Categories
Sosial Budaya

Pendidikan Jurnalisme perlu Dekolonisasi: Berorientasi pada Publik, bukan Industri

  • Pendidikan jurnalisme di Indonesia terlalu fokus pada kepraktisan sehingga kehilangan fungsi kritisnya.
  • Jurnalisme bukan sekadar produk teknologi, pendidikannya harus melampaui orientasi industri.
  • Studi jurnalisme perlu berani melakukan dekolonisasi dengan menekankan refleksi kritis, demokrasi, dan kepentingan publik.

Perkembangan teknologi telah mendisrupsi industri serta pendidikan di jurusan jurnalistik dan komunikasi. Hingga akhirnya muncul istilah-istilah baru populer seperti “big data”, “jurnalisme data”, “jurnalisme digital” dan lain-lain dalam kurikulum mereka.

Meski demikian, pendidikan jurnalisme tetap menuai kritik. Seorang mantan wartawan yang juga content creator, contohnya, menganggap jurnalis sekarang kesulitan mengadopsi teknologi karena masih dididik menggunakan silabus zaman surat kabar yang ketinggalan jaman.

Tapi di satu sisi, keberpihakan pendidikan jurnalisme Indonesia pada industri justru membuat studi ini terlalu fokus pada praktik “penggunaan teknologi”. Sehingga, mudah dicap tidak lagi relevan ketika teknologinya berubah.

Padahal tugas kampus tidak hanya mengajari mahasiswa kemampuan mengadopsi teknologi, tetapi juga berefleksi atau mengkritik teknologi yang merugikan kepentingan publik.

Dengan kata lain, agar terhindar dari jebakan-jebakan relevansi dunia kerja ala industri, pendidikan jurnalisme harus berani melakukan dekolonisasi—keluar dari orientasi kepraktisan dan teknologi ala Barat.

Jadikan agen revolusi bukan budak industri
Sejarah telah membuktikan perkembangan dan inovasi teknologi membuat penggunanya berorientasi pada kepraktisan.

Jurnalistik sendiri lahir dari sekolah kolonial yang mengembangkan ‘teknologi baru’ yaitu keterampilan baca-tulis latin. Keterampilan ini merupakan teknologi baru kala itu, sebagaimana perkembangan sejarah aksara di banyak peradaban lainnya.

Jurnalis, sebagaimana content creator di zaman sekarang, menguasai teknologi yang kala itu sedang tren, sehingga berkembang sebagai profesi sejak akhir abad ke-19.

Tujuannya adalah untuk “memperkuat daya beli masyarakat Hindia Belanda”. Ini mengapa iklan-iklan di surat kabar makin beragam, dari yang berorientasi produk infrastruktur menjadi barang-barang untuk konsumsi keseharian.

Tabel. 1 Estimasi nilai investasi di Hindia Belanda dari 1885 to 1939 (dalam juta Gulden) Creutzberg & van Laanen. 1987 di Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar Dan Perubahan Masyarakat Di Jawa Masa Kolonial (1870-1915) (Tarawang, 2000)

Kelompok cerdik pandai Indonesia kemudian mengubah logika “industri jurnalisme kolonial” ini. Mereka tak lagi berfokus pada bagaimana menggunakan teknologi baca tulis dan percetakan, tetapi menjadikannya sebagai alat perlawanan penjajahan.

Jurnalis Indonesia kala itu mengubah orientasi kepraktisan menjadi alat “komunikasi revolusioner”. Aktivis kemerdekaan Indonesia, seperti Tan Malaka, Sukarno dan lain-lain melawan kolonialisme dengan surat kabar atau penerbitan.

Tak heran, penghormatan masyarakat Indonesia pada jurnalis, setelah kemerdekaan, “…kurang lebih sama dengan…kaum pergerakan kemerdekaan. Sebab persuratkabaran bangsa Indonesia ketika itu memang tegas dan nyata sekali merupakan pers perjuangan kemerdekaan.”

Jurnalisme sebagai studi terbuka
Setelah merdeka, masyarakat Indonesia membangun pendidikan jurnalisme/pers. Salah satu yang terus memperjuangkan pendidikannya adalah Adinegoro, salah satu pelopor pers Indonesia.

Menariknya, Adinegoro sendiri menolak mendirikan sekolah vokasi yang berorientasi praktis. Baginya, negara lebih baik memberikan beasiswa kepada jurnalis untuk bersekolah ke universitas, apapun yang dipelajari.

Pasalnya, menurut Adinegoro, wartawan berperan mendidik warga negara agar turut serta membangun “opini publik”, yang dibungkam oleh feodalisme tradisional dan pemerintah kolonial di masa sebelumnya.

Dengan usul ini, pendidikan jurnalisme dimaksudkan untuk menjadi studi yang terbuka, tidak seperti pendidikan lain yang melahirkan profesi linear.

Adinegoro termasuk orang pertama yang mengusulkan istilah publisistik, untuk menyebut studi yang mempelajari jurnalisme dan praktik komunikasi lainnya. Istilah yang dipinjam dari istilah Jerman ini digunakan dari 1950an sampai 1970an

Dengan visi menghasilkan wartawan sebagai penguat demokrasi, pendidikan publisistik pada 1950an diwarnai dengan banyak mata kuliah teoretis.

Sayangnya, kondisi ini tak berumur panjang. Orientasi teoretis pendidikan kampus berubah pada awal 1960an. Salah satunya karena perkembangan teknologi baru kala itu: televisi yang hadir di Indonesia pada 1962. Persis dengan apa yang terjadi sekarang.

Maka, pada 1964, Departemen Publisistik Universitas Indonesia (UI) dan banyak kampus lainnya, mengubah orientasi kurikulumnya menjadi peningkatan keterampilan “penggunaan media”.

Puncaknya, kampus-kampus Indonesia mulai mengajarkan konsep dan teori ‘komunikasi’ Amerika Serikat (AS) karena menawarkan ‘hal-hal yang lebih praktis’ ketimbang publisistik, sehingga cocok dengan orientasi penguasaan teknologi.

Akibatnya, publisistik yang berorientasi pada pembentukan opini publik dalam demokrasi mulai ditinggalkan pada awal 1970an. Publisistik diganti dengan komunikasi yang masih berlaku hingga hari ini.

Melawan kepraktisan sebagai bentuk dekolonisasi
Studi jurnalisme dan komunikasi Indonesia sekarang cenderung didominasi oleh pengetahuan AS. Beberapa sarjana menyebut ini sebagai kolonisasi pengetahuan komunikasi Amerika yang membuat jurnalisme dan komunikasi Indonesia tergantung pada apa yang dirumuskan oleh Barat.

Isu dekolonisasi menjadi penting dalam pembelajaran jurnalisme dan komunikasi. Sebab, dekolonisasi bukan semata kritik simbolik pada hal yang dianggap datang dari ‘Barat’.

Ia bukan hanya proyek pencarian apa yang dianggap ‘sangat Indonesia’, meromantisasi sejarah dan tak dapat dapat digunakan untuk menghadapi kenyataan sekarang, melainkan kritik yang antikapitalistik.

