Categories
Pendidikan

Universitas sebagai tempat produksi pengetahuan bukan transmisi: upaya sistemik untuk hentikan pelanggaran akademis

Kasus pelanggaran akademis di pendidikan tinggi tengah menyita perhatian khalayak Indonesia dengan munculnya laporan The Conversation Indonesia _(TCID), _Majalah Tempo, dan Jaring.id yang terbit pada 28 Maret 2024 serta kasus mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional Jakarta Kumba Digdowiseiso.

Banyak yang berpandangan bahwa pelanggaran akademis itu terjadi karena beban kerja dosen, kepentingan naik pangkat/jabatan, serta insentif publikasi. Sehingga, diskusi permasalahan ini sering berakhir pada harapan atas kejujuran individual dosen.

Tulisan ini berargumen bahwa solusi atas pelanggaran akademis tidak hanya tergantung pada kejujuran individu, tetapi perubahan budaya kampus secara sistemik dan menyeluruh.

Sebab, meski sudah memiliki aturan plagiasi untuk perguruan tinggi sejak 2010, jika akademisi dan masyarakat masih melihat kampus sebagai tempat “transmisi pengetahuan” dan bukan “produsen pengetahuan”, maka kasus plagiasi, juga pelanggaran akademis lainnya, akan tetap terjadi.

Praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur

Walter J. Ong, profesor sastra dan budaya dari Amerika Serikat (AS) dalam Orality & Literacy menjelaskan bahwa masyarakat dalam budaya tutur terus-menerus mengulang dan menyalin ulang pengetahuan yang diperoleh. Karena itu, masyarakat dan akademisi di Indonesia cenderung melihat kampus sebagai tempat ‘transmisi pengetahuan’. Tujuan kampus adalah memindahkan pengetahuan pada mahasiswa. Mahasiswa dianggap sukses ketika ia mengetahui, atau hafal, pengetahuan yang diajarkan.

Ini mengapa mudah menemukan tips untuk menghafal teori di internet yang juga diajarkan dosen di ruang kelas. Ilmu diposisikan seperti ‘dogma’ dan penyalinan menjadi sesuatu yang dapat diterima, karena sebuah pengetahuan sulit dibaca secara analitis oleh masyarakat tutur. Kebiasaan seperti ini menciptakan peniruan alih-alih kebaruan.

Akibatnya, “menyalin” isi buku yang dianggap penting (buku yang memperkenalkan konsep baru) adalah hal biasa.

Ini tampak pada kasus Hamzah Ya’qub, seorang dosen sekaligus salah satu pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Banten. Pada 1973, ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan Teknik Dakwah.. Karya ini termasuk upaya awal sarjana Indonesia menghubungkan studi dakwah dengan publisistik (kemudian dikenal sebagai komunikasi).

Pada tahun 1986, buku tersebut disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam; Dari Zaman ke Zaman.

Seperti yang tampak di gambar, isi kedua buku itu nyaris sama. Bedanya hanya pada urutan tulisan, beberapa istilah/kata dan sedikit tambahan.

Namun, meski penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, tidak ada isu plagiasi terkait kemiripan dua buku itu hingga hari ini. Bahkan, buku kedua diterbitkan lagi pada tahun 1990.

Risiko kultur meniru

Selain karena rendahnya perhatian kampus pada tindakan plagiasi waktu itu, ketiadaan isu plagiat pada kasus Ya’qub disebabkan anggapan bahwa praktik meniru itu wajar. Ketiadaan aturan dan batasan yang jelas juga menjadi alasan mengapa praktik di atas tidak bisa serta merta disalahkan.

Namun, pengaturan pendidikan di masa Orde baru, yang bertujuan mencetak tenaga kerja demi pembangunan, melanggengkan kultur meniru ini—sehingga seakan-akan tidak ada cara lain dalam memperoleh pengetahuan.

Praktik pembelajaran semacam ini menguntungkan pendidikan kejuruan yang menyiapkan tenaga kerja langsung untuk masuk ke industri, tetapi tidak untuk pengembangan keilmuan. Pendidikan komunikasi, misalnya, sekadar ditujukan untuk mencetak wartawan, humas, atau penyuluh pembangunan, bukan menjadi ilmuwan. Akibatnya, nyaris tidak ada diskusi serius tentang pengembangan teori baru. Studi-studi komunikasi di Indonesia cenderung stagnan.

Ketika tujuan pendidikan adalah peniruan, pendisiplinan atas plagiasi di kampus menjadi tumpul.

