Categories
Sosial Budaya

Senjakala Keberadaan RRI/TVRI

Viralnya peristiwa pemberhentian karyawan TVRI Yogyakarta imbas pemangkasan anggaran membuat prihatin berbagai pihak. Meski akhirnya ada instruksi pembatalan dari Menteri Keuangan, kasus sudah terjadi dan memicu perdebatan komitmen Presiden Prabowo terhadap penyiaran publik di Indonesia. Muncul kesimpulan no viral no justice yang menggambarkan bebalnya mentalitas aparat birokrasi dalam membuat kebijakan. Tulisan kecil ini menguraikan aspek fundamental penyiaran publik dan kekeliruan kebijakan pemangkasan anggaran yang menimpa dan oleh elite RRI/TVRI sebagai media publik. 

Postur Anggaran RRI/TVRI 

Keputusan Prabowo mangkas anggaran kementerian/lembaga hingga mencapai 306 triliun dengan antara lain mengalihkan ke program makan bergizi gratis sekilas baik dan sangat populis. Harus diakui, pemborosan anggaran sudah lama terjadi di berbagai lembaga negara termasuk di manajemen RRI/TVRI, antara lain pos kunjungan kerja, tim kebijakan dan pos rapat-rapat di luar kota. Jika penghematan menyasar pos-pos ini, maka ia patut didukung agar lembaga penyiaran publik mengalami penyehatan birokratis. 

Dalam satu dekade terakhir, APBN untuk kedua media cenderung naik secara gradual hingga mencapai triliunan pertahun. Sebagai contoh, tahun 2025 TVRI memperoleh pagu anggar an sebesar Rp 1,05 triliun, sedang RRI mendapat pagu sebesar Rp 1,07 triliun. Dari total budget ini, hampir 70% di- pakai untuk kebutuhan belanja pegawai dan layanan administrasi. Sisanya baru untuk produksi konten. Budget ini termasuk untuk honor tenaga lepas yang justru ujung tombak produksi konten. Artinya, ada ketidakseimbangan dan salah postur, yang diakibatkan besarnya jumlah ASN di sektor administrasi.

Lembaga penyiaran publik di berbagai negara dilindungi paripurna karena tugas historis dan politisnya sebagai penjaga moralitas, pemersatu jiwa lewat konten terbaik. Oleh tugas mulia ini, anggaran LPP bersumber langsung dari publik yang dikelola negara terpisah dari APBN. Istilah yang kini populer: media trusted fund, agar terhindar dari aksi pangkas memangkas oleh kepentingan politik tentatif. Dalam budaya politik anggaran di Indonesia, APBN selalu naik turun, diputuskan secara politik praktis di parlemen, rawan korupsi.

Lebih jauh, oleh budaya organisasi media publik itu sendiri yang birokratis, penuh birokrat, pemangkasan budget RRI/TVRI justru menimpa para tenaga lepas dan sektor produksi siaran sebagai jantung layanan publik, tak menyentuh elite kedua media. Berbeda dengan lembaga negara lain yang dominan fungsi administrasi, media publik memiliki peran strategis pada penguatan nasionalisme, mencerdaskan kehidupan bangsa lewat kon- ten berkualitas, sifatnya produktif. Ini, jauh lebih utama dari makan bergizi gratis yang bersifat karitatif. Muncul kesan buruk di publik: negara dan RRI/TVRI lebih mengutamakan perut kenyang, ketimbang otak dan kecerdasan berpikir. Senjakala penyiaran publik sudah tampak.

Bagaimana memahami munculnya pemutusan hubungan kerja (sejenak) dan masa depan lembaga penyiaran publik? mengapa pemangkasan anggaran justru menimpa sektor produksi dan harus viral? Pertanyaan ini harus dijawab dan direfleksikan oleh pekerja kedua media itu sendiri. Setidaknya ada dua kesimpulan umum. Pertama, Presiden Prabowo tidak punya prioritas anggaran, dan aksi memangkas anggaran yang menyasar RRI TVRI tampak ugal ugalan. Kedua, tidak ada sense of crisis pimpinan RRI/TVRI ketika merespons pemangkasan. Langkah PHK kepada pembuat konten mencerminkan suatu keputusan buruk, yang justru memicu risiko penurunan kualitas produksi, senjakala kedua media itu sendiri sebagai lembaga pelayanan konten publik yang profesional. 

Pemangkasan budget oleh Prabowo menjadi pelajaran mahal agar TVRI/RRI membenahi kinerja, semakin dekat ke publik sehingga dalam jangka pendek dapat menerapkan model mixed budget: iuran, crowed fund dll., tanpa tergantung lagi kepada dana APEN. Evaluasi anggaran negara yang selama lebih dari lima puluh tahun dipakai di kedua media juga mutlak dilakukan, termasuk dengan cara melakukan rasionalisasi sumber daya manusia yang tidak produktif di era digital, mayoritas di sektor administrasi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 Februari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.



Categories
Hukum

Kita Belum Punya UU Contempt of Court

Masyarakat harus diberi pencerahan agar tak tertipu dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku ahli atau sangat menguasai.

Banyak sarjana hukum mengira penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) sebagai nama tindak pidana itu sudah ada. Padahal, di Indonesia, belum ada nama dan unsur untuk jenis tindak pidana tentang itu.

Baru-baru ini kita dikejutkan oleh viralnya seorang pengacara atau advokat yang berteriak kalap dan akan memperkarakan seseorang, sebutlah Pak Fulan, ke peradilan pidana.

Alasannya, katanya, Pak Fulan melakukan kejahatan, karena Pak Fulan memberi opini atas perkara yang sedang ditanganinya. Pengacara ini dengan lantang mengaku dirinya ahli pidana dan sangat menguasai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Padahal, Pak Fulan tak berbicara sama sekali tentang perkara yang dia tangani. Ketika ditanya, Pak Fulan tak peduli dan tertawa ringan atas sensasi itu.

Meskipun begitu, kita harus memberikan pencerahan kepada masyarakat karena hal tersebut merupakan tragedi profesionalisme seorang pengacara yang tak paham bedanya hukum dan ilmu hukum. Masyarakat harus diberi pencerahan agar tak tertipu dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku ahli atau sangat menguasai.

Pemahaman tentang ini sangat penting tidak hanya bagi pembelajar, pengamat, dan profesional hukum, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya agar tak disesatkan pikiran dan pemahamannya.

Ada dua hal di sini. Pertama, tentang opini atau pendapat hukum atas perkara yang sedang berlangsung, termasuk mulai dari mediasi, di pengadilan.

Kedua, Pak Fulan akan diperkarakan melakukan kejahatan contempt of court karena mengomentari perkara yang sedang berjalan di pengadilan (dalam kasus ini perkara sudah masuk tahap mediasi setelah sidang pemeriksaan perkara dimulai).

Opini atau pendapat hukum

Tiba-tiba si pengacara berteriak bahwa Pak Fulan telah mengomentari perkara yang sedang ditanganinya dan sedang dalam tahap mediasi di pengadilan. Katanya, perkara yang sedang berlangsung atau tahap mediasi di pengadilan tak boleh dikomentari.

Wow, ilmu hukum dari mana itu?

Justru para pakar, pengamat, wartawan, dan sebagainya sangat boleh mengomentari dan beropini tentang perkara yang belum ataupun sedang berjalan di pengadilan.

