Categories
Hukum

Sejarah Negara Teror

Teror terhadap warga yang bersuara kritis kian tak terkendali. Terbaru, teror terhadap FY, penulis opini di salah satu media nasional yang mengkritisi pengangkatan jenderal TNI dalam jabatan sipil.

Setelah mendapat teror, FY meminta media yang memuat tulisannya agar menghapus artikel itu. Penghapusan tulisan diberitakan dilakukan atas rekomendasi Dewan Pers dan dilakukan demi menjaga keselamatan penulis.

Peristiwa yang juga menguat ialah teror terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi salah satu pemohon uji materi (judicial review) UU TNI ke Mahkamah Konstitusi; penarikan lagu band Sukatani yang mengkritik praktik bayar-bayar oleh aparat penegak hukum.

Selain itu, pemaksaan permintaan maaf terhadap siswa di Bogor yang mengkritik program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan penangkapan mahasiswa ITB karena membuat meme Presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo.

Apa yang terjadi pada FY dan peristiwa lain yang hampir serupa sangat memprihatinkan. Hal itu mengingat UUD Tahun 1945 menjamin hak menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani; memberikan jaminan atas hak untuk mengeluarkan pendapat; serta jaminan atas hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.

Teror dan intimidasi yang terjadi seperti meruntuhkan bangunan konstitusional yang selayaknya dijaga dan dijunjung tinggi. Kedaulatan rakyat dihilangkan dengan tindakan represi dan intimidasi.

Negara Teror
Keprihatinan terhadap teror yang terjadi mungkin agak ringan kalau terjadi di level horizontal, di mana warga yang diintimidasi oleh warga yang lain dapat meminta pertolongan aparat negara. Namun, persoalannya sangat serius jika pelaku teror adalah dari aparat negara sendiri.

Apa yang terjadi pada FY dan beberapa kasus di atas, pelakunya diyakini adalah aparat negara yang notabene digaji dengan pajak dari warga untuk menjaga hak atas rasa aman dan membebaskan warganya dari ketakutan untuk berpendapat.

Pertanyaannya, bisakah negara menjadi state terorism kepada warganya sendiri, padahal selayaknya negara bertugas menjaga hak atas rasa aman?

Dalam beberapa studi ternyata sangat mungkin negara jadi pelaku teror. Negara, jika tak diawasi, akan mudah menggunakan kekerasan terhadap warga sipil secara acak, dengan tujuan intimidasi atau menciptakan ketakutan agar tercapai tujuan politik kekuasaannya.

Teror bisa dilakukan oleh negara terhadap negara yang lain, seperti dilakukan Israel pada Palestina, atau teror negara terhadap warganya sendiri seperti yang terjadi di Myanmar.

Rohingya di Myanmar adalah contoh paling jelas dari begitu kejamnya state terorism, di mana pemerintahan yang berkuasa melakukan genosida secara terbuka pada warganya karena alasan ras (ciri-ciri fisik) dan agama. Secara ras, etnis Rohingya dianggap berbeda ciri-ciri fisiknya dengan mayoritas penduduk Myanmar.

Secara agama, etnis Rohingya sebagian besar beragama Islam, sementara penduduk Myanmar mayoritas beragama Buddha. Kondisi ini menjadi alasan pemerintah untuk secara aktif melakukan teror, pengusiran paksa, dan genosida.

Selain Myanmar, ada beberapa negara yang dianggap aktif melakukan teror terhadap warganya dengan alasan yang beragam: perbedaan politik, ideologi, etnis, agama, penguasaan tanah, dan seterusnya. Alasan pemicu bisa sangat beragam, tapi intinya adalah negara yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil dengan cara intimidasi atau menciptakan ketakutan yang di dalamnya memiliki motif politik tertentu.

Di Indonesia, teror secara masif oleh negara terjadi di era rezim Orde Baru, di mana ada begitu banyak kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara.

Antara lain dalam kasus Waduk Kedungombo, Nipah, pemberedelan media massa, DOM di Aceh, penembakan misterius, peristiwa Tanjung Priok, kasus Talangsari, penghilangan orang secara paksa, kasus Trisaksi (Semanggi I dan II), dan beberapa kasus yang lain.

Kekerasan negara oleh Orde Baru tidak lepas dari konfigurasi politik yang tunggal (homogen) dan monolitik saat itu. Menurut Alfred Stepan,  karakter tunggal dan monolitik terjadi pada tingkat negara (state) dan masyarakat (society).

Pada level negara terlihat solidnya semua unsur yang ada dalam negara sehingga berkarakter tunggal dan tidak ada check and balances; sementara pada level masyarakat terlihat kondisi pengendalian, penundukan, dan pengarahan pada agenda kepentingan politik kekuasaan tertentu.

Kondisi monolitik tersebut mendorong state terorism yang begitu luas, di mana negara melakukan penundukan secara paksa dan represif, baik secara fisik maupun mental, yang kemudian membungkam kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul masyarakat.

Menjaga demokrasi
Alasan penting mengapa kita prihatin terhadap teror yang menimpa warga dan tekanan terhadap media massa adalah karena situasi tersebut terjadi cukup serius di masa lampau dan menjadi luka sejarah yang begitu menyakitkan.

Karena hal tersebut, dilakukanlah amendemen UUD 1945 yang di dalamnya menegaskan perihal kedaulatan negara yang berada di tangan rakyat, negara hukum, pembatasan kekuasaan, dan ada jaminan hak asasi manusia yang menjadi pijakan warga dari segala tindakan dan kebijakan penguasa yang berpotensi melakukan pelanggaran dan penyalahgunaan wewenang.

Jaminan konstitusional tersebut relatif cukup baik mengiringi proses demokratisasi pasca-jatuhnya rezim Orde Baru.

Pemerintahan di era Reformasi telah silih berganti dan terjadi pasang surut dan tarik-menarik kepentingan kekuasaan dan warga negara.

Suara warga negara dan pers di era awal dan pertengahan Reformasi masih didengarkan, kekuasaan yang menyimpang masih terkritisi, tetapi di periode dua penguasa terakhir konfigurasi kekuasaan menjauh dari semangat negara hukum dan demokrasi.

Teror yang terjadi pada FY yang notabene seorang penulis dan atau terhadap mahasiswa Fakultas Hukum UII yang menjadi pemohon uji materi ke MK di pemerintahan sekarang ini merupakan bukti betapa penguasa dan aparatnya tidak serius belajar dari sejarah.

Yakni bahwa negara ini pernah jatuh pada lubang otoritarianisme di mana penguasa lewat aparat yang terkomando pernah menjadi aktor teror yang bengis pada warganya sendiri, dan negara hukum berubah menjadi negara kekuasaan (machstaat) karena hukum lewat konfiguasi politiknya semata mendukung kepentingan kekuasaan yang otoriter.

Terdapat tiga pandangan dalam melihat gerak sejarah.

Pertama, pandangan yang melihat sejarah sebagai sesuatu yang bersifat linier, sejarah bergerak menuju ke arah yang lebih maju. Kedua, pandangan yang melihat gerak sejarah tidak selalu maju, tapi kadang terjadi proses kemunduran saat berada pada tahap kemajuan.

Ketiga, pandangan yang melihat gerak sejarah bergerak secara berputar seperti siklus yang melingkar.

Dalam pembacaan ini, negara Indonesia saat ini seperti mengalami siklus berputar itu, di mana kekuasaan cenderung monolitik, ada dukungan aparat keamanan dan partai yang kuat, serta warga dan media massa ironisnya dikendalikan.

Tentu kita tidak ingin seperti itu. Gerak sejarah Indonesia selayaknya linier, bergerak ke arah yang lebih maju, yaitu negara yang demokratis, humanis dan tidak meneror warganya sendiri.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 Juni 2025

M Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.

Categories
Hukum Politik

Potret Dwifungsi TNI yang Diributkan

Ayah saya ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS tidak melaksanakan monoloyalitas. Itulah ingatan tentang politik dwifungsi ABRI yang kini ditakutkan kembali.

Demo-demo karena khawatir atas kembalinya dwifungsi TNI bisa dimaklumi. Namun, banyak pendemo yang ketika ditanya ternyata tidak betul-betul paham, apa arti dwifungsi.

Ayah saya ditahan tentara. Pertama kali muncul bayangan tentang tentara dan dwifungsi di benak saya adalah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971.

Sehabis pemungutan suara tanggal 3 Juli 1971 pada pemilu pertama era Orde Baru itu, ayah saya, Mahmodin, dijemput oleh dua tentara, Pak Syukur dan Pak Gani, dan ditahan di Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Kecamatan Waru (Pamekasan, Madura), tanpa proses hukum. Waktu itu, saya masih kelas I SMTP.

Mengapa ayah dijemput dan ditahan? Ayah saya adalah pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Waru. Saat Pemilu 1971 itu, ayah saya diberi tugas untuk memimpin Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Sanah Laok.

Waktu itu, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan monoloyalitas atau loyalitas tunggal. PNS harus memilih Golongan Karya (Golkar) saat pemilu. Kebijakan monoloyalitas dikawal ketat pelaksanaannya oleh TNI—atau lebih dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—terutama TNI Angkatan Darat (TNI AD).

