Categories
Pendidikan

Glorifikasi terhadap Institusi ‘Negeri’ adalah Warisan Kolonial. Perlukah Dipertahankan?

 

  • Glorifikasi terhadap institusi negeri di Indonesia adalah warisan kolonial yang terus-menerus dilanggengkan negara.
  • Ketimpangan antara perguruan tinggi negeri dan swasta menciptakan diskriminasi simbolik.
  • Masyarakat perlu menghargai kualitas serta inovasi dari berbagai ekosistem alternatif selain institusi negeri.

Di Indonesia, kita sering mendengar kalimat seperti “yang penting bisa masuk kampus negeri” atau “kerja di instansi negeri lebih terjamin”. Status ‘negeri’—baik dalam pendidikan maupun pekerjaan—kerap dianggap sebagai simbol keberhasilan, kemapanan, bahkan kehormatan sosial.

Glorifikasi terhadap institusi negeri dapat dilacak sejak masa kolonial. Pada era Hindia Belanda, hanya sebagian kecil penduduk pribumi yang memiliki akses ke pendidikan formal seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA. Kala itu, akses ke institusi ini sangat terbatas dan hanya bisa ditempuh oleh anak-anak priayi (lapisan masyarakat dengan kedudukan yang dianggap terhormat) atau mereka yang memiliki koneksi dengan kekuasaan kolonial.

Sayangnya, hingga saat ini, negara masih melanggengkan glorifikasi tersebut. Institusi negeri, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), mendapat alokasi anggaran yang lebih besar, akses ke program unggulan, dan dukungan politis yang lebih kuat. Sementara perguruan tinggi swasta (PTS) harus berjuang sendiri, dengan sumber daya terbatas dan dukungan yang minim.

Akibatnya, tidak sedikit lowongan pekerjaan yang secara eksplisit maupun implisit memprioritaskan lulusan perguruan tinggi negeri, bahkan ketika kualifikasi lulusan swasta sama atau lebih unggul dalam pengalaman dan keterampilan.

Di beberapa sektor, lulusan dari PTS masih harus ‘membuktikan diri dua kali lipat’ melalui syarat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang lebih tinggi. Ini adalah bentuk diskriminasi simbolik yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Mengapa status negeri diglorifikasi

Menurut perspektif Louis Althusser, filsuf asal Prancis, sekolah-sekolah seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA merupakan bagian dari aparatus ideologis negara, atau alat kekuasaan yang tidak bekerja dengan paksaan, tetapi melalui penanaman nilai-nilai.

Melalui sistem pendidikan, kolonialisme menanamkan gagasan bahwa menjadi bagian dari struktur negeri berarti menjadi lebih “beradab”, lebih dekat pada kekuasaan, dan lebih terhormat secara sosial.

Sementara itu, pekerjaan sebagai pegawai pemerintah kolonial—dikenal sebagai ambtenaar, dan di antara pribumi direpresentasikan lewat posisi pangreh praja—diposisikan sebagai jalur mobilitas sosial yang terhormat. Menjadi bagian dari struktur pemerintahan Belanda adalah bukti kedekatan dengan kekuasaan dan modernitas, sekaligus menjanjikan stabilitas ekonomi. Dalam kerangka pemikiran ilmuwan sosiologi Pierre Bourdieu, status sebagai bagian dari institusi negeri menciptakan kapital simbolik: bentuk pengakuan sosial yang dilekatkan bukan karena capaian substansial, melainkan karena asosiasinya dengan negara dan kekuasaan.

Menurut Frantz Fanon, psikiatris sekaligus filsuf politik asal Prancis,, masyarakat pascakolonial sering kali menginternalisasi nilai-nilai kolonial yang dulu menjadi alat penjajahan, dan menjadikannya tolok ukur kemajuan. Glorifikasi terhadap institusi negeri adalah contoh nyata dari internalisasi ini.

Jebakan dominasi pasar dan negara

Dari kacamata ekonomi-politik Gramsci, kondisi ini mencerminkan hegemoni negara dalam sistem pendidikan.

