Categories
Kesehatan Sosial Budaya

Media Sosial Bisa Rangkul Orang Tua Cegah ‘Stunting’ pada Anak

  • Media sosial sangat potensial untuk menyebarkan informasi MPASI yang kredibel guna mencegah ‘stunting’
  • Platform ini disukai para ibu karena lebih mudah dijangkau dan praktis dalam mencari informasi MPASI.
  • Pemerintah perlu menyediakan kanal rujukan dalam mencari informasi MPASI kredibel sesuai dengan standar kesehatan.

Tren penggunaan media sosial sebagai sumber informasi makanan pendamping ASI (MPASI) meningkat seiring dengan makin banyaknya jumlah pengguna media sosial dari kalangan ibu muda.

Studi tahun 2024 mengungkapkan bahwa 57% dari 1.631 ibu di Indonesia—terutama Milenial dan Gen Z berusia 26-30 tahun—mencari informasi MPASI lewat media sosial, seperti Instagram dan TikTok.

Pemberian MPASI sejak usia 6 bulan (dengan jumlah, frekuensi, tekstur, serta variasi makanan yang tepat) sangatlah penting, karena bisa mengurangi risiko stunting pada anak. Kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi terus-menerus ini masih menghantui 4,48 juta balita pada 2025.

Untuk membantu menurunkan angka stunting nasional yang masih tergolong tinggi, media sosial bisa dimanfaatkan dalam menyebarkan kampanye pemberian MPASI yang tepat dan kredibel.

Potensi kampanye MPASI lewat media sosial
 Riset tahun 2024 dalam Indonesian Journal of Public Health menunjukkan bahwa para ibu cenderung menyukai konten-konten MPASI dari media sosial. Survei dari Teman Bumil dan Populix pada 2021 mengungkapkan hal serupa. Sebanyak 1.179 ibu bahkan mengaku sering mengikuti tren MPASI di media sosial, baik dari influencer dengan latar belakang pendidikan kesehatan maupun selebritas.

Misalnya, beberapa peserta mengikuti tren baby led weaning (BLW), yang membiarkan anak usia di atas 6 bulan mengonsumsi secara mandiri MPASI dalam bentuk potongan-potongan kecil, seperti sayur rebus, daging ayam rebus, hingga buah potong.

Para ibu beranggapan bahwa media sosial lebih mudah dijangkau, hemat, dan praktis dalam mencari informasi MPASI. Studi tahun 2019 mengungkapkan bahwa para ibu mengaku lebih mudah memahami konten-konten dari ibu lain yang sudah berpengalaman membuat MPASI untuk anak-anaknya. Alih-alih penjelasan dokter yang sering kali sulit dimengerti karena tidak disertai dengan contoh-contoh praktis.

Selain membantu para ibu memperoleh pengetahuan seputar MPASI, media sosial juga menghubungkan para ibu dengan minat yang sama untuk saling mendukung dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberian MPASI yang sehat.

Apabila media sosial dimanfaatkan dengan tepat, platform ini bahkan dapat berperan sebagai pendukung layanan kesehatan yang membantu masyarakat memperoleh informasi kesehatan secara cepat, termasuk seputar MPASI.

Penelitian tahun 2025 yang melibatkan 76 ibu di Kota Bogor, Jawa Barat mengungkapkan bahwa penggunaan media sosial (seperti Instagram) efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan praktik pemberian MPASI yang tepat.

Secara tidak langsung, hal ini akan mengurangi beban fasilitas maupun tenaga kesehatan di Indonesia yang belum merata, terutama di daerah-daerah kecil.

Media sosial sarana komunikasi publik tepercaya
Di sisi lain, masifnya konten MPASI di media sosial, membuat para ibu merasa kebingungan ketika menerima informasi yang berbeda-beda mengenai suatu topik yang sama. Kebingungan ini terutama dirasakan oleh para ibu berpendidikan rendah, yang lebih rentan mempercayai informasi yang tidak akurat.

Banyak konten-konten MPASI di media sosial yang kebenaran informasinya tidak terverifikasi, memiliki data yang tidak lengkap, dan tersebar luas tanpa adanya pengawasan. Ini berbahaya karena dampak dari konten tersebut bisa menimbulkan risiko serius bagi kesehatan anak.

Salah satu contohnya adalah mitos bahwa MPASI perlu diberikan sebelum bayi berusia 6 bulan. Faktanya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) justru menganjurkan agar bayi hanya menerima ASI eksklusif hingga usia 6 bulan guna mencukupi kebutuhan gizinya.

Pemberian MPASI sebelum usia 6 bulan justru berisiko membuat anak mengalami diare, hingga mengembangkan obesitas di masa depan. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyediakan kanal media sosial khusus yang membahas topik-topik seputar kesehatan ibu & anak, termasuk pemberian MPASI. Kanal ini bisa menjadi rujukan bagi para ibu dalam mencari informasi kredibel yang sesuai dengan standar kesehatan.

Pemerintah bisa mengadaptasi pendekatan komunikasi terkini yang relevan dan menarik. Kolaborasi dengan influencer berlatar pendidikan kesehatan juga bisa jadi pilihan.

Untuk meluruskan informasi MPASI yang tidak tepat di masyarakat, pemerintah perlu memproduksi konten tandingan yang memverifikasi keilmiahan, serta menjawab mitos dan fakta seputar tren MPASI di masyarakat.

Melalui konten-konten MPASI yang terverifikasi dan disajikan secara menarik, para orang tua dapat belajar langsung mengenai seluk beluk MPASI (seperti pilihan menu, cara memasak, jumlah, frekuensi, hingga penyimpanannya).

Sebagai orang tua, kita juga perlu kritis untuk mengecek kebenaran informasi MPASI dari media sosial. Jangan menelan mentah-mentah informasi dari satu sumber, serta lakukan pengecekan ulang dari sumber terverifikasi lainnya (seperti jurnal ilmiah ataupun pernyataan lembaga kesehatan).

Ketika masyarakat memperoleh informasi MPASI yang kredibel dan memanfaatkannya dengan tepat, kesehatan masyarakat akan ikut meningkat sehingga beban fasilitas kesehatan juga ikut berkurang.

Cegah stunting dimulai dari masyarakat
Di tengah lambannya penurunan angka stunting di Indonesia, pemerintah perlu terus mencari cara untuk menekan kasus penghambat pertumbuhan anak ini. Salah satunya dengan mengoptimalkan peran media sosial dalam menyebarkan konten MPASI.

Optimalisasi penggunaan media sosial yang terverifikasi bisa menjangkau lebih banyak orang tua untuk mendapatkan informasi yang relevan dan kredibel, mendukung pelayanan kesehatan, menutup kesenjangan informasi antara orang tua dengan tenaga kesehatan, serta meringankan beban fasilitas kesehatan di masa depan.

