Categories
Lingkungan Pilihan

Mpu Uteun: kelompok perempuan pelindung hutan Aceh yang melawan patriarki

Lebih dari 60% wilayah Aceh atau 3,2 juta ha merupakan kawasan hutan.

Luasan ini membuat risiko perambahan hutan ilegal kian tinggi. Pada 20ekofeminismen 2.418 kasus pembalakan liar di Aceh.

Menurut pengamatan warga sekitar hutan, pelaku penebangan yang tertangkap hampir selalu laki-laki. Pengaduan masyarakat ke otoritas setempat seputar penebangan dan perburuan liar juga nyaris menemui jalan buntu.

Di sinilah kelompok Mpu Uteun (istilah dari bahasa Gayo yang berarti penjaga hutan) muncul di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Sejumlah perempuan membentuk kelompok ini sejak 2015 karena merasa resah dengan risiko bencana akibat perambahan hutan. Pada tahun itu, Desa Damaran Baru dilanda banjir bandang yang merusak puluhan rumah dan membuat warga mengungsi.

Mpu Uteun berpatroli mengatasi penebangan liar maupun perburuan, membongkar jerat pemburu, mendokumentasikan tanaman maupun satwa asli setempat, hingga menanam pohon.

Penelitian kami (masih dalam proses peninjauan) secara khusus membahas Mpu Uteun sebagai kelompok perempuan penjaga hutan pertama di Aceh. Kami menganggap kelompok ini penting karena menjadi contoh gerakan ekofeminisme untuk melawan tradisi patriarki yang menjadi sebab perambahan hutan di provinsi Aceh.

Mpu Uteun melawan dominasi laki-laki

Ekofeminisme adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta kerusakan lingkungan hidup dengan subordinasi dan pengekangan perempuan.

Pakar filsafat lingkungan dari Macalaster College Minnesota di Amerika Serikat, Karen Warren, dalam bukunya Ecofeminist Philosophy menjelaskan bahwa filosofi ekofeminisme berfokus pada tiga aspek yang saling berhubungan: 1) feminisme; 2) alam, ilmu pengetahuan (terutama ekologi), pembangunan, dan teknologi; dan 3) perspektif lokal dan masyarakat asli.

Dalam konteks Mpu Uteun, aspek feminisme muncul dalam peran kelompok ini untuk melindungi hutan. Mereka menyadari kerusakan hutan akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Kesadaran ini memicu anggota Mpu Uteun melakukan patroli hutan.

Di Aceh, kegiatan menjaga hutan lazim dilakukan laki-laki. Hal ini berangkat dari budaya patriarki bahwa laki-laki bertanggung jawab mencari nafkah, sehingga pengampuan hutan secara tidak langsung menjadi tugas mereka. Sementara, perempuan dianggap hanya cukup mengurus rumah tangga.

Karena itulah Mpu Uteun berdiri untuk ‘melawan’. Pendiri Mpu Uteun, Sumini, menyatakan bahwa perempuan turut merasa gusar terhadap perusakan alam dan berhak mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Namun, upaya perlawanan ini tidak mudah. Anggota Mpu Uteun pada awalnya mendapatkan stigma sebagai perempuan tidak bermoral dari warga sekitar. Beberapa orang pun mencibir usaha mereka karena menganggap hutan bukanlah urusan perempuan.

Namun, perlahan-lahan, upaya mereka berbuah manis. Banyak orang, termasuk laki-laki eks penebang liar ataupun pemburu trenggiling, yang ‘menebus dosa’ dengan bergabung dalam Mpu Uteun.

Aktivitas Mpu Uteun pun diakui oleh pemerintah. Pada 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memberikan hak pengelolaan hutan desa kepada mereka. Pengakuan pemerintah terhadap perjuangan Mpu Uteun inilah, menurut kami, yang membuat gerakan mereka sesuai dengan aspek kedua ekofeminisme.

Sementara, Mpu Uteun jelas memenuhi aspek ketiga dalam ekofeminisme yaitu pengetahuan lokal. Para perempuan pendirinya bukan berasal dari kabupaten ataupun provinsi luar Aceh. Mereka adalah perempuan desa setempat yang menggantungkan hidup pada hutan. Upaya perlindungan hutan pun mereka mulai berdasarkan perspektif warga terhadap alam yang sudah ada turun-temurun.

Inilah sebabnya mengapa gerakan Mpu Uteun diamini oleh masyarakat setempat. Kelompok ini mendasarkan pencarian solusi dari perspektif masyarakat lokal, atas masalah lingkungan yang mereka alami sehari-hari.

Pengutamaan perempuan dalam pengelolaan hutan

Kelompok perempuan pengampu alam sudah lama bermunculan. Di Indonesia, ada perempuan Dayak Benawan di Kalimantan Baratperempuan Kendeng di Jawa Tengah, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Taman Nasional Kerinci Seblat, atau perempuan Mollo di Nusa Tenggara Barat.