Masalah dalam jurnalisme kita bukan hanya ‘relevansi dengan teknologi’, melainkan kehilangan fungsi pembebasannya baik di dalam pengembangan pengetahuan maupun praktiknya.

Untuk mendekolonisasi jurnalisme, kampus harus berani berkata ‘tidak’ pada kepentingan industri, atau siapapun, termasuk content creator, yang berkhutbah tentang cara efektif menggunakan media tetapi lupa bicara tujuan utama ‘untuk apa dan untuk siapa sebenarnya kita bermedia?’.

Kampus juga mesti menyediakan mata kuliah yang mampu melihat tumpang tindih kepentingan publik, demokrasi, industri/modal, juga teknologi, meski dinilai abstrak, teoretis dan ‘tidak praktis’ oleh industri.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 Agustus 2025

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

Categories
Kesehatan Sosial Budaya

Media Sosial Bisa Rangkul Orang Tua Cegah ‘Stunting’ pada Anak

  • Media sosial sangat potensial untuk menyebarkan informasi MPASI yang kredibel guna mencegah ‘stunting’
  • Platform ini disukai para ibu karena lebih mudah dijangkau dan praktis dalam mencari informasi MPASI.
  • Pemerintah perlu menyediakan kanal rujukan dalam mencari informasi MPASI kredibel sesuai dengan standar kesehatan.

Tren penggunaan media sosial sebagai sumber informasi makanan pendamping ASI (MPASI) meningkat seiring dengan makin banyaknya jumlah pengguna media sosial dari kalangan ibu muda.

Studi tahun 2024 mengungkapkan bahwa 57% dari 1.631 ibu di Indonesia—terutama Milenial dan Gen Z berusia 26-30 tahun—mencari informasi MPASI lewat media sosial, seperti Instagram dan TikTok.

Pemberian MPASI sejak usia 6 bulan (dengan jumlah, frekuensi, tekstur, serta variasi makanan yang tepat) sangatlah penting, karena bisa mengurangi risiko stunting pada anak. Kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi terus-menerus ini masih menghantui 4,48 juta balita pada 2025.

Untuk membantu menurunkan angka stunting nasional yang masih tergolong tinggi, media sosial bisa dimanfaatkan dalam menyebarkan kampanye pemberian MPASI yang tepat dan kredibel.

Potensi kampanye MPASI lewat media sosial
 Riset tahun 2024 dalam Indonesian Journal of Public Health menunjukkan bahwa para ibu cenderung menyukai konten-konten MPASI dari media sosial. Survei dari Teman Bumil dan Populix pada 2021 mengungkapkan hal serupa. Sebanyak 1.179 ibu bahkan mengaku sering mengikuti tren MPASI di media sosial, baik dari influencer dengan latar belakang pendidikan kesehatan maupun selebritas.

Misalnya, beberapa peserta mengikuti tren baby led weaning (BLW), yang membiarkan anak usia di atas 6 bulan mengonsumsi secara mandiri MPASI dalam bentuk potongan-potongan kecil, seperti sayur rebus, daging ayam rebus, hingga buah potong.

Para ibu beranggapan bahwa media sosial lebih mudah dijangkau, hemat, dan praktis dalam mencari informasi MPASI. Studi tahun 2019 mengungkapkan bahwa para ibu mengaku lebih mudah memahami konten-konten dari ibu lain yang sudah berpengalaman membuat MPASI untuk anak-anaknya. Alih-alih penjelasan dokter yang sering kali sulit dimengerti karena tidak disertai dengan contoh-contoh praktis.

Selain membantu para ibu memperoleh pengetahuan seputar MPASI, media sosial juga menghubungkan para ibu dengan minat yang sama untuk saling mendukung dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberian MPASI yang sehat.

Apabila media sosial dimanfaatkan dengan tepat, platform ini bahkan dapat berperan sebagai pendukung layanan kesehatan yang membantu masyarakat memperoleh informasi kesehatan secara cepat, termasuk seputar MPASI.

Penelitian tahun 2025 yang melibatkan 76 ibu di Kota Bogor, Jawa Barat mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial (seperti Instagram) efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik pemberian MPASI yang tepat.

Secara tidak langsung, hal ini akan mengurangi beban fasilitas maupun tenaga kesehatan di Indonesia yang belum merata, terutama di daerah-daerah kecil.

Media sosial sarana komunikasi publik tepercaya
Di sisi lain, masifnya konten MPASI di media sosial, membuat para ibu merasa kebingungan ketika menerima informasi yang berbeda-beda mengenai suatu topik yang sama. Kebingungan ini terutama dirasakan oleh para ibu berpendidikan rendah, yang lebih rentan mempercayai informasi yang tidak akurat.

Banyak konten-konten MPASI di media sosial yang kebenaran informasinya tidak terverifikasi, memiliki data yang tidak lengkap, dan tersebar luas tanpa adanya pengawasan. Ini berbahaya karena dampak dari konten tersebut bisa menimbulkan risiko serius bagi kesehatan anak.

Salah satu contohnya adalah mitos bahwa MPASI perlu diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan. Faktanya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru menganjurkan agar bayi hanya menerima ASI eksklusif hingga usia 6 bulan guna mencukupi kebutuhan gizinya.

Pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan justru berisiko membuat anak mengalami diare, hingga mengembangkan obesitas di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyediakan kanal media sosial khusus yang membahas topik-topik seputar kesehatan ibu & anak, termasuk pemberian MPASI. Kanal ini bisa menjadi rujukan bagi para ibu dalam mencari informasi kredibel yang sesuai dengan standar kesehatan.

Pemerintah bisa mengadaptasi pendekatan komunikasi terkini yang relevan dan menarik. Kolaborasi dengan influencer berlatar pendidikan kesehatan juga bisa jadi pilihan.

Untuk meluruskan informasi MPASI yang tidak tepat di masyarakat, pemerintah perlu memproduksi konten tandingan yang memverifikasi keilmiahan, serta menjawab mitos dan fakta seputar tren MPASI di masyarakat.

Melalui konten-konten MPASI yang terverifikasi dan disajikan secara menarik, para orang tua dapat belajar langsung mengenai seluk beluk MPASI (seperti pilihan menu, cara memasak, jumlah, frekuensi, hingga penyimpanannya).

Sebagai orang tua, kita juga perlu kritis untuk mengecek kebenaran informasi MPASI dari media sosial. Jangan menelan mentah-mentah informasi dari satu sumber, serta lakukan pengecekan ulang dari sumber terverifikasi lainnya (seperti jurnal ilmiah ataupun pernyataan lembaga kesehatan).

Ketika masyarakat memperoleh informasi MPASI yang kredibel dan memanfaatkannya dengan tepat, kesehatan masyarakat akan ikut meningkat sehingga beban fasilitas kesehatan juga ikut berkurang.

Cegah stunting dimulai dari masyarakat
Di tengah lambannya penurunan angka stunting di Indonesia, pemerintah perlu terus mencari cara untuk menekan kasus penghambat pertumbuhan anak ini. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran media sosial dalam menyebarkan konten MPASI.

