Biaya pendidikan menjadi pertimbangan utama setiap orang tua ketika akan menyekolahkan anaknya. Pertimbangan tersebut bahkan dimulai sejak sekolah tingkat dasar. Biaya pendidikan yang mahal tetap dilaluinya walau kadang berutang. Ketika kondisi ekonomi memburuk, anak bisa menjadi korban, kemudian putus sekolah.
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mencatat angka putus sekolah jenjang SD pada tahun ajaran 2024/2025 sebanyak 38.540 siswa, SMP (12.210 siswa), SMA (6.716 siswa), dan SMK (9.391 siswa). Anak putus sekolah terjadi dalam setiap tahun ajaran. Alasan berhenti sangat beragam. Faktor ekonomi keluarga selalu mengemuka.
Pertanyaannya, di mana peran pemerintah untuk biaya pendidikan gratis yang selama ini dijanjikan?
Secara normatif, negara telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 34 UU tersebut menyatakan, setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Sesuai dengan aturan, pemerintah telah memiliki pijakan agar akses pendidikan bisa gratis alias cuma cuma minimal pada jenjang pendidikan dasar. Menurut undang-undang, jenjang pendidikan dasar berbentuk SD dan MI atau bentuk lain yang sederajat serta SMP dan MTs atau bentuk lain yang sederajat. Lewat aturan itu, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak merumuskan program aksi pendidikan gratis.
Putusan MK
Selama ini, pemerintah relatif telah melakukan langkah-langkah untuk mewujudkan pendidikan gratis lewat APBN dan APBD yang tersedia. Namun, program dan anggaran masih tersentralisasi di lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sementara anak-anak didik yang bersekolah di lembaga swasta atau masyarakat tidak mendapatkan sentuhan program.
Dampaknya cukup serius. Anak-anak yang bersekolah di lembaga swasta, khususnya dalam jenjang pendidikan dasar, harus membayar biaya yang sangat mahal. Sementara biaya sekolah negeri sangat terjangkau, bahkan sudah ada yang gratis. Kondisi itu memperlihatkan ketidakadilan. Apalagi kuota di sekolah negeri kerap penuh dan lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal sehingga memaksa anak didik mendaftar di sekolah swasta yang biayanya sangat mahal. Perlakuan yang tidak adil tersebut mendorong Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga pemohon Fathiyah, Novianisa, dan Riris Risma Ajiningrum mengajukan uji materi pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon mempermasalahkan frasa “wajib belajar minimal pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Menurut para pemohon, pendidikan gratis di jenjang pendidikan dasar idealnya tidak hanya untuk siswa di sekolah negeri, tetapi juga untuk siswa di sekolah swasta.
Mahkamah Konstitusi lewat putusan Nomor 3/ PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa pasal 34 ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat”. Putusan itu menegaskan bahwa biaya pendidikan untuk sekolah negeri atau swasta di jenjang pendidikan dasar harus gratis.
Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Tugas Berikutnya
Putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final and binding. Pemerintah harus mengikuti putusan tersebut untuk memperbaiki desain program dan anggaran pada jenjang pendidikan dasar yang selama ini hanya difokuskan untuk sekolah negeri. Tentu, program pendidikan gratis akan membutuhkan anggaran besar. Namun, secara konsepsi, kebijakan pemenuhan hak pendidikan bersandar pada tiga pemikiran.
Pertama, kewajiban pemerintah untuk mengambil langkah-langkah (undertakes to take steps). Kedua, memaksimalkan sumber daya negara yang tersedia (to the maximum of tis available resources). Ketiga, mencapai secara bertahap perwujudan penuh dari hak-hak (to achieving progressively the full realization of the rights). Pemenuhan hak pendidikan gratis bagi anak didik di jenjang pendidikan dasar, baik sekolah negeri maupun swasta, sudah selayaknya, menjadi program aksi pusat atau daerah. Pemerintah wajib melakukan langkah – langkah terukur dengan ketersediaan anggaran APBN dan APBD agar pendidikan gratis dapat segera tercapai. Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi penegas bahwa pemerintah wajib hadir di tengah biaya pendidikan yang makin tidak terjangkau.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Jawa Pos pada tanggal 29 Mei 2025
M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada hukum HAM, HAM dalam Islam, dan kewarganegaraan.