Categories
Pendidikan

Desakralisasi Profesor

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Surat edaran internal di Universitas Islam Indonesia terkait peniadaan penulisan jabatan dan gelar rektor dalam dokumen tiba-tiba menjadi viral.

Kejadian di luar dugaan ini merupakan berkah tersamar yang perlu disyukuri. Apa pasal? Ikhtiar kecil tersebut oleh banyak kalangan, termasuk warganet, dianggap sebagai antitesis dari praktik obral gelar dan jabatan kehormatan oleh beberapa kampus. Praktik ini tak jarang melibatkan pejabat dan politisi dengan alasan yang sulit dipahami dengan akal sehat.

Menurut kabar termutakhir, pengajuan untuk mendapatkan jabatan akademik profesor diduga melibatkan praktik suap dengan nominal yang cukup fantastis. Praktik tersebut tentu sangat memalukan di tengah harapan tinggi publik kepada kampus sebagai pengawal moral bangsa.

Surat edaran di atas tentu bukan sekadar instrumen administratif sebagaimana dipahami oleh sebagian orang.

Ada beragam alasan yang lebih substantif meski sudah dapat diduga perspektif ini tidak akan diamini oleh semua profesor. Perbedaan pendapat seperti ini merupakan hal yang sangat wajar di alam demokrasi selama didasari dengan nilai yang baik.

Apa alasan substantif di balik penerbitan surat edaran tersebut? Paling tidak adalah tiga, yakni menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah publik, dan mendesakralisasi jabatan profesor.

Semangat kolegialitas

Semangat kolegialitas ini sudah agak lama terkikis di tengah maraknya praktik neoliberalisme dalam manajemen perguruan tinggi. Salah satu indikasinya adalah kuasa pasar yang menentukan banyak pilihan sikap. Hubungan internal yang dibangun pun melahirkan jarak kuasa yang semakin jauh, antar-jenjang fungsional dan struktural.

Jabatan profesor yang menghuni jenjang fungsional tertinggi akan menambah jarak sosial dalam berinteraksi. Ujungnya adalah budaya feodalisme gaya baru yang mewujud dalam beragam bentuk di lapangan.

Dengan menghidupkan kembali semangat kolegialitas, jarak kuasa sesama kolega akan semakin dekat.

Kampus akhirnya dapat menjadi salah satu tempat yang paling demokratis. Para dosen menempatkan diri sebagai kolega intelektual yang mempunyai kedaulatan dalam berpikir dan menyatakan pendapatnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat.

Tanggung jawab publik

Betul, profesor adalah sebuah capaian jabatan akademik tertinggi. Namun, banyak yang lupa bahwa di dalam jabatan itu melekat tanggung jawab publik. Pemahaman ini perlu dilantangkan kembali agar menjadi kesadaran kolektif.

Tanggung jawab publik tersebut dapat termanifestasikan ke dalam beragam peran. Salah satunya adalah intelektual publik. Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik.

Tugasnya, meminjam formulasi Chomsky (2017), adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan, memberikan konteks kesejarahan, serta mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang perdebatan publik.

Intelektual publik berikhtiar mendekatkan bidang kajiannya dengan kepentingan publik, termasuk juga bersuara terhadap beragam penyelewengan yang muncul. Menurut Chomsky, karena para intelektual ini mempunyai banyak privilese yang dinikmati, tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan dengan mayoritas awam.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Didorong oleh kegeraman, seorang kawan bahkan berseloroh jika hari-hari ini kita mengalami surplus profesor, tetapi di saat yang sama kekurangan intelektual publik.

Ikhtiar desakralisasi

Saat ini sebagian kalangan memandang jabatan profesor sebagai sesuatu yang sakral. Banyak orang yang menjadikannya sebagai bagian dari status sosial yang perlu dikejar dengan segala cara, lantas dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan.

Sebagian banyak diduga menabrak etika. Kalangan non-akademisi, termasuk politisi dan pejabat, pun akhirnya terpincut untuk mendapatkannya.

Karena dianggap sebagai status sosial tinggi, cerita lucu di lapangan pun bermunculan, termasuk kemarahan si empu ketika jabatan tersebut tidak disematkan. Komentar warganet di beragam linimasa media sosial terkait dengan isu profesor abal-abal menambah daftar kelucuan.

Jika jabatan ini dianggap sakral, si empunya seakan menjadi orang suci, yang jika kebablasan akan menjelma menjadi makhluk yang kalis dari kritik dan kesalahan. Tentu bukan ini yang seharusnya terjadi di dunia akademik. Semua kebenaran bersifat nisbi dan terbuka untuk dikritisi.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Jabatan ini, karena itu, perlu didesakralisasi dengan memutus asosiasinya dengan beragam privilese yang menyertainya yang sebagian bersifat absurd. Privilese muncul karena merupakan legitimasi yang bersumber dari otorisasi pihak yang lebih berkuasa dan endorsemen dari sekelilingnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat. Pada saat yang sama, penghilangan penulisan jabatan dan pemanggilan dalam interaksi keseharian menjadi salah satu ikhtiar kultural untuk desakralisasi.

Dengan demikian, para pengejar jabatan ini akan diberikan koridor yang bermartabat. Jika mendapatkannya pun si empunya hanya akan merayakan seperlunya dengan penuh kesadaran adanya tanggung jawab publik yang melekat di dalamnya.

Jika kesadaran ini diikuti oleh semakin banyak profesor, tidaklah berlebihan untuk berharap jika gerakan simbolik dalam surat edaran tersebut akan semakin melantang dan melahirkan budaya akademik baru yang lebih egaliter. Semoga.

Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 25 Juli 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.



Categories
Lingkungan

Gen Z dan Baby Boomers sama-sama Merana karena Perubahan Iklim, Tak Perlu Saling Tuding

Kajian di tingkat global maupun nasional banyak kaum muda dari Generasi Z (Gen Z) dan Milenial sangat risau terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim. Gen Z merupakan kelompok penduduk global yang lahir dalam periode 1998-2012, sedangkan Milenial lahir di antara 1981-1995.

Level keresahan mereka pada kondisi bumi saat ini lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, seperti Generasi X (1965-1989) dan Baby Boomers (1946-1964).

Kondisi tersebut melahirkan aksi iklim yang sangat kencang dari kaum muda Gen Z maupun Milenial dibandingkan orang-orang tua. Bahkan, aksi tersebut juga memicu lahirnya meme “Ok Boomer”, sebagai sindiran sejumlah anak muda terhadap generasi tua yang dianggap kolot terhadap langkah maju, termasuk aksi iklim.

Sayang, sindiran ini justru menimbulkan sentimen antargenerasi dan tindakan saling menyalahkan. Generasi muda menganggap generasi tua telah merusak lingkungan dan memperparah perubahan iklim. Generasi tua juga dicap lamban untuk mengatasinya.

Sementara itu, generasi tua mengeluhkan anak muda yang mereka anggap “mental lembek” dan hanya doyan main gadget. Mereka juga acap “menyuruh” yang muda untuk bertindak mengurus persoalan lingkungan.

Membawa sentimen generasi dalam isu perubahan iklim justru tidak menyederhanakan persoalan. Banyak faktor yang akhirnya luput dari pertimbangan saat melihat akar masalah krisis iklim serta dampak-dampaknya.

Meskipun meme-meme bernada sindiran menambah paparan publik terhadap isu lingkungan, percakapan semacam ini justru bisa menggeser fokus publik terhadap cara penanganan perubahan iklim.

Setiap generasi membutuhkan lebih banyak perbincangan seputar dampak perubahan iklim. Dengan bercakap-cakap lebih banyak, antargenerasi seharusnya saling berempati dan berdialog untuk merumuskan aksi bersama, sesegera mungkin.