Saat ini, dari luar gedung pengadilan hampir semua televisi dan podcast justru menyiarkan opini pakar dan profesional hukum tentang perkara yang sedang berlangsung ataupun baru pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Sebutlah, opini tentang peradilan Zarof Ricar, opini tentang penyuapan hakim di Jakarta Selatan, bahkan opini tentang perkara ijazah asli atau palsu yang sedang berproses di Bareskrim dan di Polda Metro Jaya.

Itu sangat boleh dilakukan. Saat Ferdi Sambo diselidiki, disidik, dan disidang di pengadilan, semua pakar diundang ke televisi, ke podcast-podcast, bahkan ke sidang pengadilan, untuk memberi opini dari sudut keahliannya.

Bukan hanya ahli hukum, melainkan juga ikut dan diminta memberi opini ahli-ahli di bidang lain, seperti ahli psikologi, ahli TI, dan ahli sosiologi, yang semua berbicara dari dalam ataupun dari luar pengadilan untuk memberi legal opinion. Sang pengacara tidak tahu bahwa yang tidak boleh mengomentari perkara yang sedang berlangsung hanya hakim yang menangani perkara itu.

Itu pun masuk dalam masalah etika, bukan masalah pidana. Bahkan pengacara dan jaksa boleh mengomentari perkara yang sedang ditanganinya dari luar persidangan. Oleh karena itu, mereka sering berdebat melalui media massa dengan para pengacara, bahkan instansi penegak hukum menggunakan humas resmi untuk meladeni adu pendapat dan penilaian.

Sang pengacara bilang, Pak Fulan yang mengomentari perkara sebagai pembicara kunci pada satu seminar di kampus akan dilaporkan ke polisi karena melakukan kejahatan pidana, berupa contempt of court. Memangnya, dalam undang-undang apa dan pasal berapa diatur tindak pidana contempt of court bagi yang mengomentari atau mengulas suatu perkara?

Ada yang disamakan

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang ada jenis tindak pidana yang sering disamakan dengan contempt of court, seperti Pasal 207 dan Pasal 217. Namun, nama kejahatan untuk jenis kejahatan yang diatur oleh kedua pasal tersebut bukan contempt of court (penghinaan atas peradilan), melainkan, seperti menjadi judul Bab VIII KUHP, disebut kejahatan terhadap penguasa umum.

Dalam kedua pasal itu sama sekali tak ada ketentuan bahwa mengomentari perkara yang sedang berlangsung di pengadilan termasuk kategori kejahatan terhadap penguasa umum, apalagi contempt of court. Tidak ada isi frasa yang seperti itu. Ingat, di dalam hukum pidana tidak boleh ada analogi atau membuat ”kias” yang meng-”gatuk-gatukkan”.

Pasal 207 KUHP mengatur, ”Barang siapa yang dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Sementara, yang diatur dalam Pasal 2017 KUHP adalah larangan menimbulkan kegaduhan dalam ”sidang” pengadilan. Bunyinya, ”Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”.

Jadi, ketentuan Pasal 207 dan Pasal 217—sesuai dengan judul bab yang menaungi (Bab VIII) dalam KUHP, yang masih berlaku sekarang—disebut kejahatan terhadap penguasa umum. Di dalam KUHP yang baru, yakni UU No 1 Tahun 2023 yang akan mulai berlaku Januari 2026, tidak ada juga kualifikasi tindak pidana penghinaan terhadap peradilan atau contempt of court yang oleh si pengacara tersebut disebut kejahatan.

KUHP yang baru tetap memberlakukan substansi Pasal 207 dan Pasal 217 yang ada di KUHP lama. Substansi Pasal 207 KUHP yang lama dimasukkan ke dalam Pasal 240 KUHP yang baru dengan kualifikasi penghinaan terhadap penguasa umum. Sementara itu, substansi Pasal 217 KUHP yang lama dimasukkan ke dalam Pasal 281 KUHP baru dengan kualifikasi sebagai gangguan (bukan hinaan) terhadap proses peradilan.

Di dalam kedua pasal itu juga tidak ada larangan dan ancaman hukuman bagi orang yang mengomentari atau beropini terhadap perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Mengomentari perkara dari ruang sidang pengadilan pada umumnya malah dianggap penting guna mengawasi jalannya pengadilan yang memang harus terbuka untuk umum.

Janji pembentukan UU ”contempt of court”

Terlepas dari soal adanya ketidakpahaman sebagian sarjana hukum atas perbedaan antara hukum dan ilmu hukum, tepatnya antara ius constitutum dan ius constituendum, adanya UU tentang contempt of court di Indonesia memang diperlukan.

Saat ini gejala penghinaan atas martabat pengadilan memang kerap terjadi, bukan hanya oleh orang-orang yang berperkara, bisa juga oleh hakim yang mengadili suatu perkara karena perilakunya yang tak pantas. Jika ada hakim, misalnya, ikut bertepuk tangan ketika seorang koruptor divonis ringan, padahal sidang belum ditutup, hal itu melanggar etika.

Kita belum mempunyai undang-undang tentang contempt of court, tetapi negara sudah lama menjanjikan untuk membuat undang-undang itu. Kita bisa melihat janji negara itu, misalnya, dalam UU No 14 Tahun 1985 yang telah diperbarui dengan UU No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Dalam Penjelasan Umum Butir 4 UU tentang Mahkamah Agung itu ditegaskan tentang perlunya pembentukan undang-undang khusus yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, yang dikenal sebagai contempt of court.

Kita catat bahwa bunyi Butir 4 Penjelasan UU Mahkamah Agung tersebut adalah janji negara yang sudah ditulis selama sekitar 40 tahun (sejak 1985).

Oleh karena itu, kita perlu melakukan langkah-langkah yang lebih konkret untuk melanjutkan upaya mewujudkannya. Bahan-bahan untuk ini sudah cukup banyak. Instrumen The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), ditambah dengan pengalaman kita sendiri, perlu digali nilai-nilainya untuk dinormakan dalam hukum tentang contempt of court.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 12 Mei 2025


Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum

Serangan Siber kian Masif, Akankah Angkatan Siber TNI jadi Solusi?

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.

Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam publik. UU ITE saja sudah kerap menjadi alat untuk membatasi publik dalam menyampaikan pendapat.

Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.

Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan disusupi agenda-agenda politik praktis.

Rentannya serangan siber

Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.

Indonesia sendiri termasuk negara yang masih sangat rentan terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.

Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa komponen pertahanan di bidang siber yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.

Namun, kenyataannya masih banyak terjadi serangan siber yang gagal diantisipasi. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.

Contohnya adalah kebocoran data paspor dan penduduk yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.

Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran ujaran kebencian dan hoax di media sosial.

Maka dari itu, usulan munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.

Usulan pembentukan Angkatan Siber ini perlu ditinjau secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.

Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat patroli siber Polri menjadi sangat agresif dalam menegakkan keamanan siber.

Agresivitas ini justru lambat laun menjadi mengkhawatirkan, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. Jika salah langkah, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru mengancam demokrasi.

Antara pertahanan dan keamanan

Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.

Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.

Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini.

Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “Sinergitas TNI-Polri”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.

Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Untuk pertahanan, bukan keamanan

Kita bisa belajar dari Digital and Intelligence Service (DIS), Angkatan Siber Singapura yang baru saja dibentuk pada Maret tahun lalu.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Operasi siber memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil.

Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.

Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 September 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

 



Categories
Pendidikan

Jangan Panggil Saya ‘Prof’: Mengapa Desakralisasi Gelar Profesor Perlu Dilakukan?

