Categories
Hukum Politik

Salah Konsep “Judicial Review”

Ada Perbedaan Mendasar antara Substansi Putusan MA dan MK

Polemik terkait Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/P/HUM/2024 tentang syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah tidak lepas dari arogansi untuk terus memuluskan agenda mempertahankan kekuasaan.

Hal ini berpadu dengan realitas partai politik yang lemah idealisme sekaligus ideologi sehingga dengan mudah membebek loyal, baik berbasis insentif maupun penyanderaan.

Mengingat lakon politik penguasa selama ini, memang tidak sulit untuk menyimpulkan partai politik yang membebek itu tidak bisa berbuat banyak, baik karena telah menikmati insentif kuasa atau uang maupun karena tersandera oleh rekam jejak pelanggaran hukum masa lalu.

Constitutional disobedience yang sempat akan dilakukan oleh DPR dengan tetap memaksakan penghitungan syarat usia minimal dan ambang batas suara partai pengusung calon kepala daerah adalah puncak dari loyalitas buta itu. Namun, jangan pula dilupakan bahwa ada peran Mahkamah Agung (MA) yang ikut berkontribusi sehingga menimbulkan kekacauan seperti saat ini.

Kita masih ingat, polemik batas usia calon kepala dan wakil kepala daerah bermula dari keluarnya Putusan Mahkamah Agung No 23 P/HUM/2024 yang menentukan syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah adalah terhitung sejak masa pelantikan kepala daerah terpilih, bukan pada saat penetapan calon oleh KPU.

Dengan pertimbangan yang seadanya dan argumentasi yang dangkal, MA membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020.

Putusan ini melahirkan penolakan yang cukup luas. Namun, tidak banyak yang dapat dilakukan publik karena putusan MA bersifat final and binding sama halnya dengan putusan MK.
Dengan keputusan itu, MA pun ikut bertanggung jawab atas kekacauan, demonstrasi besar-besaran, dan ketidakjelasan pemilihan kepala daerah yang saat ini terjadi.

Refleksi
Tulisan ini ingin memberikan refleksi atas munculnya putusan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Konstitusi yang tampaknya bertentangan dan menegasikan satu sama lain tersebut.

Putusan MA membatalkan Peraturan KPU yang sebelumnya mengatur batas usia 30 tahun terhitung sejak penetapan calon oleh KPU. Oleh MA, ditentukan usia 30 tahun terhitung sejak pelantikan.

UU Pilkada yang dijadikan sebagai batu uji Peraturan KPU di Mahkamah Agung lalu diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Kemudian, MK menegaskan syarat batas usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Artinya, ada perbedaan mendasar antara substansi putusan MA dan MK. MA menyatakan batas usia dihitung sejak pelantikan, sedangkan MK menyatakan batas usia terhitung sejak penetapan calon oleh KPU.

Sebetulnya ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya sudah beberapa kali terdapat perbedaan putusan antara MA dan MK. Salah satunya terkait peninjauan kembali (PK) yang menurut MK dapat dilakukan berkali-kali, sedangkan menurut MA hanya dapat dilakukan sekali.

Mitigasi
Situasi ini cukup memprihatinkan. Bagaimana mungkin dua lembaga negara yang setara, sama-sama memiliki marwah menegakkan hukum dan keadilan, tetapi terjebak pada arogansi sektoral kelembagaan.

Dalam jangka panjang, tentu saja kondisi ini harus dimitigasi sebaik mungkin agar tegaknya negara hukum Indonesia tidak direcoki oleh hal-hal yang bersifat teknis belaka. Selain itu, sejarah memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional.

Pertama, dianutnya sistem dua kamar atau dua atap atau dualisme dalam pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) barangkali dapat dikatakan menjadi muara dari masalah ini.
UUD 1945 Pasal 24A Ayat (1) memang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Adapun Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 mengatur kewenangan MK dalam menguji UU terhadap UUD. Artinya, dalam melakukan hal yang serupa, berupa judicial review terhadap peraturan perundang-undangan, kita meletakannya pada dua lembaga negara sekaligus. Dengan begitu, potensi perbedaan putusan antara MK dan MA memang ada, dan dalam situasi tertentu sangatlah besar.

Kedua, jika ditarik jauh ke belakang, tidak ada dasar argumentasi yang cukup kuat bagi pemisahan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah MA dan MK. Artinya, ini adalah pilihan politik saja, karena tidak ada ketentuan atau basis teoretis yang mengharuskan pemisahan ataupun penyatu-atapan.
Namun, dari aspek implikasinya, pemisahan dapat memunculkan masalah yang lebih serius jika dilihat dari bagaimana negara hukum Indonesia berjalan.

Alasan dangkal lainnya, sejak sebelum amendemen, sudah ditentukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang berada di bawah MA sehingga tetap dilanjutkan. Dengan ketiadaan argumentasi filosofis, teoretis, ataupun sosiologis, serta dengan melihat dampak yang kini muncul, akan jauh lebih baik jika agenda besar ke depan salah satunya adalah menyatu-atapkan judicial review di bawah MK.

Pertanyaannya, mengapa MK dan bukan MA? Dari aspek faktual ini karena di MA sendiri telah terjadi penumpukan kasus kasasi ataupun PK. Akibatnya, keberadaan judicial review sejatinya menambah beban kerja hakim MA. Selain itu, sejarah memang menunjukkan pengujian di bawah MK jauh lebih transparan, akuntabel, dan profesional.

