Categories
Pendidikan

Pimnas Menjaring Talenta Muda

Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) Ke-37 tahun ini dihelat di Kampus Universitas Airlangga (Unair) pada 14-19 Oktober 2024. Pimnas merupakan tahap terakhir kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

 Pimnas diselenggarakan Balai Pengembangan Talenta Indonesia (BPTI), Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendik- budristek). Tahun ini Pimnas mengambil tajuk “Berkompetisi Mengasah Kreativitas Mahasiswa Indonesia Bertalenta Menjadi Pribadi yang Solutif, Inovatif, dan Produktif. 

Pimnas bertujuan, antara lain, menjadi media dan sarana komunikasi mahasiswa seluruh Indonesia; membuka peluang bagi pengembangan potensi mahasiswa dalam kegiatan ilmiah; mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; serta meningkatkan posisi tawar mahasiswa di dunia kerja atau masyarakat. Pimnas juga menjadi sarana penelusuran talenta mahasiswa.

Ada sembilan bidang PKM yang dikompetisikan. Yaitu, PKM riset sosial humaniora (PKM-RSH), riset eksakta (PKM-RE), pengabdian kepada masyarakat (PKM-PM), penerapan teknologi (PKM- PI), PKM kewirausahaan (PKM-K), karsa cipta (PKM- KC), karya inovatif (PKM-KI), video gagasan konstruktif (PKM-VGK), dan gagasan futuristik tertulis (PKM-GFT). 

PKM-RSH meliputi riset yang mengungkap hubungan sebab akibat, penelitian deskriptif tentang perilaku sosial, ekonomi, pendidikan, seni, dan budaya masyarakat. PKM-RE meliputi riset hubungan sebab-akibat, aksi reaksi, rancang bangun, eksplorasi, materi alternatif, desain produk atraktif, blueprint dan sejenisnya, atau identifikasi senyawa kimia aktif.

PKM-PM bertujuan menumbuhkan empati mahasiswa kepada persoalan yang dihadapi masyarakat melalui penerapan iptek yang tidak berorientasi pada profit. PKM-PI bertujuan membuka wa- wasan iptek mahasiswa terhadap persoalan dunia usaha atau masyarakat yang berorientasi pada profit.

Kemudian, PKM-K bertujuan menumbuhkan pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam menghasilkan komoditas unik serta merintis kewirausahaan yang berorientasi pada profit. PKM- KC bertujuan membentuk kemampuan mahasiswa mengkreasikan sesuatu yang baru dan fungsional atas dasar karsa dan nalar. Berikutnya, PKM-KI bertujuan menumbuhkan kepekaan mahasiswa terhadap problematika faktual di masyarakat atau dunia usaha. Sekaligus mengasah kreativitas mahasiswa untuk menghasilkan karya fungsional inovatif yang solutif berbasis iptek.

PKM-VGK bertujuan memotivasi mahasiswa dalam mengelola imajinasi, persepsi dan nalar, memikirkan tata kelola yang konstruktif sebagai upaya mencapai tujuan SDGs di Indonesia. PKM-GFT bertujuan meningkatkan daya imajinasi mahasiswa dalam merespons tantangan zaman. Umumnya berupa konsep perubahan atau pengembangan berbagai aspek berbangsa, bersifat futuristis, jangka panjang, tetapi berpotensi untuk direalisasikan

Pimnas Ke-37 Unair ini terbagi atas 25 kelas dengan sebaran PKM-RSH (4 kelas), PKM-PSH (6), PKM-PM (4), PKM-PI (1), PKM-K (4), PKM- KC (3), PKM-KI (1), PKM-VGK (1), dan PKM-GFT (1). Jumlah proposal PKM 2024 dari PT dikti mencapai 37.891 proposal. Yang memperoleh pendanaan hanya 3.520 proposal. Sementara dari PT vokasi ada 3.552 proposal dan yang didanai hanya 401 proposal. 

Setelah melalui seleksi ketat dari proposal yang didanai, akhirnya hanya 525 tim yang lolos ke Pimnas Ke-37. Mereka berasal dari 118 PT. Mahasiswa yang terlibat tercatat 2.411 orang dan 525 dosen pendamping. 

Pimnas bertujuan mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Juga sarana penelusuran talenta mahasiswa.

Penghargaan setara emas diberikan setiap kelas kepada satu kelompok terbaik yang memperoleh nilai total tertinggi. Perak diberikan kepada satu kelompok terbaik kedua dengan nilai total tertinggi kedua. Perunggu diberikan kepada satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

Di samping penghargaan setara emas, perak, dan perunggu, di setiap kelas diberikan penghargaan terfavorit kepada kelompok selain penerima emas, perak, dan perunggu dengan kriteria tertentu. Penghargaan lain berupa mahasiswa bertalenta yang diberikan kepada individu kreatif yang memiliki bakat atau keahlian khusus.

Selain penilaian dalam kelas, ada penilaian poster. Poster adalah alat atau media transfer informasi berupa teks dan gambar. Media itu dianggap efisien dan efektif dalam menyampaikan informasi. Penghargaan setara emas untuk setiap kelas poster diberikan kepada satu kelompok terbaik dengan nilai tertinggi, perak untuk satu kelompok terbaik kedua dengan nilai tertinggi kedua,. dan perunggu untuk satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

PKM-VGK bertujuan memotivasi mahasiswa dalam mengelola imajinasi, persepsi dan nalar, memikirkan tata kelola yang konstruktif sebagai upaya mencapai tujuan SDGs di Indonesia. PKM-GFT bertujuan meningkatkan daya imajinasi mahasiswa dalam merespons tantangan zaman. Umumnya berupa konsep perubahan atau pengembangan berbagai aspek berbangsa, bersifat futuristis, jangka panjang, tetapi berpotensi untuk direalisasikan.

Di samping penghargaan setara emas, perak, dan perunggu, di setiap kelas diberikan penghargaan terfavorit kepada kelompok selain penerima emas, perak, dan perunggu dengan kriteria tertentu. Penghargaan lain berupa mahasiswa bertalenta yang diberikan kepada individu kreatif yang memiliki bakat atau keahlian khusus.

Selain penilaian dalam kelas, ada penilaian poster. Poster adalah alat atau media transfer informasi berupa teks dan gambar. Media itu dianggap efisien dan efektif dalam menyampaikan informasi. Penghargaan setara emas untuk setiap kelas poster diberikan kepada satu kelompok terbaik dengan nilai tertinggi, perak untuk satu kelompok terbaik kedua dengan nilai tertinggi kedua, dan perunggu untuk satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

Jumlah juri yang terlibat sebanyak 77 juri. Mereka adalah pakar yang terdiri atas dosen, peneliti, dan praktisi yang memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian dan evaluasi secara adil, cerdas, transparan, patuh pada etika penjurian, serta bertanggung jawab atas penilaiannya danpaham PKM. Juara umum perguruan tinggi ditetapkan berdasar angka tertinggi nilai Pimnas.