Cara ini memang tidak bisa menyelesaikan akar masalah stunting yang disebabkan oleh beragam faktor, tapi bisa memperbesar peluang kita untuk mempercepat langkah pencegahan yang dimulai dari masyarakat.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 4 Agustus 2025

Lutviah
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada komunikasi pemberdayaan, promosi kesehatan, gender dan pembangunan.

Categories
Politik

Intoleransi Agama Kian Memburuk di Tengah Rezim yang Makin Otoriter

  • Deretan peristiwa intoleransi menjadi sinyal memburuknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
  • Klientelistime antara elite politik lokal dan rakyat memperparah intoleransi di tengah menguatnya otoritarianisme.
  • Cara pandang moderasi agama yang masih didominasi kontrol negara gagal menyelesaikan persoalan intoleransi.

Tepat sebulan setelah terjadinya peristiwa perusakan rumah singgah dan pembubaran acara retret di Cidahu, Jawa Barat pada 27 Juni lalu, insiden serupa kembali terjadi. Kali ini di Padang, Sumatra Barat, pada 27 Juli, terjadi perusakan rumah doa umat Kristen.

Rentetan peristiwa intoleransi ini menjadi pertanda yang mengindikasikan semakin buruknya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, terutama dalam hal kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan.

Sejak Prabowo Subianto resmi menjabat sebagai presiden pada Oktober 2024, telah terjadi sejumlah peristiwa ancaman terhadap kelompok agama dan/atau pemeluk keyakinan minoritas dalam menjalankan praktik keagamaan dan kepercayaan mereka.

Selain kekerasan terhadap komunitas antaragama, kekerasan juga dialami oleh komunitas intra-agama, seperti yang dialami oleh Jamaah Ahmadiyyah Indonesia yang mendapat ancaman saat hendak mengadakan acara Jalsah Salanah pada akhir tahun lalu.

Dalam Asta Cita-nya, Prabowo berjanji akan “meningkatan toleransi antarumat beragama” sebagai salah satu visi utama dalam pemerintahannya. Namun, pemerintah justru menunjukkan sikap yang bertolak belakang saat merespons masalah intoleransi.

Alih-alih membela korban, Staf Khusus Menteri HAM malah menyatakan dirinya siap menjadi penjamin penangguhan penahanan bagi para tersangka dalam kasus Cidahu.

Lantas, apa yang membuat praktik-praktik intoleran tetap tumbuh subur di tengah rezim yang kian otoriter ini?

Politikus Demokratis, Tapi Intoleran
Akar dari melemahnya komitmen perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan di negara ini sebenarnya sudah tampak sejak masa pemerintahan sebelumnya, Joko Widodo.

Beberapa pakar seperti Marcus Mietzner menyebut bahwa politik Indonesia mengalami proses kemunduran demokrasi dan penguatan otoritarianisme yang berdampak langsung pada melemahnya komitmen pemerintah dalam menjamin hak-hak sipil.

Keterkaitan antara otokratisasi dan intoleransi ini digambarkan dalam istilah “productive intolerance” oleh Jeremy Menchik, fenomena di mana intoleransi justru menjadi alat atau mekanisme yang menghasilkan atau mendukung sistem otokratis.

Dalam konteks ini, intoleransi tidak hanya sebagai sikap negatif terhadap perbedaan, tapi berfungsi secara aktif untuk mengonsolidasikan kekuasaan otoriter dengan menekan oposisi atau menindas kelompok lain sembari memperkuat dominasi kelompok tertentu.

Praktik ini semakin dimungkinkan dengan kehadiran “intoleran democrat”, yaitu para politikus yang terpilih melalui proses demokratis namun melanggengkan praktik intoleran.

Dinamika Politik Lokal
Dinamika politik lokal juga sangat berperan dalam merangsang atau menekan tumbuhnya intoleransi.

Indeks Kota Toleran yang dikembangkan oleh SETARA Institute memberikan gambaran yang komprehensif tentang pengaruh dari ekosistem politik lokal terhadap kondisi toleransi di satu wilayah.

Dalam laporan terbaru yang dikeluarkan oleh SETARA Institute pada Mei 2025, hanya ada 10 kota yang dianggap berhasil menjaga iklim keberagaman. Mereka menerapkan aturan daerah yang mampu mencegah radikalisme, diskriminasi, serta kekerasan terhadap kelompok minoritas.

Laporan yang sama menyebutkan, alokasi anggaran untuk inisiatif kegiatan sosial lintas iman oleh pemerintah daerah berperan dalam memperkuat ekosistem toleransi di beberapa kota, seperti yang dilakukan di Salatiga dan Semarang.

Sebaliknya, jika elite politik yang didukung kelompok intoleran menang, patronase antara elite politik dan kelompok intoleran cenderung berlanjut. Beberapa daerah yang masuk dalam kategori intoleran adalah beberapa kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Banda Aceh, Lhoksumawe, dan Sabang.

Selain ketiadaan kepemimpinan politik dan inisiatif birokratis dalam memungkinkan kehidupan yang toleran, konsepsi kewarganegaraan di Aceh dibangun atas dasar dorman citizenship, di mana kaum muslim dianggap sebagai warga negara utama yang menjadi tuan rumah di provinsi yang menerapkan syariah; sedangkan yang non-muslim menjadi warganegara kelas kedua, sehingga diskriminasi terhadap minoritas tak terhindarkan.

Klientelisme Politik
Adanya hubungan klientelistik antara elite politik lokal dan rakyat di beberapa daerah, terutama pada masa pemilihan daerah, menyuburkan intoleransi dalam sistem yang makin otoriter.

Sebuah penelitian yang dilakukan di Tasikmalaya menunjukkan bahwa banyak jemaat Ahmadiyah kesulitan mengakses jasa publik dan perlindungan dari pemerintah karena adanya kontrak politik antara pemimpin daerah dengan tokoh agama anti-Ahmadiyah.

Praktik serupa juga terjadi di Aceh. Klientelisme politik antara elite dan ulama dari dayah (pesantren tradisional) membuka ruang bagi lahirnya praktik intoleransi yang bersifat sektarian seperti fatwa yang membatasi kegiatan keagamaan kelompok Salafi.

Penelitian lain yang menelisik persepsi umat muslim terhadap etnis Tionghoa di Indonesia juga menunjukkan bahwa sikap intoleransi sering dimobilisasi dengan adanya hubungan klientelistik antar religio-political entrepreneur dengan beberapa segmen masyarakat muslim di Indonesia.

Penelitian ini menyebutkan bahwa sikap anti-minoritas merupakan sikap yang melekat di kelompok politik Islamis, yang berpengaruh pada bagaimana masyarakat muslim di Indonesia menyikapi isu pengadilan Basuki Tjahaja Purnama pada 2016.

Moderasi Semu
Moderasi awalnya ditawarkan sebagai narasi untuk menangkal radikalisasi di tengah masyarakat pada awal tahun 2000-an. Saat itu, Indonesia menghadapi serangkaian serangan teror yang digerakkan oleh beberapa individu yang terpengaruh ide-ide radikal.