Optimalisasi penggunaan media sosial yang terverifikasi bisa menjangkau lebih banyak orang tua untuk mendapatkan informasi yang relevan dan kredibel, mendukung pelayanan kesehatan, menutup kesenjangan informasi antara orang tua dengan tenaga kesehatan, serta meringankan beban fasilitas kesehatan di masa depan.

Cara ini memang tidak bisa menyelesaikan akar masalah stunting yang disebabkan oleh beragam faktor, tapi bisa memperbesar peluang kita untuk mempercepat langkah pencegahan yang dimulai dari masyarakat.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 4 Agustus 2025

Lutviah
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada komunikasi pemberdayaan, promosi kesehatan, gender dan pembangunan.

Categories
Sosial Budaya

Regulasi Konten di Platform Digital

Komisi I DPR RI dalam tiga bulan terakhir menggelar pembahasan maraton terkait revisi UU Penyiaran No. 32/2002. Ada indikasi pembahasan dipercepat, meski risikonya produksi aturan jadi tidak tuntas. Dari sejumlah isu yang terbengkalai sejak gagasan revisi muncul di tahun 2012, ada sedikitnya tiga isu besar yang kini mendapat perhatian serius dan menjadi penyebab perlunya revisi UU Penyiaran disegerakan.

Pertama, pengaturan terkait konten dan tata kelola penyiaran yang menggunakan saluran platform digital (OTT, media sosial dan kecerdasan buatan/AI), agar ada keselarasan dengan lembaga penyiaran lain dalam ekosistem bisnis terbuka. Kedua, pengaturan penguatan Komisi Penyiaran sebagai regulator yang berwibawa, profesional seperti di negara maju. Ketiga, regulasi untuk transformasi lembaga penyiaran publik (RRI, TVRI), penyatuan keduanya dengan LKBN Antara menuju media yang profesional. Artikel pendek ini fokus kepada isu pertama.

Disparitas Regulasi
Merespons upaya Komisi I DPR tersebut, kiranya perlu dipahami dua hal. Pertama, mencermati beragam regulasi media penyiaran di negara industri media yang maju, seperti Kanada, Australia, Jerman, atau Amerika Serikat, regulasi terkait penyiaran konvensional dan platform digital serta produksi siaran yang memakai saluran media sosial dan AI cenderung beragam, tidak terpusat pada satu UU tertentu. Ini disebabkan perbedaan model bisnis, struktur teknologi, sejarah kelahiran, tata kelola produksi dan ekosistem atau aktor/pihak terkait, khususnya platform digital yang berskala global.

Kedua secara umum, perlu terlebih dahulu dilakukan redefinisi konsep ‘penyiaran’, memasukkan penyiaran berbasis (terestrial) dan berbasis platform (VOD/OTT, media sosial dan AI). Nah, pengaturan konten berbasis media sosial AI dapat dimandatkan ke UU ITE (yang direvisi) karena UU Penyiaran perlu tetep berfokus kepada sistem penyiaran klasik, terestrial digital, termasuk over the top seperti Netflix, Video, atau Amazone-Prime yang tetap sangat urgen dan karena melibatkan kerja korporasi media secara utuh (dari ide, produksi, supervis, hingga diseminasi) agar memenuhi kepentingan publik.

Sementara itu, konten siaran yang disalurkan media sosial perlu diatur tersendiri di luar rezim UU Penyiaran, karena proses produksinya melibatkan publik selaku produsen (user generated content). Dalam konteks ini, ekosistem aktornya lebih kompleks dan memerlukan intervensi platform digital selaku penyedia lapak (layar). Menarik dicatat, sudah cukup banyak regulator negara yang mengatur platform digital. Misalnya Komdigi dari sisi tata kelola teknologi/infrastruktur dan konten khusus, Dewan Pers (etik konten: utamanya menyasar jurnalis), Komisi Penyiaran Indonesia (etik: menyasar lembaga penyiaran), Komite tanggung jawab platform untuk jurnalisme berkualitas (pembagian keuntungan bisnis antara platform digital global dengan penyedia konten lokal).

Terdapat disparitas asumsi terkait posisi platform digital sebagai media, perusahaan global sektor ‘media komunikasi’ seperti halnya media konvensional, atau hanya rumah besar konten penyiaran. Perdebatan masih terjadi karena ekosistem bisnis platform yang berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional. Dalam praktek, ada variasi regulasi penyedia konten digital, sejak pengenaan pajak pendapatan oleh Kementerian Keuangan, pemberlakuan kode etik relasi antara platform dengan pengguna dalam kerangka self-regulation lewat community guidelines; kewajiban take down akun media sosial oleh Komdigi yang terbatas untuk tiga isu yaitu terorisme, pornografi, judi/narkoba; kewajiban moderasi konten dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (self-regulation antara perusahaan platform-users).

Lalu di mana letak urgensi pengaturan platform digital (UGC) dalam UU Penyiaran? Hingga saat ini,regulasi publik terkait layanan video on demand oleh perusahaan OTT seperti Netflix, Apple, Amazone-Prime, masih kosong, nir-regulasi. Jika merujuk model di Kanada, maka ada tiga opsi regulasi yang berbeda: (1) penyiaran klasik/digital terestrial, (2) penyiaran berbasis jalur streaming, (3) pengaturan konten siaran di platform media sosial. Apakah di Indonesia ketiga klaster ini akan diatur dalam UU tunggal? Jika ya, maka akan terjadi kondisi obesitas regulasi yang dapat memperlambat implementasinya. Juga, perlu penguatan Komisi Penyiaran Indonesia yang perlu didiskusikan tersendiri.

 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 21 Juli 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Sosial Budaya

Dilema Hak Kekayaan Intelektual

Bagi para ilmuwan, berjuang untuk tetap objektif dan impersonal adalah suatu keniscayaan. Tindakan personal yang membuat ilmuwan menjadi subjektif dipandang sebagai cacat oleh mereka yang memiliki integritas ilmiah. Menjadi ilmuwan yang objektif sangatlah sulit. Faktanya, ketika ilmu tidak dibarengi dengan kebajikan personal, ilmu menjadi komoditas bisnis.

Fenomena ini dinyatakan oleh Steven Shapin sebagai amoral dilemma. Pernyataan yang cukup keras dialamatkan kepada ilmuwan yang terjebak dalam pragmatisme. Kekawatiran tersebut dituangkan dalam bukunya, The Scientific Life: A Moral History of a Late Modern Vocation (2018). Tampaknya, pandangan Shapin ini semakin disadari di kalangan ilmuwan modern saat ini (the late modern scientists).

Komodifikasi Ilmu
Di era modern ini, dilema moral ilmuwan menjadi beban berat karena perkembangan industrialisasi yang pesat, terutama karena ekonomi modern mendorong industrialisasi berbasis inovasi. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memainkan peran penting. Produk dan jasa dalam bisnis modern dipenuhi dengan atribut hak paten atau HKI.

Mungkin zaman telah berubah, dan tidak ada yang namanya makan siang gratis. Pandangan ilmuwan sebagai wakil Tuhan yang mencerahkan umat manusia telah bergeser ke urusan dunia yang tampak lebih menjanjikan. Karya manusia kini lebih banyak didominasi oleh legitimasi hukum melalui HKI. Hal ini karena bisnis berbasis teknologi inovatif yang sarat dengan hak paten tumbuh pesat di seluruh dunia.

