Categories
Hukum

Disabilitas dan Kesetaraan di Hadapan Hukum

Penyandang disabilitas atau siapa pun, jika berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan sama. Perlu ada peraturan lebih detail untuk pelaksanaan teknisnya.

Kasus yang menimpa Agus, seorang penyandang disabilitas tanpa tangan, di Mataram, Nusa Tenggara Barat, menyita perhatian publik dan diberitakan hampir setiap hari di media cetak dan elektronik. Bagaimana mungkin, seorang laki-laki yang tidak memiliki tangan dapat menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap puluhan perempuan yang mengaku sebagai korbannya dan dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Di luar itu, yang menarik adalah bagaimana proses hukum dilakukan terhadap penyandang disabilitas tersebut oleh pihak yang berwenang, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga lembaga pemasyarakatan. Bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum?

Perspektif sosial dan akomodasi yang layak

Melihat kasus tersebut, publik, termasuk juga instrumen penegakan hukum, yaitu polisi, jaksa, hakim, dan petugas lapas, masih rancu dalam menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses hukum. Ada yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan secara istimewa atau dispesialkan dari pelaku tindak pidana lainnya.

Ada pula yang berpandangan bahwa seorang penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum seharusnya tidak diproses secara pidana, kondisi disabilitasnya dijadikan sebagai alasan pemaaf atas tindak pidana yang dilakukannya. Ada juga yang berpandangan bahwa penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum tidak perlu mendapat perhatian, biasa saja sebagaimana yang lainnya.

Semua anggapan di atas adalah tidak tepat, penyandang disabilitas tidak perlu diperlakukan istimewa atau dispesialkan karena justru akan menimbulkan ketidakadilan bagi pelaku tindak pidana lainnya. Penyandang disabilitas juga tidak boleh dilepaskan dari tuntutan pidana karena kondisi disabilitasnya semata, terutama disabilitas fisik, ia harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya sebagaimana mestinya.

Lalu, bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum? Dalam konteks proses, penyandang disabilitas atau siapa pun harus diperlakukan sama, tidak boleh ada pembedaan.

Namun, instansi penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan harus memastikan bahwa semua hambatan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam proses peradilan tersebut harus dihilangkan. Misalnya, jika ada penyandang disabilitas tuli-bisu, dengan alasan berdasarkan undang-undang dia juga bisa ditangkap dan ditahan, tetapi proses penangkapan dan penahanannya harus menghilangkan hambatan komunikasi yang dimiliki oleh penyandang disabilitas tersebut, misalnya dengan menghadirkan juru bahasa isyarat.

Begitu seterusnya dalam proses yang lain. Penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda, misalnya, boleh ditangkap dan ditahan, bahkan harus jika itu menurut perintah hukum, tetapi polisi harus memastikan di kantor polisi saat proses BAP (berita acara pemeriksaan), pengguna kursi roda dapat bergerak dengan mudah ke mana pun ia mau.

Coba bayangkan, misalnya, aparat penegak hukum menahan seorang pengguna kursi roda, tetapi di rumah tahanan tidak ada kamar hunian yang memiliki kakus duduk. Dalam kondisi demikian, bagaimana seorang pengguna kursi roda dapat memenuhi hajatnya?

Di Polri belum ada peraturan teknis tentang bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam tugas dan fungsi kepolisian.

Kebutuhan regulasi ke depan

Dari aspek regulasi jaminan hak penyandang disabilitas, sebetulnya Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang sangat lengkap. Ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), lalu ada UU No 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Lalu, di level yang lebih konkret ada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Hanya saja, dalam aspek yang lebih teknis, belum ada peraturan yang lebih lanjut terutama di level kepolisian dan Mahkamah Agung (MA).

Di Polri belum ada peraturan teknis tentang bagaimana menerjemahkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam tugas dan fungsi kepolisian. Begitupun dengan MA, belum ada peraturan yang lebih detail menerjemahkannya dalam kewenangan hakim dan pengadilan.

Diskusi mengenai pemenuhan akomodasi yang layak melalui peraturan internal, baik di Polri maupun MA, sebetulnya sudah dimulai dan berulang kali dilakukan. Namun, masih tarik ulur karena perbedaan persepektif dan pemahaman yang belum merata dalam memahami paradigma disabilitas.

Kasus Agus yang disebutkan di awal tulisan ini sejatinya mengenyak kita bersama dan menjadi kesadaran bersama bahwa peraturan internal yang lebih teknis, bahka sampai ke level prosedur standar operasi (SOP) sangatlah dibutuhkan. Agus tidak sendiri, ada banyak Agus lain di Indonesia, penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum, yang mengharuskan instansi penegak hukum melayaninya.

Dalam catatan penulis, berdasarkan Sistem Database Pemasyarakatan, ada 1.092 penyandang disabilitas di Indonesia yang berada di rutan dan lapas. Artinya, angkanya tidaklah sedikit. Dengan peraturan internal dan SOP yang jelas, maka polisi, jaksa, maupun hakim tidak lagi akan kesulitan dan kebingungan jika menghadapi kasus serupa. Selain itu, justru akan melindungi anggota yang bertugas karena bertindak berdasarkan SOP yang tersedia.

Dalam kasus Agus, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan, maupun lapas, beruntung karena dengan pendampingan yang tepat dari jaringan masyarakat sipil tidak terjadi kesalahan tindakan ataupun pelayanan yang cukup serius. Pada level ini, kita harus mengapresiasi petugas yang bekerja di lapangan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 12 Februari 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada  hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.  



Categories
Islam Sosial Budaya

Tiga Manfaat Pengajian bagi Perempuan: Jalan untuk Berkiprah di Ruang Publik dan Menyuarakan Kesetaraan

Dalam kegiatan yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Februari lalu, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, mengomentari kebiasaan ibu-ibu yang senang mengikuti pengajian. Beliau mengatakan bahwa seringnya ibu-ibu mengikuti kegiatan keagamaan ini membuat mereka cenderung meninggalkan anak dan keluarganya.

Pernyataan tersebut memantik beragama tanggapan dari berbagai kalangan, utamanya karena dianggap tidak relevan dengan topik pidato yang saat itu disampaikan, yakni tentang stunting pada anak.

Namun, ada pula yang membela Megawati. Salah satunya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD yang mengatakan bahwa Megawati hanya mengingatkan ibu-ibu yang terlalu sering hadir ke pengajian, bukan melarang.

Terlepas dari segala kontroversi terkait pernyataan politikus senior tersebut, kita perlu melihat secara mendalam mengenai sejarah keterlibatan perempuan dalam kegiatan keagamaan.

Mungkin Megawati juga harus tahu, kegiatan keagamaan bisa menjadi salah satu jalan bagi perempuan untuk berkiprah di luar ranah domestik dan bisa lebih menggaungkan kepentingan perempuan di ranah publik.

Perempuan dan religiositas
Sepanjang sejarah, perempuan kerap kali disingkirkan oleh laki-laki dalam wacana dan ritual keagamaan. Bahkan, posisi mereka sering sebagai pihak yang seakan bertentangan dengan agama.

Misalnya, ada pemahaman keagamaan yang menganggap bahwa perempuan adalah pelaku dosa pada awal periode manusia di bumi, melalui sosok Hawa. Ini kemudian membuat perempuan sering kali dianggap sumber masalah bagi agamawan.

Padahal, penelitian dari Pew Research Center tentang kesenjangan gender dalam agama di ranah global menunjukkan bahwa secara umum, perempuan dari beragam latar belakang keagamaan di seluruh dunia cenderung lebih taat daripada laki-laki dalam partisipasi kegiatan keagamaan.

Dalam salah satu indikator terkait partisipasi peribadatan, riset Pew mengungkap bahwa laki-laki di Indonesia lebih banyak terlibat dalam kegiatan peribadatan. Namun, hal ini bukan berarti bahwa perempuan tidak lebih aktif dalam kegiatan peribadatan dan keagamaan.

Pembacaan yang kurang tepat dalam riset Pew ini disebabkan karena pemaknaan kegiatan keagamaan hanya terbatas pada ritus dan ibadah wajib. Kegiatan harusnya juga meliputi hal lain seperti diskusi keagamaan dan acara-acara yang berlangsung dalam perkumpulan keagamaan. Dalam Islam, contohnya adalah pengajian dan majelis taklim sebagai tempat mengkaji dan mempelajari ajaran keagamaan.

Di sini, partisipasi perempuan dalam kegiatan keagamaan di Indonesia bukanlah hal yang baru.

Pada awal abad ke-20, lahirnya gerakan Muhammadiyah (organisasi Islam modernis) dan Aisyiyah (organisasi otonom perempuan Muhammadiyah) telah berkontribusi mendorong emansipasi perempuan Indonesia dalam bidang pendidikan dan keagamaan.

Salah satu gebrakan penting yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan Aisiyah pada masa itu adalah pendirian Mushola Aisyiyah yang diprakarsai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Mushola Aisiyah didirikan untuk memberikan ruang bersosialisasi dan berkumpul bagi perempuan yang selama ini perannya cenderung terbatas di ranah publik.

Setelah Aisyiyah, beberapa organisasi lain seperti Persatuan Islam Istri (Persistri), Muslimat Nahdlatul Ulama, Wanita Islam, dan Badan Koordinasi Majelis Taklim juga muncul untuk memberdayakan perempuan muslim Indonesia. Selain itu, salah satu perempuan muslim Indonesia, Rahmah el Yunusiyyah juga terkenal dengan kiprahnya mendirikan Diniyah Putri sebagai sekolah tinggi keagamaan putri yang pertama di dunia. Hal ini kemudian menginspirasi Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, untuk membangun Kulliyat al-Banat sebagai kampus perempuan untuk mahasiswi di negara tersebut.

Dari pencapaian-pencapaian tersebut, kita bisa melihat bahwa partisipasi perempuan dalam organisasi keagamaan Islam telah memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan status perempuan Indonesia.

Organisasi-organisasi tersebut membuka jalan bagi perempuan muslim Indonesia untuk berkiprah di luar ranah domestik.

Perempuan ikut pengajian: tidak sekadar mencari ilmu agama
Sebagai akademisi hubungan internasional yang fokus pada studi agama dan gagasan politik Islam, saya mengamati adanya empat hal utama yang mendorong keterlibatan aktif perempuan dalam kegiatan keagamaan, terutama dalam pengajian.

Pertama, riset menunjukkan bahwa menghadiri pengajian bisa berkorelasi positif terhadap kesehatan mental mereka, terutama untuk perempuan lanjut usia (lansia).

Perempuan lansia cenderung semangat mengikuti pengajian karena kegiatan tersebut memberikan kesempatan mereka untuk bersosialisasi. Hal ini biasanya sulit didapatkan oleh perempuan lansia yang sudah tidak memiliki pekerjaan atau rutinitas yang padat.

Adanya kesempatan bagi para perempuan lansia untuk mendalami agama sembari berbagi cerita hidup dan tips keseharian merupakan aktivitas dalam pengajian yang dapat mengurangi kecenderungan mereka mengalami depresi dan kecemasan. Pengajian ternyata dapat membantu perempuan lansia menghadapi masa tua dengan bahagia tanpa perlu takut merasa sendirian.

Kedua, motif ekonomi dan kesejahteraan juga menjadi salah satu faktor yang mendorong keikutsertaan perempuan dalam kegiatan pengajian.

Perempuan yang bekerja sebagai wiraswasta atau pedagang pasar, misalnya, seringkali terjebak jeratan utang karena adanya kerentanan dan ketidakstabilan ekonomi. Beberapa pengajian atau majelis taklim menyadari adanya masalah ini, sehingga sebagian pengurus pengajian berinisiatif membentuk jaring pengaman sosial yang dibakukan dalam bentuk baitul mal wa tamwil (BMT) – yang berarti rumah harta dan permodalan usaha.

BMT ini memberikan kesempatan kepada perempuan anggota pengajian untuk mendapatkan akses mikrokredit dengan syarat yang relatif mudah, sehingga mereka dapat keluar dari jeratan utang dan menjadi lebih mandiri secara ekonomi. Beberapa pengajian bahkan juga berinisiatif mendirikan pelatihan kewirausahaan.

Ketiga, adanya pengajian memberikan kesempatan kepada perempuan untuk beraspirasi di ruang publik secara lebih terbuka.

Pengajian maupun majelis taklim menjadi ruang publik bagi para perempuan untuk menyuarakan kepentingannya kepada pihak terkait.

Biasanya para anggota pengajian akan menyampaikan aspirasi dan opininya kepada para ustazah atau pengelola pengajian untuk diteruskan kepada para anggota dewan atau politikus di daerah terkait.

Salah satu contohnya adalah koordinasi antarpengajian perempuan di bawah pimpinan Tutty Alawiyah, pendiri Badan Koordinasi Majlis Taklim. Mereka berhasil mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Anti Minuman Alkohol dan Prostitusi.

Masa depan pengajian perempuan
Mengingat besarnya potensi pengajian dalam menggerakan perempuan di ruang publik, maka ke depannya kegiatan pengajian ini harus lebih dikembangkan secara terfokus.

Contohnya, pengajian perempuan perlu lebih banyak membahas tentang hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di ruang publik. Isu-isu seperti hak pekerja perempuan dan rumah tangga, maraknya perkawinan anak, serta praktik pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan, bisa menjadi kajian bersama dalam pengajian guna meluruskan perspektif yang keliru.

Pengajian perempuan juga perlu mempertimbangkan kolaborasi dengan ragam organisasi. Ini termasuk diskusi lintas iman untuk membahas isu-isu krusial yang berkaitan dengan masalah lingkungan, ketahanan keluarga dan kesehatan masyarakat. Srikandi Lintas Iman adalah salah satu contoh gerakan yang bisa menjadi inspirasi bagi kegiatan pengajian lainnya di seluruh Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 20 April 2023

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada studi gagasan politik Islam dan studi agama dalam Hubungan Internasional.