Categories
Pendidikan

Kampus Masa Bodoh

Kampus adalah rumah para intelektual yang dituntut untuk turut serta memikirkan kondisi republik.

Dalam sejarah Republik, kampus pernah menjadi penjuru moral. Kaum intelektual lantang menyuarakan kebenaran di tengah hiruk-pikuk kekuasaan. Namun, kini, kampus membisu ketika penyalahgunaan kekuasaan terjadi dalam banyak aspek penyelenggaraan negara.

Beragam kritik telah dialamatkan kepada kaum intelektual di kampus. Mereka dianggap masa bodoh ketika berbagai penyalahgunaan kekuasaan terjadi secara terang benderang. Tak jarang, praktik ini dikemas dengan peraturan yang mengesankan keabsahan praktik kekuasaan yang brutal.

Publik merindukan kaum intelektual yang bersuara kritis. Kampus sebagai lokomotif utama masyarakat sipil jadi salah satu tumpuan harapan publik.

Suara moral yang kritis dari berbagai organisasi keagamaan pun mulai parau. Pelbagai fakta di lapangan menghadirkan cerita yang memprihatinkan.

Studi-studi terbaru tentang demokrasi Indonesia menunjukkan bukan saja aspek kemunduran demokrasi, melainkan juga otoritarianisme yang bercorak populis.

Tidak banyak kampus yang bersuara jernih dan kritis. Apa yang terjadi pada 22 Agustus 2024, ketika banyak warga kampus bersama elemen masyarakat sipil lain turun ke jalan menolak revisi Undang-Undang Pilkada, memang sedikit menjadi pengobat rindu. Namun, sebagian besar kampus masih tenggelam dalam kebisuan.

Mengapa kampus menjadi masa bodoh dan bahkan apatis? Proses dialog dan interaksi personal dengan banyak pemimpin kampus menghasilkan penjelasan awal.

Termasuk di dalamnya adalah ketiadaan kesadaran akan tanggung jawab, eksposur kepada informasi yang terbatas, kompas moral yang rusak, dan kemerdekaan intelektual yang terenggut. Penjelasan ini bersifat bertingkat.

Bukan urusan kampus

Sikap apatis bisa dijelaskan karena sebagian menganggap bersuara kritis saat ada pelanggaran bukan tanggung jawab kampus. Kesadaran akan tanggung jawab kampus sebagai penjuru moral bangsa tidak tumbuh dengan baik.

Kampus sudah terlalu sibuk dengan urusan domestik. Energi warga kampus sudah terkuras, untuk beragam aktivitas kejar setoran guna memenuhi banyak indikator capaian, baik individual maupun institusional. Aktivitas ini terkadang penuh cucuran keringat, tetapi minim manfaat bagi kampus.

Atau jangan-jangan memang hal itu disengaja, untuk menguras energi, sehingga kampus dan warganya tidak lagi sempat berpikir dan bersuara kritis? Jika ini benar, aktivisme intelektual kampus dimatikan dengan sistematis dan masif tanpa banyak disadari di kalangan intelektual.

Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, saatnya petinggi dan warga kampus perlu meningkatkan literasi akan tanggung jawabnya dari sumber otoritatif yang variatif. Salah satunya terkait dengan tanggung jawab intelektual publik. Kampus adalah rumah para intelektual ini yang dituntut untuk turut serta memikirkan kondisi republik.

Eksposur informasi

Kalaupun kesadaran akan tanggung jawab intelektual masih ada, keterbatasan eksposur ke informasi belum mampu memantik kampus untuk bersuara.

Informasi terkait dengan pelanggaran yang sampai ke media sering kali sudah tersaring. Potret terkait pelanggaran pun menjadi kabur. Hal ini ditambah dengan narasi tandingan yang sengaja disebar di ruang publik, termasuk dengan melibatkan para pendengung dan warganet yang terkecoh.

Untuk itu, petinggi dan warga kampus perlu keberanian untuk membuka diri terhadap keberagaman informasi. Hanya dengan demikian, kampus tidak seperti katak di dalam tempurung yang abai dengan perkembangan mutakhir di sekitarnya. Pergaulan pun perlu diperluas supaya tidak terjebak pada kamar gema, yang kalis dari wacana alternatif.

Kampus sebagai lokomotif utama masyarakat sipil jadi salah satu tumpuan harapan publik.

Kebenaran tak ditentukan oleh frekuensi paparan informasi yang kita dengar, tonton, atau baca. Kebenaran kadang tersembunyi di dalam informasi yang jarang kita akses karena kanal penyebarannya sering kali dipersempit. Eksposur yang baik terhadap informasi valid akan sangat berperan dalam memantik dan merawat kesadaran yang ujungnya adalah kemauan untuk bersuara.

Kompas moral

Bisa jadi akses informasi sudah baik, tetapi kampus tetap saja diam seribu bahasa. Mengapa demikian? Penjelasan lainnya adalah kompas moral kampus yang soak. Kompas moral yang seperti ini perlu dikalibrasi karena tidak lagi sensitif mendeteksi dan menunjukkan arah dengan benar.

Medan magnet di sekitar kompas moral sudah diganggu. Salah satu caranya adalah dengan sebaran narasi publik yang disetir atau bahkan dimanipulasi oleh para autokrat informasi (Guriev dan Treisman, 2019).

Pelanggaran telah dinormalisasi dengan peraturan yang dalam perumusannya disuntik dengan beragam kepentingan. Demokrasi dikatakan masih baik-baik saja dengan bermacam-macam dalih meski kenyataannya jauh dari itu.

Studi-studi terbaru tentang demokrasi Indonesia menunjukkan bukan saja aspek kemunduran demokrasi, melainkan juga otoritarianisme yang bercorak populis. Logika publik dipermainkan. Kebenaran pun menjadi samar dan sengaja dihancurkan supaya publik mengalami kekaburan dalam melihat kebenaran.

Efek dari operasi ini bisa sangat mengerikan karena kampus bisa saling bersitegang dalam mencari kesepakatan di era pascakebenaran.

Kampus mer(d)eka

Jika kompas moral masih bekerja tetapi kampus tetap tidak bersikap, penjelasan lain dapat diberikan.

