Categories
Ekonomi

Inflasi Akhir Tahun

Berdasarkan data historis, setiap akhir tahun terjadi kenaikan inflasi musiman. Kenaikan tersebut disebabkan oleh lonjakan permintaan dari kunjungan wisatawan yang menikmati liburan Natal dan Tahun Baru. Pada tahun 2023, setidaknya 800 ribu wisatawan telah melewatkan liburan akhir tahunnya di DIY. Tahun ini diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 6 persen. Keberadaan wisatawan ini akan mendorong peningkatan permintaan konsumsi secara signifikan sehingga memberikan potensi tekanan inflasi pada akhir tahun.

Inflasi yang tidak terkendali berdampak buruk pada stabilitas harga-harga kebutuhan pokok masyarakat sehingga berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Menjelang periode akhir tahun, inflasi terjaga dengan baik dan masih berada pada rentang inflasi yang ditargetkan oleh Pemda dan Bank Indonesia DIY yaitu 2.5 ± 1%.

Inflasi pada Bulan Oktober 2024 menunjukkan angka yang terkendali yaitu sebesar 0.09% (month to month). Sedangkan inflasi tahunan mencapai 1.57% (year on year) lebih rendah daripada inflasi nasional. Kelompok pengeluaran seperti Perawatan Pribadi dan Jasa Lainya; Makanan, Minuman, dan Tembakau; serta Penyediaan Makanan dan Minuman/Restoran memberikan andil kenaikan inflasi pada bulan tersebut.

Terkendalinya inflasi pada Bulan Oktober diharapkan dapat terus berlangsung sampai periode Natal dan pergantian tahun 2024/2025 mendatang. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) DIY dapat menempuh beberapa langkah kebijakan terutama pengelolaan dari sisi penawaran perekonomian (supply), baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam jangka pendek, pemerintah daerah harus menjamin ketersediaan pasokan bahan-bahan kebutuhan pokok makanan dalam jumlah yang cukup dan aman untuk mengokomodasi lonjakan permintaan wisatawan. Melalui bantuan teknologi informasi, langkah ini dapat ditempuh melalui pemantauan perkembangan neraca pangan dan harga komoditas utama secara reguler, serta koordinasi dan komunikasi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan seperti para pemasok utama dan pemerintah daerah lainnya.

Pengelolaan ekspektasi masyarakat, baik konsumen maupun produsen, terhadap potensi inflasi melalui edukasi dan transparansi informasi terkait dengan perkembangan pasokan dan harga dapat membantu pemerintah dalam mengendalikan inflasi akhir tahun. Pengkondisian jalur-jalur distribusi logistik utama juga sangat penting karena potensi kepadatan lalu lintas yang melonjak tajam dapat mengganggu kelancaran arus distribusi barang sampai pada konsumen akhir.

Dinas Perhubungan memperkirakan setidaknya 400 – 500 ribu kendaraan akan keluar dan masuk ke DIY selama periode musim liburan akhir tahun nanti. Selain itu, potensi curah hujan yang cukup tinggi di akhir tahun juga memiliki resiko tersendiri seperti banjir, tanah longsor dan kegagalan panen. Pemda harus mengantisipasinya dengan meyiapkan skenario mitigasi terhadap gangguan kemacetan maupun resiko bencana alam.

Upaya pengendalian inflasi di DIY masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup besar mengingat upaya pengendalian inflasi selama ini masih fokus pada target-target pengendalian harga dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang pemerintah daerah harus tetap mengupayakan kemandirian pangan dan hilirisasi sektor-sektor pertanian tanaman pangan dan berbagai komoditas turunannya. Disamping dapat mengurangi ketergantungan pada daerah lain dan menjamin ketersediaan bahan-bahan pokok makanan di tingkat lokal daerah, hilirisasi juga dapat menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja baru sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat.

Selain itu kebijakan pengaturan pola musim tanam terutama pada komoditas pertanian tanaman pangan utama harus terus disosialisasikan dan diterapkan untuk menghindari adanya kelebihan persediaan (over supply) yang cenderung merugikan produsen/petani. Sebaliknya kelangkaan (shortage) yang menyebabkan inflasi dan cenderung merugikan konsumen.

Pengelolaan inflasi yang teritegratif baik dalam jangka pendek dan panjang masyarakat berharap momentum lonjakan kedatangan wisatawan di akhir tahun nantinya tidak menimbulkan gejolak inflasi yang merugikan. Tingkat inflasi daerah diharapkan tetap terkendali dan terjaga sehingga tidak hanya melindungi daya beli masyarakat akan tetapi juga memberikan insentif kepada produsen untuk terus berusaha meningkatkan produksinya. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 8 Desember 2024

Rokhedi Priyo Santoso
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII. Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta.

