Categories
Hukum Pilihan Politik

Perlukah TNI ikut menjaga pertandingan sepak bola, konser musik dan kegiatan sipil lainnya? Bagi negara demokrasi, ini tidak lazim

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer.

Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.

Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.

Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.

Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.

Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut

Adanya posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.

Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap “rawan”.

Sementara dalam konser musik, mulai dari pop sampai dangdut, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut berjaga di tengah keramaian.

Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.

Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?

Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’

Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip disertasi Profesor Salim Said, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.

Militer Indonesia lahir selepas Perang Revolusi Nasional 1945-1949 dari gabungan laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.

Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.

Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.

Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “Jalan Tengah” dengan memberikan TNI dua fungsi: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara.

Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.

Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penggunaan alat-alat kekerasan yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.

Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. Tap MPR VI/2000 yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini.

Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.

Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.

Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan UU Polri. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “Sinergitas TNI-Polri”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri.

Gesekan sipil-militer

Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.

Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.

Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.

Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi trained killer.

Prajurit menjadi trained killer bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.

Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Mendamba sebuah perbaikan

Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.

Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi.

Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional.

Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 9 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada iru hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Hukum

Serangan Siber kian Masif, Akankah Angkatan Siber TNI jadi Solusi?

Dalam survei Agenda Warga yang dilakukan sepanjang tahun lalu, hak digital dan kebebasan berekspresi menjadi salah satu dari lima isu yang dianggap paling mendesak oleh responden. Hasil survei mengungkap bahwa banyaknya kasus kebocoran data dan penyalahgunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap warga negara membuat masyarakat Indonesia tidak merasa aman di ranah digital. Kebocoran data ini turut menunjukkan masih lemahnya keamanan siber di Indonesia, sementara penyalahgunaan UU ITE mengindikasikan adanya upaya pembungkaman hak warga untuk berekspresi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai Matra keempat dalam institusi TNI, menggenapi Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Tujuannya untuk memperkuat pertahanan nasional di tengah evolusi ancaman pertahanan melalui media siber.

Resiko ancaman serangan siber ini terbukti salah satunya dari beberapa kali adanya serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah baru-baru ini.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI menerima baik usulan ini, meskipun ia melihat masih perlunya peninjauan akademik.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolaknya, karena pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan berpotensi digunakan oleh pemerintah untuk membungkam publik. UU ITE saja sudah kerap menjadi alat untuk membatasi publik dalam menyampaikan pendapat.

Kita harus akui bahwa Indonesia sangat rentan terkena serangan siber, sehingga wacana pembentukan Angkatan Siber bukanlah ide yang buruk. Namun, pembentukannya harus sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, jangan sampai ini akan menjadi alat represif negara untuk membungkam publik.

Terlebih lagi, Indonesia kini memasuki tahun politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Bukan tidak mungkin pembentukan Angkatan Siber ini akan disusupi agenda-agenda politik praktis.

Rentannya serangan siber

Doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern.

Indonesia sendiri termasuk negara yang masih sangat rentan terhadap serangan siber, khususnya dalam dimensi pertahanan.

Sebenarnya, Indonesia selama ini sebenarnya telah memiliki beberapa komponen pertahanan di bidang siber yang eksekusi dan tanggung jawabnya dipegang oleh beberapa lembaga, seperti oleh Badan Siber Sandi Negara (BSSN), Kepolisian RI (Polri), Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan beberapa komponen lain di bawah TNI.

Namun, kenyataannya masih banyak terjadi serangan siber yang gagal diantisipasi. Beberapa di antaranya sempat meramaikan perbincangan khalayak luas.

Contohnya adalah kebocoran data paspor dan penduduk yang terjadi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Yang sempat sangat meresahkan publik adalah serangan peretasan oleh Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Pemerintah mengklaim serangan-serangan tersebut berasal dari luar Indonesia.

Sedangkan kejahatan siber yang berasal dari dalam negeri yang ‘paling dominan’ adalah penyebaran ujaran kebencian dan hoax di media sosial.

Maka dari itu, usulan munculnya keinginan membentuk Angkatan Siber dapat dimengerti.

Usulan pembentukan Angkatan Siber ini perlu ditinjau secara komprehensif. Jangan sampai pada akhirnya Matra ini akan jadi represif terhadap publik.

Maraknya penyebaran hoaks, misalnya, telah membuat patroli siber Polri menjadi sangat agresif dalam menegakkan keamanan siber.

Agresivitas ini justru lambat laun menjadi mengkhawatirkan, karena batasan antara kriteria ancaman siber dengan kebebasan berpendapat jadi memudar. Jika salah langkah, penegakkan keamanan siber dapat melewati batas dan justru mengancam demokrasi.

Antara pertahanan dan keamanan

Para pegiat demokrasi khawatir pembentukan matra baru ini akan mengancam ruang kebebasan berpendapat. Kekhawatiran terjadi salah satunya karena adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan dimensi keamanan di Indonesia.

Setidaknya ada beberapa dua hal yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan Angkatan Siber ini.

Pertama, Matra ini sebaiknya dibentuk dengan melebur komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Diperlukan “kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN, misalnya, untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika semua komponen tidak disatukan, akan terus terjadi tumpang tindih kewenangan dan tugas.

Kedua, Angkatan Siber harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini.

Memang, tampaknya akan akan ada perdebatan perihal bagaimana Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Ini karena Indonesia juga punya jargon “Sinergitas TNI-Polri”, yaitu implementasi tugas perbantuan TNI terhadap Polri yang diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang pemisahan TNI dan Polri.

Namun, bagaimana pun juga, pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus dipertegas. Jangan sampai matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer.

Mengingat Indonesia hingga saat ini saja belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil, jangan sampai operasi keamanan yang diembankan ke Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Untuk pertahanan, bukan keamanan

Kita bisa belajar dari Digital and Intelligence Service (DIS), Angkatan Siber Singapura yang baru saja dibentuk pada Maret tahun lalu.

Hal yang perlu digaris bawahi adalah DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Operasi siber memang sudah banyak berlaku di negara-negara lain, tetapi regulasinya telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil.

Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan.

Tujuan utama matra Angkatan Siber harus sepenuhnya diproyeksi sebagai alat pertahanan. Oleh karena itu, formulasinya harus melalui perencanaan dan kajian yang matang.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 September 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.