Kampus tidak merdeka karena beragam sebab. Sebagian kampus tergantung kepada sumber daya negara dalam operasinya. Hal ini menjadikannya tidak bebas bersuara karena risiko yang bakal mendera. Bahkan, sampai hari ini, kampus dengan ratusan profesor pun masih belum diberi hak secara merdeka memilih pemimpinnya. Tangan kekuasaan pemerintah masih mencengkeram kuat, baik secara terbuka, samar, maupun tersembunyi.

Akibatnya, pemimpin kampus yang terpilih pun tersandera politik utang budi. Suara yang tidak sejalan dengan penguasa, meski jernih, hanya akan tebersit di dalam hati atau tersendat di kerongkongan.

Di sini keberanian kampus untuk bersuara perlu ditumbuhkan dan dikondisikan. Kebebasan akademik tidak sekadar menjadi slogan. Program kampus merdeka yang dalam beberapa tahun terakhir menyita perhatian sama sekali tidak menyentuh aspek ini.

Merdeka hanya sebatas jargon di tengah cengkeraman tangan kekuasaan yang halus dan terbukti membunuh kemerdekaan intelektual.

Bayangkan, mayoritas kaum intelektual di kampus mengalami ketakutan dan kekhawatiran untuk—meminjam pesan salah satu pendiri Universitas Islam Indonesia, Bung Hatta—mengatakan kesalahan kepada penguasa.

Tentu, tanggung jawab moral ini tidak lantas menjadi alasan kampus abai dari kewajiban lainnya, seperti pengajaran, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. Kewarasan kampus harus tetap dijaga dengan semestinya. Jika tidak, kampus merdeka akan berubah menjadi kampus mereka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 23 September 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.



Categories
Pendidikan

Robohnya Kampus Kami

Langit masih berhiasan semburat merah awan selepas Magrib. Saya pun sampai di sebuah kedai kopi. Suasana masih lengang, karena ukurannya yang lumayan besar. Cacah tamu yang datang pun belum banyak. Sebagian orang mungkin masih meneruskan wirid atau menunda makan malamnya.

Tubuh saya arahkan ke salah satu kursi kosong. Saya sampaikan jika menunggu seorang kawan, ketika pelayan menghampiri.

Tak selang lama, kawan saya pun datang. Seperti biasanya, dia mendekat dengan langkah tegap dan senyum merekah. Topi laken fedora setia menutup kepalanya.

Kami pun menjadi kursi yang lebih nyaman. Agak di dalam. Setelah memesan minuman tradisional, kami pun berbincang.

“Mas, gelisah gak, dengan kondisi bangsa saat ini,” tanya seorang kawan. Kami cukup dekat meski mengabdi di kampus yang berbeda.

“Jelas sekali, Mas”, jawab saya.

Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini.

Obrolan pun mengalir menyangkut banyak hal. Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini. Tentu, kami pun merasa bagian dari mereka. Jika pun dianggap tidak benar, paling tidak, nurani kami mengirim sinyal seperti itu. Ada perasaan bersalah yang menghantui.

Kegelisahannya ini sudah lebih dari cukup untuk memproduksi asam lambung dan mengganggu ritme tidur. Sialnya, keberanian yang ditunggu juga tidak kunjung datang. Tulisan ini harus pun menunggu beberapa hari, sebelum saya putuskan untuk dirampungkan.

Kala itu, kami berbagi perspektif dan cerita, tentang apa yang mungkin dilakukan. Kami sadar dengan beragam kekangan dan risiko yang menghadang. Bukan hanya soal personal, tetapi juga gerbong institusi.  

Banyak kawan-kawan yang kami harapkan ternyata sudah terkooptasi dan terbeli. Saya pun tersentak seakan tak terpercaya, sebelum akal sehat saya kembali menyapa. Semuanya ternyata masuk akal dari kacamata pragmatisme.

Meski demikian, kami sepakat untuk menjaga optimisme. Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa. Tulisan ini juga bentuk sapaan terhadap mereka.

Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa.

Kampus kuburan

Obrolan di kedai itu mengingatkan saya kepada cerita seorang dosen senior yang sangat saya hormati. Dalam sebuah kesempatan, Prof Zaini Dahlan, Rektor Universitas Islam Indonesia 1994-2002, gelisah dan berkata, “Kampus kita kok sepi sekali ya, kayak kuburan”.

Komentar tersebut tidak mengarah kepada sepi fisik, tetapi sepi suara intelektual. Kampus di sini pun tidak merujuk kepada bangunan fisik semata, tetapi keseluruhan ekosistem pembentuk perguruan tinggi.

Karenanya, saya sangat senang, jika sebagian dosen masih menyempatkan menulis di kanal media publik untuk merespons berbagai masalah bangsa. Kadang secara personal, gagasan disampaikan. Di lain waktu, pusat studi menyampaikannya secara kolektif.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup. Meski saya yakin, tidak semua orang, termasuk kalangan terpelajar, menganggap budaya menyampaikan pemikiran kritis ini masih penting.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup.

Yang jelas, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan jika suara intelektual kampus sudah sangat jarang terdengar di ruang publik untuk merespons beragam isu dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pekerjaan rumah bangsa dan negara ini masih banyak.

Kita bisa sebut diantaranya, korupsi yang tak kunjung berkurang, kolusi dan nepotisme dalam semua bentuknya, penyalahgunaan kekuasaan yang melawan kepentingan publik, perusakan alam yang dibiarkan, sampai dengan beragam pengelabuan akal sehat publik.

Gelisah yang tersendat

Dalam diskusi terbatas, kegelisahan tersebut kadang muncul. Namun, kerongkongan para intelektual dapat tiba-tiba tersendat, ketika suara kritis hendak dikeluarkan. Ada beragam kemungkinan alasan.

Termasuk di antaranya adalah masalah labirin administratif yang menghantui para dosen dan pimpinan kampus. Tugas-tugas ini sudah menghabiskan banyak energi tanpa tambahan kualitas yang memadai. Meme Dr Strange bertangan banyak sebagai representasi dosen yang terjebak di semesta jamak dengan tugas bejibun, menggambarkan realitas ini.