Masalah etika dan akademis para dosen untuk mencapai status ‘profesor’ atau ‘guru besar’ belakangan ini menjadi sorotan publik. Perkara-perkara mulai dari kontroversi guru besar muda, Kumba Digdowiseiso, praktik “aji mumpung” kampus untuk mengatrol guru besar, hingga para politikus yang berlomba-lomba mendapatkan gelar profesor, menggerus kredibilitas akademisi berikut kebijakan pemerintah seputar penilaian akademis di mata publik.

Di tengah persoalan tersebut, terbit surat edaran dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, yang meminta agar gelar akademisnya tidak dicantumkan di dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya. Rektor UII hanya mengecualikan edaran “jangan panggil saya Prof” ini untuk dokumen ijazah dan transkrip nilai.

Tradisi menanggalkan penyematan gelar dalam pergaulan akademis memang bukan praktik baru di banyak negara. Namun, di Indonesia, langkah rektor UII dapat kita lihat sebagai sebuah gerakan simbolik untuk membuka diskusi seputar desakralisasi gelar akademis di tengah fenomena inflasi guru besar di tanah air.

Sakralisasi gelar akademis

Di Indonesia, pencapaian gelar akademis maupun atribut lainnya sering terkait dengan motivasi ekonomi terutama kenaikan gaji dan tunjangan. Pencapaian juga menjadi simbol mobilitas vertikal untuk mendapatkan penghormatan dan perlakuan istimewa dalam masyarakat. Akibatnya, banyak orang mengejar gelar tersebut dengan menempuh berbagai siasat.

Ini dibuktikan dengan temuan penelitian yang menempatkan integritas publikasi ilmiah di Indonesia terendah nomor dua di dunia. Dalam hal ketidakjujuran akademis, skor Indonesia hanya 16,7%, di bawah Kazakhstan yang menempati urutan pertama (17%).

Di sisi lain, tradisi pengultusan hierarki profesor sebagai derajat akademis tertinggi semakin menguatkan budaya feodalisme sekaligus peneguh kesenjangan. Alih-alih merujuk pada tanggung jawab keilmuan dan kepakaran, gelar doktor atau profesor kerap secara sengaja disakralkan untuk memperlebar jarak sosial, termasuk di lingkungan kampus.

Penunjukan jabatan seperti kepala pusat studi di kampus, misalnya, sering kali berdasarkan pengutamaan status profesor, bukan berdasarkan kualitas individu dan rekam kinerja riset.

Para pemilik gelar mungkin tidak menyadari ataupun mengakui sakralisasi ini. Namun, tetap saja, masih ada profesor yang tersinggung jika gelarnya tidak ditulis dalam surat undangan ataupun merasa direndahkan jika orang lain memanggil namanya tanpa disertai sapaan “Prof”.

Antara budaya feodal dan iklim akademis yang egaliter
Harus diakui, tradisi akademis terkait panggilan profesor diterapkan secara berbeda di Indonesia atau secara umum di Asia, jika dibandingkan negara Barat.

Ini salah satunya bersumber pada kentalnya budaya paguyuban (gemeinschaft) yang merupakan ciri masyarakat feodal bercorak produksi agraris–pedesaan. Budaya paguyuban berdasar pada hubungan status seperti keluarga, tradisi, dan adat yang menempatkan kendali dan hormat kepada para senior atau mereka yang dianggap dituakan.

Namun, iklim akademis dan budaya intelektual di perguruan tinggi semestinya bersifat egaliter dan kolegial. Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada tahun 1833 memperkenalkan pendekatan andragogi yang kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat (AS), Malcolm Knowles. Andragogi adalah proses pelibatan peserta didik dewasa ke dalam pengalaman belajar dengan model interaksi egaliter antara mahasiswa dengan dosennya sebagai sesama orang dewasa.

Artinya, berdasarkan pendekatan andragogi, lembaga pendidikan tinggi diharapkan terus melahirkan para ahli dengan cara bertukar pikiran secara proporsional, asertif, kritis, dialogis, dan kolegial. Pelaksanaan cara ini pun harus berlandaskan sikap saling menghargai serta menghormati tata nilai dan budaya akademis yang berlaku universal.

Bentuk pengultusan seperti rasa segan dan hormat yang berlebihan, jika hanya didasarkan pada superioritas gelar, bukan pada kapasitas keilmuan dan rekam jejak akademis, akan menghambat perkembangan iklim akademis dan budaya intelektual yang sehat di kampus.

Upaya desakralisasi
Sebelum Rektor UII, banyak tokoh dan akademisi di tanah air yang juga menerapkan praktik sapaan egaliter. Mendiang Ahmad Syafii Maarif, misalnya, jarang menuliskan gelar akademisnya. Meski telah didapuk sebagai “tokoh bangsa” dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia lebih nyaman dipanggil “Buya” daripada gelar berderet “Prof. K.H. Ahmad Syafii Maarif, M.A, Ph.D”.

Contoh lain akademisi asal Indonesia yang konsisten menolak dipanggil “Prof” adalah sosiolog Ariel Heryanto. Ia selalu mengatakan, “Panggil saja saya Ariel,” kepada orang-orang yang memanggilnya dengan sapaan “Prof Ariel”.

Belakangan, beberapa instansi terkait pendidikan dan riset di Indonesia seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga tidak lagi menuliskan gelar akademis dalam standar pengesahan dokumen-dokumen resmi.

Lebih dari sekadar panggilan
Akar masalah integritas akademis di Indonesia bukanlah terbatas pada perlu-tidaknya panggilan-penulisan, desakralisasi, atau sebaliknya pemurnian gelar “profesor”.

Kejujuran, kedisiplinan, etika, dan integritas akademis perlu segera ditegakkan oleh semua pihak, lebih dari sekadar perlu atau tidaknya atribusi bagi seorang profesor.

Banyak persoalan integritas akademis dalam proses pengajuan guru besar yang juga perlu disorot. Sebut saja kelayakan dan riwayat integritas akademis individu pengaju jabatan guru besar, independensi asesor administratif dan substantif, impunitas (pembebasan dari hukuman) terhadap pelaku perjokian dan praktik predatory karya ilmiah, dan normalisasi plagiarisme. Kita juga perlu mengawasi kurangnya transparansi, kecepatan merespons dan menangani kasus, serta ketegasan penegakan aturan disiplin etika akademis oleh institusi pengelola yaitu pihak kampus dan Kemendikbudristek.

Gerakan moral desakralisasi gelar profesor ini telah diinisiasi oleh Rektor UII, dan ternyata berhasil menarik perhatian publik lebih luas. Oleh karena itu, mengapa tidak kita dukung sebagai momentum untuk berbenah?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2024

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.

Categories
Politik Sosial Budaya

Bagaimana Aktivisme Digital Penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024

Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga politik. 

Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 55%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Dunia.  

Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.

Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini menyangkal bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.

‘Anies Bubble’ dan manuver politik

Akun @aniesbubble mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023.

Akun @aniesbubble mengadopsi karakter fandom K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai pendukung hak asasi manusia, lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak, dan memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis). 

Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas clicktivismmetavoicing, dan assertion yang diungkapkan oleh Jordana J.George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat. 

Aktivisme ini diawali dengan clicktivism, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian likevoting, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun @aniesbubble muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip Live TikTok Anies yang pertama  pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan like sebanyak 4,1 ribu. Voting dilakukan saat @aniesbubble membuka voting pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024, antara Humanies atau Manies.