Categories
Ekonomi Islam Sosial Budaya

Daftar Gelap Produk Israel dan Persaingan Bisnis

Hingga saat ini, himbauan dan gerakan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel terus bergulir. Gerakan ini tidak hanya berakar pada solidaritas kemanusiaan, tetapi juga membawa dimensi ekonomi yang luas. Boikot produk terkait Israel dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian, terutama jika dilakukan secara konsisten dan berjangka panjang. Dalam jangka pendek, dampaknya mungkin terbatas dan tidak langsung memengaruhi perekonomian secara makro. Namun, jika aksi boikot berlangsung selama satu kuartal atau lebih, efek ekonomi yang lebih besar akan mulai dirasakan.

Sayangnya, hingga saat ini, aturan yang jelas dan terstruktur mengenai boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel belum muncul. Dalam situasi ini, peran pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah perlu memberikan arahan tegas terkait produk apa saja yang masuk dalam daftar boikot, alasan di balik pemboikotan, dan bagaimana mekanisme pemboikotannya dijalankan. Boikot adalah tindakan sukarela, bukan paksaan. Walaupun ada himbauan untuk memboikot, masyarakat tetap memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan berpartisipasi atau tidak. Namun, ketidakjelasan aturan dapat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan, terutama di sektor bisnis.

Aksi boikot yang tidak terkoordinasi dengan baik dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Ada kemungkinan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini untuk menyerang pesaingnya. Misalnya, mereka dapat memasukkan produk kompetitor ke dalam daftar produk yang diboikot dengan alasan yang tidak berdasar. Situasi semacam ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga mencederai prinsip persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, kehadiran negara atau pemerintah untuk mengawasi dan mengatur aksi boikot menjadi sangat penting.

Aksi Boikot Seringkali Tidak Tepat Sasaran

Meski demikian, langkah boikot ini kemungkinan besar tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Israel. Bahkan jika boikot berlangsung secara meluas, kecil kemungkinannya untuk membuat ekonomi Israel runtuh. Sebaliknya, dampak negatifnya justru lebih terasa di dalam negeri, khususnya bagi perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang terpengaruh oleh boikot mungkin akan mengalami penurunan pendapatan, yang pada akhirnya dapat memaksa mereka untuk mengurangi jumlah karyawan atau bahkan melakukan PHK massal. Ini menjadi alasan utama mengapa pemerintah perlu hadir untuk memberikan arahan yang jelas dan mencegah efek domino yang merugikan.

Aksi boikot ini juga sering kali tidak tepat sasaran. Sebagian besar produk yang diboikot sebenarnya bukan langsung diproduksi oleh Israel, melainkan oleh perusahaan multinasional yang memiliki jaringan global. Di Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi tenaga kerja yang besar, dampak boikot ini justru dapat dirasakan secara langsung oleh sektor tenaga kerja. Banyak perusahaan lokal yang terkena dampak secara tidak langsung, sehingga masyarakat perlu lebih jeli dan bijaksana dalam memilih produk untuk diboikot. Sasaran utama dari aksi boikot harus dipastikan tercapai tanpa menimbulkan kerugian yang tidak perlu pada masyarakat lokal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa boikot produk pro-Israel telah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu efeknya adalah perubahan pola konsumsi masyarakat, di mana banyak konsumen yang beralih dari produk impor ke produk lokal. Meskipun ini terlihat sebagai peluang untuk mendukung produk dalam negeri, kenyataannya dampak lain yang muncul adalah penurunan investasi dari luar negeri dan berkurangnya produktivitas di sektor-sektor tertentu. Selain itu, aksi boikot ini juga memengaruhi bisnis lokal yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa daftar produk yang diboikot sering kali tidak diverifikasi dengan baik, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang tidak seharusnya terlibat.

Dampak Boikot Terhadap Ekonomi Nasional

Dampak langsung dari aksi boikot juga terasa di sektor ritel dan restoran. Penurunan penjualan hingga 40% dilaporkan oleh beberapa pelaku usaha di sektor ini. Hal ini berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja massal, yang tentu saja berdampak buruk bagi tenaga kerja lokal. Meskipun pemerintah Indonesia tidak secara resmi mengeluarkan kebijakan boikot terhadap produk Israel, gerakan boikot yang dilakukan oleh masyarakat tetap memengaruhi banyak perusahaan lokal yang sebenarnya tidak terafiliasi dengan Israel.

Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatur aksi boikot menjadi sangat penting untuk mencegah efek domino yang merugikan. Tanpa regulasi yang jelas, daftar produk yang diduga terafiliasi dengan Israel hanya akan menjadi “daftar gelap” yang membuka peluang untuk penyalahgunaan. Pemerintah harus menyediakan pedoman yang objektif dan berbasis data, sehingga aksi boikot dapat dilakukan secara tepat sasaran. Selain itu, masyarakat juga perlu mengambil langkah rasional dalam memutuskan apakah suatu produk layak diboikot atau tidak.