Negara memosisikan institusi negeri sebagai standar ideal, menciptakan ketimpangan akses, pendanaan, dan pengakuan antara lembaga negeri dan non-negeri. Glorifikasi status negeri dijadikan alat untuk mempertahankan dominasi negara dalam struktur sosial.

Banyak PTN juga semakin terjebak dalam logika pasar. Skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang awalnya bertujuan memberikan otonomi akademis, kini mendorong kampus untuk mencari pembiayaan sendiri.

Akibatnya, banyak PTNBH memperbesar jumlah mahasiswa, membuka program-program populer tanpa pertimbangan strategis jangka panjang, dan menaikkan biaya pendidikan. Mereka menjelma menjadi semacam kapal keruk, mengangkut sebanyak mungkin sumber daya dari masyarakat demi menjaga kelangsungan operasional, tetapi tetap dikultuskan sebagai simbol kemuliaan negara.

Dalam konteks ekonomi-politik, ini menunjukkan kontradiksi antara neoliberalisme dan patronase negara. Negara menarik diri dari tanggung jawab pembiayaan, tetapi tetap mempertahankan pengaruh simbolik dan hierarki kelembagaan. Hasilnya adalah glorifikasi kosong yang menjebak masyarakat dalam ilusi kemajuan.

Bukan norma universal

Menariknya, glorifikasi terhadap institusi negeri seperti yang terjadi di Indonesia tidak selalu berlaku di negara lain. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, universitas yang paling bergengsi justru didominasi oleh institusi swasta seperti Harvard, Stanford, dan Yale.

Status sosial lulusan juga lebih sering dikaitkan dengan reputasi akademis, kontribusi ilmiah, dan jejaring alumni, bukan semata karena afiliasi dengan negara. Bahkan universitas negeri seperti University of California atau University of Michigan bersaing secara terbuka dengan swasta, dan harus membuktikan keunggulannya lewat riset dan inovasi.

Situasi ini tidak otomatis menyingkirkan peran publik, tetapi justru mendorong institusi membangun legitimasi berbasis kualitas, bukan sekadar simbol negara.

Lepaskan ukuran lalu

Masyarakat perlu berpikir ulang tentang apa arti keberhasilan dan kemajuan, sekaligus menyadari bahwa banyak cara pandang kita terhadap status ‘negeri’ adalah hasil warisan simbolik kolonial yang layak dikaji ulang.

Institusi swasta, komunitas independen, hingga kelompok masyarakat sipil telah banyak menunjukkan kemampuan berinovasi, beradaptasi, dan menghadirkan solusi di luar struktur negara.

Misalnya, munculnya gerakan pendidikan akar rumput di berbagai daerah, inisiatif teknologi oleh anak-anak muda di start-up yang tidak pernah ‘berlabel negeri,’ atau organisasi keagamaan yang justru lebih cepat tanggap dalam menghadapi kebutuhan publik dibanding institusi formal.

Di luar glorifikasi simbolik, ada ekosistem keberhasilan lain yang tidak kalah bermakna dan layak diapresiasi.

Kita juga perlu berhati-hati terhadap jebakan meritokrasi semu yang hanya mengakui “keberhasilan” berdasarkan asal lembaga.

Dalam beberapa kasus, akses ke institusi negeri lebih ditentukan oleh latar belakang sosial dan ekonomi, sehingga memelihara glorifikasi semacam ini justru memperkuat ketidakadilan struktural.

Tanpa kesadaran akan hal ini, masyarakat akan terus melanggengkan sistem hierarki sosial yang tidak adil, hanya demi status ‘negeri’.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 25 April 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Pendidikan

Universitas sebagai Tempat Produksi Pengetahuan Bukan Transmisi: Upaya Sistemik untuk Hentikan Pelanggaran Akademis

Kasus pelanggaran akademis di pendidikan tinggi tengah menyita perhatian khalayak Indonesia dengan munculnya laporan The Conversation Indonesia _(TCID), _Majalah Tempo, dan Jaring.id yang terbit pada 28 Maret 2024 serta kasus mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional Jakarta Kumba Digdowiseiso.