Aktivitas berikutnya adalah metavoicing, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang post (reposting), sharing, dan retweeting unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan repost terbanyak adalah konten mensenai guru PAUD, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.

@aniesbubble juga melakukan metavoicing dengan mengunggah ulang potongan-potongan video live Tiktok Anies ke platform X. Repost maupun retweeting merupakan aktivitas yang satu level lebi tinggi daripada liking karena membutuhkan usaha yang lebih.

Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari live Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X.

Sementara itu, assertion didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan skill yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada clicktivism dan metavoicing karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.

@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat konten-konten promosi seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.

Melalui wawancaranya dengan media Magdalene , admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.

Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop. Akun X dengan username @olpproject bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. Video promosi Anies dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.

Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut

Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.

Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka. 

Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan banyak disindir oley warganet di X “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.

Adu ‘branding’ kandidat di media sosial

Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (botism).

Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha menciptakan branding diri agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.

Capres Prabowo Subianto juga membentuk image ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah podcast pada 2019 lalu yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.

Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana pengguna media sosial menunjukkan perspektifnyaHype di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Februari 2024

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada  masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Kesehatan Pilihan

Ada Mikroplastik dalam Teh Celup, Haruskah Kita Khawatir?

  • Mikroplastik ditemukan dalam lima produk teh celup di Indonesia
  • Kontaminasi partikel ini diduga bisa menyebabkan masalah pencernaan, gangguan hormon, hingga kanker
  • Paparan mikroplastik sulit untuk dihindari, tapi bisa dikurangi, salah satunya dengan kurangi konsumsi produk kemasan

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan temuan mikroplastik pada lima merek teh celup di Indonesia. Peneliti dari Ecological Observation and Wetland Conservation (ECOTON) menemukan keberadaan partikel mikroplastik saat kantong teh—berbahan kertas kraft—diseduh dalam suhu 95 derajat Celcius.

Mikroplastik adalah komponen kecil plastik berukuran kurang dari lima milimeter (mm) yang tidak dapat larut dalam air dan sulit terurai. Sebagian besar partikel ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan, lalu mengendap di ginjal, hati, hingga otak.

Menurut peneliti ECOTON, mikroplastik berisiko menimbulkan efek kesehatan negatif, mulai dari peradangan, gangguan hormon, hingga kanker. Namun, selama lebih dari 20 tahun penelitian mikroplastik (mayoritas pada hewan coba), pengetahuan soal dampak langsung keracunan partikel ini terhadap kesehatan manusia masih sangat terbatas.

Lantas, apakah teh celup masih aman untuk dikonsumsi?

Amankah minum teh celup?

Mikroplastik terdiri dari tujuh komponen dengan karakteristik masing-masing, yaitu polipropilena (PP), polivinil klorida (PC), polietilena (PE), polietilena tereftalat (PET), poliformaldehida (POM), nilon 6 (PA6), dan polistirena (PS).

Ketujuh komponen tersebut dapat ditemui dalam produk sehari-hari, misalnya air kemasan, buah, sayuran, botol minuman, produk kosmetik, hingga kantong teh seperti yang diteliti ECOTON. Mikroplastik bisa masuk ke tubuh, saat kita mengonsumsi atau memakai produk yang sudah terkontaminasi partikel plastik ini.

Sayangnya, hasil penelitian ECOTON tidak mencantumkan informasi estimated daily intake (EDI) alias perkiraan jumlah mikroplastik yang tertelan ketika minum teh tersebut. Alhasil, masyarakat tidak memperoleh informasi utuh mengenai risiko kesehatan akibat mengonsumsi teh yang tercemar mikroplastik.

Sebagai perbandingan, di bawah ini EDI mikroplastik dalam buah dan sayuran:

Data penelitian tahun 2020 di atas memaparkan dugaan tingginya jumlah mikroplastik dalam buah dan sayuran yang tertelan oleh anak-anak dan orang dewasa. Besaran konsentrasi mikroplastik pada buah dan sayuran dipengaruhi oleh keragaman paparan, cara mengemas, dan mencuci yang dapat mengurangi kadar partikel pada buah dan sayuran.

Meski perkiraan jumlah mikroplastik dalam buah dan sayuran yang tertelan sangat banyak, penelitian tersebut tidak menjelaskan secara lengkap dampak konsumsi mikroplastik terhadap kesehatan manusia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri belum mengumumkan secara resmi ambang batas aman EDI mikroplastik dari buah, sayuran, dan produk konsumsi sehari-hari.

Oleh karena itu, sejauh belum ada regulasi batas aman mikroplastik pada bahan makanan, maka konsumsi teh celup masih diperbolehkan. Masyarakat pun tidak perlu khawatir, tetapi tetap harus waspada.

Waspada efek negatif mikroplastik

Pada dasarnya, mikroplastik ada di mana-mana. Partikel ini pun bisa memasuki tubuh manusia lewat hidung, kulit, ataupun mulut. Sejumlah penelitian menemukan keberadaan mikroplastik dalam ASI, dahak, feses, hingga darah.

Meski begitu, dampak langsung keracunan mikroplastik terhadap kesehatan manusia perlu diteliti lebih lanjut. Pasalnya, riset sebelumnya lebih banyak dilakukan pada hewan coba, berikut sejumlah temuannya:

  1. Masalah pencernaan

Penelitian tahun 2022 pada hewan coba mengungkapkan bahwa paparan mikroplastik yang tertelan dan mengontaminasi saluran cerna menyebabkan ketidakseimbangan komposisi bakteri baik dan jahat di dalam usus.

Akibatnya, penyerapan makanan pun terganggu sehingga menyebabkan hewan yang keracunan mengalami masalah pencernaan.

  1. Gangguan pernapasan

Kontaminasi mikroplastik pada pernapasan manusia diduga dapat menyebabkan stres oksidatif—yang bisa memicu peradangan, merusak saluran napas, dan menimbulkan gangguan pernapasan.

  1. Gangguan hormon dan perkembangan janin

Bisphenol A merupakan mikroplastik yang dapat terakumulasi dalam darah dan menyebabkan gangguan hormon, reproduksi, pertumbuhan, maupun perkembangan janin. 

Penelitian terbaru menemukan keberadaan mikroplastik dalam empat sampel plasenta bayi. Ukuran mikroplastik yang sangat kecil menyebabkan partikel ini sanggup melewati plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi janin.

Studi lainnya juga menemukan 59 sampel ASI yang terkontaminasi mikroplastik polipropilena (PP), polivinil klorida (PC), dan polietilena (PE). Mikroplastik bisa mengikat hormon estrogen sehingga partikel ini bisa ikut masuk ke dalam ASI.

  1. Kanker

Kontaminasi mikroplastik pada hewan dan manusia diduga bisa mendorong pembelahan sel secara tidak terkendali. Kondisi ini bisa memicu berbagai jenis kanker, seperti paru-paru, darah, payudara, prostat, dan ovarium.

Namun, penelitian lanjutan diperlukan untuk memahami bagaimana paparan mikroplastik menyebabkan pembelahan sel.