Karya manusia kini lebih banyak didominasi oleh legitimasi hukum melalui HKI. Hal ini karena bisnis berbasis teknologi inovatif yang sarat dengan hak paten tumbuh pesat di seluruh dunia. Di kalangan praktisi bisnis dan industriawan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dipandang sebagai aset yang menjanjikan untuk mengakumulasi kekayaan. Banyak ilmuwan akhirnya bekerja untuk mereka, dan komodifikasi atau industrialisasi ilmu tak terelakkan.

Mungkin BYD Technology bisa dijadikan contoh. Perusahaan yang didirikan oleh Mr Wang Chuanfu ini mampu mempekerjakan 100 ribu insinyur dan memiliki sekitar 35 ribu paten. Dalam konteks bisnis modern, ini adalah pencapaian luar biasa. Bahkan, BYD Technology telah melampaui kerajaan bisnis Elon Musk, Tesla. Tentu, dua kerajaan bisnis yang disebutkan tadi bukanlah satu-satunya di dunia ini. Banyak lagi praktisi bisnis yang mengikuti jejak mereka.

Pandangan Tentang Kepemilikan Ilmu
Ada dua pandangan tentang ilmu pengetahuan. Pertama, ilmu dihasilkan dari kepentingan pribadi manusia melalui proses yang terstruktur, sehingga manusia pantas diberikan hak kepemilikan atas ilmu tersebut yang dilindungi oleh undang-undang atau peraturan. Kedua, ilmu pengetahuan hanyalah amanah dari Tuhan, sehingga manusia harus bersyukur dan menyebarkan ilmu tersebut demi kemaslahatan dunia.

 Kedua pandangan ini tidak pernah sejalan, sehingga muncul istilah “moral double standard” di kawasan Asia karena banyaknya pembajakan produk. Mengapa? Karena kawasan Asia cenderung mengadopsi pandangan kedua. Kepemilikan ilmu oleh individu memunculkan monopoli yang mengganggu keadilan sosial dan ekonomi. Ilmu tidak tersebar dengan baik ke seluruh dunia, yang menyebabkan perbedaan mencolok antara dua benua besar, seperti Eropa dan Asia.

Kepemilikan Ilmu oleh Negara
Siapa yang seharusnya mengendalikan kepemilikan ilmu? Ada tiga aliran pemikiran dalam hal ini. Pertama, ilmu adalah anugerah Tuhan, sehingga siapapun boleh menggunakannya. Kedua, ilmu adalah hasil ’self interest’ manusia, sehingga kepemilikannya ada pada individu. Ketiga, ilmu adalah anugerah Tuhan sekaligus pengakuan atas usaha individu, sehingga hasilnya diberikan kepada pihak ketiga, yaitu negara, sebagai wakil Tuhan.

Tentu ini adalah topik yang dapat diperdebatkan. Pendapat pertama dapat ditemukan di kalangan kelompok religius yang memiliki budaya kolektif, di mana kepentingan publik diutamakan daripada kepentingan individu.Bekerja dan berkarya dianggap sebagai ibadah, seperti yang dicontohkan di Indonesia. Banyak karya berharga yang memiliki potensi komersial tidak dianggap sebagai kepemilikan individu.

Misalnya, karya makanan, seni, dan alat pertanian sering dikomersialkan oleh praktisi bisnis tanpa membayar sepeser pun kepada penciptanya. Pendapat kedua ditemukan di kalangan modernis yang memiliki budaya individualis. Kepentingan individu diutamakan, termasuk dalam kepemilikan ilmu yang dilindungi oleh regulasi sebagai dasar hukum atas karya intelektual.

HKI menjadi alat yang kuat untuk melindungi hak kepemilikan ilmuwan atas karya mereka. Hampir semua penemuan menjadi objek hak kekayaan intelektual, dan pengguna harus membayar untuk mengakses karya tersebut. Dalam praktik bisnis, produk yang penuh dengan hak paten menjadi mahal dan sulit dijangkau oleh banyak orang. Pendapat ketiga menggabungkan kedua pandangan di atas—modernis yang religius. Mungkin kelompok terakhir ini bisa dianggap sebagai perspektif alternatif.

Karya individu adalah anugerah Tuhan yang harus disyukuri dan disebarkan untuk kebaikan umat manusia. Namun, otorisasi HKI diserahkan kepada negara. Penemuan ilmuwan disebarkan ke berbagai industri oleh negara, melalui skema pembagian keuntungan, pajak, dan mungkin juga skema kemanfaatan untuk tujuan sosial dan pengembangan ilmu. Dampak dari pengelolaan HKI oleh negara dengan harapan kesejahteraan lebih tersebar dengan baik, karena industri menjadi berkembang, lapangan kerja semakin luas, harga produk dan jasa menjadi lebih rasional, dan pendapatan per kapita meningkat.

Tentu saja, para penemu dan ilmuwan disejahterakan melalui mekanisme anggaran negara dalam bentuk penghasilan dan hak istimewa lainnya. Pada akhirnya, karya kebudayaan manusia ini mewujudkan rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Semoga muncul terobosan baru dalam pengelolaan karya ilmuwan melalui perlindungan HKI yang lebih adil demi kebaikan umat manusia.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 4 Oktober 2025

Anas Hidayat
Guru Besar Manajemen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII. Bidang riset pada pemasaran berbasis hubungan, pemasaran Islami, dan fenomena pemalsuan produk.

Categories
Sosial Budaya Trending

Riset: Jurnalis Perempuan Masih Menjadi Target Rentan Kekerasan

Berdasarkan survei berskala nasional itu, sebanyak 85,7% dari 1.256 jurnalis perempuan dari seluruh Indonesia yang menjadi responden pernah mengalami berbagai tindakan kekerasan. Sebanyak 753 jurnalis perempuan (70,1%) mengaku mengalami kekerasan, baik di ranah fisik maupun digital. Dari pengakuan responden yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 179 jurnalis (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka.

Data terbaru dari hasil riset kolaboratif antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada tahun 2022 juga menunjukkan fakta serupa. Riset tersebut mengungkapkan 82,6% dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang menjadi responden penelitian tersebut menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual.

Kedua temuan ini menjadi sinyal bahaya sekaligus ironi.

Bahaya karena menguatkan fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan masih mengancam, terus terjadi, bahkan semakin meningkat di sekitar kita, tanpa memandang profesi, termasuk dengan adanya jenis kekerasan gender berbasis online (KGBO), yakni ketidakadilan dan diskriminasi gender yang terjadi di ruang online, seperti pelecehan, intimidasi, penguntitan, penyadapan, dan pornografi yang tidak diminta.

Ironis karena kekerasan ini justru banyak dialami oleh jurnalis perempuan, kelompok yang secara sosial dan politik dapat dikategorikan lebih berdaya karena profesi dan pengetahuannya dibanding perempuan Indonesia pada umumnya.

