Categories
Sosial Budaya Trending

Riset: Jurnalis Perempuan Masih Menjadi Target Rentan Kekerasan

Berdasarkan survei berskala nasional itu, sebanyak 85,7% dari 1.256 jurnalis perempuan dari seluruh Indonesia yang menjadi responden pernah mengalami berbagai tindakan kekerasan. Sebanyak 753 jurnalis perempuan (70,1%) mengaku mengalami kekerasan, baik di ranah fisik maupun digital. Dari pengakuan responden yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 179 jurnalis (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka.

Data terbaru dari hasil riset kolaboratif antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada tahun 2022 juga menunjukkan fakta serupa. Riset tersebut mengungkapkan 82,6% dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang menjadi responden penelitian tersebut menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual.

Kedua temuan ini menjadi sinyal bahaya sekaligus ironi.

Bahaya karena menguatkan fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan masih mengancam, terus terjadi, bahkan semakin meningkat di sekitar kita, tanpa memandang profesi, termasuk dengan adanya jenis kekerasan gender berbasis online (KGBO), yakni ketidakadilan dan diskriminasi gender yang terjadi di ruang online, seperti pelecehan, intimidasi, penguntitan, penyadapan, dan pornografi yang tidak diminta.

Ironis karena kekerasan ini justru banyak dialami oleh jurnalis perempuan, kelompok yang secara sosial dan politik dapat dikategorikan lebih berdaya karena profesi dan pengetahuannya dibanding perempuan Indonesia pada umumnya.

Berawal dari ruang redaksi

Meskipun di era sekarang jumlah jurnalis perempuan terus meningkat, daya tawar sosial politik para jurnalis perempuan di tempat kerja masih terbatas. Kultur maskulin yang mengidentikkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan laki-laki lebih mendominasi ruang-ruang diskusi.

Isu-isu yang diangkat dan ditulis perempuan banyak diklasifikasi media sebagai isu yang dianggap ringan dan aman bagi perempuan, seperti gaya hidup, fesyen, dan kehidupan domestik. Eksistensi jurnalis perempuan yang menempati posisi struktural media dan aktif membahas isu-isu penting, seperti politik, ekonomi, dan hukum belum menjadi tren umum bagi media-media arus utama di Indonesia.

Penelitian PR2Media tahun 2021 juga menemukan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah rekan kerja (20,9%) dan atasan (6,9%).

Data ini memunculkan tanda tanya tentang apa yang telah dilakukan oleh organisasi media tempat jurnalis bekerja ketika menghadapi situasi tersebut. Lebih jauh ketika organisasi media tidak mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis mereka sendiri, ke mana penyintas kekerasan mengadukan kasusnya untuk mencari pertolongan dan keadilan?

Di sinilah perlunya menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan. Ruang aman yang mengedepankan budaya tanpa kekerasan, mulai dari individu jurnalis, organisasi atau perusahaan media, asosiasi jurnalis, dan regulator media.

Dilihat dari angka statistik AJI tahun 2012, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia dibanding jurnalis laki-laki hanya sekitar 1:4 (25%). Data lain dari Angela Romano, akademisi Australia yang meneliti perkembangan pers Indonesia dalam transisi politik 1998, merinci variasi data persentase jurnalis perempuan di Indonesia antara tahun 1973-2001 yang meningkat dari 2% hingga 30% dari total jurnalis.

Sayangnya, jumlah jurnalis perempuan yang meningkat tidak otomatis mengindikasikan rendahnya budaya kekerasan terhadap perempuan yang bekerja dalam media.

Fenomena ini disebut sebagai ‘glass ceiling’ atau ‘langit-langit kaca’, yang menggambarkan pengalaman perempuan yang bekerja pada mayoritas organisasi media di dunia.

Langit-langit kaca adalah istilah yang menggambarkan situasi meskipun perempuan mulai banyak berpartisipasi di media, lebih sedikit perempuan yang memegang posisi kunci, berkontribusi nyata dalam proses pengambilan keputusan besar, atau mampu naik ke posisi yang lebih tinggi, lebih kuat, dan menguntungkan selama karier mereka di media.

Kondisi ‘glass ceiling’ ini berpotensi melanggengkan kekerasan karena kebijakan atau keputusan tentang jurnalis perempuan akhirnya diselesaikan dari kacamata ‘boys club’, istilah yang merujuk pada dominasi laki-laki yang menduduki posisi-posisi puncak dalam manajemen media.

Perlunya regulasi yang mampu melindungi jurnalis perempuan

Selain mengikuti dan menindaklanjuti konvensi global dan lokal pada organisasi media secara nyata, Dewan Pers bersama asosiasi-asosiasi jurnalis dan organisasi media perlu segera mendorong dan menyusun regulasi serta kebijakan yang dapat melindungi dan mencegah kekerasan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan.

Selama ini belum ada regulasi khusus dan peraturan standar tentang pencegahan, perlindungan, dan penanganan kasus kekerasan untuk jurnalis perempuan di Indonesia. Peraturan Dewan Pers Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, misalnya, masih bersifat umum dan normatif.

Dukungan dan kehadiran semua pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem antikekerasan terhadap jurnalis perempuan diperlukan di semua lini. Langkah Dewan Pers menyelaraskan visi manajemen dan pemilik media untuk melindungi jurnalis perempuan menjadi keniscayaan. Dewan Pers diperlukan sebagai otoritas lembaga yang lebih tinggi dalam mengatur kehidupan pers di Indonesia.