Mengurangi dampak buruk mikroplastik

Mikroplastik bisa ada di mana-mana sehingga sulit untuk benar-benar menghindari paparannya. Hal yang bisa kita lakukan adalah mengurangi risiko paparan mikroplastik lewat sejumlah cara berikut:

  • Cuci bersih buah, sayur, daging, dan ikan berulang kali. Pastikan membuang jeroannya yang mungkin mengandung zat racun berbahaya.
  • Gunakan kosmetik seperlunya. Penggunaan berlebihan berisiko menyebabkan mikroplastik masuk lewat kulit dan terserap ke dalam tubuh melalui pembuluh darah kulit.
  • Gunakan masker wajah saat keluar rumah untuk menghindari zat yang mengiritasi pernapasan.
  • Kurangi konsumsi air kemasan, teh celup, dan produk kemasan lainnya.
  • Hindari menyimpan dan memanaskan barang dalam plastik.
  • Jaga kesehatan dengan tidur yang cukup, konsumsi makan sehat bergizi seimbang, dan rutin berolahraga.

Minum teh celup boleh-boleh saja. Namun, kita tetap perlu waspada dengan tidak mengonsumsinya terlalu sering agar terhindar dari risiko efek negatif mikroplastik.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Mei 2025

Sani Rahman Soleman
Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UII.

 



Categories
Hukum Politik

100 Hari Pertama Prabowo-Gibran, Masa Depan Perlindungan HAM Makin Dipertanyakan

Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) merupakan Asta Cita nomor 1 dari prioritas program Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini.

Namun, riset terbaru Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menemukan bahwa performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran justru suram pada 100 hari pertama kekuasaannya, terutama dari sisi substansi peraturan perundang-undangan. Kesenjangan ini menjadi fondasi untuk mempertanyakan masa depan perlindungan HAM dalam lima tahun ke depan.

Riset ini meneliti performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran dari sisi substansi peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama pemerintah. Kami berfokus pada 155 peraturan perundang-undangan, terbagi ke dalam 87 undang-undang, satu peraturan pemerintah, dan 67 peraturan presiden.

Dengan mendefinisikan orientasi HAM berdasarkan pernyataan formal dan eksplisit tentang HAM dalam peraturan-peraturan itu, riset ini berupaya untuk memahami cara pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM di dalam aturan bernegara.

Elemen HAM dianggap minoritas

Riset kami menemukan bahwa selama 100 hari pertama memimpin, pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan.

Temuan ini didasarkan pada penilaian terhadap orientasi HAM di dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan indikator pemuatan HAM dalam peraturan, pemerintahan Prabowo-Gibran memperoleh skor 0,14 dari skala 0-1. Sementara berdasarkan indikator cakupan hukum dan ragam HAM dalam peraturan, pemerintahan saat ini memperoleh skor 0,06 dari skala 0-1.

Peraturan Presiden tentang Kementerian Kehutanan, misalnya, tidak didekati dengan pokok pikiran dan alasan pembentukan yang berbasis HAM. Dasar hukum pembentukannya juga tidak merujuk satu pun instrumen hukum HAM. Begitu juga dengan materi muatannya yang tidak menyatakan pelbagai ragam HAM secara eksplisit dan formal. Padahal, terdapat keterhubungan yang ketat antara isu kehutanan dengan HAM.

Dengan demikian, skor orientasi HAM dalam peraturan-peraturan yang telah disahkan hanya berkisar 0,1 dari skala 0-1, menandakan orientasi HAM yang sangat lemah dari pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Ini artinya, aspek HAM belum menjadi perhatian bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam membentuk peraturan perundang-undangan pada 100 hari pertama.

Memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan bukan pertanda baik dalam upaya perlindungan HAM. Konstitusi menegaskan bahwa pemerintah mengemban tanggung jawab untuk menjamin penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Dengan demikian, tanggung jawab pemerintahan terhadap HAM tidak hanya harus dilakukan, tetapi juga harus sudah terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang disahkan.

Abaikan hukum HAM

Riset ini juga menemukan bahwa pendayagunaan hukum HAM masih sangat terbatas. Dari 15 instrumen hukum internasional dan nasional HAM yang menjadi acuan, hanya satu instrumen yang dirujuk dalam 155 peraturan yang disahkan, yaitu UUD 1945 atau Konstitusi. Di tengah banyaknya instrumen hukum HAM, praktik ini menandakan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung tertutup dari keberadaan hukum nasional dan internasional HAM.

Menurut riset PUSHAM UII, pertimbangan tentang HAM justru sukar ditemukan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan peraturan-peraturan yang telah disahkan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Dalam dasar hukum pembentukan, rujukan langsung pada hukum internasional dan nasional HAM disebut sebagai praktik yang langka. Ragam HAM hampir tidak pernah ditemukan dalam ketentuan pasal-pasal. Selain itu, konstruksi HAM dalam penjelasan resmi atas setiap peraturan amat jarang ditemukan .

Pengucilan HAM

Riset ini juga menemukan empat indikasi lain yang semakin membuat komitmen perlindungan HAM dari pemerintahan Prabowo-Gibran patut dipertanyakan.

Pertama, pengakuan hak-hak masyarakat adat yang setengah hati. Dalam hal ini, pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak yang dinikmati oleh masyarakat adat.

Hal ini terlihat dalam 80 undang-undang terkait penetapan provinsi, kabupaten, dan kota. Seluruh peraturan ini merujuk Pasal 18B ayat (2) Konstitusi sebagai dasar hukum pembentukannya. Pasal ini memang mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat.

Namun, pasal tersebut terletak dalam Bab Pemerintah Daerah di dalam Konstitusi. Ini mengindikasikan bahwa semangat dari pengakuan lebih mengakar pada penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah.

Pengakuan yang berbasis kepemilikan hak, padahal, dapat didasarkan pada Pasal 28I ayat (2) Konstitusi, yang secara khusus terletak dalam Bab Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, perujukan Pasal 18B ayat (2) Konstitusi tanpa diikuti dengan Pasal 28I ayat (2) menunjukkan pengakuan hak-hak masyarakat yang setengah hati dan tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak.

Kedua, terdapat klise pada frasa “Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Tumpah Darah Indonesia dan Memajukan Kesejahteraan Umum” dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini dapat dijumpai, misalnya, dalam penjelasan resmi pada 70 undang-undang penetapan kabupaten dan 9 undang-undang penetapan kota.

Ketika diteliti, frasa yang sama juga dapat dijumpai dalam UU Ibu Kota Negara. Sayangnya, riset lain dari PUSHAM UII menemukan bahwa UU Ibu Kota Negara (IKN), yang memuat frasa tersebut di dalam penjelasan resminya, justru memungkinkan pelanggaran HAM dalam implementasi pembangunan Nusantara. Praktik ini mengindikasikan bahwa dalam praktiknya, frasa tersebut belum dijiwai oleh semangat perlindungan yang substantif.

Ketiga, ketidakjelasan pemaknaan tentang agenda pembangunan berkelanjutan. Frasa “pembangunan…dilakukan secara berkelanjutan” ditemukan di bagian pertimbangan dalam 79 dari 87 undang-undang. Sayangnya, istilah pembangunan berkelanjutan seringkali disalahartikan untuk kepentingan sesaat aparat pemerintah dan mengakomodasi kebijakan yang eksploitatif.

Proyek-proyek besar seperti pembangunan Nusantara dan jalan tol Trans-Jawa, misalnya, telah mengganggu HAM dan keberlanjutan lingkungan hidup. Padahal, kedua proyek ini mengusung konsep “berkelanjutan” di dalam dasar-dasar hukumnya.