Berawal dari ruang redaksi

Meskipun di era sekarang jumlah jurnalis perempuan terus meningkat, daya tawar sosial politik para jurnalis perempuan di tempat kerja masih terbatas. Kultur maskulin yang mengidentikkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan laki-laki lebih mendominasi ruang-ruang diskusi.

Isu-isu yang diangkat dan ditulis perempuan banyak diklasifikasi media sebagai isu yang dianggap ringan dan aman bagi perempuan, seperti gaya hidup, fesyen, dan kehidupan domestik. Eksistensi jurnalis perempuan yang menempati posisi struktural media dan aktif membahas isu-isu penting, seperti politik, ekonomi, dan hukum belum menjadi tren umum bagi media-media arus utama di Indonesia.

Penelitian PR2Media tahun 2021 juga menemukan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah rekan kerja (20,9%) dan atasan (6,9%).

Data ini memunculkan tanda tanya tentang apa yang telah dilakukan oleh organisasi media tempat jurnalis bekerja ketika menghadapi situasi tersebut. Lebih jauh ketika organisasi media tidak mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis mereka sendiri, ke mana penyintas kekerasan mengadukan kasusnya untuk mencari pertolongan dan keadilan?

Di sinilah perlunya menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan. Ruang aman yang mengedepankan budaya tanpa kekerasan, mulai dari individu jurnalis, organisasi atau perusahaan media, asosiasi jurnalis, dan regulator media.

Dilihat dari angka statistik AJI tahun 2012, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia dibanding jurnalis laki-laki hanya sekitar 1:4 (25%). Data lain dari Angela Romano, akademisi Australia yang meneliti perkembangan pers Indonesia dalam transisi politik 1998, merinci variasi data persentase jurnalis perempuan di Indonesia antara tahun 1973-2001 yang meningkat dari 2% hingga 30% dari total jurnalis.

Sayangnya, jumlah jurnalis perempuan yang meningkat tidak otomatis mengindikasikan rendahnya budaya kekerasan terhadap perempuan yang bekerja dalam media.

Fenomena ini disebut sebagai ‘glass ceiling’ atau ‘langit-langit kaca’, yang menggambarkan pengalaman perempuan yang bekerja pada mayoritas organisasi media di dunia.

Langit-langit kaca adalah istilah yang menggambarkan situasi meskipun perempuan mulai banyak berpartisipasi di media, lebih sedikit perempuan yang memegang posisi kunci, berkontribusi nyata dalam proses pengambilan keputusan besar, atau mampu naik ke posisi yang lebih tinggi, lebih kuat, dan menguntungkan selama karier mereka di media.

Kondisi ‘glass ceiling’ ini berpotensi melanggengkan kekerasan karena kebijakan atau keputusan tentang jurnalis perempuan akhirnya diselesaikan dari kacamata ‘boys club’, istilah yang merujuk pada dominasi laki-laki yang menduduki posisi-posisi puncak dalam manajemen media.

Perlunya regulasi yang mampu melindungi jurnalis perempuan

Selain mengikuti dan menindaklanjuti konvensi global dan lokal pada organisasi media secara nyata, Dewan Pers bersama asosiasi-asosiasi jurnalis dan organisasi media perlu segera mendorong dan menyusun regulasi serta kebijakan yang dapat melindungi dan mencegah kekerasan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan.

Selama ini belum ada regulasi khusus dan peraturan standar tentang pencegahan, perlindungan, dan penanganan kasus kekerasan untuk jurnalis perempuan di Indonesia. Peraturan Dewan Pers Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, misalnya, masih bersifat umum dan normatif.

Dukungan dan kehadiran semua pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem antikekerasan terhadap jurnalis perempuan diperlukan di semua lini. Langkah Dewan Pers menyelaraskan visi manajemen dan pemilik media untuk melindungi jurnalis perempuan menjadi keniscayaan. Dewan Pers diperlukan sebagai otoritas lembaga yang lebih tinggi dalam mengatur kehidupan pers di Indonesia.

Aturan yang melarang adanya kekerasan di media ini tidak hanya berkaitan dengan konten-konten media, tapi menyasar kebijakan struktural dalam organisasi sehingga mampu memberi payung hukum dan sanksi yang tegas bagi pengelola media.

Langkah konkret selanjutnya, media perlu menyusun aturan turunan yang detail, bisa berupa protokol, peraturan perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tentang perlindungan jurnalis, khususnya terhadap jurnalis perempuan, termasuk kekerasan seksual sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Keberadaan aturan ini akan memberikan jaminan kepada korban untuk berani melaporkan kasusnya, tanpa ancaman pemecatan atau konflik ketenagakerjaan lain yang merugikan.

Dengan adanya jaminan regulasi, jurnalis memiliki ruang yang leluasa untuk mewujudkan sistem pendukung berbentuk serikat, asosiasi, dan gugus tugas yang berorientasi pada perlindungan jurnalis perempuan. Ini tentunya disertai dengan beragam pelatihan yang berkelanjutan, termasuk memberi materi baru tentang perlindungan keamanan digital dan pemahaman KGBO bagi jurnalis.

Menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan

PR2media membuat modul Mencegah dan Mengatasi Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan dan mendefinisikan ruang aman untuk jurnalis perempuan sebagai kesadaran, sistem dukungan, dan ketersediaan infrastruktur yang menjamin keamanan mereka dari berbagai tindak kekerasan.

Ruang aman untuk jurnalis perempuan diawali dengan pengarusutamaan kesetaraan gender dan budaya antikekerasan di ruang redaksi dan perusahaan media secara umum. Ini dapat mencegah normalisasi adanya kekerasan terhadap jurnalis perempuan karena pandangan dan kultur misoginis. Sikap menyangkal adanya kekerasan karena pandangan dan kultur misoginis serta menganggap normal pelecehan lewat candaan atau lelucon bisa dicegah.

Tidak hanya eksklusif untuk aktivis perempuan, pengarusutamaan gender sangat diperlukan di semua lini kerja jurnalistik. Langkahnya bisa dimulai dengan mengajak jurnalis laki-laki peduli dan punya kesadaran yang sama tentang kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Maret 2023

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Peneliti pada riset jurnalisme, gender, dan media digital. 

Categories
Ekonomi Sosial Budaya

Retrospeksi antara Lebaran dan Urbanisasi

Selesai sudah hingar-bingar arus mudik dan balik lebaran 2024. Saat mudik balik ke tempat perantauannya, banyaknya anggota keluarga yang ikut bergabung. Fenomena ini menjadi hal rutin terjadinya, urbanisasi berbarengan dengan arus balik lebaran. Hal ini dikaitkan dengan fenomena sosial-ekonomi yang ada, di mana sebagian pemudik yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah membawa kerabat dekatnya untuk mengadu nasib di kota besar.

Urbanisasi sangat erat kaitannya dengan fenomena gerak penduduk di mana masyarakat cenderung memilih lingkungan dengan tingkat upah tinggi, fasilitas yang lengkap, dan infrastruktur memadai. Di sisi lain, urbanisasi yang tinggi juga dipengaruhi oleh push factor seperti tidak tersedianya lapangan kerja di pedesaan, terbatasnya modal kerja, hingga tingkat kemiskinan yang tinggi. Fenomena urbanisasi pada saat arus balik lebaran menunjuk pada fenomena gerak penduduk atau population mobility. Kota Yogya yang notabenenya adalah kota pelajar di mana ketika pendatang terutama mahasiswa telah menyelesaikan studinya akan mencari pekkerjaan di kota besar yang mempunyai kesempatan kerja lebih tinggl.