Generasi mana yang paling menderita?

Kejadian tak menyenangkan akibat perubahan iklim baik panas ekstrem, kebakaran hutan, puting beliung, banjir, maupun ombak dahsyat mengakibatkan kerugian banyak orang di berbagai negara dan juga daerah di Indonesia. Namun, pengalaman terhadap kejadian maupun bencana antargenerasi jelas berbeda.

Gen Z yang lahir dalam periode 1998-2012 bertumbuh di situasi suhu Bumi sudah lebih hangat setidaknya 0,5°C sejak era praindustri (1850-an) , dibandingkan generasi Baby Boomers yang lahir di antara tahun 1948-1962. Perbedaan ini juga terasa apalagi oleh Generasi Alpha yang lahir dalam periode 2013-2022.

Kedua generasi ini, termasuk Millenial yang lahir dalam periode 1981-1995, menjadi kelompok yang sangat merasakan dampak perubahan iklim di masa depan. Jikalau seluruh negara dunia serius dan ambisius meredam perubahan iklim (termasuk melenyapkan pembakaran batu bara), mereka akan menjalani sebagian besar hidupnya di tengah kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5-2,4°C.

Semakin panas suhu Bumi, kemalangan yang menimpa manusia akan terus parah. Ini dapat berdampak pada kesehatan fisik maupun mental.

Sementara itu, dengan skenario yang sama, generasi Baby Boomers merasakan kenaikan suhu 1,9°C. Karena mayoritas sudah berusia lanjut, Boomers mereka lebih rentan mengalami dampak perubahan iklim dalam waktu dekat seperti panas menyengat, kebakaran hutan, longsor, dan hujan ekstrem.

Di negara berkembang seperti Indonesia, situasi itu bisa berefek lebih memprihatinkan. Sebagai contoh, generasi tua yang menjadi petani, mulai dari Generasi X hingga Boomers, banyak terpapar panas ekstrem di ladang dan ketidakpastian cuaca. Ini berdampak pada kesehatan sekaligus sumber nafkah mereka.

Nelayan generasi Baby Boomers di desa-desa pesisir Sumbawa, misalnya, tak bisa disalahkan atas dan perubahan iklim. Sebaliknya, mereka justru menjadi korban.

Dalam kasus lain, ada pemuda yang terbukti menerima suap dari perusahaan perusak lingkungan yang membuat Bumi semakin celaka.

Empati antargenerasi

Gentingnya situasi Bumi saat ini seharusnya membuat kita mengurangi waktu untuk saling menyalahkan. Sebaliknya, setiap generasi perlu menyadari bahwa perubahan iklim berdampak pada seluruh kalangan—berapapun usia mereka saat ini.

Generasi tua seperti Baby Boomers dan Gen X perlu memahami bahwa generasi muda, terutama Gen Z dan Gen Apha, bertumbuh di tengah situasi Bumi yang lebih buruk. Di masa depan, situasi terancam semakin parah.

Di lain pihak, generasi muda juga perlu mengamini bahwa generasi tua sangat rentan mengalami dampak perubahan iklim. Para lansia di negara berkembang, dengan angka harapan hidup yang lebih rendah dari negara maju, berisiko terimbas dampak kerusakan lingkungan berkali-kali lipat.

Karena permasalahan lingkungan adalah tanggung jawab seluruh umat manusia, empati antargenerasi amat diperlukan untuk melecutkan perbincangan bersama agar dapat meredam “konflik” antargenerasi dan bisa saling mengkuatkan untuk bertahan di tengah iklim yang berubah.

Kerja bersama antargenerasi juga bisa menghasilkan solusi yang lebih efektif dan menyeluruh. Milenial dan Gen Z dapat memperoleh wejangan dan mencari pengalaman dari generasi tua untuk merumuskan aksi iklim yang tepat sasaran. Sementara Boomers maupun Gen X dapat memanfaatkan id-ide segar generasi penerusnya untuk membantu pemulihan kerusakan yang terjadi di masa produktif mereka.

Dialog antargenerasi untuk saling memahami dan mencari solusi bersama sebenarnya sudah dimulai di banyak tempat. Berbagai daerah di Indonesia, sebagai negara yang rentan terhadap berbagai krisis, perlu memulai dan membiasakannya mulai saat ini.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Augustus 2024

Diah Ayu Prawitasari
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan UII. Minat riset pada teknologi remediasi

 

Categories
Politik

Bagaimana Pilpres 2024 akan Membingkai Ulang Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia?

Dua pekan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kontestasi tiga calon presiden – Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto dalam meraih simpati rakyat kian ketat. Sepanjang masa kampanye, salah satu aspek yang mengundang perhatian publik adalah bagaimana ketiganya memandang dan menyusun arah kebijakan luar negeri ketika terpilih nanti.

Seiring dengan akan berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pertanyaan mengenai politik luar negeri kian menguat, terutama apakah penerusnya akan melanjutkan atau mengubah pola hubungan Indonesia dengan Cina, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara tetangga.

Melanjutkan tradisi sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, Jokowi telah menerapkan politik luar negeri “bebas aktif”, sebagai landasan kebijakan nonblok yang aktif memberikan kontribusi perdamaian dan diinisiasi pertama kali tahun 1948 oleh wakil presiden pertama, Mohamad Hatta. Pada 2022, Jokowi sempat berupaya menempatkan peran Indonesia sebagai perantara perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi mengunjungi kedua negara dan mengundang Ukraina untuk menghadiri KTT G20 di Bali. Pada tingkat ASEAN, di bawah kepemimpinan Indonesia tahun ini terlihat tampak berupaya menciptakan sikap netral dalam menyikapi hubungan antara AS dan Cina dengan tujuan mencegah timbulnya potensi konflik dan menjaga stabilitas kawasan.

Sejauh ini, tiga calon presiden (capres) yang berkompetisi pada Pemilu 2024 menyatakan akan mempertahankan tradisi kebijakan luar negeri Indonesia “bebas aktif”. Pertanyaannya, adakah perbedaan implementasi “bebas aktif” di antara ketiganya?

Anies: mengakhiri pragmatisme

Anies menguraikan platform kebijakan politik luar negerinya dengan mengkritisi pendekatan pemerintah saat ini dalam mengelola hubungan luar negeri yang menurutnya “pragmatis dan transaksional”.

Kritik ini muncul karena sejak Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, pendekatan kebijakan luar negeri yang berkhidmat terhadap multilateralisme tidak lagi dilanjutkan. Sebab, pendekatan tersebut diyakini hanya memberikan sedikit manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia.

Hal inilah yang menjadi faktor mengapa Jokowi tidak menghadiri sejumlah forum tingkat tinggi dan hanya fokus melantangkan diplomasi ekonomi serta memperbaiki hubungan bilateral dengan sejumlah negara tertentu. Diyakini, pendekatan ini lebih banyak memberi manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Berbeda dengan pendekatan pragmatis Jokowi, Anies ingin mengembalikan Indonesia ke tingkat global dengan mengambil lebih banyak peran kepemimpinan dalam mengatasi isu-isu internasional. Kebijakan luar negerinya akan fokus pada peningkatan peran dan partisipasi Indonesia untuk urusan internasional dan dalam tatanan global.

Sebagai contoh, Anies mendambakan Indonesia berperan menjadi pemimpin garda depan di ASEAN untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik dan, dalam jangka panjang, menjadikan ASEAN sebagai pusat dialog antarnegara besar.

Prabowo: menjadi tetangga yang baik

Prabowo memaparkan platform kebijakan luar negerinya dengan janji untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif dan di saat yang sama memperkuat kebijakan pertahanan negara.