Keempat adalah pengucilan bidang HAM. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memerintahkan Kementerian HAM untuk bersinergi hanya dengan Kementerian Hukum dan Kementerian Imigrasi-Pemasyarakatan. Tidak ada perintah serupa bagi kementerian di bidang-bidang lain seperti investasi dan hilirisasi, keuangan, perdagangan, kehutanan, dan pariwisata untuk bersinergi dengan bidang HAM. Padahal, HAM ada di setiap bidang dari seluruh urusan pemerintahan.

Tantangan ke depan

Temuan riset tersebut mengindikasikan bahwa perlindungan HAM tampaknya tidak akan terlaksana secara optimal dalam lima tahun ke depan. Sebab, bagaimana bisa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kemampuan melindungi HAM jika HAM sendiri terlihat tidak menjadi prioritas dalam peraturan perundang-undangannya?

Alih-alih memberikan perhatian secara kuat dan memastikan ruang yang dominan untuk HAM, pemerintahan Prabowo-Gibran justru mengeksklusi HAM dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama. Padahal, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memastikan perlindungan HAM.

Di negara-negara yang menganut prinsip negara hukum, seperti Indonesia, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu realitas di masa depan. Umumnya, keutamaan tentang realitas yang dikehendaki dituangkan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan suatu peraturan.

Kemudian, dengan didukung dasar-dasar hukum yang ada, jalan dan rambu-rambu untuk mencapai realitas itu dirumuskan dalam bentuk ketentuan pasal-pasal. Ketentuan ini menjadi penuntun yang mengikat mereka yang menjalankan pemerintahan, bahkan termasuk setiap orang dalam yurisdiksi negara.

Dengan menempatkan perlindungan HAM yang optimal sebagai realitas di masa depan, keutamaan tentang HAM seharusnya dituangkan, dirujuk, diekspresikan, dan dielaborasi dalam setiap elemen peraturan.

Keberadaan keutamaan tentang HAM ini menegaskan orientasi HAM dari peraturan perundang-undangan. Peraturan yang memiliki orientasi HAM kuat memungkinkan aparat negara, termasuk pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, untuk melindungi HAM secara optimal.

Sebaliknya, orientasi HAM yang sangat lemah dalam peraturan, sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, justru membuka ruang gangguan dan intervensi negara terhadap penikmatan HAM—membuat warga menyangsikan performa HAM dari suatu rezim pemerintahan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Februari 2025

Said Hadi
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum bisnis dan HAM, serta metodologi hukum.

Categories
Ekonomi Islam Sosial Budaya

Daftar Gelap Produk Israel dan Persaingan Bisnis

Hingga saat ini, himbauan dan gerakan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel terus bergulir. Gerakan ini tidak hanya berakar pada solidaritas kemanusiaan, tetapi juga membawa dimensi ekonomi yang luas. Boikot produk terkait Israel dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian, terutama jika dilakukan secara konsisten dan berjangka panjang. Dalam jangka pendek, dampaknya mungkin terbatas dan tidak langsung memengaruhi perekonomian secara makro. Namun, jika aksi boikot berlangsung selama satu kuartal atau lebih, efek ekonomi yang lebih besar akan mulai dirasakan.

Sayangnya, hingga saat ini, aturan yang jelas dan terstruktur mengenai boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel belum muncul. Dalam situasi ini, peran pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah perlu memberikan arahan tegas terkait produk apa saja yang masuk dalam daftar boikot, alasan di balik pemboikotan, dan bagaimana mekanisme pemboikotannya dijalankan. Boikot adalah tindakan sukarela, bukan paksaan. Walaupun ada himbauan untuk memboikot, masyarakat tetap memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan berpartisipasi atau tidak. Namun, ketidakjelasan aturan dapat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan, terutama di sektor bisnis.

Aksi boikot yang tidak terkoordinasi dengan baik dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Ada kemungkinan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini untuk menyerang pesaingnya. Misalnya, mereka dapat memasukkan produk kompetitor ke dalam daftar produk yang diboikot dengan alasan yang tidak berdasar. Situasi semacam ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga mencederai prinsip persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, kehadiran negara atau pemerintah untuk mengawasi dan mengatur aksi boikot menjadi sangat penting.

Aksi Boikot Seringkali Tidak Tepat Sasaran

Meski demikian, langkah boikot ini kemungkinan besar tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Israel. Bahkan jika boikot berlangsung secara meluas, kecil kemungkinannya untuk membuat ekonomi Israel runtuh. Sebaliknya, dampak negatifnya justru lebih terasa di dalam negeri, khususnya bagi perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang terpengaruh oleh boikot mungkin akan mengalami penurunan pendapatan, yang pada akhirnya dapat memaksa mereka untuk mengurangi jumlah karyawan atau bahkan melakukan PHK massal. Ini menjadi alasan utama mengapa pemerintah perlu hadir untuk memberikan arahan yang jelas dan mencegah efek domino yang merugikan.

Aksi boikot ini juga sering kali tidak tepat sasaran. Sebagian besar produk yang diboikot sebenarnya bukan langsung diproduksi oleh Israel, melainkan oleh perusahaan multinasional yang memiliki jaringan global. Di Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi tenaga kerja yang besar, dampak boikot ini justru dapat dirasakan secara langsung oleh sektor tenaga kerja. Banyak perusahaan lokal yang terkena dampak secara tidak langsung, sehingga masyarakat perlu lebih jeli dan bijaksana dalam memilih produk untuk diboikot. Sasaran utama dari aksi boikot harus dipastikan tercapai tanpa menimbulkan kerugian yang tidak perlu pada masyarakat lokal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa boikot produk pro-Israel telah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu efeknya adalah perubahan pola konsumsi masyarakat, di mana banyak konsumen yang beralih dari produk impor ke produk lokal. Meskipun ini terlihat sebagai peluang untuk mendukung produk dalam negeri, kenyataannya dampak lain yang muncul adalah penurunan investasi dari luar negeri dan berkurangnya produktivitas di sektor-sektor tertentu. Selain itu, aksi boikot ini juga memengaruhi bisnis lokal yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa daftar produk yang diboikot sering kali tidak diverifikasi dengan baik, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang tidak seharusnya terlibat.

Dampak Boikot Terhadap Ekonomi Nasional

Dampak langsung dari aksi boikot juga terasa di sektor ritel dan restoran. Penurunan penjualan hingga 40% dilaporkan oleh beberapa pelaku usaha di sektor ini. Hal ini berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja massal, yang tentu saja berdampak buruk bagi tenaga kerja lokal. Meskipun pemerintah Indonesia tidak secara resmi mengeluarkan kebijakan boikot terhadap produk Israel, gerakan boikot yang dilakukan oleh masyarakat tetap memengaruhi banyak perusahaan lokal yang sebenarnya tidak terafiliasi dengan Israel.

Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatur aksi boikot menjadi sangat penting untuk mencegah efek domino yang merugikan. Tanpa regulasi yang jelas, daftar produk yang diduga terafiliasi dengan Israel hanya akan menjadi “daftar gelap” yang membuka peluang untuk penyalahgunaan. Pemerintah harus menyediakan pedoman yang objektif dan berbasis data, sehingga aksi boikot dapat dilakukan secara tepat sasaran. Selain itu, masyarakat juga perlu mengambil langkah rasional dalam memutuskan apakah suatu produk layak diboikot atau tidak.

Aksi boikot tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga etika. Dalam perspektif bisnis, pemboikotan yang tidak terarah dapat menciptakan ketegangan dalam persaingan usaha. Di sisi lain, dari sudut pandang sosial, aksi boikot mencerminkan kepedulian terhadap isu global, seperti pelanggaran hak asasi manusia. Namun, kepedulian ini harus disertai dengan pemahaman yang komprehensif agar tidak menciptakan masalah baru di tingkat lokal.