Alasan utama terjadinya tingkat urbanisasi yang cukup besar dari DIY adalah terbatasnya lapangan pekerjaan dan UMP yang rendah bahkan cenderung tetap. Pemerintah Daerah Provinsi DIY (2023) menjelaskan nominal UMP DIY pada akhir tahun 2023 mengalami pening- katan sebesar 7,27% atau menjadi Rp 2.125.897,61 dibanding tahun sebelumnya. Namun, perlu diketahui bahwa nominal UMP ada ternyata belum mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi masyarakat mengingat perubahan harga-harga barang yang bersifat dinamis. Kondisi ini menjadi alasan kuat bagi sebagian masyarakat di DIY untuk mengadu nasib ke kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bekasi, dan sekitarnya.

Pada akhirnya, arus lebaran menjadi salah satu momentum dalam terciptanya fenomena urbanisasi dan hanya membutuhkan hitungan hari saja pendatang di kota besar seperti DKI Jakarta mengalami peningkatan yang signifikan. Derasnya urbanisasi tanpa diimbangi modal manusia yang mumpuni, para pendatang mudah “terjebak” ke dalam sektor informal di kota-kota besar. Dengan demikian perlunya evaluasi serta analisis mendalam untuk menghasilkan kebijakan program urbanisasi yang efektif.

Berdasarkan data Dukcapil Pemprov DKI tercatat tren jumlah pendatang pasca-lebaran, dan arus balik mudik selama 4 tahun terakhir, yaitu tahun 2020 sebanyak 24.043, tahun 2021 sebanyak 20.046, tahun 2022 sebanyak 27.478 dan tahun 2023 sebanyak 25.918. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta dalam menekan kepadatan penduduk melalui Disdukcapil DKI Jakarta adalah dengan Program Penataan Administrasi Kependudukan di mana warga yang memiliki KTP DKI Jakarta diwajibkan sesuai dengan domisilinya. Di samping itu berbgai imbauan dari pejabat Pemprov DKI agar masyarakat yang mudik pada saat balik Jakarta tidak membawa sanak saudara beradu nasib di Jakarta, terlebih belum memiliki tempat tinggal dan pekerjaan.

Daerah-daerah yang berpotensi menjadi penyumbang adanya urbanisasi ke kota- kota besar sudah selayaknya ikut secara langsung dan tidak langsung meningkatkan keterampilan warganya untuk berusaha di daerahnya sebagai sebagai upaya peningkatan kesejahteraan warganya dan mendorong ada pembangunan daerahnya. Terlebih dengan adanya UU Desa yang dapat menjadi akselerasi penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 April 2024

Unggul Priyadi 
Guru Besar Ekonomi Kelembagaan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UII.

Categories
Sosial Budaya

Demi Konten

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang tanpa batas bagi siapa saja untuk memproduksi dan mengonsumsi konten. Namun, kebebasan tersebut sering kali melupakan aspek nalar dan etika. Sensasi dan kontroversi lebih diprioritaskan dibandingkan tanggung jawab moral.

Sangat banyak contoh dan kini terus bertambah konten-konten yang memprihatinkan, tidak hanya melanggar batas etika, bahkan tak sedikit yang melanggar hukum hingga bermain-main dengan kematian. Sekali lagi demi jalan pintas meraih popularitas, viralitas, atau keuntungan finansial dari hasil monetisasi konten.

Jalan raya kini sering dijadikan tempat membuat konten ekstrem oleh remaja, seperti berjoget saat lampu merah atau menantang truk yang melaju. Aksi berbahaya ini berujung tragis, seperti kasus Tangerang ketika dua remaja tewas. Konten yang awalnya dimaksudkan untuk hiburan justru membawa malapetaka.

Bukan hanya masyarakat awam yang terjerat dalam obsesi konten, tetapi juga kalangan selebriti dan profesional. Seorang selebriti dikritik karena menjadikan musibah keluarga, yakni meninggalnya Sang Ayah sebagai konten, mengaburkan batas antara penghormatan pribadi dan eksploitasi.

Di ranah profesional, beberapa tenaga medis melanggar etika demi konten. Dua perawat menghadapi masalah hukum karena merekam pemasangan kateter pada pasien dan mengunggahnya ke media sosial. Kejadian lainnya, seorang perawat bayi di Yogyakarta melanggar privasi pasien dengan merekam dirinya menciumi bayi yang baru lahir dan membagikannya di TikTok.

Mengejar Validasi Sosial
Di tengah beban hidup yang menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hiburan, pakar psikologi mengindikasikan bahwa masyarakat saat ini mulai mengalami gangguan kejiwaan dalam bermedia sosial. Beberapa gangguan kejiwaan yang sering dikaitkan dengan fenomena ini antara lain kepribadian narsistik, social climber atau panjat sosial (pansos), vouyerisme, Internet Asperger Syndrome, dan FOMO (Fear of Missing Out).

Gangguan kepribadian narsistik menyebabkan individu terus-menerus mencari validasi dalam bentuk likes dan komentar, sehingga mereka rela melakukan tindakan berlebihan demi menarik perhatian.

Fenomena social climber memperburuk situasi, ketika individu berusaha meningkatkan status sosial dengan menciptakan konten sensasional mengikuti sesuatu yang sedang disorot publik. Mereka percaya bahwa semakin banyak perhatian yang didapat saat itu, semakin menguntungkan.

Di sisi lain, voyeurisme mendorong individu untuk mengamati dan mengeksploitasi kehidupan pribadinya atau orang lain demi hiburan, tanpa mempertimbangkan aspek privasi dan etika.

Sementara itu, internet Asperger Syndrome mencerminkan bagaimana keribadian individu berubah drastis ketika berinteraksi di dunia maya. Misalnya kehilangan empati dan kesadaran sosial jika sudah memposting sesuatu di media sosal tanpa tidak menyadari bahwa konten yang dibuat dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain di dunia nyata.

FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi faktor utama yang dituding menjadi penggerak banyaknya konten bermasalah. Banyak individu merasa tertekan jika tertinggal dan kehilangan momentum, sehingga terdorong terus membuat beragam konten agar tetap eksis.

Semua atau salah satu faktor di atas berkontribusi meningkatkan kecenderungan individu untuk mengorbankan etika demi mendapatkan validasi sosial dalam bentuk likes, komentar, atau jumlah pengikut, tak jarang diikuti dengan tindakan “mengemis online” untuk mengejar keuntungan instan.

Literasi Digital sebagai Penyeimbang
Untuk mengimbangi fenomena ini, penting bagi pengguna teknologi untuk meningkatkan literasi digital. Pemahaman tentang cara kerja media sosial, bagaimana algoritma mempengaruhi perilaku pengguna, serta dampak psikologis dari konsumsi media digital harus menjadi bagian dari pendidikan sejak dini.

