Categories
Hukum

Profesionalisme Hakim Penunda Pemilu

Dalam prinsip konstitusionalisme modern, hakim merupakan aktor yang memiliki peran terhadap fungsi pelayanan umum kepada masyarakat. Independensi yang diperoleh para hakim juga perlu dipertanggungjawabkan ke publik.

Komisi Yudisial (KY) melalui juru bicaranya pada 3 Maret 2023 menyatakan untuk memulai melakukan pendalaman atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst terhadap gugatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima). Upaya ini dilakukan untuk menilai ada tidaknya pelanggaran kode etik dan profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo.

Paling tidak, dalam hal ini KY dihadapkan atas dua tantangan besar. Di satu sisi kerangka kerja KY dalam menilai putusan harus cermat, proporsional, dan terukur karena bisa berpengaruh kepada independensi hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Di sisi lain, KY juga memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin marwah dan kehormatan putusan hakim terhindar dari perilaku unprofessional act.

Profesionalisme
Secara kontroversial, amar putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Silogisme putusan ini memang cukup aneh dan menjadi ”riuh” di kalangan para ahli hukum setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, soal kompetensi absolut PN Jakarta Pusat dalam memeriksa dan mengadili pokok perkara. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah karena keputusannya semestinya menjadi domain Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kedua, jikapun majelis hakim tetap menilai untuk dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum perdata, amar putusannya hanya bisa mengikat penggugat dan tergugat. Dalam konteks penalaran hukum, putusan ini tak dapat berlaku secara umum (orga omnes) sehingga mengikat seluruh elemen masyarakat dan pemerintah serta memengaruhi pelaksanaan pemilu yang telah terjadwal dalam kalender kenegaraan.

Ketiga, penundaan jadwal pelaksanaan pemilu secara periodik dalam konstitusi hanya bisa dilakukan dalam kondisi force majeur, misalnya bencana alam yang dapat mengganggu eksistensi negara dan jalannya pemerintahan.

Dari tiga anotasi di atas, putusan majelis hakim jelas keliru dan di luar dari koridor kompetensi PN Jakarta Pusat. Untuk menganulir putusan tersebut tentu hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum oleh tergugat (KPU) kepada majelis hakim tingkat banding maupun kasasi.

Namun, perlu diberikan penekanan bahwa upaya hukum tingkat banding merupakan hal yang berbeda dengan memeriksa dan mengadili ada tidaknya pelanggaran profesionalisme majelis hakim PN Jakarta Pusat di dalamnya. Upaya hukum banding hanya berpengaruh kepada dua probabilitas. Menguatkan putusan pada tingkat pertama, atau sebaliknya menganulir putusan pada tingkat pertama.

Sementara pendalaman pelanggaran etik dan profesionalisme lebih ditujukan kepada perilaku masing-masing individu hakim mulai dari proses persidangan sampai dengan tahapan pengambilan keputusan di forum rapat permusyawaratan hakim. Dalam memeriksa dugaan pelanggaran etik dan profesionalisme hakim pada putusan PN Jakarta Pusat tersebut, KY dapat melakukan pendalaman pada dua wilayah.

Putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut perlu diasesmen melalui tahapan eksaminasi.

Pertama, pemeriksaan dilakukan atas ada tidaknya tekanan dari pihak luar atau kelompok tertentu dalam pengambilan keputusan majelis hakim PN Jakarta Pusat. Kedua, pemeriksaan dilakukan dengan melihat kesesuaian dasar pertimbangan (ratio decidendi) dan konklusi.

Artinya, putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut perlu diasesmen melalui tahapan eksaminasi, untuk melihat relevansi antara alasan dan konklusinya terhadap asas-asas hukum, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kode etik KY dan Mahkamah Agung (MA) telah menjamin prinsip ini dalam tiga domain pengaturan, yaitu berdisiplin tinggi, berintegritas tinggi, dan profesional.