Aksi boikot tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga etika. Dalam perspektif bisnis, pemboikotan yang tidak terarah dapat menciptakan ketegangan dalam persaingan usaha. Di sisi lain, dari sudut pandang sosial, aksi boikot mencerminkan kepedulian terhadap isu global, seperti pelanggaran hak asasi manusia. Namun, kepedulian ini harus disertai dengan pemahaman yang komprehensif agar tidak menciptakan masalah baru di tingkat lokal.

Penutup

Kesimpulannya, aksi boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi dengan Israel harus dilaksanakan dengan hati-hati dan berdasarkan data yang akurat. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur dan mengawasi aksi ini agar tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu. Masyarakat juga perlu lebih kritis dan bijaksana dalam menyikapi himbauan boikot, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian lokal dan tenaga kerja. Dengan pendekatan yang tepat, aksi boikot dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung keadilan global tanpa merugikan kepentingan domestik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 November 2024

Yusdani
Guru Besar Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Pengurus Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM). Pengurus ICMI Kabupaten Sleman. Bidang riset pada studi Islam. 

Categories
Ekonomi Islam

Peran Strategis Bank Syariah Wujudkan Ekosistem Halal

Bank syariah sering kali hanya dipahami sebagai lembaga keuangan yang mengganti bunga dengan prinsip bagi hasil atau akad syariah. Padahal, bank syariah seharusnya berperan lebih dari sekadar lembaga komersial, tetapi juga sebagai agen perubahan dalam mewujudkan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Contohnya, Grameen Bank di Bangladesh telah sukses menjadi bis nis sosial yang memberdayakan perempuan, dengan 96,8% nasabahnya adalah perempuan. 

Para ulama dan ahli ekonomi Islam seperti Dr. Yusuf Qardawi, Monzer Kahf, dan Umer Chapra juga menekankan pentingnya peran sosial perbankan syariah melalui zakat, wakaf, dan pemberdayaan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan sebuah ekosistem dengan masyarakat nya yang memiliki gaya hidup halal (halal life style). Ekosistem semacam ini dikenal pula dengan ekosistem halal.

Bank syariah tidak hanya perlu mengembangkan produk dan layanan halal sebagai alternatif konvensional, tetapi juga harus menjadi katalisator perubahan menuju halal life style. Bank syariah seharusnya tidak mendorong konsumsi berlebihan melalui pemasaran kredit yang agresif atau penawaran hadiah yang bisa menyebabkan misalokasi pendapatan. Ekosistem halal membutuhkan sinergi lima unsur: pelaku usaha halal, lembaga ekonomi sosial, pemerintah, infrastruktur halal, dan sumber daya insani (SDI). Infrastruktur halal mencakup kawasan industri halal (KIH), laboratorium halal, sistem penelusuran halal, serta standarisasi dan sertifikasi halal. 

Dalam ekosistem halal, bank syariah memiliki empat peran strategis. Pertama, sebagai pusat keuangan bagi industri halal, bank syariah harus inovatif dalam menyediakan produk dan layanan sesuai kebutuhan industri halal, baik dalam bentuk skema pembiayaan maupun investasi. Faktanya, menurut data OJK, pembiayaan perbankan syariah tahun 2024 hanya 8,06% dari total kredit nasional, dengan 48%-nya dialokasikan ke sektor produktif, jauh di bawah rata-rata kredit produktif secara nasional (73%). Karena itu, bank syariah perlu meningkatkan strategi pembiayaan produktif agar sektor halal bisa tumbuh seperti sektor makanan, fesyen, farmasi dan kosmetik, pariwisata, dan industri kreatif halal. 

Kedua, peningkatan kualitas SDI tidak hanya tanggung jawab dunia pendidikan. Bank syariah harus berkontribusi dalam edukasi dan literasi ekonomi syariah dengan menggandeng lembaga pendidikan dan pelatihan. Program “Praktisi Mengajar” serta magang mahasiswa perlu diperluas dan diperkuat. Selain itu, edukasi ekonomi halal ke pondok pesantren dan sekolah menengah juga penting agar pemahaman ekonomi syariah tertanam sejak dini. 

Ketiga, pengembangan infrastruktur ekosistem halal membutuhkan sinergi banyak pihak, termasuk bank syariah. Pembangunan KIH, pusat kuliner halal, destinasi wisata ramah Muslim, dan UMKM halal membutuhkan keteribatan bank syariah sebagai penyedia modal, perguruan tinggi sebagai inkuba- tor bisnis, serta pemerintah daerah sebagai penyedia lokasi. Saat ini, baru ada tiga KIH yang diresmikan, yaitu di Serang Jawa Barat, Sidoarjo Jawa Timur, dan Bintan. KNEKS juga telah mengembangkan Zona Kuliner Halal Aman dan Sehat (KHAS) sejak 2022 di beberapa lokasi, dan ke depan diharapkan KIH hadir di lebih banyak wilayah, termasuk Yogyakarta. 