Kesadaran akan etika digital harus dikampanyekan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang eksploitasi demi popularitas, tetapi juga tempat untuk berbagi informasi yang bermanfaat, menginspirasi, dan membangun komunitas yang lebih sehat secara mental dan sosial.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang terjebak dalam ilusi dunia maya dari konten yang tidak berfaedah, di mana nilai dan moral terabaikan demi sensasi sesaat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.



Categories
Sosial Budaya

‘Superheroes Never Die’, tapi Peminatnya Menurun di Kalangan Kaum Muda. Mengapa?

 

  • Popularitas film superhero menurun akibat kejenuhan pasar dan narasi yang berulang-ulang
  • Generasi muda semakin kritis terhadap nilai dan representasi dalam film sehingga mudah resisten.
  • Mendengarkan umpan balik penonton penting untuk menjaga keberhasilan film.

Dulu, menonton film superhero itu ibarat “ritual” suci yang dinanti-nanti. Banyak orang, terutama kaum muda, rela antre, berburu tiket jauh-jauh hari, bahkan sampai puasa media sosial demi menghindari spoiler. Tapi sekarang, era kejayaan pahlawan super itu sepertinya mulai redup.

Genre film yang satu dekade terakhir merajai industri perfilman dunia dengan jutaan penonton dan pendapatan miliaran dolar ini belakangan menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Beberapa film terbaru gagal memenuhi ekspektasi box office dan menuai banyak kritik. Bahkan, para kritikus dan komunitas pecinta film terus memberi rating rendah untuk film-film bertema pahlawan super yang baru dirilis. 

Mengapa peminat film superhero menurun?

Sejak kesuksesan besar Avengers: Endgame pada 2019, studio-studio besar seperti Marvel dan DC terus memproduksi film dan serial superhero dalam jumlah besar. Hingga awal 2025, setidaknya sudah ada 35 judul film superhero dari Marvel Cinematic Universe dan 15 judul dari DC Extended Universe.

Tingginya frekuensi perilisan ini membuat banyak penonton merasa lelah dan bosan karena formula cerita yang terkesan diulang-ulang, dengan plot dan karakter yang tidak jauh berbeda.

Situasi ini juga tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran kritis di kalangan kaum muda yang dekat dengan budaya boikot dan cancel culture.

Generasi muda saat ini tidak sekadar menonton, tapi mereka juga memperhatikan nilai-nilai yang diusung sebuah karya. Ini termasuk siapa yang terlibat di balik layar dan bagaimana representasi kelompok sosial tertentu ditampilkan.

Bila dianggap tidak sejalan dengan nilai keadilan sosial, inklusivitas, dan perdamaian, mereka cenderung menolak atau bahkan mengajak orang lain memboikot. Salah satu contohnya adalah seruan boikot terhadap Captain America: Brave New World  (2025) yang dianggap mendukung normalisasi agresi Israel di tengah konflik Israel-Palestina.

Tak hanya aksi, tapi juga narasi

Banyak kaum muda kini menganggap film-film superhero sebagai produk kapitalisme yang mengulang narasi “heroik” dari sudut pandang dominan laki-laki kulit putih dan menyuarakan pesan-pesan usang yang tak lagi relevan. Alih-alih menginspirasi, karakter superhero kini tak ubahnya simbol korporasi yang jauh dari semangat perlawanan atau keadilan sosial.

Penonton film superhero saat ini tidak lagi hanya puas dengan adegan laga dan efek visual khusus yang memukau, tetapi juga menginginkan narasi yang mendalam dan karakter yang menarik. Ketika film superhero gagal memenuhi ekspektasi ini, kekecewaan penonton pun meningkat.

Konsistensi, bukan agenda politik

Faktor lain yang juga semakin disorot dalam penurunan minat film superhero adalah penyisipan agenda politik dan sosial secara berlebihan sehingga film kehilangan daya tarik universal sebagai tontonan keluarga.

Film Lightyear (2022) misalnya, yang ditujukan untuk semua segmentasi usia, dilarang tayang di 14 negara, termasuk Indonesia, karena menampilkan adegan ciuman sesama jenis. Sejumlah penonton mengkritik bagaimana film superhero saat ini lebih berfokus pada agenda representasi LGBTQ+, yang sering kali dianggap sebagai keputusan politis daripada kebutuhan naratif dalam cerita.

Ini misalnya terjadi pada Eternals (2021), yang menghadirkan superhero LGBTIQ+ pertama dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Meskipun film ini menawarkan efek visual yang spektakuler, banyak penonton merasa bahwa pesan sosial yang disisipkan terlalu dipaksakan. Pesan tersebut sulit terhubung dengan cerita utamanya.

Namun, pujian terhadap film ini juga tak kalah banyak. Sang sutradara, Chloe Zao, memperoleh apresiasi atas keberhasilannya menggaungkan isu inklusivitas atau keberagaman, terutama representasi perempuan disabilitas sebagai pahlawan super.

Kontroversi lain muncul dari praktik black-washing atau white-washing. Istilah ini merujuk pada upaya mengubah karakter yang sudah ada dengan ras tertentu demi alasan representasi. Beberapa film superhero mengganti tokoh kulit putih dengan aktor berkulit hitam, atau sebaliknya, tanpa alasan yang kuat dalam cerita. Ini memicu reaksi negatif dari sebagian penonton yang merasa bahwa perubahan ini dilakukan semata-mata demi alasan politik, bukan demi kualitas cerita.

Contohnya adalah reaksi publik terhadap The Little Mermaid versi live-action. Meskipun bukan tentang superhero, film ini menunjukkan bagaimana perubahan besar pada karakter ikonik bisa memicu reaksi keras dari penonton.

Mendengarkan umpan balik

Mendengarkan masukan dari penonton adalah salah satu faktor penting keberhasilan film. Contohnya saat trailer Sonic the Hedgehog (2020) pertama kali dirilis, banyak penggemar yang mengkritik desain karakter Sonic karena dianggap terlalu jauh dari versi aslinya di gim. Pihak studio kemudian melakukan perombakan besar. Hasilnya, film Sonic the Hedgehog sukses di pasaran.

Sebaliknya, ada beberapa adaptasi film yang mengabaikan masukan penggemar dan berujung kegagalan besar. Sebut saja adaptasi live-action dari Dragon Ball Evolution (2009) dan The Last Airbender (2010), yang dibuat dengan pendekatan khas Hollywood tanpa mempertimbangkan esensi cerita dan karakter asli yang sudah dicintai penggemar.

Contoh terbaru terjadi ketika remake Snow White (2025) produksi Disney mencatatkanrating terendah di IMDb: 1,6/10. Kritik tajam datang dari segala arah, bahkan sebelum film dirilis secara luas.

Di sinilah pentingnya studio mendengarkan umpan balik dari penonton dan kritikus. Pemahaman yang mendalam tentang apa yang diinginkan dan diharapkan oleh audiens bisa membantu pengembangan proyek-proyek yang lebih relevan dan menarik, tanpa mengurangi independensi sutradara.

Transparansi studio dalam proses kreatif dan keterlibatan penonton dalam tahap-tahap awal pengembangan bisa membangun kembali kepercayaan dan minat terhadap film superhero.