Di TPS tempat ayah saya ditugaskan, dengan personel KPPS plus Pertahanan Sipil yang berjumlah 12 orang itu, Golkar hanya mendapat tiga dan empat suara untuk DPR Pusat dan DPR Daerah. Selebihnya, hampir semua adalah suara untuk Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Ayah saya dipersalahkan karena dari 12 anggota KPPS saja, yang memilih Golkar hanya tiga orang. Saat akan mulai pencoblosan, ayah saya yang adalah aktivis NU di kecamatan memang berpidato bahwa setiap orang bebas memilih secara rahasia.

”Warga NU, tetap boleh memilih Partai NU,” katanya. Sesaat setelah pulang dari tugas di TPS, ayah saya dijemput dan ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS ia tidak melaksanakan monoloyalitas.

Itulah ingatan mendalam dari apa yang kemudian saya kenal sebagai Politik Dwifungsi ABRI. Tentara ikut campur secara resmi dalam berbagai kegiatan bidang sosial dan politik, termasuk tugas memenangkan agenda kelompok politik tertentu, yakni Golkar.

Awal ide dwifungsi
Sebenarnya ide dasar tentang dwifungsi itu tidaklah jelek. Ide ini didorong oleh tampilnya pemerintahan sipil yang dianggap selfish, selalu gaduh.

Pemerintahan sipil yang saat itu, sudah berlangsung hampir dua dasawarsa dianggap selalu menimbulkan pertikaian, mengancam persatuan, dan tidak kondusif untuk pembangunan. TNI, yang merasa dirinya ikut mendirikan negara, terpanggil tanggung jawabnya untuk menjaga dan menyelamatkan Republik Indonesia.

Ide peran ganda militer mulanya disampaikan oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di Akademi Militer pada tahun 1958, dengan istilah middle way (jalan tengah). Istilah middle way diganti menjadi dwifungsi, dan itu disampaikan oleh Nasution pada tahun 1960 dalam Rapat Pimpinan Polri di Porong.

Idenya, selain fungsi tempur, TNI juga perlu ikut mengadministrasikan negara melalui fungsi-fungsi nontempur dan pembinaan wilayah.

Konsepsi dwifungsi merupakan jalan tengah antara posisi militer di Barat yang tidak ikut-ikut urusan politik dan posisi militer ala Amerika Latin yang mendominasi kehidupan politik.

Dengan dwifungsi, TNI di Indonesia tidak perlu melakukan kudeta untuk membereskan kemelut politik dan pemerintahan karena TNI sudah ikut mengurusi dan mengantisipasi sejak awal agar berjalan baik.

Seiring dengan itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang tadinya berdiri sendiri sejak tahun 1960-an mulai digabungkan dengan TNI dengan sebutan ABRI.

Dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 121 Tahun 1960, Presiden Soekarno meletakkan Departemen Kepolisian/Kepala Polri di bawah Departemen Pertahanan. Selanjutnya, dengan Tap MPRS No II/MPRS/1960 yang dituangkan lagi di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1961, kedudukan Polri secara de jure dan de facto menjadi bagian dari ABRI.

Meskipun semula, melalui pidato tanggal 17 Agustus 1953, Presiden Soekarno tegas meminta TNI tidak ikut dalam politik, sejak akhir tahun 1950-an Bung Karno sudah memasukkan tugas selain perang bagi TNI ke dalam ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsepsi resmi.

Sekurang-kurangnya, ada tujuh produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno terkait tugas TNI dalam jabatan-jabatan sipil. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Organisasi Angkatan Perang, Keppres Nomor 21 Tahun 1959 tentang Peran Militer di Jabatan Sipil, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 1960 tentang Pembentukan Front Nasional.

Selain itu, Tap MPRS No II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, UU Nomor 18 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Tap MPRS No II/MPRS/1962 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN, dan Tap MPR No XIII/MPRS/1965 tentang Kedudukan dan Peran ABRI dalam Negara.

Hegemoni TNI era Orde Baru
Pada era Orde Baru, konsepsi dwifungsi diterapkan secara ketat, masif, dan sewenang-wenang. Kacaunya sistem politik dan ambruknya ekonomi yang diwariskan oleh rezim Orde Lama harus diselesaikan dengan hadirnya stabilitas nasional yang mantap untuk menjamin kelancaran pembangunan.

Untuk itu, ABRI harus memainkan peran utama dalam politik dan pembangunan. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu mengukuhkan adanya jatah kursi (tanpa ikut pemilu) di DPR/MPR bagi ABRI, yang kemudian menjadi fraksi tersendiri di DPR/MPR.

Dengan dwifungsi, TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil di pemerintahan, dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kepala daerah dan jabatan sipil lainnya bisa diduduki oleh anggota ABRI aktif, tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Kendali politik dalam berbagai sektor secara horizontal dan vertikal sepenuhnya ada di tangan Presiden Soeharto yang sekaligus merupakan Panglima Tertinggi ABRI.