Independensi
Untuk mengadili profesionalisme hakim dengan menggunakan KY sebagai pengawas eksternal memang tak mudah. Persoalan mendasar itu justru datang dari tingkat kesepahaman antara KY dan MA atas prinsip independensi hakim. Dalam beberapa kasus konkret pelanggaran etik yang didalami oleh KY karena alasan profesionalisme hakim dalam membangun putusan, tak semua bermuara kepada penjatuhan sanksi.

Meskipun kebenaran materil sudah terpenuhi, usul penjatuhan sanksi bisa saja mendapatkan penolakan dari MA. Hal ini terjadi karena kebebasan hakim terhadap keyakinannya selalu dianggap berkorelasi dengan independensinya dalam membangun pertimbangan putusan.

Dalam konteks putusan penundaan pemilu, momentum ini sebenarnya bisa jadi bahan evaluasi untuk kasus-kasus serupa. Contini dan Mohr (2008) menegaskan, independensi tak dapat dilihat secara parsial. Preferensi para hakim dalam membangun pertimbangan hingga putusan tak lagi dapat dimaknai sebagai domain eksklusif yang merepresentasikan independensi hakim.

Dalam prinsip konstitusionalisme modern, hakim merupakan aktor yang memiliki peran terhadap fungsi pelayanan umum kepada masyarakat. Independensi yang diperoleh para hakim juga perlu dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

Dalam hal ini, perilaku unprofessional act bisa saja dijatuhkan kepada hakim yang basis pertimbangannya bertentangan dengan asas hukum dan prinsip-prinsip konstitusi yang berlaku secara universal. Sebab, independensi bukanlah ”privilese”, melainkan prinsip yang juga perlu dipertanggungjawabkan dengan sikap profesional di hadapan publik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 14 Maret 2023

Idul Rishan
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII

Categories
Politik Sosial Budaya

Bagaimana Aktivisme Digital Penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024

Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga politik. 

Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 55%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Dunia.  

Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.

Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini menyangkal bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.

‘Anies Bubble’ dan manuver politik

Akun @aniesbubble mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023.

Akun @aniesbubble mengadopsi karakter fandom K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai pendukung hak asasi manusia, lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak, dan memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis). 

Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas clicktivismmetavoicing, dan assertion yang diungkapkan oleh Jordana J.George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat. 

Aktivisme ini diawali dengan clicktivism, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian likevoting, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun @aniesbubble muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip Live TikTok Anies yang pertama  pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan like sebanyak 4,1 ribu. Voting dilakukan saat @aniesbubble membuka voting pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024, antara Humanies atau Manies.

Aktivitas berikutnya adalah metavoicing, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang post (reposting), sharing, dan retweeting unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan repost terbanyak adalah konten mensenai guru PAUD, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.

@aniesbubble juga melakukan metavoicing dengan mengunggah ulang potongan-potongan video live Tiktok Anies ke platform X. Repost maupun retweeting merupakan aktivitas yang satu level lebi tinggi daripada liking karena membutuhkan usaha yang lebih.

Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari live Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X.

Sementara itu, assertion didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan skill yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada clicktivism dan metavoicing karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.

@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat konten-konten promosi seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.

Melalui wawancaranya dengan media Magdalene , admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.

Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop. Akun X dengan username @olpproject bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. Video promosi Anies dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.

Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut

Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.

Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka. 

Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan banyak disindir oley warganet di X “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.

Adu ‘branding’ kandidat di media sosial

Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (botism).

Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha menciptakan branding diri agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.

Capres Prabowo Subianto juga membentuk image ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah podcast pada 2019 lalu yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.

Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana pengguna media sosial menunjukkan perspektifnyaHype di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Februari 2024

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada  masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Politik

Meredupnya Efek ‘Selebritas Politik’

Puncak Pilkada 2024, yaitu pemungutan telah usai. Kompetisi politik satu orang satu suara ini selalu menunjukkan fenomena sosial politik yang menarik: partisipasi, motivasi memilih, hingga efek penggunaan media konvensional dan media digital dalam membangun citra atau elektabilitas kandidat. Selain prosedur pemungutan suara yang berjalan lancar, ada kejutan yang perlu mendapat perhatian dari sisi komunikasi politik, yaitu, memudarnya efek elektoral dari tingkah polah politisi yang dimediasi oleh media sosial.