Keempat, sektor sosial syariah seperti zakat, sedekah, dan wakaf berperan dalam meningkatkan kesejahteraan kelompok rentan dan miskin. Bank syariah dapat berkolaborasi dengan lembaga amil zakat (LAZ) dan nadzhir wakaf dalam pemberdayaan masyarakat, baik sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) maupun lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU). Dalam hal ini, bank syariah diharapkan menjadi mediator dan inkubator bagi kelompok rentan. 

strategis tersebut, bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai entitas keuangan, tetapi juga sebagai lokomotif dalam mewujudkan ekosistem halal yang inklusif dan berkelanjutan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Februari 2025

Priyonggo Suseno
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi UII. Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Wilayah DIY. Pengawas syariah pada beberapa entitas bisnis syariah



Categories
Ekonomi

PPN 12 Persen, Penggerak atau Pengerem Ekonomi Rakyat?

Meski kebutuhan pokok seperti sembako sebagian besar dikecualikan, barang-barang sekunder yang juga krusial bagi konsumsi rumah tangga akan terkena imbasnya.

 

Mampukah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen menjadi penggerak ekonomi melalui optimalisasi pendapatan negara, atau justru akan menjadi pengerem ekonomi yang melemahkan daya beli dan sektor riil?

Pemerintah berdalih, langkah menaikkan tarif PPN diperlukan guna meningkatkan penerimaan negara demi pembiayaan pembangunan berkelanjutan. Namun, bagi masyarakat kecil, kebijakan ini menyulut kekhawatiran baru. Harga barang dan jasa yang kian melonjak menjadi beban berat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Keputusan pemerintah untuk meningkatkan tarif PPN bukanlah langkah yang diambil tanpa dasar. Sejak awal diterapkannya sistem PPN di Indonesia pada 1984, kebijakan ini dirancang sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara. Dalam beberapa dekade terakhir, PPN menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas fiskal.

Ketika defisit anggaran meningkat, seperti yang terjadi selama pandemi Covid-19, pemerintah berupaya mencari cara untuk menutup celah pendanaan tanpa terlalu membebani kelompok berpenghasilan rendah.

Pilihan untuk menaikkan PPN, dibandingkan pajak lainnya, karena PPN dianggap memiliki basis yang lebih luas dan efisien dalam pengumpulan.

Namun, sejarah juga mencatat, setiap kali terjadi kenaikan tarif PPN, respons masyarakat tak pernah sederhana.

Pada tahun 2001, ketika tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen, terjadi peningkatan inflasi sebesar 1,2 persen yang langsung memukul daya beli masyarakat. Situasi serupa terjadi pada 2022 ketika PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen, dengan lonjakan inflasi mencapai 4,2 persen.

Dengan memahami histori ini, kita dapat melihat mengapa pemerintah memilih kebijakan ini meski menyadari potensi risiko ekonomi yang menyertai.

Dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari berbagai perspektif. Dalam konteks pemulihan ekonomi nasional, pendapatan pajak yang meningkat diyakini mampu mendukung program-program prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Namun, pada saat yang sama, daya beli masyarakat yang rendah akibat kenaikan harga dapat menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi lokal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi tahunan pada 2024 diproyeksikan berada di kisaran 4-5 persen, sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga barang dan jasa yang dikenai PPN. Dengan basis data ini, penting untuk menganalisis lebih dalam dampak dan potensi dari kebijakan kenaikan tarif PPN.

Perspektif pemerintah

Pemerintah mengklaim meningkatkan tarif PPN adalah langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara. Dengan meningkatnya penerimaan pajak, pemerintah dapat melanjutkan program prioritas nasional seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, dan pendidikan.

Pada tahun 2023, pendapatan pajak Indonesia mencapai Rp 1.716 triliun, di mana PPN menyumbang sekitar 38 persen dari total pendapatan tersebut. Dengan peningkatan tarif menjadi 12 persen, pemerintah memproyeksikan tambahan penerimaan hingga Rp 150 triliun per tahun, yang dapat dialokasikan untuk berbagai program pembangunan.

Selain itu, pemerintah menekankan bahwa tarif 12 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Filipina dan Vietnam yang mengenakan PPN hingga 15 persen. Klaim ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam batas wajar secara regional.

Namun, klaim ini perlu diuji lebih jauh. Apakah dana yang terkumpul benar-benar dikelola secara efisien dan tepat sasaran? Tantangan utama kebijakan fiskal di Indonesia bukan hanya pada aspek penerimaan, melainkan juga pada pengelolaan dan transparansi anggaran.

Pemerintah juga berargumen, kenaikan tarif ini tak serta-merta membebani rakyat kecil karena beberapa barang dan jasa kebutuhan pokok dikecualikan dari PPN. Namun, pertanyaan tetap ada: bagaimana kebijakan ini berdampak pada barang sekunder dan jasa lainnya yang turut memengaruhi konsumsi masyarakat? Dampak jangka pendek seperti penurunan daya beli dan inflasi perlu menjadi perhatian serius untuk memastikan kebijakan ini tidak menghambat pemulihan ekonomi.

