Categories
Hukum Politik

Tak Ada Permintaan Maaf kepada PKI

Tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain.

Tidak ada permintaan maaf, baik tertulis maupun lisan, oleh Presiden Joko Widodo kepada Partai Komunis Indonesia atau PKI. Saya pastikan, itu tidak ada.

Ada isu politik dan hukum yang bersumber dari kesesatan informasi sejak akhir September sampai awal Oktober 2024 yang mengitari suasana peringatan G30S PKI dan Hari Kesaktian Pancasila tahun 2024 ini, yakni isu permintaan maaf pemerintah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada PKI dan keturunannya. Kita pastikan bahwa isu itu tidak benar karena sumber informasinya sesat dan tidak otentik.

Isu tentang permintaan maaf kepada PKI itu terpantik lagi setelah, sekitar 30 September dan 1 Oktober 2024, beredar pemberitaan dan video Ibu Amelia Yani yang akan menuntut Presiden Jokowi ke Mahkamah Agung (MA) karena telah meminta maaf kepada PKI dengan merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) No 17 Tahun 2022 dan Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2023.

Amelia Yani adalah putri Jenderal Ahmad Yani, salah seorang korban keganasan PKI. Sebagai orang yang ikut menangani langsung pembentukan keppres dan inpres tersebut, saya merasa terpanggil untuk menjelaskannya agar informasi yang salah tidak dikunyah berlanjut-lanjut.

Penyelesaian 13 peristiwa
Saya berani memastikan bahwa, baik di dalam Keppres No 17 Tahun 2022 dan Inpres No 2 Tahun 2003 maupun di dalam pernyataan-pernyataan lisan Presiden Jokowi, tidak ada kata-kata atau frasa dalam kalimat yang menyebutkan tentang permintaan maaf kepada PKI dan atau keturunannya.

Saya menyatakan itu karena sayalah yang ditugasi untuk mengawal detail pembuatan keppres dan inpres dimaksud. Sampai sekarang, naskah keppres dan inpres tersebut bisa dilihat di laman Sekretariat Negara ataupun di Google.

Keppres dan inpres tersebut dibuat atas perintah Tap MPR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, baik melalui pengadilan maupun melalui rekonsiliasi nasional dan nonyudisial untuk menguatkan kembali persatuan Indonesia. Tap MPR dan beberapa undang-undang (UU) tentang itu dibuat MPR yang diketuai Amien Rais pada awal-awal Reformasi.

Berbarengan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ditugasi untuk menyelidiki dan menetapkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang perlu diselesaikan, baik melalui pengadilan (yudisial) maupun melalui rekonsiliasi (nonyudisial).

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil (dan dipaksakan dengan pembuktian seadanya) dibawa ke pengadilan diputus bebas oleh MA.

Ada 33 terdakwa yang dibebaskan dan ada satu orang yang dijatuhi hukuman, tetapi kemudian dibebaskan melalui peninjauan kembali oleh MA.

Adapun upaya melakukan rekonsiliasi tidak bisa berjalan efektif karena UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 006/PUU-IV/2006.

Upaya merevisi UU tersebut dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo, tetapi selalu gagal, teradang di perdebatan politik.

Itulah sebabnya pemerintahan Presiden Joko Widodo mengambil langkah lebih maju dengan mengonsentrasikan diri untuk memenuhi hak-hak korban, bukan pelakunya. Maka, dikeluarkanlah Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

Isi keppres tersebut menekankan pentingnya pengungkapan peristiwa dan pemulihan hak korban peristiwa pelanggaran HAM berat. Tidak ada sama sekali kata permintaan maaf kepada siapa pun, apalagi kepada pelaku.

Keppres itu juga tak menutup pintu penyelesaian secara yudisial karena (seperti dimuat dalam konsiderans, Menimbang butir c) penyelesaian nonyudisial merupakan jalan paralel yang dilakukan di samping jalur yudisial, sesuai perintah Tap MPR No XVII/MPR/1998, UU No 1 Tahun 1999, UU No 39 Tahun 1999, dan UU No 26 Tahun 2000.

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR.

Keppres No 17 Tahun 2022 hanya berisi pembentukan Tim PPHAM untuk mendalami keputusan Komnas HAM tentang terjadinya 13 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tim PPHAM kemudian merekomendasikan langkah-langkah pemulihan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan, antara lain, dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

Jadi yang dikembalikan hak-haknya adalah hak para korban yang tidak terlibat atau hanya menjadi korban. Sementara pelakunya harus tetap dibawa ke pengadilan sepanjang bisa dibuktikan secara hukum. Pemerintah harus mengakui keputusan tentang pelanggaran HAM berat yang ditemukan Komnas HAM karena Tap MPR dan UU memang menugaskan Komnas HAM untuk memutuskan tentang itu dan pemerintah tak bisa menolaknya.

Rekomendasi Tim PPHAM yang disampaikan kepada Presiden tersebut kemudian dituangkan dalam Inpres No 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat tanggal 15 Maret 2023.

Inpres ini memerintahkan kepada 19 kementerian dan lembaga pemerintahan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM.

Saat menerima dan mengumumkan rekomendasi Tim PPHAM yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya inpres itu, tidak ada pernyataan atau satu kata pun tentang permintaan maaf.

Yang dikatakan Presiden adalah mengakui bahwa 13 peristiwa itu betul terjadi dan pengakuan itu memang harus dilakukan karena yang menetapkan adalah lembaga negara yang memang ditugaskan untuk itu, yakni Komnas HAM. Presiden tidak boleh tidak mengakui keputusan Komnas HAM.

Sebagai kesaksian, ketika proses sosialisasi ke berbagai daerah dan ormas-ormas, saya memang mencatat ada beberapa orang yang mengusulkan kepada Tim PPHAM agar pemerintah menyatakan meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Akan tetapi, usul itu ditolak keseluruhan anggota Tim PPHAM dan tidak pernah dijadikan kesimpulan yang ditulis ataupun diucapkan.

Jadi yang dilakukan pemerintah terbatas pada mengakui dan tidak menyatakan meminta maaf sebab kesalahan atas terjadinya peristiwa-peristiwa itu tidak bisa secara hitam putih ditimpakan kepada pemerintah, apalagi rezimnya sudah berganti-ganti dan setiap rezim sudah berusaha menanganinya.

Penulisan sejarah
Hal yang tidak benar lainnya dari pernyataan Ibu Amelia Yani adalah tentang izin pemerintah untuk melakukan penulisan ulang sejarah G30S PKI.

Itu tidak benar sebab pemerintah justru menolak jika sejarah 1965/1966 ditulis ulang sebagai versi resmi pemerintah. Tegas, di sidang kabinet pemerintah menolak itu.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang. Tetapi, kepada mereka yang menyampaikan usul itu, pemerintah menyatakan menolak sebab jika ada sejarah baru versi pemerintah, pasti akan ada versi lain yang mempersoalkannya lagi.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang.

Versi sejarah tentang peristiwa 1965/1966 sudah banyak. Ada versi Pusat Sejarah ABRI, versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, versi Cornell, versi intelijen asing, versi sejarawan Nahdlatul Ulama, dan lain-lain, termasuk versi berbagai disertasi dan tesis.

Oleh karena, itu tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain. Akan tetapi, semua ilmuwan dan peneliti sejarah boleh saja melakukan penelitian-penelitian lanjutan sesuai dengan metodologi sejarah masing-masing.