Banyak yang berpandangan bahwa pelanggaran akademis itu terjadi karena beban kerja dosen, kepentingan naik pangkat/jabatan, serta insentif publikasi. Sehingga, diskusi permasalahan ini sering berakhir pada harapan atas kejujuran individual dosen.

Tulisan ini berargumen bahwa solusi atas pelanggaran akademis tidak hanya tergantung pada kejujuran individu, tetapi perubahan budaya kampus secara sistemik dan menyeluruh.

Sebab, meski sudah memiliki aturan plagiasi untuk perguruan tinggi sejak 2010, jika akademisi dan masyarakat masih melihat kampus sebagai tempat “transmisi pengetahuan” dan bukan “produsen pengetahuan”, maka kasus plagiasi, juga pelanggaran akademis lainnya, akan tetap terjadi.

Praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur

Walter J. Ong, profesor sastra dan budaya dari Amerika Serikat (AS) dalam Orality & Literacy menjelaskan bahwa masyarakat dalam budaya tutur terus-menerus mengulang dan menyalin ulang pengetahuan yang diperoleh. Karena itu, masyarakat dan akademisi di Indonesia cenderung melihat kampus sebagai tempat ‘transmisi pengetahuan’. Tujuan kampus adalah memindahkan pengetahuan pada mahasiswa. Mahasiswa dianggap sukses ketika ia mengetahui, atau hafal, pengetahuan yang diajarkan.

Ini mengapa mudah menemukan tips untuk menghafal teori di internet yang juga diajarkan dosen di ruang kelas. Ilmu diposisikan seperti ‘dogma’ dan penyalinan menjadi sesuatu yang dapat diterima, karena sebuah pengetahuan sulit dibaca secara analitis oleh masyarakat tutur. Kebiasaan seperti ini menciptakan peniruan alih-alih kebaruan.

Akibatnya, “menyalin” isi buku yang dianggap penting (buku yang memperkenalkan konsep baru) adalah hal biasa.

Ini tampak pada kasus Hamzah Ya’qub, seorang dosen sekaligus salah satu pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Banten. Pada 1973, ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan Teknik Dakwah.. Karya ini termasuk upaya awal sarjana Indonesia menghubungkan studi dakwah dengan publisistik (kemudian dikenal sebagai komunikasi).

Pada tahun 1986, buku tersebut disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam; Dari Zaman ke Zaman.

Seperti yang tampak di gambar, isi kedua buku itu nyaris sama. Bedanya hanya pada urutan tulisan, beberapa istilah/kata dan sedikit tambahan.

Namun, meski penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, tidak ada isu plagiasi terkait kemiripan dua buku itu hingga hari ini. Bahkan, buku kedua diterbitkan lagi pada tahun 1990.

Risiko kultur meniru

Selain karena rendahnya perhatian kampus pada tindakan plagiasi waktu itu, ketiadaan isu plagiat pada kasus Ya’qub disebabkan anggapan bahwa praktik meniru itu wajar. Ketiadaan aturan dan batasan yang jelas juga menjadi alasan mengapa praktik di atas tidak bisa serta merta disalahkan.

Namun, pengaturan pendidikan di masa Orde baru, yang bertujuan mencetak tenaga kerja demi pembangunan, melanggengkan kultur meniru ini—sehingga seakan-akan tidak ada cara lain dalam memperoleh pengetahuan.

Praktik pembelajaran semacam ini menguntungkan pendidikan kejuruan yang menyiapkan tenaga kerja langsung untuk masuk ke industri, tetapi tidak untuk pengembangan keilmuan. Pendidikan komunikasi, misalnya, sekadar ditujukan untuk mencetak wartawan, humas, atau penyuluh pembangunan, bukan menjadi ilmuwan. Akibatnya, nyaris tidak ada diskusi serius tentang pengembangan teori baru. Studi-studi komunikasi di Indonesia cenderung stagnan.