Sayangnya, karena budaya patriarki yang masih kental di Indonesia, sektor hutan dan lahan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan hanya memegang peran marginal dalam proses pembuatan kebijakan di sektor ini.

Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengubah situasi ini. Perempuan harus terlibat secara memadai dan berarti sejak tahap perencanaan pengelolaan sektor hutan dan lahan. Program ataupun kebijakan yang mengecilkan perempuan justru berisiko tak efektif atau bahkan berdampak lebih buruk terhadap kaum hawa.

Langkah praktis dapat dimulai dengan pemakaian perspektif ekofeminisme dalam perencanaan program ataupun kebijakan, misalnya dengan pelibatan perempuan setempat dalam perencanaan pengelolaan hutan di suatu daerah. Harapannya, suara perempuan bisa lebih didengarkan, terutama yang berasal dari komunitas lokal dan merasakan dampak langsung kerusakan hutan.


Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 April 2023


Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.

 Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset meliputi masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Islam Sosial Budaya

Tiga Manfaat Pengajian bagi Perempuan: Jalan untuk Berkiprah di Ruang Publik dan Menyuarakan Kesetaraan

Dalam kegiatan yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Februari lalu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, mengomentari kebiasaan ibu-ibu yang senang mengikuti pengajian. Beliau mengatakan bahwa seringnya ibu-ibu mengikuti kegiatan keagamaan ini membuat mereka cenderung meninggalkan anak dan keluarganya.

Pernyataan tersebut memantik beragama tanggapan dari berbagai kalangan, utamanya karena dianggap tidak relevan dengan topik pidato yang saat itu disampaikan, yakni tentang stunting pada anak.

Namun, ada pula yang membela Megawati. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD yang mengatakan bahwa Megawati hanya mengingatkan ibu-ibu yang terlalu sering hadir ke pengajian, bukan melarang.

Terlepas dari segala kontroversi terkait pernyataan politikus senior tersebut, kita perlu melihat secara mendalam mengenai sejarah keterlibatan perempuan dalam kegiatan keagamaan.

Mungkin Megawati juga harus tahu, kegiatan keagamaan bisa menjadi salah satu jalan bagi perempuan untuk berkiprah di luar ranah domestik dan bisa lebih menggaungkan kepentingan perempuan di ranah publik.

Perempuan dan religiositas

Sepanjang sejarah, perempuan kerap kali disingkirkan oleh laki-laki dalam wacana dan ritual keagamaan. Bahkan, posisi mereka sering sebagai pihak yang seakan bertentangan dengan agama.

Misalnya, ada pemahaman keagamaan yang menganggap bahwa perempuan adalah pelaku dosa pada awal periode manusia di bumi, melalui sosok Hawa. Ini kemudian membuat perempuan sering kali dianggap sumber masalah bagi agamawan.

Padahal, penelitian dari Pew Research Center tentang kesenjangan gender dalam agama di ranah global menunjukkan bahwa secara umum, perempuan dari beragam latar belakang keagamaan di seluruh dunia cenderung lebih taat daripada laki-laki dalam partisipasi kegiatan keagamaan.

Dalam salah satu indikator terkait partisipasi peribadatan, riset Pew mengungkap bahwa laki-laki di Indonesia lebih banyak terlibat dalam kegiatan peribadatan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak lebih aktif dalam kegiatan peribadatan dan keagamaan.

Pembacaan yang kurang tepat dalam riset Pew ini disebabkan karena pemaknaan kegiatan keagamaan hanya terbatas pada ritus dan ibadah wajib. Kegiatan harusnya juga meliputi hal lain seperti diskusi keagamaan dan acara-acara yang berlangsung dalam perkumpulan keagamaan. Dalam Islam, contohnya adalah pengajian dan majelis taklim sebagai tempat mengkaji dan mempelajari ajaran keagamaan.

Di sini, partisipasi perempuan dalam kegiatan keagamaan di Indonesia bukanlah hal yang baru.

Pada awal abad ke-20, lahirnya gerakan Muhammadiyah (organisasi Islam modernis) dan Aisyiyah (organisasi otonom perempuan Muhammadiyah) telah berkontribusi mendorong emansipasi perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan dan keagamaan.

Salah satu gebrakan penting yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Aisiyah pada masa itu adalah pendirian Mushola Aisyiyah yang diprakarsai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mushola Aisiyah didirikan untuk memberikan ruang bersosialisasi dan berkumpul bagi perempuan yang selama ini perannya cenderung terbatas di ranah publik.