Versinya bisa berbeda-beda, tetapi tetap merupakan pandangan akademik masing-masing, bukan versi pemerintah. Dananya, tentu saja, bisa memakai dana pemerintah sebagai dana program penelitian yang ada di Kemendikbudristek, BRIN, dan di berbagai perguruan tinggi. Yang penting, proposalnya memenuhi syarat. Masa, orang mau meneliti secara ilmiah-akademik akan dilarang?

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 8 Oktober 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

Categories
Politik

Jatah Kursi Dubes

Presiden Prabowo baru saja melantik 31 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang akan ditugaskan di negara-negara strategis. Diantara mereka selain diplomat karir juga ada yang berlatar belakang politikus, purnawirawan TNI, dan mantan hakim. Dari sini, tak dapat dimungkiri adanya persepsi masyarakat bahwa pasca Pemilu akan dilaksanakan pembagian jatah kursi yang tak hanya di BUMN tapi juga di kedutaan besar.

Pengangkatan duta besar seolah seperti kebiasaan yang berlangsung seperti sebelumnya. Padahal Presiden Prabowo memiliki target untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Untuk mencapainya, dibutuhkan strategi handal dengan mempercayakan beragam tugas berat kepada para diplomat kita.

Penunjukan Politis
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Duta Besar. Kewenangan konstitusional ini memberikan peluang kepada Presiden untuk memberikan posisi Duta Besar kepada siapa saja yang dikehendakinya. Namun, secara kelembagaan, harus diketahui bahwa Kementerian Luar Negeri menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya para diplomat karir.

Para diplomat karir telah dilatih dan disekolahkan untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Mereka juga telah berpengalaman dalam menangani kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia secara lintas batas negara. Memberikan peluang kursi duta besar kepada non- diplomat justru akan memunculkan sebuah pertanyaan apakah mereka minimal mampu memiliki kemampuan yang jauh lebih baik daripada diplomat yang lahir dari merit system.

Penunjukan diplomat non-karir selama ini dilakukan atas dasar kepentingan politik balas budi. Umumnya mereka dipilih karena pernah menjadi tim sukses Presiden selama Pemilu. Tanpa melihat latar belakang keahlian yang dimilikinya, penunjukan diplomatik non-karir justru akan melemahkan kekuatan diplomasi kita.

Beberapa kasus internasional yang dihadapi Indonesia dapat menjadi bahan evaluasi terhadap keberadaan diplomat kita di luar negeri. Belum lama ini, Indonesia kalah dalam forum ICC Singapura dalam kasus Navayo sehingga harus membayar denda ratusan miliar rupiah. Selain itu, permasalahan pekerja migran Indonesia di luar negeri yang tak kunjung selesai menjadi bukti bahwa kebutuhan akan sumber daya manusia yang ahli dalam berdiplomasi sangatlah penting.

Upaya Hukum
Studi yang dilakukan oleh Haglund (2015) menyebutkan bahwa diplomat karir rata-rata memiliki kinerja yang jauh lebih baik jika dibandingkan diplomat yang dipilih secara politik. Mereka umumnya telah teruji memiliki kualifikasi yang sangat tinggi baik dari segi pendidikan dan pelatihan, pengalaman internasional yang jauh lebih baik, serta kemampuan diplomasi yang matang.

Untuk itu, perlu dipikirkan agar tidak sembarang orang dapat dipilih menjadi diplomat non karir. Jangan sampai timbul kesan bahwa keberadaan diplomat non karir sebagai bagian dari bagi-bagi kekuasaan dan mengabaikan level kapasitas yang harus dipenuhi. Presiden perlu melakukan fit and proper test serta mewajibkan mereka untuk mengikuti pelatihan intensif sehingga mereka mampu memahami strategi menghadapi permasalahan dalam hubungan internasional yang dihadapi Indonesia dengan cepat dan efektif. Prosedur ini sangat perlu dilembagakan minimal dalam bentuk Peraturan Presiden agar secara konsisten menjaga marwah kedutaan besar kita di luar negeri.

Selain itu, sudah saatnya kita merombak substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Utamanya, undang-undang ini sangat perlu mengatur secara detail struktur kelembagaan perwakilan kita di luar negeri dan syarat yang harus dipenuhi bagi diplomat non-karir.

Jika hal ini diatur dalam Undang-Undang, maka siapapun Presiden-nya mau tidak mau harus patuh. Tidak akan ada lagi praktik saling tunjuk dengan latar belakang politik praktis. Harapannya, diplomasi kita semakin kuat sehingga memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam percaturan global.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Maret 2025

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional. 

Categories
Politik

Bagaimana Pilpres 2024 akan Membingkai Ulang Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia?

Dua pekan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kontestasi tiga calon presiden – Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto dalam meraih simpati rakyat kian ketat. Sepanjang masa kampanye, salah satu aspek yang mengundang perhatian publik adalah bagaimana ketiganya memandang dan menyusun arah kebijakan luar negeri ketika terpilih nanti.

Seiring dengan akan berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pertanyaan mengenai politik luar negeri kian menguat, terutama apakah penerusnya akan melanjutkan atau mengubah pola hubungan Indonesia dengan Cina, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara tetangga.

Melanjutkan tradisi sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, Jokowi telah menerapkan politik luar negeri “bebas aktif”, sebagai landasan kebijakan nonblok yang aktif memberikan kontribusi perdamaian dan diinisiasi pertama kali tahun 1948 oleh wakil presiden pertama, Mohamad Hatta. Pada 2022, Jokowi sempat berupaya menempatkan peran Indonesia sebagai perantara perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi mengunjungi kedua negara dan mengundang Ukraina untuk menghadiri KTT G20 di Bali. Pada tingkat ASEAN, di bawah kepemimpinan Indonesia tahun ini terlihat tampak berupaya menciptakan sikap netral dalam menyikapi hubungan antara AS dan Cina dengan tujuan mencegah timbulnya potensi konflik dan menjaga stabilitas kawasan.

Sejauh ini, tiga calon presiden (capres) yang berkompetisi pada Pemilu 2024 menyatakan akan mempertahankan tradisi kebijakan luar negeri Indonesia “bebas aktif”. Pertanyaannya, adakah perbedaan implementasi “bebas aktif” di antara ketiganya?

Anies: mengakhiri pragmatisme

Anies menguraikan platform kebijakan politik luar negerinya dengan mengkritisi pendekatan pemerintah saat ini dalam mengelola hubungan luar negeri yang menurutnya “pragmatis dan transaksional”.

Kritik ini muncul karena sejak Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, pendekatan kebijakan luar negeri yang berkhidmat terhadap multilateralisme tidak lagi dilanjutkan. Sebab, pendekatan tersebut diyakini hanya memberikan sedikit manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia.

Hal inilah yang menjadi faktor mengapa Jokowi tidak menghadiri sejumlah forum tingkat tinggi dan hanya fokus melantangkan diplomasi ekonomi serta memperbaiki hubungan bilateral dengan sejumlah negara tertentu. Diyakini, pendekatan ini lebih banyak memberi manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Berbeda dengan pendekatan pragmatis Jokowi, Anies ingin mengembalikan Indonesia ke tingkat global dengan mengambil lebih banyak peran kepemimpinan dalam mengatasi isu-isu internasional. Kebijakan luar negerinya akan fokus pada peningkatan peran dan partisipasi Indonesia untuk urusan internasional dan dalam tatanan global.

