Categories
Politik

Pemilihan Kepala Daerah

Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kembali dipersoalkan, bahkan Presiden Prabowo secara implisit menginginkan agar Pilkada dikembalikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pilkada melalui DPRD sesunggunya bukan isu baru. Pasca reformasi sampai tahun 2005 Indonesia menerapkan Pilkada melalui DPRD. Baru setelah tahun 2005, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang saat ini menjadi Pilkada serentak dan langsung. Tahun 2014 lalu, DPR-RI dan Pemerintah pernah menyetujui penyelenggaraan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, namun hanya sehari setelahnya, UU ini dibatalkan oleh Presiden SBY melalui Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu).

Kalau ditelisik lebih dalam, wacana mengembalikan Pilkada oleh DPRD bukan tanpa alasan sama sekali. Pertama, secara sederhana penyelenggaraan Pilkada langsung membutuhkan cost atau biaya yang jauh lebih tinggi. Mulai dari percetakan kertas suara, distribusi kertas suara, pembentukan TPS, akomodasi panitia pemilihan dan pengawas, gaji panitia dari level kecamatan, desa, hingga TPS, dan masih banyak kebutuhan lain yang sangat besar.

Kedua, fenomena calon tunggal yang melawan kotak kosong semakin menguat setiap kali penyelenggaraan Pilkada. Harus dipahami, Pilkada secara langsung sedikit banyak berkontribusi atas kondisi ini, karena biaya politik yang tinggi menyebabkan partai politik enggan mengusung calon di daerah tertentu. Ketiga, apa yang cukup mengkhawatirkan dalam penyelenggaraan Pilkada langsung adalah menguatnya segregasi sosial, terutama beberapa daerah yang masih menggunakan dan memanfaatkan sentimen religius dan suku dalam mendulang elektabilitas.

Keempat, berbanding lurus dengan itu, adalah tingkat literasi masyarakat, terutama literasi politik yang masih lemah. Jika kita petakan, atau setidaknya telusuri melalui kajian Aspinal 2019 lalu, mayoritas masyarakat sama sekali tidak melihat rekam jejak calon dalam menentukan pilihan, namun digerakkan oleh money politics tim sukses. Artinya, pemilih tidak memilih berdasarkan hati nuraninya, dan calon tidak perlu menunjukkan rekam jejak dan prestasinya, semua dikendalikan oleh politik uang. Pemilu tahun 2024 ini, tampaknya keempat komponen ini bukan saja masih terjadi, tapi justru semakin memburuk.

Wacana Pemilihan Tidak Langsung 

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau tidak langsung, sebetulnya bukan-lah pilihan ideal. Sebagaimana pengalaman masa lalu Indonesia, Pilkada oleh DPRD sangat rentan dikooptasi atau dibajak oleh kepentingan politik penguasa. Dengan jumlah yang lebih sedikit, tentu akan lebih mudah mengendalikan anggota DPRD dari pada masyarakat luas. Maka, adalah rahasia umum jika money politics saat itu juga beredar, namun hanya di kalangan anggota DPRD dan partai politik.

Belum lagi, sekalipun dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) hanya menyebut pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, artinya tidak menyebut langsung maupun tidak langsung, namun perjalanan putusan MK secara konstitusional telah sampai pada penyatuatapan rezim Pilkada ke dalam pemilihan umum, sehingga juga diselenggarakan langsung oleh rakyat. Belum lagi, kalau kita membaca UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD didesain dengan sangat lemah. DPRD adalah bagian dari pemerintahan daerah, bukan lembaga legislatif di daerah. Artinya, sangat tidak konsisten dengan desain awal jika Pilkada diserahkan kepada DPRD. Selain itu, mengembalikan Pilkada kepada DPRD pasti akan berujung pada penolakan rakyat, demo akan terjadi di mana-mana, belum lagi judicial review terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena itu, tulisan ini sampai pada kesimpulan bahwa wacana mengembalikan Pilkada oleh DPRD ini jangan dibaca semata-mata hanya pilihan politik praktis elite. Kita tahu betul, Pilkada langsung saat ini melahirkan berbagai persoalan serius yang memperkuat segregasi sosial.

Isu mengembalikan Pilkada oleh DPRD harus menjadi alarm kuat, bahwa ada masalah pelik dengan pilkada langsung saat ini. Harus ada solusi agar sentimen identitas tidak lagi digunakan, money politics ditekan, politisasi lembaga negara (ASN, TNI, dan Polri) dihentikan, dan yang terutama adalah melembagakan literasi politik kepada seluruh masyarakat. Mengubah desain Pilkada bukanlah solusi, sebagaimana pengalaman dan perjalanan panjang Republik ini.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 24 Oktober 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. Penelitiannya berfokus pada isu hak penyandang disabilitas, perempuan, dan anak, otonomi daerah, dan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan.

Categories
Politik

Paradoks ”Negeri Paman Sam”

Lalu, jika sang penggagas liberalisme kini berbalik arah, adakah yang tersisa dari janji keterbukaan ekonomi global?


Selama puluhan tahun, Amerika Serikat berdiri sebagai pilar liberalisasi perdagangan global. Lewat Bretton Woods, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), hingga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), negeri itu mendorong dunia untuk membuka diri atas nama efisiensi, kompetisi terbuka, dan pertumbuhan ekonomi bersama.

Namun, pada Kamis (3/4/2025), Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan tarif impor hingga 32 persen terhadap produk dari Indonesia.

Inilah titik balik yang menampakkan paradoks ”Negeri Paman Sam”: sang penjaga pasar bebas, kini memasang pagar tinggi terhadap yang datang dari luar.

Dunia pun terkejut, meski sebetulnya tak sepenuhnya asing dengan ironi ini. Sebab, sejarah memang gemar berulang dan hanya berganti baju: kali ini ia datang dari negeri yang dikenal lantang menjunjung kebebasan pasar.

Lalu, jika sang penggagas liberalisme kini berbalik arah, adakah yang tersisa dari janji keterbukaan ekonomi global?

Paradoks liberalisme

Kebijakan proteksionis ini pun tidak berdiri sendiri. Negara-negara seperti China, Vietnam, Thailand, Australia, dan bahkan Kanada juga menjadi sasaran tarif sepihak. Ironisnya, negara-negara yang selama ini dituding tidak adil oleh AS justru adalah mitra dagang utama yang berkontribusi pada keseimbangan rantai pasok global.

Dan kini, serangan politik dagang itu sampai di Indonesia, yang menikmati surplus nonmigas dengan AS senilai lebih dari 17,9 miliar dollar AS pada 2024.

Penting untuk melihat lebih dekat bahwa apa yang kita saksikan bukan sekadar kebijakan tarif. Tindakan AS ini merupakan bentuk dekonstruksi terhadap narasi besar liberalisme ekonomi.

Seperti halnya kritik postmodern terhadap Abad Pencerahan: walau membawa akal dan kemajuan, juga menghadirkan sisi kelam kapitalisme, kolonialisme, dan perang dunia (Adorno dan Horkheimer, 1947). Liberalisme pun kini mempertontonkan paradoksnya.

AS, sang promotor perdagangan bebas, kini justru memelopori proteksi. Ini adalah semacam otokritik Barat terhadap dirinya sendiri, serupa orangtua yang akhirnya harus mengakui bahwa doktrin yang diajarkannya tak selalu membawa damai.

Seperti postmodernisme yang menelanjangi luka-luka peradaban modern, dunia kini mulai berani bicara: bahwa kebebasan dan pasar, bila tidak diikat dengan nilai, bisa juga mewujud menjadi penindasan gaya baru.

Dampak bagi Indonesia

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kebijakan AS bukan hanya pukulan ekonomi. Ini juga alarm ideologis: bahwa dalam dunia pascahegemoni, tak ada lagi jaminan konsistensi. Jika sang penjaga pasar bebas bisa dengan mudah meninggalkan prinsipnya, negara-negara Selatan perlu lebih cermat membaca arah angin global.

Secara teori, ada beberapa pendekatan yang bisa membingkai respons Indonesia. Dari sisi realisme, negara perlu memperkuat kapasitas domestik dan memperluas aliansi strategis, bahkan jika itu di luar struktur multilateral formal. Dari liberalisme institusional, forum seperti WTO dan ASEAN tetap penting sebagai ruang advokasi kolektif.

Sementara pendekatan ekonomi politik kritis justru mendorong Indonesia untuk memperkuat solidaritas Selatan-Selatan dan membangun sistem dagang alternatif yang lebih adil.

Namun, membayangkan respons strategis Indonesia tanpa menyentuh kenyataan politik domestik adalah seperti membangun kapal tanpa memeriksa lambungnya. Sebab, satu tantangan mendasar datang justru dari dalam: struktur kebijakan ekonomi kita masih sangat dipengaruhi oleh oligarki.

Yang lebih memprihatinkan, secara lebih umum, Indonesia pun belakangan tampak makin jauh dari keberanian untuk menempatkan nilai sebagai pijakan kebijakan perdagangan dan investasi.

Prinsip keadilan kerap ditenggelamkan oleh suara kalkulasi pragmatis dan logika transaksi. Maka, bukan hanya AS yang perlu dikritik, melainkan juga kita sendiri yang kian hari makin malu-malu bersenyawa dengan nilai.

Misalnya, dalam proyek-proyek hilirisasi tambang atau perjanjian dagang bebas, prinsip keadilan dan keberlanjutan sering kali hanya menjadi pemanis dokumen. Komunitas lokal tidak terdengar, lingkungan dikesampingkan, dan keberlanjutan berubah menjadi sekadar jargon.

Alih-alih memanfaatkan momentum ini untuk mendorong diversifikasi pasar dan transformasi industri, respons yang muncul selama ini cenderung bersifat reaktif, tambal sulam, atau bahkan tak keluar sama sekali karena tersandera oleh kepentingan segelintir elite yang sudah nyaman dengan status quo.

Bagi sebagian pelaku besar ekspor-impor, tarif tinggi boleh jadi hanyalah bermakna biaya lobi tambahan, bukan ancaman eksistensial. Namun, bagi buruh tekstil, petani kopi, dan pelaku UMKM, ini bisa berarti kehilangan pasar, penghasilan, bahkan pekerjaan.

Dan, bagi mereka, tidak ada juru runding. Tidak ada kursi dalam forum dagang dunia. Hanya harap-harap cemas menunggu pesanan yang mungkin tak pernah datang.

Bercermin ke dalam

Sebagaimana ditulis oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), demokrasi Indonesia pascareformasi tidak sepenuhnya membongkar oligarki, tetapi justru mengorganisasi ulang kekuasaan dalam format yang lebih elektoral, tetapi tetap eksklusif.

Maka, wajar jika strategi perdagangan kita sering kali tak berbicara soal bangsa, tetapi soal siapa yang dekat dengan pusat kekuasaan.

Menghadapi tekanan eksternal seperti tarif Trump, Indonesia bukan hanya dituntut untuk merespons ke luar, melainkan juga harus berani bercermin ke dalam.

Sebab, jika arsitektur ekonomi nasional masih ditentukan oleh segelintir tangan, kebijakan sebesar apa pun hanya akan mengulang sejarah: berganti baju, tetapi mengusung logika lama.

Sejarah memang berulang. Kadang berwujud tragedi, kadang sebagai ironi. Di masa kini, kita menyaksikannya tampil kembali, bukan dengan tank dan senjata api, melainkan dengan tarif dan retorika nasionalisme ekonomi.

Dunia yang dulu dibentuk oleh liberalisme, kini harus belajar bertahan darinya. Meski demikian, dunia tidak sedang kehilangan arah. Perlahan tetapi pasti, ia sedang membentuk keseimbangan baru, menapak jalan baru yang tumbuh dari keteguhan bangsa-bangsa yang sebelumnya dibungkam sejarah.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 4 April 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII dengan fokus pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

 

 

Categories
Politik Sosial Budaya

Riset Ungkap Bentuk Empat Model Afiliasi Media dan Politik di Indonesia

Dalam 20 tahun terakhir, kepemilikan media konvensional dan digital di Indonesia dipandang strategis, bukan semata-mata untuk tujuan bisnis murni tapi juga politik praktis.

Media, terutama televisi dan media digital terafiliasi, milik politikus digunakan sebagai alat kampanye politik selama pemilihan umum (pemilu), termasuk Pemilu 2014 dan 2019.

Merespons isu ini, riset terbaru kami memotret kondisi aktual kepemilikan media serta menyelidiki hubungan antara pemilik media dan struktur politik (pemerintah, parlemen, dan partai politik).

Riset ini dibuat dengan harapan bisa membantu pembuat kebijakan, pekerja dan aktivis media, dan masyarakat sipil dalam memahami interelasi media dan politik praktis yang akan berimplikasi pada kontestasi dalam Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan kurang dari sepekan lagi.

Riset ini menunjukkan adanya bentuk-bentuk kepemilikan media dan afiliasi politik praktis yang kompleks. Kepemilikan dan hubungan itu diduga kuat menabrak regulasi media pers, penyiaran, dan keterbukaan informasi publik.

Empat model afiliasi

Dalam menyusun riset ini, kami terinspirasi buku klasik Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times (1999) karya Robert McChesney. Buku ini kami pakai karena bisa membantu menjelaskan fenomena interkoneksi antara kepemilikan media dan perpolitikan Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.

Dengan mengambil latar di Amerika Serikat (AS) dalam era media konvensional, McChesney mensinyalir jumlah media komersial yang tak terhingga, angkanya tidak bisa lagi dihitung, tetapi kontribusinya terhadap demokrasi sangat minimal. Pascadisrupsi digital, situasi serupa berlanjut, dan bukannya memberi optimisme atas demokrasi elektoral, tetapi mengancam dan memicu kemunduran demokrasi.

Temuan hampir serupa muncul dalam riset terbaru kami yang datanya diambil di Jakarta dalam periode November 2022 hingga September 2023. Data riset ini digali lewat focused group discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan para stakeholder media dan penyelenggara pemilihan umum seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), organisasi jurnalis, akademisi komunikasi, dan wakil organisasi masyarakat. Data-data primer ini didukung dengan data sekunder yang berupa analisis dokumen legal perusahaan pers.

Data riset kami menunjukkan bahwa salah satu masalah mendasar yang mengancam demokrasi khususnya pemilu adalah kepemilikan media yang terkonsentrasi di segelintir pengusaha yang sekaligus menjadi pemilik/pengurus partai politik.

Mengenai analisis kepemilikan media ini, terdapat beragam pendekatan dan konsep. Konsep kepemilikan bisnis media yang digunakan dalam riset ini diadaptasi dari pemikiran Gillian Doyle dalam publikasinya Media Ownership (2002); dan Media Ownership Transparency in Europe: Closing the Gap between European Aspiration and Domestic Reality (2021)  dari Rachael Craufurd Smith, di antaranya: horizontal (satu platform banyak saluran), vertikal (bisnis media dari hulu ke hilir), diagonal (campuran horizontal dan vertikal) dan konglomerasi: lintas usaha.

Dalam mencermati kepemilikan, kami menggunakan dua pintu masuk: uang (saham pada media) dan posisi kekuasaan dalam struktur media.

Adapun konsep afiliasi politik dapat dilihat dalam dua sisi: (1) afiliasi langsung, yakni pemilik atau pengelola media sekaligus merupakan pejabat publik, calon atau anggota parlemen (DPR, DPR, DPD) dan pengurus partai politik. (2) Afiliasi tidak langsung, yakni para pekerja media terhubung kepada partai politik, pejabat pemerintah, anggota DPR, tim sukses, calon anggota legislatif, tim ahli, dan konsultan.

Dengan konsepsi ini dan data-data di lapangan, kami mengembangkan empat tingkatan konseptual afiliasi media dan politik di Indonesia.

Pertama, afiliasi ekstrem yang muncul ketika pemilik media dan keluarganya (pemegang saham-komisaris-direksi) sekaligus menjadi ketua partai, calon legislatif (caleg) atau anggota parlemen pusat atau daerah, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh paling jelas dari tipe ini adalah Hary Tanoesoedibjo. Pada sisi media, dia merangkap pemilik (pemegang saham) MNC group, direktur utama (memimpin operasional). Sementara, dari sisi politik, dia menjadi Ketua Umum Perindo, sekaligus menjadi caleg DPR.

Pada saat yang sama, Hary memiliki anak perempuan, Angela Tanoesoedibjo, yang menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Pada perhelatan Pemilu 2024 ini, seluruh keluarga inti Hary Tanoesoedibjo juga maju menjadi calon anggota DPR dari berbagai daerah pemilihan.

Di luar keluarga, hasil wawancara riset ini juga menunjukkan bahwa Hary aktif mengimbau karyawannya untuk maju sebagai calon legislatif.

Dari temuan data ini, dapat dikatakan bahwa Hary Tanoesoedibjo memiliki interkoneksi media dan politik praktis yang nyaris paripurna. Ia memegang kendali banyak media, memiliki satu partai, punya anak yang duduk di pemerintahan, dan berpotensi duduk di parlemen (jika terpilih). Model ini barangkali hanya ada di Indonesia.

Kedua adalah afiliasi kuat. Afiliasi ini muncul ketika seseorang berposisi sebagai komisaris di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contohnya adalah Surya Paloh (SP). SP adalah pemilik Media Group (dengan saham mayoritas sekaligus direktur utamanya). Dia juga Ketua Umum Partai Nasdem. Anaknya, Prananda Surya Paloh, menjadi Ketua Pemenangan Pemilu Partai Nasdem dan juga anggota DPR periode 2019-2024. Prananda kini maju kembali di Pemilu 2024.

Partai milik SP, Nasdem, juga menempatkan tiga Menteri dalam kabinet Jokowi selama dua periode: Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate; Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, dan; Menteri Pertanian Syahru Yasin Limpo.

Ketiga adalah bentuk afiliasi moderat. Afiliasi ini teridentifikasi ketika seseorang menjabat direksi di media sekaligus pengurus partai, calon atau anggota parlemen, kepala pemerintahan pusat atau daerah.

Contoh model ini adalah Syafril Nasution. Dia menjabat sekretaris perusahaan Media Nusantara Citra (MNC), Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) 2019-2022, dan kini menjadi caleg Perindo daerah pemilihan Jawa Tengah 1. Selain itu, Syafril juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Perindo.

Keempat adalah afiliasi lemah. Afiliasi ini muncul ketika jurnalis atau editor media menjadi caleg, anggota parlemen, atau pengurus partai. Pada hasil penelitian, jurnalis tingkat nasional yang menjadi caleg antara lain adalah Aiman Witjaksono. Selain menjadi jurnalis di MNC Group, Aiman juga maju calon DPR lewat Partai Perindo.

Dalam wawancara riset ini, Aiman menyatakan keputusannya pindah dari Kompas TV ke MNC Group salah satunya juga karena adanya peluang berkiprah di dunia politik. Aiman dalam wawancara mengatakan “Jadi di sini (MNC Group) saya lihat, saya bisa masuk ke media di mana saya juga bisa berkiprah di partai politik. Tapi, bukan mencampuradukkan keduanya.”

Di luar Aiman, penelitian kami juga menunjukkan bahwa ada beberapa jurnalis senior di berbagai provinsi di Indonesia yang maju menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2024. Dampaknya, media-media tempat mereka bekerja menunjukkan keberpihakan kepada partai politik atau figur politik tertentu lewat berita.

Menarik diperhatikan, bahwa empat model ini tidak terjadi pada grup media berskala nasional lainnya, seperti EMTEK, Grup Kompas Gramedia, Jawa Pos Group, Berita Satu Media Holding, CT. Corps, dan TEMPO Media Group.

Perlu perubahan peraturan

Riset ini mengonfirmasi adanya kompleksitas masalah kepemilikan media dan afiliasi politik. Hal ini menjadi peringatan pada tiga pihak: regulator media, regulator terkait pemilu, dan regulator terkait persaingan usaha di Indonesia.

Untuk memitigasi isu ini, kami menyampaikan rekomendasi reformasi kebijakan terkait kepemilikan media, afiliasi media dan jurnalis ke dalam struktur politik. Reformasi kebijakan ini penting untuk mewujudkan pemilu yang adil dan sehat ke depan.

Pada konteks kepemilikan media, sebenarnya sudah ada dua aturan pembatasan kepemilikan, yakni (1) pelarangan kepemilikan oleh pemerintah dan warga negara asing dan (2) pembatasan cross ownership di UU Penyiaran.

Menurut kami, masih perlu adanya penambahan aturan di UU, berupa pembatasan kepemilikan media oleh politikus, pejabat pemerintah atau pengurus partai politik (secara langsung atau tidak langsung).

Kita juga perlu mendorong revisi aturan partisipasi politik di UU Pemilu, khususnya kandidasi dalam kepemiluan demi menjaga independensi media dan jurnalis. Pelarangan jurnalis saja menjadi caleg tidak cukup dan tidak adil. Pelarangan terjun ke politik elektoral juga harus melingkupi para pemilik saham dan pejabat tinggi media juga.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 1 Februari 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Hukum Politik

A Breakthrough for Freedom of Expression in Indonesia

The Constitutional Court on April 29 handed down a landmark decision; one that could mark a turning point for digital freedom of expression in the country. 

The court declared it unconstitutional to prosecute individuals simply for criticizing government institutions, corporations, professions or public officials. 

Human rights activists and legal scholars have welcomed the decision as a major step forward in human rights reform. But the question remains: does this ruling truly safeguard the digital rights of Indonesian citizens, or is it merely symbolic progress in a system still riddled with ambiguity? 

The court’s ruling hinged on three key points, each targeting the vague and overly broad language found in Articles 27A, 45(4), 28(2) and 45A(2) of Law No.1/2024 which amended Law No.11/2008 on Electronic Information and Transactions (ITE) which are deemed to be contradictory to the 1945 Constitution. 

First, the phrase “another person” (orang lain) was clarified to exclude corporations, government institutions, public officials and public figures. In plain terms: criticism of power is no longer criminal by default. 

Second, the term “something accusatory” (suatu hal) was declared unconstitutional and void of legal force – unless interpreted strictly as referring to actions that genuinely degrade someone’s dignity or reputation. Viewpoint Every Thursday ADD THIS TOPIC Whether you’re looking to broaden your horizons or stay informed on the latest developments, “Viewpoint” is the perfect source for anyone seeking to engage with the issues that matter most. 

Third, the provision criminalizing the online dissemination of material that might incite hatred or hostility was deemed unconstitutional unless narrowly interpreted. According to the court, it must apply only to content that (1) is clearly hate-based, (2) targets specific identities, (3) is intentional and public and (4) presents a real risk of discrimination, hostility or violence. In short: context, intention and identity matter. 

In his expert testimony, Herlambang Wiratraman argued that such offenses should be understood as cyber-enabled crimes, not cyber-dependent ones – meaning they exist offline too, and digital platforms are just the medium. He emphasized that hate speech provisions in the ITE Law should not operate in isolation but refer back to Articles 156 and 157(1) of the Criminal Code. Prosecutors, he argued, should focus on proving the actual content (actus reus), the speaker’s intent (mens rea) and the social standing or role of the person making the statement.

 According to expert Bambang Harymurti, the original intent of the law was to regulate the technical aspects of electronic information and transactions – not to police speech. But in a last-minute twist, outdated and irrelevant criminal provisions were slipped in, effectively turning the law into a tool for silencing dissent and criminalizing free expression. 

A 2024 report from SAFEnet highlights the scale of the problem: 146 cases of digital expression violations were recorded, impacting 170 individuals – most tied to Article 27A. While the motives ranged from personal disputes to political criticism, accusations of blasphemy and economic conflicts, a striking pattern emerged: among the top five complainants were organizations, corporations, political parties and public officials – precisely the actors now excluded from protection under the Court’s latest decision. 

From an employee venting about her toxic workplace to a consumer exposing fraud by a car leasing company and a TikToker jailed for reviewing a disappointing apartment he bought – the victims of the ITE Law come from all walks of life. Ironically, Daniel Frits, the very activist who brought the case that led the Constitutional Court to reinterpret the law, nearly became its casualty. His alleged crime? Sharing electronic information in defense of Karimunjawa’s environmental sustainability. 

Indonesia has long struggled to protect freedom of expression in the digital space. The ITE Law has frequently been used to criminalize dissent, satire and legitimate criticism, often under vague legal provisions. For years, the state’s approach aligned more closely with regimes that repress rather than protect free speech. 

But with the recent Constitutional Court decision, there is a glimmer of change. While we should consider this a turning point – we must also ask: where does Indonesia stand when it comes to regulating online expression? 

Freedom of expression (FoE) online is typically governed through three approaches: absolute, proportional and abusive. The absolute model permits unrestricted expression, based on the belief that rational individuals can navigate falsehoods without state interference. No country fully adopts this approach, as it assumes an idealized public immune to harm or misinformation. The proportional approach (which is accepted in most democratic states), recognizes FoE but allows restrictions based on international standards such as the Siracusa and Johannesburg Principles. Limitations must be lawful, necessary and serve legitimate aims such as protecting public order, safety,or others’ rights. Crucially, such restrictions must be clear, proportionate and subject to remedy.

 The abusive approach, by contrast, erodes FoE with or without legal cover. Courts also offer little protection; laws are often vague or weaponized – through tactics like SLAPPs – to silence dissent. This model breeds fear, not dialogue. Countries such as China, Russia, the UAE, Myanmar, Laos, Vietnam and Cambodia exemplify this approach. It is open to the public’s criticism in which approach Indonesia falls. 

There is no denying that the Constitutional Court’s recent decision is a step forward. In the face of mounting threats to freedom of expression (especially online), it narrows the scope for criminal prosecution against critical voices in civil society. 

However, the public should temper their optimism. Major barriers to free expression remain, including the lack of comprehensive anti-SLAPP protections. Without such safeguards, the court’s ruling risks being read narrowly by law enforcement, applying only to the ITE Law while ignoring broader systemic issues. 

The Institute for Criminal Justice Reform has raised red flags about the new Criminal Code set to take effect in 2026. Several provisions still threaten free expression: Articles 263 and 264 on “fake news,” Article 433 on contempt (which, like the ITE ruling, should exclude criticism of institutions) and Articles 218 and 219 on defamation of state leaders – all of which risk replicating the very problems the Court sought to correct. 

Additionally, the amendment of the Indonesian Military (TNI) Law brings controversy because of an article that expands the TNI’s function to help combat cyber threats. According to SafeNet, the militarization of cyberspace can give rise to coercive-militaristic policies such as censorship, information operations and tightening of regulations regarding online expression. 

Nevertheless, with the Court’s decision being final and legally binding, citizens are on firmer ground to voice criticism, whether aimed at government bodies, corporations or public figures. 

This protection should empower not only activists, but also journalists, students, workers, consumers and everyday internet users to speak out against injustice or misconduct. In any democratic society, challenging power – wherever it resides – is not just a right, but a public duty. 

 

The article was published in the Opinion section of The Jakarta Post on May 7, 2025.

Sahid Hadi
A Civil Law Lecturer at the Faculty of Law, Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on business law and human rights, as well as legal methodology.



Categories
Politik

Pascapemilu Serentak 2024

Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan, apakah penyelenggaraan pemilu serentak pada 2024 akan secara signifikan berdampak kepada kehidupan moral etik politik di Indonesia? Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung kompleksitas yang cukup rumit.

Jika politik dimaknai sebagai segenap upaya seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umum, rasa-rasanya dengan melihat gelagat politik partai politik dan kandidat pemilu hari-hari ini, jauh panggang dari api. Artinya, pemilu serentak 2024 tidak akan memiliki relevansi yang signifikan terhadap perubahan politik Indonesia setidaknya satu periode mendatang. Mengapa demikian?

Pertama, harus diakui, politik Indonesia termasuk demokrasi di dalamnya masih berkutat kepada aspek prosedural, sedangkan substansi dan inti politik itu sendiri lama tak tersentuh. Perubahan model pemilu misalnya, yang sebelumnya terpisah menjadi pemilu serentak legislatif dan eksekutif, level pusat maupun daerah, suka tidak suka adalah bentuk perubahan prosedural semata. Ia hanya mengubah prosedur yang sebelumnya dalam waktu yang berbeda menjadi dalam waktu yang sama atau paling tidak berdekatan.

Perubahan mekanisme ini disinyalir akan berdampak pada penghematan anggaran negara karena dilakukan dalam sekali waktu. Logika ini sekilas tampak rasional meskipun belum tentu karena pemilu serentak dipastikan akan menambah kuantitas penyelenggara dan pengawas pemilu. Selain itu, sekalipun penghematan anggaran ini betul-betul terjadi, tetap saja ini baru menyentuh aspek prosedural dari politik, tidak berdampak kepada kehidupan politik kebangsaan kita.

Lalu, apakah prosedur demokrasi tidak penting sama sekali? Tentu saja penting. Prosedur adalah pintu masuk menuju substansi politik. Artinya, prosedur penting tetapi tidak berhenti di situ, ia harus beranjak menuju yang lebih substantif.

Kedua, laku politik yang selama ini tampak sama sekali tidak mencerminkan moral serta etik politik, dan itu tidak mungkin berubah jika pendekatan perubahan baru pada level prosedural. Beberapa masalah dalam politik Indonesia, misalnya menguatnya primordialisme, politik uang dalam pemilu, dan merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah masalah pada level inti, mengubahnya tidak cukup hanya dengan mengubah sistem dan mekanisme pemilu semata.

Primordialisme dalam bentuk suku dan agama, misalnya, yang sejatinya tidak mungkin mendapatkan tempat di panggung politik karena politik mensyaratkan kesetaraan dan keadilan, maka dengan sendirinya secara alamiah primordialisme ini bertentangan dengan politik. Namun pada kenyataannya, jualan primordialisme ini masih laku keras digunakan untuk mendulang suara sebanyak mungkin.

Ruang publik yang sejatinya inklusif diisi oleh sintesis tindakan komunikasi yang dapat diterima oleh publik, tetapi diisi oleh ujaran-ujaran untuk mendukung calon dari suku dan/atau agama tertentu lalu menjelekkan calon lain yang berasal dari identitas berbeda. Ini diperparah pula dengan pemakluman terhadap politik uang, baik dari sisi pelaku maupun penerima.

Laku politik yang selama ini tampak sama sekali tidak mencerminkan moral serta etik politik, dan itu tidak mungkin berubah jika pendekatan perubahan baru pada level prosedural.

Ruang politik yang demikian, lalu berimplikasi kepada wajah pejabat negara yang lekat dengan KKN. Sulit untuk menggambarkan bagaimana mengguritanya KKN di Indonesia saat ini, tetapi gambaran sederhananya mungkin bisa dilihat dari ilustrasi berikut:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang selama ini menjadi satu-satunya batu sandungan bagi para koruptor karena KPK kerap merepotkan pejabat ”nakal” yang akan korupsi. Maka, yang dilakukan bukan lagi mencari metode KKN yang lebih canggih agar tidak tercium KPK, melainkan dengan mematikan KPK itu sendiri. KPK hari ini, nyaris seperti mayat berjalan, secara kelembagaan dia ada, tetapi tidak memiliki ruh pemberantasan korupsi yang hidup sehingga arahnya dapat ”dikendalikan” oleh oknum-oknum yang keberatan jika KPK independen.

Berbagai persoalan di atas hampir dapat dipastikan masih akan terus tumbuh di Indonesia pasca-Pemilu 2024. Artinya, tanpa perubahan politik yang radikal, tanpa merehabilitasi arah politik Indonesia, tidak akan ada yang berubah sekalipun mekanisme pemilunya beruang-ulang diubah.

Politik adalah tentang keterlibatan seluruh warga dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan umum. Politik selama ini kerap disalahartikan sebagai ajang perebutan kekuasaan semata dan dikerdilkan menjadi biang kerok dari segala permasalahan yang dihadapi bangsa.

Padahal, politik sejatinya adalah tentang tindakan yang dilakukan untuk tujuan kehidupan bersama dan keadilan. Tindakan itu harus diwujudkan dengan komunikasi yang setara antarkelompok yang ada. Politik juga berkaitan dengan pemisahan antara yang publik dan privat, urusan pribadi dan urusan kenegaraan, kepentingan individu dan kepentingan umum, di mana yang umum akan selalu berada di atas kepentingan pribadi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 24 Agustus 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

 

 



Categories
Politik

Gagasan Angkatan Siber: Seberapa Perlukah Dibentuk?

Indonesia masih rentan terhadap serangan siber pada dimensi keamanan. Jadi, usulan pembentukan Angkatan Siber bisa diterima nalar. Namun, usulan ini harus ditinjau secara komprehensif.

Komisi I DPR mengusulkan pembentukan Angkatan Siber sebagai matra keempat Tentara Nasional Indonesia pada 14 Agustus 2023. Pembentukan Angkatan Siber diproyeksikan untuk memperkuat pertahanan nasional dan mendukung tiga matra yang sudah ada sebelumnya, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Menurut DPR, keberadaan Angkatan Siber sudah lazim di negara-negara tetangga, seperti Singapura.

Usulan DPR ini berawal dari gagasan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto. Menurut Andi, diperlukan evolusi di ranah pertahanan siber. Saat ini, ancaman serangan siber semakin tinggi, dibuktikan dengan beberapa kali serangan peretasan yang terjadi di laman dan situs pemerintah belakangan.

Namun, pegiat demokrasi sontak menolak usulan ini. Pembentukan Angkatan Siber ditakutkan akan dimanfaatkan untuk membungkam publik. Mengingat, para pegiat demokrasi juga sudah dibatasi oleh penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Apalagi, tahun politik dan pemilu presiden sedang di depan mata.

Pertahanan-keamanan siber

Usulan Lemhannas dan DPR ini perlu ditinjau secara komprehensif. Indonesia selama ini telah memiliki komponen pertahanan di bidang siber. Bahkan, komponen ini lebih dari satu. Pertahanan siber di Indonesia selama ini menjadi tanggung jawab beberapa lembaga, antara lain Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Polri, Pusat Komando (Puskom) di bawah Kementerian Pertahanan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), serta beberapa komponen lain di bawah TNI. Pertanyaannya publik kemudian, bagaimana komponen-komponen ini bekerja?

Kenyataannya masih banyak serangan siber terjadi. Belum lama ini, kita kembali mendengar data pribadi masyarakat di paspor dan penduduk di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bocor. Belum lagi kita pernah dibuat geger oleh serangan peretas Bjorka yang membocorkan banyak data pribadi dari laman pemerintah. Serangan-serangan ini ditengarai berasal dari luar Indonesia.

Sementara di dalam negeri, kasus-kasus ujaran kebencian di media sosial gencar digarap oleh satuan siber Polri. Tak perlu waktu lama, patroli siber Polri telah menunjukkan tajinya dalam menegakkan keamanan siber. Pun taji inilah yang justru ditakuti oleh pegiat demokrasi.

Pemisahan fungsi

Bisa jadi, kekhawatiran para pegiat demokrasi diakibatkan adanya zona abu-abu antara dimensi pertahanan dan keamanan di Indonesia. Zona abu-abu ini sudah sejak lama muncul akibat tidak tegasnya praktik keterlibatan penugasan TNI dan Polri di tengah masyarakat. Selain itu, trauma masa lalu dari pemanfaatan TNI oleh aktor-aktor politik selama Orde Baru pun menjadi kata kunci.

Fakta memang menunjukkan Indonesia masih rentan terhadap serangan siber pada dimensi pertahanan sehingga usulan pembentukan Angkatan Siber oleh Lemhannas dan DPR bisa diterima nalar. Meskipun demikian, tidak serta-merta diartikan bahwa Angkatan Siber ini akan menjadi komponen yang ”benar-benar baru”.

Angkatan Siber baru ini harus meleburkan komponen-komponen pertahanan siber yang telah ada. Dengan kata lain, diperlukan ”kerelaan hati” dari Kementerian Pertahanan dan BSSN untuk meleburkan unit siber mereka. Sebab, jika peleburan ini tidak dilakukan, tumpang tindih kewenangan dan tugas tak ayal akan terjadi.

Angkatan Siber juga harus dipisahkan dari fungsi keamanan. Dengan kata lain, kewenangan Direktorat Tindak Pidana Siber di bawah Reserse Kriminal Polri tidak boleh diotak-atik oleh keberadaan matra baru ini meskipun masih akan diperdebatkan bagaimana jika Angkatan Siber ini diperbantukan ke Polri. Sebab, kita telah telanjur menerima jargon ”Sinergitas TNI-Polri” yang merupakan implementasi tugas perbantuan TNI menurut Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri.

Pemisahan fungsi pertahanan dan keamanan ini harus tetap diprioritaskan. Jangan sampai, matra baru ini ikut memperkeruh gesekan antara sipil dan militer. Mengingat, Indonesia belum tegas mengatur penindakan terhadap anggota TNI yang melanggar prinsip-prinsip pidana sipil. Jangan sampai, operasi keamanan yang diembankan kepada Angkatan Siber ini kelak menjadi imun dan mutlak, bahkan mampu merepresi ruang demokrasi masyarakat.

Fokus untuk pertahanan

Jika memang Singapura yang digaungkan menjadi role model, pembentukan Angkatan Siber mutlak harus difokuskan pada upaya pertahanan nasional dan kepentingan militer. Digital and Intelligence Service (DIS) yang merupakan Angkatan Siber Singapura sebenarnya juga masih belia. Angkatan ini dibentuk pada 2 Maret 2022. Namun, yang perlu digarisbawahi, DIS didesain efektif untuk memperkuat fungsi militer dan pertahanan siber nasional, bukan sebagai penanganan keamanan.

Hal ini mengingat doktrin pertahanan dan perang di dunia telah berevolusi merambah ruang siber. Operasi militer di ruang siber dalam peperangan sudah bukan hal mustahil. Sederhananya, bak invasi naik pesawat dan kapal, negara lain dapat menyerang ruang siber dan membawa keuntungan militer, bahkan merenggut nyawa. Sebab, sebuah serangan pada jadwal kereta cepat, misalnya, dapat membunuh ratusan penumpangnya.

Perkembangan ini telah diakui dalam evolusi hukum perang modern. Operasi siber telah diatur sedemikian rupa agar tidak menyerang ranah-ranah sipil. Jika Indonesia masih berdebat melibatkan Angkatan Siber untuk fungsi keamanan sipil, jelas potensi utama matra baru ini untuk menjaga pertahanan nasional akan terabaikan. Hal ini harus dipertimbangkan jika kelak matra baru ini benar-benar dibentuk.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Hukum Politik

Bahaya Revisi UU TNI: Multifungsi Membuat Prajurit Jadi ‘Kurang Militer’, Publik Terancam Direpresi

Wacana pemerintah dan parlemen untuk merevisi ketentuan dalam Undang-Undang TNI kini tengah jadi sorotan. Ada ketakutan revisi ini akan melonggarkan pembatasan peran militer di ranah sipil. Pembahasan ini masuk dalam agenda prioritas legislasi.

Dalam rapat dengan DPR pada 11 Maret lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan bahwa Prabowo meminta agar prajurit TNI yang akan ditugaskan di kementerian atau lembaga harus pensiun dini. Selain itu, TNI yang aktif diusulkan agar bisa menempati 15 kementerian/lembaga. Ini semua diminta dimasukkan dalam pembahasan revisi UU TNI.

Pada Juni 2024, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa TNI bisa bersifat multifungsi. Peristiwa ini mengawali pergulatan sengit antara aktivis masyarakat sipil dengan DPR-pemerintah terkait revisi UU TNI.

Revisi UU TNI mencakup beberapa isu nonkrusial, seperti penambahan jabatan berupa Wakil Panglima, perluasan kewenangan untuk fungsi keamanan, hak berbisnis, dan pelonggaran pengisian jabatan publik oleh TNI aktif.

Agenda pengaturan tersebut mencederai semangat Reformasi TNI tahun 1998. Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dan maraknya PHK, hal ini semakin menambah kekhawatiran publik. Revisi UU TNI yang menambah peran aparat militer ditakutkan dapat mengembalikan Indonesia pada masa kelam kebebasan sipil seperti pada era Orde Baru. Kala itu, kebijakan Dwifungsi ABRI disorot sebagai salah satu biang kerok masalah.

Padahal, Dwifungsi ABRI telah dikubur dalam agenda Reformasi TNI dan pembubaran ABRI melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000.  

Multifungsi militer tidak hanya cenderung berbahaya bagi kehidupan demokrasi sipil, tetapi juga berpotensi membuat prajurit menjadi “kurang militer” (demiliterisasi). Pada akhirnya nanti, fokus utama TNI sebagai alat pertahanan menjadi tidak optimal.

Militerisme di segala lini

Istilah “multifungsi” yang dilontarkan Agus Subiyanto sebenarnya menarasikan praktik kiprah TNI yang ada di tengah masyarakat.

Kita tidak asing melihat TNI berseragam bertugas mengamankan kegiatan warga hingga penanganan bencana. Militer aktif juga terlibat dalam proyek ketahanan pangan, distribusi program makan bergizi gratis (MBG), bahkan menduduki jabatan publik.

Namun sejauh ini, kebijakan-kebijakan di atas belum memiliki payung hukum yang jelas. Kalaupun ada, posisinya masih terlalu umum dan banyak mendapatkan kritikan. Revisi UU TNI yang sedang digarap ini dimaksudkan untuk memberikan payung hukum pada kiprah-kiprah TNI tersebut.

Jika revisi tersebut lolos dan menjadi beleid baru, bangkitnya nuansa militer dalam pemerintahan niscaya benar terwujud. Sebab, baru beberapa bulan menjabat saja, Presiden Prabowo Subianto sudah mewarnai pemerintahan dengan nuansa militerisme.

Sebagai contoh, ia mengawali masa jabatannya dengan melakukan retret bersama dengan seluruh jajaran menteri Kabinet Merah-Putih di Akademi Militer, Magelang. Tradisi ini diteruskan dengan melaksanakan retret bagi seluruh Kepala Daerah terpilih beberapa waktu lalu.

Meskipun ia menegaskan bahwa agenda tersebut bukan untuk menjadikan urusan sipil sebagai militer, publik tentu dapat merasakan vibe militer, apalagi sebagian besar fasilitator kegiatan adalah berasal dari militer.

Di Indonesia, tampaknya militer harus ‘multitalenta’. Prajurit tidak hanya bertempur, tetapi diminta juga harus siap bertani, mengurusi dapur makanan, hingga manajemen publik dalam birokrasi. Padahal, sejatinya tugas militer yang utama adalah berperang dan menjaga pertahanan negara dari ancaman luar.

Demiliterisasi TNI

Wacana multifungsi TNI ini bak menuntut militer sebagai “satuan serba bisa” (jack of all trades). Hal ini berisiko menjadikan keahlian utama yang seharusnya dimiliki TNI menjadi tidak optimal.

TNI memiliki tugas utama untuk menjaga pertahanan negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945. Sederhananya, TNI adalah komponen tempur nasional.

Memberikan TNI beban tugas selain fungsi utamanya dapat berisiko besar terhadap kualitas para prajurit. Jika agenda multifungsi tetap diakomodasi dalam revisi UU TNI, dapat terjadi demiliterisasi terhadap angkatan tempur nasional Indonesia.

Profesionalisme militer diwujudkan dalam fokus dan pengembangan militer nasional. Jika dioptimalkan, potensi utama militer akan terwujud.

Amerika Serikat (AS) misalnya, telah berhasil membentuk satuan tempur luar angkasa pertama di dunia. Singapura, meski dengan jumlah militer yang tak banyak, telah memiliki satuan pertahanan siber yang tangguh di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, Laos yang tidak memiliki wilayah maritim (landlock) memiliki angkatan laut karena memprioritaskan pertahanan perairannya di Sungai Mekong. Negara-negara ini mengupayakan peningkatan potensi militernya semaksimal mungkin.

Kita tidak bisa mengatakan kondisi militer nasional Indonesia saat ini tanpa cela. Prabowo telah lama menyoroti urgensi peremajaan alutsista nasional. Selain alutsista, pada 2023, jumlah personel TNI pun masih dianggap kurang untuk menjaga teritorial negara yang begitu luas.

Bahkan, pemerintah sampai mendorong pembentukan Komponen Cadangan untuk membantu tugas-tugas TNI.

Belum lagi jumlah serangan siber yang bertambah di Indonesia. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) sampai mencetuskan pembentukan Angkatan Siber sebagai matra keempat di Indonesia.

Ini menunjukkan betapa peningkatan kapasitas militer nasional masih jauh dari kata sempurna.

Daripada “memaksa” militer untuk menambah kemampuan di ranah sipil, sebaiknya pemerintah fokus membangun kapasitas internal militer terlebih dahulu agar bisa menghasilkan prajurit yang lebih terlatih untuk menjaga pertahanan nasional.

Urusan ranah sipil dan birokrasi pemerintahan, biarlah pemerintah merekrut talenta-talenta melalui rekrutmen publik dari unsur sipil.

Jalan masuk potensi kekerasan

Kala diterapkan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru, banyak perwira dan jenderal militer menempati pelbagai jabatan publik yang seharusnya ditempati pemerintahan sipil. Sejarah merekam  bagaimana campur tangan militer tersebut berujung pada penindasan, bahkan kekerasan, terhadap kritik pada pemerintah.

Memang, belum tentu adanya militer di ranah sipil akan serta merta menjadikan lembaga negara bersifat militeristik. Namun, hal ini membuka potensi bagi prajurit militer terlibat jauh dalam ranah sipil, dan menjadikan mereka rentan untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum: lewat tindakan berbasis kekerasan. Pasalnya, tentara memang dilatih dalam nuansa itu. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Padahal, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan di benua Eropa, yang memiliki pengalaman panjang dengan peperangan, menerapkan diskursus untuk mengontrol dan membatasi peran militer dalam kehidupan bernegara sehari-hari. Paradigma ini memiliki ide pokok untuk memisahkan militer dari ranah pemerintahan sipil dan meningkatkan profesionalisme militer.

Agenda Reformasi TNI telah menyepakati adanya pembatasan keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil. Sehingga, semboyan “Multifungsi TNI” jelas akan menjadi langkah yang bertolak belakang.

Publik harus terus mengawasi agenda revisi UU TNI ini. Saat ini, Pemerintah dan DPR membahasnya dalam senyap. Ditambah, kita perlu waspada mengingat parlemen punya pengalaman proses legislasi serampangan. Jangan sampai, revisi UU TNI yang dibuat malah menimbulkan masalah baru dan mengembalikan Indonesia ke masa gelapnya (dark-time).

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 16 Maret 2025

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Politik Sosial Budaya

Integritas Pejabat Negara

Sudah seharusnya, penegakan etika dapat perhatian lebih serius. Kepercayaan publik tidak dapat dibeli, tetapi diperoleh melalui dedikasi dan komitmen yang konsisten.

“Untuk meneruskan jabatan saya sebagai Menteri Kesehatan, saya harus mendapatkan kepercayaan. Saya berhenti dari pekerjaan menakjubkan ini.” Demikian pernyataan Ingvild Kjerkol, mantan Menteri Kesehatan Norwegia.

Pernyataan disampaikan setelah ia memutuskan mundur dari jabatannya, pertengahan April 2024, menyusul kasus plagiarisme dalam tesis magisternya di Nord University. Seiring mencuatnya skandal ini, sebagaimana dilaporkan Aftenposten, Perdana Menteri Norwegia, Jonas Gahr Store, memutuskan Kjerkol harus mundur. Almamaternya pun membatalkan tesis tersebut dan mencabut gelarnya.

Kepercayaan publik

Kasus ini bukanlah yang pertama di Norwegia. Tiga bulan sebelumnya, pada Januari 2024, Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Norwegia Sandra Borch juga memutuskan mengundurkan diri segera setelah pelanggaran yang dilakukannya terungkap.

”Ketika menulis tesis magister saya sekitar 10 tahun lalu, saya membuat kesalahan besar. Saya mengambil teks dari tesis lain tanpa menuliskan sumbernya, dan untuk itu saya memohon maaf,” ungkapnya.

Meskipun Kjerkol tidak langsung mengundurkan diri seperti Borch, keduanya menyadari bahwa kepercayaan publik adalah aset yang tak ternilai bagi seorang pejabat negara. Pelanggaran terhadap integritas akademik bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan juga indikasi dari cacat moral yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap kepemimpinan mereka.

Jika pejabat negara memandang perilaku tidak etis sebagai sesuatu yang lumrah, publik berhak merasa khawatir bahwa amanah yang diberikan dapat diselewengkan kapan saja.

Kasus pelanggaran integritas akademik yang melibatkan pejabat tinggi tak hanya terjadi di Norwegia. Pada 2011, Menteri Pertahanan Jerman Karl- Theodor zu Guttenberg terpaksa mengundurkan diri setelah Bremen University mencabut gelar doktornya karena ia terbukti melakukan plagiarisme dalam disertasinya.

Dua tahun kemudian, pada 2013, kasus serupa kembali terjadi di Jerman. Menteri Pendidikan Annette Schavan memilih mundur setelah ditemukan plagiarisme dalam disertasinya yang telah ditulis lebih dari 30 tahun sebelumnya. Keputusan ini menunjukkan bahwa pelanggaran akademik, meskipun terjadi di masa lampau, tetap memiliki konsekuensi yang nyata dalam kehidupan profesional.

Di luar Eropa, kasus serupa juga mengguncang Taiwan. Pada 2013, Menteri Pertahanan Taiwan Andrew Yang mengundurkan diri setelah diketahui bahwa artikel yang diterbitkan atas namanya pada 2007, hasil dari plagiarisme.

Dalam konferensi pers, Yang menyatakan, ”Ini adalah kesalahan personal saya, dan saya meminta maaf karenanya.” Yang mundur hanya enam hari setelah menduduki jabatannya, sebuah tindakan yang mencerminkan keseriusan skandal semacam ini dalam lanskap politik di Taiwan.

Kasus-kasus itu memberikan pelajaran berharga bahwa integritas akademik bukanlah sekadar norma yang berlaku di lingkungan akademisi, melainkan ia juga pilar fundamental dalam kepercayaan publik terhadap para pemimpin mereka. Dunia akademik dibangun di atas fondasi kejujuran dan etika; tanpa itu, seluruh sistem akan rapuh.

Pelanggaran terhadap nilai-nilai akademik membawa konsekuensi serius, bukan hanya bagi individu bersangkutan, melainkan juga bagi institusi yang mereka wakili. Gelar akademik yang dicabut bukan hanya hukuman administratif, melainkan juga simbol bahwa pelanggaran semacam ini memiliki dampak jangka panjang terhadap reputasi seseorang.

Keputusan para pejabat negara yang memilih mundur juga menunjukkan bahwa di negara-negara dengan standar etika yang tinggi, tanggung jawab moral diutamakan dibandingkan kepentingan pribadi. Tindakan mereka menjadi preseden penting bahwa kepercayaan publik lebih bernilai daripada mempertahankan jabatan dengan mengorbankan prinsip-prinsip integritas.

Standar etika

Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam soal bagaimana standar etika dan akuntabilitas diterapkan di beragam belahan dunia.

Di beberapa negara, pejabat yang terlibat dalam skandal akademik dapat tetap bertahan di posisinya. Dalih yang dibangun: kesalahan itu bagian dari masa lalu dan tak memengaruhi kinerja mereka saat ini. Relasi kuasa antara pejabat negara dan kampus juga menjadikan penegakan etika tak seperti yang seharusnya.

Namun, contoh dari Norwegia, Jerman, dan Taiwan menunjukkan bahwa kepercayaan publik adalah hal yang sakral dan sekaligus rapuh. Karena itu, ia harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Keberanian untuk mengakui kesalahan dan mengambil konsekuensi adalah sikap yang patut diapresiasi. Pilihan ini bukan hanya sebagai bentuk pertanggungjawaban pribadi, melainkan juga sebagai upaya untuk mempertahankan standar integritas dalam pemerintahan dan dunia akademik.

Sudah seharusnya penegakan etika dapat perhatian lebih serius. Kepercayaan publik tidak dapat dibeli, tetapi diperoleh melalui dedikasi dan komitmen yang konsisten terhadap prinsip-prinsip etika. Kasus-kasus itu menjadi pengingat bahwa pelanggaran kecil pun dapat berakibat besar, dan bagi pejabat publik, kehilangan kepercayaan bisa berarti akhir dari karier mereka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 15 April 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Politik

Meredupnya Efek ‘Selebritas Politik’

Puncak Pilkada 2024, yaitu pemungutan telah usai. Kompetisi politik satu orang satu suara ini selalu menunjukkan fenomena sosial politik yang menarik: partisipasi, motivasi memilih, hingga efek penggunaan media konvensional dan media digital dalam membangun citra atau elektabilitas kandidat. Selain prosedur pemungutan suara yang berjalan lancar, ada kejutan yang perlu mendapat perhatian dari sisi komunikasi politik, yaitu, memudarnya efek elektoral dari tingkah polah politisi yang dimediasi oleh media sosial.

Kekalahan ‘Selebriti Politik’
Contoh paling nyata di Pilkada Jakarta. Kekalahan Ridwan Kamil (RK) dalam Pilkada Jakarta 2024, menyusul sebelumnya Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo di Pilpres, adalah tanda berakhirnya gaya kampanye politik yang mengandalkan sisi personal (karakter, keluarga, ruang privat) dalam budaya politik kontemporer Indonesia. Kampanye memakai ruang digital (media sosial) dalam bentuk memoles kandidat sebagai selebriti mikro. Sejarah mencatat, taktik personalisasi ini dipelopori dua mantan Presiden: SBY (sebagai penyanyi) dan Jokowi (periksa gorong- gorong rusak). Keduanya kini sudah mantan. Jokowi bahkan mewariskan kemarahan loyalisnya yang merasa tertipu oleh personalisasi sebagai orang baik, yang dikonstruksi secara digital oleh para pendengung.

Para selebritas poitik lainnya: Anies, RK, Ganjar, gagal maju ke pentas kekuasaan di periode 2024-2029. RK dikenal rajin bermedsos atau medsosholic. Ia dan timnya rajin mengolah isu yang ‘remeh temeh’ khas kaum rebahan. Puncak personalisasi politik RK terjadi saat anaknya meninggal di sungai Aare Swiss. Ganjar sejak gubernur hingga Capres aktif mereplika Jokowi sebagai ‘orang kampung’ di medsos yang menyapa kaum pinggiran. Taktik serupa jarang kita temukan pada politisi yang menang Pilkada di Jawa: Pramono, Khafifah, Ahmad Luthfi. Mereka menang karena faktor-faktor lain.