Ide-ide moderasi keberagamaan kemudian mulai dilembagakan di masa kepresidenan Megawati Sukarnoputri melalui 1st International Conference of Islamic Scholars (ICIS) pada 2004. Namun, pelembagaan ini banyak tersandung hambatan domestik dengan adanya kasus diskriminasi keagamaan yang begitu marak dan pengaruh politik keagamaan yang kuat di Indonesia.

Di era Joko Widodo, moderasi keberagamaan diperkuat dengan pendirian lembaga seperti BPIP dan institusionalisasi praktik moderasi di Kementerian Agama melalui pendirian rumah moderasi.

Akhir-akhir ini, Kementerian Agama di era Prabowo juga menawarkan gagasan Kurikulum Cinta untuk membuat moderasi bisa dipahami tidak hanya sebagai konsep, namun juga sebagai sikap hidup. Jika melihat indikator yang dirilis oleh Pew Research Center pada 2024, Indonesia masih memiliki tingkat Government Restriction Index yang amat tinggi di angka 7,9 dan tingkat Social Hostility Index yang tinggi di angka 4,7.

Memang, jika dibandingkan dengan indeks dari tahun 2007, Indonesia telah mengalami perbaikan dalam kedua indeks dalam isu pembatasan pemerintah dalam KBB serta indeks kekerasan sosial.

Namun, tidak adanya perubahan cara pandang moderasi yang masih berbasis kontrol dominan negara dalam pengelolaan agama tidak akan menyelesaikan persoalan intoleransi.

Menyemai Solidaritas Dari Bawah
Praktik-praktik solidaritas antaragama dan intra-agama dimungkinkan oleh adanya peran kolaboratif antara aktor negara dan masyarakat. Negara perlu hadir sebagai penjamin kebebasan beragama, bukan hanya sebagai tukang ronda yang hanya menindak kasus-kasus pelanggaran kebebasan tersebut ketika terjadi.

Inisiatif bersifat organik, seperti membuka ruang perjumpaan antar komunitas antaragama dan intra-agama, penguatan solidaritas sosial melalui kolaborasi kegiatan, serta pengenalan keberagaman agama sejak dini, dapat membantu memperkuat toleransi dan solidaritas antar warga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 1 Agustus 2025

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Sosial Budaya

Regulasi Konten di Platform Digital

Komisi I DPR RI dalam tiga bulan terakhir menggelar pembahasan maraton terkait revisi UU Penyiaran No. 32/2002. Ada indikasi pembahasan dipercepat, meski risikonya produksi aturan jadi tidak tuntas. Dari sejumlah isu yang terbengkalai sejak gagasan revisi muncul di tahun 2012, ada sedikitnya tiga isu besar yang kini mendapat perhatian serius dan menjadi penyebab perlunya revisi UU Penyiaran disegerakan.

Pertama, pengaturan terkait konten dan tata kelola penyiaran yang menggunakan saluran platform digital (OTT, media sosial dan kecerdasan buatan/AI), agar ada keselarasan dengan lembaga penyiaran lain dalam ekosistem bisnis terbuka. Kedua, pengaturan penguatan Komisi Penyiaran sebagai regulator yang berwibawa, profesional seperti di negara maju. Ketiga, regulasi untuk transformasi lembaga penyiaran publik (RRI, TVRI), penyatuan keduanya dengan LKBN Antara menuju media yang profesional. Artikel pendek ini fokus kepada isu pertama.

Disparitas Regulasi
Merespons upaya Komisi I DPR tersebut, kiranya perlu dipahami dua hal. Pertama, mencermati beragam regulasi media penyiaran di negara industri media yang maju, seperti Kanada, Australia, Jerman, atau Amerika Serikat, regulasi terkait penyiaran konvensional dan platform digital serta produksi siaran yang memakai saluran media sosial dan AI cenderung beragam, tidak terpusat pada satu UU tertentu. Ini disebabkan perbedaan model bisnis, struktur teknologi, sejarah kelahiran, tata kelola produksi dan ekosistem atau aktor/pihak terkait, khususnya platform digital yang berskala global.

Kedua secara umum, perlu terlebih dahulu dilakukan redefinisi konsep ‘penyiaran’, memasukkan penyiaran berbasis (terestrial) dan berbasis platform (VOD/OTT, media sosial dan AI). Nah, pengaturan konten berbasis media sosial AI dapat dimandatkan ke UU ITE (yang direvisi) karena UU Penyiaran perlu tetep berfokus kepada sistem penyiaran klasik, terestrial digital, termasuk over the top seperti Netflix, Video, atau Amazone-Prime yang tetap sangat urgen dan karena melibatkan kerja korporasi media secara utuh (dari ide, produksi, supervis, hingga diseminasi) agar memenuhi kepentingan publik.

Sementara itu, konten siaran yang disalurkan media sosial perlu diatur tersendiri di luar rezim UU Penyiaran, karena proses produksinya melibatkan publik selaku produsen (user generated content). Dalam konteks ini, ekosistem aktornya lebih kompleks dan memerlukan intervensi platform digital selaku penyedia lapak (layar). Menarik dicatat, sudah cukup banyak regulator negara yang mengatur platform digital. Misalnya Komdigi dari sisi tata kelola teknologi/infrastruktur dan konten khusus, Dewan Pers (etik konten: utamanya menyasar jurnalis), Komisi Penyiaran Indonesia (etik: menyasar lembaga penyiaran), Komite tanggung jawab platform untuk jurnalisme berkualitas (pembagian keuntungan bisnis antara platform digital global dengan penyedia konten lokal).

Terdapat disparitas asumsi terkait posisi platform digital sebagai media, perusahaan global sektor ‘media komunikasi’ seperti halnya media konvensional, atau hanya rumah besar konten penyiaran. Perdebatan masih terjadi karena ekosistem bisnis platform yang berbeda dengan lembaga penyiaran konvensional. Dalam praktek, ada variasi regulasi penyedia konten digital, sejak pengenaan pajak pendapatan oleh Kementerian Keuangan, pemberlakuan kode etik relasi antara platform dengan pengguna dalam kerangka self-regulation lewat community guidelines; kewajiban take down akun media sosial oleh Komdigi yang terbatas untuk tiga isu yaitu terorisme, pornografi, judi/narkoba; kewajiban moderasi konten dari UU Informasi dan Transaksi Elektronik (self-regulation antara perusahaan platform-users).

Lalu di mana letak urgensi pengaturan platform digital (UGC) dalam UU Penyiaran? Hingga saat ini,regulasi publik terkait layanan video on demand oleh perusahaan OTT seperti Netflix, Apple, Amazone-Prime, masih kosong, nir-regulasi. Jika merujuk model di Kanada, maka ada tiga opsi regulasi yang berbeda: (1) penyiaran klasik/digital terestrial, (2) penyiaran berbasis jalur streaming, (3) pengaturan konten siaran di platform media sosial. Apakah di Indonesia ketiga klaster ini akan diatur dalam UU tunggal? Jika ya, maka akan terjadi kondisi obesitas regulasi yang dapat memperlambat implementasinya. Juga, perlu penguatan Komisi Penyiaran Indonesia yang perlu didiskusikan tersendiri.