Kekalahan ‘Selebriti Politik’
Contoh paling nyata di Pilkada Jakarta. Kekalahan Ridwan Kamil (RK) dalam Pilkada Jakarta 2024, menyusul sebelumnya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo di Pilpres, adalah tanda berakhirnya gaya kampanye politik yang mengandalkan sisi personal (karakter, keluarga, ruang privat) dalam budaya politik kontemporer Indonesia. Kampanye memakai ruang digital (media sosial) dalam bentuk memoles kandidat sebagai selebriti mikro. Sejarah mencatat, taktik personalisasi ini dipelopori dua mantan Presiden: SBY (sebagai penyanyi) dan Jokowi (periksa gorong- gorong rusak). Keduanya kini sudah mantan. Jokowi bahkan mewariskan kemarahan loyalisnya yang merasa tertipu oleh personalisasi sebagai orang baik, yang dikonstruksi secara digital oleh para pendengung.

Para selebritas poitik lainnya: Anies, RK, Ganjar, gagal maju ke pentas kekuasaan di periode 2024-2029. RK dikenal rajin bermedsos atau medsosholic. Ia dan timnya rajin mengolah isu yang ‘remeh temeh’ khas kaum rebahan. Puncak personalisasi politik RK terjadi saat anaknya meninggal di sungai Aare Swiss. Ganjar sejak gubernur hingga Capres aktif mereplika Jokowi sebagai ‘orang kampung’ di medsos yang menyapa kaum pinggiran. Taktik serupa jarang kita temukan pada politisi yang menang Pilkada di Jawa: Pramono, Khafifah, Ahmad Luthfi. Mereka menang karena faktor-faktor lain.

Personalisasi politik (Wheeler, 2014; Kaplan, 2021) adalah praktek political branding, jelas tak orisinal, ada rekayasa selebritisasi oleh tim media digital, dibantu influencer sebagai cheerleader. Praktek ini semarak ketika media sosial menjadi sumber informasi politik utama dan menjadi ruang yang banal. Politisi yang tidak siap dengan program politik cerdas, sekadar ingin populer lewat sentuhan emosi kepada milenial berebut bikin konten romantis dengan istri/suami, memproduksi kata/diksi yang memicu viralitas, dan lain-lain. Konten digital makin keruh, overload, niredukasi politik, menghilangkan substansi. Muaranya ia berubah menjadi gudang sampah digital yang tidak lagi mempunyai efek elektoral.

Secara makro, praktek personalisasi politik tumbuh subur karena struktur dan budaya politik kita yang tidak sehat pada dua sektor. Pertama, partai politik yang lemah, feodalistik,msangat bergantung pada figur Ketua Umum. Modalitas Parpol bukanlah ideologi atau program tetapi figur – figur populer, medioker. Kedua, kuatnya warisan politik massa mengambang. Politik dianggap urusan lima tahunan saja, bukan sehari-hari. Politik urusan di TPS, mendapat sembako, urusan idol, memilih calon populer, bukan rekam jejak prestasi.

Artikel berjudul: social media, electoral politics and political personalization in Indonesia (Masduki, 2024) telah mengulas personalisasi politik dalam sejarah politik digital sejak era SBY hingga Jokowi. Studi ini awalnya berangkat dari semaraknya talk- show yang dihadiri politisi/pejabat negara di televisi yang kini beralih ke podcast di Youtube. Menjadi host atau pengisi talkshow di TV adalah panggung drama para politisi, panggung memoles citra. Lebih dari berpendapat, mereka ‘menjual’ intimitas dengan keluarga sebagai komoditas politik jangka pendek. Target proyek personalisasi atau selebritisasi politik tentu bukan hanya subscribers, followers, tapi electoral voters. Mengikuti logika algoritma digital, panggung digital ini dikemas menjadi hiburan nakal, tujuannya viral, bukan agar publik rasional. Nah, jika kini gaya ini sudah berakhir dan blunder, apakah komunikasi politik digital ke depan akan semakin sehat, kaya konten programatik, bukan slapstick.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 2 Desember 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.