Aturan yang melarang adanya kekerasan di media ini tidak hanya berkaitan dengan konten-konten media, tapi menyasar kebijakan struktural dalam organisasi sehingga mampu memberi payung hukum dan sanksi yang tegas bagi pengelola media.

Langkah konkret selanjutnya, media perlu menyusun aturan turunan yang detail, bisa berupa protokol, peraturan perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tentang perlindungan jurnalis, khususnya terhadap jurnalis perempuan, termasuk kekerasan seksual sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Keberadaan aturan ini akan memberikan jaminan kepada korban untuk berani melaporkan kasusnya, tanpa ancaman pemecatan atau konflik ketenagakerjaan lain yang merugikan.

Dengan adanya jaminan regulasi, jurnalis memiliki ruang yang leluasa untuk mewujudkan sistem pendukung berbentuk serikat, asosiasi, dan gugus tugas yang berorientasi pada perlindungan jurnalis perempuan. Ini tentunya disertai dengan beragam pelatihan yang berkelanjutan, termasuk memberi materi baru tentang perlindungan keamanan digital dan pemahaman KGBO bagi jurnalis.

Menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan

PR2media membuat modul Mencegah dan Mengatasi Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan dan mendefinisikan ruang aman untuk jurnalis perempuan sebagai kesadaran, sistem dukungan, dan ketersediaan infrastruktur yang menjamin keamanan mereka dari berbagai tindak kekerasan.

Ruang aman untuk jurnalis perempuan diawali dengan pengarusutamaan kesetaraan gender dan budaya antikekerasan di ruang redaksi dan perusahaan media secara umum. Ini dapat mencegah normalisasi adanya kekerasan terhadap jurnalis perempuan karena pandangan dan kultur misoginis. Sikap menyangkal adanya kekerasan karena pandangan dan kultur misoginis serta menganggap normal pelecehan lewat candaan atau lelucon bisa dicegah.

Tidak hanya eksklusif untuk aktivis perempuan, pengarusutamaan gender sangat diperlukan di semua lini kerja jurnalistik. Langkahnya bisa dimulai dengan mengajak jurnalis laki-laki peduli dan punya kesadaran yang sama tentang kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Maret 2023

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Peneliti pada riset jurnalisme, gender, dan media digital. 

Categories
Politik Sosial Budaya

Bagaimana Aktivisme Digital Penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024

Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga politik. 

Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 55%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Dunia.  

Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.

Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini menyangkal bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.

‘Anies Bubble’ dan manuver politik

Akun @aniesbubble mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023.

Akun @aniesbubble mengadopsi karakter fandom K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai pendukung hak asasi manusia, lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak, dan memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis). 

Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas clicktivismmetavoicing, dan assertion yang diungkapkan oleh Jordana J.George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat. 

Aktivisme ini diawali dengan clicktivism, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian likevoting, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun @aniesbubble muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip Live TikTok Anies yang pertama  pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan like sebanyak 4,1 ribu. Voting dilakukan saat @aniesbubble membuka voting pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024, antara Humanies atau Manies.

Aktivitas berikutnya adalah metavoicing, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang post (reposting), sharing, dan retweeting unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan repost terbanyak adalah konten mensenai guru PAUD, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.

@aniesbubble juga melakukan metavoicing dengan mengunggah ulang potongan-potongan video live Tiktok Anies ke platform X. Repost maupun retweeting merupakan aktivitas yang satu level lebi tinggi daripada liking karena membutuhkan usaha yang lebih.

Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari live Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X.

Sementara itu, assertion didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan skill yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada clicktivism dan metavoicing karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.

@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat konten-konten promosi seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.

Melalui wawancaranya dengan media Magdalene , admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.

Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop. Akun X dengan username @olpproject bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. Video promosi Anies dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.

Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut

Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.

Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka. 

Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan banyak disindir oley warganet di X “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.

Adu ‘branding’ kandidat di media sosial

Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (botism).

Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha menciptakan branding diri agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.

Capres Prabowo Subianto juga membentuk image ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah podcast pada 2019 lalu yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.

Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana pengguna media sosial menunjukkan perspektifnyaHype di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Februari 2024

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada  masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Sosial Budaya

‘Ecohorror’, Alternatif untuk Film Horor Religi di Indonesia

Sutradara Indonesia, Gina S. Noer melayangkan kritik terhadap tren film horor yang sedang berkembang di Indonesia. Ia menyayangkan para sineas yang cenderung mencari jalan cepat untuk menciptakan efek seram dengan memanfaatkan ritual ibadah, alih-alih mengutamakan variasi dan kedalaman cerita. Banyak kalangan juga mempermasalahkan bagaimana agama direduksi sedemikian rupa dan hanya menjadi alat untuk membuat adegan-adegan seram.

Kiblat (2024) menjadi salah satu film yang banyak disorot. Mulai dari poster yang dinilai menistakan agama karena menampilkan sosok seperti iblis sedang salat sampai penggunaan judul ‘kiblat’ yang dianggap menjelek-jelekkan ka’bah selaku tempat suci. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan meminta Agung Saputra, sutradara Kiblat, beserta timnya untuk meminta maaf kepada publik.

Eksploitasi agama di film horor bukanlah hal baru. Sejak rezim Orde Baru, ketatnya sensor pemerintah terhadap film demi menjaga stabilitas rezim, membuat mayoritas pembuat film memilih jalan yang relatif lebih aman. Caranya dengan memproduksi film horor yang mengandung unsur adegan ranjang dan kesadisan, sambil mempromosikan moralitas bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan dan bertakwa kepada Tuhan adalah solusi keselamatan.