Sebagai contoh, Anies mendambakan Indonesia berperan menjadi pemimpin garda depan di ASEAN untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik dan, dalam jangka panjang, menjadikan ASEAN sebagai pusat dialog antarnegara besar.

Prabowo: menjadi tetangga yang baik

Prabowo memaparkan platform kebijakan luar negerinya dengan janji untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif dan di saat yang sama memperkuat kebijakan pertahanan negara.

Arah kebijakan luar negeri ini sudah bisa diprediksi dari awal, mengingat latar belakang militer Prabowo dan posisinya saat ini sebagai menteri pertahanan.

Meski demikian, serupa dengan Anies, pendekatan Prabowo juga berfokus pada peran Indonesia dalam stabilitas kawasan. Ia ingin Indonesia menjadi “tetangga yang baik” dan menjaga hubungan yang stabil dengan negara tetangga di Asia Tenggara.

Kemungkinan, Prabowo juga akan melanjutkan pendekatan luar negeri yang dilakukan Jokowi, yaitu enggan untuk berpihak di tengah persaingan negara adidaya.

Yang menarik, Prabowo menekankan bagaimana Indonesia harus menghormati AS bersama sekutunya, serta Cina. Ia juga menekankan bahwa India dan Rusia juga merupakan mitra penting bagi Indonesia, sebagaimana juga negara-negara Afrika yang memiliki kesamaan pengalaman kolonialisme masa lalu.

Prabowo menjadi satu-satunya capres yang dengan terbuka membahas pentingnya Indonesia menjadi tetangga yang baik. Di bawah kepemimpinannya jika terpilih nanti, ia hendak menunjukkan bahwa kehadiran Indonesia di kawasan tidak akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara sekitar.

Ganjar: memaknai kembali ‘bebas aktif’

Platform kebijakan luar negeri Ganjar fokus pada empat isu penting global: kemunduran demokrasi, ketidakadilan global, kemerosotan ekonomi, dan konflik di kawasan.

Secara khusus, Ganjar menekankan pada eskalasi ketegangan di Asia, yang ditunjukkan dengan memburuknya hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Taiwan, serta masih berlangsungnya sengketa Laut Cina Selatan (LCS).

Ganjar juga berkomitmen mempertahankan politik luar negeri “bebas dan aktif” dengan sedikit pemaknaan ulang agar lebih efektif dan selaras dengan situasi geopolitik saat ini. Pemaknaan ulang ini termasuk merumuskan strategi agar Indonesia dapat lebih proaktif –bukan pasif responsif – dalam urusan internasional.

Platform kebijakan luar negeri masing-masing kandidat memberikan gambaran sekilas mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan. Kebijakan luar negeri yang “bebas aktif” kemungkinan besar akan tetap berlaku, apapun hasil pemilu mendatang. Meski, di tengah persamaan tersebut, masing-masing calon juga menekankan prioritas tertentu yang menjadi pembeda satu sama lain.

 

Tulisan ini sudah dimuat di The Conversation pada tanggal 2 Februari 2024

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Politik

Matinya Desentralisasi

Kita pernah mencoba dalam waktu yang sangat panjang mengelola hubungan pusat dan daerah dengan prinsip sentralisasi yang hasilnya ketimpangan dan ketidakadilan.

Apa yang terjadi belakangan ini mengenyak kesadaran tentang masa depan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia. Diawali dengan retret semua kepala daerah terpilih di markas Akademi Militer Magelang. Presiden, melalui Menteri Dalam Negeri, mewajibkan semua kepala daerah untuk mengikuti retret. Wajib dalam frasa hukum mengandung makna sanksi bagi siapa saja yang tidak mengikutinya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

Dilanjutkan dengan pernyataan Mendagri bahwa ”Presiden adalah pimpinan eksekutif tertinggi sehingga kepala daerah adalah bawahannya yang harus tunduk pada kehendak Presiden”. Realitas dan pernyataan pemerintah pusat di atas menandai tonggak awal masa depan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia yaitu kelam!

Bangunan otonomi daerah

Hingga tahun 2014, isu otonomi daerah adalah isu yang menarik dibicarakan. Kita sedang mencari dengan serius tentang bagaimana kewenangan serta kekuasaan pusat dan daerah akan ditata, dikelola, dan dibangun.

Jika ditarik ke belakang, salah satu isu besar reformasi dan amendemen UUD 1945 adalah penataan hubungan pusat dan daerah, yang disulut oleh realitas ketidakadilan hingga ketimpangan pusat dan daerah. Solusi yang ditawarkan adalah memberikan kewenangan kepada derah untuk mengurus urusannya dengan mandiri dan otonom, inilah yang dimaknai dengan asas desentralisasi sebagai lawan dari sentralisasi.

Lihatlah bagaimana pengaturan hubungan pusat dan daerah dalam konstitusi pasca-amendemen. Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD N RI Tahun 1945 berbunyi, ”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan” serta ”Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas­-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang­undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.

Prinsip otonomi seluas-luasnya, menurut Bagir Manan, adalah prinsip dengan pemerintah daerah menjalankan kewenangan residu, artinya seluruh kewenangan pada dasarnya adalah milik pemerintah daerah, kecuali yang ditentukan menjadi urusan/kewenangan pemerintah pusat.

Tentang bagaimana sumber daya dikelola, Pasal 18A menyatakan, ”Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang­-undang.”

Senja kala otonomi daerah

Sayangnya, apa yang dirumuskan dan diangankan dalam konstitusi pasca-amendemen hari ini jauh panggang dari api. Dalam catatan penulis, isu mengenai otonomi daerah mulai ditinggalkan dan dilupakan dari diskusi publik adalah sejak 2014, masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Arah kebijakan pemerintahan ketika itu adalah menarik kembali kewenangan yang sebelumnya diberikan kepada pemerintah daerah. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah mantra yang manjur untuk menarik kembali berbagai kewenangan itu hingga tidak ada yang tersisa bagi daerah.

Belakangan, munculnya UU Cipta Kerja membabat habis kewenangan daerah, hanya menyisakan apa yang diberikan oleh pemerintah pusat saja, yang itu sangatlah sedikit. Logika stabilitas politik, peningkatan ekonomi, dan pembangunan adalah yang selama ini digaungkan. Otonomi daerah dianggap menjadi momok bagi kebijakan pemerintah pusat sehingga harus dihapuskan.

Masa awal pemerintahan Prabowo sudah menunjukkan ketidakberpihakan terhadap otonomi daerah. Menempatkan militer dan polisi aktif menduduki jabatan publik, pada dasarnya bertolak belakang dengan prinsip otonomi daerah karena logika otonomi daerah adalah kemandirian dan kebebasan. Berbeda dengan logika militer yang justru mengedepankan satu komando dan hierarki.

Lalu, retret yang dijalani oleh semua kepala daerah di Magelang juga patut dibaca sebagai kondisi prinsip otonomi daerah semakin lemah. Pemerintah pusat ingin agar daerah menggunakan cara kerja militer, yang meniadakan kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengurus urusan berdasarkan prinsip otonomi.