 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 21 Juli 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Ekonomi

Survive di Masa Sulit

Isu tentang turunnya daya beli masyarakat (terutama kelas menengah bawah) bukanlah isapan jempol. Data BPS menunjukkan, proporsi penduduk kelas menengah di Indonesia menurun dari 21,59 tahun 2019 menjadi 17,196 pada 2024, sekitar 10 juta orang. Ekonomi Indonesia juga hanya tumbuh 4,879 (YoY Q1-2025) yang merupakan pertumbuhan paling lambat sejak kuartal III 2021; dengan komponen konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89% level terendah selama lima kuartal terakhir.

Data yang lebih “operasional’ dari survei Bank Indonesia menunjukkan adanya penurunan penjualan eceran sebesar -4,7% YoY (Januari 2025). Hal ini diperkuat dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) anjlok dari 222 di Desember 2024 menjadi 211,5 di Januari 2025. Sementara di sisi konsumen Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun dari 127,2 pada Januari menjadi 126,4 di Februari 2025, yang menunjukkan adanya pelemahan optimisme masyarakat.

Menghadapi fenomena tersebut perlu melakukan literasi kepada publik bagaimana mengelola pengeluaran yang bijak sehingga tetap bisa hidup berkualitas di tengah tekanan ekonomi yang sulit saat ini.

Frugal Living
Dalam situasi keterbatasan pendapatan dan menurunnya daya beli, frugal living merupakan pilihan gaya hidup yang tepat, yaitu gaya hidup hemat yang berfokus pada pengeluaran yang bijak dan efisien, tanpa mengorbankan kualitas hidup. Tujuannya untuk mengelola keuangan secara cerdas, menghindari pemborosan, dan mencapai kesinambungan finansial jangka panjang. Tujuan frugal living tercapainya kebebasan finansial, mengurangi stres, gaya hidup yang berkelanjutan, dan peningkatan kualitas hidup.

Kebebasan finansial akan tercapai bila pengelolaan keuangan dilakukan secara cermat menggunakan skala prioritas pengeluaran. Pengaturan pengeluaran secara bijak akan mencegah terjadinya pola hidup yang lebih besar pasak daripada tiang yang berujung pada hutang. Dengan cara tersebut, “stres akibat tekanan finansial dapat dikurangi dan kelangsungan hidup jangka panjang secara berkelanjutan (sustainable living) lebih terjamin. Bahkan dengan pola hidup yang hanya berfokus pada hal yang benar-benar penting akan membawa kepuasan dan kualitas hidup yang lebih tinggi.

Skala Prioritas
Dalam keterbatasan pendapatan, pengaturan pola konsumsi menjadi kata kunci untuk bisa tetap hidup berkualitas. Beberapa prinsip konsumsi yang relevan untuk diterapkan adalah: skala prioritas kebutuhan, belanja cerdas, dan memaksimalkan penggunaan barang.

Menentukan skala prioritas dalam pola konsumsi bisa dicapai bila kita mampu membedakan mana yang merupakan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi, dan mana yang pemenuhannya atau bahkan tidak sama sekali, tergantung besarnya pendapatan. Sayangnya, tidak sedikit masyarakat yang masih terjebak denganlife style sebelumnya, padahal kemampuan daya belinya sedang menurun.

Prinsip lain dalam berkonsumsi adalah belanja cerdas dengan memanfaatkan discount atau promo yang ada, atau bahkan membeli barang bekas dengan kualitas yang masih baik. Prinsip terakhir adalah memaksimalkan penggunaan barang yang ada secara maksimal diserta perawatan yang terstandar sehingga masa pakainya menjadi lebih panjang.

Dengan pengaturan pola konsumsi yang berbasis pada skala prioritas diharapkan masyarakat akan tetap bisa memenuhi kebutuhannya dan terhindar dari pola hidup “gali lubang tutup lubang hanya karena ingin mempertahankan gaya hidup dan demi gengsi. Berhutang untuk memenuhi kebutuhan bukanlah penyelesaian masalah, tapi justru akan menimbulkan masalah baru yang lebih rumit penyelesaiannya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 11 Juli 2025

 Arif Hartono
Dosen Jurusan Manajemen FBE UII dan Wakil Ketua Lembaga Ombudsman DIY. Bidang riset pada manajemen sumber daya manusia dan metolodogi penelitian sumber daya manusia.

Categories
Politik

Surplus Perasaan

Mengapa berita palsu, informasi salah, atau hoaks bisa menyebar cepat? Ada banyak jawaban. Salah satu jawabannya adalah karena naluri dan emosi telah mengalahkan fakta dan nalar. Jika ini terjadi, maka akal sehat tergadaikan. Diskusi sehat pun tidak mungkin dijalankan. Pintu bertukar pikiran sudah ditutup rapat.

Sialnya, kasus seperti ini tidak hanya menjangkiti kalangan awam. Kalangan terpelajar pun banyak yang terjerat. Apalagi jika dilengkapi dengan embel-embel kepentingan, yang memudahkan produksi 1001 macam argumen pembenaran. Karenanya, ketika ada informasi yang memapar seseorang dan itu mengonfirmasi opini awal yang sudah dipercaya, maka apa pun kualitasnya, informasi tersebut akan dilahapnya tanpa penalaran yang berarti. Inilah yang disebut dengan bias konfirmasi.

Di saat yang sama, informasi lain meski benar, tetapi jika tidak sesuai dengan opini semula, maka akan ditampik. Sangat sulit bagi orang yang seperti ini untuk berpindah pendirian. Apesnya, opini awal yang terbentuk pun tidak selalu yang benar.

Informasi apa pun yang diberikan orang bercitra baik dan mempunyai tautan emosional baik juga serupa: lebih mudah dipercaya, meski tidak benar dan berlawanan dengan akal sehat. Kerumitan bertambah, ketika banyak pihak yang saling mengklaim sebagai otoritas yang bisa dipercaya. Dalam konstelasi ini, para pihak tersebut termasuk ahli dengan beragam argumen dan segenap khalayak, terutama warganet.

Kekhawatiran di atas akan menemukan banyak bukti di musim kontestasi politik seperti saat ini. Coba simak beberapa informasi yang beredar di dunia maya berikut: ‘Polisi Temukan Gudang Penyimpanan Ijazah Palsu Gibran; Mahfud MD Laporkan Gibran Rakabuming Raka ke KPU; Mendag Zulkifli Hasan Ditangkap Karena Penistaan Agama; Rektor UGM Mengeluarkan Gielbran Muhammad Noor atas Aksi Mengkritik Presiden Jokowi dan lainnya. Semua informasi tersebut dipastikan merupakan hoaks. Situs www.kominfo.go.id sudah menayangkan klarifikasi untuk setiapnya. Bisa jadi, ketika suhu politik semakin menghangat, produksi hoaks juga meningkat. Baik dengan memoles pasangan jagoan atau memfitnah pasangan lawan.

Apa yang terjadi jika hoaks tersebut terus menyebar dan dipercaya oleh semakin banyak orang? Beragam skenario bisa dibayangkan, termasuk suhu politik yang semakin memanas. Bukan karena adu gagasan bernas, tetapi benturan keganasan culas. Semuanya tidak ada yang berakhir indah.

Dalam konteks politik, fenomena di atas telah melahirkan yang oleh William Davies dalam bukunya Nervous State disebut sebagai demokrasi perasaan (democracy of feelings), ketika perasaan semakin mendominasi keputusan manusia. Fakta dimanipulasi untuk memberikan dampak emosional yang maksimum, dan perasaan dimainkan untuk menavigasi perubahan yang sangat cepat.

Bagi Davies, dalam situasi seperti ini, tantangan terbesamya bukan lagi pada penghormatan kepada kebenaran, karena kebenaran sudah menjadi isu politik. Kebenaran dibuat menjadi relatif dan diputarbalikkan. Alih-alih digunakan untuk resolusi konflik, kebenaran justru digunakan untuk memperuncing konflik.

Informasi yang beredar pun, termasuk hoaks, dianggap sebagai representasi kebenaran. Kecepatan sebaran informasi tersebut semakin dahsyat ketika terjadi di pusaran publik dengan imajinasi paranoid yang tinggi karena perasaan terancam, kesesuaian informasi dengan opini awal yang dimiliki, dan frekuensi informasi yang diterima.

Jika ini yang terjadi dalam konteks perhelatan politik, kebebasan warga dapat direnggut dengan manipulasi dan penggiringan opini. Sehingga akal sehat menjadi sulit untuk berfungsi. Di sini, terjadi surplus perasaan yang dibarengi dengan defisit penalaran yang akut.

Bagaimana melawannya? Diperlukan gerakan bersama-sama mengedepankan penalaran merdeka yang tidak dikangkangi perasaan tuna nurani. Semuanya penting dilakukan untuk merawat kewarasan kolektif sebagai bangsa.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 Desember 2023

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada Bidang penelitian: eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Pendidikan

Pemantauan dan Evaluasi Mutu Perguruan Tinggi

Saat ini proses penerimaan mahasiswa baru masih berlangsung, baik di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS). Salah satu yang menjadi pertimbangan calon maha- siswa dalam memilih perguruan tinggi (PT) adalah mutu PT yang unggul. Penjaminan mutu PT adalah kegiatan sistemik untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan. Sistem Penjaminan Mutu (SPM) merupakan rangkaian unsur dan proses terkait mutu pendidikan tinggi yang saling berkaitan dan tersusun secara teratur dalam menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi secara berencana dan berkelanjutan. SPM terdiri atas internal (SPMI) dan eksternal (SPME). SPMI dilakukan di PT masing-masing secara otonom, sedang SPME berdasarkan proses akreditasi. Akreditasi PT berdasar 9 kriteria (baru) terdiri atas Unggul, Baik Sekali, Baik dan berdasar 7 standar (lama) terdiri atas A, B dan C.

Berdasarkan data dari Badan Akreditasi Nasional (BAN), sampai Juni 2025 ada 4.005 PT terakreditasi, terdiri atas Unggul 180 (4,49%), Baik Sekali 532 (13,28%), Baik 2.882 (71,96%), A (0,20%), B 390 (9,74%) dan C 13 (0,33%). Terlihat hanya 180 PT yang terakreditasi Unggul atau hanya sekitar 4,49% dari PT yang terakreditasi. Yang lebih mengejutkan ada sekitar 50 PT tidak terakreditasi dan seki- tar 361 PT belum terakreditasi (berdasar pangkalan data pendidikan tinggi total PT ada 4.416). PT senantiasa harus menjaga SPMI dan SPME dengan baik. BAN telah mengeluarkan Peraturan BAN Nomor 5 Tahun 2024 tentang Instrumen Pemantauan dan Evaluasi Mutu PT untuk Perpanjangan Status Terakreditasi melalui Mekanisme Automasi. Ada sekitar 15 indikator yang harus dilalui agar PT dapat mempertahankan akreditasinya.

Yang pertama, setiap program studi di PT tersebut mempunyai minimal 5 dosen homebase. Selanjutnya jumlah dosen tidak tetap yang mengajar maksimal 40% dari total jumlah dosen. Berikutnya rasio dosen tetap berbanding jumlah mahasiswa aktif maksimal 1:40. Andaikata PT mempunyai dosen Merdeka Belajar Kampus Merdeka minimal 10%, khusus untuk PT vokasi minimal 40%. Seterusnya karya dosen tetap yang terekognisi/diterapkan masyarakat dalam tiga tahun terakhir minimal 10%.

Kemudian rerata persentase penurunan mahasiswa baru S1, D4, D3 dan lulusannya dalam 5 tahun terakhir maksimal 20%, khusus PTS vokasi dan sekolah tinggi maksimal 30%. Persentase jumlah dosen tetap yang tidak memiliki jabatan akademik, untuk PTN di bawah 10%, PTS di bawah 40%, PTS vokasi di bawah 55% dan PTS sekolah tinggi di bawah 70%.

Selanjutnya kelulusan tepat masa tempuh kurikulum untuk PTN minimal 40%, PTS minimal 35%, PT vokasi minimal 50% dan PTS sekolah tinggi minimal 30%. Yang terakhir, kelulusan tepat 2 kali waktu tempuh kurikulum untuk PTN minimal 70% dan PTS minimal 60%. Dalam SPME terlihat bahwa komponen jumlah dan kualitas dosen, mahasiswa serta lulusan menjadi bahan pertimbangan dalam pemantauan dan evaluasi PT. PT yang tidak mempertimbangkan dengan baik 15 indikator di atas, maka akan sulit untuk mempertahankan akreditasinya sehingga berakibat kurangnya minat calon tetap 100, maka jumlah maksimal mahasiswa baru dalam memilih PT hasiswa aktifnya 4.000.

Seterusnya semua program studinya harus terakreditasi. Kelima, bagi PT yang mempunyai program studi S3, maka setiap program studinya minimal memiliki 2 dosen tetap dengan kualifikasi Guru Besar. Kemudian persentase keterlibatan mahasiswa aktif dalam memperoleh prestasi tingkat internasional, nasional atau provinsi peringkat 1, 2 dan 3 minimal 0,01%. Persentase lulusan terserap lapangan kerja kurang dari sama dengan 1 tahun minimal 20%.

Selanjutnya rerata persentase luaran penelitian dan pengabdian dalam bentuk jurnal terindeks scopus, sinta 1 dan 2 yang dihasilkan oleh dosen tetap dalam 3 tahun minimal 10% dari jumlah dosen. Kesembilan, kepesertaan mahasiswa yang eligible mengikuti tersebut.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Juni 2025

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics

Categories
Sains Teknologi

 Qurban dan Energi Terbarukan

Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban, bukan hanya perayaan keagamaan tetapi juga momentum reflektif yang sarat dengan nilai pengorbanan, kepedulian sosial, dan rasa syukur. Di tengah perayaan ini, jutaan hewan ternak seperti sapi, kambing, dan domba disembelih sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, seiring meningkatnya jumlah hewan kurban tiap tahunnya, muncul pula tantangan lingkungan berupa penanganan limbah penyembelihan hewan qurban. Limbah penyembelihan hewan qurban mencakup darah, isi perut, kotoran, sisa organ, air pencucian, serta bagian tubuh yang tidak dimanfaatkan. Di banyak daerah, limbah ini masih dibuang secara langsung ke lingkungan tanpa pengolahan, sehingga berisiko menimbulkan pencemaran air dan tanah, bau tidak sedap, dan penyebaran penyakit.

Kondisi ini dapat menimbulkan keresahan masyarakat serta membebani sistem sanitasi. Dalam konteks keberlanjutan dan semangat energi terbarukan, limbah penyembelihan hewan qurban justru menyimpan potensi besar yang sering diabaikan.

Limbah penyembelihan hewan qurban justru menyimpan potensi besar sebagai bahan baku energi terbarukan, khususnya biogas. Kotoran sapi dapat menghasilkan sekitar 0,03 hingga 0,04 mz biogas per kilogram per hari melalui proses fermentasi anaerob, tergantung pada kandungan bahan organik dan suhu fermentasi.

Dalam satu proses penyembelihan, seekor sapi dapat menghasilkan sekitar 10ñ15 kg limbah organik, yang bila dikonversi berpotensi menghasilkan sekitar 0,3ñ0,6 m≥ biogas. Demikian pula pada kambing, yang meskipun skalanya lebih kecil, tetap menyumbang potensi yang signifikan.

Setiap 1 kg kotoran kambing menghasilkan sekitar 0,02ñ0,03 m2 biogas, dengan satu ekor kambing menghasilkan rata-rata 3ñ5 kg limbah organik. Totalnya, satu kambing dapat menghasilkan antára 0,06ñ0,15 m≥ biogas. Proses pengolahan dimulai dengan mengumpulkan limbah penyembelihan hewan qurban, terutama dari isi perut, darah, dan kotoran. Limbah ini kemudian dicacah atau dihaluskan agar mudah terurai. Setelah itu, limbah dicampur dengan air dalam perbandingan yang sesuai, biasanya 1:1 hingga 1:2, dan di- masukkan ke dalam sebuah wadah tertutup yang disebut digester biogas.

Di dalam digester, limbah akan mengalami proses fermentasi anaerob, yaitu penguraian oleh mikroorganisme dalam kondisi tanpa oksigen. Proses ini berlangsung selama dua hingga empat minggu, tergantung pada suhu lingkungan dan jenis bahan yang digunakan. Dari proses ini, terbentuklah gas metana (CH4) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak atau penerangan. Sedangkan sisa hasil fermentasi berupa padatan (slurry), dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi tanaman.

Momentum Idul Adha tidak hanya bermakna sebagai ibadah kurban tahunan, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sarana edukasi dan inovasi dalam pengelolaan limbah organik dari penyembelihan hewan kurban secara berkelanjutan. Limbah penyembelihan hewan qurban memiliki potensi besar untuk diolah menjadi energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai religius dan pendekatan ekologis, masyarakat diajak untuk lebih peduli terhadap isu lingkungan. Edukasi tentang pemanfaatan limbah penyembelihan hewan qurban menjadi energi terbarukan berupa biogas sejalan dengan upaya mengurangi ketergan- tungan pada energi fosil dan menjaga kelestarian sumber daya alam di masa depan.

 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 11 Juni 2025

Arif Hidayat
Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII. Bidang riset pada material dan renewable energy.

Categories
Hukum

Sejarah Negara Teror

Teror terhadap warga yang bersuara kritis kian tak terkendali. Terbaru, teror terhadap FY, penulis opini di salah satu media nasional yang mengkritisi pengangkatan jenderal TNI dalam jabatan sipil.

Setelah mendapat teror, FY meminta media yang memuat tulisannya agar menghapus artikel itu. Penghapusan tulisan diberitakan dilakukan atas rekomendasi Dewan Pers dan dilakukan demi menjaga keselamatan penulis.

Peristiwa yang juga menguat ialah teror terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi salah satu pemohon uji materi (judicial review) UU TNI ke Mahkamah Konstitusi; penarikan lagu band Sukatani yang mengkritik praktik bayar-bayar oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, pemaksaan permintaan maaf terhadap siswa di Bogor yang mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penangkapan mahasiswa ITB karena membuat meme Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo.

Apa yang terjadi pada FY dan peristiwa lain yang hampir serupa sangat memprihatinkan. Hal itu mengingat UUD Tahun 1945 menjamin hak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani; memberikan jaminan atas hak untuk mengeluarkan pendapat; serta jaminan atas hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Teror dan intimidasi yang terjadi seperti meruntuhkan bangunan konstitusional yang selayaknya dijaga dan dijunjung tinggi. Kedaulatan rakyat dihilangkan dengan tindakan represi dan intimidasi.

Negara Teror
Keprihatinan terhadap teror yang terjadi mungkin agak ringan kalau terjadi di level horizontal, di mana warga yang diintimidasi oleh warga yang lain dapat meminta pertolongan aparat negara. Namun, persoalannya sangat serius jika pelaku teror adalah dari aparat negara sendiri.

Apa yang terjadi pada FY dan beberapa kasus di atas, pelakunya diyakini adalah aparat negara yang notabene digaji dengan pajak dari warga untuk menjaga hak atas rasa aman dan membebaskan warganya dari ketakutan untuk berpendapat.

Pertanyaannya, bisakah negara menjadi state terorism kepada warganya sendiri, padahal selayaknya negara bertugas menjaga hak atas rasa aman?

Dalam beberapa studi ternyata sangat mungkin negara jadi pelaku teror. Negara, jika tak diawasi, akan mudah menggunakan kekerasan terhadap warga sipil secara acak, dengan tujuan intimidasi atau menciptakan ketakutan agar tercapai tujuan politik kekuasaannya.

Teror bisa dilakukan oleh negara terhadap negara yang lain, seperti dilakukan Israel pada Palestina, atau teror negara terhadap warganya sendiri seperti yang terjadi di Myanmar.

Rohingya di Myanmar adalah contoh paling jelas dari begitu kejamnya state terorism, di mana pemerintahan yang berkuasa melakukan genosida secara terbuka pada warganya karena alasan ras (ciri-ciri fisik) dan agama. Secara ras, etnis Rohingya dianggap berbeda ciri-ciri fisiknya dengan mayoritas penduduk Myanmar.

Secara agama, etnis Rohingya sebagian besar beragama Islam, sementara penduduk Myanmar mayoritas beragama Buddha. Kondisi ini menjadi alasan pemerintah untuk secara aktif melakukan teror, pengusiran paksa, dan genosida.

Selain Myanmar, ada beberapa negara yang dianggap aktif melakukan teror terhadap warganya dengan alasan yang beragam: perbedaan politik, ideologi, etnis, agama, penguasaan tanah, dan seterusnya. Alasan pemicu bisa sangat beragam, tapi intinya adalah negara yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil dengan cara intimidasi atau menciptakan ketakutan yang di dalamnya memiliki motif politik tertentu.

Di Indonesia, teror secara masif oleh negara terjadi di era rezim Orde Baru, di mana ada begitu banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Antara lain dalam kasus Waduk Kedungombo, Nipah, pemberedelan media massa, DOM di Aceh, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, kasus Talangsari, penghilangan orang secara paksa, kasus Trisaksi (Semanggi I dan II), dan beberapa kasus yang lain.

Kekerasan negara oleh Orde Baru tidak lepas dari konfigurasi politik yang tunggal (homogen) dan monolitik saat itu. Menurut Alfred Stepan,  karakter tunggal dan monolitik terjadi pada tingkat negara (state) dan masyarakat (society).

Pada level negara terlihat solidnya semua unsur yang ada dalam negara sehingga berkarakter tunggal dan tidak ada check and balances; sementara pada level masyarakat terlihat kondisi pengendalian, penundukan, dan pengarahan pada agenda kepentingan politik kekuasaan tertentu.

Kondisi monolitik tersebut mendorong state terorism yang begitu luas, di mana negara melakukan penundukan secara paksa dan represif, baik secara fisik maupun mental, yang kemudian membungkam kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul masyarakat.

Menjaga demokrasi
Alasan penting mengapa kita prihatin terhadap teror yang menimpa warga dan tekanan terhadap media massa adalah karena situasi tersebut terjadi cukup serius di masa lampau dan menjadi luka sejarah yang begitu menyakitkan.

Karena hal tersebut, dilakukanlah amendemen UUD 1945 yang di dalamnya menegaskan perihal kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, dan ada jaminan hak asasi manusia yang menjadi pijakan warga dari segala tindakan dan kebijakan penguasa yang berpotensi melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang.

Jaminan konstitusional tersebut relatif cukup baik mengiringi proses demokratisasi pasca-jatuhnya rezim Orde Baru.

Pemerintahan di era Reformasi telah silih berganti dan terjadi pasang surut dan tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan warga negara.

Suara warga negara dan pers di era awal dan pertengahan Reformasi masih didengarkan, kekuasaan yang menyimpang masih terkritisi, tetapi di periode dua penguasa terakhir konfigurasi kekuasaan menjauh dari semangat negara hukum dan demokrasi.

Teror yang terjadi pada FY yang notabene seorang penulis dan atau terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi pemohon uji materi ke MK di pemerintahan sekarang ini merupakan bukti betapa penguasa dan aparatnya tidak serius belajar dari sejarah.

Yakni bahwa negara ini pernah jatuh pada lubang otoritarianisme di mana penguasa lewat aparat yang terkomando pernah menjadi aktor teror yang bengis pada warganya sendiri, dan negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat) karena hukum lewat konfiguasi politiknya semata mendukung kepentingan kekuasaan yang otoriter.

Terdapat tiga pandangan dalam melihat gerak sejarah.

Pertama, pandangan yang melihat sejarah sebagai sesuatu yang bersifat linier, sejarah bergerak menuju ke arah yang lebih maju. Kedua, pandangan yang melihat gerak sejarah tidak selalu maju, tapi kadang terjadi proses kemunduran saat berada pada tahap kemajuan.

Ketiga, pandangan yang melihat gerak sejarah bergerak secara berputar seperti siklus yang melingkar.

Dalam pembacaan ini, negara Indonesia saat ini seperti mengalami siklus berputar itu, di mana kekuasaan cenderung monolitik, ada dukungan aparat keamanan dan partai yang kuat, serta warga dan media massa ironisnya dikendalikan.

Tentu kita tidak ingin seperti itu. Gerak sejarah Indonesia selayaknya linier, bergerak ke arah yang lebih maju, yaitu negara yang demokratis, humanis dan tidak meneror warganya sendiri.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 Juni 2025

M Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Politik

Banalitas Kekuasaan

Pada tahun 1941, Hannah Arendt menulis Eichmann in Jerussalem: A Report on The Banality of Evil. Tulisan ini menceritakan tindakan Adolf Eichmann, seorang anggota rezim Nazi yang menjadi arsitek pembantaian massal yang diceritakan lebih dari 11 juta orang menjadi korbannya. Eichmann bersedia dengan sadar bergabung dalam program pembantaian manusia dan kesediaan tersebut memperlihatkan kegagalannya dalam berpikir dan menilai tindakannya. Kekejaman Eichmann dalam Holocaust dapat dikaji sebagai bagian persoalan psikologis, di mana ia merupakan seorang manusia normal, tetapi ketika dilihat dari sudut kesadaran dan nurani, ia bertindak tanpa berpikir dan menjalankan perintah atasan tanpa memikirkan akibat-akibatnya pada korban.

Penelitian Hannah Arendt masih relevan untuk melihat perilaku pejabat kekuasaan hari ini, di mana kerap ada kebijakan yang memperlihatkan sisi sewenang-wenang pemegang kekuasaan. Merujuk pada tindakan Eichmann, kekuasaan memiliki daya yang kuat sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat dengan mudah melepaskan keberpihakannya pada orang-orang yang lemah, tidak dapat menimbang benar atau salah, dan menafikan nasib korban. Dalam beberapa studi, banalitas kejahatan di tubuh kekuasaan akan berjalan tanpa kendali dalam sistem politik tirani, di mana pemerintahan dijalankan secara absolut oleh penguasa.

Pertanyaannya, bisakah banalitas kejahatan terjadi dalam sistem demokrasi? Idealnya tidak terjadi, karena keputusan politik dalam sistem demokrasi ditentukan kehendak rakyat. Namun, praktik kekuasaan kerap berbeda. Ada banyak kebijakan dikendalikan oleh sekelompok kecil elite yang mengarah pada sistem politik aristokrasi dan oligarki. Bahkan di masa orde baru, kekuasaan dijalankan dengan otoriter di tengah sistem politik demokrasi.

 Kekuasaan Saat Ini
Apakah pemerintahan saat ini telah menjalankan banalitas kekuasaan? Apakah aparat negara menjalankan perintah total penguasa tanpa memikirkan baik-buruk kebijakannya? Pertanyaan ini perlu diuji dengan bukti bagaimana kekuasaan saat ini bekerja. Sejauh ini, sangat terasa komando yang sentralistik diperagakan Presiden Prabowo Subianto. Pendekatan pertahanan keamanan terlihat nyata. Para anggota kabinet dan kepala daerah didoktrin dengan gaya militer. Dalam konteks kebijakan, apa yang dikehendaki Presiden sepertinya tidak ada yang berani mengkritisi, bahkan suara kritis para wakil rakyat hanya menyasar perilaku Menteri, tidak berani mengkritisi penguasa utama.

Gaya pemerintahan saat ini mengkhawatirkan. Tidak terbayang semua kebijakan harus tunggal dan fungsi check and balances cabang-cabang kekuasaan tidak berjalan. Kekuasaan yang sehat idealnya menghadirkan komunikasi intersubjektif, di mana orang-orang yang bekerja di tubuh kekuasaan dapat berkomunikasi tanpa ketakutan, pejabat yang berada di ragam cabang kekuasaan tetap menjaga nalar kritis, dan antara satu dengan yang lain saling menjaga marwah fungsi pokok kewenanganya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Presiden dan pelaksana kekuasaan eksekutif harus dikritisi agar program-program pemerintahan tidak jatuh pada kesewenang-wenangan.

Kondisi kekuasaan yang tersentralisasi dan komunikasi komando yang begitu kuat seperti telah mematikan kesadaran kritis para pejabat kekuasaan. Kondisi ini walau tidak serupa pernah terjadi di era kekuasaan demokrasi termimpin dan orde baru, di mana negara waktu itu dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa tertinggi dan negara kemudian jatuh pada otoritarianisme.

Di era demokrasi terpimpin, DPR hanya bertugas menjadi legitimasi terhadap keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Keadaan serupa terjadi di era rezim orde baru, di mana pemerintahan kemudian menjelma, sebagai kekuasaan teror (state terorism) yang secara sistemik melakukan penundukan terhadap masyarakat sipil dengan kekuatan ABRI, serta berlanjut dengan pembuatan aturan dan kebijakan yang membungkam kritik, kebebasan pos, dan hak asasi manusia.

Untungnya saat ini masih ada masyarakat sipil yang berani berpendapat. Beberapa suara kritis antara lain perihal kebijakan efisiensi anggaran yang salah kaprah, pajak yang naik, gelombang pemutusan hubungan kerja, tidak jelasnya komitmen negara terhadap permasalahan HAM, dan revisi RUU TNI yang menjadipenanda absah hadirnya rezim neo orde baru. Suara kritis masyarakat sipil adalah harapan satu-satunya di tengah kekuasaan yang mengarah pada sistem otoritarinisme.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 20 Maret 2025

M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Pendidikan

Pendidikan Dasar Gratis

Biaya pendidikan menjadi pertimbangan utama setiap orang tua ketika akan menyekolahkan anaknya. Pertimbangan tersebut bahkan dimulai sejak sekolah tingkat dasar. Biaya pendidikan yang mahal tetap dilaluinya walau kadang berutang. Ketika kondisi ekonomi memburuk, anak bisa menjadi korban, kemudian putus sekolah.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat angka putus sekolah jenjang SD pada tahun ajaran 2024/2025 sebanyak 38.540 siswa, SMP (12.210 siswa), SMA (6.716 siswa), dan SMK (9.391 siswa). Anak putus sekolah terjadi dalam setiap tahun ajaran. Alasan berhenti sangat beragam. Faktor ekonomi keluarga selalu mengemuka.

Pertanyaannya, di mana peran pemerintah untuk biaya pendidikan gratis yang selama ini dijanjikan?

Secara normatif, negara telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 34 UU tersebut menyatakan, setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Sesuai dengan aturan, pemerintah telah memiliki pijakan agar akses pendidikan bisa gratis alias cuma cuma minimal pada jenjang pendidikan dasar. Menurut undang-undang, jenjang pendidikan dasar berbentuk SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat serta SMP dan MTs atau bentuk lain yang sederajat. Lewat aturan itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak merumuskan program aksi pendidikan gratis.

Putusan MK
Selama ini, pemerintah relatif telah melakukan langkah-langkah untuk mewujudkan pendidikan gratis lewat APBN dan APBD yang tersedia. Namun, program dan anggaran masih tersentralisasi di lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sementara anak-anak didik yang bersekolah di lembaga swasta atau masyarakat tidak mendapatkan sentuhan program.

Dampaknya cukup serius. Anak-anak yang bersekolah di lembaga swasta, khususnya dalam jenjang pendidikan dasar, harus membayar biaya yang sangat mahal. Sementara biaya sekolah negeri sangat terjangkau, bahkan sudah ada yang gratis. Kondisi itu memperlihatkan ketidakadilan. Apalagi kuota di sekolah negeri kerap penuh dan lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal sehingga memaksa anak didik mendaftar di sekolah swasta yang biayanya sangat mahal. Perlakuan yang tidak adil tersebut mendorong Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga pemohon Fathiyah, Novianisa, dan Riris Risma Ajiningrum mengajukan uji materi pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon mempermasalahkan frasa “wajib belajar minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Menurut para pemohon, pendidikan gratis di jenjang pendidikan dasar idealnya tidak hanya untuk siswa di sekolah negeri, tetapi juga untuk siswa di sekolah swasta.

Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 3/ PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pasal 34 ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”. Putusan itu menegaskan bahwa biaya pendidikan untuk sekolah negeri atau swasta di jenjang pendidikan dasar harus gratis.

Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Tugas Berikutnya
Putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final and binding. Pemerintah harus mengikuti putusan tersebut untuk memperbaiki desain program dan anggaran pada jenjang pendidikan dasar yang selama ini hanya difokuskan untuk sekolah negeri. Tentu, program pendidikan gratis akan membutuhkan anggaran besar. Namun, secara konsepsi, kebijakan pemenuhan hak pendidikan bersandar pada tiga pemikiran.

Pertama, kewajiban pemerintah untuk mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps). Kedua, memaksimalkan sumber daya negara yang tersedia (to the maximum of tis available resources). Ketiga, mencapai secara bertahap perwujudan penuh dari hak-hak (to achieving progressively the full realization of the rights). Pemenuhan hak pendidikan gratis bagi anak didik di jenjang pendidikan dasar, baik sekolah negeri maupun swasta, sudah selayaknya, menjadi program aksi pusat atau daerah. Pemerintah wajib melakukan langkah – langkah terukur dengan ketersediaan anggaran APBN dan APBD agar pendidikan gratis dapat segera tercapai. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi penegas bahwa pemerintah wajib hadir di tengah biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Jawa Pos pada tanggal 29 Mei 2025

M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada hukum HAM, HAM dalam Islam, dan kewarganegaraan.