Setelah reformasi, mulai muncul film horor yang berani ‘menghilangkan’ kesakralan agama. Sosok kiai atau ustaz tidak lagi menjadi solusi mutlak dari serangan roh jahat. Namun, terlepas dari posisi agama dalam narasi film, ia tetap menjadi menu wajib bagi film horor.

Ini menunjukkan kurangnya eksplorasi sineas terhadap isu religiusitas di masyarakat. Isi film horor hanyalah pengulangan adegan-adegan horor dalam suatu praktik ibadah, misal orang salat yang dimakmumi hantu atau hantu yang bisa memutus doa seseorang. Seolah-olah, tidak ada formula atau ide cerita lain untuk film horor di Indonesia.

Padahal, film horor memiliki potensi sebagai medium yang bisa membicarakan beragam isu penting, termasuk isu lingkungan. Terlebih, masyarakat kita tidak kekurangan cerita-cerita mengenai alam yang bisa mendatangkan celaka kepada siapapun yang mengusiknya.

Apa itu genre ‘ecohorror’?

Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia.

Dalam genre ini, alam direpresentasikan sebagai kekuatan-kekuatan mengerikan yang mengancam manusia gara-gara aktivitas eksploitatif. Salah satu contoh yang paling sering dibahas adalah Godzilla (1954)—film tentang monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

Dalam perkembangannya, ecohorror semakin mempunyai banyak varian cerita yang mengeksplorasi bentuk-bentuk hubungan antara manusia, alam, dan terutama mahluk hidup lainnya.

Deep Blue Sea (1999), misalnya, menggambarkan ilmuwan yang melakukan eksperimen untuk meningkatkan kapasitas otak hiu dalam upaya menemukan obat alzeimer. Namun, situasi berubah horor ketika hiu yang semakin cerdas memburu para ilmuwan dan staf di fasilitas penelitian mereka.

‘Ecohorror’ dan upaya memahami alam di Indonesia

Jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih sedikit. Genre ini tak banyak dibahas baik di ranah populer maupun akademis. Sejauh ini, saya hanya menemukan penelitian tahun 2023 yang secara spesifik membicarakan ecohorror, khususnya dalam konteks perfilman di era Orde Baru.

Menurut riset tersebut, film Ratu Buaya Putih (1988) dan Titisan Dewi Ular (1990) mempunyai formula yang serupa yaitu kemarahan alam atas perbuatan manusia.

Dalam Ratu Buaya Putih, perilaku eksploitatif manusia ditunjukkan lewat pembantaian buaya oleh tokoh bernama Sumarna dan Jefri demi kepentingan bisnis, sedangkan dalam Titisan Dewi Ular, persoalannya adalah spesies ular yang eksistensinya terancam oleh tokoh bernama Dayan demi memperoleh kesaktian. Kedua film tersebut lantas menghadirkan pembalasan alam melalui representasi roh-roh dengan wujud siluman buaya dan siluman ular.

Pada konteks film Indonesia kontemporer, genre ecohorror juga mulai muncul. Sayangnya, isinya masih didominasi narasi yang menempatkan alam sebagai entitas berbahaya.

Seri Kisah Tanah Jawa: Merapi (2019), misalnya, berbicara mengenai demit gunung Merapi yang bisa menculik manusia untuk dijadikan pengantin. Ceritanya mengadopsi kisah yang berkembang di masyarakat mengenai gunung sebagai tempat angker, kerajaan makhluk halus, kemudian pendaki yang hilang dan diculik oleh bangsa jin untuk dijadikan sebagai pengantin.

Namun, karena terlalu fokus pada penciptaan teror, seri ini berhenti pada penggambaran gunung yang misterius dan berbahaya. Sementara manusia sekadar diposisikan menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai kekuatan jahat di sana. Narasi ini berpotensi menciptakan ecophobia (ketakutan irasional terhadap alam) alih-alih tergerak untuk memahami alam secara lebih mendalam.

Memang, risiko membuat audiens menjadi ecophobic tetap ada pada setiap film ecohorror. Sebab, ecohorror adalah genre yang kerap menghadirkan kengerian kepada penonton, entah melalui monster atau perubahan iklim yang membawa bencana.

Namun, kita tetap butuh film ecohorror yang memberi penekanan kuat terhadap kerusakan alam akibat ulah manusia agar muncul rasa bersalah atau, paling tidak, kegelisahan di antara penonton sehingga memantik perbincangan terkait isu-isu lingkungan.

Potensi genre ‘ecohorror’

Meski jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih terbatas, Indonesia memiliki kekayaan cerita yang secara dialogis mewacanakan hubungan antara alam, entitas makhluk gaib, dan manusia.

Di YouTube, misalnya,acara-acara talkshow berbasis paranormal experience telah banyak memuat cerita bagaimana para pendaki gunung memperoleh gangguan jin gara-gara mengotori lingkungan,  seperti mengotori tempat-tempat sakral atau membuang pembalut sembarangan. Biasanya mereka baru bisa lepas dari gangguan tersebut setelah meminta maaf kepada si jin penjaga gunung.

Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara.

Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya.

Kontekstualisasi ‘ecohorror’

Industri perfilman luar negeri sudah banyak mengeksplorasi variasi tema dalam genre ecohorror. Godzilla merupakan salah satu monster yang filmnya paling sering direproduksi dan kerap menjadi perbincangan terkait isu-isu lingkungan. Jika film Godzilla pertama (1954) menyuguhkan pesan mengenai bom nuklir yang membawa petaka, Godzilla versi baru menyajikan tema perubahan iklim dan kepunahan massal.

Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menggunakan formula film ecohorror dari luar.

Sebagian besar masyarakat Indonesia barangkali tidak bisa terhubung dengan kisah monster yang bangkit gara-gara ledakan nuklir atau monster yang tercipta akibat eksperimen sains tertentu. Namun, mereka jelas punya kedekatan terhadap kisah para pendaki gunung yang tersesat ke desa gaib karena membuang pembalut sembarangan. Jutaan views di kanal YouTube RJL 5 saat mengundang narasumber-narasumber yang mengklaim punya pengalaman soal penunggu gunung, misalnya, menguatkan hal ini.

Dengan minat yang tinggi terhadap isu-isu pengalaman gaib, film-film ecohorror bisa menjadi salah satu medium untuk mengarusutamakan isu lingkungan di tengah masyarakat. Meski film horor sendiri bersifat dinamis, fleksibel, dan terbuka untuk berbagai interpretasi, mengeksplorasi ecohorror bisa menjadi langkah awal untuk memantik dialog terkait isu lingkungan, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang kerap abai terhadap kelestarian alam.

Minimal, film ecohorror bisa mengajak kita untuk berpikir ulang: masihkah kita berupaya memahami alam dan bahasa-bahasanya dengan benar?

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 17 April 2024

Khumaid Akhyat Sulkhan
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bergiat di Klub Studi Simulakra. Bidang riset pada kajian media dan budaya digital.

Categories
Politik Sosial Budaya

Riset Ungkap Bentuk Empat Model Afiliasi Media dan Politik di Indonesia

Dalam 20 tahun terakhir, kepemilikan media konvensional dan digital di Indonesia dipandang strategis, bukan semata-mata untuk tujuan bisnis murni tapi juga politik praktis.

Media, terutama televisi dan media digital terafiliasi, milik politikus digunakan sebagai alat kampanye politik selama pemilihan umum (pemilu), termasuk Pemilu 2014 dan 2019.

Merespons isu ini, riset terbaru kami memotret kondisi aktual kepemilikan media serta menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik (pemerintah, parlemen, dan partai politik).

Riset ini dibuat dengan harapan bisa membantu pembuat kebijakan, pekerja dan aktivis media, dan masyarakat sipil dalam memahami interelasi media dan politik praktis yang akan berimplikasi pada kontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan kurang dari sepekan lagi.

Riset ini menunjukkan adanya bentuk-bentuk kepemilikan media dan afiliasi politik praktis yang kompleks. Kepemilikan dan hubungan itu diduga kuat menabrak regulasi media pers, penyiaran, dan keterbukaan informasi publik.

Empat model afiliasi

Dalam menyusun riset ini, kami terinspirasi buku klasik Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (1999) karya Robert McChesney. Buku ini kami pakai karena bisa membantu menjelaskan fenomena interkoneksi antara kepemilikan media dan perpolitikan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Dengan mengambil latar di Amerika Serikat (AS) dalam era media konvensional, McChesney mensinyalir jumlah media komersial yang tak terhingga, angkanya tidak bisa lagi dihitung, tetapi kontribusinya terhadap demokrasi sangat minimal. Pascadisrupsi digital, situasi serupa berlanjut, dan bukannya memberi optimisme atas demokrasi elektoral, tetapi mengancam dan memicu kemunduran demokrasi.

Temuan hampir serupa muncul dalam riset terbaru kami yang datanya diambil di Jakarta dalam periode November 2022 hingga September 2023. Data riset ini digali lewat focused group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan para stakeholder media dan penyelenggara pemilihan umum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), organisasi jurnalis, akademisi komunikasi, dan wakil organisasi masyarakat. Data-data primer ini didukung dengan data sekunder yang berupa analisis dokumen legal perusahaan pers.

Data riset kami menunjukkan bahwa salah satu masalah mendasar yang mengancam demokrasi khususnya pemilu adalah kepemilikan media yang terkonsentrasi di segelintir pengusaha yang sekaligus menjadi pemilik/pengurus partai politik.

Mengenai analisis kepemilikan media ini, terdapat beragam pendekatan dan konsep. Konsep kepemilikan bisnis media yang digunakan dalam riset ini diadaptasi dari pemikiran Gillian Doyle dalam publikasinya Media Ownership (2002); dan Media Ownership Transparency in Europe: Closing the Gap between European Aspiration and Domestic Reality (2021)  dari Rachael Craufurd Smith, di antaranya: horizontal (satu platform banyak saluran), vertikal (bisnis media dari hulu ke hilir), diagonal (campuran horizontal dan vertikal) dan konglomerasi: lintas usaha.

Dalam mencermati kepemilikan, kami menggunakan dua pintu masuk: uang (saham pada media) dan posisi kekuasaan dalam struktur media.

Adapun konsep afiliasi politik dapat dilihat dalam dua sisi: (1) afiliasi langsung, yakni pemilik atau pengelola media sekaligus merupakan pejabat publik, calon atau anggota parlemen (DPR, DPR, DPD) dan pengurus partai politik. (2) Afiliasi tidak langsung, yakni para pekerja media terhubung kepada partai politik, pejabat pemerintah, anggota DPR, tim sukses, calon anggota legislatif, tim ahli, dan konsultan.

Dengan konsepsi ini dan data-data di lapangan, kami mengembangkan empat tingkatan konseptual afiliasi media dan politik di Indonesia.

