Categories
Pendidikan

Beban atau Investasi? Dilema Negara dalam Memaknai Pendanaan Pendidikan

  • Pernyataan Sri Mulyani soal gaji guru dan dosen memicu perdebatan tentang tanggung jawab negara dalam pendanaan pendidikan.
  • Pendidikan adalah hak publik, tapi dalam praktiknya kerap terjebak pada logika efisiensi, komersialisasi, dan orientasi pasar.
  • Pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk membentuk warga negara yang cakap, kritis, dan beretika.

Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mempertanyakan apakah gaji guru dan dosen harus sepenuhnya ditanggung negara Kamis, 7 Agustus 2025 lalu memantik diskusi publik yang sengit.

Di satu sisi, komentar tersebut menyingkap keresahan fiskal. Di sisi lain, ini membuka ruang kritik terhadap pendidik yang menuntut hak kesejahteraan.

Konstitusi sebenarnya memandatkan pernyataan tersebut dengan jelas. Pasal 31 UUD 1945 mewajibkan negara mengalokasikan minimal 20% APBN untuk pendidikan (senilai Rp724,3 triliun pada tahun anggaran 2025). Selain itu, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menegaskan pendidikan sebagai hak warga negara dan kewajiban pemerintah.

Negara mengalokasikan minimal 20% APBN untuk pendidikan. Tapi jumlah tersebut termasuk untuk membiayai program makan siang gratis.  Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tanggung jawab bersama pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, idealisme ini kerap tergerus keterbatasan anggaran, birokrasi kaku, dan salah arah orientasi kebijakan.

Total alokasi duit negara untuk pendidikan sebesar Rp700 triliunan memang besar. Tapi jangan lupa jumlah tersebut harus disunat untuk membiayai program makan siang gratis. Bagaimana seharusnya negara menempatkan diri dalam melihat pendanaan pendidikan?

Fungsi pendidikan dan tantangan implementasi
Gert Biesta, ahli teori pendidikan dari Belanda, menawarkan tiga fungsi pendidikan yakni kualifikasi (membekali pengetahuan/keahlian untuk berpartisipasi dalam kerja dan warga-negara), sosialisasi (mentransmisikan nilai/norma agar menjadi bagian tatanan sosial), dan subjektifikasi (membentuk pribadi otonom, kritis, bertanggung jawab).

Masalahnya, kebijakan sering bias pada kualifikasi terkait pengukuran keberhasilan lewat kelulusan, skor, dan penempatan kerja. Sementara sosialisasi dan subjektifikasi menyusut karena tekanan efisiensi dan komersialisasi.

Akibatnya, kurikulum kerap dipersempit. Ini menyebabkan pengesampingan “aspek non-tes seperti seni dan keterampilan sosial”, relasi dosen–mahasiswa yang transaksional, dan ruang mengkritisi kebijakan publik yang semakin sedikit.

Dampaknya, pendidikan kehilangan perannya dalam membentuk karakter, etika, dan kemampuan reflektif, serta gagal menumbuhkan keberanian moral untuk mempertanyakan ketimpangan di masyarakat.

Antara pasar dan pengetahuan
Setiap negara memiliki tiga tipologi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di tingkat global yaitu sebagai aset nasional, hak publik, dan komoditas.

Di negara Nordik seperti Swedia dan Finlandia, pendidikan dipandang sebagai public good yang menjadi hak setiap warga dan ditanggung sepenuhnya oleh negara. Model ini jarang digunakan di Indonesia, meski prinsipnya tertulis dalam konstitusi.

Dari kacamata sejarah, perjalanan pendidikan tinggi di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga fase besar. Pertama pada fase era kolonial sebelum 1945, pendidikan dirancang sebagai instrumen kepentingan kekuasaan, memproduksi elit birokrasi yang melayani administrasi penjajah.

Fase kedua pada era Perang Dingin (1945–1990), pendidikan menjadi arena perebutan pengaruh ideologi. Beasiswa dan program pertukaran seperti Fulbright dan Monbukagakusho digunakan untuk membentuk teknokrat dan pemimpin yang selaras dengan blok politik tertentu.

Setelah itu, fase ketiga terjadi pada krisis finansial Asia 1997 yang menandai masuknya era neoliberal. Privatisasi, deregulasi, dan logika pasar mulai mendominasi pendidikan tinggi.

Fase terakhir ini tampak jelas terjadi di Indonesia dengan meningkatnya praktik komodifikasi yang seolah menjadikan pendidikan tinggi sebagai “aktivitas pencetak uang.”

Pemeringkatan kampus pun menjadi obsesi baru. Indikator kuantitatif seperti jumlah publikasi sering kali mengalahkan misi pendidikan itu sendiri. Kompetisi antaruniversitas pun kerap berubah menjadi perlombaan kosong yang menguras sumber daya, sementara orientasi komersial merambah ke banyak aspek, mulai dari kurikulum yang disesuaikan tren pasar hingga layanan kampus yang dibungkus seperti produk.

Orientasi ini selaras dengan model komoditas yang marak di negara Anglo-Saxon seperti Amerika Serikat (AS) dan Inggris, meskipun fungsi publiknya belum sepenuhnya hilang.

Inggris menunjukkan pendekatan hibrida: mempertahankan pendanaan publik untuk riset (warisan model aset nasional) sambil menerapkan logika komoditas pada biaya kuliah. Bahkan di AS, yang kerap dijadikan contoh sistem terpasarkan, universitas masih menjalankan fungsi publik seperti riset dasar dan pelayanan masyarakat.

Kasus seragam dapat ditemukan pada negara lain di Global Selatan, seperti Malaysia dan India.

Pada dua negara tersebut, meskipun arus alokasi dana negara kian berkurang, standar kualifikasi pendidikan tinggi yang bermutu tetap dapat dipertahankan. Negara tetap menjadi aktor prominen dalam sistem pendidikan tinggi, terkhusus dalam kewajibannya menangani problem struktural.

Pendidikan sebagai investasi, bukan pengeluaran
Jika pendidikan terus dipandang hanya sebagai variabel biaya, kita berisiko kehilangan orientasi jangka panjang. Penjaminan pendanaan guru dan dosen bukanlah tindakan amal tapi investasi institusional untuk menghasilkan warga negara yang cakap, beretika, dan kritis.

Pengalaman internasional menunjukkan, peran negara dalam pendidikan tinggi tetap krusial, bahkan di sistem yang sangat berorientasi pasar.

Meski demikian, kontribusi Sri Mulyani melalui pendirian Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) layak diapresiasi karena berhasil memperluas akses beasiswa bagi puluhan ribu pelajar Indonesia. Inisiatif ini menunjukkan adanya investasi jangka panjang, meski aspek pendanaan rutin pendidikan masih menyisakan pekerjaan rumah.

Partisipasi masyarakat, baik melalui filantropi, dana abadi, maupun kemitraan publik–swasta, bisa menjadi pelengkap yang memperkuat kapasitas negara. Namun, partisipasi itu tidak boleh menggantikan komitmen publik yang telah dijamin konstitusi.

Instrumen negara dalam memperluas akses pendidikan tinggi, utamanya bagi kalangan menengah ke bawah, dan menekan naiknya biaya kuliah akibat inflasi perlu dioptimalisasi. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dibebankan pada masyarakat bisa dinilai sebagai sikap abai negara dalam pemenuhan hak konstitusional warga negara atas pendidikan.

Membawa kembali pendidikan pada tiga fungsinya adalah langkah kunci agar kebijakan tidak terjebak pada logika untung-rugi. Dengan keseimbangan yang tepat, pendidikan akan kembali ke hakikatnya: memenuhi amanah konstitusi, memperkuat daya saing, dan membangun peradaban.

Jangan sampai, Indonesia makin terpuruk hanya karena beban fiskal sedang tersedot ke pos-pos pengeluaran tertentu, apalagi merespons secara reaktif dengan mengundang partisipasi masyarakat.

Penggunaan istilah “partisipasi dari masyarakat” juga ironis. Sebab, masyarakat adalah pembayar pajak yang sudah, sedang, dan akan selalu berpartisipasi dalam pembangunan manusia.

Faktanya, berdasarkan data 2023, kontribusi UKT terhadap pendapatan operasional kampus sangat signifikan. UKT menyumbang 77% dari total pendapatan Universitas Indonesia. Angka di Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Teknologi Bandung masing-masing sekitar 52%, 42%, dan 32%.

Artinya, masyarakat (pembayar pajak maupun mahasiswa) bukan hanya sekadar berpartisipasi, melainkan telah menjadi investor utama yang menopang keberlangsungan pendidikan tinggi.