Ini diperburuk dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, yang secara khusus membidangi otonomi daerah, bahwa Kepala Daerah adalah bawahan Presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi. Pernyataan ini bukan saja ahistoris, tetapi juga lemah argumentasi konstitusional.

Presiden dan Kepala Daerah adalah sama-sama pimpinan eksekutif, keduanya memiliki legitimasi yang sama karena dipilih langsung oleh rakyat, bedanya terletak pada level teritori atau cakupan wilayahnya saja. Keduanya juga menjalankan kewenangan berdasarkan atribusi UU sehingga tidak ada yang lebih rendah dari yang lain. Begitulah logika hubungan pusat dan daerah jika dibaca dengan cermat dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD N RI Tahun 1945.

Ada dua hal yang harus dipertimbangkan kembali oleh Presiden Prabowo dalam melihat hubungan pusat dan daerah yang hari ini eksis. Pertama, UUD NRI Tahun 1945 menghendaki agar daerah memiliki otonomi yang luas dengan prinsip kemandirian dan kebebasan. Sebagai presiden yang disumpah untuk menaati konstitusi, Presiden Prabowo tahu persis bagaimana menempatkan UUD.

Kedua, kita pernah mencoba dalam waktu yang sangat panjang, Orde Lama dan Orde Baru, mengelola hubungan pusat dan daerah dengan prinsip sentralisasi seperti saat ini, tapi yang dihasilkan adalah ketimpangan dan ketidakadilan. Bahkan, berujung pada gerakan separatisme beberapa daerah karena menuntut keadilan. Artinya, cara itu selalu menemui jalan buntu, maka tidak selayaknya dilanjutkan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 29 April 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

Categories
Politik

Setelah ‘Presidential Threshold’

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024 patut masuk dalam deretan Landmark Decision Pengadilan Indonesia. Setelah setidaknya melalui 33 kali proses judicial review, ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dikabulkan dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Selama ini, MK selalu mentok dengan klausa bahwa presidential threshold adalah konstitusional dan merupakan open legal policy pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.

Satu pertimbangan yang patut kita apresiasi bersama adalah MK menyatakan bahwa presidential threshold sekalipun adalah open legal policy, namun harus dikesampingkan demi melindungi kedaulatan rakyat dan hak pilih. Tentu saja, perlindungan atas hak pilih warga negara, sebagai instrumen penting hak asasi manusia, harus diutamakan dari pada aspek open legal policy. Artinya, memilih dan mengusulkan calon presiden adalah hak warga negara yang harus dilindungi dan diutamakan, jika hak itu terhalang oleh ketentuan presidential threshold 20% suara parlemen, maka sejatinya memang ketentuan presidential threshold itu yang harus dibatalkan. Konstitusi memang tidak menentukan dan mengatur mengenai presidential threshold, namun pengaturan 20% yang ada di UU Pemilu, jelas mengenyampingkan hak pilih dan melanggar prinsip demokrasi itu sendiri.

Tantangan ke Depan

Pasca Putusan MK Nomor 62/PUU- XXII/2024, muncul berbagai macam isu, terutama isu ipembangkangan konstitusionalî DPR dan pemerintah sebagai lembaga pembentuk undang-undang. Ada skenario yang beredar bahwa DPR dan Pemerintah akan mengenyampingkan Putusan MK dalam UU Pemilu terbaru, artinya akan tetap mengakomodir eksistensi presidential threshold. Tentu kita berharap, wacana ini tidak akan pernah ditempuh oleh DPR dan pemerintah, karena selain akan memunculkan gejolak penolakan masyarakat sipil dimana-mana, wacana ini juga akan semakin menjauhkan DPR sebagai wakil rakyat dengan rakyatnya sendiri karena perbedaan kehendak. Selain itu, jalan ini hampir dipastikan akan sia-sia karena UU baru yang disahkan nanti akan dibawa kembali MK untuk dibatalkan. Dengan logika yang sama, ketentuan presidential threshold juga akan dibatalkan kembali oleh MK.

Di luar itu, ada dua tantangan lain di depan yang patut menjadi pemikiran bersama pasca Putusan MK ini. Pertama, jika MK membatalkan ketentuan presidential threshold, yang artinya semua partai politik dapat mengusung dan mengusulkan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pemilu, maka partai politik mana yang berhak untuk mencalonkan pa- sangan Presiden dan Wakil Presiden tersebut? Apakah semua partai peserta pemilu? Artinya partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Atau kah hanya partai politik yang lolos parlement threshold saja yang dapat mengusung calon? Jika pilihan kedua yang diambil, pertanyaan berikutnya adalah kapan periode parlement threshold dihitung? Karena tidak mungkin pada periode yang sama, mengingat pemilu presiden dan DPR diselenggarakan secara bersamaan. Jika menggunakan standar parlement threshold pemilu sebelumnya, apakah mencerminkan keadilan bagi partai baru pasca putusan MK nantinya?

Kedua, dihapuskannya presidential threshold atas dasar pertimbangan perlindungan demokrasi, hak pilih, dan kedaulatan rakyat, maka memantik pula wacana agar juga menghapuskan parlement threshold. Artinya, semua partai politik yang dinyatakan oleh KPU lolos verifikasi dan menjadi peserta pemilu, sepanjang calon anggota DPR-nya mendapatkan suara terbanyak, maka dapat memiliki wakil di parlemen. Selain itu, skema ini akan relevan dengan penghapusan presidential threshold yang sebelumnya sudah dilakukan. Secara teknis, parlement threshold juga tidak dibutuhkan karena persyaratan menjadi peserta pemilu, sebagaimana akan diverifikasi oleh KPU sangatlah berat, jadi cukup itu saja yang dibenahi dan menjadi pintu seleksi partai politik untuk memiliki wakil di parlemen. Sedang secara filosofis, adalah tidak fair jika ada seorang calon dari partai politik yang mendapatkan suara terbanyak di wilayah tertentu, namun gagal menjadi anggota DPR dan suaranya hangus karena partai politiknya tidak lolos parlementer threshold. Situasi ini unfair bukan saja bagi calon dan partai politik, namun juga bagi rakyat yang sudah memilihnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 10 Januari 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. 

 

Categories
Politik

In Indonesia, Albanese has a Chance to Reset a Relationship Held Back by Anxiety and Misperceptions

Prime Minister Anthony Albanese has wasted little time taking his first overseas trip since Labor won a historic victory in Australia’s federal election. He’ll head to Indonesia today to meet the country’s new president, Prabowo Subianto.

With both nations entering new political chapters, the visit carries symbolic weight. But it will also have practical importance.

Despite the two nations’ proximity and strengths, the relationship has often been held back by outdated perceptions and strategic hesitation. This is a timely opportunity to reset the relationship.

Prabowo’s emerging foreign policy

Prabowo succeeded outgoing President Joko “Jokowi” Widodo in October after a decade of his infrastructure-driven and globally engaged leadership.

Prabowo, a former army general and defence minister, had projected a populist and nationalist image during his 2024 election campaign. He frequently emphasised Indonesia’s food self-sufficiency, military strength and national sovereignty.

Since taking office, however, he has moderated his tone. While seen by some in the West as assertive, he has signalled a willingness to strengthen bilateral defence ties with Australia. He also has an interest in modernising Indonesia’s military and engaging more transparently with partners.