Pertama, afiliasi ekstrem yang muncul ketika pemilik media dan keluarganya (pemegang saham-komisaris-direksi) sekaligus menjadi ketua partai, calon legislatif (caleg) atau anggota parlemen pusat atau daerah, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh paling jelas dari tipe ini adalah Hary Tanoesoedibjo. Pada sisi media, dia merangkap pemilik (pemegang saham) MNC group, direktur utama (memimpin operasional). Sementara, dari sisi politik, dia menjadi Ketua Umum Perindo, sekaligus menjadi caleg DPR.

Pada saat yang sama, Hary memiliki anak perempuan, Angela Tanoesoedibjo, yang menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada perhelatan Pemilu 2024 ini, seluruh keluarga inti Hary Tanoesoedibjo juga maju menjadi calon anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan.

Di luar keluarga, hasil wawancara riset ini juga menunjukkan bahwa Hary aktif mengimbau karyawannya untuk maju sebagai calon legislatif.

Dari temuan data ini, dapat dikatakan bahwa Hary Tanoesoedibjo memiliki interkoneksi media dan politik praktis yang nyaris paripurna. Ia memegang kendali banyak media, memiliki satu partai, punya anak yang duduk di pemerintahan, dan berpotensi duduk di parlemen (jika terpilih). Model ini barangkali hanya ada di Indonesia.

Kedua adalah afiliasi kuat. Afiliasi ini muncul ketika seseorang berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contohnya adalah Surya Paloh (SP). SP adalah pemilik Media Group (dengan saham mayoritas sekaligus direktur utamanya). Dia juga Ketua Umum Partai Nasdem. Anaknya, Prananda Surya Paloh, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan juga anggota DPR periode 2019-2024. Prananda kini maju kembali di Pemilu 2024.

Partai milik SP, Nasdem, juga menempatkan tiga Menteri dalam kabinet Jokowi selama dua periode: Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate; Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, dan; Menteri Pertanian Syahru Yasin Limpo.

Ketiga adalah bentuk afiliasi moderat. Afiliasi ini teridentifikasi ketika seseorang menjabat direksi di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh model ini adalah Syafril Nasution. Dia menjabat sekretaris perusahaan Media Nusantara Citra (MNC), Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) 2019-2022, dan kini menjadi caleg Perindo daerah pemilihan Jawa Tengah 1. Selain itu, Syafril juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Perindo.

Keempat adalah afiliasi lemah. Afiliasi ini muncul ketika jurnalis atau editor media menjadi caleg, anggota parlemen, atau pengurus partai. Pada hasil penelitian, jurnalis tingkat nasional yang menjadi caleg antara lain adalah Aiman Witjaksono. Selain menjadi jurnalis di MNC Group, Aiman juga maju calon DPR lewat Partai Perindo.

Dalam wawancara riset ini, Aiman menyatakan keputusannya pindah dari Kompas TV ke MNC Group salah satunya juga karena adanya peluang berkiprah di dunia politik. Aiman dalam wawancara mengatakan “Jadi di sini (MNC Group) saya lihat, saya bisa masuk ke media di mana saya juga bisa berkiprah di partai politik. Tapi, bukan mencampuradukkan keduanya.”

Di luar Aiman, penelitian kami juga menunjukkan bahwa ada beberapa jurnalis senior di berbagai provinsi di Indonesia yang maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Dampaknya, media-media tempat mereka bekerja menunjukkan keberpihakan kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita.

Menarik diperhatikan, bahwa empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya, seperti EMTEK, Grup Kompas Gramedia, Jawa Pos Group, Berita Satu Media Holding, CT. Corps, dan TEMPO Media Group.

Perlu perubahan peraturan

Riset ini mengonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan media dan afiliasi politik. Hal ini menjadi peringatan pada tiga pihak: regulator media, regulator terkait pemilu, dan regulator terkait persaingan usaha di Indonesia.

Untuk memitigasi isu ini, kami menyampaikan rekomendasi reformasi kebijakan terkait kepemilikan media, afiliasi media dan jurnalis ke dalam struktur politik. Reformasi kebijakan ini penting untuk mewujudkan pemilu yang adil dan sehat ke depan.

Pada konteks kepemilikan media, sebenarnya sudah ada dua aturan pembatasan kepemilikan, yakni (1) pelarangan kepemilikan oleh pemerintah dan warga negara asing dan (2) pembatasan cross ownership di UU Penyiaran.

Menurut kami, masih perlu adanya penambahan aturan di UU, berupa pembatasan kepemilikan media oleh politikus, pejabat pemerintah atau pengurus partai politik (secara langsung atau tidak langsung).

Kita juga perlu mendorong revisi aturan partisipasi politik di UU Pemilu, khususnya kandidasi dalam kepemiluan demi menjaga independensi media dan jurnalis. Pelarangan jurnalis saja menjadi caleg tidak cukup dan tidak adil. Pelarangan terjun ke politik elektoral juga harus melingkupi para pemilik saham dan pejabat tinggi media juga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 1 Februari 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Sosial Budaya

Tren ‘Asoka Challenge’: Bagaimana TikTok Mengubah Cara Kita Berkomunikasi dan Berekspresi di Media Sosial

Pernah dengar potongan lagu yang berbunyi “San sanana nana, san sanana nan… Jaa jaa re jaa re jaa re, jaa re pawan”?

Setidaknya sejak 24 April 2024, banyak orang yang terngiang-ngiang dengan potongan lirik lagu dari film Asoka yang dibintangi Shah Rukh Khan (Asoka) dan Kareena Kapoor (Kaurwaki) tersebut.

Meski filmnya sendiri sudah rilis lama, lagu ini populer kembali sejak digunakan sebagai background music dari Asoka challenge—sebuah tren di TikTok yang mengajak pengguna meniru riasan dan gaya busana ala India lalu bertransformasi menjadi Kaurwaki.