Pemerintah mengklaim meningkatkan tarif PPN adalah langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara.

Dampak pada ekonomi rakyat

Kenaikan tarif PPN berpotensi menimbulkan efek domino terhadap perekonomian rakyat. Salah satu dampaknya, lonjakan harga barang dan jasa.

Meski kebutuhan pokok seperti sembako sebagian besar dikecualikan, barang-barang sekunder yang juga krusial bagi konsumsi rumah tangga akan terkena imbasnya. Menurut survei BPS di triwulan I-2024, pengeluaran rumah tangga pada barang sekunder mengalami penurunan hingga 12 persen dibandingkan dengan periode sama 2023. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran konsumen akan kenaikan harga akibat PPN.

Efek ini bukan hanya bersifat ekonomi, melainkan juga psikologis, melemahkan daya beli masyarakat yang sudah rentan. Dalam konteks ekonomi mikro, teori permintaan menunjukkan kenaikan harga biasanya menyebabkan penurunan konsumsi, terutama untuk barang yang elastis. Daya beli masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada pada level menengah ke bawah membuat mereka lebih sensitif terhadap perubahan harga.

Bagi sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, dampaknya lebih nyata. UMKM menyumbang sekitar 61 persen produk domestik bruto (PDB) dan mempekerjakan lebih dari 97 persen tenaga kerja nasional. Tekanan biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan tarif PPN bisa mengurangi margin keuntungan mereka.

Di sisi lain, penurunan konsumsi domestik berisiko mengurangi omzet UMKM dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.

Kebijakan ini juga menyoroti sifat regresif dari PPN, di mana beban pajak cenderung lebih berat dirasakan oleh kelompok berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok kaya. Data OECD menunjukkan bahwa sistem pajak regresif dapat memperburuk ketimpangan ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini berpotensi memperlebar ketimpangan ekonomi jika tidak diimbangi dengan kebijakan redistributif yang efektif.

Kebijakan penyeimbang

Untuk memastikan kenaikan tarif PPN tidak menimbulkan gejolak yang terlalu besar, diperlukan kebijakan penyeimbang yang komprehensif.

Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi UMKM untuk meredam dampak kenaikan tarif ini. Sebagai contoh, pembebasan pajak untuk bahan baku tertentu yang digunakan UMKM dapat menjadi solusi untuk menekan biaya produksi. Selain itu, perluasan program bantuan sosial yang tepat sasaran juga menjadi solusi penting untuk menjaga daya beli masyarakat miskin.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk bantuan sosial pada tahun 2024 mencapai Rp 470 triliun, tetapi efektivitas distribusinya masih perlu ditingkatkan.

Pengalaman negara-negara seperti Jerman dan Swedia menunjukkan bahwa tarif PPN yang tinggi bisa diterapkan tanpa menekan ekonomi rakyat, asalkan diimbangi dengan subsidi langsung dan insentif yang memadai. Di Jerman, subsidi untuk energi dan transportasi publik membantu meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pajak. Tanpa langkah ini, kenaikan tarif PPN hanya akan menambah beban tanpa memberikan manfaat nyata bagi rakyat.

Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan literasi pajak di kalangan masyarakat juga penting. Sebagai bagian integral dari ekosistem ekonomi, masyarakat memiliki peran penting dalam menyikapi kebijakan ini. Salah satu langkah awal adalah meningkatkan pemahaman tentang pajak, termasuk tujuan kenaikan tarif PPN dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.

Dengan memahami konteks kebijakan, masyarakat bisa mengurangi resistensi yang berbasis pada kesalahpahaman.

Untuk memastikan kenaikan tarif PPN tidak menimbulkan gejolak yang terlalu besar, diperlukan kebijakan penyeimbang yang komprehensif.

Langkah mitigasi

Agar kenaikan tarif PPN menjadi langkah yang konstruktif, pemerintah perlu menyiapkan strategi mitigasi yang komprehensif untuk meredam dampak negatif kebijakan ini, terutama bagi masyarakat kecil dan sektor UMKM.

Pertama, memberikan subsidi langsung untuk barang dan jasa esensial dalam kehidupan masyarakat, seperti transportasi publik, bahan bakar, dan energi rumah tangga, untuk menjaga daya beli masyarakat.

Kedua, memberi insentif pajak bagi UMKM dan sektor riil, berupa pembebasan/pengurangan PPN untuk bahan baku tertentu yang digunakan UMKM dan insentif khusus untuk sektor riil yang terdampak langsung. Ini bisa membantu pelaku usaha menekan biaya produksi dan menjaga stabilitas operasional.

