Categories
Sosial Budaya

Pendidikan Jurnalisme perlu Dekolonisasi: Berorientasi pada Publik, bukan Industri

  • Pendidikan jurnalisme di Indonesia terlalu fokus pada kepraktisan sehingga kehilangan fungsi kritisnya.
  • Jurnalisme bukan sekadar produk teknologi, pendidikannya harus melampaui orientasi industri.
  • Studi jurnalisme perlu berani melakukan dekolonisasi dengan menekankan refleksi kritis, demokrasi, dan kepentingan publik.

Perkembangan teknologi telah mendisrupsi industri serta pendidikan di jurusan jurnalistik dan komunikasi. Hingga akhirnya muncul istilah-istilah baru populer seperti “big data”, “jurnalisme data”, “jurnalisme digital” dan lain-lain dalam kurikulum mereka.

Meski demikian, pendidikan jurnalisme tetap menuai kritik. Seorang mantan wartawan yang juga content creator, contohnya, menganggap jurnalis sekarang kesulitan mengadopsi teknologi karena masih dididik menggunakan silabus zaman surat kabar yang ketinggalan jaman.

Tapi di satu sisi, keberpihakan pendidikan jurnalisme Indonesia pada industri justru membuat studi ini terlalu fokus pada praktik “penggunaan teknologi”. Sehingga, mudah dicap tidak lagi relevan ketika teknologinya berubah.

Padahal tugas kampus tidak hanya mengajari mahasiswa kemampuan mengadopsi teknologi, tetapi juga berefleksi atau mengkritik teknologi yang merugikan kepentingan publik.

Dengan kata lain, agar terhindar dari jebakan-jebakan relevansi dunia kerja ala industri, pendidikan jurnalisme harus berani melakukan dekolonisasi—keluar dari orientasi kepraktisan dan teknologi ala Barat.

Jadikan agen revolusi bukan budak industri
Sejarah telah membuktikan perkembangan dan inovasi teknologi membuat penggunanya berorientasi pada kepraktisan.

Jurnalistik sendiri lahir dari sekolah kolonial yang mengembangkan ‘teknologi baru’ yaitu keterampilan baca-tulis latin. Keterampilan ini merupakan teknologi baru kala itu, sebagaimana perkembangan sejarah aksara di banyak peradaban lainnya.

Jurnalis, sebagaimana content creator di zaman sekarang, menguasai teknologi yang kala itu sedang tren, sehingga berkembang sebagai profesi sejak akhir abad ke-19.

Tujuannya adalah untuk “memperkuat daya beli masyarakat Hindia Belanda”. Ini mengapa iklan-iklan di surat kabar makin beragam, dari yang berorientasi produk infrastruktur menjadi barang-barang untuk konsumsi keseharian.

Tabel. 1 Estimasi nilai investasi di Hindia Belanda dari 1885 to 1939 (dalam juta Gulden) Creutzberg & van Laanen. 1987 di Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar Dan Perubahan Masyarakat Di Jawa Masa Kolonial (1870-1915) (Tarawang, 2000)

Kelompok cerdik pandai Indonesia kemudian mengubah logika “industri jurnalisme kolonial” ini. Mereka tak lagi berfokus pada bagaimana menggunakan teknologi baca tulis dan percetakan, tetapi menjadikannya sebagai alat perlawanan penjajahan.

Jurnalis Indonesia kala itu mengubah orientasi kepraktisan menjadi alat “komunikasi revolusioner”. Aktivis kemerdekaan Indonesia, seperti Tan Malaka, Sukarno dan lain-lain melawan kolonialisme dengan surat kabar atau penerbitan.

Tak heran, penghormatan masyarakat Indonesia pada jurnalis, setelah kemerdekaan, “…kurang lebih sama dengan…kaum pergerakan kemerdekaan. Sebab persuratkabaran bangsa Indonesia ketika itu memang tegas dan nyata sekali merupakan pers perjuangan kemerdekaan.”

Jurnalisme sebagai studi terbuka
Setelah merdeka, masyarakat Indonesia membangun pendidikan jurnalisme/pers. Salah satu yang terus memperjuangkan pendidikannya adalah Adinegoro, salah satu pelopor pers Indonesia.

Menariknya, Adinegoro sendiri menolak mendirikan sekolah vokasi yang berorientasi praktis. Baginya, negara lebih baik memberikan beasiswa kepada jurnalis untuk bersekolah ke universitas, apapun yang dipelajari.

Pasalnya, menurut Adinegoro, wartawan berperan mendidik warga negara agar turut serta membangun “opini publik”, yang dibungkam oleh feodalisme tradisional dan pemerintah kolonial di masa sebelumnya.

Dengan usul ini, pendidikan jurnalisme dimaksudkan untuk menjadi studi yang terbuka, tidak seperti pendidikan lain yang melahirkan profesi linear.

Adinegoro termasuk orang pertama yang mengusulkan istilah publisistik, untuk menyebut studi yang mempelajari jurnalisme dan praktik komunikasi lainnya. Istilah yang dipinjam dari istilah Jerman ini digunakan dari 1950an sampai 1970an

Dengan visi menghasilkan wartawan sebagai penguat demokrasi, pendidikan publisistik pada 1950an diwarnai dengan banyak mata kuliah teoretis.

Sayangnya, kondisi ini tak berumur panjang. Orientasi teoretis pendidikan kampus berubah pada awal 1960an. Salah satunya karena perkembangan teknologi baru kala itu: televisi yang hadir di Indonesia pada 1962. Persis dengan apa yang terjadi sekarang.

Maka, pada 1964, Departemen Publisistik Universitas Indonesia (UI) dan banyak kampus lainnya, mengubah orientasi kurikulumnya menjadi peningkatan keterampilan “penggunaan media”.

Puncaknya, kampus-kampus Indonesia mulai mengajarkan konsep dan teori ‘komunikasi’ Amerika Serikat (AS) karena menawarkan ‘hal-hal yang lebih praktis’ ketimbang publisistik, sehingga cocok dengan orientasi penguasaan teknologi.

Akibatnya, publisistik yang berorientasi pada pembentukan opini publik dalam demokrasi mulai ditinggalkan pada awal 1970an. Publisistik diganti dengan komunikasi yang masih berlaku hingga hari ini.

Melawan kepraktisan sebagai bentuk dekolonisasi
Studi jurnalisme dan komunikasi Indonesia sekarang cenderung didominasi oleh pengetahuan AS. Beberapa sarjana menyebut ini sebagai kolonisasi pengetahuan komunikasi Amerika yang membuat jurnalisme dan komunikasi Indonesia tergantung pada apa yang dirumuskan oleh Barat.

Isu dekolonisasi menjadi penting dalam pembelajaran jurnalisme dan komunikasi. Sebab, dekolonisasi bukan semata kritik simbolik pada hal yang dianggap datang dari ‘Barat’.

Ia bukan hanya proyek pencarian apa yang dianggap ‘sangat Indonesia’, meromantisasi sejarah dan tak dapat dapat digunakan untuk menghadapi kenyataan sekarang, melainkan kritik yang antikapitalistik.

Masalah dalam jurnalisme kita bukan hanya ‘relevansi dengan teknologi’, melainkan kehilangan fungsi pembebasannya baik di dalam pengembangan pengetahuan maupun praktiknya.

Untuk mendekolonisasi jurnalisme, kampus harus berani berkata ‘tidak’ pada kepentingan industri, atau siapapun, termasuk content creator, yang berkhutbah tentang cara efektif menggunakan media tetapi lupa bicara tujuan utama ‘untuk apa dan untuk siapa sebenarnya kita bermedia?’.

Kampus juga mesti menyediakan mata kuliah yang mampu melihat tumpang tindih kepentingan publik, demokrasi, industri/modal, juga teknologi, meski dinilai abstrak, teoretis dan ‘tidak praktis’ oleh industri.

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 Agustus 2025

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.