Hasil penelusuran saya menunjukkan bahwa akun @izzynoteasy, @yunicantiek, @ayupurnamadewi, @azkhategar391, dan @farrajaidi adalah kreator pertama yang memopulerkan tren Asoka challenge di Indonesia sejak 2022. Melalui TikTok, tren tersebut tersebar di penjuru dunia.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana cara kita berkomunikasi dan berekspresi di media sosial telah berubah. Dari yang semula hanya bisa melihat, sekarang kita bisa berinteraksi, membuat, menyebarkan, dan mengundang pengguna lain untuk berpartisipasi melalui penggunaan hashtag (tanda pagar/tagar), partisipasi yang imitatif, dan meme audio.

Tagar memudahkan pencarian

Penggunaan tagar membatasi berlebihnya topik, sehingga memudahkan pencarian. Sebagai objek digital, tagar berfungsi sebagai indeks untuk mencari, menavigasi, berinteraksi, memantau, melacak, dan mengambil kumpulan data.

Dari 63 sebaran tag pada 20 video dengan penonton terbanyak, penulis menemukan lima tagar paling banyak digunakan yakni #asokamakeup (15,9%), #indiamakeup (7,9%), #makeuptransition (6,3%), #asoka (6,3%), dan #fyp (6,3%). Meski #fyp mendapatkan porsi kecil, tagar ini umum digunakan dan terpopuler di TikTok. Interaksi pada tagar mengekspresikan percakapan Asoka secara global. Terlihat dari sekitar 55,2 triliun penggunaan #fyp secara global, yang 10,51% diantaranya berada pada konten Asoka.

Meski TikTok tidak secara resmi menyatakan penggunaan tagar #fyp, para penggunanya percaya bahwa algoritme TikTok mempertimbangkan tagar ini, mencocokkan dengan pengguna yang tepat, sehingga meningkatkan peluang kemunculan di halaman For You—umpan video yang dipersonalisasi berdasarkan minat dan keterlibatanmu dengan konten tertentu.

Peniruan sebagai bentuk partisipasi

Pengguna TikTok menggambarkan challenge sebagai penunjukkan atas diri, mendapatkan rasa hormat, dan membuat prestasi. Misalnya, Asoka challenge memerlukan banyak waktu, keterampilan make-up, dan keahlian teknis yang mumpuni. Kurangnya ketersediaan ketiganya berarti dia ‘menjadi kreator yang aneh’. Ini kemudian menjadikan kreator (pencipta konten) terbagi menjadi dua golongan, peniru handal dan peniru amatiran. Namun, mereka yang berada pada golongan kedua tetap mendapatkan tempat karena algoritme diri yang aneh menjadi hiburan dan tampil di halaman For You.

Dengan TikTok, saat pengguna berpartisipasi, mereka menjadi bagian dari kreator, sehingga terdorong untuk konsisten mengisi konten. Saat berinteraksi dengan konten Asoka, kita memberikan semacam umpan balik kepada TikTok, yang membuat konten-konten yang direkomendasikan untuk kita disesuaikan dengan Asoka.

Variasi konten dalam halaman For You memang ditentukan oleh lima faktor yaitu konten yang selaras dengan standar lokal dan norma budaya, pengaturan bahasa, sistem operasi pada perangkat, video yang baru-baru ini kita lihat-selesaikan-sukai-lewati, kemudian juga video yang berhubungan dengan pengguna lain yang kita ikuti di TikTok. Ini membuat, interaksi dengan akun atau pengguna lain dapat terjadi secara real-time, instan, singkat, dan audiovisual.

Keputusan awal pengguna untuk berpartisipasi umumnya terjadi atas peran kunci selebriti. Farra Jaidi dan Jharna Bhagwani dipandang sebagai selebriti yang kompeten dalam make-up dan transisi. Partisipasi keduanya menyebar ke selebritas lain yang kita sukai dan kemudian membuat kita memutuskan untuk terlibat. Sebab, kedekatan merupakan elemen utama dalam pengambilan keputusan untuk berpartisipasi.

Kecepatan untuk melakukan peniruan juga merupakan ciri khas dari komunikasi ini. Pasalnya, terdapat implikasi sosial dari terlambatnya partisipasi dalam challenge seperti tidak diperolehnya validasi atas konten.

‘Meme’ audio sebagai navigasi kreator

TikTok mengutamakan audio daripada visual. Ini yang disebut sebagai meme audio, yang menjadi template penggerak produksi konten. Meme audio menjadi corong viralnya tren di TikTok. Meme audio adalah prinsip pengorganisasian bagaimana konten diarsipkan ke dalam repositori di TikTok sebagai navigasi pengguna untuk mencari dan membuat tren.

Audio San Sanana menjadi template terjadinya replikasi meme dan memprovokasi jutaan kreator TikTok. Penelusuran kata kunci ‘Asoka Makeup’ melalui Google Trends menunjukkan puncak popularitas tren ini pada 27 April 2024.

Hingga akhir Juni 2024, jutaan kreator berkreasi dalam challenge tersebut. Lebih dari 100 template audio diproduksi dengan banyak versi. Data TikTok per 4 Juni 2024 menunjukkan lima template audio dengan pengguna terbanyak yakni versi Jharna Bhagwani (1,6 juta pengguna), Sita Suwarnadwipa (2,1 juta pengguna), Kikiisifa_muamakassar (34,9 ribu pengguna), The Glamorous Girl (145,5 ribu pengguna), dan Bacan Studio (43,9 ribu pengguna).