Ketika tujuan pendidikan adalah peniruan, pendisiplinan atas plagiasi di kampus menjadi tumpul.

Kultur meniru menjebak riset ke dalam praktik pengulangan. Di ilmu sosial terutama, tujuan riset terbatas pada upaya memverifikasi teori—mahasiswa berupaya membuktikan sebuah teori, bukan mengevaluasi. Riset studi komunikasi pada 1980 menemukan minimnya modifikasi dan adaptasi teori dalam pembelajaran di kampus Indonesia.

Peniruan dan pengulangan riset verifikatif ini memunculkan masalah lain: jual beli karya ilmiah yang menyedot perhatian di akhir 1980-an. Beberapa pihak membolehkan hal ini, dengan alasan karya ilmiah itu dapat ditiru “pola kerja, pola penyajian, dan topiknya”, bukan dijiplak.

Artinya, kampus bahkan membenarkan kultur “peniruan” ini. Meniru diperbolehkan tanpa khawatir apakah peniruan itu akan mengabaikan penghormatan atas pemikiran orang lain. Kasus ini sekaligus menandai bahaya lain dari kultur peniruan yang memungkinkan bisnis karya ilmiah lainnya seperti joki dan paper mills (pabrik jual beli artikel ilmiah).

Kampus sebagai produsen pengetahuan

Saat ini, banyak akademisi mulai memposisikan kampus sebagai “tempat produksi pengetahuan”. Fungsi dosen sebagai peneliti berusaha menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain, sehingga menghasilkan pengetahuan baru melalui publikasi di jurnal ilmiah.

Pemerintah menyusun aturan publikasi untuk mendukung hal ini. Bahkan, aturan plagiasi yang telah ada pada 2010 disempurnakan pada tahun 2021.

Meski demikian, studi mengenai riset ilmu komunikasi tahun 2022 menunjukkan pengulangan metode deskriptif kualitatif sederhana.

Ini menunjukkan kultur yang tak berubah. Peraturan pemerintah hanya memaksa dosen dan lulusan universitas turun ke gelanggang riset, tanpa keterlatihan yang cukup dan budaya diskusi ilmiah.

Pelatihan yang tersedia mayoritas terfokus pada strategi publikasi, ketimbang pendalaman substansi riset ilmiah itu sendiri. Sedangkan konferensi akademik yang semestinya digunakan sebagai pemantik budaya akademik cenderung terkooptasi oleh kepentingan politik dan berkualitas rendah.

Parahnya, insentif publikasi didasarkan hanya pada jenis kanal publikasi dan bukan pada kontribusi akademik. Buktinya, ketika tulisan kami terbit, alih-alih mendapatkan pertanyaan tentang substansi artikel, kami justru mendapatkan ucapan “Selamat atas publikasi-nya di SCOPUS/SINTA”.

SCOPUS dan SINTA adalah dua platform indeksasi jurnal ilmiah yang populer di Indonesia, dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi sebagai standar kenaikan pangkat dosen.

Upaya untuk mengejar indeksasi tersebut memunculkan prinsip “yang penting SINTA” atau “yang penting SCOPUS”, tanpa memikirkan kontribusi akademiknya.

Banyak dosen kemudian menjadi pemburu publikasi: memanfaatkan riset mahasiswa lalu mencari cara agar tembus jurnal.

Ubah cara pandang

Solusi untuk pelanggaran akademis di pendidikan tinggi membutuhkan perubahan cara pandang. Penegakan etika, perumusan kode etik, pengurangan beban kerja dosen adalah tindakan penting untuk mencegah dan menghilangkan pelanggaran akademis.

Tetapi yang lebih sistemik, dan belum dilakukan, adalah upaya untuk memosisikan kampus sebagai produsen (bukan lagi transmisi) pengetahuan, menghapus kultur peniruan, dan mendorong riset untuk tidak sekadar memverifikasi teori.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Mei 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

Categories
Pendidikan

Memudarnya Semangat Universus Kampus

Universitas kian kehilangan semangat universus-nya. Kampus kian terfragmentasi dan eksklusif.