Personalisasi politik (Wheeler, 2014; Kaplan, 2021) adalah praktek political branding, jelas tak orisinal, ada rekayasa selebritisasi oleh tim media digital, dibantu influencer sebagai cheerleader. Praktek ini semarak ketika media sosial menjadi sumber informasi politik utama dan menjadi ruang yang banal. Politisi yang tidak siap dengan program politik cerdas, sekadar ingin populer lewat sentuhan emosi kepada milenial berebut bikin konten romantis dengan istri/suami, memproduksi kata/diksi yang memicu viralitas, dan lain-lain. Konten digital makin keruh, overload, niredukasi politik, menghilangkan substansi. Muaranya ia berubah menjadi gudang sampah digital yang tidak lagi mempunyai efek elektoral.

Secara makro, praktek personalisasi politik tumbuh subur karena struktur dan budaya politik kita yang tidak sehat pada dua sektor. Pertama, partai politik yang lemah, feodalistik,msangat bergantung pada figur Ketua Umum. Modalitas Parpol bukanlah ideologi atau program tetapi figur – figur populer, medioker. Kedua, kuatnya warisan politik massa mengambang. Politik dianggap urusan lima tahunan saja, bukan sehari-hari. Politik urusan di TPS, mendapat sembako, urusan idol, memilih calon populer, bukan rekam jejak prestasi.

Artikel berjudul: social media, electoral politics and political personalization in Indonesia (Masduki, 2024) telah mengulas personalisasi politik dalam sejarah politik digital sejak era SBY hingga Jokowi. Studi ini awalnya berangkat dari semaraknya talk- show yang dihadiri politisi/pejabat negara di televisi yang kini beralih ke podcast di Youtube. Menjadi host atau pengisi talkshow di TV adalah panggung drama para politisi, panggung memoles citra. Lebih dari berpendapat, mereka ‘menjual’ intimitas dengan keluarga sebagai komoditas politik jangka pendek. Target proyek personalisasi atau selebritisasi politik tentu bukan hanya subscribers, followers, tapi electoral voters. Mengikuti logika algoritma digital, panggung digital ini dikemas menjadi hiburan nakal, tujuannya viral, bukan agar publik rasional. Nah, jika kini gaya ini sudah berakhir dan blunder, apakah komunikasi politik digital ke depan akan semakin sehat, kaya konten programatik, bukan slapstick.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 2 Desember 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.

Categories
Politik

The Monoculture of Power : How Unilateralism Threatens Global Stability

Coercing weaker nations rather than engaging in diplomatic solutions reflects the fundamental flaw of Trump’s unilateralism. 

Step into the Amazon rainforest, and you’ll find a masterpiece of resilience: towering trees, dense undergrowth and countless species. Each playing its part in an ecosystem that has thrived for millennia. This diversity is not just aesthetic. It is the reason the rainforest endures. 

Now, picture a vast plantation of a single crop, such as palm oil. For the first few years, the land is fertile, production is high, and profits flow. But as time passes, the soil weakens. The monoculture depletes its own foundation, leaving the land barren, drained of life. 

For decades, the world has functioned like a rainforest – not perfect, not always orderly, but ultimately sustainable. Institutions like the United Nations, NATO, the World Trade Organization (WTO), the World Health Organization (WHO) and the wider international treaties have never been flawless, but they have provided a system of checks and balances that prevents any single country from dictating the terms of global stability alone. 

These institutions, much like the diverse species of a thriving ecosystem, ensure that even when one part falters, the whole does not collapse. 

Unilateralism, on the other hand, is the political equivalent of clear-cutting a forest to plant a single crop. It may look efficient in the short term, but by erasing diversity of voices, of negotiations, of shared decision-making, it creates a system that cannot endure. 

And no leader in recent history has championed this monoculture of power more than United States President Donald Trump. 

His approach to the Israeli-Palestinian conflict, his so-called “solution” for Gaza, was not just a failure of diplomacy. It was a symptom of something much bigger. 

Trump’s approach to Gaza was defined by unilateralism, prioritizing one-sided power plays over diplomacy. In 2017, he recognized Jerusalem as Israel’s capital, ignoring international consensus. In 2018, he cut all US aid to Palestinian refugees, crippling UNRWA. By 2020, his administration had brokered the Abraham Accords, persuading Arab states to normalize relations with Israel while leaving Palestinians out of the conversation entirely. 

These moves sidelined diplomacy, reinforced imbalance, and deepened regional tensions. 

More recently, Trump proposed relocating Palestinians out of Gaza, a move widely condemned as unrealistic, illegal and a humanitarian disaster. Forcibly moving civilians would worsen Gaza’s crisis, escalate tensions and fuel further radicalization.

Coercing weaker nations rather than engaging in diplomatic solutions reflects the fundamental flaw of Trump’s unilateralism. If global stability depends on cooperation, then forcing nations into compliance, ignoring international institutions and dictating terms without consensus only weakens the system.

With Trump returning to the presidency, the global landscape faces another test of unilateralism. There is deep uncertainty over whether the US will further disengage from international mediation efforts or double down on its unilateral foreign policy, particularly in the Middle East.

This shift toward unilateralism threatens decades of global efforts to prioritize diplomacy over force. After World War II, the world rejected power politics in favor of multilateral institutions, establishing the UN in 1945 and reinforcing principles of sovereignty and collective security. During the Cold War, while the US and USSR competed for influence, major conflicts were ultimately defused through multilateral diplomacy rather than unilateral action. Even the US invasion of Iraq in 2003, which bypassed the UN, sparked global backlash, reinforcing that international legitimacy mattered.

In the past, major powers have acknowledged that unilateralism is unsustainable. The Marshall Plan (1948) proved that economic recovery required global cooperation, not isolated policies. The formation of NATO (1949) and later the European Union (1993) showed that collective security and economic partnerships were preferable to isolated decision-making. 

The consequences of abandoning this model are already playing out. Trump’s actions weakened America’s credibility as a neutral arbiter in global conflicts, emboldened hardline Israeli policies and left Palestinians more marginalized than ever. But the biggest casualty wasn’t just the peace process. It was the very idea that international order is built on cooperation rather than coercion. 

Indonesia, as the world’s third-largest democracy and a key player in ASEAN and the Non-Aligned Movement, must actively and strategically engage in promoting cooperation over coercion. With its long-standing foreign policy principle of “free and active” diplomacy, Indonesia has the credibility to advocate for multilateral solutions in conflict resolution, economic partnerships and humanitarian efforts. 

By taking a more proactive stance in mediating international disputes and strengthening regional diplomacy, Indonesia can play a critical role in countering the resurgence of unilateralism and ensuring that global governance is built on consensus rather than coercion. 

However, multilateralism is being challenged not only by Western unilateralism but also by China’s increasing assertiveness. Beijing’s territorial claims in the South China Sea, its Belt and Road Initiative and its growing economic leverage over developing nations all present challenges to the international system. While China positions itself as a counterbalance to US hegemony, its own strategic expansionism raises concerns about a different kind of unilateral power play. 

Indonesia must navigate this landscape carefully, ensuring that it does not fall into great-power rivalries while still upholding its diplomatic principles. 

To strengthen its position, Indonesia must deepen strategic partnerships with regional allies, including Australia, which, as a key US ally in the Indo-Pacific, shares Indonesia’s interest in regional stability, economic resilience and security cooperation. Strengthening Indonesia-Australia relations, particularly through forums like ASEAN, AUKUS dialogues and defense cooperation, can provide a buffer against both Western and Chinese unilateralism, ensuring that Southeast Asia remains a region of balanced diplomacy rather than a battleground for superpower competition. 

The world is not a single-crop plantation. It is a rainforest, rich with different voices, perspectives and interests. And if we wish to sustain peace, we must remember what nature has always known: survival depends not on domination, but on balance. 

 

The article was published in the Opinion section of The Jakarta Post on February 15, 2025.

Hangga Fathana
A lecturer in the Department of International Relations at the Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on global political economy, trade politics, and the dynamics of capitalist development.