Setiap audio memiliki cara untuk menetap di dalam otak, membuat kita tertawan, terus-menerus mendengar, tanpa sadar menyenandungkannya setiap hari, sampai-sampai membuat orang sekitar kita jengkel. Inilah yang disebut dengan earworm, suatu fenomena yang lumrah terjadi dalam platform digital berbasis partisipatori. Ini juga yang membuktikan bahwa audio memiliki kualitas khusus untuk menghibur dan menjadi fitur kunci pada TikTok.

Tren Asoka menunjukkan bahwa TikTok telah mengubah cara kita berkomunikasi dan berekspresi. Sehingga, siapapun dapat berinteraksi langsung dengan kreator, mengajak pengguna lain untuk berpartisipasi dan menikmati challenge, unjuk keterampilan bervideo, dan berkolaborasi antarpengguna.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 Juli 2024

Sumekar Tanjung
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada TikTok culture, media dan gender, produksi media audiovisual.

 

Categories
Islam Sosial Budaya

Tiga Manfaat Pengajian bagi Perempuan: Jalan untuk Berkiprah di Ruang Publik dan Menyuarakan Kesetaraan

Dalam kegiatan yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Februari lalu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, mengomentari kebiasaan ibu-ibu yang senang mengikuti pengajian. Beliau mengatakan bahwa seringnya ibu-ibu mengikuti kegiatan keagamaan ini membuat mereka cenderung meninggalkan anak dan keluarganya.

Pernyataan tersebut memantik beragama tanggapan dari berbagai kalangan, utamanya karena dianggap tidak relevan dengan topik pidato yang saat itu disampaikan, yakni tentang stunting pada anak.

Namun, ada pula yang membela Megawati. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD yang mengatakan bahwa Megawati hanya mengingatkan ibu-ibu yang terlalu sering hadir ke pengajian, bukan melarang.

Terlepas dari segala kontroversi terkait pernyataan politikus senior tersebut, kita perlu melihat secara mendalam mengenai sejarah keterlibatan perempuan dalam kegiatan keagamaan.

Mungkin Megawati juga harus tahu, kegiatan keagamaan bisa menjadi salah satu jalan bagi perempuan untuk berkiprah di luar ranah domestik dan bisa lebih menggaungkan kepentingan perempuan di ranah publik.

Perempuan dan religiositas

Sepanjang sejarah, perempuan kerap kali disingkirkan oleh laki-laki dalam wacana dan ritual keagamaan. Bahkan, posisi mereka sering sebagai pihak yang seakan bertentangan dengan agama.

Misalnya, ada pemahaman keagamaan yang menganggap bahwa perempuan adalah pelaku dosa pada awal periode manusia di bumi, melalui sosok Hawa. Ini kemudian membuat perempuan sering kali dianggap sumber masalah bagi agamawan.

Padahal, penelitian dari Pew Research Center tentang kesenjangan gender dalam agama di ranah global menunjukkan bahwa secara umum, perempuan dari beragam latar belakang keagamaan di seluruh dunia cenderung lebih taat daripada laki-laki dalam partisipasi kegiatan keagamaan.

Dalam salah satu indikator terkait partisipasi peribadatan, riset Pew mengungkap bahwa laki-laki di Indonesia lebih banyak terlibat dalam kegiatan peribadatan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak lebih aktif dalam kegiatan peribadatan dan keagamaan.

Pembacaan yang kurang tepat dalam riset Pew ini disebabkan karena pemaknaan kegiatan keagamaan hanya terbatas pada ritus dan ibadah wajib. Kegiatan harusnya juga meliputi hal lain seperti diskusi keagamaan dan acara-acara yang berlangsung dalam perkumpulan keagamaan. Dalam Islam, contohnya adalah pengajian dan majelis taklim sebagai tempat mengkaji dan mempelajari ajaran keagamaan.

Di sini, partisipasi perempuan dalam kegiatan keagamaan di Indonesia bukanlah hal yang baru.

Pada awal abad ke-20, lahirnya gerakan Muhammadiyah (organisasi Islam modernis) dan Aisyiyah (organisasi otonom perempuan Muhammadiyah) telah berkontribusi mendorong emansipasi perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan dan keagamaan.

Salah satu gebrakan penting yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Aisiyah pada masa itu adalah pendirian Mushola Aisyiyah yang diprakarsai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mushola Aisiyah didirikan untuk memberikan ruang bersosialisasi dan berkumpul bagi perempuan yang selama ini perannya cenderung terbatas di ranah publik.

Setelah Aisyiyah, beberapa organisasi lain seperti Persatuan Islam Istri (Persistri), Muslimat Nahdlatul Ulama, Wanita Islam, dan Badan Koordinasi Majelis Taklim juga muncul untuk memberdayakan perempuan muslim Indonesia. Selain itu, salah satu perempuan muslim Indonesia, Rahmah el Yunusiyyah juga terkenal dengan kiprahnya mendirikan Diniyah Putri sebagai sekolah tinggi keagamaan putri yang pertama di dunia. Hal ini kemudian menginspirasi Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, untuk membangun Kulliyat al-Banat sebagai kampus perempuan untuk mahasiswi di negara tersebut.

Dari pencapaian-pencapaian tersebut, kita bisa melihat bahwa partisipasi perempuan dalam organisasi keagamaan Islam telah memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan status perempuan Indonesia.

Organisasi-organisasi tersebut membuka jalan bagi perempuan muslim Indonesia untuk berkiprah di luar ranah domestik.

