Categories
Politik Sosial Budaya

Riset Ungkap Bentuk Empat Model Afiliasi Media dan Politik di Indonesia

Dalam 20 tahun terakhir, kepemilikan media konvensional dan digital di Indonesia dipandang strategis, bukan semata-mata untuk tujuan bisnis murni tapi juga politik praktis.

Media, terutama televisi dan media digital terafiliasi, milik politikus digunakan sebagai alat kampanye politik selama pemilihan umum (pemilu), termasuk Pemilu 2014 dan 2019.

Merespons isu ini, riset terbaru kami memotret kondisi aktual kepemilikan media serta menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik (pemerintah, parlemen, dan partai politik).

Riset ini dibuat dengan harapan bisa membantu pembuat kebijakan, pekerja dan aktivis media, dan masyarakat sipil dalam memahami interelasi media dan politik praktis yang akan berimplikasi pada kontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan kurang dari sepekan lagi.

Riset ini menunjukkan adanya bentuk-bentuk kepemilikan media dan afiliasi politik praktis yang kompleks. Kepemilikan dan hubungan itu diduga kuat menabrak regulasi media pers, penyiaran, dan keterbukaan informasi publik.

Empat model afiliasi

Dalam menyusun riset ini, kami terinspirasi buku klasik Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (1999) karya Robert McChesney. Buku ini kami pakai karena bisa membantu menjelaskan fenomena interkoneksi antara kepemilikan media dan perpolitikan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Dengan mengambil latar di Amerika Serikat (AS) dalam era media konvensional, McChesney mensinyalir jumlah media komersial yang tak terhingga, angkanya tidak bisa lagi dihitung, tetapi kontribusinya terhadap demokrasi sangat minimal. Pascadisrupsi digital, situasi serupa berlanjut, dan bukannya memberi optimisme atas demokrasi elektoral, tetapi mengancam dan memicu kemunduran demokrasi.

Temuan hampir serupa muncul dalam riset terbaru kami yang datanya diambil di Jakarta dalam periode November 2022 hingga September 2023. Data riset ini digali lewat focused group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan para stakeholder media dan penyelenggara pemilihan umum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), organisasi jurnalis, akademisi komunikasi, dan wakil organisasi masyarakat. Data-data primer ini didukung dengan data sekunder yang berupa analisis dokumen legal perusahaan pers.

Data riset kami menunjukkan bahwa salah satu masalah mendasar yang mengancam demokrasi khususnya pemilu adalah kepemilikan media yang terkonsentrasi di segelintir pengusaha yang sekaligus menjadi pemilik/pengurus partai politik.

Mengenai analisis kepemilikan media ini, terdapat beragam pendekatan dan konsep. Konsep kepemilikan bisnis media yang digunakan dalam riset ini diadaptasi dari pemikiran Gillian Doyle dalam publikasinya Media Ownership (2002); dan Media Ownership Transparency in Europe: Closing the Gap between European Aspiration and Domestic Reality (2021)  dari Rachael Craufurd Smith, di antaranya: horizontal (satu platform banyak saluran), vertikal (bisnis media dari hulu ke hilir), diagonal (campuran horizontal dan vertikal) dan konglomerasi: lintas usaha.

Dalam mencermati kepemilikan, kami menggunakan dua pintu masuk: uang (saham pada media) dan posisi kekuasaan dalam struktur media.

Adapun konsep afiliasi politik dapat dilihat dalam dua sisi: (1) afiliasi langsung, yakni pemilik atau pengelola media sekaligus merupakan pejabat publik, calon atau anggota parlemen (DPR, DPR, DPD) dan pengurus partai politik. (2) Afiliasi tidak langsung, yakni para pekerja media terhubung kepada partai politik, pejabat pemerintah, anggota DPR, tim sukses, calon anggota legislatif, tim ahli, dan konsultan.

Dengan konsepsi ini dan data-data di lapangan, kami mengembangkan empat tingkatan konseptual afiliasi media dan politik di Indonesia.

Pertama, afiliasi ekstrem yang muncul ketika pemilik media dan keluarganya (pemegang saham-komisaris-direksi) sekaligus menjadi ketua partai, calon legislatif (caleg) atau anggota parlemen pusat atau daerah, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh paling jelas dari tipe ini adalah Hary Tanoesoedibjo. Pada sisi media, dia merangkap pemilik (pemegang saham) MNC group, direktur utama (memimpin operasional). Sementara, dari sisi politik, dia menjadi Ketua Umum Perindo, sekaligus menjadi caleg DPR.

Pada saat yang sama, Hary memiliki anak perempuan, Angela Tanoesoedibjo, yang menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada perhelatan Pemilu 2024 ini, seluruh keluarga inti Hary Tanoesoedibjo juga maju menjadi calon anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan.

Di luar keluarga, hasil wawancara riset ini juga menunjukkan bahwa Hary aktif mengimbau karyawannya untuk maju sebagai calon legislatif.

Dari temuan data ini, dapat dikatakan bahwa Hary Tanoesoedibjo memiliki interkoneksi media dan politik praktis yang nyaris paripurna. Ia memegang kendali banyak media, memiliki satu partai, punya anak yang duduk di pemerintahan, dan berpotensi duduk di parlemen (jika terpilih). Model ini barangkali hanya ada di Indonesia.

Kedua adalah afiliasi kuat. Afiliasi ini muncul ketika seseorang berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contohnya adalah Surya Paloh (SP). SP adalah pemilik Media Group (dengan saham mayoritas sekaligus direktur utamanya). Dia juga Ketua Umum Partai Nasdem. Anaknya, Prananda Surya Paloh, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan juga anggota DPR periode 2019-2024. Prananda kini maju kembali di Pemilu 2024.

Partai milik SP, Nasdem, juga menempatkan tiga Menteri dalam kabinet Jokowi selama dua periode: Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate; Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, dan; Menteri Pertanian Syahru Yasin Limpo.

Ketiga adalah bentuk afiliasi moderat. Afiliasi ini teridentifikasi ketika seseorang menjabat direksi di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh model ini adalah Syafril Nasution. Dia menjabat sekretaris perusahaan Media Nusantara Citra (MNC), Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) 2019-2022, dan kini menjadi caleg Perindo daerah pemilihan Jawa Tengah 1. Selain itu, Syafril juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Perindo.

Keempat adalah afiliasi lemah. Afiliasi ini muncul ketika jurnalis atau editor media menjadi caleg, anggota parlemen, atau pengurus partai. Pada hasil penelitian, jurnalis tingkat nasional yang menjadi caleg antara lain adalah Aiman Witjaksono. Selain menjadi jurnalis di MNC Group, Aiman juga maju calon DPR lewat Partai Perindo.

Dalam wawancara riset ini, Aiman menyatakan keputusannya pindah dari Kompas TV ke MNC Group salah satunya juga karena adanya peluang berkiprah di dunia politik. Aiman dalam wawancara mengatakan “Jadi di sini (MNC Group) saya lihat, saya bisa masuk ke media di mana saya juga bisa berkiprah di partai politik. Tapi, bukan mencampuradukkan keduanya.”

Di luar Aiman, penelitian kami juga menunjukkan bahwa ada beberapa jurnalis senior di berbagai provinsi di Indonesia yang maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Dampaknya, media-media tempat mereka bekerja menunjukkan keberpihakan kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita.

Menarik diperhatikan, bahwa empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya, seperti EMTEK, Grup Kompas Gramedia, Jawa Pos Group, Berita Satu Media Holding, CT. Corps, dan TEMPO Media Group.

Perlu perubahan peraturan

Riset ini mengonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan media dan afiliasi politik. Hal ini menjadi peringatan pada tiga pihak: regulator media, regulator terkait pemilu, dan regulator terkait persaingan usaha di Indonesia.

Untuk memitigasi isu ini, kami menyampaikan rekomendasi reformasi kebijakan terkait kepemilikan media, afiliasi media dan jurnalis ke dalam struktur politik. Reformasi kebijakan ini penting untuk mewujudkan pemilu yang adil dan sehat ke depan.

Pada konteks kepemilikan media, sebenarnya sudah ada dua aturan pembatasan kepemilikan, yakni (1) pelarangan kepemilikan oleh pemerintah dan warga negara asing dan (2) pembatasan cross ownership di UU Penyiaran.

Menurut kami, masih perlu adanya penambahan aturan di UU, berupa pembatasan kepemilikan media oleh politikus, pejabat pemerintah atau pengurus partai politik (secara langsung atau tidak langsung).

Kita juga perlu mendorong revisi aturan partisipasi politik di UU Pemilu, khususnya kandidasi dalam kepemiluan demi menjaga independensi media dan jurnalis. Pelarangan jurnalis saja menjadi caleg tidak cukup dan tidak adil. Pelarangan terjun ke politik elektoral juga harus melingkupi para pemilik saham dan pejabat tinggi media juga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 1 Februari 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Sosial Budaya

Menjamin Keberlanjutan Media dan Jurnalisme

Peraturan Presiden Media Berkelanjutan harus menjadi pintu masuk untuk merawat jurnalisme berkualitas. Untuk itu, draf perpres tersebut perlu dibuka kepada publik, mendapatkan masukan dari publik.


Harian Kompas pada halaman 8 edisi 16 Februari 2023 memuat pernyataan Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Pusat Wenseslaus Manggut yang mendorong transparansi draf Peraturan Presiden Media Berkelanjutan, yang sedang digodok Kementerian Komunikasi dan Informatika. Dalam pernyataannya, Ketua AMSI Pusat menilai pentingnya uji publik perpres oleh komunitas pers, masyarakat sipil, dan platform global.

Perpres Media Berkelanjutan ini urgen dan sudah jamak terjadi di sejumlah negara maju, seperti Jerman dan Australia. Namun, regulasi yang berpola pikir business to business antara perusahaan pers di Indonesia dan platform digital tidak otomatis menjamin ekosistem media yang sehat. Seraya sepakat dengan aspirasi ini, penulis melalui forum ini juga ingin mengulas berbagai hal yang harus menjadi perhatian dalam penetapan regulasi ini nanti.

Tiga diskursus
Sepanjang lima tahun terakhir, isu keberlanjutan media (media sustainability) menjadi diskursus di kalangan pers dan pemerhati media global. Lembaga pemeringat keberlanjutan media yang berbasis di Washington, International Research and Exchanges Board (IREX), misalnya, setiap tahun mengeluarkan indeks global kesehatan media. Indikatornya sangat luas, dari ekonomi korporasi, teknologi, hingga jaminan kebebasan redaksional.

Frere (2013) mendefinisikan keberlanjutan media sebagai daya tahan organisasi berita dan jurnalisme di suatu negara untuk bekerja efektif menjamin tersedianya jurnalisme berkualitas menghadapi tekanan struktur politik-ekonomi.

Di Indonesia, isu ini tampak terpusat pada tiga diskursus. Pertama, keberlanjutan media konvensional (cetak, radio, dan televisi) sebagai entitas korporasi komersial pascakrisis popularitas menyusul revolusi teknologi digital. Teknologi internet telah mendisrupsi proses produksi dan distribusi berita menjadi lebih efisien dan cepat. Berita tidak lagi memerlukan birokrasi yang panjang untuk sampai ke publik. Model bisnis bergeser dari korporasi padat modal ke ”media rumahan”.

Model bisnis agregasi berita oleh platform digital berskala global memicu krisis korporasi media konvensional. Platform digital seperti Google mendominasi perolehan iklan sekaligus. Pola relasi media berita versus platform digital tidak imbang karena kontrol algoritma sepenuhnya berada di tangan korporasi digital.

Berita sebagai produk informasi mengalami krisis kualitas, dan sebagai risiko dari kualitas yang rendah, berita mengalami penurunan nilai kepublikan.

Kedua, terjadinya penurunan kualitas jurnalisme secara drastis setelah merebaknya situs berita daring (online) yang hanya mengacu logika click bait, tingginya disinformasi, hoaks, dan lain-lain. Berita sebagai produk informasi mengalami krisis kualitas, dan sebagai risiko dari kualitas yang rendah, berita mengalami penurunan nilai kepublikan.

Di sisi lain, platform digital dan portal berita daring sejak kelahirannya menganut prinsip berita sebagai produk yang tersaji gratis, bukan berbayar (eceran atau berlangganan) seperti tradisi media cetak. Iklim ini menyulitkan media berita untuk menjaring pendanaan produksi dari publik.

Ketiga, pandemi Covid-19 memicu disrupsi pola kerja jurnalisme pascakebijakan pembatasan mobilitas fisik warga. Pembatasan fisik membatasi akses kerja jurnalisme di satu sisi, dan mempercepat migrasi digital bisnis media di sisi lain.

Muncul dua iklim yang saling bertolak belakang. Pertama, dua tahun Covid-19 memicu pandemi bisnis media jurnalisme, yang ditandai oleh pemutusan hubungan kerja akibat melemahnya kinerja bisnis. UNESCO (2021) merilis, 40 persen media pers mengalami krisis multidimensi yang berujung kepada pemutusan hubungan kerja, pengurangan biaya produksi, hingga penghentian produksi berita.

Berbeda dari iklim pertama, disrupsi digital juga memicu transformasi bisnis media jurnalisme konvensional. Sejumlah media berita nasional melakukan migrasi layanan berita ke platform digital sejak produksi, distribusi, hingga pemasaran.

Di luar media berita arus utama, berkembang pula inisiatif start up media jurnalisme alternatif yang menawarkan/melanjutkan jurnalisme berbasis data dan jurnalisme investigasi. Project Multatuli, Konde.co, Magdalene.co, misalnya, lahir dari jurnalis senior yang sebelumnya bekerja untuk jurnalisme media arus utama.

Fenomena ini memberi optimisme tetap hidupnya jurnalisme setelah platform berita konvensional (cetak dan siaran) semakin terpinggirkan. Jurnalisme di Indonesia tidak mati, mengalami evolusi bahkan revolusi format dan strategi diseminasi, dari platform lama ke platform baru.

Rencana pembuatan Perpres Media Berkelanjutan harus dilihat sebagai bentuk proteksi negara atas nama kepentingan nasional terkait kedaulatan digital.

Sayangnya, dari ketiga konteks di atas, konteks pertama lebih mengemuka ketimbang konteks kedua dan ketiga. Terdapat reduksi perdebatan pegiat pers dari kepentingan publik yang terganggu akibat disrupsi digital di sektor media jurnalisme, kepada semata kepentingan korporasi media yang mengalami krisis keberlanjutan usaha. Padahal, diskursus keberlanjutan media bersifat holistik: bisnis, politik redaksi, dan legalitas.

Intervensi negara
Rencana pembuatan Perpres Media Berkelanjutan harus dilihat sebagai bentuk proteksi negara atas nama kepentingan nasional terkait kedaulatan digital. Kepentingan ini melingkupi hajat hidup korporasi media untuk terus beroperasi dan juga hajat hidup publik atas layanan berita dan kegiatan jurnalisme yang sehat.

Dalam kerangka ini, semangat perpres harus menjawab keseluruhan konteks di atas, tidak semata-mata berpola pikir business to business, antara platform global dan korporasi media pers. Perpres harus menjadi pintu masuk untuk merawat jurnalisme berkualitas (good journalism), yang pada era digital tidak hanya dilayani oleh korporasi media arus utama, tetapi juga media alternatif.

Dalam upaya mencapai misi ini, draf perpres perlu dibuka kepada publik, mendapat masukan dari publik agar memenuhi seluruh kepentingan dari ekosistem jurnalisme. Langkah ini sekaligus menunjukkan keberpihakan negara kepada semua pelaku media dan jurnalisme.

Penerapan kebijakan yang hanya berfokus kepada pembagian kue iklan antara platform digital dan korporasi penyelenggara jurnalisme bersifat elitis, tidak menyentuh kepada ekosistem media dan jurnalisme digital yang kompleks. Lebih jauh, upaya penyelamatan korporasi media dari bencana bisnis hanya bersifat sektoral-institusional, dan tidak berdampak kepada kebutuhan warga digital terhadap konten berkualitas sebagai public good.

Menimbang adanya keterbatasan regulasi setingkat perpes, perlu dipikirkan juga agar posisi regulasi ini sebagai ”pintu masuk” pembuatan Undang-Undang Media Berkelanjutan di masa depan. Kita bisa belajar dari Jerman yang mempunyai UU Penanggulangan Disinformasi (Network Enforcement Act) sejak 2018.

Kita juga bisa belajar ke Irlandia yang pada 2022 membuat UU Keamanan Daring bagi warganya. UU ini secara tegas melarang platform digital menjadi ruang diseminasi ujaran kebencian dan disinformasi. Pembiaran disinformasi adalah pemicu utama krisis reputasi jurnalisme di media digital.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 5 Maret 2023

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.