Still, questions remain about how he will shape Indonesia’s foreign policy. This includes whether he will maintain Jokowi’s emphasis on multilateralism and economic diplomacy. Both are key to the tone and outcomes of Albanese’s visit.

Prabowo’s leadership style is nuanced. Despite his polarising image, Indonesia’s foreign policy is still shaped by pragmatism and non-alignment. As such, Prabowo will likely focus on balancing relations with China, the United States and Russia, while protecting Indonesia’s sovereignty.

Indonesia’s decision to join BRICS, the economic group that includes both China and Russia, for example, should be seen as a diplomatic hedge, not a new geopolitical alignment.

Other recent decisions, such as providing aid to Fiji, suggest an increasingly outward-facing regional posture.

Albanese should offer Prabowo credible alternatives to Russian and Chinese engagement through trade, technology and education exchanges, rather than reacting to Jakarta’s moves with suspicion.

Opportunities for cooperation

In his election campaign, Albanese reaffirmed his government’s commitment to working closely with Southeast Asia. He also promised a foreign policy grounded in diplomacy, climate cooperation and economic diversification.

This provides a strong incentive for both leaders to deepen ties. For Australia, deepening ties with Indonesia supports its Indo-Pacific strategy. The goal: promoting a stable and inclusive regional order, particularly amid concerns over growing strategic competition between the US and China.

For Indonesia, Australia offers investment, education partnerships, and critical expertise in clean energy and innovation.

A free-trade agreement signed in 2019 provides a platform for deeper integration and less competition in certain industries.

For example, there are huge opportunities to collaborate in clean energy, particularly after the neighbours signed a climate partnership last year. The agreement will secure supplies of lithium for Indonesia’s EV battery production, while Australia will gain more export markets for its critical minerals.

People-to-people ties are also vital, while education remains a longstanding pillar of the bilateral relationship.

Both countries face skills shortages in key sectors. Indonesia needs skilled workers in health care, clean technology and digital literacy. Australia has shortages in critical infrastructure, aged care and engineering.

There are good opportunities here for student exchanges, joint employment training programs and other vocational collaborations.

New Australian university campuses in Indonesia are a positive step, but they remain commercially focused and concentrated in elite, urban areas. With over 4,000 universities across the archipelago, these partnerships could go much further.

Where tensions might arise

The relationship is not without friction. Australia’s involvement in the AUKUS agreement, and its close alignment with the United States and United Kingdom, has raised concerns for Indonesia, which has long championed non-alignment.

Jakarta has voiced unease over the perceived risks of nuclear submarine proliferation in the region.

Albanese’s visit is a key opportunity to clarify that AUKUS involves nuclear-powered — not nuclear-armed — submarines. He should also reinforce Australia’s commitment to transparency over the deal. This is essential to avoiding misunderstandings and building trust.

A more recent flashpoint is speculation around a possible Russian military presence in Indonesia — a claim the Indonesian government has firmly denied.

Indonesia’s response exemplifies its longstanding commitment to strategic autonomy. However, the whole ordeal reveals the complexity of Jakarta’s foreign relations, which often involve balancing ties with competing powers.

For Australia, acknowledging Indonesia’s independent foreign policy — rather than interpreting it through a great-power rivalry lens — is critical to sustaining mutual trust.

A chance to re-anchor the relationship

This moment offers both governments the chance to move beyond symbolic gestures toward a deeper, more inclusive and people-centred partnership.

Amid global fragmentation, trust is not just desirable — it’s essential. And while differences remain, they are not insurmountable when guided by mutual respect, strategic patience and a commitment to genuine cooperation.

For Australia, the challenge is to move past strategic anxiety and invest in a resilient, multidimensional relationship with Indonesia. This visit could be the first step in doing just that.

 

The article was published in  The Conversation Indonesia on May 14, 2025.

Hangga Fathana
A lecturer in the Department of International Relations at the Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on Australia studies, global political economy, trade politics, and the dynamics of capitalist development.

Categories
Politik Sosial Budaya

Bagaimana Aktivisme Digital Penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024

Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga politik. 

Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 55%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Dunia.  

Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.

Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini menyangkal bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.

‘Anies Bubble’ dan manuver politik

Akun @aniesbubble mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023.

Akun @aniesbubble mengadopsi karakter fandom K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai pendukung hak asasi manusia, lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak, dan memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis). 

Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas clicktivismmetavoicing, dan assertion yang diungkapkan oleh Jordana J.George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat. 

Aktivisme ini diawali dengan clicktivism, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian likevoting, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun @aniesbubble muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip Live TikTok Anies yang pertama  pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan like sebanyak 4,1 ribu. Voting dilakukan saat @aniesbubble membuka voting pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024, antara Humanies atau Manies.

Aktivitas berikutnya adalah metavoicing, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang post (reposting), sharing, dan retweeting unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan repost terbanyak adalah konten mensenai guru PAUD, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.

@aniesbubble juga melakukan metavoicing dengan mengunggah ulang potongan-potongan video live Tiktok Anies ke platform X. Repost maupun retweeting merupakan aktivitas yang satu level lebi tinggi daripada liking karena membutuhkan usaha yang lebih.

Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari live Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X.

Sementara itu, assertion didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan skill yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada clicktivism dan metavoicing karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.

@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat konten-konten promosi seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.

Melalui wawancaranya dengan media Magdalene , admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.

Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop. Akun X dengan username @olpproject bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. Video promosi Anies dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.

Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut

Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.

Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka. 

Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan banyak disindir oley warganet di X “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.

Adu ‘branding’ kandidat di media sosial

Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (botism).

Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha menciptakan branding diri agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.

Capres Prabowo Subianto juga membentuk image ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah podcast pada 2019 lalu yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.

Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana pengguna media sosial menunjukkan perspektifnyaHype di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Februari 2024

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada  masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Hukum Politik

100 Hari Pertama Prabowo-Gibran, Masa Depan Perlindungan HAM Makin Dipertanyakan

Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) merupakan Asta Cita nomor 1 dari prioritas program Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini.

Namun, riset terbaru Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menemukan bahwa performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran justru suram pada 100 hari pertama kekuasaannya, terutama dari sisi substansi peraturan perundang-undangan. Kesenjangan ini menjadi fondasi untuk mempertanyakan masa depan perlindungan HAM dalam lima tahun ke depan.

Riset ini meneliti performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran dari sisi substansi peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama pemerintah. Kami berfokus pada 155 peraturan perundang-undangan, terbagi ke dalam 87 undang-undang, satu peraturan pemerintah, dan 67 peraturan presiden.

Dengan mendefinisikan orientasi HAM berdasarkan pernyataan formal dan eksplisit tentang HAM dalam peraturan-peraturan itu, riset ini berupaya untuk memahami cara pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM di dalam aturan bernegara.

Elemen HAM dianggap minoritas

Riset kami menemukan bahwa selama 100 hari pertama memimpin, pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan.

Temuan ini didasarkan pada penilaian terhadap orientasi HAM di dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan indikator pemuatan HAM dalam peraturan, pemerintahan Prabowo-Gibran memperoleh skor 0,14 dari skala 0-1. Sementara berdasarkan indikator cakupan hukum dan ragam HAM dalam peraturan, pemerintahan saat ini memperoleh skor 0,06 dari skala 0-1.