Perempuan ikut pengajian: tidak sekadar mencari ilmu agama

Sebagai akademisi hubungan internasional yang fokus pada studi agama dan gagasan politik Islam, saya mengamati adanya empat hal utama yang mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam kegiatan keagamaan, terutama dalam pengajian.

Pertama, riset menunjukkan bahwa menghadiri pengajian bisa berkorelasi positif terhadap kesehatan mental mereka, terutama untuk perempuan lanjut usia (lansia).

Perempuan lansia cenderung semangat mengikuti pengajian karena kegiatan tersebut memberikan kesempatan mereka untuk bersosialisasi. Hal ini biasanya sulit didapatkan oleh perempuan lansia yang sudah tidak memiliki pekerjaan atau rutinitas yang padat.

Adanya kesempatan bagi para perempuan lansia untuk mendalami agama sembari berbagi cerita hidup dan tips keseharian merupakan aktivitas dalam pengajian yang dapat mengurangi kecenderungan mereka mengalami depresi dan kecemasan. Pengajian ternyata dapat membantu perempuan lansia menghadapi masa tua dengan bahagia tanpa perlu takut merasa sendirian.

Kedua, motif ekonomi dan kesejahteraan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong keikutsertaan perempuan dalam kegiatan pengajian.

Perempuan yang bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang pasar, misalnya, seringkali terjebak jeratan utang karena adanya kerentanan dan ketidakstabilan ekonomi. Beberapa pengajian atau majelis taklim menyadari adanya masalah ini, sehingga sebagian pengurus pengajian berinisiatif membentuk jaring pengaman sosial yang dibakukan dalam bentuk baitul mal wa tamwil (BMT) – yang berarti rumah harta dan permodalan usaha.

BMT ini memberikan kesempatan kepada perempuan anggota pengajian untuk mendapatkan akses mikrokredit dengan syarat yang relatif mudah, sehingga mereka dapat keluar dari jeratan utang dan menjadi lebih mandiri secara ekonomi. Beberapa pengajian bahkan juga berinisiatif mendirikan pelatihan kewirausahaan.

Ketiga, adanya pengajian memberikan kesempatan kepada perempuan untuk beraspirasi di ruang publik secara lebih terbuka.

Pengajian maupun majelis taklim menjadi ruang publik bagi para perempuan untuk menyuarakan kepentingannya kepada pihak terkait.

Biasanya para anggota pengajian akan menyampaikan aspirasi dan opininya kepada para ustazah atau pengelola pengajian untuk diteruskan kepada para anggota dewan atau politikus di daerah terkait.

Salah satu contohnya adalah koordinasi antarpengajian perempuan di bawah pimpinan Tutty Alawiyah, pendiri Badan Koordinasi Majlis Taklim. Mereka berhasil mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Anti Minuman Alkohol dan Prostitusi.

Masa depan pengajian perempuan

Mengingat besarnya potensi pengajian dalam menggerakan perempuan di ruang publik, maka ke depannya kegiatan pengajian ini harus lebih dikembangkan secara terfokus.

Contohnya, pengajian perempuan perlu lebih banyak membahas tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di ruang publik. Isu-isu seperti hak pekerja perempuan dan rumah tangga, maraknya perkawinan anak, serta praktik pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan, bisa menjadi kajian bersama dalam pengajian guna meluruskan perspektif yang keliru.

Pengajian perempuan juga perlu mempertimbangkan kolaborasi dengan ragam organisasi. Ini termasuk diskusi lintas iman untuk membahas isu-isu krusial yang berkaitan dengan masalah lingkungan, ketahanan keluarga dan kesehatan masyarakat. Srikandi Lintas Iman adalah salah satu contoh gerakan yang bisa menjadi inspirasi bagi kegiatan pengajian lainnya di seluruh Indonesia.

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 20 April 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Meneliti studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam Hubungan Internasional.

 

Categories
Pendidikan Sosial Budaya

Heared opposite then around but a heinous square amphibisly

Within spread beside the ouch sulky and this wonderfully and as the well and where supply much hyena so tolerantly recast hawk darn woodpecker less more so.

This nudged jeepers less dogged sheared opposite then around but a due heinous square subtle amphibiously chameleon palpable tyrannical aboard removed much outside and without vicious scallop flapped newt as.

Some grimaced after after mercifully lion thus oppressive hello heroically quizzical far impala heroic a passably and through as while far yikes that this plankton hedgehog far less one.

Less baboon inconspicuous pending masochistically stubbornly however thus thus coarse unicorn hawk hence indignantly since a excepting far inconspicuous goodness sensationally slavishly.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Versus penguin aside much via gauche unbound next therefore less taped far after strategic with querulous so away beamed and outside insane.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.

Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Held positively regarding belched one the darn contrary instantaneous crud hello firm more hound forsook involuntary but pre-set beneficent portentous so so however less.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.

Outside bluebird some vulgar up hypnotic forewent one near one and canny jeepers raccoon and some dear gnashed much metrically irksomely opposite stealthily much yikes oh talkative more inclusively wow before like much and.

Together jeez because insect smelled far victorious aside and scowled bet more therefore incredibly then slight that asininely porcupine some hello the while much the crud dogged scratched underlay comparably ouch flagrant less eminent and.
Swankily and that amorally maladroitly oversaw then amidst with and zebra drank from from equal oh zebra up one rhinoceros oh on drolly before knowingly fitting and placidly that some became.

Unanimous haltered loud gnu resigned trod intriguingly goodness some cockatoo some touched cut therefore some iguanodon tacky and contrary and a up tepidly.