Kultur meniru menjebak riset ke dalam praktik pengulangan. Di ilmu sosial terutama, tujuan riset terbatas pada upaya memverifikasi teori—mahasiswa berupaya membuktikan sebuah teori, bukan mengevaluasi. Riset studi komunikasi pada 1980 menemukan minimnya modifikasi dan adaptasi teori dalam pembelajaran di kampus Indonesia.

Peniruan dan pengulangan riset verifikatif ini memunculkan masalah lain: jual beli karya ilmiah yang menyedot perhatian di akhir 1980-an. Beberapa pihak membolehkan hal ini, dengan alasan karya ilmiah itu dapat ditiru “pola kerja, pola penyajian, dan topiknya”, bukan dijiplak.

Artinya, kampus bahkan membenarkan kultur “peniruan” ini. Meniru diperbolehkan tanpa khawatir apakah peniruan itu akan mengabaikan penghormatan atas pemikiran orang lain. Kasus ini sekaligus menandai bahaya lain dari kultur peniruan yang memungkinkan bisnis karya ilmiah lainnya seperti joki dan paper mills (pabrik jual beli artikel ilmiah).

Kampus sebagai produsen pengetahuan

Saat ini, banyak akademisi mulai memposisikan kampus sebagai “tempat produksi pengetahuan”. Fungsi dosen sebagai peneliti berusaha menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain, sehingga menghasilkan pengetahuan baru melalui publikasi di jurnal ilmiah.

Pemerintah menyusun aturan publikasi untuk mendukung hal ini. Bahkan, aturan plagiasi yang telah ada pada 2010 disempurnakan pada tahun 2021.

Meski demikian, studi mengenai riset ilmu komunikasi tahun 2022 menunjukkan pengulangan metode deskriptif kualitatif sederhana.

Ini menunjukkan kultur yang tak berubah. Peraturan pemerintah hanya memaksa dosen dan lulusan universitas turun ke gelanggang riset, tanpa keterlatihan yang cukup dan budaya diskusi ilmiah.

Pelatihan yang tersedia mayoritas terfokus pada strategi publikasi, ketimbang pendalaman substansi riset ilmiah itu sendiri. Sedangkan konferensi akademik yang semestinya digunakan sebagai pemantik budaya akademik cenderung terkooptasi oleh kepentingan politik dan berkualitas rendah.

Parahnya, insentif publikasi didasarkan hanya pada jenis kanal publikasi dan bukan pada kontribusi akademik. Buktinya, ketika tulisan kami terbit, alih-alih mendapatkan pertanyaan tentang substansi artikel, kami justru mendapatkan ucapan “Selamat atas publikasi-nya di SCOPUS/SINTA”.

SCOPUS dan SINTA adalah dua platform indeksasi jurnal ilmiah yang populer di Indonesia, dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi sebagai standar kenaikan pangkat dosen.

Upaya untuk mengejar indeksasi tersebut memunculkan prinsip “yang penting SINTA” atau “yang penting SCOPUS”, tanpa memikirkan kontribusi akademiknya.

Banyak dosen kemudian menjadi pemburu publikasi: memanfaatkan riset mahasiswa lalu mencari cara agar tembus jurnal.

Ubah cara pandang

Solusi untuk pelanggaran akademis di pendidikan tinggi membutuhkan perubahan cara pandang. Penegakan etika, perumusan kode etik, pengurangan beban kerja dosen adalah tindakan penting untuk mencegah dan menghilangkan pelanggaran akademis.

Tetapi yang lebih sistemik, dan belum dilakukan, adalah upaya untuk memosisikan kampus sebagai produsen (bukan lagi transmisi) pengetahuan, menghapus kultur peniruan, dan mendorong riset untuk tidak sekadar memverifikasi teori.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Mei 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

Categories
Pendidikan

Dosen adalah Buruh: Pengakuan Ini adalah Langkah Pertama dalam Memperjuangkan Kesejahteraan Akademisi

Pemberlakuan Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023 untuk memusatkan dan menyederhanakan pengelolaan jabatan fungsional Aparatur Sipil Negara (ASN), menuai sorotan publik–terutama kalangan dosen.

Di antara berbagai pro dan kontra yang terjadi akibat aturan ini, muncul satu perdebatan menarik terkait status ketenagakerjaan dosen di Indonesia.

Sebagian pihak mengkhawatirkan dosen yang kini berfokus menjalankan tugas administratif. Bahkan, belum lama ini dosen sempat dibuat kalang kabut menyelesaikan penyesuaian angka kredit untuk memenuhi aturan baru ini–di tengah segudang beban administratif lain yang sebelumnya sudah menjadi kewajiban mereka.

Dengan kata lain, usaha meneguhkan dosen sebagai “manusia birokrasi” dianggap langkah yang salah karena seolah menempatkan mereka sebagai buruh.