Peraturan Presiden tentang Kementerian Kehutanan, misalnya, tidak didekati dengan pokok pikiran dan alasan pembentukan yang berbasis HAM. Dasar hukum pembentukannya juga tidak merujuk satu pun instrumen hukum HAM. Begitu juga dengan materi muatannya yang tidak menyatakan pelbagai ragam HAM secara eksplisit dan formal. Padahal, terdapat keterhubungan yang ketat antara isu kehutanan dengan HAM.

Dengan demikian, skor orientasi HAM dalam peraturan-peraturan yang telah disahkan hanya berkisar 0,1 dari skala 0-1, menandakan orientasi HAM yang sangat lemah dari pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Ini artinya, aspek HAM belum menjadi perhatian bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam membentuk peraturan perundang-undangan pada 100 hari pertama.

Memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan bukan pertanda baik dalam upaya perlindungan HAM. Konstitusi menegaskan bahwa pemerintah mengemban tanggung jawab untuk menjamin penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Dengan demikian, tanggung jawab pemerintahan terhadap HAM tidak hanya harus dilakukan, tetapi juga harus sudah terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang disahkan.

Abaikan hukum HAM

Riset ini juga menemukan bahwa pendayagunaan hukum HAM masih sangat terbatas. Dari 15 instrumen hukum internasional dan nasional HAM yang menjadi acuan, hanya satu instrumen yang dirujuk dalam 155 peraturan yang disahkan, yaitu UUD 1945 atau Konstitusi. Di tengah banyaknya instrumen hukum HAM, praktik ini menandakan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung tertutup dari keberadaan hukum nasional dan internasional HAM.

Menurut riset PUSHAM UII, pertimbangan tentang HAM justru sukar ditemukan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan peraturan-peraturan yang telah disahkan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Dalam dasar hukum pembentukan, rujukan langsung pada hukum internasional dan nasional HAM disebut sebagai praktik yang langka. Ragam HAM hampir tidak pernah ditemukan dalam ketentuan pasal-pasal. Selain itu, konstruksi HAM dalam penjelasan resmi atas setiap peraturan amat jarang ditemukan .

Pengucilan HAM

Riset ini juga menemukan empat indikasi lain yang semakin membuat komitmen perlindungan HAM dari pemerintahan Prabowo-Gibran patut dipertanyakan.

Pertama, pengakuan hak-hak masyarakat adat yang setengah hati. Dalam hal ini, pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak yang dinikmati oleh masyarakat adat.

Hal ini terlihat dalam 80 undang-undang terkait penetapan provinsi, kabupaten, dan kota. Seluruh peraturan ini merujuk Pasal 18B ayat (2) Konstitusi sebagai dasar hukum pembentukannya. Pasal ini memang mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat.

Namun, pasal tersebut terletak dalam Bab Pemerintah Daerah di dalam Konstitusi. Ini mengindikasikan bahwa semangat dari pengakuan lebih mengakar pada penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah.

Pengakuan yang berbasis kepemilikan hak, padahal, dapat didasarkan pada Pasal 28I ayat (2) Konstitusi, yang secara khusus terletak dalam Bab Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, perujukan Pasal 18B ayat (2) Konstitusi tanpa diikuti dengan Pasal 28I ayat (2) menunjukkan pengakuan hak-hak masyarakat yang setengah hati dan tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak.

Kedua, terdapat klise pada frasa “Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Tumpah Darah Indonesia dan Memajukan Kesejahteraan Umum” dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini dapat dijumpai, misalnya, dalam penjelasan resmi pada 70 undang-undang penetapan kabupaten dan 9 undang-undang penetapan kota.

Ketika diteliti, frasa yang sama juga dapat dijumpai dalam UU Ibu Kota Negara. Sayangnya, riset lain dari PUSHAM UII menemukan bahwa UU Ibu Kota Negara (IKN), yang memuat frasa tersebut di dalam penjelasan resminya, justru memungkinkan pelanggaran HAM dalam implementasi pembangunan Nusantara. Praktik ini mengindikasikan bahwa dalam praktiknya, frasa tersebut belum dijiwai oleh semangat perlindungan yang substantif.

Ketiga, ketidakjelasan pemaknaan tentang agenda pembangunan berkelanjutan. Frasa “pembangunan…dilakukan secara berkelanjutan” ditemukan di bagian pertimbangan dalam 79 dari 87 undang-undang. Sayangnya, istilah pembangunan berkelanjutan seringkali disalahartikan untuk kepentingan sesaat aparat pemerintah dan mengakomodasi kebijakan yang eksploitatif.

Proyek-proyek besar seperti pembangunan Nusantara dan jalan tol Trans-Jawa, misalnya, telah mengganggu HAM dan keberlanjutan lingkungan hidup. Padahal, kedua proyek ini mengusung konsep “berkelanjutan” di dalam dasar-dasar hukumnya.

Keempat adalah pengucilan bidang HAM. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memerintahkan Kementerian HAM untuk bersinergi hanya dengan Kementerian Hukum dan Kementerian Imigrasi-Pemasyarakatan. Tidak ada perintah serupa bagi kementerian di bidang-bidang lain seperti investasi dan hilirisasi, keuangan, perdagangan, kehutanan, dan pariwisata untuk bersinergi dengan bidang HAM. Padahal, HAM ada di setiap bidang dari seluruh urusan pemerintahan.

Tantangan ke depan

Temuan riset tersebut mengindikasikan bahwa perlindungan HAM tampaknya tidak akan terlaksana secara optimal dalam lima tahun ke depan. Sebab, bagaimana bisa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kemampuan melindungi HAM jika HAM sendiri terlihat tidak menjadi prioritas dalam peraturan perundang-undangannya?

Alih-alih memberikan perhatian secara kuat dan memastikan ruang yang dominan untuk HAM, pemerintahan Prabowo-Gibran justru mengeksklusi HAM dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama. Padahal, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memastikan perlindungan HAM.

Di negara-negara yang menganut prinsip negara hukum, seperti Indonesia, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu realitas di masa depan. Umumnya, keutamaan tentang realitas yang dikehendaki dituangkan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan suatu peraturan.

Kemudian, dengan didukung dasar-dasar hukum yang ada, jalan dan rambu-rambu untuk mencapai realitas itu dirumuskan dalam bentuk ketentuan pasal-pasal. Ketentuan ini menjadi penuntun yang mengikat mereka yang menjalankan pemerintahan, bahkan termasuk setiap orang dalam yurisdiksi negara.

Dengan menempatkan perlindungan HAM yang optimal sebagai realitas di masa depan, keutamaan tentang HAM seharusnya dituangkan, dirujuk, diekspresikan, dan dielaborasi dalam setiap elemen peraturan.

Keberadaan keutamaan tentang HAM ini menegaskan orientasi HAM dari peraturan perundang-undangan. Peraturan yang memiliki orientasi HAM kuat memungkinkan aparat negara, termasuk pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, untuk melindungi HAM secara optimal.

Sebaliknya, orientasi HAM yang sangat lemah dalam peraturan, sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, justru membuka ruang gangguan dan intervensi negara terhadap penikmatan HAM—membuat warga menyangsikan performa HAM dari suatu rezim pemerintahan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Februari 2025

Said Hadi
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum bisnis dan HAM, serta metodologi hukum.

