan, melakukan pelindungan sementara, melakukan advokasi publikasi dan sosialisasi serta pengawasan terhadap upaya pengelolaan kebudayaan. Ketujuh, dukungan pendanaan dalam pelaksanaan pengelolaan kebudayaan. 

Beberapa materi muatan di atas perlu dipertimbangkan agar kehadiran Pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih nyata dalam memberikan kontribusi dalam pengelolaan kebudayaan sebagai daerah otonom, bukan hanya dalam kedudukannya melaksanakan tugas dari Pemerintah DIY. Tentu saja hal ini bertujuan agar potensi kebudayaan di Kota Yogyakarta menjadi optimal secara khusus dan secara umum kebudayaan DIY dapat lestari secara maksimal.



Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 26 Maret 2025

M. Addi Fauzani
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII