Categories
Politik

Meredupnya Efek ‘Selebritas Politik’

Puncak Pilkada 2024, yaitu pemungutan telah usai. Kompetisi politik satu orang satu suara ini selalu menunjukkan fenomena sosial politik yang menarik: partisipasi, motivasi memilih, hingga efek penggunaan media konvensional dan media digital dalam membangun citra atau elektabilitas kandidat. Selain prosedur pemungutan suara yang berjalan lancar, ada kejutan yang perlu mendapat perhatian dari sisi komunikasi politik, yaitu, memudarnya efek elektoral dari tingkah polah politisi yang dimediasi oleh media sosial.

Kekalahan ‘Selebriti Politik’
Contoh paling nyata di Pilkada Jakarta. Kekalahan Ridwan Kamil (RK) dalam Pilkada Jakarta 2024, menyusul sebelumnya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo di Pilpres, adalah tanda berakhirnya gaya kampanye politik yang mengandalkan sisi personal (karakter, keluarga, ruang privat) dalam budaya politik kontemporer Indonesia. Kampanye memakai ruang digital (media sosial) dalam bentuk memoles kandidat sebagai selebriti mikro. Sejarah mencatat, taktik personalisasi ini dipelopori dua mantan Presiden: SBY (sebagai penyanyi) dan Jokowi (periksa gorong- gorong rusak). Keduanya kini sudah mantan. Jokowi bahkan mewariskan kemarahan loyalisnya yang merasa tertipu oleh personalisasi sebagai orang baik, yang dikonstruksi secara digital oleh para pendengung.

Para selebritas poitik lainnya: Anies, RK, Ganjar, gagal maju ke pentas kekuasaan di periode 2024-2029. RK dikenal rajin bermedsos atau medsosholic. Ia dan timnya rajin mengolah isu yang ‘remeh temeh’ khas kaum rebahan. Puncak personalisasi politik RK terjadi saat anaknya meninggal di sungai Aare Swiss. Ganjar sejak gubernur hingga Capres aktif mereplika Jokowi sebagai ‘orang kampung’ di medsos yang menyapa kaum pinggiran. Taktik serupa jarang kita temukan pada politisi yang menang Pilkada di Jawa: Pramono, Khafifah, Ahmad Luthfi. Mereka menang karena faktor-faktor lain.

Personalisasi politik (Wheeler, 2014; Kaplan, 2021) adalah praktek political branding, jelas tak orisinal, ada rekayasa selebritisasi oleh tim media digital, dibantu influencer sebagai cheerleader. Praktek ini semarak ketika media sosial menjadi sumber informasi politik utama dan menjadi ruang yang banal. Politisi yang tidak siap dengan program politik cerdas, sekadar ingin populer lewat sentuhan emosi kepada milenial berebut bikin konten romantis dengan istri/suami, memproduksi kata/diksi yang memicu viralitas, dan lain-lain. Konten digital makin keruh, overload, niredukasi politik, menghilangkan substansi. Muaranya ia berubah menjadi gudang sampah digital yang tidak lagi mempunyai efek elektoral.

Secara makro, praktek personalisasi politik tumbuh subur karena struktur dan budaya politik kita yang tidak sehat pada dua sektor. Pertama, partai politik yang lemah, feodalistik,msangat bergantung pada figur Ketua Umum. Modalitas Parpol bukanlah ideologi atau program tetapi figur – figur populer, medioker. Kedua, kuatnya warisan politik massa mengambang. Politik dianggap urusan lima tahunan saja, bukan sehari-hari. Politik urusan di TPS, mendapat sembako, urusan idol, memilih calon populer, bukan rekam jejak prestasi.