 

Tulisan ini sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 21 Agustus 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Sosial Budaya

Pendidikan Jurnalisme perlu Dekolonisasi: Berorientasi pada Publik, bukan Industri

  • Pendidikan jurnalisme di Indonesia terlalu fokus pada kepraktisan sehingga kehilangan fungsi kritisnya.
  • Jurnalisme bukan sekadar produk teknologi, pendidikannya harus melampaui orientasi industri.
  • Studi jurnalisme perlu berani melakukan dekolonisasi dengan menekankan refleksi kritis, demokrasi, dan kepentingan publik.

Perkembangan teknologi telah mendisrupsi industri serta pendidikan di jurusan jurnalistik dan komunikasi. Hingga akhirnya muncul istilah-istilah baru populer seperti “big data”, “jurnalisme data”, “jurnalisme digital” dan lain-lain dalam kurikulum mereka.

Meski demikian, pendidikan jurnalisme tetap menuai kritik. Seorang mantan wartawan yang juga content creator, contohnya, menganggap jurnalis sekarang kesulitan mengadopsi teknologi karena masih dididik menggunakan silabus zaman surat kabar yang ketinggalan jaman.

Tapi di satu sisi, keberpihakan pendidikan jurnalisme Indonesia pada industri justru membuat studi ini terlalu fokus pada praktik “penggunaan teknologi”. Sehingga, mudah dicap tidak lagi relevan ketika teknologinya berubah.

Padahal tugas kampus tidak hanya mengajari mahasiswa kemampuan mengadopsi teknologi, tetapi juga berefleksi atau mengkritik teknologi yang merugikan kepentingan publik.

Dengan kata lain, agar terhindar dari jebakan-jebakan relevansi dunia kerja ala industri, pendidikan jurnalisme harus berani melakukan dekolonisasi—keluar dari orientasi kepraktisan dan teknologi ala Barat.

Jadikan agen revolusi bukan budak industri
Sejarah telah membuktikan perkembangan dan inovasi teknologi membuat penggunanya berorientasi pada kepraktisan.

Jurnalistik sendiri lahir dari sekolah kolonial yang mengembangkan ‘teknologi baru’ yaitu keterampilan baca-tulis latin. Keterampilan ini merupakan teknologi baru kala itu, sebagaimana perkembangan sejarah aksara di banyak peradaban lainnya.

Jurnalis, sebagaimana content creator di zaman sekarang, menguasai teknologi yang kala itu sedang tren, sehingga berkembang sebagai profesi sejak akhir abad ke-19.

Tujuannya adalah untuk “memperkuat daya beli masyarakat Hindia Belanda”. Ini mengapa iklan-iklan di surat kabar makin beragam, dari yang berorientasi produk infrastruktur menjadi barang-barang untuk konsumsi keseharian.

Tabel. 1 Estimasi nilai investasi di Hindia Belanda dari 1885 to 1939 (dalam juta Gulden) Creutzberg & van Laanen. 1987 di Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar Dan Perubahan Masyarakat Di Jawa Masa Kolonial (1870-1915) (Tarawang, 2000)

Kelompok cerdik pandai Indonesia kemudian mengubah logika “industri jurnalisme kolonial” ini. Mereka tak lagi berfokus pada bagaimana menggunakan teknologi baca tulis dan percetakan, tetapi menjadikannya sebagai alat perlawanan penjajahan.

Jurnalis Indonesia kala itu mengubah orientasi kepraktisan menjadi alat “komunikasi revolusioner”. Aktivis kemerdekaan Indonesia, seperti Tan Malaka, Sukarno dan lain-lain melawan kolonialisme dengan surat kabar atau penerbitan.

Tak heran, penghormatan masyarakat Indonesia pada jurnalis, setelah kemerdekaan, “…kurang lebih sama dengan…kaum pergerakan kemerdekaan. Sebab persuratkabaran bangsa Indonesia ketika itu memang tegas dan nyata sekali merupakan pers perjuangan kemerdekaan.”

Jurnalisme sebagai studi terbuka
Setelah merdeka, masyarakat Indonesia membangun pendidikan jurnalisme/pers. Salah satu yang terus memperjuangkan pendidikannya adalah Adinegoro, salah satu pelopor pers Indonesia.

Menariknya, Adinegoro sendiri menolak mendirikan sekolah vokasi yang berorientasi praktis. Baginya, negara lebih baik memberikan beasiswa kepada jurnalis untuk bersekolah ke universitas, apapun yang dipelajari.

Pasalnya, menurut Adinegoro, wartawan berperan mendidik warga negara agar turut serta membangun “opini publik”, yang dibungkam oleh feodalisme tradisional dan pemerintah kolonial di masa sebelumnya.

Dengan usul ini, pendidikan jurnalisme dimaksudkan untuk menjadi studi yang terbuka, tidak seperti pendidikan lain yang melahirkan profesi linear.

Adinegoro termasuk orang pertama yang mengusulkan istilah publisistik, untuk menyebut studi yang mempelajari jurnalisme dan praktik komunikasi lainnya. Istilah yang dipinjam dari istilah Jerman ini digunakan dari 1950an sampai 1970an

Dengan visi menghasilkan wartawan sebagai penguat demokrasi, pendidikan publisistik pada 1950an diwarnai dengan banyak mata kuliah teoretis.

Sayangnya, kondisi ini tak berumur panjang. Orientasi teoretis pendidikan kampus berubah pada awal 1960an. Salah satunya karena perkembangan teknologi baru kala itu: televisi yang hadir di Indonesia pada 1962. Persis dengan apa yang terjadi sekarang.

Maka, pada 1964, Departemen Publisistik Universitas Indonesia (UI) dan banyak kampus lainnya, mengubah orientasi kurikulumnya menjadi peningkatan keterampilan “penggunaan media”.

Puncaknya, kampus-kampus Indonesia mulai mengajarkan konsep dan teori ‘komunikasi’ Amerika Serikat (AS) karena menawarkan ‘hal-hal yang lebih praktis’ ketimbang publisistik, sehingga cocok dengan orientasi penguasaan teknologi.

Akibatnya, publisistik yang berorientasi pada pembentukan opini publik dalam demokrasi mulai ditinggalkan pada awal 1970an. Publisistik diganti dengan komunikasi yang masih berlaku hingga hari ini.

Melawan kepraktisan sebagai bentuk dekolonisasi
Studi jurnalisme dan komunikasi Indonesia sekarang cenderung didominasi oleh pengetahuan AS. Beberapa sarjana menyebut ini sebagai kolonisasi pengetahuan komunikasi Amerika yang membuat jurnalisme dan komunikasi Indonesia tergantung pada apa yang dirumuskan oleh Barat.

Isu dekolonisasi menjadi penting dalam pembelajaran jurnalisme dan komunikasi. Sebab, dekolonisasi bukan semata kritik simbolik pada hal yang dianggap datang dari ‘Barat’.

Ia bukan hanya proyek pencarian apa yang dianggap ‘sangat Indonesia’, meromantisasi sejarah dan tak dapat dapat digunakan untuk menghadapi kenyataan sekarang, melainkan kritik yang antikapitalistik.

Masalah dalam jurnalisme kita bukan hanya ‘relevansi dengan teknologi’, melainkan kehilangan fungsi pembebasannya baik di dalam pengembangan pengetahuan maupun praktiknya.

Untuk mendekolonisasi jurnalisme, kampus harus berani berkata ‘tidak’ pada kepentingan industri, atau siapapun, termasuk content creator, yang berkhutbah tentang cara efektif menggunakan media tetapi lupa bicara tujuan utama ‘untuk apa dan untuk siapa sebenarnya kita bermedia?’.

Kampus juga mesti menyediakan mata kuliah yang mampu melihat tumpang tindih kepentingan publik, demokrasi, industri/modal, juga teknologi, meski dinilai abstrak, teoretis dan ‘tidak praktis’ oleh industri.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 Agustus 2025

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

Categories
Kesehatan Sosial Budaya

Media Sosial Bisa Rangkul Orang Tua Cegah ‘Stunting’ pada Anak

  • Media sosial sangat potensial untuk menyebarkan informasi MPASI yang kredibel guna mencegah ‘stunting’
  • Platform ini disukai para ibu karena lebih mudah dijangkau dan praktis dalam mencari informasi MPASI.
  • Pemerintah perlu menyediakan kanal rujukan dalam mencari informasi MPASI kredibel sesuai dengan standar kesehatan.

Tren penggunaan media sosial sebagai sumber informasi makanan pendamping ASI (MPASI) meningkat seiring dengan makin banyaknya jumlah pengguna media sosial dari kalangan ibu muda.

Studi tahun 2024 mengungkapkan bahwa 57% dari 1.631 ibu di Indonesia—terutama Milenial dan Gen Z berusia 26-30 tahun—mencari informasi MPASI lewat media sosial, seperti Instagram dan TikTok.

Pemberian MPASI sejak usia 6 bulan (dengan jumlah, frekuensi, tekstur, serta variasi makanan yang tepat) sangatlah penting, karena bisa mengurangi risiko stunting pada anak. Kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi terus-menerus ini masih menghantui 4,48 juta balita pada 2025.

Untuk membantu menurunkan angka stunting nasional yang masih tergolong tinggi, media sosial bisa dimanfaatkan dalam menyebarkan kampanye pemberian MPASI yang tepat dan kredibel.

Potensi kampanye MPASI lewat media sosial
 Riset tahun 2024 dalam Indonesian Journal of Public Health menunjukkan bahwa para ibu cenderung menyukai konten-konten MPASI dari media sosial. Survei dari Teman Bumil dan Populix pada 2021 mengungkapkan hal serupa. Sebanyak 1.179 ibu bahkan mengaku sering mengikuti tren MPASI di media sosial, baik dari influencer dengan latar belakang pendidikan kesehatan maupun selebritas.

Misalnya, beberapa peserta mengikuti tren baby led weaning (BLW), yang membiarkan anak usia di atas 6 bulan mengonsumsi secara mandiri MPASI dalam bentuk potongan-potongan kecil, seperti sayur rebus, daging ayam rebus, hingga buah potong.

Para ibu beranggapan bahwa media sosial lebih mudah dijangkau, hemat, dan praktis dalam mencari informasi MPASI. Studi tahun 2019 mengungkapkan bahwa para ibu mengaku lebih mudah memahami konten-konten dari ibu lain yang sudah berpengalaman membuat MPASI untuk anak-anaknya. Alih-alih penjelasan dokter yang sering kali sulit dimengerti karena tidak disertai dengan contoh-contoh praktis.

Selain membantu para ibu memperoleh pengetahuan seputar MPASI, media sosial juga menghubungkan para ibu dengan minat yang sama untuk saling mendukung dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberian MPASI yang sehat.

Apabila media sosial dimanfaatkan dengan tepat, platform ini bahkan dapat berperan sebagai pendukung layanan kesehatan yang membantu masyarakat memperoleh informasi kesehatan secara cepat, termasuk seputar MPASI.

Penelitian tahun 2025 yang melibatkan 76 ibu di Kota Bogor, Jawa Barat mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial (seperti Instagram) efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik pemberian MPASI yang tepat.

Secara tidak langsung, hal ini akan mengurangi beban fasilitas maupun tenaga kesehatan di Indonesia yang belum merata, terutama di daerah-daerah kecil.

Media sosial sarana komunikasi publik tepercaya
Di sisi lain, masifnya konten MPASI di media sosial, membuat para ibu merasa kebingungan ketika menerima informasi yang berbeda-beda mengenai suatu topik yang sama. Kebingungan ini terutama dirasakan oleh para ibu berpendidikan rendah, yang lebih rentan mempercayai informasi yang tidak akurat.

Banyak konten-konten MPASI di media sosial yang kebenaran informasinya tidak terverifikasi, memiliki data yang tidak lengkap, dan tersebar luas tanpa adanya pengawasan. Ini berbahaya karena dampak dari konten tersebut bisa menimbulkan risiko serius bagi kesehatan anak.

Salah satu contohnya adalah mitos bahwa MPASI perlu diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan. Faktanya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru menganjurkan agar bayi hanya menerima ASI eksklusif hingga usia 6 bulan guna mencukupi kebutuhan gizinya.

Pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan justru berisiko membuat anak mengalami diare, hingga mengembangkan obesitas di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyediakan kanal media sosial khusus yang membahas topik-topik seputar kesehatan ibu & anak, termasuk pemberian MPASI. Kanal ini bisa menjadi rujukan bagi para ibu dalam mencari informasi kredibel yang sesuai dengan standar kesehatan.

Pemerintah bisa mengadaptasi pendekatan komunikasi terkini yang relevan dan menarik. Kolaborasi dengan influencer berlatar pendidikan kesehatan juga bisa jadi pilihan.

Untuk meluruskan informasi MPASI yang tidak tepat di masyarakat, pemerintah perlu memproduksi konten tandingan yang memverifikasi keilmiahan, serta menjawab mitos dan fakta seputar tren MPASI di masyarakat.

Melalui konten-konten MPASI yang terverifikasi dan disajikan secara menarik, para orang tua dapat belajar langsung mengenai seluk beluk MPASI (seperti pilihan menu, cara memasak, jumlah, frekuensi, hingga penyimpanannya).

Sebagai orang tua, kita juga perlu kritis untuk mengecek kebenaran informasi MPASI dari media sosial. Jangan menelan mentah-mentah informasi dari satu sumber, serta lakukan pengecekan ulang dari sumber terverifikasi lainnya (seperti jurnal ilmiah ataupun pernyataan lembaga kesehatan).

Ketika masyarakat memperoleh informasi MPASI yang kredibel dan memanfaatkannya dengan tepat, kesehatan masyarakat akan ikut meningkat sehingga beban fasilitas kesehatan juga ikut berkurang.

Cegah stunting dimulai dari masyarakat
Di tengah lambannya penurunan angka stunting di Indonesia, pemerintah perlu terus mencari cara untuk menekan kasus penghambat pertumbuhan anak ini. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran media sosial dalam menyebarkan konten MPASI.

Optimalisasi penggunaan media sosial yang terverifikasi bisa menjangkau lebih banyak orang tua untuk mendapatkan informasi yang relevan dan kredibel, mendukung pelayanan kesehatan, menutup kesenjangan informasi antara orang tua dengan tenaga kesehatan, serta meringankan beban fasilitas kesehatan di masa depan.

Cara ini memang tidak bisa menyelesaikan akar masalah stunting yang disebabkan oleh beragam faktor, tapi bisa memperbesar peluang kita untuk mempercepat langkah pencegahan yang dimulai dari masyarakat.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 4 Agustus 2025

Lutviah
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada komunikasi pemberdayaan, promosi kesehatan, gender dan pembangunan.

Categories
Politik

Intoleransi Agama Kian Memburuk di Tengah Rezim yang Makin Otoriter

  • Deretan peristiwa intoleransi menjadi sinyal memburuknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
  • Klientelistime antara elite politik lokal dan rakyat memperparah intoleransi di tengah menguatnya otoritarianisme.
  • Cara pandang moderasi agama yang masih didominasi kontrol negara gagal menyelesaikan persoalan intoleransi.

Tepat sebulan setelah terjadinya peristiwa perusakan rumah singgah dan pembubaran acara retret di Cidahu, Jawa Barat pada 27 Juni lalu, insiden serupa kembali terjadi. Kali ini di Padang, Sumatra Barat, pada 27 Juli, terjadi perusakan rumah doa umat Kristen.

Rentetan peristiwa intoleransi ini menjadi pertanda yang mengindikasikan semakin buruknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, terutama dalam hal kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan.

Sejak Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai presiden pada Oktober 2024, telah terjadi sejumlah peristiwa ancaman terhadap kelompok agama dan/atau pemeluk keyakinan minoritas dalam menjalankan praktik keagamaan dan kepercayaan mereka.

Selain kekerasan terhadap komunitas antaragama, kekerasan juga dialami oleh komunitas intra-agama, seperti yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyyah Indonesia yang mendapat ancaman saat hendak mengadakan acara Jalsah Salanah pada akhir tahun lalu.

Dalam Asta Cita-nya, Prabowo berjanji akan “meningkatan toleransi antarumat beragama” sebagai salah satu visi utama dalam pemerintahannya. Namun, pemerintah justru menunjukkan sikap yang bertolak belakang saat merespons masalah intoleransi.

Alih-alih membela korban, Staf Khusus Menteri HAM malah menyatakan dirinya siap menjadi penjamin penangguhan penahanan bagi para tersangka dalam kasus Cidahu.

Lantas, apa yang membuat praktik-praktik intoleran tetap tumbuh subur di tengah rezim yang kian otoriter ini?

Politikus Demokratis, Tapi Intoleran
Akar dari melemahnya komitmen perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di negara ini sebenarnya sudah tampak sejak masa pemerintahan sebelumnya, Joko Widodo.

Beberapa pakar seperti Marcus Mietzner menyebut bahwa politik Indonesia mengalami proses kemunduran demokrasi dan penguatan otoritarianisme yang berdampak langsung pada melemahnya komitmen pemerintah dalam menjamin hak-hak sipil.

Keterkaitan antara otokratisasi dan intoleransi ini digambarkan dalam istilah “productive intolerance” oleh Jeremy Menchik, fenomena di mana intoleransi justru menjadi alat atau mekanisme yang menghasilkan atau mendukung sistem otokratis.

Dalam konteks ini, intoleransi tidak hanya sebagai sikap negatif terhadap perbedaan, tapi berfungsi secara aktif untuk mengonsolidasikan kekuasaan otoriter dengan menekan oposisi atau menindas kelompok lain sembari memperkuat dominasi kelompok tertentu.

Praktik ini semakin dimungkinkan dengan kehadiran “intoleran democrat”, yaitu para politikus yang terpilih melalui proses demokratis namun melanggengkan praktik intoleran.

Dinamika Politik Lokal
Dinamika politik lokal juga sangat berperan dalam merangsang atau menekan tumbuhnya intoleransi.

Indeks Kota Toleran yang dikembangkan oleh SETARA Institute memberikan gambaran yang komprehensif tentang pengaruh dari ekosistem politik lokal terhadap kondisi toleransi di satu wilayah.

Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan oleh SETARA Institute pada Mei 2025, hanya ada 10 kota yang dianggap berhasil menjaga iklim keberagaman. Mereka menerapkan aturan daerah yang mampu mencegah radikalisme, diskriminasi, serta kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Laporan yang sama menyebutkan, alokasi anggaran untuk inisiatif kegiatan sosial lintas iman oleh pemerintah daerah berperan dalam memperkuat ekosistem toleransi di beberapa kota, seperti yang dilakukan di Salatiga dan Semarang.

Sebaliknya, jika elite politik yang didukung kelompok intoleran menang, patronase antara elite politik dan kelompok intoleran cenderung berlanjut. Beberapa daerah yang masuk dalam kategori intoleran adalah beberapa kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Banda Aceh, Lhoksumawe, dan Sabang.

Selain ketiadaan kepemimpinan politik dan inisiatif birokratis dalam memungkinkan kehidupan yang toleran, konsepsi kewarganegaraan di Aceh dibangun atas dasar dorman citizenship, di mana kaum muslim dianggap sebagai warga negara utama yang menjadi tuan rumah di provinsi yang menerapkan syariah; sedangkan yang non-muslim menjadi warganegara kelas kedua, sehingga diskriminasi terhadap minoritas tak terhindarkan.

Klientelisme Politik
Adanya hubungan klientelistik antara elite politik lokal dan rakyat di beberapa daerah, terutama pada masa pemilihan daerah, menyuburkan intoleransi dalam sistem yang makin otoriter.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Tasikmalaya menunjukkan bahwa banyak jemaat Ahmadiyah kesulitan mengakses jasa publik dan perlindungan dari pemerintah karena adanya kontrak politik antara pemimpin daerah dengan tokoh agama anti-Ahmadiyah.

Praktik serupa juga terjadi di Aceh. Klientelisme politik antara elite dan ulama dari dayah (pesantren tradisional) membuka ruang bagi lahirnya praktik intoleransi yang bersifat sektarian seperti fatwa yang membatasi kegiatan keagamaan kelompok Salafi.

Penelitian lain yang menelisik persepsi umat muslim terhadap etnis Tionghoa di Indonesia juga menunjukkan bahwa sikap intoleransi sering dimobilisasi dengan adanya hubungan klientelistik antar religio-political entrepreneur dengan beberapa segmen masyarakat muslim di Indonesia.

Penelitian ini menyebutkan bahwa sikap anti-minoritas merupakan sikap yang melekat di kelompok politik Islamis, yang berpengaruh pada bagaimana masyarakat muslim di Indonesia menyikapi isu pengadilan Basuki Tjahaja Purnama pada 2016.

Moderasi Semu
Moderasi awalnya ditawarkan sebagai narasi untuk menangkal radikalisasi di tengah masyarakat pada awal tahun 2000-an. Saat itu, Indonesia menghadapi serangkaian serangan teror yang digerakkan oleh beberapa individu yang terpengaruh ide-ide radikal.

Ide-ide moderasi keberagamaan kemudian mulai dilembagakan di masa kepresidenan Megawati Sukarnoputri melalui 1st International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada 2004. Namun, pelembagaan ini banyak tersandung hambatan domestik dengan adanya kasus diskriminasi keagamaan yang begitu marak dan pengaruh politik keagamaan yang kuat di Indonesia.

Di era Joko Widodo, moderasi keberagamaan diperkuat dengan pendirian lembaga seperti BPIP dan institusionalisasi praktik moderasi di Kementerian Agama melalui pendirian rumah moderasi.

Akhir-akhir ini, Kementerian Agama di era Prabowo juga menawarkan gagasan Kurikulum Cinta untuk membuat moderasi bisa dipahami tidak hanya sebagai konsep, namun juga sebagai sikap hidup. Jika melihat indikator yang dirilis oleh Pew Research Center pada 2024, Indonesia masih memiliki tingkat Government Restriction Index yang amat tinggi di angka 7,9 dan tingkat Social Hostility Index yang tinggi di angka 4,7.

Memang, jika dibandingkan dengan indeks dari tahun 2007, Indonesia telah mengalami perbaikan dalam kedua indeks dalam isu pembatasan pemerintah dalam KBB serta indeks kekerasan sosial.

Namun, tidak adanya perubahan cara pandang moderasi yang masih berbasis kontrol dominan negara dalam pengelolaan agama tidak akan menyelesaikan persoalan intoleransi.

Menyemai Solidaritas Dari Bawah
Praktik-praktik solidaritas antaragama dan intra-agama dimungkinkan oleh adanya peran kolaboratif antara aktor negara dan masyarakat. Negara perlu hadir sebagai penjamin kebebasan beragama, bukan hanya sebagai tukang ronda yang hanya menindak kasus-kasus pelanggaran kebebasan tersebut ketika terjadi.

Inisiatif bersifat organik, seperti membuka ruang perjumpaan antar komunitas antaragama dan intra-agama, penguatan solidaritas sosial melalui kolaborasi kegiatan, serta pengenalan keberagaman agama sejak dini, dapat membantu memperkuat toleransi dan solidaritas antar warga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 1 Agustus 2025

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Sosial Budaya

Regulasi Konten di Platform Digital

Komisi I DPR RI dalam tiga bulan terakhir menggelar pembahasan maraton terkait revisi UU Penyiaran No. 32/2002. Ada indikasi pembahasan dipercepat, meski risikonya produksi aturan jadi tidak tuntas. Dari sejumlah isu yang terbengkalai sejak gagasan revisi muncul di tahun 2012, ada sedikitnya tiga isu besar yang kini mendapat perhatian serius dan menjadi penyebab perlunya revisi UU Penyiaran disegerakan.

Pertama, pengaturan terkait konten dan tata kelola penyiaran yang menggunakan saluran platform digital (OTT, media sosial dan kecerdasan buatan/AI), agar ada keselarasan dengan lembaga penyiaran lain dalam ekosistem bisnis terbuka. Kedua, pengaturan penguatan Komisi Penyiaran sebagai regulator yang berwibawa, profesional seperti di negara maju. Ketiga, regulasi untuk transformasi lembaga penyiaran publik (RRI, TVRI), penyatuan keduanya dengan LKBN Antara menuju media yang profesional. Artikel pendek ini fokus kepada isu pertama.

Disparitas Regulasi
Merespons upaya Komisi I DPR tersebut, kiranya perlu dipahami dua hal. Pertama, mencermati beragam regulasi media penyiaran di negara industri media yang maju, seperti Kanada, Australia, Jerman, atau Amerika Serikat, regulasi terkait penyiaran konvensional dan platform digital serta produksi siaran yang memakai saluran media sosial dan AI cenderung beragam, tidak terpusat pada satu UU tertentu. Ini disebabkan perbedaan model bisnis, struktur teknologi, sejarah kelahiran, tata kelola produksi dan ekosistem atau aktor/pihak terkait, khususnya platform digital yang berskala global.

Kedua secara umum, perlu terlebih dahulu dilakukan redefinisi konsep ‘penyiaran’, memasukkan penyiaran berbasis (terestrial) dan berbasis platform (VOD/OTT, media sosial dan AI). Nah, pengaturan konten berbasis media sosial AI dapat dimandatkan ke UU ITE (yang direvisi) karena UU Penyiaran perlu tetep berfokus kepada sistem penyiaran klasik, terestrial digital, termasuk over the top seperti Netflix, Video, atau Amazone-Prime yang tetap sangat urgen dan karena melibatkan kerja korporasi media secara utuh (dari ide, produksi, supervis, hingga diseminasi) agar memenuhi kepentingan publik.

Sementara itu, konten siaran yang disalurkan media sosial perlu diatur tersendiri di luar rezim UU Penyiaran, karena proses produksinya melibatkan publik selaku produsen (user generated content). Dalam konteks ini, ekosistem aktornya lebih kompleks dan memerlukan intervensi platform digital selaku penyedia lapak (layar). Menarik dicatat, sudah cukup banyak regulator negara yang mengatur platform digital. Misalnya Komdigi dari sisi tata kelola teknologi/infrastruktur dan konten khusus, Dewan Pers (etik konten: utamanya menyasar jurnalis), Komisi Penyiaran Indonesia (etik: menyasar lembaga penyiaran), Komite tanggung jawab platform untuk jurnalisme berkualitas (pembagian keuntungan bisnis antara platform digital global dengan penyedia konten lokal).

Terdapat disparitas asumsi terkait posisi platform digital sebagai media, perusahaan global sektor ‘media komunikasi’ seperti halnya media konvensional, atau hanya rumah besar konten penyiaran. Perdebatan masih terjadi karena ekosistem bisnis platform yang berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional. Dalam praktek, ada variasi regulasi penyedia konten digital, sejak pengenaan pajak pendapatan oleh Kementerian Keuangan, pemberlakuan kode etik relasi antara platform dengan pengguna dalam kerangka self-regulation lewat community guidelines; kewajiban take down akun media sosial oleh Komdigi yang terbatas untuk tiga isu yaitu terorisme, pornografi, judi/narkoba; kewajiban moderasi konten dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (self-regulation antara perusahaan platform-users).

Lalu di mana letak urgensi pengaturan platform digital (UGC) dalam UU Penyiaran? Hingga saat ini,regulasi publik terkait layanan video on demand oleh perusahaan OTT seperti Netflix, Apple, Amazone-Prime, masih kosong, nir-regulasi. Jika merujuk model di Kanada, maka ada tiga opsi regulasi yang berbeda: (1) penyiaran klasik/digital terestrial, (2) penyiaran berbasis jalur streaming, (3) pengaturan konten siaran di platform media sosial. Apakah di Indonesia ketiga klaster ini akan diatur dalam UU tunggal? Jika ya, maka akan terjadi kondisi obesitas regulasi yang dapat memperlambat implementasinya. Juga, perlu penguatan Komisi Penyiaran Indonesia yang perlu didiskusikan tersendiri.

 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 21 Juli 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Politik

Politik Kepemimpinan Integritas Indonesia Era Prabowo

Prabowo-Gibran dapat menjadikan ajaran Umar bin Abdul Aziz sebagai role model.

 Selasa 25 februari 2025 sudah memasuki 128 hari Prabowo-Gibran bekerja sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia setelah dilantik pada 20 oktober 2024. Tentunya masih banyak yang menjadi sorotan utama dalam politik Indonesia. Salah satunya adalah persoalan kepemimpinan integritas, apakah era Prabowo-Gibran sudah merealisasikan jiwa kepemimpinan yang berintegritas? Mengingat ada beberapa hal yang menjadi catatan publik yang mengarah pada tren negatif atas kinerja Prabowo-Gibran.

Kepemimpinan integritas merupakan kepemimpinan berkualitas yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan memiliki prinsip moral yang kuat. Itulah mengapa sikap kepemimpinan integritas harus dimiliki oleh figur pemimpin. Dengan kaya lain bahwa tindakan seorang pemimpin harus selaras dengan nilai dan prinsip yang dipegang yang mengedepankan keadilan dan kemashlahatan negara.

Perlu dicatat bahwa sikap integritas bukan warisan dari DNA namun muncul dari proses dan dibentuk melalui etika dan nilai. Seorang presiden Amerika, Dwight D. Eisenhower mengatakan: “Kualitas tertinggi untuk kepemimpinan adalah integritas.”

Kepemimpinan Integritas era Prabowo
Di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin berkembang, perdebatan mengenai pentingnya kepemimpinan yang berintegritas semakin mengemuka. Usai Prabowo-Gibran dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia, ada beberapa kasus yang membuat kepemimpinan integritas Prabowo-Gibran membuat skeptis rakyat Indonesia.

Mulai dari tingkah laku menteri/wakil menteri serta pejabat yang notabene langsung di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran yang tidak ditindak ketika sudah nyata-nyata terindikasi melakukan kesalahan dan melukai hati rakyat Indonesia. Seperti penyalahgunaan jabatan oleh Yandri Susanto selaku Menteri Desa yang membantu kemenangan istrinya sebagai bupati Serang dengan mengarahkan kepala desa untuk mendukung istrinya.

Selain itu, Gus Miftah selaku Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan berbicara tidak sopan di hadapan publik meskipun pada akhirnya ia mundur dari jabatannya tersebut. Kemudian Bahlil Lahadalia selaku menteri ESDM terkait mengambil kebijakan melarang pedagang eceran menjual gas elpiji 3 kilogram sehingga membuat gaduh di masyarakat.

Terdapat juga soal Budi Ari Setiadi mantan Menteri Kominfo dandi era Prabowo-Gibran yang menjabat sebagai Menteri Koperasi. Dalam kasus Budi Ari, mantan anak buahnya di Kominfo tertangkap dalam upaya melindungi seribu situs judi online. Selain itu, Satryo Soemantri Brodjonegoro selaku Mendiktisaintek yang melakukan pemecatan pegawai yang tidak sesuai prosedur pada akhirnya di-reshuffle oleh Presiden. Ada juga laporan dari OCCRP yang menyebut Jokowi salah satu tokoh nominasi terkorup di tahun 2024.

Sebagai pemimpin tertinggi di republik Indonesia, seharusnya pemerintah Prabowo-Gibran menindaklanjuti dan berusaha mengurai persoalan tersebut. Pemimpin harus menegakkan law enforcement dengan seadil-adilnya serta menyuarakan hati nurani rakyat. Pemerintah Prabowo-Gibran sudah seyogianya memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme secara tegas dan tidak pandang bulu. Hal ini juga yang sering di ucapkan oleh Prabowo diberbagai macam event kegiatan serta pidato politiknya.

Meskipun ada beberapa program yang dirasa telah memprioritaskan kepentingan rakyat Indonesia seperti makan bergizi gratis, melakukan efisiensi anggaran bagi pejabat, para menteri dan wakil menteri, bonus isi ulang listrik bulan Januari-Februari 2025 sampai program investasi Danantara, kesemuanya itu perlu diawasi dan dievaluasi apakah sudah tepat dan efektif.

Robert Nesta Marley yang dikenal dengan panggilan Bob Marley, seorang musisi Reggae dari Jamaika pernah mengatakan bahwa: “Kehebatan seorang manusia bukanlah pada seberapa banyak kekayaan yang dia peroleh, tetapi pada integritasnya dan kemampuannya untuk mempengaruhi orang orang di sekitarnya secara positif.”

Belajar Dari Umar Bin Abdul Aziz
Banyak tokoh dan pemimpin dunia yang memiliki integritas yang patut diteladani. Salah satu sosok yang sering disebut dalam hal integritas adalah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Dinasti Umayyah yang dikenal sebagai pemimpin yang berorientasi pada keadilan dan moralitas tinggi.

Jika mau jadikan teladan dalam kepemimpinan yang berintegritas, Prabowo-Gibran dapat menjadikan ajaran Umar bin Abdul Aziz sebagai acuan dan role model pemimpin yang penuh integritas. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang dikenal karena kebijakan-kebijakan revolusionernya dalam memperbaiki moralitas pemerintahan dan mengembalikan pemerintahan yang berorientasi pada keadilan serta kesejahteraan rakyat.

Keberanian Umar bin Abdul Aziz dalam menegakkan keadilan adalah contoh nyata bagi para pemimpin masa kini, termasuk Prabowo-Gibran yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Dalam konteks politik Indonesia yang dipenuhi dengan tantangan serius terkait korupsi, ketimpangan sosial, dan manipulasi kekuasaan, integritas kepemimpinan menjadi sangat vital untuk menjaga kepercayaan publik dan menciptakan pemerintahan yang bersih (good governance).

Pemimpin Berorientasi Pada Rakyat
Salah satu ajaran yang bisa diterapkan adalah bagaimana menjaga jarak dengan kekuasaan dan tidak terjebak dalam perilaku koruptif. Dalam kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yaitu mengembalikan harta yang diperolehnya selama menjabat untuk kepentingan masyarakat. Ini adalah contoh yang bisa menjadi model bagi Prabowo-Gibran dalam membuktikan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.

Selain persoalan di atas, korupsi juga masalah besar yang terus menghantui Indonesia. Salah satu contoh korupsi yang dilakukan oleh Harvey Moeis yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Bahkan yang terbaru terkait kasus korupsi dimana Kejagung menetapkan 7 tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang merugikan negara mencapai Rp 193,7 triliun.

Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa pemimpin berintegritas dapat menghapus korupsi dengan kebijakan tegas dan jelas. Kepemimpinan yang tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan adalah kunci menciptakan pemerintahan bersih dan transparan.

Mewujudkan Kepercayaan Rakyat
Prabowo-Gibran jika ingin dipercaya rakyat Indonesia harus memiliki tekad yang kuat untuk memberantas korupsi di segala lapisan pemerintahan. Integritas bukan hanya tentang tidak terlibat dalam tindakan koruptif, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap pejabat dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas utama dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.

Semoga Rezim Prabowo-Gibran tidak sekadar omon omon dan berusaha mampu menjadi pemimpin Indonesia yang mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan oleh Umar bin Abdul Aziz untuk memastikan bahwa kepemimpinan yang dijalankan benar-benar untuk kepentingan rakyat. Kepemimpinan yang berintegritas adalah kunci untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 2 Maret 2025

Willi Ashadi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset mencakup politik Islam, kajian Timur Tengah, gerakan Islam global, dan keamanan manusia dalam Islam.

 

Categories
Politik

Antara Profesionalisme dan Dualisme TNI

Pengawalan publik terhadap dinamika RUU TNI perlu terus dijaga.

Era reformasi telah lebih dari 25 tahun berlalu, dan Indonesia tidaklah lagi seperti yang dulu. Salah satu perubahan utama adalah tumbangnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto dan digantikan oleh pemerintahan sipil dari hasil tekanan hebat masyarakat, yang kemudian melahirkan norma baru dalam politik Indonesia: profesionalisme militer.

Era reformasi membawa babak baru posisi militer di Indonesia, di mana militer dituntut untuk berfokus kembali pada tujuan utamanya untuk pertahanan nasional dan menanggalkan peranannya dalam politik praktis serta kekuasaan di berbagai posisi pemerintahan, sebuah peranan besar yang sebelumnya mengakar dalam tentara Indonesia. Perubahan ini disambut positif masyarakat Indonesia, melihat masa depan sipil yang lebih bebas dan independen dalam bersuara maupun berkontribusi dalam perpolitikan nasional.

Namun, perkembangan politik terkini terlihat menjurus ke arah sebaliknya. Dimulai dari pengangkatan sejumlah pejabat aktif kepolisian dan militer untuk memegang posisi penting dalam pemerintahan sipil, hingga dimasukkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI di tahun 2025, di mana salah satu poinnya membahas kewenangan personel aktif TNI untuk menjabat di sektor publik. Hal ini semakin memperkuat kekhawatiran akan komitmen menjaga integritas TNI dalam mencegah munculnya dualisme di dalamnya, antara sebagai penjaga pertahanan dan sebagai pelaku aktif dalam politik praktis.

Militer dan Sipil dalam Demokrasi
Profesionalisme militer bukanlah konsep baru. Samuel Huntington, akademisi ternama terkait relasi sipil-militer, berpendapat bahwa perlu ada pemisahan kekuasaan antara pemerintahan sipil dan militer dalam demokrasi. Hal ini penting untuk menjamin berjalannya pemerintahan berbasis pada suara rakyat, sehingga memiliki akuntabilitas kepada publik.

Di sisi lain, dengan tidak masuknya militer ke dalam politik praktis akan meningkatkan efektivitasnya di sektor pertahanan dan keamanan karena militer mampu berfokus pada keahliannya tanpa perlu pertimbangan politis yang besar. Dengan kata lain, sipil berfokus pada pemerintahan dan keputusan politik, sedang militer berfokus pada pengembangan kekuatan pertahanan dan keamanan.

Namun, implementasi profesionalisme militer sering kali kabur, seperti yang terlihat di Thailand dan Mesir. Di Thailand, militer memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan dan telah melakukan lebih dari 20 kudeta, dengan kudeta terakhir pada 2014 yang memperkuat posisinya melalui konstitusi baru. Meski pemilu 2023 menghasilkan kemenangan Move Forward Party, partai tersebut tidak dapat menunjuk Perdana Menteri karena dihalangi Senat yang dipilih oleh militer, dan akhirnya dibubarkan pada 2024 oleh Mahkamah Konstitusi.

Di Mesir, kudeta militer oleh Jenderal Abdul Fattah as-Sisi pada 2014 awalnya dianggap sebagai solusi kebuntuan politik, namun kemudian as-Sisi menggunakan kekerasan untuk membungkam oposisi dan menekan media. Ia juga mencanangkan pemindahan ibukota yang dikritisi sebagai penguat posisi militer, dengan perusahaan militer menguasai proyek pembangunan yang meningkatkan pemasukan militer, serta sistem pengawasan canggih untuk mencegah demonstrasi.

Indonesia sendiri pernah mengalami pemerintahan di bawah kendali militer selama 32 tahun. Pada awal perubahan rezim, terlihat bagaimana kekuatan militer digunakan untuk membungkam oposisi guna memastikan posisi Presiden bisa didapatkan pada 1966. Pun dalam upaya mempertahankan posisi sebagai Presiden selama 32 tahun kepemimpinan dengan penempatan personel aktif militer di berbagai pos penting pemerintahan. Rezim yang kemudian digulingkan karena kekecewaan yang memuncak pada 1998 dan melahirkan reformasi dalam sejarah Indonesia.

Refleksi Kembali Amanat Reformasi
Melihat dinamika domestik saat ini, terlihat mulai muncul kembali dualisme dalam TNI, salah satunya dari tingginya jumlah personel aktif militer dalam tubuh pemerintahan. Sejak 2019-2024, tercatat lebih dari 1.500 personel aktif TNI telah menduduki jabatan sipil di berbagai sektor. Beberapa jabatan di antaranya juga ditengarai ilegal karena menyalahi UU TNI. Sayang, kondisi ini diterjemahkan pemerintah bukan dengan mengevaluasi jumlah personel aktif TNI dalam pemerintahan, namun dengan upaya revisi UU TNI yang sebelumnya menjunjung nilai profesionalisme militer.

Pengawalan publik terhadap dinamika RUU TNI perlu terus dijaga. Semangat reformasi untuk menjamin demokrasi perlu dipertahankan dengan memastikan profesionalisme TNI sebagai penjaga pertahanan dan keamanan nasional dengan tetap mempertimbangkan sisi kemanusiaan personelnya. Demokrasi berdiri di atas nilai akuntabilitas, di mana pemerintahan yang berjalan berdasar pada pilihan rakyat tanpa ada intervensi di dalamnya. Menjaga integritas profesionalisme TNI tidak hanya menjadi tembok penjaga pertahanan dan keamanan negara, namun juga menjadi penjaga marwah institusi TNI di mata rakyat Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 1 Maret 2025

Enggar Furi Herdianto
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada kajian Asia Tenggara, kajian Asia Timur, ekonomi polit global, kebijakan industri otomotif, dan diplomasi publik.

Categories
Politik

Jangan Sampai Kita Mengikuti Venezuela

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pernahkah Anda mendengar nama Hugo Chavez? Dia adalah pemimpin otoriter Venezuela dari tahun 1999 hingga tahun 2013.

Chavez menjadi otoriter setelah secara demokratis terpilih menjadi pemimpin negara Amerika Latin tersebut. Proses menuju otoritarianisme tersebut melalui beberapa proses: penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, pembungkaman media, dan kejadiannya terjadi secara berangsur-angsur. Kita patut mewaspadai tanda-tanda proses tersebut agar kita bisa mengawal negara kita sendiri untuk tidak kembali pada otoritarianisme.

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, terpilih secara demokratis pada Pemilu tahun 2024. Dalam proses pencalonannya, hukum di Indonesia disesuaikan secara legal untuk melancarkan pencalonan wakilnya, Gibran, anak dari presiden sebelumnya, Joko Widodo.

Masyarakat mengingat bagaimana kasus ini bergulir di MK serta dinamikanya yang cukup mencuri perhatian masyarakat. Salah satunya terkait dengan usia minimum untuk dapat menjadi wakil presiden. Beberapa ahli, seperti Muhammad Tri Adika berpendapat bahwa Gibran menjadi kendaraan Prabowo untuk mendapatkan hati pendukung  Joko Widodo di daerah-daerah di Indonesia. Demokrasi biasanya mati secara perlahan bukan karena kudeta.

Pada tahun 2025, ketika Prabowo dilantik menjadi presiden, dalam politik Tanah Air, kita dapat melihat terlemahkannya toleransi antar aktor politik dan antar masyarakat, serta nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Kabinet gemuk yang dimiliki saat ini menunjukkan bagaimana oposisi hampir-hampir ditiadakan. Partai-partai pendukung Anies kini masuk ke rombongan besar ini. Dan hanya PDIP yang nampak berperan sebagai oposisi di tengah pemerintah.

Meskipun kita dapat mengkritisi kader-kader tindakan PDIP yang sempat tidak mengikuti retret kepala daerah karena kepala daerah adalah petugas rakyat dan bukan hanya petugas partai, kita bisa berargumen bahwa ada indikasi gaslighting yang dilakukan oleh pemerintahan pemegang kuasa dalam hal tersebut.

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, kebijakan juga seharusnya berpihak pada rakyat. Akan tetapi, kejadian ironis di kala seorang ayah di-PHK demi efisiensi dan pajak negara digunakan untuk Program Makan Siang Gratis.

Hal ini mungkin terjadi karena adanya miskoordinasi di dalam badan-badan milik pemerintah. Dalam kesempatan lain, pemerintah, dianggap oleh beberapa kalangan, membungkan kebebasan pelukis dan musisi yang menyuarakan kritik mereka melalui karya seni, seperti lagu “Bayar, bayar, bayar” dan lukisan “Tikus Garuda” yang “diamankan”. Namun, hal ini bisa saja terjadi karena koordinasi dan komunikasi yang kurang lancar. Bagaimanapun itu, kita perlu melihat seperti apa sebenarnya kasus ini bergulir.

Jika kita pantau lebih lanjut dan membandingkan apa yang terjadi di Indonesia dengan apa yang terjadi di Venezuela pada masa awal Hugo Chavez, kita bisa melihat persamaan penafikan aturan demokrasi, penolakan legitimasi lawan, penggunaan kekerasan, dan pengebirian kebebasan sipil.

Kita sedang menyaksikan mahasiswa dianggap “gaduh” dan “mengganggu” ketika sedang berunjuk rasa menolak pemotongan anggaran pendidikan. Kemudian hampir tiadanya oposisi di dalam pemerintahan, represi pada protes menentang Program Makan Siang Gratis oleh orang-orang Papua, serta pembungkaman secara halus akademisi, seniman, dan media melalui cara-cara seperti pengelolaan tambang.

Hal-hal tersebut adalah awal mula dari melemahnya demokrasi di negara ini. Bisa saja ada oknum yang menggunakan kekuasannya untuk memperkeruh suasana. Kita perlu duduk sebentar dan merenunginya, kemudian mempertayakan, apa yang sebenarnya terjadi.

Selanjutnya, institusi-institusi di pemerintahan mulai memperlihatkan perlemahan demokrasi dan kurangnya check and balances antar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di negara ini. Eksekutif dapat mengeluarkan aturan dan program dengan mendapatkan persetujuan dari DPR. DPR kita saat ini sudah didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintah.

Dan peraturan-peraturan kini dapat diubah melalui Mahkamah Konstitusi. Hampir tidak adanya oposisi akan berakibat pada tidak adanya pihak yang mengawasi kinerja pemerintah. Memang, dalam praktiknya, kondisi yang demikian itu akan lebih melancarkan program-program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat jika dijalankan oleh orang-orang yang berintegritas dan berkomitmen untuk pembangunan bangsa. Akan tetapi, dengan minimnya check and balances tersebut, rakyat dapat menjadi pihak yang senantiasa mengawasi pemerintah secara langsung, agar oknum-oknum nakal dapat diminimalisasi.

Ketika aktor pemerintahan tidak bisa lagi mengawasi jalannya pemerintahan, Masyarakat melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial), adalah cara berikutnya untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Sayangnya pada masa ini, algoritma dalam penggunaan media sosial atau elektronik sudah membuat semacam gelembung informasi. Seorang hanya akan mendengar atau menyaksikan informasi sesuai dengan kesukaan dan kebutuhannya saja, bukan informasi yang memang dia perlu untuk ketahui.

Sekarang ini pula, suatu berita tidak akan langsung dapat dikonsumsi atau disaksikan oleh masyarakat. Seorang pasangan yang tinggal dalam satu rumah saja dapat memperoleh narasi yang berbeda atas suatu kejadian berdasarkan algoritma yang mereka terima. Penyebaran informasi menjadi tidak merata.

Dengan kondisi saat ini, kesadaran masyarakat terhadap media yang kredibel mulai tergantikan oleh media sosial. Sehingga, Masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengkritisi sesuatu yang mereka tidak ketahui. Situasi ini membuat pemerintah, tidak perlu bersusah payah membatasi peran media di Masyarakat seperti yang terjadi di Venezuela pada era 2000-an.

Penggunaan buzzer juga menjadi sarana untuk melawan isu yang beredar di masyarakat seperti dalam kasus protes Indonesia Gelap yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Sudah seharusnya, kita menjadi lebih kritis terhadap apa yang pemerintah laksanakan. Dengan demikian, kita bersama dengan pemerintah, dapat membangun Indonesia menjadi negeri yang lebih maju.

Dari kenyataan yang kita hadapi saat ini, kita dapat mulai mewaspadai pihak-pihak yang dapat mengancam keberlangsungan kebebasan dan demokrasi di negara ini. Berkaca pada Hugo Chavez, bibit-bibit penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, dan pengebirian media sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat. Kita harus dapat waspada dan terus mengawasi orang-orang yang berkuasa agar Indonesia dapat tetap maju menjadi bangsa yang menyejahterakan masyarakatnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 3 Maret 2025

Mohamad Rezky Utama
Minat penelitian berfokus pada diplomasi, politik identitas, politik keagamaan, kebijakan luar negeri, Timur Tengah, dan kelompok kepentingan internasional. Bidang keahlian meliputi Politik Timur Tengah serta Aliran Keagamaan dan Politik.

Categories
Ekonomi

Survive di Masa Sulit

Isu tentang turunnya daya beli masyarakat (terutama kelas menengah bawah) bukanlah isapan jempol. Data BPS menunjukkan, proporsi penduduk kelas menengah di Indonesia menurun dari 21,59 tahun 2019 menjadi 17,196 pada 2024, sekitar 10 juta orang. Ekonomi Indonesia juga hanya tumbuh 4,879 (YoY Q1-2025) yang merupakan pertumbuhan paling lambat sejak kuartal III 2021; dengan komponen konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89% level terendah selama lima kuartal terakhir.

Data yang lebih “operasional’ dari survei Bank Indonesia menunjukkan adanya penurunan penjualan eceran sebesar -4,7% YoY (Januari 2025). Hal ini diperkuat dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) anjlok dari 222 di Desember 2024 menjadi 211,5 di Januari 2025. Sementara di sisi konsumen Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun dari 127,2 pada Januari menjadi 126,4 di Februari 2025, yang menunjukkan adanya pelemahan optimisme masyarakat.

Menghadapi fenomena tersebut perlu melakukan literasi kepada publik bagaimana mengelola pengeluaran yang bijak sehingga tetap bisa hidup berkualitas di tengah tekanan ekonomi yang sulit saat ini.

Frugal Living
Dalam situasi keterbatasan pendapatan dan menurunnya daya beli, frugal living merupakan pilihan gaya hidup yang tepat, yaitu gaya hidup hemat yang berfokus pada pengeluaran yang bijak dan efisien, tanpa mengorbankan kualitas hidup. Tujuannya untuk mengelola keuangan secara cerdas, menghindari pemborosan, dan mencapai kesinambungan finansial jangka panjang. Tujuan frugal living tercapainya kebebasan finansial, mengurangi stres, gaya hidup yang berkelanjutan, dan peningkatan kualitas hidup.

Kebebasan finansial akan tercapai bila pengelolaan keuangan dilakukan secara cermat menggunakan skala prioritas pengeluaran. Pengaturan pengeluaran secara bijak akan mencegah terjadinya pola hidup yang lebih besar pasak daripada tiang yang berujung pada hutang. Dengan cara tersebut, “stres akibat tekanan finansial dapat dikurangi dan kelangsungan hidup jangka panjang secara berkelanjutan (sustainable living) lebih terjamin. Bahkan dengan pola hidup yang hanya berfokus pada hal yang benar-benar penting akan membawa kepuasan dan kualitas hidup yang lebih tinggi.

Skala Prioritas
Dalam keterbatasan pendapatan, pengaturan pola konsumsi menjadi kata kunci untuk bisa tetap hidup berkualitas. Beberapa prinsip konsumsi yang relevan untuk diterapkan adalah: skala prioritas kebutuhan, belanja cerdas, dan memaksimalkan penggunaan barang.

Menentukan skala prioritas dalam pola konsumsi bisa dicapai bila kita mampu membedakan mana yang merupakan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi, dan mana yang pemenuhannya atau bahkan tidak sama sekali, tergantung besarnya pendapatan. Sayangnya, tidak sedikit masyarakat yang masih terjebak denganlife style sebelumnya, padahal kemampuan daya belinya sedang menurun.

Prinsip lain dalam berkonsumsi adalah belanja cerdas dengan memanfaatkan discount atau promo yang ada, atau bahkan membeli barang bekas dengan kualitas yang masih baik. Prinsip terakhir adalah memaksimalkan penggunaan barang yang ada secara maksimal diserta perawatan yang terstandar sehingga masa pakainya menjadi lebih panjang.

Dengan pengaturan pola konsumsi yang berbasis pada skala prioritas diharapkan masyarakat akan tetap bisa memenuhi kebutuhannya dan terhindar dari pola hidup “gali lubang tutup lubang hanya karena ingin mempertahankan gaya hidup dan demi gengsi. Berhutang untuk memenuhi kebutuhan bukanlah penyelesaian masalah, tapi justru akan menimbulkan masalah baru yang lebih rumit penyelesaiannya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 11 Juli 2025

 Arif Hartono
Dosen Jurusan Manajemen FBE UII dan Wakil Ketua Lembaga Ombudsman DIY. Bidang riset pada manajemen sumber daya manusia dan metolodogi penelitian sumber daya manusia.

Categories
Ekonomi Politik

Danantara, Cui Bono?

Kita tidak bisa hanya sekadar melihat Danantara sebagai sebuah lembaga negara baru.

Senin (24/2/2025) lalu, Presiden Prabowo didampingi oleh mantan presiden SBY dan Jokowi meresmikan Danantara. Dalam pidatonya, Prabowo menekankan bahwa Danantara bukan sekadar menjadi badan pengelola investasi, melainkan “harus menjadi instrumen pembangunan nasional”. Ia juga meyakinkan negara lain bahwa dengan pembentukan Danantara ini, Indonesia terbuka untuk kerja sama dengan negara mitra dari seluruh dunia.

Ketika menyaksikan peresmian Danantara, kita tidak bisa hanya sekadar melihatnya sebagai sebuah lembaga negara baru. Ada pesan tersirat atas struktur kekuasaan ekonomi politik yang disampaikan melalui Danantara ini. Di sinilah pertanyaan dari pemikir Ekonomi Politik Mazhab Inggris mendiang Susan Strange teresonansi, Cui Bono? Bagi siapa struktur kekuasaan itu memberikan keuntungan? Bagi siapa sebenarnya struktur kekuasaan yang dibentuk melalui Danantara itu memberikan keuntungan?

Menyoal Transparansi
Setelah terbentuk, Danantara mendapatkan amanat dana publik yang tidak tanggung-tanggung. Merujuk pada pidato Prabowo, Danantara akan mengelola 900 miliar dolar AS. Uang ini berasal dari aset BUMN yang digabung ke dalam Danantara maupun pemotongan anggaran dari serangkaian efisiensi yang telah dan hendak dijalankan.

Sayangnya, pengelolaan dana sebesar ini masih jauh dari transparansi. Secara legal-formal, Danantara diklaim berlandaskan pada UU Nomor 1 tahun 2025 yang merupakan revisi ketiga dari UU BUMN Nomor 19 tahun 2003. Hingga artikel ini ditulis, UU tersebut belum dapat ditemukan di JDIHN (Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Nasional). Malah, dokumen UU tersebut sudah lebih dahulu ditemukan di media sosial maupun aplikasi pesan singkat.

Selain masalah transparansi dari sisi legal formal, peresmian Danantara pada Senin lalu masih menyisakan kerancuan mengenai posisi Danantara dalam struktur pemerintahan. Jika Danantara tidak hanya menjadi Badan Pengelola Investasi namun juga menjadi instrumen pembangunan, maka apakah Danantara menjadi tumpang tindih dengan Kementerian BUMN yang sudah ada? Ataukah, Danantara akan menambah lapisan birokrasi baru dalam pengelolaan BUMN yang ada?

Lebih dari itu, pemilihan para pengelola dan pengawas Danantara juga membuka tanda tanya yang semakin luas. Kepala Danantara yang ditunjuk adalah Rosan Roeslani, yang bukan hanya seorang Menteri Investasi sekaligus pebisnis dengan jejaring luas, tetapi pada pemilu 2024 lalu menjadi Ketua Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. Salah seorang wakilnya, Pandu Sjahrir, juga tidak bisa dilihat hanya sebagai pebisnis batu bara, tetapi juga masih kerabat dekat Luhut Binsar Panjaitan. Pengawas Danantara juga tidak hanya mantan Presiden hingga mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Tetapi, Presiden Prabowo juga hendak mengajak ormas keagamaan.

Alasan pengangkatan pengelola dan pengawas Danantara barangkali tidak akan diungkap secara terbuka pada publik. Akan tetapi, ada satu pola yang disampaikan di sini, resentralisasi kekuasaan ekonomi dan politik. Ketika kekuasaan ekonomi dan politik terpusat di satu kelompok, transparansi dianggap tidak lagi penting. Akses informasi kepada publik tidak lagi diperlukan sebab mereka tidak ikut serta dalam pengelolaan ini. Ketimpangan informasi akan melebar, dan para pemikir Mazhab Perilaku percaya, akan berkonsekuensi pada inefisiensi pasar. Ketika pasar berjalan tidak efisien, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan sulit untuk diwujudkan.

Kapitalisme Semu
Demokrasi politik, dalam pandangan Bung Hatta, harus berjalan beriring dengan demokrasi ekonomi. Tanpa demokrasi ekonomi, demokrasi politik tidak akan memberikan kesejahteraan pada masyarakat luas. Salah satu cara untuk membangun demokrasi ekonomi ialah pengelolaan sumber daya yang tidak hanya dilakukan oleh negara, melainkan juga melalui ikut serta masyarakat dengan pengembangan sektor swasta nasional.

Sayangnya, Danantara memberi sinyal yang berkebalikan. Ketika negara membentuk sebuah superholding seperti Danantara, ada kecenderungan untuk melemahkan sektor swasta. Ini bisa dilihat misalnya ketika pemerintahan Presiden Jokowi yang lalu melebur beberapa BUMN konstruksi untuk pembangunan infrastruktur. Sektor konstruksi swasta mengalami penurunan kontribusinya dalam perekonomian.

Hal ini terjadi karena struktur disinsentif yang tercipta sebagai konsekuensi akumulasi kapital oleh negara. Sektor swasta yang ingin tetap bertahan memiliki ruang gerak yang semakin sempit, kecuali jika mereka mau mengikuti negara melalui Danantara. Memang, tidak berarti keberadaan Danantara akan menutup sepenuhnya peluang bisnis swasta. Hanya saja, ketika insentif untuk berusaha secara bebas mengecil atau bahkan berbalik menjadi disinsentif, akan sulit berharap sektor swasta berproduksi secara maksimal.

Kondisi ini disebut oleh Acemoglu dan Robinson dalam Why Nations Fail sebagai ciri institusi ekstraktif, yang mempersulit jalan sebuah negara untuk mencapai kemajuan. Kapitalisme yang terbentuk akhirnya adalah kapitalisme semu. Sebagian ahli yang lain menyebutnya sebagai Kapitalisme Kroni. Hanya mereka yang berada di dalam atau di dekat kekuasaan yang dapat terus melakukan kegiatan produksi secara optimal.

Struktur ekonomi politik yang terbentuk kemudian menjadi tidak kondusif untuk menjaga demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi. Akhirnya, keuntungan tidak terdistribusi kepada masyarakat luas karena terkonsentrasi di lingkar kekuasaan.

Kini, selagi Danantara masih berada di tahap awal pembentukan, ruang bagi Presiden untuk memperbaiki kelembagaan Danantara masih terbuka. Tujuannya, agar struktur kekuasaan yang tercipta tidak terlampau terpusat, tetapi terdistribusi agar kekayaan negara dapat tersebar bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kita berharap, semoga berbagai kekhawatiran ini tidak terjadi

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 28 Februari 2025

Farhan Abdul Majiid
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset mencakup bidang ekonomi politik global (krisis ekonomi, perdagangan internasional, dan pembangunan), demokrasi dan demokratisasi, teori hubungan internasional, serta agama dan politik dengan fokus kawasan Asia Tenggara, Eropa, dan Timur Tengah.