Selain itu, menyampaikan gagasan di ruang publik pun bukan tanpa risiko. Saya masih simpan jawaban Prof Azyumardi Azra ketika kami mendiskusikan soal ini melalui WhatsApp, sekitar sebulan sebelum beliau wafat. Beliau pun sadar risiko bersuara kritis.

Prof Azra membalas pesan saya:  “Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”

Beragam definisi intelektual dapat ditemukan dalam literatur. Secara sederhana, intelektual adalah mereka yang selain mumpuni secara keilmuan, juga tetap menjaga sensitivitasnya untuk mengendus masalah publik dan meresponsnya.

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik. Ketika berhubungan dengan publik, tugas intelektual menurut Chomsky adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan; memberikan konteks kesejarahan; dan mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang debat. Karena para intelektual mempunyai banyak privilese yang dinikmati, maka tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan kalangan awam kebanyakan.

Saya dan Prof Azra pernah berdiskusi ringan soal isu kebebasan berpendapat kaum, terutama di kalangan intelektual. Pemicunya adalah teror yang diterima salah satu kolega saya, Prof Ni’matul Huda, ketika akan menjadi pembicara sebuah seminar.

Saya masih ingat, saat itu mengutip pendapat Acemoglu dan Robinson (2019) dalam bukunya The Narrow Corridor: “Kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.”

Kita semua tahu, saat ini, tidak semua media kalis dari kooptasi dan tidak semua kelompok masyarakat sipil steril dari intervensi. Namun, ketika intelektualisme di kalangan terpelajar juga memudar, tanpa bermaksud jemawa, gantungan harapan publik akan semakin sirna.

Kita pun menjadi saksi, secara perlahan bangunan intelektualisme tergerogoti beragam sebab dan dalih. Pilar-pilarnya pun menjadi keropos. Tanpa kemunculan kesadaran kolektif kaum intelektual, kampus dalam imajinasi moral pun menunggu waktu untuk roboh.

Semoga tidak!

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 13 November 2023

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS), Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta, Rektor Universitas Islam Indonesia, Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada  eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

 

Categories
Pendidikan

Studi Media dan Komunikasi di Indonesia Stagnan: Perlu Pendekatan Baru

Riset (tahun 2022) menunjukkan bahwa studi komunikasi atau media di Indonesia berada dalam kondisi statis. Penyebabnya, universitas makin menjadi perusahaan bisnis yang mengeksploitasi akademisinya sebagai buruh, alih-alih sebagai intelektual yang otonom. Hal ini diperkuat dengan hasil studi tahun 2022 tentang tata kelola universitas di Indonesia yang condong pada neoliberalisme (persaingan pasar bebas) pendidikan tinggi.

Temuan riset lain juga menyepakati hal ini. Riset tahun 2019 dan 2022), contohnya, menyebutkan bahwa selama beberapa dekade, riset komunikasi tidak beradaptasi dengan perkembangan masyarakat dan tidak melayani kepentingan publik, melainkan menjadi instrumen kekuasaan neoliberal.

Meski sangat penting, kritik pada liberalisasi pendidikan semacam ini umumnya hanya mengarahkan pada solusi perbaikan di level struktur yang bersifat makro, cenderung lebih lama atau bahkan tidak mengubah apa pun.

Riset komunikasi perlu pendekatan baru

Liberalisasi tidak hanya berimbas pada tata kelola universitas, tapi juga pada pengetahuan mengenai komunikasi. Selama beberapa dekade, pengetahuan komunikasi di ruang kuliah di Indonesia didominasi oleh pengertian komunikasi sebagai “transmisi pesan” dan/atau studi yang cenderung terpusat di media (media-sentris), sehingga mempelajari hal yang itu-itu saja.

Sementara, ada pendekatan komunikasi lain, yang hampir tidak pernah dibicarakan padahal dapat menjadi alternatif stagnansi studi komunikasi, yakni pendekatan materialist.

Pendekatan materialist atau nonmedia-sentris adalah pendekatan kritis yang bertujuan menyelidiki bagaimana kapital, sebagai penyebab ketimpangan sosial, menggunakan komunikasi sebagai solusi untuk menyembunyikan ketimpangan tersebut. Pendekatan ini memperluas kajian komunikasi tidak hanya pada pesan atau media, tetapi juga pada objek-objek fisik/material (seperti tubuh, ruang dan benda/komoditas) karena komunikasi didefinisikan sebagai “sirkulasi orang, komoditas, dan modal”.

Yang bermasalah dari pandangan media-sentris

Model transmisi pesan/informasi dalam tulisan ini merujuk pada pengertian dari (John Fiske) pakar media dan ahli teori budaya dari Amerika Serikat (AS) atau (Stephen W. Littlejohn & Karen A. Foss), ahli komunikasi manusia dan retorika dari AS. Mereka menyatakan bahwa dalam model ini, komunikasi dipahami sebagai studi tentang bagaimana proses pengirim dan penerima memaknai pesan, atau bagaimana penggunaan kanal dan media komunikasi.

Model ini terpusat di penggunaan media dan sebenarnya penting untuk menunjukkan kekhasan studi komunikasi, agar berbeda dari disiplin lainnya. Namun, ketika komunikasi hanya didefinisikan dengan cara demikian, komunikasi menjadi stagnan. Lebih jauh, stagnansi ini dapat berimbas pada ketidakmampuan berempati melihat realitas sosial yang timpang.

Contohnya adalah kasus relasi buruh dalam platform ride-hailing (Gojek, Grab, dll) yang sempat menjadi bahasan aktual di hampir semua studi di Indonesia. Jika studi hukum melihat dari sisi hukum, sosiologi berbicara soal organisasi buruh, apa yang dibicarakan oleh kajian komunikasi atau media? Mereka membicarakan kepuasan pelanggan, rebranding, proses kreatif dalam iklan Gojek atau bahkan (nilai kepahlawan dalam iklan Gojek). Jikapun ada artikel yang berusaha berempati pada buruh industri gigs ekonomi ini dalam pemberitaan media Indonesia), ia terbatasi oleh karakter media-sentrisnya dengan hanya menyoroti perlunya agenda pemberitaan buruh platform ride-hailing.

Preferensi topik yang hanya fokus pada masalah transmisi pesan atau media mumunculkan kesan bahwa takdir studi komunikasi adalah pengabdi korporasi. Ini membenarkan kritik James W Carey (tahun 1989), pakar komunikasi AS yang menyebut: “model komunikasi kita, menciptakan kepura-puraan yang tidak jujur pada realitas yang kita gambarkan”.

Apa yang dipelajari dalam pendekatan materialist?

Yves De La Haye, professor komunikasi dari Universitas Grenoble, Prancis, barangkali termasuk yang cukup awal mendeklarasikan pendekatan materialist—sebagai kritik atas pandangan transmisi informasi/media sentris.

Yves de la Haye berupaya mendefinisikan komunikasi/media dengan cara lain. Menurutnya, komunikasi/media bukanlah perkara transmisi informasi belaka, tetapi semua hal (komoditas, orang maupun ide) yang memudahkan mobilisasi, karena dan untuk penguasaan kapital/modal. Komunikasi memudahkan dominasi oleh (pemilik) modal seperti pelumas bagi mesin.

Armand Mattelart, professor ilmu komunikasi dan informasi di Prancis yang mengikuti jejak De la Haye, tak hanya berfokus pada media, tetapi juga jalan, kanal, benteng, perang, sebagai jalan pembentukan masyarakat sebagai organisme sosial untuk memudahkan liberalisasi Eropa dan dunia).

Selain Mattelart, eksponen pendekatan materialist/non media sentris adalah David Morley, professor media, komunikasi dan kajian budaya dari Universitas Goldsmith, Inggris. Morley sendiri mengarahkan riset medianya pada ‘kotak peti kemas’. Ia beralasan bahwa dalam dunia digital, konvergensi dan sistem pengiriman multiplatform hanyalah perluasan dari sistem pengiriman multiplatform yang ada di dunia transportasi semenjak penemuan ‘kotak peti kemas’ pada tahun 1950an.

Jadi, jika dalam studi mengenai platform ride-hailing di Indonesia, pendekatan “transmisi pesan” dan media sentris menganalisis medium/event komunikasi (terutama dari sisi penyedia aplikasi), maka pendekatan materialist atau nonmedia-sentris dapat menganalisis hal-hal material yang dapat menyebabkan komunikasi/mediasi dalam kasus ride-hailing berjalan.

Misal, peneliti komunikasi dapat mempertanyakan apa hubungan kemunculan motor di Indonesia dengan sirkulasi modal dan kondisi transportasi publik dan atau pembangunan perkotaan, serta bagaimana kemudian komunikasi/media berperan mendidik masyarakat Indonesia bahwa mengendarai motor adalah basic life skill sehingga masyarakat dan pemerintahnya mengabaikan transportasi publik.

Contoh lainnya adalah komunikasi pariwisata. Peneliti komunikasi pariwisata mungkin sulit menggunakan konsep branding untuk menganalisis fenomena “ziarah wali” dalam masyarakat kita. Branding mengasumsikan mekanisasi wisata modern dengan aparat teknologi modern, sementara ziarah wali terjadi karena kebudayaan khas lokal.

Pendekatan materialist, barangkali dapat fokus pada bagaimana bunga tabur hadir di tempat ziarah wali, sebagai komoditas ekonomi (pedagang kecil di tempat ziarah) sekaligus sebagai medium yang membentuk sakralitas dalam peristiwa tersebut. Ia juga dapat mempertanyakan mengapa tradisi ziarah mensyaratkan bunga dalam bentuk bunga tabur dan bukan karangan bunga.

Dengan bunga, peneliti komunikasi dapat melihat bagaimana modal dapat bekerja menggerakkan bunga, pedagang, pengelola tempat wisata dan peziarah dalam satu tindakan komunikasi bernama ziarah wali.

Riset komunikasi untuk semua

Dengan pendekatan materialist, pembelajar komunikasi dapat menangkap masalah riil dalam masyarakat. Hal itu dilakukan dengan memperluas area penelitiannya pada subjek-subjek yang diabaikan dalam studi komunikasi selama ini, misalnya pedagang sayur (yang memobilisasi komoditas sayur dari desa ke kota), pedagang jajanan di sekolah-sekolah, petani, nelayan dan seterusnya.

Subjek-subjek ini biasanya dianggap tidak layak diteliti dalam studi komunikasi. Dari 3.757 dokumen penelitian bertajuk ‘strategi komunikasi’ di laman Garuda.kemdikbud, portal karya ilmiah (jurnal) yang dihasilkan oleh akademisi dan peneliti di Indonesia, sebagian besar studi fokus pada lembaga bermodal besar. Dokumen tersebut juga menunjukkan bahwa tak ada riset komunikasi yang menganalisis pedagang tahu bulat, misalnya, meski strategi komunikasi mereka unik.

Dengan demikian, liberalisasi pendidikan dalam studi komunikasi tidak hanya berimbas pada tata kelola, tetapi juga pengetahuan dalam studi komunikasi. Definisi komunikasi selama ini telah ditata sedemikian rupa untuk mengabaikan mereka yang tidak bermodal besar dan terpinggirkan.

Menggunakan pendekatan materialist dalam studi komunikasi tidak hanya menjamin keragaman penelitian agar tidak itu-itu saja, tetapi sekaligus menjawab kritik James W. Carey, bahwa studi mengenai fenomena komunikasi dan media bukanlah kepura-puraan belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 19 April 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Bidang riset pada sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

 

 

Categories
Pendidikan

Memudarnya Semangat Universus Kampus

Universitas kian kehilangan semangat universus-nya. Kampus kian terfragmentasi dan eksklusif.

Setiap 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Namun, dalam ingar-bingar seremoni dan slogan, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah universitas-yang semestinya menjadi mercusuar akal dan nurani—masih setia pada jiwanya?

Dari akar bahasanya, universitas berasal dari kata Latin, yaitu universus, yang berarti “menyeluruh” atau “utuh.” Dalam semangat itulah, universitas sejak abad pertengahan dimaknai sebagai rumah besar ilmu pengetahuan: tempat cabang-cabang ilmu saling bertemu dalam semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.