Artikel berjudul: social media, electoral politics and political personalization in Indonesia (Masduki, 2024) telah mengulas personalisasi politik dalam sejarah politik digital sejak era SBY hingga Jokowi. Studi ini awalnya berangkat dari semaraknya talk- show yang dihadiri politisi/pejabat negara di televisi yang kini beralih ke podcast di Youtube. Menjadi host atau pengisi talkshow di TV adalah panggung drama para politisi, panggung memoles citra. Lebih dari berpendapat, mereka ‘menjual’ intimitas dengan keluarga sebagai komoditas politik jangka pendek. Target proyek personalisasi atau selebritisasi politik tentu bukan hanya subscribers, followers, tapi electoral voters. Mengikuti logika algoritma digital, panggung digital ini dikemas menjadi hiburan nakal, tujuannya viral, bukan agar publik rasional. Nah, jika kini gaya ini sudah berakhir dan blunder, apakah komunikasi politik digital ke depan akan semakin sehat, kaya konten programatik, bukan slapstick.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 2 Desember 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Politik

The Monoculture of Power : How Unilateralism Threatens Global Stability

Coercing weaker nations rather than engaging in diplomatic solutions reflects the fundamental flaw of Trump’s unilateralism. 

Step into the Amazon rainforest, and you’ll find a masterpiece of resilience: towering trees, dense undergrowth and countless species. Each playing its part in an ecosystem that has thrived for millennia. This diversity is not just aesthetic. It is the reason the rainforest endures. 

Now, picture a vast plantation of a single crop, such as palm oil. For the first few years, the land is fertile, production is high, and profits flow. But as time passes, the soil weakens. The monoculture depletes its own foundation, leaving the land barren, drained of life. 

For decades, the world has functioned like a rainforest – not perfect, not always orderly, but ultimately sustainable. Institutions like the United Nations, NATO, the World Trade Organization (WTO), the World Health Organization (WHO) and the wider international treaties have never been flawless, but they have provided a system of checks and balances that prevents any single country from dictating the terms of global stability alone. 

These institutions, much like the diverse species of a thriving ecosystem, ensure that even when one part falters, the whole does not collapse. 

Unilateralism, on the other hand, is the political equivalent of clear-cutting a forest to plant a single crop. It may look efficient in the short term, but by erasing diversity of voices, of negotiations, of shared decision-making, it creates a system that cannot endure. 

And no leader in recent history has championed this monoculture of power more than United States President Donald Trump. 

His approach to the Israeli-Palestinian conflict, his so-called “solution” for Gaza, was not just a failure of diplomacy. It was a symptom of something much bigger. 

Trump’s approach to Gaza was defined by unilateralism, prioritizing one-sided power plays over diplomacy. In 2017, he recognized Jerusalem as Israel’s capital, ignoring international consensus. In 2018, he cut all US aid to Palestinian refugees, crippling UNRWA. By 2020, his administration had brokered the Abraham Accords, persuading Arab states to normalize relations with Israel while leaving Palestinians out of the conversation entirely. 

These moves sidelined diplomacy, reinforced imbalance, and deepened regional tensions. 

More recently, Trump proposed relocating Palestinians out of Gaza, a move widely condemned as unrealistic, illegal and a humanitarian disaster. Forcibly moving civilians would worsen Gaza’s crisis, escalate tensions and fuel further radicalization.

Coercing weaker nations rather than engaging in diplomatic solutions reflects the fundamental flaw of Trump’s unilateralism. If global stability depends on cooperation, then forcing nations into compliance, ignoring international institutions and dictating terms without consensus only weakens the system.

With Trump returning to the presidency, the global landscape faces another test of unilateralism. There is deep uncertainty over whether the US will further disengage from international mediation efforts or double down on its unilateral foreign policy, particularly in the Middle East.

This shift toward unilateralism threatens decades of global efforts to prioritize diplomacy over force. After World War II, the world rejected power politics in favor of multilateral institutions, establishing the UN in 1945 and reinforcing principles of sovereignty and collective security. During the Cold War, while the US and USSR competed for influence, major conflicts were ultimately defused through multilateral diplomacy rather than unilateral action. Even the US invasion of Iraq in 2003, which bypassed the UN, sparked global backlash, reinforcing that international legitimacy mattered.

In the past, major powers have acknowledged that unilateralism is unsustainable. The Marshall Plan (1948) proved that economic recovery required global cooperation, not isolated policies. The formation of NATO (1949) and later the European Union (1993) showed that collective security and economic partnerships were preferable to isolated decision-making. 

The consequences of abandoning this model are already playing out. Trump’s actions weakened America’s credibility as a neutral arbiter in global conflicts, emboldened hardline Israeli policies and left Palestinians more marginalized than ever. But the biggest casualty wasn’t just the peace process. It was the very idea that international order is built on cooperation rather than coercion. 

Indonesia, as the world’s third-largest democracy and a key player in ASEAN and the Non-Aligned Movement, must actively and strategically engage in promoting cooperation over coercion. With its long-standing foreign policy principle of “free and active” diplomacy, Indonesia has the credibility to advocate for multilateral solutions in conflict resolution, economic partnerships and humanitarian efforts. 

By taking a more proactive stance in mediating international disputes and strengthening regional diplomacy, Indonesia can play a critical role in countering the resurgence of unilateralism and ensuring that global governance is built on consensus rather than coercion. 

However, multilateralism is being challenged not only by Western unilateralism but also by China’s increasing assertiveness. Beijing’s territorial claims in the South China Sea, its Belt and Road Initiative and its growing economic leverage over developing nations all present challenges to the international system. While China positions itself as a counterbalance to US hegemony, its own strategic expansionism raises concerns about a different kind of unilateral power play. 

Indonesia must navigate this landscape carefully, ensuring that it does not fall into great-power rivalries while still upholding its diplomatic principles. 

To strengthen its position, Indonesia must deepen strategic partnerships with regional allies, including Australia, which, as a key US ally in the Indo-Pacific, shares Indonesia’s interest in regional stability, economic resilience and security cooperation. Strengthening Indonesia-Australia relations, particularly through forums like ASEAN, AUKUS dialogues and defense cooperation, can provide a buffer against both Western and Chinese unilateralism, ensuring that Southeast Asia remains a region of balanced diplomacy rather than a battleground for superpower competition. 

The world is not a single-crop plantation. It is a rainforest, rich with different voices, perspectives and interests. And if we wish to sustain peace, we must remember what nature has always known: survival depends not on domination, but on balance. 

 

The article was published in the Opinion section of The Jakarta Post on February 15, 2025.

Hangga Fathana
A lecturer in the Department of International Relations at the Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on global political economy, trade politics, and the dynamics of capitalist development. 

Categories
Hukum Politik

Memanusiakan Pekerja Kontrak

Hubungan industrial harmonis yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atas pelayanan jasa adalah cita-cita bersama.

Pernahkah terbayang sebelumnya bahwa perbedaan mendasar antara pekerja atau buruh tetap dan pekerja atau buruh kontrak adalah jenis perjanjian kerja yang mengikat keduanya? Lalu mengapa kondisi yang sering dijumpai justru terkesan bahwa nasib pekerja kontrak sangat kontras dengan pekerja tetap?

Perjanjian kerja ini pada dasarnya memang terbagi menjadi dua, yaitu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang kemudian pekerjanya disebut sebagai pekerja atau buruh kontrak, dan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) yang pekerjanya dikenal sebagai pekerja tetap. Perbedaan jenis perjanjian serta penyebutan status keduanya ini berdampak terhadap hak-hak yang diterima oleh keduanya.

Secara filosofis, mekanisme perjanjian kerja sudah tidak adil dari awal. Mengapa dikatakan demikian?

Perjanjian kerja berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Adanya unsur perintah dalam hubungan kerjalah yang menjadikan perjanjian kerja jelas berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Unsur perintah ini yang membuat pihak pengusaha dengan leluasa memberikan perintah terhadap pekerjanya, dengan catatan perintah tersebut sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.

Selain itu, perjanjian kerja dibuat oleh salah satu pihak, yakni pengusaha, sehingga pekerja tidak memiliki daya tawar terhadap isi perjanjian kerja tersebut, berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Terlebih lagi ketika membahas perjanjian kerja waktu tertentu.

Lalu, mengapa dibutuhkan pekerja kontrak jika sudah ada pekerja tetap?

Kehadiran pekerja kontrak berawal dari kehadiran flexibility labour market (pasar tenaga kerja fleksibel) yang menghendaki keleluasaan dalam dunia pasar, kemudian pengusaha pun menghendaki pekerja yang easy to hire, easy to fire (mudah di-rekrut, mudah dipecat). Demi mengakomodasi tuntutan tersebut, lahirlah status pekerja kontrak, termasuk di Indonesia sendiri.

Pengusaha bahkan menyukai mekanisme ini karena ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) dari pengusaha terhadap pekerja, maka pengusaha tidak perlu membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima oleh pekerja.

Mengapa demikian? Karena uang-uang tersebut hanya akan diterima oleh pekerja tetap jika mereka terdampak PHK oleh pengusaha. Bagaimana dengan pekerja kontrak? Mereka mendapatkan haknya dalam bentuk uang kompensasi saja.

Pada dasarnya, pengaturan mengenai aspek pekerja di Indonesia sudah cukup mengakomodasi jaminan kepastian nasib pekerja kontrak di masa depan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, seiring berjalannya waktu, hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (yang saat ini telah dicabut dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang) yang membuat perasaan pekerja kontrak semakin cemas akan nasib mereka. Khususnya berkaitan dengan batasan jangka waktu maksimal penggunaan PKWT yang menjadi kabur.

”Angin segar” yang diembuskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2024 lalu seolah memberikan harapan baru bagi pekerja/buruh kontrak. MK melalui amar putusannya menegaskan adanya batasan jangka waktu yang diperbolehkan dalam penggunaan PKWT, yaitu tidak melebihi jangka waktu 5 tahun termasuk jika terdapat perpanjangan.

Sayangnya dalam tahapan implementasi di lapangan, ”angin segar” itu masih jauh dari harapan. Mengapa? Masih banyak dijumpai pekerja yang mengalami ”pemutihan” perjanjian kerja dengan mekanisme apabila perjanjian kerjanya akan berakhir, maka pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja, lalu pekerja tersebut ditawarkan perjanjian kerja baru tanpa menghitung masa kerja sebelumnya dan ini terjadi secara berulang-ulang. Apabila dijumlahkan, masa kerja tersebut sudah dapat dipastikan melanggar peraturan perundang-undangan.

Kasus lain yang terjadi adalah para pekerja kontrak diberikan beban pekerjaan yang pada dasarnya bertentangan dengan batasan cakupan jenis pekerjaan yang boleh untuk diperjanjikan dengan jenis perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Secara aturan, PKWT tidak diperbolehkan digunakan terhadap pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tetap.

Namun lagi-lagi, batasan-batasan yang sudah ada hanya dituangkan dalam hitam putih dengan mengabaikan fakta di lapangan. Hal-hal demikian jelas merupakan penyelundupan hukum yang seolah-olah saat ini menjadi hal yang lumrah atau biasa dilakukan. Sangat miris.

Terlebih lagi, ketika berbicara mengenai perbedaan kewajiban antara pekerja tetap dan pekerja kontrak. Sering kali dijumpai dalam kasus tertentu (meskipun tidak seluruhnya) kewajiban atau beban kerja dari pekerja dinilai jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerja tetap. Bagaimana tidak, hak yang diterima dipastikan berbeda, tetapi beban kerja dinilai jauh lebih berat.

Contohnya adalah pengusaha dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerja kontrak ke dalam program BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Bukankah pekerja kontrak juga manusia? Terkadang, secara sengaja by design memang diperlakukan tidak seperti manusia pada umumnya, direnggut hak-haknya meski sudah secara jelas dan tegas pengaturannya diakomodasi melalui peraturan perundang-undangan.

Padahal hubungan industrial harmonis yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan atas proses produksi barang atas pelayanan jasa adalah cita-cita bersama. Tidak bisa egois, pengusaha membutuhkan kehadiran pekerja baik tetap maupun kontrak. Manusiakanlah pekerja karena mereka jugalah yang membantu kesuksesan dan keuntungan dalam kegiatan proses usahamu.

Semoga menjadi bahan renungan bersama demi kebaikan bersama pula.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 1 Mei 2025

Mustika Prabaningrum Kusumawati
Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ketenagakerjaan.