Penutup

Kesimpulannya, aksi boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi dengan Israel harus dilaksanakan dengan hati-hati dan berdasarkan data yang akurat. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur dan mengawasi aksi ini agar tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu. Masyarakat juga perlu lebih kritis dan bijaksana dalam menyikapi himbauan boikot, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian lokal dan tenaga kerja. Dengan pendekatan yang tepat, aksi boikot dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung keadilan global tanpa merugikan kepentingan domestik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 November 2024

Yusdani
Guru Besar Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Pengurus Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM). Pengurus ICMI Kabupaten Sleman. Bidang riset pada studi Islam. 

Categories
Hukum

Presiden, DPR, dan MA Menunggu Apa Lagi

Pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung mau menunggu apa lagi untuk membenahi pengadilan kita?

Sudah banyak tulisan di pelbagai media, penelitian, dan seminar menyarankan dilakukan pembenahan total terhadap institusi pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung (MA).

Sudah puluhan, bahkan ratusan, hakim dan pegawai di semua tingkat pengadilan diberi sanksi, mulai dari yang ringan hingga berat; termasuk gelombang tangkap tangan yang dilakukan KPK.

Aktor penerima suap tidak hanya hakim, tetapi juga petugas pengadilan. Operator suap bahkan dilakukan oleh pegawai pengadilan di semua tingkat, mulai dari pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), hingga MA.

Kita masih ingat Edy Nasution, penerima suap pengurusan peninjauan kembali (PK) kasus sengketa perdata antardua korporasi besar. Juga Andri Triastianto Sutisna, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara MA, karena suap ”pengurusan” putusan hakim.

Kemudian, staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman, yang menerima suap dari pengacara Mario Carmelio Bernardo, penasihat hukum terpidana Hutomo Wijaya Ongowarsito. Puncaknya, dua sekretaris jenderal MA hingga kini masih meringkuk di lembaga pemasyarakatan.

Jauh sebelumnya, pada 2005, KPK menangkap lima staf MA, yakni Kepala Bagian Kepegawaian MA Malam Pagi Sinuhadji; Wakil Sekretaris Korpri Suhartoyo; staf Wakil Sekretaris Korpri, Sudi Ahmad; staf bagian perdata, Sriyadi; serta staf bagian kendaraan, Pono Waluyo, dalam kasus ”pengurusan” kasasi Probosutedjo.

Minggu lalu, Kejaksaan Agung menangkap mantan pejabat eselon satu MA yang diduga menjadi makelar kasus Gregorius Ronald Tannur. Ronald dibebaskan oleh majelis hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, dengan imbalan suap senilai miliaran rupiah.

Lebih mencengangkan adalah temuan uang hampir Rp 1 triliun hasil penggeledahan Kejaksaan Agung di beberapa properti milik tersangka Zarof Ricar. Uang dalam jumlah besar itu diduga hasil operasi suap-menyuap tersangka di seluruh pengadilan di Indonesia semenjak tahun 2012. Apakah pelaku bertindak sendiri? Tentu saja tidak.

Patut diduga tersangka memiliki jaringan kerja di tiap-tiap pengadilan; bisa orang dalam pengadilan (pegawai, panitera, hakim), makelar kasus lokal, pensiunan hakim, pensiunan pegawai pengadilan. Dengan kata lain, kejahatan ini bukan kejahatan individual (individual crime), melainkan kejahatan terorganisasi (organized crime) yang harus diungkap lebih jauh oleh Kejaksaan Agung.

Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.

Ragam penyimpangan

Aneka ragam tindakan menyimpang staf administrasi pengadilan dalam ”berbisnis” putusan sangat variatif, seolah tak ada bagian dari administrasi perkara yang luput dari permainan. Beberapa contoh berikut menunjukkan hal itu.

Pertama, memperlambat atau mempercepat mengunggah putusan ke direktori putusan; termasuk mempercepat atau memperlambat penyampaian salinan putusan ke terpidana, jaksa, penggugat, atau tergugat.

Kedua, menahan permohonan upaya hukum (banding atau kasasi) agar proses berlarut-larut. Ketiga, membocorkan putusan kasasi atau PK kepada terpidana yang tidak ditahan atau kepada penasihat hukum sebelum secara resmi putusan disampaikan sehingga terpidana yang berniat menghindari eksekusi punya kesempatan melarikan diri.

Keempat, menahan atau melambat-lambatkan penyerahan ekstrak vonis kepada jaksa agar terpidana punya kesempatan untuk kabur. Kelima, menahan putusan kasasi yang menguatkan atau meningkatkan vonis supaya tak buru-buru disampaikan ke pengadilan dan jaksa penuntut umum agar eksekusi tertunda, dan dalam penundaan eksekusi itu, terpidana bisa melakukan sesuatu.

Keenam, menghubungi pihak-pihak untuk merundingkan proses dan atau putusan kasasi atau PK yang diajukan.

Ketujuh, dalam perkara perdata, oknum pegawai MA menahan putusan kasasi atau PK sehingga pihak yang dikalahkan punya waktu meneruskan mengeksploitasi tambang, memetik hasil panen, menahan proses jual beli yang tinggal menunggu salinan resmi putusan.

Pembenahan

Praktik ”bisnis” putusan telah berlangsung lama, momentum perbaikan berkali-kali datang, tetapi momen tersebut berlalu begitu saja, sampai kemudian terjadi lagi suap atau gratifikasi berikutnya. Lalu, apa yang bisa dilakukan agar ada harapan?

Pertama, pemerintah, DPR, dan MA duduk bersama merevisi semua UU yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dengan fokus pada, pertama, rekrutmen hakim tingkat pertama dilakukan oleh lembaga independen Komisi Yudisial (KY) atau oleh tim seleksi yang memiliki integritas, kapasitas, dan kapabilitas.

Kedua, jadikan hakim sebagai pejabat negara (state apparatus), bukan pegawai negeri (government apparatus), agar independensi tidak terganggu oleh kewajiban-kewajiban administratif sebagai aparatur sipil negara.

Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan.

Ketiga, naikkan pendapatan hakim (take home pay). Keempat, perkuat sistem kontrol dengan menjadikan KY satu-satunya institusi yang melakukan pengawasan, setidaknya proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi sepenuhnya wewenang KY.

Kelima, staf administrasi perkara haruslah orang-orang andal, memiliki integritas dan kompetensi sesuai dengan peruntukannya sebagai pegawai pengadilan dengan mekanisme pengadaan tersendiri.

Keenam, administrasi perkara harus transparan dan akuntabel dengan basis teknologi informasi yang andal.

Ketujuh, harus ada mekanisme kontrol ketat dalam pendayagunaan teknologi informasi supaya tidak terjadi kelambanan mengunggah perkara, mengunggah putusan, tidak salah memuat nomor putusan, dan tidak terjadi perbedaan amar antara yang dimuat di laman dan salinan putusan resmi.

Langkah-langkah ini harus dilakukan segera oleh pemerintah dan DPR dengan merevisi secara luas peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Kepada pimpinan MA, bersikaplah responsif. Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan. Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 November 2024

Suparman Marzuki
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada sosiologi hukum dan hukum HAM. Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015

 

 

Categories
Pendidikan

Glorifikasi terhadap Institusi ‘Negeri’ adalah Warisan Kolonial. Perlukah Dipertahankan?