Categories
Politik

Jokowisme, Trumpisme, dan Dinasti Politik: Bagaimana Fenomena Pendangkalan Demokrasi Kian Mendunia

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa maju dalam kontestasi pemilihan presiden kian melebarkan jalan dinasti politik yang diduga tengah dibangun oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Putusan MK akan membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk mengikuti kontestasi pencapresan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Saat ini Gibran tengah menjabat Walikota Solo. Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hal yang kemudian turut memantik kontroversi karena Kaesang hampir nihil pengalaman politik.

Yang menarik adalah PSI memunculkan dan mempopulerkan terminologi Jokowisme, terminologi yang mengagungkan figur tertentu. Metafora semu semacam ini akan turut berperan mendangkalkan praktik demokrasi. Kedaulatan rakyat kini menjadi arena pertaruhan sekelompok elit politik demi mempertahankan maupun merebut kekuasaan.

Namun, pada kenyataannya, pendangkalan demokrasi semacam ini telah menjadi tren global yang terjadi di negara-negara pelopor demokrasi seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Ini menunjukkan bahwa ternyata praktik demokrasi di dunia tengah menghadapi tantangan yang makin meningkat, yang membuat kita mempertanyakan kembali definisi demokrasi itu sendiri.

Jokowisme dan dinasti politik di Indonesia

PSI mengklaim istilah Jokowisme sebagai metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat serta memiliki paham progresivitas pembangunan negara yang berkeadilan dan berdaulat. Penjelasan ini kemudian memunculkan anggapan bahwa Jokowisme telah melampaui sekat ideologi.

Ini sekilas memberi angin sejuk bagi platform (prinsip atau kebijakan yang didukung) pergerakan partai politik di Indonesia yang kebanyakan saat ini susah dibedakan–hampir semuanya menganut platform nasionalis religius, atau sebaliknya, religius nasionalis.

PSI dan para loyalisnya menjustifikasi bahwa mereka yang mengkritik maupun menolak Jokowisme telah gagal memahami cara kerja kekuasaan. Padahal, metafora Jokowisme itu sulit dipisahkan dari kesan proses pembentukan dinasti politik bagi anak-anak Jokowi.

Dengan kata lain, secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa cara kerja kekuasaan dalam metafora Jokowisme sendiri ternyata tidak berbasis sistem meritokrasi yang mendasarkan pada kapabilitas, melainkan tidak lebih dari sekadar fanatisme terhadap tokoh tertentu. Dan ini akan sangat mendorong terbangunnya dinasti politik.

Di Indonesia fenomena dinasti politik memang tidak hanya dilakukan oleh keluarga Jokowi. Di tingkat nasional, dengan skala yang berbeda, beberapa yang masih terlihat di antaranya adalah Puan Maharani (keluarga Megawati Soekarnoputri), Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono (keluarga Susilo Bambang Yudhoyono), dan mungkin belakangan muncul Yenny Wahid (keluarga Abdurrahman Wahid).

Trumpisme dan ancaman terhadap demokrasi AS

Pendangkalan demokrasi melalui terminologi semu juga menjalar di AS. Polarisasi antara dua partai besar di AS–Partai Republik dan Partai Demokrat–terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ada istilah Trumpisme yang muncul ketika mantan Presiden AS Donald Trump maju sebagai kandidat presiden dari Partai Republik dalam Pemilu Presiden AS 2016.

Trumpisme kemudian kerap digunakan untuk menyebut arah kebijakan dan sikap Trump terhadap berbagai kebijakan, baik domestik maupun luar negeri, serta gerakan yang mendukung atau sejalan dengan pandangan Trump. Sejumlah pengamat politik AS menyebut Trump sebagai presiden yang mempromosikan autokrasi yang akan mengancam demokrasi AS.

Peter J. Katzenstein, profesor politik dari Cornell University, mendefinisikan bahwa Trumpisme terdiri dari tiga pilar yaitu etnonasionalisme, agama, dan ras. Etnonasionalisme berfokus pada loyalitas kaum kulit putih AS. Sementara, pilar agama berpusat pada kelompok Kristen sayap kanan dan isu ras meminggirkan kelompok kulit hitam, hispanik, Muslim, dan kelompok minoritas lain.

Politik yang Trump lakukan lebih berfokus kepada dirinya sendiri sebagai tokoh. Ketika kalah dalam Pemilu AS 2020, Trump memprovokasi pendukungnya hingga menciptakan kerusuhan di Gedung Capitol, bahkan sempat melontarkan wacana untuk membuat partai baru.

Arah politik yang dibawa Trump tidak selalu mewakili ideologi partai yang mendukungnya. Bahkan muncul gerakan Never Trump oleh tokoh-tokoh Partai Republik yang lebih moderat karena mereka tidak mendukung kebijakan Trump.

Menjelang Pemilu AS 2024, narasi Trumpisme masih kembali muncul dalam debat kandidat presiden Partai Republik, padahal Trump sendiri sedang berkutat dengan berbagai dakwaan hukum.

Bagaimanapun, sistem demokrasi AS yang telah dibangun berdasarkan meritokrasi sejak abad ke-18 mampu bertahan meski sempat menghadapi berbagai ancaman. Peran dan pembagian kekuasaan yang dimiliki kongres serta pemerintah negara bagian, independensi lembaga yudikatif, serta kebebasan pers menjadi pengawal dan penjamin utama berjalannya sistem demokrasi di AS.

Referendum dan prospek demokrasi Australia

Tren pendangkalan demokrasi menjadi tantangan bagi Australia sejak satu dekade terakhir. Terbaru, hasil referendum Australia yang dilaksanakan 14 Oktober 2023 menunjukkan bahwa 60,6% rakyat Australia menolak usulan untuk mengubah konstitusi agar mengakui penduduk asli (Aborigin dan Pribumi Selat Torres). Padahal, penyelenggaraan referendum ini sendiri awalnya merupakan indikasi demokrasi Australia yang kian progresif.

Sekilas, hasil referendum ini menunjukkan kedaulatan rakyat karena adanya proses pemungutan suara yang demokratis. Namun, dalam konteks praktik demokrasi, ini mencerminkan kebangkitan tren demokrasi reaksioner.

Demokrasi reaksioner adalah gambaran kebangkitan rasisme dan populisme yang sekilas tampak sebagai cerminan tuntuan masyarakat, meski sebenarnya kebangkitan tersebut adalah hasil manipulasi yang dilakukan secara sadar oleh elit untuk mendorong kemunculan ide-ide reaksioner.

Dari definisi tersebut, boleh jadi, antiklimaks hasil referendum Australia ini muncul akibat ide-ide reaksioner yang menggagalkan dukungan pengakuan penduduk asli.

Pemimpin oposisi, Peter Dutton dan politikus populis Pauline Hanson menjadi yang terdepan dalam menolak pengakuan penduduk asli dalam konstitusi.

Menurut Hanson, dukungan terhadap perubahan konstitusi hanya akan menambah kekuasaan yang dimiliki oleh penduduk asli. Pandangan ini dinilai rasis dan kian menguatkan istilah Hansonism yang dilekatkan padanya sebagai metafora antiglobalisasi. Hanson juga dikenal sebagai politikus demagog–yang menarik dukungan dengan memanfaatkan isu populer, bukan dengan menggunakan argumen rasional.

Selain antiklimaks hasil referendum, ancaman pendangkalan demokrasi Australia juga sempat marak dengan terjadinya instabilitas politik dalam pemerintahan federal, seperti pergantian perdana menteri yang sengaja dirancang oleh kolega kabinet sendiri, menyimpangi hasil pemilu.

