Categories
Sosial Budaya Trending

Riset: Jurnalis Perempuan Masih Menjadi Target Rentan Kekerasan

Berdasarkan survei berskala nasional itu, sebanyak 85,7% dari 1.256 jurnalis perempuan dari seluruh Indonesia yang menjadi responden pernah mengalami berbagai tindakan kekerasan. Sebanyak 753 jurnalis perempuan (70,1%) mengaku mengalami kekerasan, baik di ranah fisik maupun digital. Dari pengakuan responden yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 179 jurnalis (14,3%) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka.

Data terbaru dari hasil riset kolaboratif antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada tahun 2022 juga menunjukkan fakta serupa. Riset tersebut mengungkapkan 82,6% dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang menjadi responden penelitian tersebut menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual.

Kedua temuan ini menjadi sinyal bahaya sekaligus ironi.

Bahaya karena menguatkan fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan masih mengancam, terus terjadi, bahkan semakin meningkat di sekitar kita, tanpa memandang profesi, termasuk dengan adanya jenis kekerasan gender berbasis online (KGBO), yakni ketidakadilan dan diskriminasi gender yang terjadi di ruang online, seperti pelecehan, intimidasi, penguntitan, penyadapan, dan pornografi yang tidak diminta.

Ironis karena kekerasan ini justru banyak dialami oleh jurnalis perempuan, kelompok yang secara sosial dan politik dapat dikategorikan lebih berdaya karena profesi dan pengetahuannya dibanding perempuan Indonesia pada umumnya.

Berawal dari ruang redaksi

Meskipun di era sekarang jumlah jurnalis perempuan terus meningkat, daya tawar sosial politik para jurnalis perempuan di tempat kerja masih terbatas. Kultur maskulin yang mengidentikkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan laki-laki lebih mendominasi ruang-ruang diskusi.

Isu-isu yang diangkat dan ditulis perempuan banyak diklasifikasi media sebagai isu yang dianggap ringan dan aman bagi perempuan, seperti gaya hidup, fesyen, dan kehidupan domestik. Eksistensi jurnalis perempuan yang menempati posisi struktural media dan aktif membahas isu-isu penting, seperti politik, ekonomi, dan hukum belum menjadi tren umum bagi media-media arus utama di Indonesia.

Penelitian PR2Media tahun 2021 juga menemukan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah rekan kerja (20,9%) dan atasan (6,9%).

Data ini memunculkan tanda tanya tentang apa yang telah dilakukan oleh organisasi media tempat jurnalis bekerja ketika menghadapi situasi tersebut. Lebih jauh ketika organisasi media tidak mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis mereka sendiri, ke mana penyintas kekerasan mengadukan kasusnya untuk mencari pertolongan dan keadilan?

Di sinilah perlunya menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan. Ruang aman yang mengedepankan budaya tanpa kekerasan, mulai dari individu jurnalis, organisasi atau perusahaan media, asosiasi jurnalis, dan regulator media.

Dilihat dari angka statistik AJI tahun 2012, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia dibanding jurnalis laki-laki hanya sekitar 1:4 (25%). Data lain dari Angela Romano, akademisi Australia yang meneliti perkembangan pers Indonesia dalam transisi politik 1998, merinci variasi data persentase jurnalis perempuan di Indonesia antara tahun 1973-2001 yang meningkat dari 2% hingga 30% dari total jurnalis.

Sayangnya, jumlah jurnalis perempuan yang meningkat tidak otomatis mengindikasikan rendahnya budaya kekerasan terhadap perempuan yang bekerja dalam media.

Fenomena ini disebut sebagai ‘glass ceiling’ atau ‘langit-langit kaca’, yang menggambarkan pengalaman perempuan yang bekerja pada mayoritas organisasi media di dunia.

Langit-langit kaca adalah istilah yang menggambarkan situasi meskipun perempuan mulai banyak berpartisipasi di media, lebih sedikit perempuan yang memegang posisi kunci, berkontribusi nyata dalam proses pengambilan keputusan besar, atau mampu naik ke posisi yang lebih tinggi, lebih kuat, dan menguntungkan selama karier mereka di media.

Kondisi ‘glass ceiling’ ini berpotensi melanggengkan kekerasan karena kebijakan atau keputusan tentang jurnalis perempuan akhirnya diselesaikan dari kacamata ‘boys club’, istilah yang merujuk pada dominasi laki-laki yang menduduki posisi-posisi puncak dalam manajemen media.

Perlunya regulasi yang mampu melindungi jurnalis perempuan

Selain mengikuti dan menindaklanjuti konvensi global dan lokal pada organisasi media secara nyata, Dewan Pers bersama asosiasi-asosiasi jurnalis dan organisasi media perlu segera mendorong dan menyusun regulasi serta kebijakan yang dapat melindungi dan mencegah kekerasan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan.

Selama ini belum ada regulasi khusus dan peraturan standar tentang pencegahan, perlindungan, dan penanganan kasus kekerasan untuk jurnalis perempuan di Indonesia. Peraturan Dewan Pers Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, misalnya, masih bersifat umum dan normatif.

Dukungan dan kehadiran semua pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem antikekerasan terhadap jurnalis perempuan diperlukan di semua lini. Langkah Dewan Pers menyelaraskan visi manajemen dan pemilik media untuk melindungi jurnalis perempuan menjadi keniscayaan. Dewan Pers diperlukan sebagai otoritas lembaga yang lebih tinggi dalam mengatur kehidupan pers di Indonesia.

Aturan yang melarang adanya kekerasan di media ini tidak hanya berkaitan dengan konten-konten media, tapi menyasar kebijakan struktural dalam organisasi sehingga mampu memberi payung hukum dan sanksi yang tegas bagi pengelola media.

Langkah konkret selanjutnya, media perlu menyusun aturan turunan yang detail, bisa berupa protokol, peraturan perusahaan, ataupun Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tentang perlindungan jurnalis, khususnya terhadap jurnalis perempuan, termasuk kekerasan seksual sebagai bagian dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Keberadaan aturan ini akan memberikan jaminan kepada korban untuk berani melaporkan kasusnya, tanpa ancaman pemecatan atau konflik ketenagakerjaan lain yang merugikan.

Dengan adanya jaminan regulasi, jurnalis memiliki ruang yang leluasa untuk mewujudkan sistem pendukung berbentuk serikat, asosiasi, dan gugus tugas yang berorientasi pada perlindungan jurnalis perempuan. Ini tentunya disertai dengan beragam pelatihan yang berkelanjutan, termasuk memberi materi baru tentang perlindungan keamanan digital dan pemahaman KGBO bagi jurnalis.

Menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan

PR2media membuat modul Mencegah dan Mengatasi Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan dan mendefinisikan ruang aman untuk jurnalis perempuan sebagai kesadaran, sistem dukungan, dan ketersediaan infrastruktur yang menjamin keamanan mereka dari berbagai tindak kekerasan.

Ruang aman untuk jurnalis perempuan diawali dengan pengarusutamaan kesetaraan gender dan budaya antikekerasan di ruang redaksi dan perusahaan media secara umum. Ini dapat mencegah normalisasi adanya kekerasan terhadap jurnalis perempuan karena pandangan dan kultur misoginis. Sikap menyangkal adanya kekerasan karena pandangan dan kultur misoginis serta menganggap normal pelecehan lewat candaan atau lelucon bisa dicegah.

Tidak hanya eksklusif untuk aktivis perempuan, pengarusutamaan gender sangat diperlukan di semua lini kerja jurnalistik. Langkahnya bisa dimulai dengan mengajak jurnalis laki-laki peduli dan punya kesadaran yang sama tentang kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Maret 2023

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Peneliti pada riset jurnalisme, gender, dan media digital. 

Categories
Hukum Trending

Apa jadinya jika Pemilu 2024 ditunda dan terjadi kekosongan kekuasaan?

Namun, ada kondisi yang dapat menyebabkan perintah konstitusi tersebut tidak dapat dilaksanakan karena beberapa hal, misalnya ketika negara mengalami kondisi darurat, baik Darurat Sipil, Darurat Militer, Darurat Perang, maupun Darurat Bencana (alam dan non alam) .

Terjadinya kedaruratan yang berujung pada penundaan pemilu ini pernah dialami juga oleh banyak negara, terutama dalam rentang waktu 2020-2022, ketika COVID-19 melanda. Terdapat 80 negara atau teritori di berbagai belahan dunia yang terpaksa menunda pelaksanaan pemilunya sebagai akibat dari pandemi.

Dalam kondisi normal pun tetap ada potensi terjadinya penundaan pemilu. Misalnya karena perintah dari lembaga peradilan melalui putusan hakimnya. Kondisi inilah yang saat ini sedang dihadapi oleh Indonesia.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Partai PRIMA melawan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI selaku tergugat. Salah satu putusannya adalah meminta tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan ditetapkan dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal dalam 2 tahun 4 bulan 7 hari.

KPU sedang mengupayakan banding ke Pengadilan Tinggi untuk membatalkan putusan tersebut dengan harapan pemilu akan tetap terlaksana sesuai jadwal. Namun, bila upaya banding, dan mungkin kasasi, yang dilakukan oleh KPU gagal, putusan PN Jakarta Pusat tersebut akan menjadi putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan harus dilaksanakan.

Jika itu terjadi, penyelenggaraan pemilu sudah pasti tidak akan dapat diselenggarakan sesuai jadwal. Ini kemudian akan berakibat pada kekosongan kekuasaan, karena masa jabatan kepemimpinan nasional, baik eksekutif maupun legislatif, akan tetap berakhir pada 2024, sementara penggantinya belum tersedia.

Kekosongan kekuasaan dalam suatu negara merupakan suatu kondisi yang berbahaya dan harus dihindari, karena akan menyebabkan instabilitas politik tingkat tinggi yang berujung pada terancamnya keamanan masyarakat.

Sejarah sebelum kehidupan bernegara

Jika merujuk pada catatan sejarah, peran negara sebagai institusi kekuasaan yang mengatur dan mengelola kehidupan umat manusia secara kolektif merupakan fenomena baru.

Jauh sebelum negara ada, atau dalam keilmuan disebut dengan istilah pra-bernegara, masing-masing individu mengatur urusannya secara mandiri.

Situasinya pada masa pra-bernegara sangat mencekam dan menyeramkan, sebab yang berlaku adalah hukum rimba – yang menang adalah yang kuat. Tidak ada ukuran salah-benar sebab semuanya didasarkan pada kekuatan. Aturan kehidupan bersama hanya ditentukan oleh kemauan dari mereka yang perkasa.

Pihak yang lemah akan sama sekali tidak berdaya dan tidak terlindungi hak dan kepentingannya. Setiap orang berperilaku seenaknya sendiri, tidak ada kekuasaan manapun yang bisa mencegah kesewenang-wenangan individual. Manusia kala itu diistilahkan sebagai Homo homini lupus, yang artinya “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya”.

Kengerian dari kondisi kehidupan umat manusia sebelum ada negara ini digambarkan oleh Thomas Hobbes sebagai Bellum Ominium Contra Omnes, atau sebuah perang antar segala melawan semuanya.

Menyadari betapa berbahayanya kehidupan tanpa aturan dan kekuasaan yang dapat menegakkan aturan tersebut kemudian mendorong umat manusia untuk mendirikan negara melalui proses perjanjian masyarakat (social contract).

Desain konstitusional untuk mencegah kekosongan kekuasaan

Negara sebagai institusi tentu tidak bisa bergerak sendiri menjalankan tugas dan kewenangannya. Ia membutuhkan “personel” agar dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuannya, yaitu menciptakan perdamaian, kesejahteraan, ketertiban, dan sebagainya.

Personel itulah yang kita sebut dengan pejabat negara atau aparatur pemerintahan. Adapun pejabat yang menduduki jabatan tertinggi dalam negara disebut pemimpin negara.

Ada dua prinsip dalam memilih pemimpin, yakni secara monarki dan secara sistem demokrasi.

Dalam negara monarki, pemimpinnya tidak dipilih oleh rakyat melainkan ditetapkan berdasarkan keturunan, dan tidak mengenal pembatasan masa jabatan. Seorang pemimpin akan menduduki jabatannya sampai jatah umurnya habis.

Sementara dalam negara demokrasi, pemimpin selalu dipilih melalui mekanisme pemilihan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Masa jabatan pemimpin yang terpilih pun dibatasi, sehingga seseorang tidak mungkin menjadi pemimpin seumur hidup. Negara demokrasi memiliki ciri utama menyelenggarakan pemilu secara periodik.

Karena itu, ketika seorang pemimpin sudah habis masa jabatannya, maka harus dipastikan penggantinya telah tersedia agar tidak menimbulkan kekosongan jabatan. Estafet kepemimpinan wajib dijaga sehingga terjadi kesinambungan bagi jalannya pemerintahan.

Di sinilah pentingnya pemilu dilaksanakan secara terencana yang menurut ketentuan konstitusi Indonesia wajib dilaksanakan setiap lima tahun sekali.

Salah satu contoh nyata dari dampak buruk akibat terjadi kekosongan kekuasaan (vacuum of power) adalah runtuhnya Yugoslavia. Negara tersebut awalnya adalah negara besar, tapi kemudian terpecah belah menjadi beberapa negara kecil karena muncul disintegrasi.

Peraturan perundangan-undangan di Indonesia sebenarnya sudah mengantisipasi agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan. Misalnya, ketika Wakil Presiden berhalangan di tengah masa jabatannya, menurut Pasal 8 ayat (2) UUD 1945 Presiden berhak untuk mengajukan dua nama sebagai calon pengganti kepada Majelis Permusyawarahan Rakyat (MPR) untuk memilih salah satunya sebagai Wakil Presiden.

Jika yang berhalangan tetap adalah Presiden, secara otomatis yang akan menggantikannya adalah Wakil Presiden. Namun apabila yang berhalangan tetap adalah keduanya (Presiden dan Wakil Presiden) secara bersamaan, berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 kendali kekuasaan negara akan dipegang oleh tiga kementerian (triumvirat) yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan.

Sayangnya, peraturan perundang-undangan sama sekali tidak mengatur perihal kekosongan kekuasaan negara yang disebabkan oleh penundaan pemilu. Ini berpotensi menimbulkan konflik sosial dan huru hara massa.

Apa yang harus dilakukan?

Sudah saatnya Indonesia memiliki perangkat hukum yang komprehensif guna mengatur mengenai hal ini. Peraturan dimaksud harus berisi, di antaranya: Pertama, alasan penundaan pemilu. Peraturan perundangan-undangan harus secara limitatif memberi batasan bahwa pemilu boleh ditunda hanya karena terdapat kondisi yang mengancam keselamatan seluruh bangsa. Di luar alasan itu, harus dilarang.

Kedua, lembaga yang diberi kewenangan memutuskan penundaan pemilu. Sesuai fungsinya yaitu sebagai peradilan tata negara, sebaiknya kewenangan ini diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, dan bukan oleh lembaga peradilan biasa.

Ketiga, lama waktu penundaan pemilu. Terkait hal ini misalnya dapat ditawarkan maksimal 3 bulan dengan opsi dapat dievaluasi dan diperpanjang kembali sesuai kebutuhan berdasarkan putusan pengadilan.

Keempat, pihak yang harus menjalankan kekuasaan negara jika masa periode pemerintahan sudah berakhir sementara belum dihasilkan penguasa baru akibat pemilunya ditunda. Terkait hal ini, yang paling rasional dan mudah dilakukan adalah dengan memperpanjang masa kekuasaan pemerintahan yang ada sebelumnya.

Dengan adanya peraturan yang mengatur soal penundaan pemilu ini diharapkan ada kepastian hukum. Sehingga bila situasinya mengharuskan pemilu ditunda, tidak akan menimbulkan kekosongan kekuasaan yang dapat berakibat munculnya kegaduhan sosial dan instabilitas pemerintahan.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.