Setiap 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Namun, dalam ingar-bingar seremoni dan slogan, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah universitas-yang semestinya menjadi mercusuar akal dan nurani—masih setia pada jiwanya?

Dari akar bahasanya, universitas berasal dari kata Latin, yaitu universus, yang berarti “menyeluruh” atau “utuh.” Dalam semangat itulah, universitas sejak abad pertengahan dimaknai sebagai rumah besar ilmu pengetahuan: tempat cabang-cabang ilmu saling bertemu dalam semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.

Namun, dalam praktik hari ini, semangat universus di universitas justru memudar. Banyak kampus di Indonesia mengalami fragmentasi kelembagaan, bukan penyatuan. Salah satu gejala ini terlihat dari nama-nama fakultas yang tak hanya menandai bidang keahlian, tapi juga menjadi simbol identitas eksklusif lengkap dengan pagar epistemik yang semakin tinggi. Di Indonesia, fakultas terkesan lebih mirip benteng disipliner ketimbang wadah kolaborasi.

Padahal fakultas semestinya menjadi ruang temu gagasan, tempat ilmu saling bersilang. Namun yang terlihat kini sebaliknya: ilmu dikurung dalam menara eksklusif dan para penjaganya terkecoh, sibuk menjaga ego disiplin.

Pierre Bourdieu dalam Homo Academicus (1984) menyebut hal ini sebagai bentuk illusio: keterpukauan akademikus terhadap permainan simbolik dunia mereka sendiri hingga lupa bahwa ilmu bukan sekadar pengakuan internal, melainkan tanggung jawab eksternal. Ego disiplin membuat kita merasa cukup dengan menjadi ahli, padahal dunia menuntut lebih dari sekadar kepakaran : ia butuh keterlibatan, keberpihakan, dan tindakan nvata untuk mendorong perubahan sosial.

Salah satu wajah ego ini terlihat dari cara kita memandang disiplin lain. Tidak jarang kita mendengar komentar sinis terhadap bidang yang dianggap “tak ilmiah”, “kurang metodologis”, atau “tidak laku di pasar.” Ironisnya, penilaian ini sering datang dari keengganan mempelajari dan memahami disiplin lain.

Akibatnya, ruang kolaborasi menjadi sempit, diskusi antardisiplin terhambat, dan mahasiswa tumbuh dalam lingkungan yang miskin koneksi lintas gagasan. C.P. Snow pernah memperingatkan lewat pidato terkenalnya, The Two Cultures (1959), bahwa jurang antara ilmu alam dan humaniora menciptakan krisis budaya modern karena keduanya berhenti saling berbicara. Apa yang terjadi di kampus hari ini adalah versi baru dari krisis itu dan diperparah oleh keangkuhan keilmuan yang semakin terlembaga.

Situasi semakin parah saat ego ini berpilin dengan logika pasar. Ketika kampus dijalankan seperti pabrik dan program studi dilihat sebagai jalur produksi, nilai-nilai luhur pendidikan tinggi tergantikan oleh retorika efisiensi serta manfaat ekonomi. Banyak program studi merasa cukup hanya karena lulusannya cepat bekerja. Mereka merasa berhasil karena “disiplin” mereka laku di pasar tanpa pernah bertanya: apakah mereka telah mendidik mahasiswanya menjadi manusia yang berpikir? Apakah mereka berhasil mencetak calon pemimpin yang memahami tantangan kemanusiaan dan kebangsaan?

Dalam jeratan logika pasar pula sistem pemeringkatan kampus dunia memperparah fragmentasi ilmu. Dengan menjadikan publikasi dan reputasi keilmuan sebagai tolok ukur utama, khususnya pemeringkatan berbasis rumpun keilmuan, banyak kampus justru memperkuat sekat antardisiplin. Alih-alih mendorong kolaborasi, pemeringkatan ini mendorong persaingan dalam ruang sempit dan memperkokoh menara gading masing-masing.