Perolehan medali setara emas, perak, dan perunggu untuk presentasi diberi bobot 80 persen, sedangkan poster 20 persen. Setiap perolehan emas diberi skor 3, perak 2, dan perunggu 1. Juara umum berhak atas piala bergilir Adhikarta Kertawidya dari Kemendikbudristek. Pimnas Ke-37 diharapkan bisa menjaring talenta muda dengan pribadi solutif, inovatif, dan produktif. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 14 Oktober 2024

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics

 

Categories
Politik

Setelah ‘Presidential Threshold’

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024 patut masuk dalam deretan Landmark Decision Pengadilan Indonesia. Setelah setidaknya melalui 33 kali proses judicial review, ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dikabulkan dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Selama ini, MK selalu mentok dengan klausa bahwa presidential threshold adalah konstitusional dan merupakan open legal policy pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.

Satu pertimbangan yang patut kita apresiasi bersama adalah MK menyatakan bahwa presidential threshold sekalipun adalah open legal policy, namun harus dikesampingkan demi melindungi kedaulatan rakyat dan hak pilih. Tentu saja, perlindungan atas hak pilih warga negara, sebagai instrumen penting hak asasi manusia, harus diutamakan dari pada aspek open legal policy. Artinya, memilih dan mengusulkan calon presiden adalah hak warga negara yang harus dilindungi dan diutamakan, jika hak itu terhalang oleh ketentuan presidential threshold 20% suara parlemen, maka sejatinya memang ketentuan presidential threshold itu yang harus dibatalkan. Konstitusi memang tidak menentukan dan mengatur mengenai presidential threshold, namun pengaturan 20% yang ada di UU Pemilu, jelas mengenyampingkan hak pilih dan melanggar prinsip demokrasi itu sendiri.

Tantangan ke Depan

Pasca Putusan MK Nomor 62/PUU- XXII/2024, muncul berbagai macam isu, terutama isu ipembangkangan konstitusionalî DPR dan pemerintah sebagai lembaga pembentuk undang-undang. Ada skenario yang beredar bahwa DPR dan Pemerintah akan mengenyampingkan Putusan MK dalam UU Pemilu terbaru, artinya akan tetap mengakomodir eksistensi presidential threshold. Tentu kita berharap, wacana ini tidak akan pernah ditempuh oleh DPR dan pemerintah, karena selain akan memunculkan gejolak penolakan masyarakat sipil dimana-mana, wacana ini juga akan semakin menjauhkan DPR sebagai wakil rakyat dengan rakyatnya sendiri karena perbedaan kehendak. Selain itu, jalan ini hampir dipastikan akan sia-sia karena UU baru yang disahkan nanti akan dibawa kembali MK untuk dibatalkan. Dengan logika yang sama, ketentuan presidential threshold juga akan dibatalkan kembali oleh MK.

Di luar itu, ada dua tantangan lain di depan yang patut menjadi pemikiran bersama pasca Putusan MK ini. Pertama, jika MK membatalkan ketentuan presidential threshold, yang artinya semua partai politik dapat mengusung dan mengusulkan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pemilu, maka partai politik mana yang berhak untuk mencalonkan pa- sangan Presiden dan Wakil Presiden tersebut? Apakah semua partai peserta pemilu? Artinya partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Atau kah hanya partai politik yang lolos parlement threshold saja yang dapat mengusung calon? Jika pilihan kedua yang diambil, pertanyaan berikutnya adalah kapan periode parlement threshold dihitung? Karena tidak mungkin pada periode yang sama, mengingat pemilu presiden dan DPR diselenggarakan secara bersamaan. Jika menggunakan standar parlement threshold pemilu sebelumnya, apakah mencerminkan keadilan bagi partai baru pasca putusan MK nantinya?

Kedua, dihapuskannya presidential threshold atas dasar pertimbangan perlindungan demokrasi, hak pilih, dan kedaulatan rakyat, maka memantik pula wacana agar juga menghapuskan parlement threshold. Artinya, semua partai politik yang dinyatakan oleh KPU lolos verifikasi dan menjadi peserta pemilu, sepanjang calon anggota DPR-nya mendapatkan suara terbanyak, maka dapat memiliki wakil di parlemen. Selain itu, skema ini akan relevan dengan penghapusan presidential threshold yang sebelumnya sudah dilakukan. Secara teknis, parlement threshold juga tidak dibutuhkan karena persyaratan menjadi peserta pemilu, sebagaimana akan diverifikasi oleh KPU sangatlah berat, jadi cukup itu saja yang dibenahi dan menjadi pintu seleksi partai politik untuk memiliki wakil di parlemen. Sedang secara filosofis, adalah tidak fair jika ada seorang calon dari partai politik yang mendapatkan suara terbanyak di wilayah tertentu, namun gagal menjadi anggota DPR dan suaranya hangus karena partai politiknya tidak lolos parlementer threshold. Situasi ini unfair bukan saja bagi calon dan partai politik, namun juga bagi rakyat yang sudah memilihnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 10 Januari 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. 

 

Categories
Politik

In Indonesia, Albanese has a Chance to Reset a Relationship Held Back by Anxiety and Misperceptions

Prime Minister Anthony Albanese has wasted little time taking his first overseas trip since Labor won a historic victory in Australia’s federal election. He’ll head to Indonesia today to meet the country’s new president, Prabowo Subianto.

With both nations entering new political chapters, the visit carries symbolic weight. But it will also have practical importance.

Despite the two nations’ proximity and strengths, the relationship has often been held back by outdated perceptions and strategic hesitation. This is a timely opportunity to reset the relationship.

Prabowo’s emerging foreign policy

Prabowo succeeded outgoing President Joko “Jokowi” Widodo in October after a decade of his infrastructure-driven and globally engaged leadership.

Prabowo, a former army general and defence minister, had projected a populist and nationalist image during his 2024 election campaign. He frequently emphasised Indonesia’s food self-sufficiency, military strength and national sovereignty.

Since taking office, however, he has moderated his tone. While seen by some in the West as assertive, he has signalled a willingness to strengthen bilateral defence ties with Australia. He also has an interest in modernising Indonesia’s military and engaging more transparently with partners.

Still, questions remain about how he will shape Indonesia’s foreign policy. This includes whether he will maintain Jokowi’s emphasis on multilateralism and economic diplomacy. Both are key to the tone and outcomes of Albanese’s visit.

Prabowo’s leadership style is nuanced. Despite his polarising image, Indonesia’s foreign policy is still shaped by pragmatism and non-alignment. As such, Prabowo will likely focus on balancing relations with China, the United States and Russia, while protecting Indonesia’s sovereignty.

Indonesia’s decision to join BRICS, the economic group that includes both China and Russia, for example, should be seen as a diplomatic hedge, not a new geopolitical alignment.

Other recent decisions, such as providing aid to Fiji, suggest an increasingly outward-facing regional posture.

Albanese should offer Prabowo credible alternatives to Russian and Chinese engagement through trade, technology and education exchanges, rather than reacting to Jakarta’s moves with suspicion.

Opportunities for cooperation

In his election campaign, Albanese reaffirmed his government’s commitment to working closely with Southeast Asia. He also promised a foreign policy grounded in diplomacy, climate cooperation and economic diversification.

This provides a strong incentive for both leaders to deepen ties. For Australia, deepening ties with Indonesia supports its Indo-Pacific strategy. The goal: promoting a stable and inclusive regional order, particularly amid concerns over growing strategic competition between the US and China.

For Indonesia, Australia offers investment, education partnerships, and critical expertise in clean energy and innovation.

A free-trade agreement signed in 2019 provides a platform for deeper integration and less competition in certain industries.

For example, there are huge opportunities to collaborate in clean energy, particularly after the neighbours signed a climate partnership last year. The agreement will secure supplies of lithium for Indonesia’s EV battery production, while Australia will gain more export markets for its critical minerals.

People-to-people ties are also vital, while education remains a longstanding pillar of the bilateral relationship.

Both countries face skills shortages in key sectors. Indonesia needs skilled workers in health care, clean technology and digital literacy. Australia has shortages in critical infrastructure, aged care and engineering.

There are good opportunities here for student exchanges, joint employment training programs and other vocational collaborations.

New Australian university campuses in Indonesia are a positive step, but they remain commercially focused and concentrated in elite, urban areas. With over 4,000 universities across the archipelago, these partnerships could go much further.

Where tensions might arise

The relationship is not without friction. Australia’s involvement in the AUKUS agreement, and its close alignment with the United States and United Kingdom, has raised concerns for Indonesia, which has long championed non-alignment.

Jakarta has voiced unease over the perceived risks of nuclear submarine proliferation in the region.

Albanese’s visit is a key opportunity to clarify that AUKUS involves nuclear-powered — not nuclear-armed — submarines. He should also reinforce Australia’s commitment to transparency over the deal. This is essential to avoiding misunderstandings and building trust.

A more recent flashpoint is speculation around a possible Russian military presence in Indonesia — a claim the Indonesian government has firmly denied.

Indonesia’s response exemplifies its longstanding commitment to strategic autonomy. However, the whole ordeal reveals the complexity of Jakarta’s foreign relations, which often involve balancing ties with competing powers.

For Australia, acknowledging Indonesia’s independent foreign policy — rather than interpreting it through a great-power rivalry lens — is critical to sustaining mutual trust.

A chance to re-anchor the relationship

This moment offers both governments the chance to move beyond symbolic gestures toward a deeper, more inclusive and people-centred partnership.

Amid global fragmentation, trust is not just desirable — it’s essential. And while differences remain, they are not insurmountable when guided by mutual respect, strategic patience and a commitment to genuine cooperation.

For Australia, the challenge is to move past strategic anxiety and invest in a resilient, multidimensional relationship with Indonesia. This visit could be the first step in doing just that.

 

The article was published in  The Conversation Indonesia on May 14, 2025.

Hangga Fathana
A lecturer in the Department of International Relations at the Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on Australia studies, global political economy, trade politics, and the dynamics of capitalist development.

Categories
Sosial Budaya

‘Superheroes Never Die’, tapi Peminatnya Menurun di Kalangan Kaum Muda. Mengapa?

 

  • Popularitas film superhero menurun akibat kejenuhan pasar dan narasi yang berulang-ulang
  • Generasi muda semakin kritis terhadap nilai dan representasi dalam film sehingga mudah resisten.
  • Mendengarkan umpan balik penonton penting untuk menjaga keberhasilan film.

Dulu, menonton film superhero itu ibarat “ritual” suci yang dinanti-nanti. Banyak orang, terutama kaum muda, rela antre, berburu tiket jauh-jauh hari, bahkan sampai puasa media sosial demi menghindari spoiler. Tapi sekarang, era kejayaan pahlawan super itu sepertinya mulai redup.

Genre film yang satu dekade terakhir merajai industri perfilman dunia dengan jutaan penonton dan pendapatan miliaran dolar ini belakangan menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Beberapa film terbaru gagal memenuhi ekspektasi box office dan menuai banyak kritik. Bahkan, para kritikus dan komunitas pecinta film terus memberi rating rendah untuk film-film bertema pahlawan super yang baru dirilis. 

Mengapa peminat film superhero menurun?

Sejak kesuksesan besar Avengers: Endgame pada 2019, studio-studio besar seperti Marvel dan DC terus memproduksi film dan serial superhero dalam jumlah besar. Hingga awal 2025, setidaknya sudah ada 35 judul film superhero dari Marvel Cinematic Universe dan 15 judul dari DC Extended Universe.

Tingginya frekuensi perilisan ini membuat banyak penonton merasa lelah dan bosan karena formula cerita yang terkesan diulang-ulang, dengan plot dan karakter yang tidak jauh berbeda.

Situasi ini juga tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran kritis di kalangan kaum muda yang dekat dengan budaya boikot dan cancel culture.

Generasi muda saat ini tidak sekadar menonton, tapi mereka juga memperhatikan nilai-nilai yang diusung sebuah karya. Ini termasuk siapa yang terlibat di balik layar dan bagaimana representasi kelompok sosial tertentu ditampilkan.

Bila dianggap tidak sejalan dengan nilai keadilan sosial, inklusivitas, dan perdamaian, mereka cenderung menolak atau bahkan mengajak orang lain memboikot. Salah satu contohnya adalah seruan boikot terhadap Captain America: Brave New World  (2025) yang dianggap mendukung normalisasi agresi Israel di tengah konflik Israel-Palestina.

Tak hanya aksi, tapi juga narasi

Banyak kaum muda kini menganggap film-film superhero sebagai produk kapitalisme yang mengulang narasi “heroik” dari sudut pandang dominan laki-laki kulit putih dan menyuarakan pesan-pesan usang yang tak lagi relevan. Alih-alih menginspirasi, karakter superhero kini tak ubahnya simbol korporasi yang jauh dari semangat perlawanan atau keadilan sosial.

Penonton film superhero saat ini tidak lagi hanya puas dengan adegan laga dan efek visual khusus yang memukau, tetapi juga menginginkan narasi yang mendalam dan karakter yang menarik. Ketika film superhero gagal memenuhi ekspektasi ini, kekecewaan penonton pun meningkat.

Konsistensi, bukan agenda politik

Faktor lain yang juga semakin disorot dalam penurunan minat film superhero adalah penyisipan agenda politik dan sosial secara berlebihan sehingga film kehilangan daya tarik universal sebagai tontonan keluarga.

Film Lightyear (2022) misalnya, yang ditujukan untuk semua segmentasi usia, dilarang tayang di 14 negara, termasuk Indonesia, karena menampilkan adegan ciuman sesama jenis. Sejumlah penonton mengkritik bagaimana film superhero saat ini lebih berfokus pada agenda representasi LGBTQ+, yang sering kali dianggap sebagai keputusan politis daripada kebutuhan naratif dalam cerita.

Ini misalnya terjadi pada Eternals (2021), yang menghadirkan superhero LGBTIQ+ pertama dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Meskipun film ini menawarkan efek visual yang spektakuler, banyak penonton merasa bahwa pesan sosial yang disisipkan terlalu dipaksakan. Pesan tersebut sulit terhubung dengan cerita utamanya.