Melalui artikel ini, kami ingin mengajak komunitas akademik untuk berefleksi: Benarkah dosen bukan buruh? Apakah tepat jika kita geram apabila pengelolaan kampus disamakan dengan lembaga politik atau korporasi? Bagaimana komunitas akademik perlu menyikapinya?

Dosen: buruh atau bukan?

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja/buruh sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Aturan ketenagakerjaan di Indonesia menjamin perlindungan pekerja/buruh. Dalam istilah hukum ketenagakerjaan, hal ini kerap kita sebut “socialisering process” (vermaatschappelijking). Istilah ini adalah serapan dari bahasa Belanda yang merujuk pada campur tangan pemerintah dalam relasi kerja demi melindungi pekerja/buruh.

Di sini, pekerja/buruh adalah pihak yang dianggap lemah dalam hubungan kerja–pola relasinya terbentuk berdasarkan perjanjian kerja. Perjanjian kerja memberikan kewenangan (kuasa) pada pemberi kerja dalam bentuk perintah, sehingga membuat kedudukan kedua pihak menjadi tidak seimbang.

Apakah dosen memenuhi gambaran di atas?

Berdasarkan relasi kerja mereka dengan institusi pendidikan tempat mereka bernaung (pemberi kerja), jawabannya jelas: iya.

Pertama, dosen bekerja pada sebuah perguruan tinggi dan memiliki kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh institusi. Dosen juga memperoleh hak menerima upah atas pekerjaan yang telah ditunaikan. Hak dan kewajiban ini dituangkan dalam perjanjian kerja yang mendasari hubungan antara institusi pendidikan sebagai pemberi kerja dan dosen sebagai pekerja/buruh.

Dosen wajib melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat. Tiga hal ini merupakan indikator kinerja atau prestasi dalam sebuah perjanjian kerja yang wajib mereka tunaikan.

Hal ini sama halnya dengan pekerja/buruh lainnya di sektor formal yang berkewajiban bekerja di bidang masing-masing sesuai yang tercantum dalam perjanjian kerja.

Keduanya berada di posisi yang sama: melaksanakan prestasi, mendapatkan kontraprestasi, dan berhak atas perlindungan yang sama dari regulasi ketenagakerjaan di Indonesia.

Kedua, status dosen sebagai buruh/pekerja juga terlihat dari mekanisme penyelesaian apabila dosen mengalami perselisihan ketenagakerjaan.

Perjanjian kerja memuat tiga unsur: pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam praktiknya, masalah upah–termasuk yang dialami dosen–paling banyak muncul dan diselesaikan dengan mekanisme Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Masalah upah yang bisa saja terjadi, misalnya, ketika institusi pendidikan tidak membayarkan upah kepada dosen.

Hal itu menunjukkan pengakuan secara hukum bahwa perikatan antara institusi pendidikan dan dosen adalah suatu hubungan kerja, antara pemberi kerja dan buruh/pekerja. Perikatan ini berhak dilindungi oleh regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Minim kesadaran kolektif

Sayangnya, kesadaran kolektif mengenai definisi buruh di Indonesia masih terbatas dan diwarnai stereotip. Buruh sering dikaitkan dengan pekerja kerah biru yang pekerjaannya terkait “tenaga jasmani”, seputar “pertukangan”, maupun “buruh pabrik”.

Padahal, apapun profesi dan sektor industrinya, sejauh terdapat hubungan relasi kuasa antara pemilik modal dan pekerja, maka secara substansi pekerja tersebut adalah buruh.

Kesalahpahaman inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa literasi masyarakat mengenai buruh di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam peringatan Hari Buruh, kebanyakan demonstrasi yang muncul sepi dari suara pekerja kerah putih dan jauh dari perhatian kebanyakan akademisi Indonesia.

Penempatan dosen sebagai bagian dari kelompok buruh penting untuk mengadvokasi dan meluruskan berbagai norma dalam regulasi pemerintah yang masih belum secara tegas melindungi dan berpihak pada kesejahteraan dosen.

Dosen, kampus, dan transformasi struktural

Pendekatan pemerintah Indonesia dalam pengembangan mutu dan sumber daya pendidikan tinggi sudah sewajarnya mendapatkan umpan balik dari seluruh pemangku kepentingan. Permen PAN-RB Nomor 1 Tahun 2023, misalnya, dianggap berpotensi menambah kompleksitas birokrasi dan memperkeruh kepastian karier dosen, sehingga patut dikritik.

Namun, kritik tersebut tak semestinya melenceng sampai menganggap bahwa penyamaan dosen sebagai buruh sama dengan merendahkan martabat mereka.