Setelah Aisyiyah, beberapa organisasi lain seperti Persatuan Islam Istri (Persistri), Muslimat Nahdlatul Ulama, Wanita Islam, dan Badan Koordinasi Majelis Taklim juga muncul untuk memberdayakan perempuan muslim Indonesia. Selain itu, salah satu perempuan muslim Indonesia, Rahmah el Yunusiyyah juga terkenal dengan kiprahnya mendirikan Diniyah Putri sebagai sekolah tinggi keagamaan putri yang pertama di dunia. Hal ini kemudian menginspirasi Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, untuk membangun Kulliyat al-Banat sebagai kampus perempuan untuk mahasiswi di negara tersebut.

Dari pencapaian-pencapaian tersebut, kita bisa melihat bahwa partisipasi perempuan dalam organisasi keagamaan Islam telah memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan status perempuan Indonesia.

Organisasi-organisasi tersebut membuka jalan bagi perempuan muslim Indonesia untuk berkiprah di luar ranah domestik.

Perempuan ikut pengajian: tidak sekadar mencari ilmu agama

Sebagai akademisi hubungan internasional yang fokus pada studi agama dan gagasan politik Islam, saya mengamati adanya empat hal utama yang mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam kegiatan keagamaan, terutama dalam pengajian.

Pertama, riset menunjukkan bahwa menghadiri pengajian bisa berkorelasi positif terhadap kesehatan mental mereka, terutama untuk perempuan lanjut usia (lansia).

Perempuan lansia cenderung semangat mengikuti pengajian karena kegiatan tersebut memberikan kesempatan mereka untuk bersosialisasi. Hal ini biasanya sulit didapatkan oleh perempuan lansia yang sudah tidak memiliki pekerjaan atau rutinitas yang padat.

Adanya kesempatan bagi para perempuan lansia untuk mendalami agama sembari berbagi cerita hidup dan tips keseharian merupakan aktivitas dalam pengajian yang dapat mengurangi kecenderungan mereka mengalami depresi dan kecemasan. Pengajian ternyata dapat membantu perempuan lansia menghadapi masa tua dengan bahagia tanpa perlu takut merasa sendirian.

Kedua, motif ekonomi dan kesejahteraan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong keikutsertaan perempuan dalam kegiatan pengajian.

Perempuan yang bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang pasar, misalnya, seringkali terjebak jeratan utang karena adanya kerentanan dan ketidakstabilan ekonomi. Beberapa pengajian atau majelis taklim menyadari adanya masalah ini, sehingga sebagian pengurus pengajian berinisiatif membentuk jaring pengaman sosial yang dibakukan dalam bentuk baitul mal wa tamwil (BMT) – yang berarti rumah harta dan permodalan usaha.

BMT ini memberikan kesempatan kepada perempuan anggota pengajian untuk mendapatkan akses mikrokredit dengan syarat yang relatif mudah, sehingga mereka dapat keluar dari jeratan utang dan menjadi lebih mandiri secara ekonomi. Beberapa pengajian bahkan juga berinisiatif mendirikan pelatihan kewirausahaan.

Ketiga, adanya pengajian memberikan kesempatan kepada perempuan untuk beraspirasi di ruang publik secara lebih terbuka.

Pengajian maupun majelis taklim menjadi ruang publik bagi para perempuan untuk menyuarakan kepentingannya kepada pihak terkait.

Biasanya para anggota pengajian akan menyampaikan aspirasi dan opininya kepada para ustazah atau pengelola pengajian untuk diteruskan kepada para anggota dewan atau politikus di daerah terkait.

Salah satu contohnya adalah koordinasi antarpengajian perempuan di bawah pimpinan Tutty Alawiyah, pendiri Badan Koordinasi Majlis Taklim. Mereka berhasil mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Anti Minuman Alkohol dan Prostitusi.

Masa depan pengajian perempuan

Mengingat besarnya potensi pengajian dalam menggerakan perempuan di ruang publik, maka ke depannya kegiatan pengajian ini harus lebih dikembangkan secara terfokus.

Contohnya, pengajian perempuan perlu lebih banyak membahas tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di ruang publik. Isu-isu seperti hak pekerja perempuan dan rumah tangga, maraknya perkawinan anak, serta praktik pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan, bisa menjadi kajian bersama dalam pengajian guna meluruskan perspektif yang keliru.

Pengajian perempuan juga perlu mempertimbangkan kolaborasi dengan ragam organisasi. Ini termasuk diskusi lintas iman untuk membahas isu-isu krusial yang berkaitan dengan masalah lingkungan, ketahanan keluarga dan kesehatan masyarakat. Srikandi Lintas Iman adalah salah satu contoh gerakan yang bisa menjadi inspirasi bagi kegiatan pengajian lainnya di seluruh Indonesia.

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 20 April 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Meneliti studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam Hubungan Internasional.