Ujian demokrasi reaksioner: dinasti dan demagogi

Tren politik dunia yang tengah menghadapi ancaman pendangkalan demokrasi memberikan tanda bahwa perjuangan negara merawat demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia.

Meski Indonesia, Australia, dan AS menghadapi konteks masalah berbeda dalam melawan erosi demokrasi, ketiganya tampak menghadapi ujian yang sama: demokrasi reaksioner yang ditunjukkan dari praktik politik demagogi dan politik dinasti.

Di Australia dan AS, ujian ini lebih terlihat dari pergerakan demagog yang menyebarkan isu-isu reaksioner seperti etnonasionalisme, agama, dan ras. Isu ini dijadikan komoditas politik demi mendulang popularitas dan merebut kekuasaan. Untungnya, kejelasan peran oposisi dalam badan legislatif pada kedua negara tersebut sedikit banyak menangkal kampanye demagogi yang kian memprihatinkan.

Di Indonesia, tidak mudah mengidentifikasi politik demagogi. Di atas permukaan, lebih banyak muncul fenomena dinasti politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dengan sokongan fanatisme dari para pendukung yang mengidolakan patron.

Demagog dari luar terlihat sebagi seorang yang seolah memperjuangkan rakyat, padahal semua itu sekadar hasutan yang dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Jika demagog sering diidentikan sebagai suara oposan yang menebar ketakutan demi meraih kekuasaan, hal ini sulit ditemukan di Indonesia.

Pada beberapa hal, ketiadaan oposisi formal dalam sistem pemerintahan Indonesia berpotensi membuka kemungkinan politik demagogi justru dapat muncul dari pucuk penguasa.

Demi keberlangsungan nilai-nilai demokrasi di Indonesia, sikap Jokowi yang selama ini tidak netral dalam kontestasi pemilihan presiden 2024, jika memang harus diteruskan, perlu disajikan dengan pendekatan yang lebih bermartabat guna menghindari kemungkinan kebangkitan politik demagogi dari penguasa.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.

Categories
Politik Sosial Budaya

Urgensi Perda Kebudayaan

Kota Yogyakarta sampai tahun 2025 ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara khusus mengenai kebudayaan. Meski pada tingkat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah diatur secara komprehensif di dalam Perdais DIY Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan, tetapi sebagai kota yang memiliki kewenangan tersendiri sudah sepatutnya Kota Yogya karta juga memiliki Perda Kebudayaan. 

Sedikit lebih maju daripada Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul telah memiliki Perda khusus mengenai pengelolaan kebudayaan sejak tahun 2022 lalu. Perda tersebut setidaknya dapat menjadi pijakan dan jaminan akan hadirnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam urusan kebudayaan, baik sekarang maupun mendatang. 

Mendesak 

Setidaknya ada beberapa argumentasi mengapa pembentukan Perda tentang Kebudayaan sangat urgen untuk segera diwujudkan di Kota Yogyakarta. Secara filosofis, sebagai bagian dari DIY, Kota Yogyakarta mewarisi nilai-nilai luhur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat. Warisan budaya tersebut perlu dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan dan dibina agar terus lestari. Pemerintah Daerah harus hadir dalam rangka mempertahankan eksistensinya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan di tengah tantangan dan hambatan peradaban daerah. 

Secara sosiologis, tren positif pengelolaan kebudayaan yang dianggap telah baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Raihan kategori terbaik/emas oleh Kota Yogyakarta dalam penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 dari Kementerian Kebudayaan, perlu juga diimbangi dengan kontribusi murni Kota Yogyakarta kepada pengelolaan kebu- dayaan. 

Saat ini, kontribusi Kota Yogyakarta dalam tata kelola kebudayaan, secara mayoritas masih dalam kedudukannya sebagai pelaksana dan penerima tugas urusan keistimewaan bidang kebudayaan dari Pemerintah DIY, bukan murni dari inisiatif atau otonomi Kota Yogyakarta. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberikan kesempatan kepada Pemerintah Kota untuk juga turut aktif dalam memajukan dan melestarikan kebudayaan di daerahnya.

Secara yuridis, kontribusi yang belum optimal di atas dapat dimaklumi karena Pemerintah Kota Yogyakarta sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Tahunan 2023 Dinas Kebudayaan mengamini sendiri bahwa Kota Yogyakarta memiliki keterbatasan perangkat regulasi teknis terkait dengan pelestarian, pengawasan, dan pengembangan seni budaya di Kota Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasi- kan bahwa terjadi kekosongan hukum bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan tata kelola kebudayaan yang berlandaskan atas otonomi daerah. 

Materi Muatan 

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka ke depan, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta perlu segera membentuk Perda Kota Yogyakarta tentang Kebudayaan. Materi muatan yang perlu diatur dapat berisi beberapa hal berikut. Pertama, sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan antara Pemerintah Daerah DIY dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tujuannya bukan untuk memperumit pembagian kewenangan, tetapi justru dapat memperjelas masing-masing kewenangan dari dua daerah tersebut. Di samping sebagai pelaksana tugas dari Pemerintah DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta juga perlu dimak- simalkan kontribusinya seba- gai daerah yang memiliki kewenangan tertentu. 

Kedua, pemetaan mengenai objek kebudayaan.yang bersumber dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat yang memang berada di Kota Yogyakarta di antaranya nilai hamemayu hayuning bawana, segoro amarto, dan rewang/balad. Ketiga, perlu pengaturan mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan urusan di bidang kebudayaan yang dapat terdiri pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. 

Keempat, pemeliharaan dan pengembangan rintisan ke lurahan budaya serta kelurahan budaya. Dua entitas ini perlu diberi pembinaan dan pelestarian melalui diantaranya peningkatan manajemen, kungan dan fasilitasi sarana dan prasarana serta pendampingan tenaga teknis. Ketentuan ini menjadi lokalitas (local wisdom) karena menjadi kekhasan Kota Yogyakarta. Kelima, pemberian pengha gaan kepada pihak-pihak yang telah be. prestasi dan berperan penting dalam upaya pengelolaan kebudayaan. Penghargaan dapat berupa fasilitas, insentif dan bentuk lainnya. 

Keenam, peran serta masyarakat. Ketentuan ini mengatur mengenai peran apa saja yang dapat diberikan oleh masyarakat di dalam pengelolaan kebudayaan. Peran serta dapat berupa bantuan upaya pengelolaan kebudayaan, bantuan pendanaan, melakukan pelindungan sementara, melakukan advokasi publikasi dan sosialisasi serta pengawasan terhadap upaya pengelolaan kebudayaan. Ketujuh, dukungan pendanaan dalam pelaksanaan pengelolaan kebudayaan. 

Beberapa materi muatan di atas perlu dipertimbangkan agar kehadiran Pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih nyata dalam memberikan kontribusi dalam pengelolaan kebudayaan sebagai daerah otonom, bukan hanya dalam kedudukannya melaksanakan tugas dari Pemerintah DIY. Tentu saja hal ini bertujuan agar potensi kebudayaan di Kota Yogyakarta menjadi optimal secara khusus dan secara umum kebudayaan DIY dapat lestari secara maksimal.



Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 26 Maret 2025

M. Addi Fauzani
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII