Categories
Pendidikan

Pemantauan dan Evaluasi Mutu Perguruan Tinggi

Saat ini proses penerimaan mahasiswa baru masih berlangsung, baik di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Salah satu yang menjadi pertimbangan calon maha- siswa dalam memilih perguruan tinggi (PT) adalah mutu PT yang unggul. Penjaminan mutu PT adalah kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan. Sistem Penjaminan Mutu (SPM) merupakan rangkaian unsur dan proses terkait mutu pendidikan tinggi yang saling berkaitan dan tersusun secara teratur dalam menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan. SPM terdiri atas internal (SPMI) dan eksternal (SPME). SPMI dilakukan di PT masing-masing secara otonom, sedang SPME berdasarkan proses akreditasi. Akreditasi PT berdasar 9 kriteria (baru) terdiri atas Unggul, Baik Sekali, Baik dan berdasar 7 standar (lama) terdiri atas A, B dan C.

Berdasarkan data dari Badan Akreditasi Nasional (BAN), sampai Juni 2025 ada 4.005 PT terakreditasi, terdiri atas Unggul 180 (4,49%), Baik Sekali 532 (13,28%), Baik 2.882 (71,96%), A (0,20%), B 390 (9,74%) dan C 13 (0,33%). Terlihat hanya 180 PT yang terakreditasi Unggul atau hanya sekitar 4,49% dari PT yang terakreditasi. Yang lebih mengejutkan ada sekitar 50 PT tidak terakreditasi dan seki- tar 361 PT belum terakreditasi (berdasar pangkalan data pendidikan tinggi total PT ada 4.416). PT senantiasa harus menjaga SPMI dan SPME dengan baik. BAN telah mengeluarkan Peraturan BAN Nomor 5 Tahun 2024 tentang Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Mutu PT untuk Perpanjangan Status Terakreditasi melalui Mekanisme Automasi. Ada sekitar 15 indikator yang harus dilalui agar PT dapat mempertahankan akreditasinya.

Yang pertama, setiap program studi di PT tersebut mempunyai minimal 5 dosen homebase. Selanjutnya jumlah dosen tidak tetap yang mengajar maksimal 40% dari total jumlah dosen. Berikutnya rasio dosen tetap berbanding jumlah mahasiswa aktif maksimal 1:40. Andaikata PT mempunyai dosen Merdeka Belajar Kampus Merdeka minimal 10%, khusus untuk PT vokasi minimal 40%. Seterusnya karya dosen tetap yang terekognisi/diterapkan masyarakat dalam tiga tahun terakhir minimal 10%.

Kemudian rerata persentase penurunan mahasiswa baru S1, D4, D3 dan lulusannya dalam 5 tahun terakhir maksimal 20%, khusus PTS vokasi dan sekolah tinggi maksimal 30%. Persentase jumlah dosen tetap yang tidak memiliki jabatan akademik, untuk PTN di bawah 10%, PTS di bawah 40%, PTS vokasi di bawah 55% dan PTS sekolah tinggi di bawah 70%.

Selanjutnya kelulusan tepat masa tempuh kurikulum untuk PTN minimal 40%, PTS minimal 35%, PT vokasi minimal 50% dan PTS sekolah tinggi minimal 30%. Yang terakhir, kelulusan tepat 2 kali waktu tempuh kurikulum untuk PTN minimal 70% dan PTS minimal 60%. Dalam SPME terlihat bahwa komponen jumlah dan kualitas dosen, mahasiswa serta lulusan menjadi bahan pertimbangan dalam pemantauan dan evaluasi PT. PT yang tidak mempertimbangkan dengan baik 15 indikator di atas, maka akan sulit untuk mempertahankan akreditasinya sehingga berakibat kurangnya minat calon tetap 100, maka jumlah maksimal mahasiswa baru dalam memilih PT hasiswa aktifnya 4.000.

Seterusnya semua program studinya harus terakreditasi. Kelima, bagi PT yang mempunyai program studi S3, maka setiap program studinya minimal memiliki 2 dosen tetap dengan kualifikasi Guru Besar. Kemudian persentase keterlibatan mahasiswa aktif dalam memperoleh prestasi tingkat internasional, nasional atau provinsi peringkat 1, 2 dan 3 minimal 0,01%. Persentase lulusan terserap lapangan kerja kurang dari sama dengan 1 tahun minimal 20%.

Selanjutnya rerata persentase luaran penelitian dan pengabdian dalam bentuk jurnal terindeks scopus, sinta 1 dan 2 yang dihasilkan oleh dosen tetap dalam 3 tahun minimal 10% dari jumlah dosen. Kesembilan, kepesertaan mahasiswa yang eligible mengikuti tersebut.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Juni 2025

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics

Categories
Sains Teknologi

 Qurban dan Energi Terbarukan

Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban, bukan hanya perayaan keagamaan tetapi juga momentum reflektif yang sarat dengan nilai pengorbanan, kepedulian sosial, dan rasa syukur. Di tengah perayaan ini, jutaan hewan ternak seperti sapi, kambing, dan domba disembelih sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, seiring meningkatnya jumlah hewan kurban tiap tahunnya, muncul pula tantangan lingkungan berupa penanganan limbah penyembelihan hewan qurban. Limbah penyembelihan hewan qurban mencakup darah, isi perut, kotoran, sisa organ, air pencucian, serta bagian tubuh yang tidak dimanfaatkan. Di banyak daerah, limbah ini masih dibuang secara langsung ke lingkungan tanpa pengolahan, sehingga berisiko menimbulkan pencemaran air dan tanah, bau tidak sedap, dan penyebaran penyakit.

Kondisi ini dapat menimbulkan keresahan masyarakat serta membebani sistem sanitasi. Dalam konteks keberlanjutan dan semangat energi terbarukan, limbah penyembelihan hewan qurban justru menyimpan potensi besar yang sering diabaikan.

Limbah penyembelihan hewan qurban justru menyimpan potensi besar sebagai bahan baku energi terbarukan, khususnya biogas. Kotoran sapi dapat menghasilkan sekitar 0,03 hingga 0,04 mz biogas per kilogram per hari melalui proses fermentasi anaerob, tergantung pada kandungan bahan organik dan suhu fermentasi.

Dalam satu proses penyembelihan, seekor sapi dapat menghasilkan sekitar 10ñ15 kg limbah organik, yang bila dikonversi berpotensi menghasilkan sekitar 0,3ñ0,6 m≥ biogas. Demikian pula pada kambing, yang meskipun skalanya lebih kecil, tetap menyumbang potensi yang signifikan.

Setiap 1 kg kotoran kambing menghasilkan sekitar 0,02ñ0,03 m2 biogas, dengan satu ekor kambing menghasilkan rata-rata 3ñ5 kg limbah organik. Totalnya, satu kambing dapat menghasilkan antára 0,06ñ0,15 m≥ biogas. Proses pengolahan dimulai dengan mengumpulkan limbah penyembelihan hewan qurban, terutama dari isi perut, darah, dan kotoran. Limbah ini kemudian dicacah atau dihaluskan agar mudah terurai. Setelah itu, limbah dicampur dengan air dalam perbandingan yang sesuai, biasanya 1:1 hingga 1:2, dan di- masukkan ke dalam sebuah wadah tertutup yang disebut digester biogas.

Di dalam digester, limbah akan mengalami proses fermentasi anaerob, yaitu penguraian oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen. Proses ini berlangsung selama dua hingga empat minggu, tergantung pada suhu lingkungan dan jenis bahan yang digunakan. Dari proses ini, terbentuklah gas metana (CH4) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak atau penerangan. Sedangkan sisa hasil fermentasi berupa padatan (slurry), dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi tanaman.

Momentum Idul Adha tidak hanya bermakna sebagai ibadah kurban tahunan, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sarana edukasi dan inovasi dalam pengelolaan limbah organik dari penyembelihan hewan kurban secara berkelanjutan. Limbah penyembelihan hewan qurban memiliki potensi besar untuk diolah menjadi energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai religius dan pendekatan ekologis, masyarakat diajak untuk lebih peduli terhadap isu lingkungan. Edukasi tentang pemanfaatan limbah penyembelihan hewan qurban menjadi energi terbarukan berupa biogas sejalan dengan upaya mengurangi ketergan- tungan pada energi fosil dan menjaga kelestarian sumber daya alam di masa depan.

 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 11 Juni 2025

Arif Hidayat
Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII. Bidang riset pada material dan renewable energy.

Categories
Hukum

Sejarah Negara Teror

Teror terhadap warga yang bersuara kritis kian tak terkendali. Terbaru, teror terhadap FY, penulis opini di salah satu media nasional yang mengkritisi pengangkatan jenderal TNI dalam jabatan sipil.

Setelah mendapat teror, FY meminta media yang memuat tulisannya agar menghapus artikel itu. Penghapusan tulisan diberitakan dilakukan atas rekomendasi Dewan Pers dan dilakukan demi menjaga keselamatan penulis.

Peristiwa yang juga menguat ialah teror terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi salah satu pemohon uji materi (judicial review) UU TNI ke Mahkamah Konstitusi; penarikan lagu band Sukatani yang mengkritik praktik bayar-bayar oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, pemaksaan permintaan maaf terhadap siswa di Bogor yang mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penangkapan mahasiswa ITB karena membuat meme Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo.

Apa yang terjadi pada FY dan peristiwa lain yang hampir serupa sangat memprihatinkan. Hal itu mengingat UUD Tahun 1945 menjamin hak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani; memberikan jaminan atas hak untuk mengeluarkan pendapat; serta jaminan atas hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Teror dan intimidasi yang terjadi seperti meruntuhkan bangunan konstitusional yang selayaknya dijaga dan dijunjung tinggi. Kedaulatan rakyat dihilangkan dengan tindakan represi dan intimidasi.

Negara Teror
Keprihatinan terhadap teror yang terjadi mungkin agak ringan kalau terjadi di level horizontal, di mana warga yang diintimidasi oleh warga yang lain dapat meminta pertolongan aparat negara. Namun, persoalannya sangat serius jika pelaku teror adalah dari aparat negara sendiri.

Apa yang terjadi pada FY dan beberapa kasus di atas, pelakunya diyakini adalah aparat negara yang notabene digaji dengan pajak dari warga untuk menjaga hak atas rasa aman dan membebaskan warganya dari ketakutan untuk berpendapat.

Pertanyaannya, bisakah negara menjadi state terorism kepada warganya sendiri, padahal selayaknya negara bertugas menjaga hak atas rasa aman?

Dalam beberapa studi ternyata sangat mungkin negara jadi pelaku teror. Negara, jika tak diawasi, akan mudah menggunakan kekerasan terhadap warga sipil secara acak, dengan tujuan intimidasi atau menciptakan ketakutan agar tercapai tujuan politik kekuasaannya.

Teror bisa dilakukan oleh negara terhadap negara yang lain, seperti dilakukan Israel pada Palestina, atau teror negara terhadap warganya sendiri seperti yang terjadi di Myanmar.

Rohingya di Myanmar adalah contoh paling jelas dari begitu kejamnya state terorism, di mana pemerintahan yang berkuasa melakukan genosida secara terbuka pada warganya karena alasan ras (ciri-ciri fisik) dan agama. Secara ras, etnis Rohingya dianggap berbeda ciri-ciri fisiknya dengan mayoritas penduduk Myanmar.

Secara agama, etnis Rohingya sebagian besar beragama Islam, sementara penduduk Myanmar mayoritas beragama Buddha. Kondisi ini menjadi alasan pemerintah untuk secara aktif melakukan teror, pengusiran paksa, dan genosida.

Selain Myanmar, ada beberapa negara yang dianggap aktif melakukan teror terhadap warganya dengan alasan yang beragam: perbedaan politik, ideologi, etnis, agama, penguasaan tanah, dan seterusnya. Alasan pemicu bisa sangat beragam, tapi intinya adalah negara yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil dengan cara intimidasi atau menciptakan ketakutan yang di dalamnya memiliki motif politik tertentu.

Di Indonesia, teror secara masif oleh negara terjadi di era rezim Orde Baru, di mana ada begitu banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Antara lain dalam kasus Waduk Kedungombo, Nipah, pemberedelan media massa, DOM di Aceh, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, kasus Talangsari, penghilangan orang secara paksa, kasus Trisaksi (Semanggi I dan II), dan beberapa kasus yang lain.

Kekerasan negara oleh Orde Baru tidak lepas dari konfigurasi politik yang tunggal (homogen) dan monolitik saat itu. Menurut Alfred Stepan,  karakter tunggal dan monolitik terjadi pada tingkat negara (state) dan masyarakat (society).

Pada level negara terlihat solidnya semua unsur yang ada dalam negara sehingga berkarakter tunggal dan tidak ada check and balances; sementara pada level masyarakat terlihat kondisi pengendalian, penundukan, dan pengarahan pada agenda kepentingan politik kekuasaan tertentu.

Kondisi monolitik tersebut mendorong state terorism yang begitu luas, di mana negara melakukan penundukan secara paksa dan represif, baik secara fisik maupun mental, yang kemudian membungkam kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul masyarakat.

Menjaga demokrasi
Alasan penting mengapa kita prihatin terhadap teror yang menimpa warga dan tekanan terhadap media massa adalah karena situasi tersebut terjadi cukup serius di masa lampau dan menjadi luka sejarah yang begitu menyakitkan.

Karena hal tersebut, dilakukanlah amendemen UUD 1945 yang di dalamnya menegaskan perihal kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, dan ada jaminan hak asasi manusia yang menjadi pijakan warga dari segala tindakan dan kebijakan penguasa yang berpotensi melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang.

Jaminan konstitusional tersebut relatif cukup baik mengiringi proses demokratisasi pasca-jatuhnya rezim Orde Baru.

Pemerintahan di era Reformasi telah silih berganti dan terjadi pasang surut dan tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan warga negara.

Suara warga negara dan pers di era awal dan pertengahan Reformasi masih didengarkan, kekuasaan yang menyimpang masih terkritisi, tetapi di periode dua penguasa terakhir konfigurasi kekuasaan menjauh dari semangat negara hukum dan demokrasi.

Teror yang terjadi pada FY yang notabene seorang penulis dan atau terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi pemohon uji materi ke MK di pemerintahan sekarang ini merupakan bukti betapa penguasa dan aparatnya tidak serius belajar dari sejarah.

Yakni bahwa negara ini pernah jatuh pada lubang otoritarianisme di mana penguasa lewat aparat yang terkomando pernah menjadi aktor teror yang bengis pada warganya sendiri, dan negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat) karena hukum lewat konfiguasi politiknya semata mendukung kepentingan kekuasaan yang otoriter.

Terdapat tiga pandangan dalam melihat gerak sejarah.

Pertama, pandangan yang melihat sejarah sebagai sesuatu yang bersifat linier, sejarah bergerak menuju ke arah yang lebih maju. Kedua, pandangan yang melihat gerak sejarah tidak selalu maju, tapi kadang terjadi proses kemunduran saat berada pada tahap kemajuan.

Ketiga, pandangan yang melihat gerak sejarah bergerak secara berputar seperti siklus yang melingkar.

Dalam pembacaan ini, negara Indonesia saat ini seperti mengalami siklus berputar itu, di mana kekuasaan cenderung monolitik, ada dukungan aparat keamanan dan partai yang kuat, serta warga dan media massa ironisnya dikendalikan.

Tentu kita tidak ingin seperti itu. Gerak sejarah Indonesia selayaknya linier, bergerak ke arah yang lebih maju, yaitu negara yang demokratis, humanis dan tidak meneror warganya sendiri.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 Juni 2025

M Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Politik

Banalitas Kekuasaan

Pada tahun 1941, Hannah Arendt menulis Eichmann in Jerussalem: A Report on The Banality of Evil. Tulisan ini menceritakan tindakan Adolf Eichmann, seorang anggota rezim Nazi yang menjadi arsitek pembantaian massal yang diceritakan lebih dari 11 juta orang menjadi korbannya. Eichmann bersedia dengan sadar bergabung dalam program pembantaian manusia dan kesediaan tersebut memperlihatkan kegagalannya dalam berpikir dan menilai tindakannya. Kekejaman Eichmann dalam Holocaust dapat dikaji sebagai bagian persoalan psikologis, di mana ia merupakan seorang manusia normal, tetapi ketika dilihat dari sudut kesadaran dan nurani, ia bertindak tanpa berpikir dan menjalankan perintah atasan tanpa memikirkan akibat-akibatnya pada korban.

Penelitian Hannah Arendt masih relevan untuk melihat perilaku pejabat kekuasaan hari ini, di mana kerap ada kebijakan yang memperlihatkan sisi sewenang-wenang pemegang kekuasaan. Merujuk pada tindakan Eichmann, kekuasaan memiliki daya yang kuat sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat dengan mudah melepaskan keberpihakannya pada orang-orang yang lemah, tidak dapat menimbang benar atau salah, dan menafikan nasib korban. Dalam beberapa studi, banalitas kejahatan di tubuh kekuasaan akan berjalan tanpa kendali dalam sistem politik tirani, di mana pemerintahan dijalankan secara absolut oleh penguasa.

Pertanyaannya, bisakah banalitas kejahatan terjadi dalam sistem demokrasi? Idealnya tidak terjadi, karena keputusan politik dalam sistem demokrasi ditentukan kehendak rakyat. Namun, praktik kekuasaan kerap berbeda. Ada banyak kebijakan dikendalikan oleh sekelompok kecil elite yang mengarah pada sistem politik aristokrasi dan oligarki. Bahkan di masa orde baru, kekuasaan dijalankan dengan otoriter di tengah sistem politik demokrasi.

 Kekuasaan Saat Ini
Apakah pemerintahan saat ini telah menjalankan banalitas kekuasaan? Apakah aparat negara menjalankan perintah total penguasa tanpa memikirkan baik-buruk kebijakannya? Pertanyaan ini perlu diuji dengan bukti bagaimana kekuasaan saat ini bekerja. Sejauh ini, sangat terasa komando yang sentralistik diperagakan Presiden Prabowo Subianto. Pendekatan pertahanan keamanan terlihat nyata. Para anggota kabinet dan kepala daerah didoktrin dengan gaya militer. Dalam konteks kebijakan, apa yang dikehendaki Presiden sepertinya tidak ada yang berani mengkritisi, bahkan suara kritis para wakil rakyat hanya menyasar perilaku Menteri, tidak berani mengkritisi penguasa utama.

Gaya pemerintahan saat ini mengkhawatirkan. Tidak terbayang semua kebijakan harus tunggal dan fungsi check and balances cabang-cabang kekuasaan tidak berjalan. Kekuasaan yang sehat idealnya menghadirkan komunikasi intersubjektif, di mana orang-orang yang bekerja di tubuh kekuasaan dapat berkomunikasi tanpa ketakutan, pejabat yang berada di ragam cabang kekuasaan tetap menjaga nalar kritis, dan antara satu dengan yang lain saling menjaga marwah fungsi pokok kewenanganya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Presiden dan pelaksana kekuasaan eksekutif harus dikritisi agar program-program pemerintahan tidak jatuh pada kesewenang-wenangan.

Kondisi kekuasaan yang tersentralisasi dan komunikasi komando yang begitu kuat seperti telah mematikan kesadaran kritis para pejabat kekuasaan. Kondisi ini walau tidak serupa pernah terjadi di era kekuasaan demokrasi termimpin dan orde baru, di mana negara waktu itu dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa tertinggi dan negara kemudian jatuh pada otoritarianisme.

Di era demokrasi terpimpin, DPR hanya bertugas menjadi legitimasi terhadap keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Keadaan serupa terjadi di era rezim orde baru, di mana pemerintahan kemudian menjelma, sebagai kekuasaan teror (state terorism) yang secara sistemik melakukan penundukan terhadap masyarakat sipil dengan kekuatan ABRI, serta berlanjut dengan pembuatan aturan dan kebijakan yang membungkam kritik, kebebasan pos, dan hak asasi manusia.

Untungnya saat ini masih ada masyarakat sipil yang berani berpendapat. Beberapa suara kritis antara lain perihal kebijakan efisiensi anggaran yang salah kaprah, pajak yang naik, gelombang pemutusan hubungan kerja, tidak jelasnya komitmen negara terhadap permasalahan HAM, dan revisi RUU TNI yang menjadipenanda absah hadirnya rezim neo orde baru. Suara kritis masyarakat sipil adalah harapan satu-satunya di tengah kekuasaan yang mengarah pada sistem otoritarinisme.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 20 Maret 2025

M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Pendidikan

Pendidikan Dasar Gratis

Biaya pendidikan menjadi pertimbangan utama setiap orang tua ketika akan menyekolahkan anaknya. Pertimbangan tersebut bahkan dimulai sejak sekolah tingkat dasar. Biaya pendidikan yang mahal tetap dilaluinya walau kadang berutang. Ketika kondisi ekonomi memburuk, anak bisa menjadi korban, kemudian putus sekolah.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat angka putus sekolah jenjang SD pada tahun ajaran 2024/2025 sebanyak 38.540 siswa, SMP (12.210 siswa), SMA (6.716 siswa), dan SMK (9.391 siswa). Anak putus sekolah terjadi dalam setiap tahun ajaran. Alasan berhenti sangat beragam. Faktor ekonomi keluarga selalu mengemuka.

Pertanyaannya, di mana peran pemerintah untuk biaya pendidikan gratis yang selama ini dijanjikan?

Secara normatif, negara telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 34 UU tersebut menyatakan, setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Sesuai dengan aturan, pemerintah telah memiliki pijakan agar akses pendidikan bisa gratis alias cuma cuma minimal pada jenjang pendidikan dasar. Menurut undang-undang, jenjang pendidikan dasar berbentuk SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat serta SMP dan MTs atau bentuk lain yang sederajat. Lewat aturan itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak merumuskan program aksi pendidikan gratis.

Putusan MK
Selama ini, pemerintah relatif telah melakukan langkah-langkah untuk mewujudkan pendidikan gratis lewat APBN dan APBD yang tersedia. Namun, program dan anggaran masih tersentralisasi di lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sementara anak-anak didik yang bersekolah di lembaga swasta atau masyarakat tidak mendapatkan sentuhan program.

Dampaknya cukup serius. Anak-anak yang bersekolah di lembaga swasta, khususnya dalam jenjang pendidikan dasar, harus membayar biaya yang sangat mahal. Sementara biaya sekolah negeri sangat terjangkau, bahkan sudah ada yang gratis. Kondisi itu memperlihatkan ketidakadilan. Apalagi kuota di sekolah negeri kerap penuh dan lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal sehingga memaksa anak didik mendaftar di sekolah swasta yang biayanya sangat mahal. Perlakuan yang tidak adil tersebut mendorong Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga pemohon Fathiyah, Novianisa, dan Riris Risma Ajiningrum mengajukan uji materi pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon mempermasalahkan frasa “wajib belajar minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Menurut para pemohon, pendidikan gratis di jenjang pendidikan dasar idealnya tidak hanya untuk siswa di sekolah negeri, tetapi juga untuk siswa di sekolah swasta.

Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 3/ PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pasal 34 ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”. Putusan itu menegaskan bahwa biaya pendidikan untuk sekolah negeri atau swasta di jenjang pendidikan dasar harus gratis.

Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Tugas Berikutnya
Putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final and binding. Pemerintah harus mengikuti putusan tersebut untuk memperbaiki desain program dan anggaran pada jenjang pendidikan dasar yang selama ini hanya difokuskan untuk sekolah negeri. Tentu, program pendidikan gratis akan membutuhkan anggaran besar. Namun, secara konsepsi, kebijakan pemenuhan hak pendidikan bersandar pada tiga pemikiran.

Pertama, kewajiban pemerintah untuk mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps). Kedua, memaksimalkan sumber daya negara yang tersedia (to the maximum of tis available resources). Ketiga, mencapai secara bertahap perwujudan penuh dari hak-hak (to achieving progressively the full realization of the rights). Pemenuhan hak pendidikan gratis bagi anak didik di jenjang pendidikan dasar, baik sekolah negeri maupun swasta, sudah selayaknya, menjadi program aksi pusat atau daerah. Pemerintah wajib melakukan langkah – langkah terukur dengan ketersediaan anggaran APBN dan APBD agar pendidikan gratis dapat segera tercapai. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi penegas bahwa pemerintah wajib hadir di tengah biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Jawa Pos pada tanggal 29 Mei 2025

M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada hukum HAM, HAM dalam Islam, dan kewarganegaraan.

Categories
Islam

Asal-usul dan Ideologi Hamas yang Sering Disalahpahami

Pascaserangan kelompok Hamas terhadap Israel yang direspons oleh serangan balasan yang berlebihan oleh militer Israel–diskusi dan narasi tentang apa dan siapa Hamas, serta apa tujuannya, kembali menguat ke permukaan.

Konfrontasi militer antara Hamas dan Israel bukanlah hal yang baru. Hamas telah berperang beberapa kali dengan Israel sejak tahun 2007.

Sudah banyak akademisi dan peneliti yang telah menjabarkan tentang Hamas, tentunya dari pemahaman dan sudut pandang yang beragam. Salah satunya menyebutkan bahwa Hamas secara agama cenderung beraliran Salafi yang agaknya kurang tepat secara konteks sejarah dan faktual.

Berdasarkan kapabilitas saya sebagai akademisi yang fokus meneliti studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam ilmu Hubungan Internasional, berikut hal-hal mendasar tentang Hamas yang perlu kita ketahui tetapi kerap disalahpahami.

Asal-usul Hamas
Akar gerakan Hamas–singkatan dari Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah (Gerakan Perlawanan Islam) mulai muncul sejak tahun 1946, ketika kader pergerakan Ikhwanul Muslimin (IM), gerakan Islamis asal Mesir, membentuk cabang di Gaza. Paham Islamisme IM berdasar pada prinsip al-Islam huwa al-hal,yakni menawarkan Islam sebagai solusi menyeluruh untuk masalah dalam semua sektor kehidupan publik dan privat di era modern.

Pada masa itu, pemerintah Mesir berupaya melarang aktivitas dan operasi IM di Mesir dan Gaza. Sebab, IM dianggap sebagai ancaman bagi keamanan domestik dan berpotensi mengganggu gencatan senjata yang disepakati Israel dan Mesir pada tahun 1949.

Pelarangan tersebut kemudian membuat IM harus mengembangkan kegiatannya melalui beragam organisasi sosial, termasuk melalui pembentukan Perkumpulan Tauhid (Jam’iyah at-Tauhid). Perkumpulan Tauhid pun kerap mengalami rangkaian persekusi politik oleh pemerintah Mesir.

Di Gaza, gerakan IM memiliki perbedaan orientasi kebijakan dan ideologi dengan gerakan kemerdekaan Palestina lainnya–seperti Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang berideologi Marxisme dan Fatah yang berideologi sekuler-nasionalis.

Sementara itu, orientasi kebijakan IM Gaza lebih banyak berfokus pada rehabilitasi sosial dan ekonomi bagi para pengungsi Gaza yang terdampak perang melalui gerakan Mujamma’. Inilah mengapa IM Gaza, pada awalnya, selalu mengambil langkah yang legalistik dan tidak konfrontatif.

IM Gaza pernah terlibat dalam operasi bersenjata, tapi hal tersebut tidak dianggap sebagai solusi yang dapat membantu pengungsi Gaza–setidaknya hingga Hamas berdiri dan memulai gelombang baru perlawanan secara fisik.

Selain di Gaza, IM juga memiliki cabang di Tepi Barat. Perkembangan IM di Tepi Barat berbeda dengan IM Gaza. Pada penghujung dekade 1940-an, sebagian kader IM Tepi Barat yang kecewa akan hasil Perang Arab-Israel tahun 1948 membangun gerakan Hizbut Tahrir  di bawah kepemimpinan Taqiyuddin an-Nabhani, seorang hakim Mahkamah Syariah di Nablus, Tepi Barat Palestina. Sebagian kader yang lain melanjutkan IM di Tepi Barat di bawah koordinasi dengan IM di Yordania.

Pada dekade 1970-an, salah satu tokoh IM Gaza, Ahmad Yasin, membuat Gerakan Pusat Islam (Mujamma’ al-Islamiyyah atau Mujamma’). Mujamma’ menjadi sebuah gerakan sosial yang fokus sepenuhnya menolong masyarakat Gaza yang menjadi pengungsi di tanah sendiri. Israel bahkan melegalkan organisasi sosial ini untuk beroperasi di Gaza.

Gerakan sosial Mujamma’ kemudian mengalami proses radikalisasi akibat dua hal: (1) adanya kontestasi pengaruh dengan gerakan kemerdekaan Palestina dari ideologi lain; (2) terjadinya Intifada Pertama yang merupakan upaya resistensi konfrontatif terhadap represi Israel yang berkelanjutan terhadap Palestina.

Intifada Pertama ini mengubah arah Mujamma’ yang awalnya berdimensi sosial menjadi gerakan politik bernama Hamas yang kemudian mengembangkan sayap militernya.

Ideologi gerakan Hamas
Beberapa akademisi berpendapat bahwa Hamas menganut aliran Islam Salafisme. Namun kenyataannya, dalam perkara ideologi, Hamas tidak bisa dikatakan sebagai organisasi yang mengikuti ajaran Salafi secara seutuhnya.

Ini karena Salafi bukanlah sebuah pemikiran yang monolitik yang bisa direpresentasikan dalam satu bentuk gerakan dan gagasan tertentu. Salafi memiliki beragam bentuk yang berkembang sesuai dengan dinamika politik di dunia Islam.

Salafi adalah sebuah aliran dalam Islam yang mengajarkan pemurnian ajaran Islam melalui penafsiran tekstual yang ketat terhadap dua sumber hukum utama Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits. Aliran ini dikembangkan secara komprehensif oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab pada pertengahan abad ke-19, berdasarkan pada ajaran ahli fikih Ahmad Ibnu Hanbal–pendiri mazhab Hambali dari abad ke-9, dan pemikiran Ibnu Taimiyyah, seorang teolog Islam dari abad pertengahan.

Saat ini, tipologi gerakan Salafi secara umum dapat dibagi menjadi tiga: (1) Salafi preservasionis yang dekat atau terafiliasi resmi dengan Arab Saudi, (2) Salafi subversif yang bersifat simbolis dan sosial, dan (3) Salafi transformatif yang bersifat agresif dan ofensif (serupa dengan Salafi Jihadis).

Jika melihat pandangan Salafi preservasionis yang berasal dari Arab Saudi, maka dapat dilihat bahwa beberapa ulama Salafi dari negara tersebut sebenarnya telah menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Hamas.

Ada dua ketidaksetujuan dari Salafi preservasionis terhadap Hamas: (1) inkonsistensi Hamas dalam menjalankan sistem Islam dengan mengikuti pemilu yang berbasis pada demokrasi Barat, (2) kerja sama dengan Iran yang menganut ajaran Syiah Imamiyah (ajaran Islam yang mengikuti pemahaman keagamaan yang dibangun oleh dua belas imam penerus Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin politik umat Islam) yang secara teologis bertentangan dengan ajaran Islam Sunni pada umumnya.

Menurut para ulama Salafi, Hamas beserta gerakan perjuangan kemerdekaan Palestina harus berkomitmen dahulu menegakkan nilai-nilai keislaman di negara mereka dengan menyingkirkan pengaruh ideologi sekuler dalam melakukan perjuangan mereka.

Selain itu, gerakan Hamas juga sempat diancam dominasinya oleh beberapa gerakan Salafi transformatif yang hendak meraih pengaruh di Jalur Gaza.

Ideologi Hamas dapat dikatakan berdasar pada nilai-nilai politik Islam ala IM yang bersifat lebih modernis dan pragmatis dalam memandang dinamika politik. Hal ini pula yang kemudian membuat Hamas menerima eksistensi aliran Sufi di Jalur Gaza, bahkan juga toleran terhadap komunitas Kristen dari beragam denominasi di Gaza.

Sebagian pengaruh pemikiran Salafi subversif yang fokus pada pemurnian agama secara sosial memang dapat dideteksi pada upaya Hamas dalam menafsirkan ajaran keagamaan dan menerapkan hukum Islam. Namun, hal ini selalu mereka imbangi dengan sikap pragmatisme politik.

Hamas dalam rencana perdamaian Israel-Palestina
Satu hal penting yang seringkali menjadi kontroversi dalam diskusi tentang Hamas adalah pandangan organisasi ini terhadap Israel dan perdamaian antara Israel-Palestina.

Hamas seringkali dipandang sebagai sebuah organisasi antisemit yang memandang kaum Yahudi amat rendah dan tidak manusiawi.

Hal ini sering kali ditunjukkan dengan Piagam Hamas versi awal yang mengutip langsung Protokol Para Tetua Zion yang sebenarnya merupakan dokumen palsu.

Kebencian Hamas terhadap Yahudi dan Zionisme jelas terlihat pada bagaimana Hamas menggambarkan Yahudi sebagai kuasa setan. Zionisme bagi Hamas adalah alat politik yang memungkinkan ide-ide Yahudi bernuansa kekerasan menjadi kenyataan dalam Piagam Hamas awal, nampak tidak ada upaya bagi Hamas untuk membedakan antara Yahudi dan Zionisme.

Selain itu, Hamas juga tidak percaya pada solusi dua-negara (two-state solution) sebagai sebuah solusi yang realistis untuk diterapkan. Menurut Hamas, eksistensi Palestina sebagai negara merdeka tidak akan pernah bisa disandingkan dengan negara Israel.

Dalam perkembangan terakhir, Hamas berupaya untuk mengadopsi pendekatan yang lebih realistis terhadap konflik Israel-Palestina dengan merevisi beberapa poin.

Pertama, dalam piagam yang baru, Hamas membedakan Yahudi dan Zionisme. Sebagai contoh, Hamas mulai membuka diri dengan beberapa organisasi Yahudi anti-Zionis, seperti Neturei Karta yang aktif di Israel dan Amerika Serikat.

Kedua, dalam pertanyaan Ismail Haniyah, Kepala Biro Politik Hamas, tersirat bahwa Hamas mulai mengakui bahwa Palestina yang sah merupakan Palestina yang berdasar pada peta tahun 1967. Dalam peta ini, wilayah Palestina terbagi atas Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hal ini merupakan suatu pencapaian signifikan, karena sebelumnya Hamas teguh meyakini bahwa Palestina yang sah adalah Palestina menurut peta tahun 1948.

Namun, Haniyah dalam pertanyaannya, menegaskan bahwa Hamas masih tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara.

Ketiga, adanya pendekatan hudna atau gencatan senjata berkepanjangan yang diadopsi Hamas sejak 2010 merupakan cara mereka untuk berpikir lebih strategis dalam mengelola konflik dengan Israel sembari mencari cara untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan Palestina.

Hal ini menunjukkan bahwa Hamas bukan organisasi yang semata-mata berorientasi pada konflik berkepanjangan (perpetual conflict), tetapi lebih kepada mencari solusi di tengah keterbatasan opsi yang ada.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 19 Oktober 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

 

Categories
Hukum

Memetik Pelajaran dari Kasus Agnez Mo

Hampir dua sampai tiga pekan ini media cetak maupun online tidak pernah berhenti memberitakan terbitnya putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terkait kasus gugatan Ari Bias terhadap Agnez Mo atas pelanggaran hak cipta musik dan lagu berjudul “Bilang Saja”, di mana kasus gugatan tersebut Ari Bias dimenangkan oleh pihak pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan menghukum Agnez Mo dikenakan ganti rugi sebesar Rp 1,5 M atas pelanggaran hak cipta musik dan lagu milik Ari Bias.

Polemik Kasus Agnez Mo
Pemberitaaan yang terus menerus ini tidak terlepas dari munculnya pro kontra sendiri di kalangan musisi Indonesia. Di satu pihak ada yang yang mendukung terbitnya putusan ini. Mereka beranggapan bahwa putusan ini sudah benar karena menyangkut penghargaan, penghormatan, dan perlindungan terhadap pencipta yang karyanya telah digunakan secara komersial dan digunakan tanpa hak.

Namun demikian, di sisi lainnya, menganggap putusan ini berlebihan. Mereka mengkhawatirkan dengan adanya putusan ini akan menganggu ekosistem industri musik Indonesia.

Dua pandangan yang berbeda ini, sebenarnya merupakan hal yang wajar terjadi karena masing-masing pihak punya interest yang berbeda-beda. Namun, perbedaan pandangan ini mestinya tidak berujung pada permusuhan antar musisi di Indonesia karena ini pada akhirnya hanya akan merugikan musisi Indonesia itu sendiri.

Upaya Hukum
Kasus pelanggaran hak cipta oleh Agnez Mo atas ciptaan musik dan lagu milik Ari Bias telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dengan diterbitkannya putusan ini tentu pertanyaannya, apakah putusan tersebut masih dapat dilakukan upaya hukum? Maka, jawabannya masih ada upaya hukum yaitu berupa kasasi ke Mahkamah Agung RI (MA RI). Menurut ketentuan Pasal 102 ayat (1) UU Hak Cipta menyatakan bahwa Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) hanya dapat diajukan kasasi.

Selanjutnya di dalam Pasal 102 ayat (2) UU Hak Cipta dinyatakan bahwa permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga diucapkan dalam sidang terbuka atau diberitahukan kepada para pihak.

Dengan disediakannya upaya hukum kasasi ke MA RI, hal ini dimaksudkan sebagai bentuk upaya korektif atas putusan Pengadilan Niaga, Adapun waktu yang disediakan oleh undang-undang hak cipta adalah 14 hari terhitung sejak tanggal putusan Pengadilan Niaga diucapkan dalam sidang terbuka atau diberitahukan kepada para pihak.

Melalui kasasi ke MA RI, maka ada dua kemungkinan bentuk putusan dari MA RI, putusan kasasi MA RI akan menguatkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, namun dapat juga membatalkan putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Semua kemungkinan ini sangat tergantung kepada kemampuan kedua belah pihak dalam meyakinkan majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung RI.

Pelajaran yang harus dipetik
Hal penting lain dalam menyikapi kasus Agnez Mo ini adalah pelajaran yang harus dipetik oleh pencipta dan penyanyi. Perlu diketahui, pencipta dan penyanyi ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kenyataan, pola hubungan pencipta dan penyanyi itu ada tiga, yaitu; (1) pencipta sekaligus menjadi penyanyi; (2) ppencipta yang tidak menjadi penyanyi; dan (3) penyanyi yang tidak menjadi pencipta. Memperhatikan pola hubungan pencipta dan penyanyi yang kedua dan ketiga, maka sebenarnya ada hubungan saling tergantung antara pencipta dan penyanyi. Hal ini terjadi juga dalam praktik industri musik di Indonesia.

Dengan menyadari hal seperti ini seharusnya semangat hubungan antara pencipta dan penyanyi dalam konteks kedua dan ketiga dapat dilakukan penuh kepercayaan dengan jalinan hubungan yang harmoni dan berlandaskan pada saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya. Tentunya, jika ada suatu perselisihan di antara keduanya hendaknya dapat dibicarakan dengan menjalin komunikasi yang baik, dan berfokus pada solusi yang dapat menguntungkan bagi kedua pihak (win-win solution).

Menghindari ego dan rasa benar sendiri menjadi prasyarat untuk dapat menghasilkan model solusi yang menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution) ketika terjadi perselisihan. Namun demikian, akan menimbulkan hasil berbeda, jika prasyarat ini diabaikan oleh keduanya. Pastinya, istilah satu jadi arang dan lainnya jadi abu akan menjadi kenyataan ditengah hukum yang rapuh seperti saat ini.

Semangat ini sejalan dengan semangat yang terkandung di dalam konsep hak cipta. Di dalam konsep hak cipta dikenal konsep hak terkait (related rights or neighbouring rights). Hak terkait adalah melindungi kepentingan hukum dari orang dan badan hukum tertentu yang berkontribusi dalam membuat karya tersedia untuk publik. UU Hak cipta Indonesia juga mengenal hak terkait. Di dalam Pasal 1 angka 5 dinyatakan” Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, producer fonogram, atau lembaga Penyiaran.

Frase yang menyatakan “…berkaitan dengan hak cipta..” menjadi bukti ada hubungan erat antara hak cipta dan hak terkait. Hak terkait ini lahir dikarenakan adanya hak cipta, dan hak terkait ini tidak akan ada, jika tidak ada hak cipta. Hak terkait merupakan hak eksklusif yang diberikan salah satunya kepada pelaku pertunjukan (penyanyi), sedangkan hak cipta merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada pencipta (termasuk pencipta music dan lagu).

Dari sini, maka patut disadari bahwa sesungguhnya dengan konsep hak cipta dan hak terkait telah mengajarkan kepada kita pentingnya kebersamaan dan saling melengkapi antar dua hak tersebut. Semangat ini, sekali lagi sangat sejalan untuk menggambarkan hubungan antara pencipta dan penyanyi karena pada kenyataannya pencipta itu sebagai pemegang hak cipta, dan penyanyi sebagai pemegang hak terkait. Kebersamaan dan saling melengkapi menjadi kunci hubungan pencipta dan penyanyi dapat membawa kemajuan dan kesejahteraan di masa depan. Wallahu’alam bis shawab.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 7 Maret 2025

Budi Agus Riswandi
Guru Besar Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum dagang dan hukum HKI

 



Categories
Sains Teknologi

Menyalakan Harapan Industri Tekstil

Rabu dini hari, 21 Mei 2025, kebakaran hebat melanda PT Mataram Tunggal Garment (MTG) di Balong, Donoharjo/ Sleman. Api membakar sebagian besar bangunan pabrik dan memaksa sekitar 1.600 karyawan dirumahkan hingga batas waktu yang belum ditentukan. Bagi sebagian besar pekerja, pabrik tersebut adalah sumber penghidupan utama. Kini mereka harus menanggung ketidakpastian, tanpa jaminan kapan bisa kembali bekerja.

Peristiwa ini bukan sekadar musibah teknis, melainkan cerminan rapuhnya industri padat karya kita. Risiko kebakaran seharusnya dapat dicegah atau diminimalkan melalui sistem manajemen keselamatan kerja yang ketat dan terstruktur. Namun pada praktiknya, hal ini agaknya seringkali kurang begitu diperhatikan. Lantas patut timbul pertanyaan: seberapa serius perusahaan-perusahaan kita dalam membangun budaya keselamatan?

Kebakaran MTG juga menunjukkan betapa besar ketergantungan masyarakat terhadap satu pusat ekonomi. Ketika pabrik berhenti beroperasi, roda kehidupan pun ikut tersendat. Sektor informal yang menggantungkan penghasilan dari keberadaan industri ikut terguncang. Hal ini menjadi refleksi bahwa keberlanjutan industri tidak hanya soal keuntungan perusahaan, tetapi juga soal ketahanan sosial komunitas di sekitarnya.

Dalam konteks Yogyakarta dan sekitarnya, industri garmen seperti MTG tidak hanya berkontribusi terhadap ekspor, tetapi juga membuka lapangan kerja yang relatif besar bagi masyarakat lokal. Penyerapan tenaga kerja sebanyak ini menciptakan ketergantungan ekonomi di banyak lapisan sosial. Ketika satu pabrik padam, getarannya bisa dirasakan sampai ke warung makan, pengemudi ojek, hingga rumah tangga karyawan.

Lebih jauh lagi, kasus ini memperlihatkan lemahnya sistem jaminan sosial kita. Ketika terjadi bencana, tidak ada jaring pengaman memadai untuk melindungi pekerja dari dampak ekonomi langsung. Hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah dan industri untuk lebih serius membangun sistem perlindungan tenaga kerja yang tangguh dan berkeadilan.

Sementara itu, di Jawa Tengah, dua raksasa tekstil mengalami nasib yang bertolak belakang. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi tutup pada 1 Maret 2025 setelah diputus pailit oleh pengadilan, dengan utang mencapai sekitar Rp 26,4 triliun. Sedikitnya 10.000 orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Di sisi lain, Duniatex yang sempat mengalami tekanan finansial serupa justru berhasil bangkit setelah merestrukturisasi utangnya, dan kini merekrut lebih dari 5.000 karyawan baru.

Dari kasus MTG, Sritex, dan Duniatex, kita dapat belajar bahwa persoalan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sangat kompleks. Tidak cukup hanya mengandalkan pasar dan biaya produksi murah, melainkan dibutuhkan pula sistem yang tangguh dalam tata kelola, mitigasi risiko, serta kemampuan beradaptasi dalam kondisi krisis yang cepat berubah. Ketika aspek-aspek ini diabaikan, dampaknya bisa sistemik dan berkepanjangan.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama. Pertama, pentingnya tata kelola perusahaan dan manajemen keuangan yang sehat dan transparan. Kedua, perlunya sistem keselamatan kerja dan perlindungan buruh yang tidak bisa ditawar. Ketiga, pentingnya dorongan inovasi, terutama diversifikasi produk, agar industri tekstil nasional tidak tertinggal dari perkembangan teknologi dan perubahan selera konsumen global. Keempat, dukungan regulasi dari pemerintah yang berpihak pada keberlangsungan industri dan perlindungan pekerja harus diperkuat, bukan hanya di atas kertas, tetapi nyata di lapangan.

Pemerintah daerah dan pusat perlu lebih aktif dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi industri tekstil. Bukan hanya lewat insentif fiskal, tetapi juga pembinaan, regulasi keselamatan, serta pendampingan terhadap pelaku usaha kecil hingga besar. Jangan sampai krisis membesar hanya karena pengawasan yang longgar dan minimnya intervensi.

Kebakaran MTG bisa jadi merupakan peringatan serius. Jika tidak ada perubahan mendasar dalam cara kita memperlakukan industri, mulai dari manajemen risiko sampai perlindungan tenaga kerja, kejadian serupa bisa dan sangat mungkin terulang di tempat lain. Sudah saatnya kita menata ulang industri tekstil tanah air agar lebih tangguh, berkeadilan, dan berkelanjutan. Sebab kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menyelamatkan industri ini?

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 23 Mei 2025

Ahmad Satria Budiman
Dosen Program Studi Rekayasa Tekstil UII. Bidang riset pada Cellulose-Based Fibers, Polymer Technology Sustainable Textiles

Categories
Sains Teknologi

Pertalite dan Pertamax

Pertalite dan Pertamax adalah dua jenis bahan bakar yang diproduksi oleh Pertamina, dengan spesifikasi yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan berbagai jenis kendaraan yang menggunakan mesin pembakaran dalam. Standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak jenis bensin Pertalite dan Pertamax ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi guna memastikan kualitas bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan bermotor di Indonesia.

Latar belakang penetapan standar ini mencakup berbagai aspek teknis yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi, kemampuan produsen, kemampuan dan kebutuhan konsumen, keselamatan dan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, dan untuk kepastian mutu. Penetapan standar dan mutu bensin Pertalite dan Pertamax didasarkan pada kemajuan teknologi otomotif, perlindungan lingkungan, harmonisasi dengan standar global, serta kebijakan energi nasional. Dengan standar ini, diharapkan kendaraan dapat beroperasi lebih efisien, emisi berkurang, dan kualitas udara meningkat, serta mendukung ketahanan energi nasional.

Beberapa parameter penting yang harus dipenuhi antara lain : Research Octane Number (RON), kandungan senyawa tertentu (belerang, tembaga, oksigen, hidrokarbon aromatik, benzene, dan lain-lain), wama, dan lain-lain. Parameter penting yang menunjukkan kualitas Pertalite dan Pertamax adalah Research Octane Number(RON).

Research Octane Number adalah ukuran kualitas bahan bakar berdasarkan seberapa efektif bahan bakar tersebut dapat mencegah mesin dari mengalami detonasi atau knocking saat digunakan dalam kondisi operasi standar saat digunakan dalam mesin pembakaran dalam. Knocking adalah fenomena tidak terkendalinya pembakaran bahan bakar sebelum percikan api dari busi, yang dapat merusak mesin. RON mengukur kemampuan bahan bakar untuk menahan pembakaran spontan ketika ditekan dalam mesin.

RON diukur melalui uji laboratorium menggunakan mesin standar dengan kondisi operasi yang spesifik. Uji ini dilakukan pada kecepatan mesin rendah, sehingga mencerminkan performa bahan bakar dalam penggunaan sehari-hari. Dalam pengujian ini, bahan bakar yang diuji dibandingkan dengan campuran iso-oktan (yang memiliki nilai RON 100 dan sangat resisten terhadap knocking) dan n-heptane (dengan RON 0 dan mudah meng- alami knocking). Hasilnya menghasilkan angka yang menunjukkan kemampuan bahan bakar tersebut untuk menahan knocking di bawah kondisi yang telah ditentukan.

Pertalite memiliki RON 91. Bahan bakar jenis ini dirancang un- tuk digunakan pada kendaraan dengan rasio kompresi mesin an- tara 9-10:1. Secara visual Pertalite dikenali karena warna hijau te- rang dan jernihnya. Sedangkan jenis Pertamax memiliki RON 95 dan berwarna biru. Pertamax direkomendasikan untuk kendaraan dengan rasio kompresi mesin antara 10:1 hingga 11:1, termasuk kendaraan dengan teknologi Electronic Fuel Injection (EFI).

Angka RON yang lebih tinggi biasanya diperlukan untuk mesin performa tinggi yang dirancang bekerja pada rasio kompresi tinggi, sehingga meningkatkan performa mesin. Angka RON yang lebih tinggi menunjukkan resistansi yang lebih besar dan stabil terhadap knock- ing saat beroperasi di bawah beban berat. Bahan bakar dengan RON rendah lebih mudah terbakar sebelum waktunya dalam mesin berkompresi tinggi, yang bisa menyebabkan knocking.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 28 Februari 2025

Arif Hidayat
Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII. Bidang riset pada material dan renewable energy.

Categories
Hukum

Membangun Gaza

Presiden Prabowo kembali memicu perdebatan publik melalui pengumuman kebijakan kemanusiaan yang kontroversial. Dalam kunjungan kenegaraan ke kawasan Timur Tengah belum lama ini (baca KR 12/4), Presiden menyampaikan niat Indonesia untuk merelokasi sekitar 1.000 warga sipil dari Gaza ke wilayah Indonesia. Meskipun langkah ini dikemas sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan dan dukungan terhadap rakyat Palestina, kebijakan tersebut menuai respons beragam dari masyarakat Indonesia, termasuk kritik terhadap implikasi hukum, politik, dan sosial-budaya yang mungkin ditimbulkan.

Ide relokasi sebenarnya bermula dari gagasan Presiden Trump. Pada awal masa pemerintahannya, Trump secara terbuka mendorong relokasi penduduk Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania meskipun keduanya menolak keras gagasan tersebut. Trump menggagas mengubah Gaza menjadi kawasan wisata eksklusif di Timur Tengah atau “Riviera of the Middle East.”

Pelanggaran Hukum
Pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 melarang dengan tegas pemindahan atau deportasi secara paksa, baik terhadap individu maupun kelompok dari wilayah tempat tinggal mereka.

Meskipun ada pengecualian yang memungkinkan evakuasi jika terjadi ancaman serius terhadap keselamatan warga sipil atau alasan militer yang sangat mendesak, hal ini hanya dibolehkan secara sementara dan dengan syarat warga tersebut harus dipulangkan kembali setelah situasi membaik.

Sejalan dengan itu, Statuta Roma (1998) dalam Pasal 7 ayat (1) juga mengatur bahwa pengusiran atau pemindahan paksa yang dilakukan secara tidak sah dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini bukan sekadar teori. Dalam kasus Milan Martić—seorang tokoh dalam konflik di bekas Yugoslavia—dinyatakan bersalah karena melakukan pemindahan paksa terhadap warga sipil Muslim dan dijatuhi hukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Maka dari itu, jika Indonesia dengan dalih kemanusiaan turut terlibat dalam relokasi warga Gaza yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional, negara ini berisiko terlibat dalam pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Bahkan jika situasi di Gaza dianggap sebagai konflik bersenjata internasional, tindakan relokasi permanen juga bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2)(a)(viii) Statuta Roma.

Perkuat Kedaulatan
Indonesia perlu berhati-hati dan cermat dalam merumuskan kebijakan luar negeri, khususnya dalam konteks mendukung perjuangan bangsa Palestina. Dalam situasi yang semakin kompleks dan darurat, Palestina tidak hanya membutuhkan dukungan moral, tetapi juga langkah konkret dari komunitas internasional, termasuk Indonesia, untuk memperkuat kedaulatan dan hak-hak dasarnya sebagai sebuah bangsa.

Tugas diplomasi Indonesia dalam isu Palestina masih jauh dari selesai. Salah satu agenda penting adalah mendorong pengakuan internasional yang lebih luas terhadap Negara Palestina, termasuk mendukung upayanya untuk menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di sisi lain, pemulihan kondisi internal di wilayah Palestina pasca agresi militer Israel juga menjadi urgensi besar. Indonesia, baik melalui pemerintah maupun masyarakat sipil, telah berkontribusi dalam penggalangan bantuan kemanusiaan. Namun, agar bantuan tersebut tepat sasaran dan berkelanjutan, perlu adanya koordinasi lintas negara dan peran besar organisasi internasional. Dalam hal ini, Indonesia dapat berperan sebagai pemimpin tim internasional untuk menyusun master plan pembangunan kembali Palestina yang mencakup sektor pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan tata kelola pemerintahan.

Yang tak kalah penting, seluruh upaya ini harus dilakukan dengan prinsip bahwa Palestina adalah subjek yang berdaulat, bukan objek belas kasih internasional. Bangsa Palestina membutuhkan dukungan untuk membangun kemandirian dan memperjuangkan hak-haknya secara bermartabat. Sebaliknya, dukungan terhadap ide relokasi yang didorong oleh Amerika Serikat dan sekutunya justru berpotensi memperburuk keadaan, mengingat rekam jejak mereka yang kerap mengabaikan norma dan prinsip hukum internasional.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 13 Mei 2025

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional.