Categories
Islam

Asal-usul dan Ideologi Hamas yang Sering Disalahpahami

Pascaserangan kelompok Hamas terhadap Israel yang direspons oleh serangan balasan yang berlebihan oleh militer Israel–diskusi dan narasi tentang apa dan siapa Hamas, serta apa tujuannya, kembali menguat ke permukaan.

Konfrontasi militer antara Hamas dan Israel bukanlah hal yang baru. Hamas telah berperang beberapa kali dengan Israel sejak tahun 2007.

Sudah banyak akademisi dan peneliti yang telah menjabarkan tentang Hamas, tentunya dari pemahaman dan sudut pandang yang beragam. Salah satunya menyebutkan bahwa Hamas secara agama cenderung beraliran Salafi yang agaknya kurang tepat secara konteks sejarah dan faktual.

Berdasarkan kapabilitas saya sebagai akademisi yang fokus meneliti studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam ilmu Hubungan Internasional, berikut hal-hal mendasar tentang Hamas yang perlu kita ketahui tetapi kerap disalahpahami.

Asal-usul Hamas
Akar gerakan Hamas–singkatan dari Harakah al-Muqawwamah al-Islamiyyah (Gerakan Perlawanan Islam) mulai muncul sejak tahun 1946, ketika kader pergerakan Ikhwanul Muslimin (IM), gerakan Islamis asal Mesir, membentuk cabang di Gaza. Paham Islamisme IM berdasar pada prinsip al-Islam huwa al-hal,yakni menawarkan Islam sebagai solusi menyeluruh untuk masalah dalam semua sektor kehidupan publik dan privat di era modern.

Pada masa itu, pemerintah Mesir berupaya melarang aktivitas dan operasi IM di Mesir dan Gaza. Sebab, IM dianggap sebagai ancaman bagi keamanan domestik dan berpotensi mengganggu gencatan senjata yang disepakati Israel dan Mesir pada tahun 1949.

Pelarangan tersebut kemudian membuat IM harus mengembangkan kegiatannya melalui beragam organisasi sosial, termasuk melalui pembentukan Perkumpulan Tauhid (Jam’iyah at-Tauhid). Perkumpulan Tauhid pun kerap mengalami rangkaian persekusi politik oleh pemerintah Mesir.

Di Gaza, gerakan IM memiliki perbedaan orientasi kebijakan dan ideologi dengan gerakan kemerdekaan Palestina lainnya–seperti Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) yang berideologi Marxisme dan Fatah yang berideologi sekuler-nasionalis.

Sementara itu, orientasi kebijakan IM Gaza lebih banyak berfokus pada rehabilitasi sosial dan ekonomi bagi para pengungsi Gaza yang terdampak perang melalui gerakan Mujamma’. Inilah mengapa IM Gaza, pada awalnya, selalu mengambil langkah yang legalistik dan tidak konfrontatif.

IM Gaza pernah terlibat dalam operasi bersenjata, tapi hal tersebut tidak dianggap sebagai solusi yang dapat membantu pengungsi Gaza–setidaknya hingga Hamas berdiri dan memulai gelombang baru perlawanan secara fisik.

Selain di Gaza, IM juga memiliki cabang di Tepi Barat. Perkembangan IM di Tepi Barat berbeda dengan IM Gaza. Pada penghujung dekade 1940-an, sebagian kader IM Tepi Barat yang kecewa akan hasil Perang Arab-Israel tahun 1948 membangun gerakan Hizbut Tahrir  di bawah kepemimpinan Taqiyuddin an-Nabhani, seorang hakim Mahkamah Syariah di Nablus, Tepi Barat Palestina. Sebagian kader yang lain melanjutkan IM di Tepi Barat di bawah koordinasi dengan IM di Yordania.

Pada dekade 1970-an, salah satu tokoh IM Gaza, Ahmad Yasin, membuat Gerakan Pusat Islam (Mujamma’ al-Islamiyyah atau Mujamma’). Mujamma’ menjadi sebuah gerakan sosial yang fokus sepenuhnya menolong masyarakat Gaza yang menjadi pengungsi di tanah sendiri. Israel bahkan melegalkan organisasi sosial ini untuk beroperasi di Gaza.

Gerakan sosial Mujamma’ kemudian mengalami proses radikalisasi akibat dua hal: (1) adanya kontestasi pengaruh dengan gerakan kemerdekaan Palestina dari ideologi lain; (2) terjadinya Intifada Pertama yang merupakan upaya resistensi konfrontatif terhadap represi Israel yang berkelanjutan terhadap Palestina.

Intifada Pertama ini mengubah arah Mujamma’ yang awalnya berdimensi sosial menjadi gerakan politik bernama Hamas yang kemudian mengembangkan sayap militernya.

Ideologi gerakan Hamas
Beberapa akademisi berpendapat bahwa Hamas menganut aliran Islam Salafisme. Namun kenyataannya, dalam perkara ideologi, Hamas tidak bisa dikatakan sebagai organisasi yang mengikuti ajaran Salafi secara seutuhnya.

Ini karena Salafi bukanlah sebuah pemikiran yang monolitik yang bisa direpresentasikan dalam satu bentuk gerakan dan gagasan tertentu. Salafi memiliki beragam bentuk yang berkembang sesuai dengan dinamika politik di dunia Islam.

Salafi adalah sebuah aliran dalam Islam yang mengajarkan pemurnian ajaran Islam melalui penafsiran tekstual yang ketat terhadap dua sumber hukum utama Islam, yakni al-Qur’an dan Hadits. Aliran ini dikembangkan secara komprehensif oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab pada pertengahan abad ke-19, berdasarkan pada ajaran ahli fikih Ahmad Ibnu Hanbal–pendiri mazhab Hambali dari abad ke-9, dan pemikiran Ibnu Taimiyyah, seorang teolog Islam dari abad pertengahan.

Saat ini, tipologi gerakan Salafi secara umum dapat dibagi menjadi tiga: (1) Salafi preservasionis yang dekat atau terafiliasi resmi dengan Arab Saudi, (2) Salafi subversif yang bersifat simbolis dan sosial, dan (3) Salafi transformatif yang bersifat agresif dan ofensif (serupa dengan Salafi Jihadis).

Jika melihat pandangan Salafi preservasionis yang berasal dari Arab Saudi, maka dapat dilihat bahwa beberapa ulama Salafi dari negara tersebut sebenarnya telah menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap Hamas.

Ada dua ketidaksetujuan dari Salafi preservasionis terhadap Hamas: (1) inkonsistensi Hamas dalam menjalankan sistem Islam dengan mengikuti pemilu yang berbasis pada demokrasi Barat, (2) kerja sama dengan Iran yang menganut ajaran Syiah Imamiyah (ajaran Islam yang mengikuti pemahaman keagamaan yang dibangun oleh dua belas imam penerus Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin politik umat Islam) yang secara teologis bertentangan dengan ajaran Islam Sunni pada umumnya.

Menurut para ulama Salafi, Hamas beserta gerakan perjuangan kemerdekaan Palestina harus berkomitmen dahulu menegakkan nilai-nilai keislaman di negara mereka dengan menyingkirkan pengaruh ideologi sekuler dalam melakukan perjuangan mereka.

Selain itu, gerakan Hamas juga sempat diancam dominasinya oleh beberapa gerakan Salafi transformatif yang hendak meraih pengaruh di Jalur Gaza.

Ideologi Hamas dapat dikatakan berdasar pada nilai-nilai politik Islam ala IM yang bersifat lebih modernis dan pragmatis dalam memandang dinamika politik. Hal ini pula yang kemudian membuat Hamas menerima eksistensi aliran Sufi di Jalur Gaza, bahkan juga toleran terhadap komunitas Kristen dari beragam denominasi di Gaza.

Sebagian pengaruh pemikiran Salafi subversif yang fokus pada pemurnian agama secara sosial memang dapat dideteksi pada upaya Hamas dalam menafsirkan ajaran keagamaan dan menerapkan hukum Islam. Namun, hal ini selalu mereka imbangi dengan sikap pragmatisme politik.

Hamas dalam rencana perdamaian Israel-Palestina
Satu hal penting yang seringkali menjadi kontroversi dalam diskusi tentang Hamas adalah pandangan organisasi ini terhadap Israel dan perdamaian antara Israel-Palestina.

Hamas seringkali dipandang sebagai sebuah organisasi antisemit yang memandang kaum Yahudi amat rendah dan tidak manusiawi.

Hal ini sering kali ditunjukkan dengan Piagam Hamas versi awal yang mengutip langsung Protokol Para Tetua Zion yang sebenarnya merupakan dokumen palsu.

Kebencian Hamas terhadap Yahudi dan Zionisme jelas terlihat pada bagaimana Hamas menggambarkan Yahudi sebagai kuasa setan. Zionisme bagi Hamas adalah alat politik yang memungkinkan ide-ide Yahudi bernuansa kekerasan menjadi kenyataan dalam Piagam Hamas awal, nampak tidak ada upaya bagi Hamas untuk membedakan antara Yahudi dan Zionisme.

Selain itu, Hamas juga tidak percaya pada solusi dua-negara (two-state solution) sebagai sebuah solusi yang realistis untuk diterapkan. Menurut Hamas, eksistensi Palestina sebagai negara merdeka tidak akan pernah bisa disandingkan dengan negara Israel.

Dalam perkembangan terakhir, Hamas berupaya untuk mengadopsi pendekatan yang lebih realistis terhadap konflik Israel-Palestina dengan merevisi beberapa poin.

Pertama, dalam piagam yang baru, Hamas membedakan Yahudi dan Zionisme. Sebagai contoh, Hamas mulai membuka diri dengan beberapa organisasi Yahudi anti-Zionis, seperti Neturei Karta yang aktif di Israel dan Amerika Serikat.

Kedua, dalam pertanyaan Ismail Haniyah, Kepala Biro Politik Hamas, tersirat bahwa Hamas mulai mengakui bahwa Palestina yang sah merupakan Palestina yang berdasar pada peta tahun 1967. Dalam peta ini, wilayah Palestina terbagi atas Tepi Barat dan Jalur Gaza. Hal ini merupakan suatu pencapaian signifikan, karena sebelumnya Hamas teguh meyakini bahwa Palestina yang sah adalah Palestina menurut peta tahun 1948.

Namun, Haniyah dalam pertanyaannya, menegaskan bahwa Hamas masih tidak mengakui Israel sebagai sebuah negara.

Ketiga, adanya pendekatan hudna atau gencatan senjata berkepanjangan yang diadopsi Hamas sejak 2010 merupakan cara mereka untuk berpikir lebih strategis dalam mengelola konflik dengan Israel sembari mencari cara untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan Palestina.

Hal ini menunjukkan bahwa Hamas bukan organisasi yang semata-mata berorientasi pada konflik berkepanjangan (perpetual conflict), tetapi lebih kepada mencari solusi di tengah keterbatasan opsi yang ada.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 19 Oktober 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

 

Categories
Islam Sosial Budaya

Tiga Manfaat Pengajian bagi Perempuan: Jalan untuk Berkiprah di Ruang Publik dan Menyuarakan Kesetaraan

Dalam kegiatan yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Februari lalu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, mengomentari kebiasaan ibu-ibu yang senang mengikuti pengajian. Beliau mengatakan bahwa seringnya ibu-ibu mengikuti kegiatan keagamaan ini membuat mereka cenderung meninggalkan anak dan keluarganya.

Pernyataan tersebut memantik beragama tanggapan dari berbagai kalangan, utamanya karena dianggap tidak relevan dengan topik pidato yang saat itu disampaikan, yakni tentang stunting pada anak.

Namun, ada pula yang membela Megawati. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD yang mengatakan bahwa Megawati hanya mengingatkan ibu-ibu yang terlalu sering hadir ke pengajian, bukan melarang.

Terlepas dari segala kontroversi terkait pernyataan politikus senior tersebut, kita perlu melihat secara mendalam mengenai sejarah keterlibatan perempuan dalam kegiatan keagamaan.

Mungkin Megawati juga harus tahu, kegiatan keagamaan bisa menjadi salah satu jalan bagi perempuan untuk berkiprah di luar ranah domestik dan bisa lebih menggaungkan kepentingan perempuan di ranah publik.

Perempuan dan religiositas
Sepanjang sejarah, perempuan kerap kali disingkirkan oleh laki-laki dalam wacana dan ritual keagamaan. Bahkan, posisi mereka sering sebagai pihak yang seakan bertentangan dengan agama.

Misalnya, ada pemahaman keagamaan yang menganggap bahwa perempuan adalah pelaku dosa pada awal periode manusia di bumi, melalui sosok Hawa. Ini kemudian membuat perempuan sering kali dianggap sumber masalah bagi agamawan.

Padahal, penelitian dari Pew Research Center tentang kesenjangan gender dalam agama di ranah global menunjukkan bahwa secara umum, perempuan dari beragam latar belakang keagamaan di seluruh dunia cenderung lebih taat daripada laki-laki dalam partisipasi kegiatan keagamaan.

Dalam salah satu indikator terkait partisipasi peribadatan, riset Pew mengungkap bahwa laki-laki di Indonesia lebih banyak terlibat dalam kegiatan peribadatan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak lebih aktif dalam kegiatan peribadatan dan keagamaan.

Pembacaan yang kurang tepat dalam riset Pew ini disebabkan karena pemaknaan kegiatan keagamaan hanya terbatas pada ritus dan ibadah wajib. Kegiatan harusnya juga meliputi hal lain seperti diskusi keagamaan dan acara-acara yang berlangsung dalam perkumpulan keagamaan. Dalam Islam, contohnya adalah pengajian dan majelis taklim sebagai tempat mengkaji dan mempelajari ajaran keagamaan.

Di sini, partisipasi perempuan dalam kegiatan keagamaan di Indonesia bukanlah hal yang baru.

Pada awal abad ke-20, lahirnya gerakan Muhammadiyah (organisasi Islam modernis) dan Aisyiyah (organisasi otonom perempuan Muhammadiyah) telah berkontribusi mendorong emansipasi perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan dan keagamaan.

Salah satu gebrakan penting yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Aisiyah pada masa itu adalah pendirian Mushola Aisyiyah yang diprakarsai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mushola Aisiyah didirikan untuk memberikan ruang bersosialisasi dan berkumpul bagi perempuan yang selama ini perannya cenderung terbatas di ranah publik.

Setelah Aisyiyah, beberapa organisasi lain seperti Persatuan Islam Istri (Persistri), Muslimat Nahdlatul Ulama, Wanita Islam, dan Badan Koordinasi Majelis Taklim juga muncul untuk memberdayakan perempuan muslim Indonesia. Selain itu, salah satu perempuan muslim Indonesia, Rahmah el Yunusiyyah juga terkenal dengan kiprahnya mendirikan Diniyah Putri sebagai sekolah tinggi keagamaan putri yang pertama di dunia. Hal ini kemudian menginspirasi Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, untuk membangun Kulliyat al-Banat sebagai kampus perempuan untuk mahasiswi di negara tersebut.

Dari pencapaian-pencapaian tersebut, kita bisa melihat bahwa partisipasi perempuan dalam organisasi keagamaan Islam telah memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan status perempuan Indonesia.