Namun, pujian terhadap film ini juga tak kalah banyak. Sang sutradara, Chloe Zao, memperoleh apresiasi atas keberhasilannya menggaungkan isu inklusivitas atau keberagaman, terutama representasi perempuan disabilitas sebagai pahlawan super.

Kontroversi lain muncul dari praktik black-washing atau white-washing. Istilah ini merujuk pada upaya mengubah karakter yang sudah ada dengan ras tertentu demi alasan representasi. Beberapa film superhero mengganti tokoh kulit putih dengan aktor berkulit hitam, atau sebaliknya, tanpa alasan yang kuat dalam cerita. Ini memicu reaksi negatif dari sebagian penonton yang merasa bahwa perubahan ini dilakukan semata-mata demi alasan politik, bukan demi kualitas cerita.

Contohnya adalah reaksi publik terhadap The Little Mermaid versi live-action. Meskipun bukan tentang superhero, film ini menunjukkan bagaimana perubahan besar pada karakter ikonik bisa memicu reaksi keras dari penonton.

Mendengarkan umpan balik

Mendengarkan masukan dari penonton adalah salah satu faktor penting keberhasilan film. Contohnya saat trailer Sonic the Hedgehog (2020) pertama kali dirilis, banyak penggemar yang mengkritik desain karakter Sonic karena dianggap terlalu jauh dari versi aslinya di gim. Pihak studio kemudian melakukan perombakan besar. Hasilnya, film Sonic the Hedgehog sukses di pasaran.

Sebaliknya, ada beberapa adaptasi film yang mengabaikan masukan penggemar dan berujung kegagalan besar. Sebut saja adaptasi live-action dari Dragon Ball Evolution (2009) dan The Last Airbender (2010), yang dibuat dengan pendekatan khas Hollywood tanpa mempertimbangkan esensi cerita dan karakter asli yang sudah dicintai penggemar.

Contoh terbaru terjadi ketika remake Snow White (2025) produksi Disney mencatatkanrating terendah di IMDb: 1,6/10. Kritik tajam datang dari segala arah, bahkan sebelum film dirilis secara luas.

Di sinilah pentingnya studio mendengarkan umpan balik dari penonton dan kritikus. Pemahaman yang mendalam tentang apa yang diinginkan dan diharapkan oleh audiens bisa membantu pengembangan proyek-proyek yang lebih relevan dan menarik, tanpa mengurangi independensi sutradara.

Transparansi studio dalam proses kreatif dan keterlibatan penonton dalam tahap-tahap awal pengembangan bisa membangun kembali kepercayaan dan minat terhadap film superhero.

Penurunan popularitas film superhero bukanlah akhir dari genre ini, melainkan sebuah panggilan untuk inovasi. Dengan adaptasi dan inovasi yang tepat, film superhero bisa kembali merebut hati penonton dan mempertahankan relevansinya dalam lanskap perfilman yang terus berubah.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 26 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop



Categories
Pendidikan

Ketika Tambang Masuk Kampus

Pendirian dan keberlanjutan perguruan tinggi jadi tanggung jawab negara dan masyarakat, dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik.

 

Dalam satu pekan ini publik dikejutkan oleh rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang antara lain membuka peluang bagi perguruan tinggi (PT) menjadi pengelola bisnis tambang.

Ini kejutan kedua dan kelanjutan dari kontroversi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas menjelang akhir pemerintahan Joko Widodo. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, menerima tawaran ini. Apakah kampus juga memilih jalan yang sama?

Penulis mewakili Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) berpendapat, gagasan pemberian IUP kepada PT adalah sesat pikir kebijakan negara (Kompas, 20/1/2025).

Korporatisasi PT

Dalam artikel ”Higher Education in Indonesia: The Political Economy of Institution” (2023), Andrew Rosser mengidentifikasi dua problem predatoris yang menyebabkan krisis PT di Indonesia.

Pertama, ketatnya kontrol politik atas semua keputusan akademik dan non-akademik di kampus. Kedua, manajemen internal yang birokratis. Keduanya warisan Orde Baru dalam pengelolaan kampus. Tujuannya, penundukan sivitas akademika agar selaras dengan politik monoloyalitas pembangunanisme Soeharto.

Meminjam Gramsci, di era Orde Baru, kampus adalah ideological state apparatus yang harus tunduk kepada kemauan pemerintah melalui kementerian pendidikan.

Kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya.

Kontrol kebijakan akademik berlaku lewat mekanisme kerja pengambilan keputusan yang birokratis sejak di level kampus hingga kementerian, baik dalam pemilihan rektor, dekan, maupun perencanaan keuangan.

Kampus adalah kepanjangan tangan negara dalam urusan produksi pengetahuan dan SDM yang menunjang pembangunan. Perbedaan pendapat, apalagi penolakan, dianggap mbalelo, melawan. Risikonya pemecatan rektor, minimal pengurangan jatah anggaran PTN yang bersumber dari APBN.

Intinya, kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya. Dalam konteks ini, kita menjadi paham mengapa suara para rektor PTN cenderung seragam untuk setuju, atau minimal diam, atas rencana pemberian IUP, yang jelas berisiko tinggi bagi reputasi kampus di mata publik.

Anehnya, pascareformasi 1998, kondisi tersebut berlanjut di era Jokowi dan Prabowo. Hal itu berkelindan dengan agenda neoliberalisasi dalam bentuk korporatisasi kampus. Jargon kampus mandiri, merdeka secara ekonomi, lebih kuat. Maknanya: harus mencari uang sendiri dan negara lepas tangan.

Dalam hubungan ini, rencana pemberian IUP dikerangka dalam wacana yang sempit dan pragmatis: tambang akan menjawab kesulitan ekonomi di PT (dahaga anggaran operasional kampus yang tak terpenuhi oleh terbatasnya guyuran dana APBN). Kampus tak ubahnya korporasi biasa, turun jauh marwah sebagai lembaga sosial yang menjaga etika dan tanggung jawab setiap kegiatannya.

Krisis otonomi akademik

UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi pada Pasal 4 memberi mandat kampus dalam pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan membentuk watak, peradaban bangsa yang bermartabat. Maknanya, kampus lembaga sosial yang menjalankan amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sejak pemerintahan Orde Baru, PT terus mengalami represi secara sistemik, ketika menjalankan peran sosial di atas. Merujuk EJ Perry (2019) dalam Educated-acquiescence, represi atau koersi dapat bersifat negatif seperti pemecatan akademisi yang kritis, pelarangan diskusi akademik, atau bersifat positif (positive coercion), seperti pemberian remunerasi dan ”peluang/tugas” jabatan birokrasi serta unit usaha.

Tujuannya sama: menghambat laju pencapaian akademik dan otonomi akademia sebagai kritikus atas kekuasaan yang koruptif. Proyek merdeka belajar kampus merdeka, link & match, hingga IUP adalah bagian dari skenario ini, yang kerap tidak disadari para dosen.

Pendirian dan keberlanjutan PT adalah tanggung jawab negara dan masyarakat dan dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik.

Pemberian IUP yang banyak memicu konflik horizontal jelas bertentangan dengan logika di atas dan memicu krisis reputasi PT di benak publik. Terjadi konflik kepentingan antara peran penyuplai gagasan, SDM, dan evaluator dengan pelaku usaha ekonomi ekstraktif yang menggerus sikap obyektif.

Dalam iklim pendidikan tinggi yang sehat, pola relasi tiga pihak—kampus dengan industri dan pemerintah—seharusnya lebih setara. Ketiganya berbagi tugas masing masing sehingga dapat saling melengkapi, tidak bertabrakan.

Terkait sumber pendanaan dari industri, titik berpijaknya adalah mandat atas tanggung jawab sosial industri ke masyarakat lewat PT yang harus terus diperkuat, bukan penerjunan PT sebagai pelaku, pemilik bisnis berskala besar itu sendiri.

Penting disadari bahwa otonomi PT hanya bisa dirawat lewat fokus kerja sivitas akademikanya pada pelayanan akademik, bukan sambilan setelah mengelola industri tambang atau unit usaha komersial lain.

Akhirnya, jawaban atas krisis keuangan PT belakangan ini harus dikembalikan kepada komitmen alokasi APBN untuk pendidikan, dan evaluasi menyeluruh kinerja kampus sebagai lembaga sosial.

Antara lain untuk menjaga stabilitas dan kualitas, jumlah PT yang terlampau banyak (peringkat kedua di dunia setelah India) dapat ditinjau ulang agar dukungan pendanaan publik ke kampus menjadi lebih rasional.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Januari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.



Categories
Sains Teknologi

Statistik Berkualitas untuk Indonesia Emas

Setiap tanggal 26 September diperingati sebagai Hari Statistik Nasional (HSN). Peringatan tersebut menggambarkan betapa pentingnya peran statistik bagi pembangunan nasional. Dikutip dari situs Badan Pusat Statistik (BPS), HSN diperingati berdasarkan tanggal diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik. Tema HSN tahun ini adalah “Statistik Berkualitas untuk Indonesia Emas”. 

Indonesia Emas

Visi Indonesia Emas adalah suatu gagasan yang bertujuan untuk men- jadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil dan makmur pada tahun 2045, ketika Indonesia memperingati 100 ta- hun kemerdekaannya. Gagasan tersebut disiapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/- Bappenas) dan diresmikan oleh Presiden pada 9 Mei 2019. Kementerian PPN/Bappenas dalam mendukung visi Indonesia Emas telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, yaitu mewujudkan Indonesia sebagai “Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”.

Sasaran utama dari RPJPN 2025-2045 adalah Pendapatan per kapita setara dengan negara maju; Kemiskinan di angka 0 persen dan ketimpangan berkurang; Meningkatnya kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional; Daya saing sumber daya manusia Indonesia meningkat; dan intensitas emisi gas rumah kaca menurun menuju net zero emission. 

Ada 8 agenda pembangunan menuju Indonesia Emas, yaitu mewujudkan transformasi sosial, mewujudkan transformasi ekonomi, mewujudkan transformasi tata kelola, memantapkan supremasi hukum, stabilitas dan ketangguhan diplomasi, memantapkan ketangguhan sosial budaya dan ekologi, mewujudkan pembangunan kewilayahan yang merata dan berkualitas, dan mewujudkan sarana dan prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan, serta mewujudkan kesinambungan pembangunan.

Statistik Berkualitas Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), statistik adalah angka-angka atau catatan yang dikelompokkan, dikumpulkan, serta ditabulasi sehingga akan didapatkan informasi yang berkaitan dengan angka tertentu. Sedang statistika adalah ilmu yang mempelajari statistik, atau ilmu yang mempelajari cara mengumpulkan, menyajikan dan menganalisis data serta menarik kesimpulan.

Statistika sangat diperlukan dalam berbagai bidang, terutama dalam analisis data, riset atau penelitian, prediksi atau estimasi, survei, perencanaan atau pengendalian dan pengambilan keputusan serta keamanan data.

Analisis data memerlukan teknik statistik yang baik, sehingga diperoleh interpretasi data dalam bentuk pola, tren atau hubungan antar variabel. Statistika juga diperlukan dalam riset atau penelitian, yaitu dalam merancang eksperimen, teknik pengumpulan data, dan uji hipotesis. Statistika juga diperlukan dalam memprediksi atau mengestimasi. Dengan bantuan data sebelumnya, maka data tersebut dapat digunakan untuk estimasi atau prediksi data selanjutnya.

Dengan teknik statistik yang benar, kita dapat mengambil sampel yang representatif sehingga hasil survei dapat menggambarkan seluruh populasi. Di bidang industri, statistika juga memegang peranan yang penting dalam perencanaan dan pengendalian produksi sehingga menghasilkan produk yang optimal. Dalam bidang ekonomi, statistika juga berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Keamanan data juga bagian dari statistika yang penting.

Statistika yang kurang baik dapat menimbulkan masalah yang cukup serius. Sebagai contoh kasus 34 juta data paspor warga negara Indonesia (WNI) diduga bocor dan dijual di situs dark web. Kebocoran 337 juta data yang berasal dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, kebocoran data 279 juta peserta BPJS Kesehatan yang dijual di Raid Forums dan data daftar pemilih tetap (DPT) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga bocor dan diperjualbelikan di forum daring. Di medio tahun 1990an, juga ada kasus survei dalam bentuk angket tentang tokoh yang dikagumi yang berujung masalah hukum.

Statistik yang baik, dapat digunakan untuk merealisasikan transformasi sosial, ekonomi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Statistika yang benar juga dapat berkontribusi dalam memantapkan supremasi hukum, stabilitas dan ketangguhan diplomasi serta memantapkan ketangguhan sosial budaya dan ekologi. Teknik statistik yang berkualitas dapat membantu mewujudkan ‘pembangunan kewilayahan yang merata dan berkualitas, mewujudkan sarana dan prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan, serta mewujud- kan kesinambungan pembangunan.

Visi Indonesia Emas yang didukung dengan sasaran utama RPJPN 2025- 2045 dan 8 agenda pembangunan akan dapat dicapai dengan statistik yang berkualitas.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 26 September 2024

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics.

Categories
Sosial Budaya

Senjakala Keberadaan RRI/TVRI

Viralnya peristiwa pemberhentian karyawan TVRI Yogyakarta imbas pemangkasan anggaran membuat prihatin berbagai pihak. Meski akhirnya ada instruksi pembatalan dari Menteri Keuangan, kasus sudah terjadi dan memicu perdebatan komitmen Presiden Prabowo terhadap penyiaran publik di Indonesia. Muncul kesimpulan no viral no justice yang menggambarkan bebalnya mentalitas aparat birokrasi dalam membuat kebijakan. Tulisan kecil ini menguraikan aspek fundamental penyiaran publik dan kekeliruan kebijakan pemangkasan anggaran yang menimpa dan oleh elite RRI/TVRI sebagai media publik. 

Postur Anggaran RRI/TVRI 

Keputusan Prabowo mangkas anggaran kementerian/lembaga hingga mencapai 306 triliun dengan antara lain mengalihkan ke program makan bergizi gratis sekilas baik dan sangat populis. Harus diakui, pemborosan anggaran sudah lama terjadi di berbagai lembaga negara termasuk di manajemen RRI/TVRI, antara lain pos kunjungan kerja, tim kebijakan dan pos rapat-rapat di luar kota. Jika penghematan menyasar pos-pos ini, maka ia patut didukung agar lembaga penyiaran publik mengalami penyehatan birokratis. 

Dalam satu dekade terakhir, APBN untuk kedua media cenderung naik secara gradual hingga mencapai triliunan pertahun. Sebagai contoh, tahun 2025 TVRI memperoleh pagu anggar an sebesar Rp 1,05 triliun, sedang RRI mendapat pagu sebesar Rp 1,07 triliun. Dari total budget ini, hampir 70% di- pakai untuk kebutuhan belanja pegawai dan layanan administrasi. Sisanya baru untuk produksi konten. Budget ini termasuk untuk honor tenaga lepas yang justru ujung tombak produksi konten. Artinya, ada ketidakseimbangan dan salah postur, yang diakibatkan besarnya jumlah ASN di sektor administrasi.

Lembaga penyiaran publik di berbagai negara dilindungi paripurna karena tugas historis dan politisnya sebagai penjaga moralitas, pemersatu jiwa lewat konten terbaik. Oleh tugas mulia ini, anggaran LPP bersumber langsung dari publik yang dikelola negara terpisah dari APBN. Istilah yang kini populer: media trusted fund, agar terhindar dari aksi pangkas memangkas oleh kepentingan politik tentatif. Dalam budaya politik anggaran di Indonesia, APBN selalu naik turun, diputuskan secara politik praktis di parlemen, rawan korupsi.

Lebih jauh, oleh budaya organisasi media publik itu sendiri yang birokratis, penuh birokrat, pemangkasan budget RRI/TVRI justru menimpa para tenaga lepas dan sektor produksi siaran sebagai jantung layanan publik, tak menyentuh elite kedua media. Berbeda dengan lembaga negara lain yang dominan fungsi administrasi, media publik memiliki peran strategis pada penguatan nasionalisme, mencerdaskan kehidupan bangsa lewat kon- ten berkualitas, sifatnya produktif. Ini, jauh lebih utama dari makan bergizi gratis yang bersifat karitatif. Muncul kesan buruk di publik: negara dan RRI/TVRI lebih mengutamakan perut kenyang, ketimbang otak dan kecerdasan berpikir. Senjakala penyiaran publik sudah tampak.

Bagaimana memahami munculnya pemutusan hubungan kerja (sejenak) dan masa depan lembaga penyiaran publik? mengapa pemangkasan anggaran justru menimpa sektor produksi dan harus viral? Pertanyaan ini harus dijawab dan direfleksikan oleh pekerja kedua media itu sendiri. Setidaknya ada dua kesimpulan umum. Pertama, Presiden Prabowo tidak punya prioritas anggaran, dan aksi memangkas anggaran yang menyasar RRI TVRI tampak ugal ugalan. Kedua, tidak ada sense of crisis pimpinan RRI/TVRI ketika merespons pemangkasan. Langkah PHK kepada pembuat konten mencerminkan suatu keputusan buruk, yang justru memicu risiko penurunan kualitas produksi, senjakala kedua media itu sendiri sebagai lembaga pelayanan konten publik yang profesional. 

Pemangkasan budget oleh Prabowo menjadi pelajaran mahal agar TVRI/RRI membenahi kinerja, semakin dekat ke publik sehingga dalam jangka pendek dapat menerapkan model mixed budget: iuran, crowed fund dll., tanpa tergantung lagi kepada dana APEN. Evaluasi anggaran negara yang selama lebih dari lima puluh tahun dipakai di kedua media juga mutlak dilakukan, termasuk dengan cara melakukan rasionalisasi sumber daya manusia yang tidak produktif di era digital, mayoritas di sektor administrasi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 Februari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.



Categories
Hukum

Kita Belum Punya UU Contempt of Court

Masyarakat harus diberi pencerahan agar tak tertipu dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku ahli atau sangat menguasai.

Banyak sarjana hukum mengira penghinaan terhadap peradilan (contempt of court) sebagai nama tindak pidana itu sudah ada. Padahal, di Indonesia, belum ada nama dan unsur untuk jenis tindak pidana tentang itu.

Baru-baru ini kita dikejutkan oleh viralnya seorang pengacara atau advokat yang berteriak kalap dan akan memperkarakan seseorang, sebutlah Pak Fulan, ke peradilan pidana.

Alasannya, katanya, Pak Fulan melakukan kejahatan, karena Pak Fulan memberi opini atas perkara yang sedang ditanganinya. Pengacara ini dengan lantang mengaku dirinya ahli pidana dan sangat menguasai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Padahal, Pak Fulan tak berbicara sama sekali tentang perkara yang dia tangani. Ketika ditanya, Pak Fulan tak peduli dan tertawa ringan atas sensasi itu.

Meskipun begitu, kita harus memberikan pencerahan kepada masyarakat karena hal tersebut merupakan tragedi profesionalisme seorang pengacara yang tak paham bedanya hukum dan ilmu hukum. Masyarakat harus diberi pencerahan agar tak tertipu dan percaya begitu saja kepada orang yang mengaku ahli atau sangat menguasai.

Pemahaman tentang ini sangat penting tidak hanya bagi pembelajar, pengamat, dan profesional hukum, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya agar tak disesatkan pikiran dan pemahamannya.

Ada dua hal di sini. Pertama, tentang opini atau pendapat hukum atas perkara yang sedang berlangsung, termasuk mulai dari mediasi, di pengadilan.

Kedua, Pak Fulan akan diperkarakan melakukan kejahatan contempt of court karena mengomentari perkara yang sedang berjalan di pengadilan (dalam kasus ini perkara sudah masuk tahap mediasi setelah sidang pemeriksaan perkara dimulai).

Opini atau pendapat hukum

Tiba-tiba si pengacara berteriak bahwa Pak Fulan telah mengomentari perkara yang sedang ditanganinya dan sedang dalam tahap mediasi di pengadilan. Katanya, perkara yang sedang berlangsung atau tahap mediasi di pengadilan tak boleh dikomentari.

Wow, ilmu hukum dari mana itu?

Justru para pakar, pengamat, wartawan, dan sebagainya sangat boleh mengomentari dan beropini tentang perkara yang belum ataupun sedang berjalan di pengadilan.

Saat ini, dari luar gedung pengadilan hampir semua televisi dan podcast justru menyiarkan opini pakar dan profesional hukum tentang perkara yang sedang berlangsung ataupun baru pada tahap penyelidikan dan penyidikan. Sebutlah, opini tentang peradilan Zarof Ricar, opini tentang penyuapan hakim di Jakarta Selatan, bahkan opini tentang perkara ijazah asli atau palsu yang sedang berproses di Bareskrim dan di Polda Metro Jaya.