Penurunan popularitas film superhero bukanlah akhir dari genre ini, melainkan sebuah panggilan untuk inovasi. Dengan adaptasi dan inovasi yang tepat, film superhero bisa kembali merebut hati penonton dan mempertahankan relevansinya dalam lanskap perfilman yang terus berubah.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 26 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop



Categories
Sosial Budaya

Senjakala Keberadaan RRI/TVRI

Viralnya peristiwa pemberhentian karyawan TVRI Yogyakarta imbas pemangkasan anggaran membuat prihatin berbagai pihak. Meski akhirnya ada instruksi pembatalan dari Menteri Keuangan, kasus sudah terjadi dan memicu perdebatan komitmen Presiden Prabowo terhadap penyiaran publik di Indonesia. Muncul kesimpulan no viral no justice yang menggambarkan bebalnya mentalitas aparat birokrasi dalam membuat kebijakan. Tulisan kecil ini menguraikan aspek fundamental penyiaran publik dan kekeliruan kebijakan pemangkasan anggaran yang menimpa dan oleh elite RRI/TVRI sebagai media publik. 

Postur Anggaran RRI/TVRI 

Keputusan Prabowo mangkas anggaran kementerian/lembaga hingga mencapai 306 triliun dengan antara lain mengalihkan ke program makan bergizi gratis sekilas baik dan sangat populis. Harus diakui, pemborosan anggaran sudah lama terjadi di berbagai lembaga negara termasuk di manajemen RRI/TVRI, antara lain pos kunjungan kerja, tim kebijakan dan pos rapat-rapat di luar kota. Jika penghematan menyasar pos-pos ini, maka ia patut didukung agar lembaga penyiaran publik mengalami penyehatan birokratis. 

Dalam satu dekade terakhir, APBN untuk kedua media cenderung naik secara gradual hingga mencapai triliunan pertahun. Sebagai contoh, tahun 2025 TVRI memperoleh pagu anggar an sebesar Rp 1,05 triliun, sedang RRI mendapat pagu sebesar Rp 1,07 triliun. Dari total budget ini, hampir 70% di- pakai untuk kebutuhan belanja pegawai dan layanan administrasi. Sisanya baru untuk produksi konten. Budget ini termasuk untuk honor tenaga lepas yang justru ujung tombak produksi konten. Artinya, ada ketidakseimbangan dan salah postur, yang diakibatkan besarnya jumlah ASN di sektor administrasi.

Lembaga penyiaran publik di berbagai negara dilindungi paripurna karena tugas historis dan politisnya sebagai penjaga moralitas, pemersatu jiwa lewat konten terbaik. Oleh tugas mulia ini, anggaran LPP bersumber langsung dari publik yang dikelola negara terpisah dari APBN. Istilah yang kini populer: media trusted fund, agar terhindar dari aksi pangkas memangkas oleh kepentingan politik tentatif. Dalam budaya politik anggaran di Indonesia, APBN selalu naik turun, diputuskan secara politik praktis di parlemen, rawan korupsi.

Lebih jauh, oleh budaya organisasi media publik itu sendiri yang birokratis, penuh birokrat, pemangkasan budget RRI/TVRI justru menimpa para tenaga lepas dan sektor produksi siaran sebagai jantung layanan publik, tak menyentuh elite kedua media. Berbeda dengan lembaga negara lain yang dominan fungsi administrasi, media publik memiliki peran strategis pada penguatan nasionalisme, mencerdaskan kehidupan bangsa lewat kon- ten berkualitas, sifatnya produktif. Ini, jauh lebih utama dari makan bergizi gratis yang bersifat karitatif. Muncul kesan buruk di publik: negara dan RRI/TVRI lebih mengutamakan perut kenyang, ketimbang otak dan kecerdasan berpikir. Senjakala penyiaran publik sudah tampak.

Bagaimana memahami munculnya pemutusan hubungan kerja (sejenak) dan masa depan lembaga penyiaran publik? mengapa pemangkasan anggaran justru menimpa sektor produksi dan harus viral? Pertanyaan ini harus dijawab dan direfleksikan oleh pekerja kedua media itu sendiri. Setidaknya ada dua kesimpulan umum. Pertama, Presiden Prabowo tidak punya prioritas anggaran, dan aksi memangkas anggaran yang menyasar RRI TVRI tampak ugal ugalan. Kedua, tidak ada sense of crisis pimpinan RRI/TVRI ketika merespons pemangkasan. Langkah PHK kepada pembuat konten mencerminkan suatu keputusan buruk, yang justru memicu risiko penurunan kualitas produksi, senjakala kedua media itu sendiri sebagai lembaga pelayanan konten publik yang profesional. 

Pemangkasan budget oleh Prabowo menjadi pelajaran mahal agar TVRI/RRI membenahi kinerja, semakin dekat ke publik sehingga dalam jangka pendek dapat menerapkan model mixed budget: iuran, crowed fund dll., tanpa tergantung lagi kepada dana APEN. Evaluasi anggaran negara yang selama lebih dari lima puluh tahun dipakai di kedua media juga mutlak dilakukan, termasuk dengan cara melakukan rasionalisasi sumber daya manusia yang tidak produktif di era digital, mayoritas di sektor administrasi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 Februari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.



Categories
Politik Sosial Budaya

Bagaimana Aktivisme Digital Penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024

Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga politik. 

Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 55%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Dunia.  

Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.

Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini menyangkal bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.

‘Anies Bubble’ dan manuver politik

Akun @aniesbubble mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023.

Akun @aniesbubble mengadopsi karakter fandom K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai pendukung hak asasi manusia, lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak, dan memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis). 

Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas clicktivismmetavoicing, dan assertion yang diungkapkan oleh Jordana J.George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat. 

Aktivisme ini diawali dengan clicktivism, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian likevoting, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun @aniesbubble muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip Live TikTok Anies yang pertama  pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan like sebanyak 4,1 ribu. Voting dilakukan saat @aniesbubble membuka voting pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024, antara Humanies atau Manies.

Aktivitas berikutnya adalah metavoicing, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang post (reposting), sharing, dan retweeting unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan repost terbanyak adalah konten mensenai guru PAUD, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.

@aniesbubble juga melakukan metavoicing dengan mengunggah ulang potongan-potongan video live Tiktok Anies ke platform X. Repost maupun retweeting merupakan aktivitas yang satu level lebi tinggi daripada liking karena membutuhkan usaha yang lebih.

Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari live Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X.

Sementara itu, assertion didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan skill yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada clicktivism dan metavoicing karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.

@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat konten-konten promosi seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.

Melalui wawancaranya dengan media Magdalene , admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.

Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop. Akun X dengan username @olpproject bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. Video promosi Anies dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.

Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut

Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.

Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka. 

Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan banyak disindir oley warganet di X “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.

Adu ‘branding’ kandidat di media sosial

Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (botism).

Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha menciptakan branding diri agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.

Capres Prabowo Subianto juga membentuk image ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah podcast pada 2019 lalu yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.

Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana pengguna media sosial menunjukkan perspektifnyaHype di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Februari 2024

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada  masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.