Namun, dalam praktik hari ini, semangat universus di universitas justru memudar. Banyak kampus di Indonesia mengalami fragmentasi kelembagaan, bukan penyatuan. Salah satu gejala ini terlihat dari nama-nama fakultas yang tak hanya menandai bidang keahlian, tapi juga menjadi simbol identitas eksklusif lengkap dengan pagar epistemik yang semakin tinggi. Di Indonesia, fakultas terkesan lebih mirip benteng disipliner ketimbang wadah kolaborasi.

Padahal fakultas semestinya menjadi ruang temu gagasan, tempat ilmu saling bersilang. Namun yang terlihat kini sebaliknya: ilmu dikurung dalam menara eksklusif dan para penjaganya terkecoh, sibuk menjaga ego disiplin.

Pierre Bourdieu dalam Homo Academicus (1984) menyebut hal ini sebagai bentuk illusio: keterpukauan akademikus terhadap permainan simbolik dunia mereka sendiri hingga lupa bahwa ilmu bukan sekadar pengakuan internal, melainkan tanggung jawab eksternal. Ego disiplin membuat kita merasa cukup dengan menjadi ahli, padahal dunia menuntut lebih dari sekadar kepakaran : ia butuh keterlibatan, keberpihakan, dan tindakan nvata untuk mendorong perubahan sosial.

Salah satu wajah ego ini terlihat dari cara kita memandang disiplin lain. Tidak jarang kita mendengar komentar sinis terhadap bidang yang dianggap “tak ilmiah”, “kurang metodologis”, atau “tidak laku di pasar.” Ironisnya, penilaian ini sering datang dari keengganan mempelajari dan memahami disiplin lain.

Akibatnya, ruang kolaborasi menjadi sempit, diskusi antardisiplin terhambat, dan mahasiswa tumbuh dalam lingkungan yang miskin koneksi lintas gagasan. C.P. Snow pernah memperingatkan lewat pidato terkenalnya, The Two Cultures (1959), bahwa jurang antara ilmu alam dan humaniora menciptakan krisis budaya modern karena keduanya berhenti saling berbicara. Apa yang terjadi di kampus hari ini adalah versi baru dari krisis itu dan diperparah oleh keangkuhan keilmuan yang semakin terlembaga.

Situasi semakin parah saat ego ini berpilin dengan logika pasar. Ketika kampus dijalankan seperti pabrik dan program studi dilihat sebagai jalur produksi, nilai-nilai luhur pendidikan tinggi tergantikan oleh retorika efisiensi serta manfaat ekonomi. Banyak program studi merasa cukup hanya karena lulusannya cepat bekerja. Mereka merasa berhasil karena “disiplin” mereka laku di pasar tanpa pernah bertanya: apakah mereka telah mendidik mahasiswanya menjadi manusia yang berpikir? Apakah mereka berhasil mencetak calon pemimpin yang memahami tantangan kemanusiaan dan kebangsaan?

Dalam jeratan logika pasar pula sistem pemeringkatan kampus dunia memperparah fragmentasi ilmu. Dengan menjadikan publikasi dan reputasi keilmuan sebagai tolok ukur utama, khususnya pemeringkatan berbasis rumpun keilmuan, banyak kampus justru memperkuat sekat antardisiplin. Alih-alih mendorong kolaborasi, pemeringkatan ini mendorong persaingan dalam ruang sempit dan memperkokoh menara gading masing-masing.

Lebih ironis lagi, reputasi institusi kini kian bergantung pada publikasi jurnal internasional bereputasi yang aksesnya sering tertutup dan berbayar. Pertanyaannya: berapa persen masyarakat dunia yang punya akses ke jurnal-jurnal tersebut? Siapa pembaca dari pengetahuan “berkelas dunia” ini? Tak berlebihan untuk menduga keras bahwa sebagian besar pembacanya adalah akademikus itu sendiri. Ilmu pun tereduksi menjadi komoditas yang menaikkan gengsi institusi dan karier, tapi abai terhadap problem rakyat di luar pagar kampus.

Sheila Slaughter dan Gary Rhoades dalam Academic Capitalism (2004) menunjukkan bagaimana kampus tunduk pada logika pasar, dari struktur pembiayaan, orientasi riset, hingga cara pandang terhadap mahasiswa. Fenomena ini juga tampak dari semakin menguatnya kecenderungan menjadikan gelar dan reputasi sebagai tujuan semu, yang pada akhirnya merusak makna sejati pendidikan tinggi.

Pendidikan tinggi disempitkan menjadi alat produksi tenaga kerja, bukan ruang refleksi dan pembentukan karakter. Ketika tren ini terjadi bersamaan dengan menguatnya ego disiplin, keangkuhan sektoral menjadi kian tebal dan sulit ditembus.

Konsekuensinya? Kampus semakin terasa asing bagi masyarakat. Mahasiswa kehilangan makna belajar-ia dibentuk menjadi teknokrat yang cakap bekerja, tapi miskin kepekaan dan keberpihakan. Ilmu kehilangan daya hidup sosialnya karena disajikan dalam potongan kaku yang kehilangan konteks.

Bill Readings dalam The University in Ruins (1996) telah membunyikan alarm bahwa universitas telah kehilangan proyek kebudayaannya. Kampus tidak tahu lagi untuk apa ia ada, kecuali sekadar menjadi “excellent”, sebuah istilah abstrak yang kerap justru mengecoh karena excellence kini diukur dari angka-angka administratif, bukan dari dampak sosial.

Pada momen Hari Pendidikan Nasional, kita diingatkan kembali pada pesan Ki Hadjar Dewantara: bahwa pendidikan harus memerdekakan, bukan menyeragamkan. Karena itu, universitas pun harus kembali menjadi ruang merdeka bagi ilmu untuk bertemu, bukan terpecah.

Bagaimanapun, situasi ini bukan akhir segalanya. Masih ada harapan asalkan para akademikus berani bersikap jujur, rendah hati, dan membuka diri. Sudah saatnya kampus membongkar ego disiplin dan mengakui bahwa tak satu pun disiplin cukup untuk memahami dunia yang terus berubah. Kolaborasi bukan ancaman, tapi keniscayaan.

Ronald Barnett dalam Higher Education: A Critical Business (1997) mengajak kita melihat kampus sebagai ruang reflektif dan kritis, bukan sekadar tempat distribusi pengetahuan. Akademikus bukan sekadar pengumpul gelar dan publikasi, tapi juga berperan sebagai penjaga akal sehat publik.