Organisasi-organisasi tersebut membuka jalan bagi perempuan muslim Indonesia untuk berkiprah di luar ranah domestik.

Perempuan ikut pengajian: tidak sekadar mencari ilmu agama
Sebagai akademisi hubungan internasional yang fokus pada studi agama dan gagasan politik Islam, saya mengamati adanya empat hal utama yang mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam kegiatan keagamaan, terutama dalam pengajian.

Pertama, riset menunjukkan bahwa menghadiri pengajian bisa berkorelasi positif terhadap kesehatan mental mereka, terutama untuk perempuan lanjut usia (lansia).

Perempuan lansia cenderung semangat mengikuti pengajian karena kegiatan tersebut memberikan kesempatan mereka untuk bersosialisasi. Hal ini biasanya sulit didapatkan oleh perempuan lansia yang sudah tidak memiliki pekerjaan atau rutinitas yang padat.

Adanya kesempatan bagi para perempuan lansia untuk mendalami agama sembari berbagi cerita hidup dan tips keseharian merupakan aktivitas dalam pengajian yang dapat mengurangi kecenderungan mereka mengalami depresi dan kecemasan. Pengajian ternyata dapat membantu perempuan lansia menghadapi masa tua dengan bahagia tanpa perlu takut merasa sendirian.

Kedua, motif ekonomi dan kesejahteraan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong keikutsertaan perempuan dalam kegiatan pengajian.

Perempuan yang bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang pasar, misalnya, seringkali terjebak jeratan utang karena adanya kerentanan dan ketidakstabilan ekonomi. Beberapa pengajian atau majelis taklim menyadari adanya masalah ini, sehingga sebagian pengurus pengajian berinisiatif membentuk jaring pengaman sosial yang dibakukan dalam bentuk baitul mal wa tamwil (BMT) – yang berarti rumah harta dan permodalan usaha.

BMT ini memberikan kesempatan kepada perempuan anggota pengajian untuk mendapatkan akses mikrokredit dengan syarat yang relatif mudah, sehingga mereka dapat keluar dari jeratan utang dan menjadi lebih mandiri secara ekonomi. Beberapa pengajian bahkan juga berinisiatif mendirikan pelatihan kewirausahaan.

Ketiga, adanya pengajian memberikan kesempatan kepada perempuan untuk beraspirasi di ruang publik secara lebih terbuka.

Pengajian maupun majelis taklim menjadi ruang publik bagi para perempuan untuk menyuarakan kepentingannya kepada pihak terkait.

Biasanya para anggota pengajian akan menyampaikan aspirasi dan opininya kepada para ustazah atau pengelola pengajian untuk diteruskan kepada para anggota dewan atau politikus di daerah terkait.

Salah satu contohnya adalah koordinasi antarpengajian perempuan di bawah pimpinan Tutty Alawiyah, pendiri Badan Koordinasi Majlis Taklim. Mereka berhasil mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Anti Minuman Alkohol dan Prostitusi.

Masa depan pengajian perempuan
Mengingat besarnya potensi pengajian dalam menggerakan perempuan di ruang publik, maka ke depannya kegiatan pengajian ini harus lebih dikembangkan secara terfokus.

Contohnya, pengajian perempuan perlu lebih banyak membahas tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di ruang publik. Isu-isu seperti hak pekerja perempuan dan rumah tangga, maraknya perkawinan anak, serta praktik pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan, bisa menjadi kajian bersama dalam pengajian guna meluruskan perspektif yang keliru.

Pengajian perempuan juga perlu mempertimbangkan kolaborasi dengan ragam organisasi. Ini termasuk diskusi lintas iman untuk membahas isu-isu krusial yang berkaitan dengan masalah lingkungan, ketahanan keluarga dan kesehatan masyarakat. Srikandi Lintas Iman adalah salah satu contoh gerakan yang bisa menjadi inspirasi bagi kegiatan pengajian lainnya di seluruh Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 20 April 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam Hubungan Internasional.