Ketiga, perluasan dan efisiensi program bansos. Meningkatkan cakupan dan ketepatan sasaran program bansos seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau kartu sembako. Penggunaan data terkini yang akurat sangat penting untuk memastikan bantuan ini sampai kepada yang benar-benar membutuhkan.

Keempat, kebijakan harga yang terjangkau untuk kebutuhan pokok. Mengendalikan harga barang kebutuhan pokok melalui pengawasan rantai distribusi, serta memberikan insentif kepada produsen untuk menjaga stabilitas harga di tengah kenaikan tarif pajak.

Kelima, edukasi dan literasi pajak bagi masyarakat dan pelaku usaha. Keenam, penguatan transparansi dan akuntabilitas dana publik. Ketujuh, peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran. Memastikan setiap tambahan penerimaan negara dari PPN digunakan secara optimal, mengurangi pemborosan, dan memprioritaskan proyek yang memberi dampak sosial-ekonomi terbesar. Kedelapan, monitoring dan evaluasi dampak kebijakan.

Dengan menerapkan langkah-langkah mitigasi ini, pemerintah tidak hanya dapat meminimalkan dampak negatif kebijakan kenaikan PPN, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan fiskal yang diambil.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Desember 2024

Listya Endang Artiani
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi UII. Bidang riset pada makroekonomi, ekonomi moneter, dan ekonomi energi

 



Categories
Ekonomi

Anjloknya Saham

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam dari 6.471,95 (17/3/205) menjadi 6.233,39 (18/3/2025) atau turun sebesar 5 persen. Setelah itu, pergerakan liar saham terus terjadi sehingga kembali turun 6.161,22 (24/3/2025) meskipun kembali naik menjadi 6.510,62 (27/3/2025).

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemangku kebijakan agar IHSG tidak terus melemah. Penghentian sementara perdagangan (trading halt) telah dilakukan pada 18/3/2025 dan juga kebijakan buyback saham bagi emiten yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar tanpa RUPS. Pertanyaan yang muncul, apa yang sedang terjadi dengan ekonomi Indonesia saat ini?

Menarik untuk dicermati kenapa IHSG anjlok. IHSG adalah indikotor jangka pendek kondisi ekonomi makro suatu negara. Pasar saham adalah tempat para investor menanamkan modalnya di sektor keuangan untuk mendapatkan retum dalam jangka pendek. Keuntungan diperoleh dari perbedaan dari harga beli dan harga jual kembali (capital gain). Karena sifatnya jangka pendek, maka harga saham pergerakannya sangat fluktuatif.

Lalu faktor apa yang menjadikan harga saham naik dan turun, ada dua faktor yaitu fundamental pasar dan sintimen pasar. Fundamental pasar adalah kondisi perekonomian makro. Fundamental pasar menjadi pemicu utama anjloknya harga saham saat ini. Pertama, turunnya daya beli masyarakat yang ditunjukkan adanya deflasi pada awal tahun 2025. Deflasi telah terjadi dua bulan berturut turut yaitu 0,76% pada bulan Januari dan 0,48% pada bulan Februari. Fenomena deflasi di awal tahun ini mengulangi kembali gejala deflasi tahun 2024 selama 5 bulan berturut-turut dari bulan Mei-September. Artinya, kondisi ekonomi Indonesia masih dalam kondisi kelesuan.

Melemahnya ekonomi karena deflasi ini diperparah adanya penurunan kepercayaan konsumen. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada bulan Desember 2024 sebesar 127,70 dan mengalami penurunan menjadi 127.20 pada bulan Januari 2025. Penurunan IKK ini menunjukkan adanya perlambatan ekonomi dan gambaran akan sulitnya mencari lapangan pekerjaan.

Kedua, adanya tekanan terhadap anggaran pemerintah (APBN). Target pengeluaran APBN sebesar 3.620 triliun sedangkan target pendapatan APBN 2025 sebesar Rp3.005 triliun sehingga terjadi defisit anggaran sebesar Rp616 triliun. Namun, diperkirakan pendapatan sulit dicapai melihat melemahnya kondisi ekonomi dan akibatnya defisit akan membangkak.

Upaya untuk meningkatkan pendapatan sudah diupayakan dengan menaikkan PPN sebesar 12%. Begitu pula, adanya kebijakan efisien anggaran adalah bagian memangkas agar defisit tidak melebihi 3%. Adanya kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar 72 triliun juga menjadi beban tambahan anggaran setiap tahun. MBG belum cukup jelas pola pelaksanaannya dan sehingga sulit mengukur hasilnya, meskipun dimungkinan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi.