Arah kebijakan luar negeri ini sudah bisa diprediksi dari awal, mengingat latar belakang militer Prabowo dan posisinya saat ini sebagai menteri pertahanan.

Meski demikian, serupa dengan Anies, pendekatan Prabowo juga berfokus pada peran Indonesia dalam stabilitas kawasan. Ia ingin Indonesia menjadi “tetangga yang baik” dan menjaga hubungan yang stabil dengan negara tetangga di Asia Tenggara.

Kemungkinan, Prabowo juga akan melanjutkan pendekatan luar negeri yang dilakukan Jokowi, yaitu enggan untuk berpihak di tengah persaingan negara adidaya.

Yang menarik, Prabowo menekankan bagaimana Indonesia harus menghormati AS bersama sekutunya, serta Cina. Ia juga menekankan bahwa India dan Rusia juga merupakan mitra penting bagi Indonesia, sebagaimana juga negara-negara Afrika yang memiliki kesamaan pengalaman kolonialisme masa lalu.

Prabowo menjadi satu-satunya capres yang dengan terbuka membahas pentingnya Indonesia menjadi tetangga yang baik. Di bawah kepemimpinannya jika terpilih nanti, ia hendak menunjukkan bahwa kehadiran Indonesia di kawasan tidak akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara sekitar.

Ganjar: memaknai kembali ‘bebas aktif’

Platform kebijakan luar negeri Ganjar fokus pada empat isu penting global: kemunduran demokrasi, ketidakadilan global, kemerosotan ekonomi, dan konflik di kawasan.

Secara khusus, Ganjar menekankan pada eskalasi ketegangan di Asia, yang ditunjukkan dengan memburuknya hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Taiwan, serta masih berlangsungnya sengketa Laut Cina Selatan (LCS).

Ganjar juga berkomitmen mempertahankan politik luar negeri “bebas dan aktif” dengan sedikit pemaknaan ulang agar lebih efektif dan selaras dengan situasi geopolitik saat ini. Pemaknaan ulang ini termasuk merumuskan strategi agar Indonesia dapat lebih proaktif –bukan pasif responsif – dalam urusan internasional.

Platform kebijakan luar negeri masing-masing kandidat memberikan gambaran sekilas mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan. Kebijakan luar negeri yang “bebas aktif” kemungkinan besar akan tetap berlaku, apapun hasil pemilu mendatang. Meski, di tengah persamaan tersebut, masing-masing calon juga menekankan prioritas tertentu yang menjadi pembeda satu sama lain.

Tulisan ini sudah dimuat di The Conversation pada tanggal 2 Februari 2024

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Hukum

Serangan Siber kian Masif, Akankah Angkatan Siber TNI jadi Solusi?

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.

Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam publik. UU ITE saja sudah kerap menjadi alat untuk membatasi publik dalam menyampaikan pendapat.

Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.

Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan disusupi agenda-agenda politik praktis.

Rentannya serangan siber

Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.

Indonesia sendiri termasuk negara yang masih sangat rentan terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.

Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa komponen pertahanan di bidang siber yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.

Namun, kenyataannya masih banyak terjadi serangan siber yang gagal diantisipasi. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.

Contohnya adalah kebocoran data paspor dan penduduk yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.

Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran ujaran kebencian dan hoax di media sosial.

Maka dari itu, usulan munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.

Usulan pembentukan Angkatan Siber ini perlu ditinjau secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.

Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat patroli siber Polri menjadi sangat agresif dalam menegakkan keamanan siber.

Agresivitas ini justru lambat laun menjadi mengkhawatirkan, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. Jika salah langkah, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru mengancam demokrasi.

Antara pertahanan dan keamanan

Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.

Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.

Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini.

Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “Sinergitas TNI-Polri”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.

Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Untuk pertahanan, bukan keamanan

Kita bisa belajar dari Digital and Intelligence Service (DIS), Angkatan Siber Singapura yang baru saja dibentuk pada Maret tahun lalu.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Operasi siber memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil.

Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.

Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 September 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

 



Categories
Pendidikan

Jangan Panggil Saya ‘Prof’: Mengapa Desakralisasi Gelar Profesor Perlu Dilakukan?

Masalah etika dan akademis para dosen untuk mencapai status ‘profesor’ atau ‘guru besar’ belakangan ini menjadi sorotan publik. Perkara-perkara mulai dari kontroversi guru besar muda, Kumba Digdowiseiso, praktik “aji mumpung” kampus untuk mengatrol guru besar, hingga para politikus yang berlomba-lomba mendapatkan gelar profesor, menggerus kredibilitas akademisi berikut kebijakan pemerintah seputar penilaian akademis di mata publik.

Di tengah persoalan tersebut, terbit surat edaran dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Fathul Wahid, yang meminta agar gelar akademisnya tidak dicantumkan di dalam surat, dokumen, serta produk hukum kampusnya. Rektor UII hanya mengecualikan edaran “jangan panggil saya Prof” ini untuk dokumen ijazah dan transkrip nilai.

Tradisi menanggalkan penyematan gelar dalam pergaulan akademis memang bukan praktik baru di banyak negara. Namun, di Indonesia, langkah rektor UII dapat kita lihat sebagai sebuah gerakan simbolik untuk membuka diskusi seputar desakralisasi gelar akademis di tengah fenomena inflasi guru besar di tanah air.

Sakralisasi gelar akademis

Di Indonesia, pencapaian gelar akademis maupun atribut lainnya sering terkait dengan motivasi ekonomi terutama kenaikan gaji dan tunjangan. Pencapaian juga menjadi simbol mobilitas vertikal untuk mendapatkan penghormatan dan perlakuan istimewa dalam masyarakat. Akibatnya, banyak orang mengejar gelar tersebut dengan menempuh berbagai siasat.

Ini dibuktikan dengan temuan penelitian yang menempatkan integritas publikasi ilmiah di Indonesia terendah nomor dua di dunia. Dalam hal ketidakjujuran akademis, skor Indonesia hanya 16,7%, di bawah Kazakhstan yang menempati urutan pertama (17%).

Di sisi lain, tradisi pengultusan hierarki profesor sebagai derajat akademis tertinggi semakin menguatkan budaya feodalisme sekaligus peneguh kesenjangan. Alih-alih merujuk pada tanggung jawab keilmuan dan kepakaran, gelar doktor atau profesor kerap secara sengaja disakralkan untuk memperlebar jarak sosial, termasuk di lingkungan kampus.

Penunjukan jabatan seperti kepala pusat studi di kampus, misalnya, sering kali berdasarkan pengutamaan status profesor, bukan berdasarkan kualitas individu dan rekam kinerja riset.

Para pemilik gelar mungkin tidak menyadari ataupun mengakui sakralisasi ini. Namun, tetap saja, masih ada profesor yang tersinggung jika gelarnya tidak ditulis dalam surat undangan ataupun merasa direndahkan jika orang lain memanggil namanya tanpa disertai sapaan “Prof”.

Antara budaya feodal dan iklim akademis yang egaliter

Harus diakui, tradisi akademis terkait panggilan profesor diterapkan secara berbeda di Indonesia atau secara umum di Asia, jika dibandingkan negara Barat.

Ini salah satunya bersumber pada kentalnya budaya paguyuban (gemeinschaft) yang merupakan ciri masyarakat feodal bercorak produksi agraris–pedesaan. Budaya paguyuban berdasar pada hubungan status seperti keluarga, tradisi, dan adat yang menempatkan kendali dan hormat kepada para senior atau mereka yang dianggap dituakan.