Kita harus kembali ke misi luhur pendidikan tinggi: membentuk manusia yang seutuhnya. Bukan hanya siap kerja, tapi juga siap berpikir. Bukan hanya laku di pasar, tapi juga mampu memperjuangkan nilai. Misi ini hanya mungkin terwujud jika kita bangun dari tidur panjang keangkuhan sektoral dan membuka ruang bagi pertemuan antardisiplin.

Sejumlah universitas di Inggris dan Australia mulai merombak struktur fakultas mereka dari yang terfragmentasi menjadi lintas bidang. Mereka sadar bahwa masa depan pendidikan tinggi tak bisa berdiri di atas menara-menara ego disiplin. Maka, pertanyaannya: apakah kampus-kampus di Indonesia siap meretas jalan dari pagar sektoral menuju ruang interdisiplin?

Jika universitas ingin bermakna, universus harus kembali menjadi jiwanya. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 5 Mei 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Pendidikan

Dosen adalah Buruh: Pengakuan Ini adalah Langkah Pertama dalam Memperjuangkan Kesejahteraan Akademisi

Pemberlakuan Peraturan Menteri (Permen) Pendayagunaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023 untuk memusatkan dan menyederhanakan pengelolaan jabatan fungsional Aparatur Sipil Negara (ASN), menuai sorotan publik–terutama kalangan dosen.

Di antara berbagai pro dan kontra yang terjadi akibat aturan ini, muncul satu perdebatan menarik terkait status ketenagakerjaan dosen di Indonesia.

Sebagian pihak mengkhawatirkan dosen yang kini berfokus menjalankan tugas administratif. Bahkan, belum lama ini dosen sempat dibuat kalang kabut menyelesaikan penyesuaian angka kredit untuk memenuhi aturan baru ini–di tengah segudang beban administratif lain yang sebelumnya sudah menjadi kewajiban mereka.

Dengan kata lain, usaha meneguhkan dosen sebagai “manusia birokrasi” dianggap langkah yang salah karena seolah menempatkan mereka sebagai buruh.

Melalui artikel ini, kami ingin mengajak komunitas akademik untuk berefleksi: Benarkah dosen bukan buruh? Apakah tepat jika kita geram apabila pengelolaan kampus disamakan dengan lembaga politik atau korporasi? Bagaimana komunitas akademik perlu menyikapinya?

Dosen: buruh atau bukan?
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pekerja/buruh sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Aturan ketenagakerjaan di Indonesia menjamin perlindungan pekerja/buruh. Dalam istilah hukum ketenagakerjaan, hal ini kerap kita sebut “socialisering process” (vermaatschappelijking). Istilah ini adalah serapan dari bahasa Belanda yang merujuk pada campur tangan pemerintah dalam relasi kerja demi melindungi pekerja/buruh.

Di sini, pekerja/buruh adalah pihak yang dianggap lemah dalam hubungan kerja–pola relasinya terbentuk berdasarkan perjanjian kerja. Perjanjian kerja memberikan kewenangan (kuasa) pada pemberi kerja dalam bentuk perintah, sehingga membuat kedudukan kedua pihak menjadi tidak seimbang.

Apakah dosen memenuhi gambaran di atas?

Berdasarkan relasi kerja mereka dengan institusi pendidikan tempat mereka bernaung (pemberi kerja), jawabannya jelas: iya.

Pertama, dosen bekerja pada sebuah perguruan tinggi dan memiliki kewajiban-kewajiban yang diberikan oleh institusi. Dosen juga memperoleh hak menerima upah atas pekerjaan yang telah ditunaikan. Hak dan kewajiban ini dituangkan dalam perjanjian kerja yang mendasari hubungan antara institusi pendidikan sebagai pemberi kerja dan dosen sebagai pekerja/buruh.

Dosen wajib melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat. Tiga hal ini merupakan indikator kinerja atau prestasi dalam sebuah perjanjian kerja yang wajib mereka tunaikan.

Hal ini sama halnya dengan pekerja/buruh lainnya di sektor formal yang berkewajiban bekerja di bidang masing-masing sesuai yang tercantum dalam perjanjian kerja.

Keduanya berada di posisi yang sama: melaksanakan prestasi, mendapatkan kontraprestasi, dan berhak atas perlindungan yang sama dari regulasi ketenagakerjaan di Indonesia.

Kedua, status dosen sebagai buruh/pekerja juga terlihat dari mekanisme penyelesaian apabila dosen mengalami perselisihan ketenagakerjaan.

Perjanjian kerja memuat tiga unsur: pekerjaan, upah, dan perintah. Dalam praktiknya, masalah upah–termasuk yang dialami dosen–paling banyak muncul dan diselesaikan dengan mekanisme Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI).

Masalah upah yang bisa saja terjadi, misalnya, ketika institusi pendidikan tidak membayarkan upah kepada dosen.

Hal itu menunjukkan pengakuan secara hukum bahwa perikatan antara institusi pendidikan dan dosen adalah suatu hubungan kerja, antara pemberi kerja dan buruh/pekerja. Perikatan ini berhak dilindungi oleh regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Minim kesadaran kolektif
Sayangnya, kesadaran kolektif mengenai definisi buruh di Indonesia masih terbatas dan diwarnai stereotip. Buruh sering dikaitkan dengan pekerja kerah biru yang pekerjaannya terkait “tenaga jasmani”, seputar “pertukangan”, maupun “buruh pabrik”.

Padahal, apapun profesi dan sektor industrinya, sejauh terdapat hubungan relasi kuasa antara pemilik modal dan pekerja, maka secara substansi pekerja tersebut adalah buruh.

Kesalahpahaman inilah yang menjadi salah satu penyebab mengapa literasi masyarakat mengenai buruh di Indonesia masih sangat terbatas. Dalam peringatan Hari Buruh, kebanyakan demonstrasi yang muncul sepi dari suara pekerja kerah putih dan jauh dari perhatian kebanyakan akademisi Indonesia.

Penempatan dosen sebagai bagian dari kelompok buruh penting untuk mengadvokasi dan meluruskan berbagai norma dalam regulasi pemerintah yang masih belum secara tegas melindungi dan berpihak pada kesejahteraan dosen.

Dosen, kampus, dan transformasi struktural
Pendekatan pemerintah Indonesia dalam pengembangan mutu dan sumber daya pendidikan tinggi sudah sewajarnya mendapatkan umpan balik dari seluruh pemangku kepentingan. Permen PAN-RB Nomor 1 Tahun 2023, misalnya, dianggap berpotensi menambah kompleksitas birokrasi dan memperkeruh kepastian karier dosen, sehingga patut dikritik.

Namun, kritik tersebut tak semestinya melenceng sampai menganggap bahwa penyamaan dosen sebagai buruh sama dengan merendahkan martabat mereka.

Misalnya, apakah betul dosen memiliki karakteristik profesi yang lebih mulia dibanding pekerja pada umumnya?

Pembedaan status kampus sebagai lembaga khusus yang berbeda dibanding korporasi, jika tidak cermat dalam memahaminya, justru dapat menjebak kampus dalam menara gading yang abai dengan perubahan sosial.

Birokratisasi kampus yang terjadi saat ini, selain merupakan warisan era penjajahan, sebenarnya lebih tepat kita lihat sebagai dampak atas transformasi struktural di tingkat global yang membuat kampus bergerak dengan logika kompetisi ala korporasi dan mengejar predikat kelas dunia.

Transformasi itu dimulai sejak munculnya perubahan paradigma dalam memahami peran perguruan tinggi seiring globalisasi ekonomi yang terjadi pada dekade 1960-an.

Sebelumnya, kampus dianggap sebagai aktor utama yang berperan mengembangkan pengetahuan. Riset cenderung berbasis pengabdian sosial dan lebih banyak didorong oleh semangat kebaruan ilmu pengetahuan.

Kini, dunia terjerat dalam sistem kapitalisme neoliberal–yang menekankan kompetisi pasar bebas dan transfer wewenang dari sektor publik ke sektor swasta dalam mengendalikan perekonomian. Akibatnya, eksistensi kampus ikut terseret ke dalam perangkap mekanisme pasar.

Kampus berubah menjadi korporasi pengetahuan dan membuat mutu riset lebih banyak diukur dari keberhasilan komersialisasi dan publikasi berbasis angka.

Kriteria mutu staf akademik juga berubah: dari kinerja yang berfokus pada pengajaran atau riset, ke kriteria profesionalisme akademik yang lebih universal dan komersial.

Universalisasi, misalnya, terlihat dari bagaimana indeksasi jurnal – seperti Scopus – mendikte persepsi mengenai mutu artikel ilmiah. Sementara, komersialisasi membuat akademisi dipacu untuk berkontribusi terhadap inovasi negara melalui paten. Semakin banyak jumlah paten, peringkat universitas di tataran global pun semakin terdongkrak.

Dampaknya, kampus menjadi kian hierarkis–layaknya tangga korporasi–sehingga menghilangkan semangat kolegialitas (menekankan solidaritas sesama pengajar). Dosen juga menghadapi beban birokrasi yang masif.

Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Riset menunjukkan bahwa birokratisasi kampus sebenarnya adalah tren global yang tengah terjadi di berbagai negara, termasuk di kawasan Eropa dan Australia. Kampus menjadi lembaga yang semakin birokratis, tidak lagi kolegial dalam proses pembuatan kebijakan.

Transformasi struktural ini juga berhasil mengubah model sistem penghargaan akademik dari kedalaman kepakaran dosen menjadi prestasi dosen berbasis metrik.

Pemeringkatan kampus dunia menjadi puncak komersialisasi kampus. Mutu dan peringkat pendidikan tinggi akhirnya sekadar berkiblat pada model-model perguruan tinggi di negara maju.

Saat kampus terjerat mekanisme pasar, peran dosen menjadi semakin kering. Fungsi dosen sebagai pembentuk karakter generasi tidak lagi diukur. Demi peringkat, dosen dipaksa produktif menghasilkan publikasi “bereputasi”–bahkan terkadang membuat mereka melakukan praktik buruk dan mengambil jalan pintas.

Desain ketenagakerjaan dosen semakin dibatasi dengan aturan karier dan performa kinerja yang semakin berbasis metrik, administratif, dan menjauhi substansi akademik.

Sebagai buruh, dosen perlu lebih awas terhadap isu ketenagakerjaan yang timbul akibat dinamika di atas.

Birokrasi memang punya sejumlah manfaat, tapi dosen juga tetap harus kritis mengawalnya agar efisien. Pasalnya, banyak perguruan tinggi yang menerapkan berbagai kewajiban administrasi sehingga mengganggu tanggung jawab utama dosen, yakni aktivitas akademik dan riset.

Untuk mengawal hal-hal ini, sekaligus melindungi nasib dosen secara kolektif, serikat pekerja kampus di Indonesia perlu kita tumbuhkan. Di dalamnya bisa termasuk serikat dosen dan tenaga kependidikan. Semakin banyak serikat pekerja kampus, semakin bagus.

Selama ini organisasi dosen lebih didorong oleh kesamaan rumpun ilmu dan minat pengembangan akademik. Kini, tiba waktunya warga kampus membangun kanal negosiasi kolektif dengan berserikat guna melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 01 Mei 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Pendidikan

Dilema Karier Akademik Dosen

Permendikbudristek No 44/2024 memberi harapan sekaligus memicu kekhawatiran. Permen ini tak menyinggung aspek dasar yang melekat pada dosen sebagai kaum intelektual.

Perdebatan soal karier, jabatan akademik, kehormatan, dan etika akademik dosen menjadi sorotan publik dan secara berkesinambungan dimuat harian Kompas dalam hampir satu tahun terakhir. Keadaan ini selaras dengan pemberitaan buruk yang juga terus muncul, berkenaan krisis reputasi dosen dan perguruan tinggi, misalnya yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Pemicunya beragam, sejak kebijakan pemerintah yang cenderung berubah-ubah, aksi politisasi jabatan akademik dan praktik buruk pelanggaran etik berjemaah dalam publikasi ilmiah di jurnal. Terbaru, terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen.

Bagaimana kita memahami ketentuan tersebut? Apakah ketentuan tersebut menjawab kompleksitas permasalahan yang melanda dosen selaku kaum akademik di Indonesia?

Empat masalah
Pasca-1998, profesi dosen dan perguruan tinggi sebagai institusi yang menaunginya menghadapi dilema oleh beragam kepentingan yang saling bertolak belakang. Kepentingan itu berkelindan di antara tiga arus besar.

Pertama, hasrat menempatkan perguruan tinggi sebagai aparatus negara dan karena itu para profesional di dalamnya adalah ’birokrat’, penyambung lidah kebijakan pemerintah melalui kerja riset, pengajaran dan publikasi.

Kedua, menjadikan perguruan tinggi sebagai korporasi komersial yang menempatkan dosen sebagai profesional akademis, seperti halnya profesi di dunia bisnis lainnya. Ketiga, upaya menjaga marwah dosen dan perguruan tinggi sebagai lembaga sosial yang mengedepankan tradisi ilmiah secara otonom, tradisi kritis dan berpihak kepada kaum tertindas.

Dalam 25 tahun terakhir, tarikan ke arus pertama dan kedua cenderung lebih menguat.

Pada kompleksitas beragam tarikan itu, perguruan tinggi termasuk dosen menghadapi empat masalah struktural yang tidak pernah terselesaikan menyeluruh oleh setiap pergantian pejabat kementerian.

Pertama, pengendalian administrasi kepegawaian dan kinerja oleh/dari pemerintah yang memicu birokrasi panjang, baik dalam karier akademik maupun pemberian remunerasi. Situasi ini diperparah oleh aksi politisasi jabatan akademik melalui gelar profesor kehormatan yang sangat melukai dosen karier.

Kedua, penegasan ukuran kinerja akademik pada luaran publikasi dan atau peringkat yang dikonstruksi sebagai ambisi menuju perguruan tinggi kelas dunia, target yang ingin dicapai pemerintah atas nama daya saing pasar global pendidikan tinggi.

Ketiga, isu klasik krisis keuangan perguruan tinggi dan krisis kemampuan pemerintah memberikan penghargaan finansial terhadap profesi dosen. Profesi dosen yang melekat di dalamnya mandat ilmiah, intelektualitas, dan moralitas publik menjadi terjun bebas setara profesi sosial biasa karena penghargaan finansial yang tidak layak.

Keempat dan ini problem paling mendasar, menguatnya represi atas otonomi akademik, kebebasan berekspresi dosen atas berbagai pelanggaran prinsip demokrasi bernegara.

Jati diri dosen sebagai kaum intelektual, aktivis sosial, dan afirmasi perguruan tinggi sebagai elemen masyarakat sipil makin terpinggirkan.

Dalam 10 tahun terakhir, orientasi kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi semakin menguat, antara lain memindah model intervensi negara kepada mekanisme pasar terbuka dalam manajemen PTN.

Dalam konteks ini, pola pikir profesi dosen kian mengacu pada jati diri sebagai ’profesional’ pengajar, peneliti, dan penghasil karya publikasi/paten ilmiah, yang muaranya pada inovasi pasar, daya saing pengetahuan sebagai komoditas global. Jati diri dosen sebagai kaum intelektual, aktivis sosial, dan afirmasi perguruan tinggi sebagai elemen masyarakat sipil makin terpinggirkan.

Keadaan ini terbukti, misalnya, ketika pemerintah cenderung merespons isu pragmatis soal gaji rendah, mendorong otonomi keuangan kampus melalui pengembangan unit usaha, mengurangi subsidi, dan sebagainya. Akibatnya, perguruan tinggi makin sibuk mengeksploitasi sumber daya mahasiswa, dosen, dan sebagainya, untuk usaha kemandirian ekonomi, mengabaikan dimensi otonomi ilmiah akademik.

Permendikbudristek No 44/2024
Keluarnya Permendikbudristek No 44/2024 memberi harapan penyelesaian sejumlah isu di atas sekaligus memicu kekhawatiran dalam jangka panjang. Harapan perbaikan patut disematkan kepada kebijakan penyederhanaan status dan pemisahan tugas sebagai dosen tetap dan dosen tidak tetap, tugas dosen pengajar dengan dosen birokrat kampus, seperti rektor/dekan, dan seterusnya.

Kebijakan ini menutup peluang beragam status dosen pada kebijakan sebelumnya yang membingungkan, termasuk peluang adanya dosen/guru besar kehormatan yang tanpa disertai kinerja akademik terstruktur.

Harapan baik juga tersirat dari pemberian otonomi kampus untuk mengajukan promosi dan demosi dosen, termasuk memberi jabatan akademik profesor bagi dosen tanpa lewat birokrasi pemerintah. Kisruh administrasi proses pengajuan jabatan akademik dan mafianya dapat berkurang.

Terakhir, penetapan kebijakan gaji minimum dosen setara upah minimum regional (UMR) akan memberikan apresiasi dan kepercayaan diri sekaligus menjadikannya sebagai profesi yang layak secara ekonomi.

Namun, kekhawatiran muncul karena beragam harapan di atas hanya berpijak pada cara pandang liberalistik atas dosen dan perguruan tinggi, bukan cara pandang publik. Permen juga masih disertai ketentuan yang menempatkan pemerintah selaku pembuat standar minimalnya. Adapun perguruan tinggi (sepanjang dianggap telah memadai) hanyalah aktor pelaksana kebijakan karier dan profesionalisme dosen.

Lebih jauh, permen sama sekali tidak menyinggung aspek dasar yang melekat pada dosen sebagai kaum intelektual, yaitu jaminan hak kebebasan berekspresi khususnya dari tekanan politik. Jaminan kebebasan akademik menjadi elementer mengingat dosen adalah figur akademis yang memiliki mandat perbaikan struktur sosial dan politik melalui kritik ilmiah.

Konstruksi berpikir permendikbudristek masih mengundang dilema moralitas antara dosen sebagai profesi yang harus sejahtera dan/atau merdeka. Untuk itu, diperlukan regulasi lebih lanjut yang melengkapi, memberi perlindungan intelektualitas, agar dosen sebagai masyarakat sipil senantiasa bersikap kritis untuk menjaga demokrasi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 19 Desember 2024

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.