Itu sangat boleh dilakukan. Saat Ferdi Sambo diselidiki, disidik, dan disidang di pengadilan, semua pakar diundang ke televisi, ke podcast-podcast, bahkan ke sidang pengadilan, untuk memberi opini dari sudut keahliannya.

Bukan hanya ahli hukum, melainkan juga ikut dan diminta memberi opini ahli-ahli di bidang lain, seperti ahli psikologi, ahli TI, dan ahli sosiologi, yang semua berbicara dari dalam ataupun dari luar pengadilan untuk memberi legal opinion. Sang pengacara tidak tahu bahwa yang tidak boleh mengomentari perkara yang sedang berlangsung hanya hakim yang menangani perkara itu.

Itu pun masuk dalam masalah etika, bukan masalah pidana. Bahkan pengacara dan jaksa boleh mengomentari perkara yang sedang ditanganinya dari luar persidangan. Oleh karena itu, mereka sering berdebat melalui media massa dengan para pengacara, bahkan instansi penegak hukum menggunakan humas resmi untuk meladeni adu pendapat dan penilaian.

Sang pengacara bilang, Pak Fulan yang mengomentari perkara sebagai pembicara kunci pada satu seminar di kampus akan dilaporkan ke polisi karena melakukan kejahatan pidana, berupa contempt of court. Memangnya, dalam undang-undang apa dan pasal berapa diatur tindak pidana contempt of court bagi yang mengomentari atau mengulas suatu perkara?

Ada yang disamakan

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang ada jenis tindak pidana yang sering disamakan dengan contempt of court, seperti Pasal 207 dan Pasal 217. Namun, nama kejahatan untuk jenis kejahatan yang diatur oleh kedua pasal tersebut bukan contempt of court (penghinaan atas peradilan), melainkan, seperti menjadi judul Bab VIII KUHP, disebut kejahatan terhadap penguasa umum.

Dalam kedua pasal itu sama sekali tak ada ketentuan bahwa mengomentari perkara yang sedang berlangsung di pengadilan termasuk kategori kejahatan terhadap penguasa umum, apalagi contempt of court. Tidak ada isi frasa yang seperti itu. Ingat, di dalam hukum pidana tidak boleh ada analogi atau membuat ”kias” yang meng-”gatuk-gatukkan”.

Pasal 207 KUHP mengatur, ”Barang siapa yang dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Sementara, yang diatur dalam Pasal 2017 KUHP adalah larangan menimbulkan kegaduhan dalam ”sidang” pengadilan. Bunyinya, ”Barang siapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat di mana seorang pejabat sedang menjalankan tugasnya yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda paling banyak seribu delapan ratus rupiah”.

Jadi, ketentuan Pasal 207 dan Pasal 217—sesuai dengan judul bab yang menaungi (Bab VIII) dalam KUHP, yang masih berlaku sekarang—disebut kejahatan terhadap penguasa umum. Di dalam KUHP yang baru, yakni UU No 1 Tahun 2023 yang akan mulai berlaku Januari 2026, tidak ada juga kualifikasi tindak pidana penghinaan terhadap peradilan atau contempt of court yang oleh si pengacara tersebut disebut kejahatan.

KUHP yang baru tetap memberlakukan substansi Pasal 207 dan Pasal 217 yang ada di KUHP lama. Substansi Pasal 207 KUHP yang lama dimasukkan ke dalam Pasal 240 KUHP yang baru dengan kualifikasi penghinaan terhadap penguasa umum. Sementara itu, substansi Pasal 217 KUHP yang lama dimasukkan ke dalam Pasal 281 KUHP baru dengan kualifikasi sebagai gangguan (bukan hinaan) terhadap proses peradilan.

Di dalam kedua pasal itu juga tidak ada larangan dan ancaman hukuman bagi orang yang mengomentari atau beropini terhadap perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Mengomentari perkara dari ruang sidang pengadilan pada umumnya malah dianggap penting guna mengawasi jalannya pengadilan yang memang harus terbuka untuk umum.

Janji pembentukan UU ”contempt of court”

Terlepas dari soal adanya ketidakpahaman sebagian sarjana hukum atas perbedaan antara hukum dan ilmu hukum, tepatnya antara ius constitutum dan ius constituendum, adanya UU tentang contempt of court di Indonesia memang diperlukan.

Saat ini gejala penghinaan atas martabat pengadilan memang kerap terjadi, bukan hanya oleh orang-orang yang berperkara, bisa juga oleh hakim yang mengadili suatu perkara karena perilakunya yang tak pantas. Jika ada hakim, misalnya, ikut bertepuk tangan ketika seorang koruptor divonis ringan, padahal sidang belum ditutup, hal itu melanggar etika.

Kita belum mempunyai undang-undang tentang contempt of court, tetapi negara sudah lama menjanjikan untuk membuat undang-undang itu. Kita bisa melihat janji negara itu, misalnya, dalam UU No 14 Tahun 1985 yang telah diperbarui dengan UU No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Dalam Penjelasan Umum Butir 4 UU tentang Mahkamah Agung itu ditegaskan tentang perlunya pembentukan undang-undang khusus yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, yang dikenal sebagai contempt of court.

Kita catat bahwa bunyi Butir 4 Penjelasan UU Mahkamah Agung tersebut adalah janji negara yang sudah ditulis selama sekitar 40 tahun (sejak 1985).

Oleh karena itu, kita perlu melakukan langkah-langkah yang lebih konkret untuk melanjutkan upaya mewujudkannya. Bahan-bahan untuk ini sudah cukup banyak. Instrumen The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002), ditambah dengan pengalaman kita sendiri, perlu digali nilai-nilainya untuk dinormakan dalam hukum tentang contempt of court.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 12 Mei 2025


Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum

Serangan Siber kian Masif, Akankah Angkatan Siber TNI jadi Solusi?

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.

Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam publik. UU ITE saja sudah kerap menjadi alat untuk membatasi publik dalam menyampaikan pendapat.

Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.

Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan disusupi agenda-agenda politik praktis.

Rentannya serangan siber

Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.

Indonesia sendiri termasuk negara yang masih sangat rentan terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.

Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa komponen pertahanan di bidang siber yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.

Namun, kenyataannya masih banyak terjadi serangan siber yang gagal diantisipasi. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.

Contohnya adalah kebocoran data paspor dan penduduk yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.

Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran ujaran kebencian dan hoax di media sosial.

Maka dari itu, usulan munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.

Usulan pembentukan Angkatan Siber ini perlu ditinjau secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.

Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat patroli siber Polri menjadi sangat agresif dalam menegakkan keamanan siber.

Agresivitas ini justru lambat laun menjadi mengkhawatirkan, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. Jika salah langkah, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru mengancam demokrasi.

Antara pertahanan dan keamanan

Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.

Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.

Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini.

Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “Sinergitas TNI-Polri”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.

Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Untuk pertahanan, bukan keamanan

Kita bisa belajar dari Digital and Intelligence Service (DIS), Angkatan Siber Singapura yang baru saja dibentuk pada Maret tahun lalu.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Operasi siber memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil.

Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.

Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 September 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

 



Categories
Pendidikan

Jangan Panggil Saya ‘Prof’: Mengapa Desakralisasi Gelar Profesor Perlu Dilakukan?

Masalah etika dan akademis para dosen untuk mencapai status ‘profesor’ atau ‘guru besar’ belakangan ini menjadi sorotan publik. Perkara-perkara mulai dari kontroversi guru besar muda, Kumba Digdowiseiso, praktik “aji mumpung” kampus untuk mengatrol guru besar, hingga para politikus yang berlomba-lomba mendapatkan gelar profesor, menggerus kredibilitas akademisi berikut kebijakan pemerintah seputar penilaian akademis di mata publik.

Di tengah persoalan tersebut, terbit surat edaran dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, yang meminta agar gelar akademisnya tidak dicantumkan di dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya. Rektor UII hanya mengecualikan edaran “jangan panggil saya Prof” ini untuk dokumen ijazah dan transkrip nilai.

Tradisi menanggalkan penyematan gelar dalam pergaulan akademis memang bukan praktik baru di banyak negara. Namun, di Indonesia, langkah rektor UII dapat kita lihat sebagai sebuah gerakan simbolik untuk membuka diskusi seputar desakralisasi gelar akademis di tengah fenomena inflasi guru besar di tanah air.

Sakralisasi gelar akademis

Di Indonesia, pencapaian gelar akademis maupun atribut lainnya sering terkait dengan motivasi ekonomi terutama kenaikan gaji dan tunjangan. Pencapaian juga menjadi simbol mobilitas vertikal untuk mendapatkan penghormatan dan perlakuan istimewa dalam masyarakat. Akibatnya, banyak orang mengejar gelar tersebut dengan menempuh berbagai siasat.

Ini dibuktikan dengan temuan penelitian yang menempatkan integritas publikasi ilmiah di Indonesia terendah nomor dua di dunia. Dalam hal ketidakjujuran akademis, skor Indonesia hanya 16,7%, di bawah Kazakhstan yang menempati urutan pertama (17%).

Di sisi lain, tradisi pengultusan hierarki profesor sebagai derajat akademis tertinggi semakin menguatkan budaya feodalisme sekaligus peneguh kesenjangan. Alih-alih merujuk pada tanggung jawab keilmuan dan kepakaran, gelar doktor atau profesor kerap secara sengaja disakralkan untuk memperlebar jarak sosial, termasuk di lingkungan kampus.

Penunjukan jabatan seperti kepala pusat studi di kampus, misalnya, sering kali berdasarkan pengutamaan status profesor, bukan berdasarkan kualitas individu dan rekam kinerja riset.

Para pemilik gelar mungkin tidak menyadari ataupun mengakui sakralisasi ini. Namun, tetap saja, masih ada profesor yang tersinggung jika gelarnya tidak ditulis dalam surat undangan ataupun merasa direndahkan jika orang lain memanggil namanya tanpa disertai sapaan “Prof”.

Antara budaya feodal dan iklim akademis yang egaliter
Harus diakui, tradisi akademis terkait panggilan profesor diterapkan secara berbeda di Indonesia atau secara umum di Asia, jika dibandingkan negara Barat.

Ini salah satunya bersumber pada kentalnya budaya paguyuban (gemeinschaft) yang merupakan ciri masyarakat feodal bercorak produksi agraris–pedesaan. Budaya paguyuban berdasar pada hubungan status seperti keluarga, tradisi, dan adat yang menempatkan kendali dan hormat kepada para senior atau mereka yang dianggap dituakan.

Namun, iklim akademis dan budaya intelektual di perguruan tinggi semestinya bersifat egaliter dan kolegial. Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada tahun 1833 memperkenalkan pendekatan andragogi yang kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat (AS), Malcolm Knowles. Andragogi adalah proses pelibatan peserta didik dewasa ke dalam pengalaman belajar dengan model interaksi egaliter antara mahasiswa dengan dosennya sebagai sesama orang dewasa.

Artinya, berdasarkan pendekatan andragogi, lembaga pendidikan tinggi diharapkan terus melahirkan para ahli dengan cara bertukar pikiran secara proporsional, asertif, kritis, dialogis, dan kolegial. Pelaksanaan cara ini pun harus berlandaskan sikap saling menghargai serta menghormati tata nilai dan budaya akademis yang berlaku universal.

Bentuk pengultusan seperti rasa segan dan hormat yang berlebihan, jika hanya didasarkan pada superioritas gelar, bukan pada kapasitas keilmuan dan rekam jejak akademis, akan menghambat perkembangan iklim akademis dan budaya intelektual yang sehat di kampus.

Upaya desakralisasi
Sebelum Rektor UII, banyak tokoh dan akademisi di tanah air yang juga menerapkan praktik sapaan egaliter. Mendiang Ahmad Syafii Maarif, misalnya, jarang menuliskan gelar akademisnya. Meski telah didapuk sebagai “tokoh bangsa” dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia lebih nyaman dipanggil “Buya” daripada gelar berderet “Prof. K.H. Ahmad Syafii Maarif, M.A, Ph.D”.

Contoh lain akademisi asal Indonesia yang konsisten menolak dipanggil “Prof” adalah sosiolog Ariel Heryanto. Ia selalu mengatakan, “Panggil saja saya Ariel,” kepada orang-orang yang memanggilnya dengan sapaan “Prof Ariel”.

Belakangan, beberapa instansi terkait pendidikan dan riset di Indonesia seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga tidak lagi menuliskan gelar akademis dalam standar pengesahan dokumen-dokumen resmi.

Lebih dari sekadar panggilan
Akar masalah integritas akademis di Indonesia bukanlah terbatas pada perlu-tidaknya panggilan-penulisan, desakralisasi, atau sebaliknya pemurnian gelar “profesor”.

Kejujuran, kedisiplinan, etika, dan integritas akademis perlu segera ditegakkan oleh semua pihak, lebih dari sekadar perlu atau tidaknya atribusi bagi seorang profesor.

Banyak persoalan integritas akademis dalam proses pengajuan guru besar yang juga perlu disorot. Sebut saja kelayakan dan riwayat integritas akademis individu pengaju jabatan guru besar, independensi asesor administratif dan substantif, impunitas (pembebasan dari hukuman) terhadap pelaku perjokian dan praktik predatory karya ilmiah, dan normalisasi plagiarisme. Kita juga perlu mengawasi kurangnya transparansi, kecepatan merespons dan menangani kasus, serta ketegasan penegakan aturan disiplin etika akademis oleh institusi pengelola yaitu pihak kampus dan Kemendikbudristek.

Gerakan moral desakralisasi gelar profesor ini telah diinisiasi oleh Rektor UII, dan ternyata berhasil menarik perhatian publik lebih luas. Oleh karena itu, mengapa tidak kita dukung sebagai momentum untuk berbenah?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2024

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.