Keputusan politik dan pemerintahan ditentukan oleh tiga pilar politik yang disebut ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) yang pucuknya adalah Presiden.

Penyelenggaraan pemilu tidak demokratis, tidak jujur, dan tidak adil. Represi atas lawan politik terjadi seakan hal yang biasa saja. Ketatapemerintahan dibangun secara korporatis dan hegemonik, yang kemudian menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pers dipasung, dibayangi ancaman pembredelan dengan istilah yang dihaluskan. Eks aktivis atau anggota PKI serta keluarganya, dirampas hak perdatanya. Bahkan, banyak mahasiswa ikatan dinas di luar negeri dilarang pulang, hanya karena ”dianggap” simpatisan PKI. Pokoknya, pengebirian atas demokrasi dan pelanggaran HAM terjadi secara masif.

Meskipun begitu, secara fair perlu diakui, pemerintahan Orde Baru berhasil dalam banyak bidang pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 7 persen. Swasembada pangan bertumbuh bagus. Angka partisipasi pendidikan tinggi terus meningkat. Kesejahteraan rakyat terus membaik secara bertahap.

Namun, catatan keberhasilan itu menjadi tak bermakna dan rapuh. Konfigurasi politik yang otoriter, hegemonik, dan tak menghormati hak asasi manusia (HAM) itu rontok, saat terjadi krisis moneter.

Reformasi dan rontoknya dwifungsi
Ketika pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, ketahanan politik pun menjadi rapuh. Rakyat bergerak melakukan perlawanan secara masif, melalui Reformasi 1998.

Salah satu prestasi penting dari Reformasi 1998 adalah penghapusan dwifungsi ABRI dan pemisahan Polri dari TNI. Bidang Sospol ABRI ditiadakan. Anggota TNI dan Polri hanya boleh masuk ke dunia politik dan jabatan sipil tertentu, dengan syarat mengajukan pensiun atau mengundurkan diri dari TNI/Polri.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika dalam kaitan revisi UU TNI sekarang ini, banyak demo sebagai reaksi penolakan. Reaksi besar itu muncul karena trauma atas pengalaman masa lalu, saat dwifungsi dilakukan secara melanggar HAM dan membunuh demokrasi.

Masyarakat takut kalau negara hegemonik yang menggunakan dwifungsi TNI akan muncul kembali.

Proses legislasi yang agak tertutup dalam revisi UU TNI Tahun 2025 memang memancing reaksi keras dari kelompok-kelompok masyarakat, terutama warga kampus dan civil society.

Karena pengalaman sejarah, tidak salah dan patut dimaklumi jika mereka melakukan demo-demo sebagai hak konstitusional. Mereka mencemaskan munculnya kembali dwifungsi. Apalagi di draf awal RUU TNI yang pernah beredar, ada isu bahwa TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil jika Presiden menganggap perlu dan jika di institusi sipil tersebut diperlukan tenaga atau keahlian dari anggota TNI.

Sekarang, tinggal DPR dan pemerintah yang perlu meyakinkan masyarakat bahwa produk final revisi UU TNI itu tetap menutup pintu bagi kembalinya dwifungsi TNI.

Tidak ada ketentuan Pasal 47 yang, katanya, akan membuka kembali politik dwifungsi itu. Tidak ada peluang bagi TNI masuk ke jalur jabatan sipil secara eksesif dan menakutkan seperti di era Orde Baru.

Apalagi pengaturan tentang larangan dwifungsi itu bukan hanya diatur dalam UU TNI, melainkan juga sudah dikunci oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang lain dan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 April 2025

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum Pilihan Politik

Perlukah TNI Ikut Menjaga Pertandingan Sepak Bola, Konser Musik dan Kegiatan Sipil Lainnya? Bagi Negara Demokrasi, Ini Tidak Lazim

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer.

Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.

Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.

Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.

Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.

Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut
Adanya posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.

Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap “rawan”.

Sementara dalam konser musik, mulai dari pop sampai dangdut, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut berjaga di tengah keramaian.

Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.

Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?

Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’
Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip disertasi Profesor Salim Said, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.

Militer Indonesia lahir selepas Perang Revolusi Nasional 1945-1949 dari gabungan laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.

Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.

Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.

Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “Jalan Tengah” dengan memberikan TNI dua fungsi: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara.

Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.

Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penggunaan alat-alat kekerasan yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.

Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. Tap MPR VI/2000 yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini.

Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.

Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.

Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan UU Polri. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “Sinergitas TNI-Polri”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri.

Gesekan sipil-militer
Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.

Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.

Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.

Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi trained killer.

Prajurit menjadi trained killer bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.

Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Mendamba sebuah perbaikan
Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.

Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi.

Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional.

Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 9 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.