Hasil pemotongan belanja hasil efisiensi ditargetkan mencapai Rp 306 triliun. Namun, efisiensi anggaran dengan melakukan pemotongan belanja di berbagai Kementerian/Lembaga (K/L) akan menimbulkan persoalan. APBN adalah instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting ketika kondisi ekonomi sedang mengalami kelesuan. Kebijakan fiskal ekspansif sangat diperlukan ketika kondisi dunia usaha masih lesu dan belum pulihnya bisnis mereka akibat Covid-19. Namun, kebijakan fiskal kontraktif dengan adanya efisiensi anggaran ini, tentunya akan semakin memperlemah pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ketiga, adanya sentimen negatif pasar juga mendorong anjloknya harga saham. Isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani semakin menambah ketidakpastian para investor yang mempengaruhi anjloknya harga saham. Begitu pula, isu miring tentang pengelolaan Danantara sebagai lembaga yang mengelola investasi negara melalui konsolidasi aset-aset Badan BUMN strategis yang dananya sangat fantastis sebesar 900 juta dolar AS.

Anjloknya IHSG secara langsung berdampak terhadap penurunan nilai tukar rupiah. Rupiah melemah dari 16.406 per dollar (17/3/2005) menjadi 16.410,5 (18/3/2025). Tekanan terhadap rupiah terus berlanjut sehingga rupiah mencapai level 16.550 (27/3/2025). Jika pelemahan rupiah terus berlangsung akan berdampak langsung kepada sektor riil karena sebagian besar produksi domestik masih mengandalkan bahan baku impor.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 2 April 2025

Agus Widarjono
Guru Besar Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII. Bidang riset pada ekonomi mikro dan ekonometrika.

Categories
Ekonomi Sosial Budaya

 15,74 Triliun Rupiah

Berapa potensi pengeluaran mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama setahun? Angka di atas adalah jawabannya: Rp15,74 triliun per tahun atau Rp1,31 miliar per bulan atau Rp 43,72 miliar per hari. Angka itu setara dengan 8,71 persen dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kehadiran sekitar 442 ribu mahasiswa tentu sangat penting. Sekitar 75 persen dari mereka berasal dari luar DIY. Karenanya, kontribusi mereka sangat luar biasa. Pengeluaran mereka (Rp 3,06 juta per bulan) lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa lokal (Rp 2,15 juta).

Nominal ini belum termasuk biaya pendidikan yang dibayarkan ke kampus dengan nominal bervariasi. Data tersebut diambil dari hasil Survei Biaya Hidup Mahasiswa DIY yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIY. Laporannya dirilis beberapa waktu lalu. Sulit untuk tidak bersepakat, jika kontribusi mahasiswa sangat signifikan dalam menggerakkan roda ekonomi lokal.

Banyak sektor bisnis terkait mahasiswa yang mendapatkan manfaat langsung. Sektor kuliner rata-rata menerima sekitar Rp 780 ribu per mahasiswa selama sebulan. Proporsi pengeluaran untuk makan dan minum adalah yang paling tinggi, sebesar 26 persen dari belanja bulanan. Pengeluaran besar setelahnya di sektor gaya hidup, yang meliputi antara lain perawatan kulit, berkumpul di kafe, rekreasi/hiburan, dan olah raga. Nominalnya sekitar Rp 685 per bulan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan biaya tempat tinggal yang menempati urutan ketiga, dengan angka pengeluaran sekitar Rp 655 ribu. Tentu ada komponen pengeluaran lain, seperti untuk transportasi, komunikasi, kesehatan, belanja keperluan pribadi, dan cuci pakaian.

Melihat dampak ekonomi yang signifikan dari kehadiran mahasiswa, yang sebagian besar pendatang, perhatian serius sudah seharusnya diberikan oleh semua pemangku kepentingan terkait. Termasuk di dalamnya pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dapat terlibat dengan memikirkan program yang relevan untuk perguruan tinggi. Membantu promosi, memastikan keamanan, dan meningkatkan layanan transportasi publik adalah beberapa di antaranya.

Masyarakat juga serupa. Salah satu kontribusinya adalah menyambut mahasiswa pendatang dengan suka cita dan memastikan kenyamanannya. Tentu, ini bukan berarti menoleransi apa pun yang dilakukan oleh mahasiswa. Justru masyarakat bisa membantu dalam mendidik mahasiswa dengan mengenalkan nilai- nilai jogjawi yang ramah, santun, dan menghargai liyan. Lunturnya nilai-nilai jogjawi ini menjadi salah satu hal yang dikeluhkan oleh orangtua mahasiswa. Selama ini, perguruan tinggi seakan-akan menjadi satu-satunya pihak yang paling berkepentingan dan harus bertanggung jawab untuk hal yang terkait dengan menarik mahasiswa ke DIY.

Ketika ada oknum mahasiswa yang bermasalah di tempat tinggalnya, sebagai contoh, tak jarang masyarakat melayangkan komplain ke pihak kampus. Seharusnya ini menjadi tanggung jawab bersama. Pun, ketika dalam beberapa tahun terakhir, banyak perguruan tinggi lokal berteriak karena secara umum cacah maha siswa barunya menurun, suaranya seakan hilang ditelan kegelapan malam. Sirna tanpa jejak. Kampus seperti berjuang sendirian.