Misalnya, apakah betul dosen memiliki karakteristik profesi yang lebih mulia dibanding pekerja pada umumnya?

Pembedaan status kampus sebagai lembaga khusus yang berbeda dibanding korporasi, jika tidak cermat dalam memahaminya, justru dapat menjebak kampus dalam menara gading yang abai dengan perubahan sosial.

Birokratisasi kampus yang terjadi saat ini, selain merupakan warisan era penjajahan, sebenarnya lebih tepat kita lihat sebagai dampak atas transformasi struktural di tingkat global yang membuat kampus bergerak dengan logika kompetisi ala korporasi dan mengejar predikat kelas dunia.

Transformasi itu dimulai sejak munculnya perubahan paradigma dalam memahami peran perguruan tinggi seiring globalisasi ekonomi yang terjadi pada dekade 1960-an.

Sebelumnya, kampus dianggap sebagai aktor utama yang berperan mengembangkan pengetahuan. Riset cenderung berbasis pengabdian sosial dan lebih banyak didorong oleh semangat kebaruan ilmu pengetahuan.

Kini, dunia terjerat dalam sistem kapitalisme neoliberal–yang menekankan kompetisi pasar bebas dan transfer wewenang dari sektor publik ke sektor swasta dalam mengendalikan perekonomian. Akibatnya, eksistensi kampus ikut terseret ke dalam perangkap mekanisme pasar.

Kampus berubah menjadi korporasi pengetahuan dan membuat mutu riset lebih banyak diukur dari keberhasilan komersialisasi dan publikasi berbasis angka.

Kriteria mutu staf akademik juga berubah: dari kinerja yang berfokus pada pengajaran atau riset, ke kriteria profesionalisme akademik yang lebih universal dan komersial.

Universalisasi, misalnya, terlihat dari bagaimana indeksasi jurnal – seperti Scopus – mendikte persepsi mengenai mutu artikel ilmiah. Sementara, komersialisasi membuat akademisi dipacu untuk berkontribusi terhadap inovasi negara melalui paten. Semakin banyak jumlah paten, peringkat universitas di tataran global pun semakin terdongkrak.

Dampaknya, kampus menjadi kian hierarkis–layaknya tangga korporasi–sehingga menghilangkan semangat kolegialitas (menekankan solidaritas sesama pengajar). Dosen juga menghadapi beban birokrasi yang masif.

Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Riset menunjukkan bahwa birokratisasi kampus sebenarnya adalah tren global yang tengah terjadi di berbagai negara, termasuk di kawasan Eropa dan Australia. Kampus menjadi lembaga yang semakin birokratis, tidak lagi kolegial dalam proses pembuatan kebijakan.

Transformasi struktural ini juga berhasil mengubah model sistem penghargaan akademik dari kedalaman kepakaran dosen menjadi prestasi dosen berbasis metrik.

Pemeringkatan kampus dunia menjadi puncak komersialisasi kampus. Mutu dan peringkat pendidikan tinggi akhirnya sekadar berkiblat pada model-model perguruan tinggi di negara maju.

Saat kampus terjerat mekanisme pasar, peran dosen menjadi semakin kering. Fungsi dosen sebagai pembentuk karakter generasi tidak lagi diukur. Demi peringkat, dosen dipaksa produktif menghasilkan publikasi “bereputasi”–bahkan terkadang membuat mereka melakukan praktik buruk dan mengambil jalan pintas.

Desain ketenagakerjaan dosen semakin dibatasi dengan aturan karier dan performa kinerja yang semakin berbasis metrik, administratif, dan menjauhi substansi akademik.

Sebagai buruh, dosen perlu lebih awas terhadap isu ketenagakerjaan yang timbul akibat dinamika di atas.

Birokrasi memang punya sejumlah manfaat, tapi dosen juga tetap harus kritis mengawalnya agar efisien. Pasalnya, banyak perguruan tinggi yang menerapkan berbagai kewajiban administrasi sehingga mengganggu tanggung jawab utama dosen, yakni aktivitas akademik dan riset.

Untuk mengawal hal-hal ini, sekaligus melindungi nasib dosen secara kolektif, serikat pekerja kampus di Indonesia perlu kita tumbuhkan. Di dalamnya bisa termasuk serikat dosen dan tenaga kependidikan. Semakin banyak serikat pekerja kampus, semakin bagus.

Selama ini organisasi dosen lebih didorong oleh kesamaan rumpun ilmu dan minat pengembangan akademik. Kini, tiba waktunya warga kampus membangun kanal negosiasi kolektif dengan berserikat guna melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 01 Mei 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.