 

  • Glorifikasi terhadap institusi negeri di Indonesia adalah warisan kolonial yang terus-menerus dilanggengkan negara.
  • Ketimpangan antara perguruan tinggi negeri dan swasta menciptakan diskriminasi simbolik.
  • Masyarakat perlu menghargai kualitas serta inovasi dari berbagai ekosistem alternatif selain institusi negeri.

Di Indonesia, kita sering mendengar kalimat seperti “yang penting bisa masuk kampus negeri” atau “kerja di instansi negeri lebih terjamin”. Status ‘negeri’—baik dalam pendidikan maupun pekerjaan—kerap dianggap sebagai simbol keberhasilan, kemapanan, bahkan kehormatan sosial.

Glorifikasi terhadap institusi negeri dapat dilacak sejak masa kolonial. Pada era Hindia Belanda, hanya sebagian kecil penduduk pribumi yang memiliki akses ke pendidikan formal seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA. Kala itu, akses ke institusi ini sangat terbatas dan hanya bisa ditempuh oleh anak-anak priayi (lapisan masyarakat dengan kedudukan yang dianggap terhormat) atau mereka yang memiliki koneksi dengan kekuasaan kolonial.

Sayangnya, hingga saat ini, negara masih melanggengkan glorifikasi tersebut. Institusi negeri, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), mendapat alokasi anggaran yang lebih besar, akses ke program unggulan, dan dukungan politis yang lebih kuat. Sementara perguruan tinggi swasta (PTS) harus berjuang sendiri, dengan sumber daya terbatas dan dukungan yang minim.

Akibatnya, tidak sedikit lowongan pekerjaan yang secara eksplisit maupun implisit memprioritaskan lulusan perguruan tinggi negeri, bahkan ketika kualifikasi lulusan swasta sama atau lebih unggul dalam pengalaman dan keterampilan.

Di beberapa sektor, lulusan dari PTS masih harus ‘membuktikan diri dua kali lipat’ melalui syarat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang lebih tinggi. Ini adalah bentuk diskriminasi simbolik yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Mengapa status negeri diglorifikasi

Menurut perspektif Louis Althusser, filsuf asal Prancis, sekolah-sekolah seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA merupakan bagian dari aparatus ideologis negara, atau alat kekuasaan yang tidak bekerja dengan paksaan, tetapi melalui penanaman nilai-nilai.

Melalui sistem pendidikan, kolonialisme menanamkan gagasan bahwa menjadi bagian dari struktur negeri berarti menjadi lebih “beradab”, lebih dekat pada kekuasaan, dan lebih terhormat secara sosial.

Sementara itu, pekerjaan sebagai pegawai pemerintah kolonial—dikenal sebagai ambtenaar, dan di antara pribumi direpresentasikan lewat posisi pangreh praja—diposisikan sebagai jalur mobilitas sosial yang terhormat. Menjadi bagian dari struktur pemerintahan Belanda adalah bukti kedekatan dengan kekuasaan dan modernitas, sekaligus menjanjikan stabilitas ekonomi. Dalam kerangka pemikiran ilmuwan sosiologi Pierre Bourdieu, status sebagai bagian dari institusi negeri menciptakan kapital simbolik: bentuk pengakuan sosial yang dilekatkan bukan karena capaian substansial, melainkan karena asosiasinya dengan negara dan kekuasaan.

Menurut Frantz Fanon, psikiatris sekaligus filsuf politik asal Prancis,, masyarakat pascakolonial sering kali menginternalisasi nilai-nilai kolonial yang dulu menjadi alat penjajahan, dan menjadikannya tolok ukur kemajuan. Glorifikasi terhadap institusi negeri adalah contoh nyata dari internalisasi ini.

Jebakan dominasi pasar dan negara

Dari kacamata ekonomi-politik Gramsci, kondisi ini mencerminkan hegemoni negara dalam sistem pendidikan.

Negara memosisikan institusi negeri sebagai standar ideal, menciptakan ketimpangan akses, pendanaan, dan pengakuan antara lembaga negeri dan non-negeri. Glorifikasi status negeri dijadikan alat untuk mempertahankan dominasi negara dalam struktur sosial.

Banyak PTN juga semakin terjebak dalam logika pasar. Skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang awalnya bertujuan memberikan otonomi akademis, kini mendorong kampus untuk mencari pembiayaan sendiri.

Akibatnya, banyak PTNBH memperbesar jumlah mahasiswa, membuka program-program populer tanpa pertimbangan strategis jangka panjang, dan menaikkan biaya pendidikan. Mereka menjelma menjadi semacam kapal keruk, mengangkut sebanyak mungkin sumber daya dari masyarakat demi menjaga kelangsungan operasional, tetapi tetap dikultuskan sebagai simbol kemuliaan negara.

Dalam konteks ekonomi-politik, ini menunjukkan kontradiksi antara neoliberalisme dan patronase negara. Negara menarik diri dari tanggung jawab pembiayaan, tetapi tetap mempertahankan pengaruh simbolik dan hierarki kelembagaan. Hasilnya adalah glorifikasi kosong yang menjebak masyarakat dalam ilusi kemajuan.

Bukan norma universal

Menariknya, glorifikasi terhadap institusi negeri seperti yang terjadi di Indonesia tidak selalu berlaku di negara lain. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, universitas yang paling bergengsi justru didominasi oleh institusi swasta seperti Harvard, Stanford, dan Yale.

Status sosial lulusan juga lebih sering dikaitkan dengan reputasi akademis, kontribusi ilmiah, dan jejaring alumni, bukan semata karena afiliasi dengan negara. Bahkan universitas negeri seperti University of California atau University of Michigan bersaing secara terbuka dengan swasta, dan harus membuktikan keunggulannya lewat riset dan inovasi.

Situasi ini tidak otomatis menyingkirkan peran publik, tetapi justru mendorong institusi membangun legitimasi berbasis kualitas, bukan sekadar simbol negara.

Lepaskan ukuran lalu

Masyarakat perlu berpikir ulang tentang apa arti keberhasilan dan kemajuan, sekaligus menyadari bahwa banyak cara pandang kita terhadap status ‘negeri’ adalah hasil warisan simbolik kolonial yang layak dikaji ulang.

Institusi swasta, komunitas independen, hingga kelompok masyarakat sipil telah banyak menunjukkan kemampuan berinovasi, beradaptasi, dan menghadirkan solusi di luar struktur negara.

Misalnya, munculnya gerakan pendidikan akar rumput di berbagai daerah, inisiatif teknologi oleh anak-anak muda di start-up yang tidak pernah ‘berlabel negeri,’ atau organisasi keagamaan yang justru lebih cepat tanggap dalam menghadapi kebutuhan publik dibanding institusi formal.

Di luar glorifikasi simbolik, ada ekosistem keberhasilan lain yang tidak kalah bermakna dan layak diapresiasi.

Kita juga perlu berhati-hati terhadap jebakan meritokrasi semu yang hanya mengakui “keberhasilan” berdasarkan asal lembaga.

Dalam beberapa kasus, akses ke institusi negeri lebih ditentukan oleh latar belakang sosial dan ekonomi, sehingga memelihara glorifikasi semacam ini justru memperkuat ketidakadilan struktural.

Tanpa kesadaran akan hal ini, masyarakat akan terus melanggengkan sistem hierarki sosial yang tidak adil, hanya demi status ‘negeri’.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 25 April 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.