Adapun pengujian di MA, sebagaimana yang selama ini dikeluhkan banyak pihak, bersifat tertutup dan tak dapat ditebak. Dengan pengalaman yang ada, MK jauh lebih siap mengelola keterbukaan dan aspirasi publik. Ketiga, MA sebaiknya berfokus menyelesaikan kasus faktual, baik perdata, pidana, tata usaha negara, maupun militer. Adapun MK berfokus pada pengujian norma, agar pembagian tugas menjadi lebih jelas batasannya. Dengan demikian, semua pengujian peraturan perundang-undangan terhadap peraturan yang lebih tinggi menjadi kewenangan MK.

 

Tulisan ini sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 2 September 2023.

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) UII. Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. 

Categories
Hukum

Kejahatan Konstitusi

Bagaimana membaca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Batas Usia Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah? Kita memang kecewa dengan hampir seluruh Putusan MK yang terakhir, mengenai syarat usia calon wakil presiden, mengenai sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden. Tidak hanya kecewa, bahkan publik mengkritik tajam putusan itu, sekaligus mengalamatkan telunjuk jari pada kemandirian dan kapasitas hakim MK.

Namun, semua itu dilakukan tetap dengan kesadaran penuh bahwa Mahkamah Konstitusi adalah the sole interpreter of the constitutionî. Oleh karenanya publik menerima putusan MK sebagai jalan hukum legal yang harus dipilih. Ini adalah prinsip yang kita sepakati bersama saat mendirikan Mahkamah Konstitusi. Di banyak negara, Mahkamah Konstitusi apapun putusannya menjadi akhir dari polemik politik berkepanjangan.

Pada selasa 20 Agustus lalu, Mahkamah Konstitusi menge- luarkan Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, kedua putusan ini mengatur tentang syarat usia calon kepala daerah dan/atau kepala daerah yang sebelumnya berdasarkan keputusan MA 30 tahun terhitung sejak pelantikan, menjadi terhitung 30 tahun sejak penetapan calon sebagaimana Peraturan KPU sebelumnya, serta tentang syarat ambang batas calon kepala daerah dengan syarat calon perseorangan. Sehari pasca putusan MK, DPR melakukan sidang bersama pemerintah dan menyepakati untuk mengenyampingkan putusan MK dan mengikuti putusan MA, serta menolak menerapkan ketentuan ambang batas sebagaimana ditentukan putusan MK.

Melihat animo yang beredar, kalangan akademisi, aktivis, dan jaringan masyarakat sipil, memberi apresiasi kepada Mahkamah Konstitusi atas Putusan Nomor 23/P/HUM/2024 dan Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Tentu saja, jika dibaca lebih jauh apresiasi yang diberikan bukan terhadap instansi Mahkamah Konstitusi atau hakim MK, namun terhadap nilai keadilan dan kebenaran yang diakui bersama terkandung di dalam putusan. Tidak ada yang berubah dari komposisi hakim MK, artinya kita dapat memahami, dalam hegemoni kekuasaan seperti saat ini, mengeluarkan Putusan a quo bukanlah perkara gampang dan mudah, sudah pasti ada tekanan besar baik dari luar maupun dalam MK sendiri.

Kejahatan Konstitusi

Tulisan ini ingin melihat dinamika yang terjadi dari aspek hukum. Pertama, jika dilihat dari kacamata ilmu perundang-undangan, kedudukan Putusan MK, baik Putusan Nomor 23/P/HUM/2- 024 maupun Putusan Nomor 60/PUU- XXII/2024, sangatlah kuat. Memang ada perdebatan di kalangan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara mengenai kedudukan Putusan MK, ada yang mengatakan ia sejajar dengan konstitusi/UUD sehingga berada di atas UUD, ada pula yang mengatakan ia sejajar kedudukannya dengan UU. Terlepas dari perdebatan itu, satu fakta yang diketahui bersama bahwa MK adalah the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution, artinya MK lah satu-satunya lembaga yang dapat menafsirkan UUD dengan Putusannya, lalu membatalkan UU, sehingga sekalipun tidak sejajar dengan UUD, namun Putusan MK setingkat lebih tinggi daripada UU, karena merupakan tafsir langsung atas konstitusi. Karena itu, Putusan MK bersifat final dan binding, artinya tidak dapat diuji lagi dan langsung berlaku pada saat itu juga.

Kedua, dengan demikian, maka secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa penolakan terhadap Putusan MK, bukan saja bermakna pembangkangan terhadap putusan itu sendiri, melainkan pembangkangan terhadap konstitusi. Mengapa demikian, karena Putusan MK sejatinya adalah tafsir konstitusi, atau dengan kata lain dapat ditegaskan bahwa Putusan MK adalah konstitusi yang hidup. Melampaui terminologi itu, penulis lebih setuju menyebut bahwa sejatinya DPR dan Pemerintah telah melakukan kejahatan konstitusi atau kejahatan terhadap konsti- tusi. DPR dan Pemerintah bukan hanya tidak mau menyelenggarakan Putusan MK, namun dengan kesadaran dan mata telan- jang merancang peraturan yang bertentangan dengan Putusan MK, yang mana putusan itu adalah tafsir konstitusi itu sendiri.

Sayangnya, dalam situasi sulit dan darurat seperti saat ini, tidak ada mekanisme bagi rakyat untuk me-recall anggota DPR yang telah dipilihnya. Padahal, logika sederhananya, sebagai pemilih orang yang mewakilinya di parlemen, maka rakyat memiliki hak dan dibuatkan mekanisme, jika suatu ketika merasa keinginan wakil tidak lagi sejalan dengan yang diwakilinya, untuk mencabut kembali mandat yang telah diberikan sebelumnya. 

Apa yang dapat dilakukan oleh rakyat hari ini adalah terus mengawal agar Putusan MK sebagai tafsir konstitusi tetap tegak dan dijalankan penyelenggara pemilu, serta terus mengawal berbagai kebijakan pemerintah tetap berada dalam jangkauan kehendak rakyat.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Agustus 2024

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.