Namun, iklim akademis dan budaya intelektual di perguruan tinggi semestinya bersifat egaliter dan kolegial. Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, pada tahun 1833 memperkenalkan pendekatan andragogi yang kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa oleh pendidik Amerika Serikat (AS), Malcolm Knowles. Andragogi adalah proses pelibatan peserta didik dewasa ke dalam pengalaman belajar dengan model interaksi egaliter antara mahasiswa dengan dosennya sebagai sesama orang dewasa.

Artinya, berdasarkan pendekatan andragogi, lembaga pendidikan tinggi diharapkan terus melahirkan para ahli dengan cara bertukar pikiran secara proporsional, asertif, kritis, dialogis, dan kolegial. Pelaksanaan cara ini pun harus berlandaskan sikap saling menghargai serta menghormati tata nilai dan budaya akademis yang berlaku universal.

Bentuk pengultusan seperti rasa segan dan hormat yang berlebihan, jika hanya didasarkan pada superioritas gelar, bukan pada kapasitas keilmuan dan rekam jejak akademis, akan menghambat perkembangan iklim akademis dan budaya intelektual yang sehat di kampus.

Upaya desakralisasi

Sebelum Rektor UII, banyak tokoh dan akademisi di tanah air yang juga menerapkan praktik sapaan egaliter. Mendiang Ahmad Syafii Maarif, misalnya, jarang menuliskan gelar akademisnya. Meski telah didapuk sebagai “tokoh bangsa” dan pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ia lebih nyaman dipanggil “Buya” daripada gelar berderet “Prof. K.H. Ahmad Syafii Maarif, M.A, Ph.D”.

Contoh lain akademisi asal Indonesia yang konsisten menolak dipanggil “Prof” adalah sosiolog Ariel Heryanto. Ia selalu mengatakan, “Panggil saja saya Ariel,” kepada orang-orang yang memanggilnya dengan sapaan “Prof Ariel”.

Belakangan, beberapa instansi terkait pendidikan dan riset di Indonesia seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga tidak lagi menuliskan gelar akademis dalam standar pengesahan dokumen-dokumen resmi.

Lebih dari sekadar panggilan

Akar masalah integritas akademis di Indonesia bukanlah terbatas pada perlu-tidaknya panggilan-penulisan, desakralisasi, atau sebaliknya pemurnian gelar “profesor”.

Kejujuran, kedisiplinan, etika, dan integritas akademis perlu segera ditegakkan oleh semua pihak, lebih dari sekadar perlu atau tidaknya atribusi bagi seorang profesor.

Banyak persoalan integritas akademis dalam proses pengajuan guru besar yang juga perlu disorot. Sebut saja kelayakan dan riwayat integritas akademis individu pengaju jabatan guru besar, independensi asesor administratif dan substantif, impunitas (pembebasan dari hukuman) terhadap pelaku perjokian dan praktik predatory karya ilmiah, dan normalisasi plagiarisme. Kita juga perlu mengawasi kurangnya transparansi, kecepatan merespons dan menangani kasus, serta ketegasan penegakan aturan disiplin etika akademis oleh institusi pengelola yaitu pihak kampus dan Kemendikbudristek.

Gerakan moral desakralisasi gelar profesor ini telah diinisiasi oleh Rektor UII, dan ternyata berhasil menarik perhatian publik lebih luas. Oleh karena itu, mengapa tidak kita dukung sebagai momentum untuk berbenah?

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2024

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.

Categories
Politik Sosial Budaya

Bagaimana Aktivisme Digital Penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024

Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga politik. 

Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 55%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Dunia.  

Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.

Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini menyangkal bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.

‘Anies Bubble’ dan manuver politik

Akun @aniesbubble mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023.

Akun @aniesbubble mengadopsi karakter fandom K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai pendukung hak asasi manusia, lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak, dan memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis). 

Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas clicktivismmetavoicing, dan assertion yang diungkapkan oleh Jordana J.George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat. 

Aktivisme ini diawali dengan clicktivism, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian likevoting, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun @aniesbubble muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip Live TikTok Anies yang pertama  pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan like sebanyak 4,1 ribu. Voting dilakukan saat @aniesbubble membuka voting pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024, antara Humanies atau Manies.

Aktivitas berikutnya adalah metavoicing, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang post (reposting), sharing, dan retweeting unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan repost terbanyak adalah konten mensenai guru PAUD, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.

@aniesbubble juga melakukan metavoicing dengan mengunggah ulang potongan-potongan video live Tiktok Anies ke platform X. Repost maupun retweeting merupakan aktivitas yang satu level lebi tinggi daripada liking karena membutuhkan usaha yang lebih.

Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari live Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X.

Sementara itu, assertion didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan skill yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada clicktivism dan metavoicing karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.

@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat konten-konten promosi seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.

Melalui wawancaranya dengan media Magdalene , admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.

Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop. Akun X dengan username @olpproject bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. Video promosi Anies dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.

Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut

Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.

Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka. 

Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan banyak disindir oley warganet di X “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.

Adu ‘branding’ kandidat di media sosial

Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (botism).

Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha menciptakan branding diri agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.

Capres Prabowo Subianto juga membentuk image ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah podcast pada 2019 lalu yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.

Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana pengguna media sosial menunjukkan perspektifnyaHype di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Februari 2024

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada  masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Kesehatan Sosial Budaya

Jumlah Ibu yang Berikan ASI Eksklusif Menurun : Pesan Kampanye ASI harus Lebih Efektif

Selama lima tahun terakhir, pemerintah gencar kampanyekan pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sebagai bagian dari upaya pencegahan stunting di Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama usia enam bulan pertama bayi agar tumbuh kembangnya optimal. Selama masa awal kehidupannya, bayi hanya boleh menerima ASI dan tidak boleh mendapatkan asupan makanan lain.

Sayangnya, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) melalui Survey Status Gizi Indonesia justru menunjukkan drastisnya penurunan pemberian ASI eksklusif dari 48.6% pada tahun 2021 menjadi 16,7% pada 2022. Angka tersebut jauh dari target yang dicanangkan Majelis Kesehatan Dunia (WHA) mengenai pemberian ASI eksklusif di setiap negara, setidaknya mencapai 50% pada 2025.

Meski bukan faktor penentu keberhasilan pemberian ASI eksklusif, penelitian menunjukkan bahwa kampanye ASI bisa berdampak nyata (signifikan) dalam meningkatkan jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif.

Di Indonesia, pesan kampanye ASI eksklusif selama ini berkutat seputar ASI merupakan nutrisi terbaik yang dibutuhkan bayi hingga pentingnya pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Namun, penelitian menunjukkan pesan kampanye ASI sejenis ini justru dikritisi banyak ibu menyusui (busui).

Meramu pesan kampanye ASI yang efektif

Para busui peserta penelitian di Inggris pada 2016 menilai perlunya promosi alternatif pesan kampanye ASI yang lebih efektif agar mendorong kesadaran para ibu mengenai pentingnya pemberian ASI.

Berikut elaborasi pandangan mereka soal pesan alternatif dalam kampanye ASI yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengembangkan strategi kampanye ASI eksklusif di Indonesia:

  1. Memberikan ASI adalah cara normal menyusui

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI seharusnya tidak digambarkan sebagai cara menyusui “yang terbaik,” melainkan cara menyusui “yang normal.”

Melabeli ASI sebagai “yang terbaik” berisiko menimbulkan pemahaman di antara para ibu bahwa menyusui adalah proses sulit yang hanya bisa dilakukan orang-orang tertentu. Pandangan lain yang mungkin muncul, yaitu jika ASI adalah “yang terbaik,” berarti susu formula “cukup baik” sehingga tidak masalah jika dikonsumsi bayi.

Penelitian mengenai promosi ASI  kemudian merekomendasikan agar pesan kampanye ASI adalah yang terbaik dihentikan karena justru membuat para orang tua beralih ke susu formula. Di Indonesia, angka pemberian susu formula pada bayi terus meningkat dari 45,2% pada tahun 2021 menjadi 61,6 persen pada 2022, dengan total belanja mencapai Rp3 triliun per tahun.

Sebagai gantinya, pesan kampanye berupa “pemberian ASI adalah cara normal menyusui” perlu digalakkan. Produksi ASI merupakan proses biologis normal yang dialami semua ibu usai melahirkan, kecuali ibu dengan kondisi kesehatan tertentu.

Karena itu, sangat penting untuk menormalisasi pemberian ASI sebagai “aturan biologis.” Menekankan praktik menyusui sebagai aturan biologis bisa menghasilkan efek positif.

Pertama, pesan kampanye ini bisa memotivasi para ibu untuk percaya pada kemampuan tubuhnya dalam memproduksi ASI. Kedua, menyusui tidak dijadikan sebagai pilihan, tetapi diharapkan menjadi tindakan otomatis yang dilakukan para ibu setelah melahirkan. Dengan begitu, pemberian susu formula untuk bayi jadi pilihan terakhir saat menyusui tidak bisa dilakukan.

  1. Menyusui tak mudah, ibu butuh dukungan

Dalam kampanye ASI eksklusif, menyusui digambarkan sebagai proses yang mudah, murah, dan memberikan banyak manfaat kesehatan. Pesan ini tidak keliru, tapi kurang menggambarkan situasi nyata yang dihadapi para ibu saat menyusui.

Busui menghadapi banyak sekali tantangan secara fisik dan psikis, seperti sakit di area payudara, kelelahan, khawatir berlebih, dan mudah stres akibat hormon yang tidak stabil usai melahirkan.

Penelitian menunjukkan ketidaktahuan busui mengenai tantangan saat menyusui dan cara mengatasinya membuat mereka tidak siap dan gampang menyerah saat menghadapi kesulitan dalam proses menyusui.

Penting untuk menginformasikan risiko-risiko tersebut kepada busui dan pasangannya sebelum dan selama proses menyusui. Dengan begitu, para orang tua akan lebih siap menghadapi tantangan dari proses menyusui, termasuk mengetahui kapan dan ke mana mereka harus meminta pertolongan saat menghadapi kesulitan.

  1. Efek samping susu formula

IDAI melalui Panduan Pemberian Susu Formula pada Bayi Lahir menjelaskan bahwa bayi diperbolehkan mengonsumsi susu formula jika sang bayi atau ibunya memiliki kondisi medis tertentu, seperti bayi lahir prematur atau ibu HIV positif. Selain alasan medis yang disebutkan dalam panduan tersebut, bayi di bawah enam bulan tidak dianjurkan mengonsumsi susu formula karena dapat membahayakan kesehatannya di masa depan.

Meski sudah ada kesepakatan bersama (konsensus) bahwa konsumsi susu formula harus dibatasi, penelitian menunjukkan masih adanya kesalahpahaman mengenai susu formula tidak berbahaya.

Padahal, konsumsi susu formula dalam jangka waktu lama bisa berdampak buruk pada kesehatan bayi maupun produksi ASI sang ibu. Bayi berisiko mengalami masalah medis, seperti alergi susu dan gagal mendapatkan perlindungan kekebalan tubuh dari kolostrum, cairan pertama yang dikonsumsi bayi dan keluar dari kelenjar payudara ibu, sebelum ASI.

Pemberian susu formula dalam waktu lama juga berisiko mengurangi, bahkan menghentikan produksi ASI ibu. Soalnya, bayi yang sudah terbiasa mengonsumsi susu formula cenderung malas menyusu sehingga ASI yang menumpuk dalam payudara menyebabkan pembengkakan dan nyeri yang pada akhirnya menghentikan produksi ASI. Kegagalan ASI eksklusif juga merupakan salah satu faktor risiko anak mengalami stunting di masa depan.

Kendati risiko pemberian susu formula cukup besar, belum ada upaya khusus dari pemerintah dalam menginformasikan efek samping tersebut kepada masyarakat lewat pelabelan produk maupun kampanye ASI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi telah memuat aturan pelabelan dalam produk susu formula, di antaranya pencantuman informasi nilai gizi, cara penggunaan, dan dukungan terhadap ASI eksklusif. Namun, tidak ada aturan khusus yang mewajibkan produsen untuk mencantumkan efek samping pemberian susu formula pada bayi dan produksi ASI ibu.

Padahal, dengan menyertakan efek samping susu formula lewat pelabelan produk dan kampanye ASI, kesadaran masyarakat mengenai risiko kesehatan yang ditimbulkan susu formula akan meningkat sehingga dapat memotivasi para orang tua dalam mengupayakan pemenuhan ASI eksklusif untuk bayi mereka.

Evaluasi kampanye ASI

Sudah saatnya pemerintah dan lembaga terkait mengevaluasi strategi kampanye ASI eksklusif di Indonesia. Apakah pesan kampanye yang ada saat ini masih relevan dan efektif mendorong orang tua untuk konsisten memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama bayi mereka?

Tiga pesan alternatif di atas dapat dipertimbangkan dan diuji coba sebagai upaya meningkatkan pemberian ASI eksklusif di Indonesia. Tanpa meningkatkan pemberian ASI eksklusif, rencana penurunan stunting bisa jadi hanya mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 September 2024

Lutviah
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada komunikasi pemberdayaan, promosi kesehatan, gender dan pembangunan.

 



Categories
Politik

Jokowisme, Trumpisme, dan Dinasti Politik: Bagaimana Fenomena Pendangkalan Demokrasi Kian Mendunia

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa maju dalam kontestasi pemilihan presiden kian melebarkan jalan dinasti politik yang diduga tengah dibangun oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Putusan MK akan membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk mengikuti kontestasi pencapresan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Saat ini Gibran tengah menjabat Walikota Solo. Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hal yang kemudian turut memantik kontroversi karena Kaesang hampir nihil pengalaman politik.

Yang menarik adalah PSI memunculkan dan mempopulerkan terminologi Jokowisme, terminologi yang mengagungkan figur tertentu. Metafora semu semacam ini akan turut berperan mendangkalkan praktik demokrasi. Kedaulatan rakyat kini menjadi arena pertaruhan sekelompok elit politik demi mempertahankan maupun merebut kekuasaan.

Namun, pada kenyataannya, pendangkalan demokrasi semacam ini telah menjadi tren global yang terjadi di negara-negara pelopor demokrasi seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Ini menunjukkan bahwa ternyata praktik demokrasi di dunia tengah menghadapi tantangan yang makin meningkat, yang membuat kita mempertanyakan kembali definisi demokrasi itu sendiri.

Jokowisme dan dinasti politik di Indonesia

PSI mengklaim istilah Jokowisme sebagai metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat serta memiliki paham progresivitas pembangunan negara yang berkeadilan dan berdaulat. Penjelasan ini kemudian memunculkan anggapan bahwa Jokowisme telah melampaui sekat ideologi.

Ini sekilas memberi angin sejuk bagi platform (prinsip atau kebijakan yang didukung) pergerakan partai politik di Indonesia yang kebanyakan saat ini susah dibedakan–hampir semuanya menganut platform nasionalis religius, atau sebaliknya, religius nasionalis.

PSI dan para loyalisnya menjustifikasi bahwa mereka yang mengkritik maupun menolak Jokowisme telah gagal memahami cara kerja kekuasaan. Padahal, metafora Jokowisme itu sulit dipisahkan dari kesan proses pembentukan dinasti politik bagi anak-anak Jokowi.

Dengan kata lain, secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa cara kerja kekuasaan dalam metafora Jokowisme sendiri ternyata tidak berbasis sistem meritokrasi yang mendasarkan pada kapabilitas, melainkan tidak lebih dari sekadar fanatisme terhadap tokoh tertentu. Dan ini akan sangat mendorong terbangunnya dinasti politik.

Di Indonesia fenomena dinasti politik memang tidak hanya dilakukan oleh keluarga Jokowi. Di tingkat nasional, dengan skala yang berbeda, beberapa yang masih terlihat di antaranya adalah Puan Maharani (keluarga Megawati Soekarnoputri), Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono (keluarga Susilo Bambang Yudhoyono), dan mungkin belakangan muncul Yenny Wahid (keluarga Abdurrahman Wahid).

Trumpisme dan ancaman terhadap demokrasi AS

Pendangkalan demokrasi melalui terminologi semu juga menjalar di AS. Polarisasi antara dua partai besar di AS–Partai Republik dan Partai Demokrat–terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ada istilah Trumpisme yang muncul ketika mantan Presiden AS Donald Trump maju sebagai kandidat presiden dari Partai Republik dalam Pemilu Presiden AS 2016.

Trumpisme kemudian kerap digunakan untuk menyebut arah kebijakan dan sikap Trump terhadap berbagai kebijakan, baik domestik maupun luar negeri, serta gerakan yang mendukung atau sejalan dengan pandangan Trump. Sejumlah pengamat politik AS menyebut Trump sebagai presiden yang mempromosikan autokrasi yang akan mengancam demokrasi AS.

Peter J. Katzenstein, profesor politik dari Cornell University, mendefinisikan bahwa Trumpisme terdiri dari tiga pilar yaitu etnonasionalisme, agama, dan ras. Etnonasionalisme berfokus pada loyalitas kaum kulit putih AS. Sementara, pilar agama berpusat pada kelompok Kristen sayap kanan dan isu ras meminggirkan kelompok kulit hitam, hispanik, Muslim, dan kelompok minoritas lain.

Politik yang Trump lakukan lebih berfokus kepada dirinya sendiri sebagai tokoh. Ketika kalah dalam Pemilu AS 2020, Trump memprovokasi pendukungnya hingga menciptakan kerusuhan di Gedung Capitol, bahkan sempat melontarkan wacana untuk membuat partai baru.

Arah politik yang dibawa Trump tidak selalu mewakili ideologi partai yang mendukungnya. Bahkan muncul gerakan Never Trump oleh tokoh-tokoh Partai Republik yang lebih moderat karena mereka tidak mendukung kebijakan Trump.

Menjelang Pemilu AS 2024, narasi Trumpisme masih kembali muncul dalam debat kandidat presiden Partai Republik, padahal Trump sendiri sedang berkutat dengan berbagai dakwaan hukum.

Bagaimanapun, sistem demokrasi AS yang telah dibangun berdasarkan meritokrasi sejak abad ke-18 mampu bertahan meski sempat menghadapi berbagai ancaman. Peran dan pembagian kekuasaan yang dimiliki kongres serta pemerintah negara bagian, independensi lembaga yudikatif, serta kebebasan pers menjadi pengawal dan penjamin utama berjalannya sistem demokrasi di AS.

Referendum dan prospek demokrasi Australia

Tren pendangkalan demokrasi menjadi tantangan bagi Australia sejak satu dekade terakhir. Terbaru, hasil referendum Australia yang dilaksanakan 14 Oktober 2023 menunjukkan bahwa 60,6% rakyat Australia menolak usulan untuk mengubah konstitusi agar mengakui penduduk asli (Aborigin dan Pribumi Selat Torres). Padahal, penyelenggaraan referendum ini sendiri awalnya merupakan indikasi demokrasi Australia yang kian progresif.

Sekilas, hasil referendum ini menunjukkan kedaulatan rakyat karena adanya proses pemungutan suara yang demokratis. Namun, dalam konteks praktik demokrasi, ini mencerminkan kebangkitan tren demokrasi reaksioner.

Demokrasi reaksioner adalah gambaran kebangkitan rasisme dan populisme yang sekilas tampak sebagai cerminan tuntuan masyarakat, meski sebenarnya kebangkitan tersebut adalah hasil manipulasi yang dilakukan secara sadar oleh elit untuk mendorong kemunculan ide-ide reaksioner.

Dari definisi tersebut, boleh jadi, antiklimaks hasil referendum Australia ini muncul akibat ide-ide reaksioner yang menggagalkan dukungan pengakuan penduduk asli.

Pemimpin oposisi, Peter Dutton dan politikus populis Pauline Hanson menjadi yang terdepan dalam menolak pengakuan penduduk asli dalam konstitusi.

Menurut Hanson, dukungan terhadap perubahan konstitusi hanya akan menambah kekuasaan yang dimiliki oleh penduduk asli. Pandangan ini dinilai rasis dan kian menguatkan istilah Hansonism yang dilekatkan padanya sebagai metafora antiglobalisasi. Hanson juga dikenal sebagai politikus demagog–yang menarik dukungan dengan memanfaatkan isu populer, bukan dengan menggunakan argumen rasional.

Selain antiklimaks hasil referendum, ancaman pendangkalan demokrasi Australia juga sempat marak dengan terjadinya instabilitas politik dalam pemerintahan federal, seperti pergantian perdana menteri yang sengaja dirancang oleh kolega kabinet sendiri, menyimpangi hasil pemilu.

Ujian demokrasi reaksioner: dinasti dan demagogi

Tren politik dunia yang tengah menghadapi ancaman pendangkalan demokrasi memberikan tanda bahwa perjuangan negara merawat demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia.

Meski Indonesia, Australia, dan AS menghadapi konteks masalah berbeda dalam melawan erosi demokrasi, ketiganya tampak menghadapi ujian yang sama: demokrasi reaksioner yang ditunjukkan dari praktik politik demagogi dan politik dinasti.

Di Australia dan AS, ujian ini lebih terlihat dari pergerakan demagog yang menyebarkan isu-isu reaksioner seperti etnonasionalisme, agama, dan ras. Isu ini dijadikan komoditas politik demi mendulang popularitas dan merebut kekuasaan. Untungnya, kejelasan peran oposisi dalam badan legislatif pada kedua negara tersebut sedikit banyak menangkal kampanye demagogi yang kian memprihatinkan.

Di Indonesia, tidak mudah mengidentifikasi politik demagogi. Di atas permukaan, lebih banyak muncul fenomena dinasti politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dengan sokongan fanatisme dari para pendukung yang mengidolakan patron.

Demagog dari luar terlihat sebagi seorang yang seolah memperjuangkan rakyat, padahal semua itu sekadar hasutan yang dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Jika demagog sering diidentikan sebagai suara oposan yang menebar ketakutan demi meraih kekuasaan, hal ini sulit ditemukan di Indonesia.

Pada beberapa hal, ketiadaan oposisi formal dalam sistem pemerintahan Indonesia berpotensi membuka kemungkinan politik demagogi justru dapat muncul dari pucuk penguasa.

Demi keberlangsungan nilai-nilai demokrasi di Indonesia, sikap Jokowi yang selama ini tidak netral dalam kontestasi pemilihan presiden 2024, jika memang harus diteruskan, perlu disajikan dengan pendekatan yang lebih bermartabat guna menghindari kemungkinan kebangkitan politik demagogi dari penguasa.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.

Categories
Hukum

Indonesia Sudah Lama Punya Pengadilan HAM sendiri. Mengapa Kiprahnya Jarang Terdengar?

Pemerintah meluncurkan kick off Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada 27 Juni 2023. Langkah ini diambil atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (Tim PPHAM), yang diketuai oleh Profesor Makarim Wibisono, pakar hukum HAM sekaligus eks duta besar RI.

Hingga kini, setidaknya ada12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih mangkrak. Padahal, mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia memiliki Pengadilan HAM sendiri yang mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lembaga ini sudah berdiri sejak lebih dari 20 tahun silam.

Pengadilan HAM Indonesia pernah menjadi ‘primadona’ perbincangan akademisi pada kurun tahun 2000-an. Setelah itu, seakan tertidur tak terdengar kembali rimbanya.

Pengadilan HAM Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM). Menurut ketentuannya, Pengadilan HAM merupakan bagian dari Peradilan Umum.

Indonesia saat ini memiliki empat Pengadilan HAM permanen yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Makassar, dan PN Medan. Selain itu, juga pernah dibentuk dua Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran sebelum tahun 2000.

Ketika ramai diberitakan tentang mekanisme nonyudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, para aktivis HAM kembali “mencolek” keberadaan Pengadilan HAM ini. Amnesty International Indonesia,  misalnya, masih vokal mendorong dilangsungkannya peradilan melalui Pengadilan HAM.

Jika kita punya Pengadilan HAM, mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial?

Sempitnya yurisdiksi

Setelah dibentuk pada tahun 2000, kritik terbesar bagi Pengadilan HAM adalah bahwa kompetensi kasus yang diadili terlalu sempit.

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki pernah mengkritik bahwa menunggu Pengadilan HAM menyelesaikan kasus pelanggaran di Indonesia hanyalah “harapan semu”, karena terlalu tinggi dan sempitnya level kejahatan yang dapat diadili Pengadilan HAM.

Ini karena yurisdiksi Pengadilan HAM hanya mencakup kejahatan genosida dan kemanusiaan – tipikal kejahatan yang hanya terjadi pada kondisi konflik bersenjata, atau minimal situasi internal disturbance (gangguan keamanan tingkat tinggi) semata. Sederhananya, kasus yang diadili oleh Pengadilan HAM hanya akan terjadi jika Indonesia sedang mengalami kekacauan keamanan.

Terbukti, Pengadilan HAM, baik ad hoc maupun permanen, sedikitnya baru menyelesaikan empat kasus saja sejak dibentuk. Dua pengadilan HAM ad hoc pernah mengadili kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Sementara Pengadilan HAM Permanen pernah menangani dua kasus, yaitu kasus Abepura dan Paniai di Provinsi Papua. Keduanya terjadi setelah tahun 2000. Padahal, setidaknya ada 15 kasus pelanggaran HAM yang telah diproses Kejaksaan dan seharusnya masuk menjadi kompetensi Pengadilan HAM. Artinya, ada 11 kasus yang menunggu untuk diselesaikan.

Pengadilan sandiwara

Pengadilan HAM juga banyak mendapat kritik dari kelompok pembela HAM karena dianggap sebagai “pengadilan sandiwara” dan penuh rekayasa. Nyaris semua kasus yang ditangani Pengadilan HAM hanya dianggap sandiwara semata dan cenderung memberikan kekebalan hukum pada aparat negara yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM.

Dalam kasus Abepura dan Paniai, Pengadilan HAM memvonis bebas para terdakwa yang merupakan personil TNI dan Polri.

Kasus Abepura merupakan kasus pelanggaran HAM pertama yang diselesaikan oleh Pengadilan HAM permanen. Peristiwa ini terjadi pada 7 Desember 2000. Bermula ketika sejumlah massa tak dikenal menyerang Markas Polsek Abepura yang mengakibatkan satu orang polisi meninggal dunia. Merespons penyerangan itu, pihak kepolisian melakukan pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.

Dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan polisi itulah diyakini telah terjadi kejahatan kemanusiaan, mengakibatkan setidaknya dua mahasiswa Papua tewas dan puluhan warga sipil luka-luka.

Saat itu, Pengadilan HAM menjadi harapan banyak masyarakat, terutama para korban dan keluarga korban peristiwa Abepura. Namun, majelis hakim Pengadilan HAM pada tahun 2005 justru memutus bahwa dua terdakwa yang merupakan personel aktif Polri tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.

Putusan bebas ini membuat publik pesimis bahwa eksistensi Pengadilan HAM akan membawa kemajuan bagi penegakkan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM. Sebaliknya, kasus ini justru menegaskan impunitas aparat keamanan terhadap institusi peradilan.

Sementara itu, peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014. Saat itu, warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan oleh aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Namun, pasukan militer malah menembaki warga sipil di sana. Empat pelajar tewas di tempat, satu tewas setelah sempat dirawat di rumah sakit, dan belasan orang lainnya luka-luka.

Pada 2022, majelis hakim Pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang seorang pensiunan TNI. Putusan ini dikecam banyak kelompok masyarakat sipil. Proses persidangan dianggap tidak berkualitas, penuh kejanggalan, dan seakan memang sejak awal dimaksudkan untuk gagal (intended to fail).

Carut marut konsep sejak pembentukannya

Patut dicurigai lemahnya taring lembaga Pengadilan HAM sudah “terdesain” sejak pertama dibentuk. Dengan kentalnya pelibatan TNI dan Polri dalam perumusannya, UU Pengadilan HAM justru berpotensi memberikan impunitas hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat, khususnya yang dilakukan oleh kedua lembaga negara tersebut.

Jika demikian, pantas saja kemauan politik (political will) untuk menuntaskan penanganan kasus pelanggaran HAM oleh negara selama ini sangat lemah.

Ketika pertama dibahas, konsep Pengadilan HAM digadang-gadang bertujuan untuk menangani tuntutan warga negara yang tidak terpenuhi hak-haknya. Namun, hasil pembahasan justru menyatakan bahwa lembaga ini hanya mengadili dua bentuk kejahatan semata, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua kompetensi ini sangat mirip dengan kompetensi yang dimiliki oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang dapat mengadili empat jenis kejahatan: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Ketika UU Pengadilan HAM masih dalam tahap pembahasan pada 1999, dunia internasional tengah mendesak Indonesia untuk mengadopsi dan mengakui yurisdiksi ICC guna menangani kasus pasca-disintegrasi Timor Timur.

Pun pada akhirnya, Indonesia menolak mengakui yurisdiksi ICC dan memilih membentuk Pengadilan HAM nasionalnya sendiri yang memiliki yurisdiksi yang mirip.

Padahal dua kompetensi tersebut telah dikritik sejak dalam pembahasan awal. Dalam catatan Pemandangan Umum Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, dikhawatirkan “pada masa yang akan datang bisa jadi Pengadilan HAM tidak akan dapat bekerja secara efektif, karena langkanya perkara. 

Kritik-kritik ini akhirnya menjadi kenyataan.

Hari ini, kita semakin jarang mendengar kiprah Pengadilan HAM. Sayangnya, hal ini tidak bisa serta-merta kita artikan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi semakin sedikit, karena yang terjadi adalah sebaliknya.

Label pengadilan sandiwara pun masih tersemat. Jika masalah-masalah ini tak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin penanganan kasus melalui Pengadilan HAM akan semakin ditinggalkan. Akibatnya, harapan untuk memenuhi rasa keadilan para korban pelanggaran HAM akan semakin menjadi mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.



Categories
Pendidikan

Universitas sebagai tempat produksi pengetahuan bukan transmisi: upaya sistemik untuk hentikan pelanggaran akademis

Kasus pelanggaran akademis di pendidikan tinggi tengah menyita perhatian khalayak Indonesia dengan munculnya laporan The Conversation Indonesia _(TCID), _Majalah Tempo, dan Jaring.id yang terbit pada 28 Maret 2024 serta kasus mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional Jakarta Kumba Digdowiseiso.

Banyak yang berpandangan bahwa pelanggaran akademis itu terjadi karena beban kerja dosen, kepentingan naik pangkat/jabatan, serta insentif publikasi. Sehingga, diskusi permasalahan ini sering berakhir pada harapan atas kejujuran individual dosen.

Tulisan ini berargumen bahwa solusi atas pelanggaran akademis tidak hanya tergantung pada kejujuran individu, tetapi perubahan budaya kampus secara sistemik dan menyeluruh.

Sebab, meski sudah memiliki aturan plagiasi untuk perguruan tinggi sejak 2010, jika akademisi dan masyarakat masih melihat kampus sebagai tempat “transmisi pengetahuan” dan bukan “produsen pengetahuan”, maka kasus plagiasi, juga pelanggaran akademis lainnya, akan tetap terjadi.

Praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur

Walter J. Ong, profesor sastra dan budaya dari Amerika Serikat (AS) dalam Orality & Literacy menjelaskan bahwa masyarakat dalam budaya tutur terus-menerus mengulang dan menyalin ulang pengetahuan yang diperoleh. Karena itu, masyarakat dan akademisi di Indonesia cenderung melihat kampus sebagai tempat ‘transmisi pengetahuan’. Tujuan kampus adalah memindahkan pengetahuan pada mahasiswa. Mahasiswa dianggap sukses ketika ia mengetahui, atau hafal, pengetahuan yang diajarkan.

Ini mengapa mudah menemukan tips untuk menghafal teori di internet yang juga diajarkan dosen di ruang kelas. Ilmu diposisikan seperti ‘dogma’ dan penyalinan menjadi sesuatu yang dapat diterima, karena sebuah pengetahuan sulit dibaca secara analitis oleh masyarakat tutur. Kebiasaan seperti ini menciptakan peniruan alih-alih kebaruan.

Akibatnya, “menyalin” isi buku yang dianggap penting (buku yang memperkenalkan konsep baru) adalah hal biasa.

Ini tampak pada kasus Hamzah Ya’qub, seorang dosen sekaligus salah satu pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Banten. Pada 1973, ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan Teknik Dakwah.. Karya ini termasuk upaya awal sarjana Indonesia menghubungkan studi dakwah dengan publisistik (kemudian dikenal sebagai komunikasi).

Pada tahun 1986, buku tersebut disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam; Dari Zaman ke Zaman.

Seperti yang tampak di gambar, isi kedua buku itu nyaris sama. Bedanya hanya pada urutan tulisan, beberapa istilah/kata dan sedikit tambahan.

Namun, meski penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, tidak ada isu plagiasi terkait kemiripan dua buku itu hingga hari ini. Bahkan, buku kedua diterbitkan lagi pada tahun 1990.

Risiko kultur meniru

Selain karena rendahnya perhatian kampus pada tindakan plagiasi waktu itu, ketiadaan isu plagiat pada kasus Ya’qub disebabkan anggapan bahwa praktik meniru itu wajar. Ketiadaan aturan dan batasan yang jelas juga menjadi alasan mengapa praktik di atas tidak bisa serta merta disalahkan.

Namun, pengaturan pendidikan di masa Orde baru, yang bertujuan mencetak tenaga kerja demi pembangunan, melanggengkan kultur meniru ini—sehingga seakan-akan tidak ada cara lain dalam memperoleh pengetahuan.

Praktik pembelajaran semacam ini menguntungkan pendidikan kejuruan yang menyiapkan tenaga kerja langsung untuk masuk ke industri, tetapi tidak untuk pengembangan keilmuan. Pendidikan komunikasi, misalnya, sekadar ditujukan untuk mencetak wartawan, humas, atau penyuluh pembangunan, bukan menjadi ilmuwan. Akibatnya, nyaris tidak ada diskusi serius tentang pengembangan teori baru. Studi-studi komunikasi di Indonesia cenderung stagnan.

Ketika tujuan pendidikan adalah peniruan, pendisiplinan atas plagiasi di kampus menjadi tumpul.

Kultur meniru menjebak riset ke dalam praktik pengulangan. Di ilmu sosial terutama, tujuan riset terbatas pada upaya memverifikasi teori—mahasiswa berupaya membuktikan sebuah teori, bukan mengevaluasi. Riset studi komunikasi pada 1980 menemukan minimnya modifikasi dan adaptasi teori dalam pembelajaran di kampus Indonesia.

Peniruan dan pengulangan riset verifikatif ini memunculkan masalah lain: jual beli karya ilmiah yang menyedot perhatian di akhir 1980-an. Beberapa pihak membolehkan hal ini, dengan alasan karya ilmiah itu dapat ditiru “pola kerja, pola penyajian, dan topiknya”, bukan dijiplak.

Artinya, kampus bahkan membenarkan kultur “peniruan” ini. Meniru diperbolehkan tanpa khawatir apakah peniruan itu akan mengabaikan penghormatan atas pemikiran orang lain. Kasus ini sekaligus menandai bahaya lain dari kultur peniruan yang memungkinkan bisnis karya ilmiah lainnya seperti joki dan paper mills (pabrik jual beli artikel ilmiah).

Kampus sebagai produsen pengetahuan

Saat ini, banyak akademisi mulai memposisikan kampus sebagai “tempat produksi pengetahuan”. Fungsi dosen sebagai peneliti berusaha menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain, sehingga menghasilkan pengetahuan baru melalui publikasi di jurnal ilmiah.

Pemerintah menyusun aturan publikasi untuk mendukung hal ini. Bahkan, aturan plagiasi yang telah ada pada 2010 disempurnakan pada tahun 2021.

Meski demikian, studi mengenai riset ilmu komunikasi tahun 2022 menunjukkan pengulangan metode deskriptif kualitatif sederhana.

Ini menunjukkan kultur yang tak berubah. Peraturan pemerintah hanya memaksa dosen dan lulusan universitas turun ke gelanggang riset, tanpa keterlatihan yang cukup dan budaya diskusi ilmiah.

Pelatihan yang tersedia mayoritas terfokus pada strategi publikasi, ketimbang pendalaman substansi riset ilmiah itu sendiri. Sedangkan konferensi akademik yang semestinya digunakan sebagai pemantik budaya akademik cenderung terkooptasi oleh kepentingan politik dan berkualitas rendah.

Parahnya, insentif publikasi didasarkan hanya pada jenis kanal publikasi dan bukan pada kontribusi akademik. Buktinya, ketika tulisan kami terbit, alih-alih mendapatkan pertanyaan tentang substansi artikel, kami justru mendapatkan ucapan “Selamat atas publikasi-nya di SCOPUS/SINTA”.

SCOPUS dan SINTA adalah dua platform indeksasi jurnal ilmiah yang populer di Indonesia, dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi sebagai standar kenaikan pangkat dosen.

Upaya untuk mengejar indeksasi tersebut memunculkan prinsip “yang penting SINTA” atau “yang penting SCOPUS”, tanpa memikirkan kontribusi akademiknya.

Banyak dosen kemudian menjadi pemburu publikasi: memanfaatkan riset mahasiswa lalu mencari cara agar tembus jurnal.

Ubah cara pandang

Solusi untuk pelanggaran akademis di pendidikan tinggi membutuhkan perubahan cara pandang. Penegakan etika, perumusan kode etik, pengurangan beban kerja dosen adalah tindakan penting untuk mencegah dan menghilangkan pelanggaran akademis.

Tetapi yang lebih sistemik, dan belum dilakukan, adalah upaya untuk memosisikan kampus sebagai produsen (bukan lagi transmisi) pengetahuan, menghapus kultur peniruan, dan mendorong riset untuk tidak sekadar memverifikasi teori.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Mei 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.