Lebih ironis lagi, reputasi institusi kini kian bergantung pada publikasi jurnal internasional bereputasi yang aksesnya sering tertutup dan berbayar. Pertanyaannya: berapa persen masyarakat dunia yang punya akses ke jurnal-jurnal tersebut? Siapa pembaca dari pengetahuan “berkelas dunia” ini? Tak berlebihan untuk menduga keras bahwa sebagian besar pembacanya adalah akademikus itu sendiri. Ilmu pun tereduksi menjadi komoditas yang menaikkan gengsi institusi dan karier, tapi abai terhadap problem rakyat di luar pagar kampus.

Sheila Slaughter dan Gary Rhoades dalam Academic Capitalism (2004) menunjukkan bagaimana kampus tunduk pada logika pasar, dari struktur pembiayaan, orientasi riset, hingga cara pandang terhadap mahasiswa. Fenomena ini juga tampak dari semakin menguatnya kecenderungan menjadikan gelar dan reputasi sebagai tujuan semu, yang pada akhirnya merusak makna sejati pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi disempitkan menjadi alat produksi tenaga kerja, bukan ruang refleksi dan pembentukan karakter. Ketika tren ini terjadi bersamaan dengan menguatnya ego disiplin, keangkuhan sektoral menjadi kian tebal dan sulit ditembus.

Konsekuensinya? Kampus semakin terasa asing bagi masyarakat. Mahasiswa kehilangan makna belajar-ia dibentuk menjadi teknokrat yang cakap bekerja, tapi miskin kepekaan dan keberpihakan. Ilmu kehilangan daya hidup sosialnya karena disajikan dalam potongan kaku yang kehilangan konteks.

Bill Readings dalam The University in Ruins (1996) telah membunyikan alarm bahwa universitas telah kehilangan proyek kebudayaannya. Kampus tidak tahu lagi untuk apa ia ada, kecuali sekadar menjadi “excellent”, sebuah istilah abstrak yang kerap justru mengecoh karena excellence kini diukur dari angka-angka administratif, bukan dari dampak sosial.

Pada momen Hari Pendidikan Nasional, kita diingatkan kembali pada pesan Ki Hadjar Dewantara: bahwa pendidikan harus memerdekakan, bukan menyeragamkan. Karena itu, universitas pun harus kembali menjadi ruang merdeka bagi ilmu untuk bertemu, bukan terpecah.

Bagaimanapun, situasi ini bukan akhir segalanya. Masih ada harapan asalkan para akademikus berani bersikap jujur, rendah hati, dan membuka diri. Sudah saatnya kampus membongkar ego disiplin dan mengakui bahwa tak satu pun disiplin cukup untuk memahami dunia yang terus berubah. Kolaborasi bukan ancaman, tapi keniscayaan.

Ronald Barnett dalam Higher Education: A Critical Business (1997) mengajak kita melihat kampus sebagai ruang reflektif dan kritis, bukan sekadar tempat distribusi pengetahuan. Akademikus bukan sekadar pengumpul gelar dan publikasi, tapi juga berperan sebagai penjaga akal sehat publik.

Kita harus kembali ke misi luhur pendidikan tinggi: membentuk manusia yang seutuhnya. Bukan hanya siap kerja, tapi juga siap berpikir. Bukan hanya laku di pasar, tapi juga mampu memperjuangkan nilai. Misi ini hanya mungkin terwujud jika kita bangun dari tidur panjang keangkuhan sektoral dan membuka ruang bagi pertemuan antardisiplin.

Sejumlah universitas di Inggris dan Australia mulai merombak struktur fakultas mereka dari yang terfragmentasi menjadi lintas bidang. Mereka sadar bahwa masa depan pendidikan tinggi tak bisa berdiri di atas menara-menara ego disiplin. Maka, pertanyaannya: apakah kampus-kampus di Indonesia siap meretas jalan dari pagar sektoral menuju ruang interdisiplin?

Jika universitas ingin bermakna, universus harus kembali menjadi jiwanya. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 5 Mei 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.