Tentu, misi utama perguruan tinggi adalah menghasilkan lulusan yang mumpuni dan menghasilkan karya akademik yang berkualitas. Namun, perguruan tinggi juga perlu dianggap penting dalam memutar ekonomi lokal. Sekaranglah saatnya menyatukan langkah para pemangku kepentingan dengan bingkai kesadaran kolektif yang diperbarui: bahwa di sana ada kepentingan bersama.

Tulisan ini dibuat untuk memantik kesadaran tersebut, karena kampus tidak punya hak menginstruksikan pemerintah dan memerintah masyarakat. Misi utamanya adalah menguatkan DIY sebagai salah satu penjuru atau jika mungkin penjuru utama pendidikan nasional. Tanpa langkah bersama, jangan kaget jika predikat DIY sebagai ‘kota’ pendidikan agak memudar. Semoga bukan ini yang terjadi. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 9 Januari 2025

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada Bidang penelitian: eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

Categories
Ekonomi

Peran Kelas Menengah sebagai Penggerak Ekonomi

Kondisi kelas menengah di Indonesia saat ini menunjukkan dinamika yang cukup menarik dalam beberapa dekade terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), pada akhir Agustus tercatat sebesar 47,85 juta penduduk masuk dalam kategori kelas menengah. Kondisi ini lebih rendah dibanding tahun 2022, di mana 52% dari total populasi di Indonesia dalam kelas menengah. Aspiring Indonesia Expanding the Middle Class (2024) yang dipublikasi kan oleh World Bank menyebutkan, kelas menengah merupakan masyarakat yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp 1,2 juta –  Rp 6 juta per bulannya. Dengan besaran pendapatan tersebut, Indonesia cenderung sulit untuk keluar dari middle income trap.

Jika ingin keluar dari jerat middle income trap, pendapatan per kapita minimal harus berada di atas 4.465 dollar AS. Dengan rata-rata pengeluaran tersebut, masyarakat masih memungkinkan untuk mengakses barang dan jasa yang lebih beragam seperti teknologi, transportasi, pendidikan tinggi, hingga layanan kesehatan. Namun demikian kondisi perekonomian nasional yang dihadapi merupakan kondisi yang penuh dengan tantangan seperti inflasi, tekanan terhadap daya beli, dan disparitas.

Kelas menengah di Indonesia memiliki karakteristik utama yaitu pola konsumsi beragam dengan pengeluaran terbesar dialokasikan untuk pangan, diikuti sandang dan perumahan, kendaraan, kesehatan, pendidikan, hingga hiburan. Jika ditinjau dari karakteristik pekerjaan, mayoritas pekerja dari kelas menengah bekerja pada sektor formal, sedang sisanya menjalankan bisnis produktif atau wirausaha.

Masyarakat kelas menengah sejatinya menjadi harapan bagi pertumbuhan ekonomi di jangka panjang dengan mengoptimalkan konsumsi. Kemenko Bidang Perekonomian RI (2024) menjelaskan, pertumbuhan triwulan II tahun 2024 dalam sisi pengeluaran ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang mencapai 4,93%. Terjadinya peningkatan ini tidak hanya menciptakan peluang ekonomi, tetapi juga mempengaruhi pola konsumsi dan aspirasi sosial, menjadikan kelas menengah sebagai pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kelas menengah memegang peran penting dalam keberlangsungan perekonomian negara. Hal ini dapat dilihat melalui data oleh BPS (2024) yang menyatakan bahwa sebesar 41,7% pengeluaran yang dilakukan oleh kelas menengah ditujukan untuk konsumsi, sehingga bila terjadi penurunan konsumsi yang signifikan oleh kelas menengah maka akan menggambarkan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Peran lain kelas menengah adalah sebagai berkontribusi dalam penerimaan pajak, penciptaan lapangan kerja, serta meningkatkan keberlangsungan produktivitas perdagangan dan industri.

Pada sisi lain, keterlibatan kelas menengah dalam perekonomian Indonesia berada dalam situasi dua sisi yang bermata dua. Hal ini disebabkan beban yang ditanggung oleh kelas menengah. dengan pendapatan pas-pasan akan semakin berat ke depannya. Pasalnya penerimaan kelas menengah semakin tergerus akibat kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti kenaikan PPN menjadi 12%, iuran Tapera yang didasarkan oleh UMR, kenaikan harga bahan pokok, hingga pembatasan BBM bersubsidi (CNBC Indonesia, 2024).

Hal ini menjadikan peran kelas menengah menjadi cukup krusial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara dan stabilitas sosial. Sebagai konsumen yang aktif dalam kontribusi pasar domestik, mereka sangat berperan dalam inovasi sosial dan investasi. Dalam perjalanan ke depan bila kelompok masyarakat kelas menengah tidak bisa berperan dalam mendorong inovasi dan perubahan, maka dampaknya lebih dirasakan oleh kelas bawah yang sangat bergantung pada keberlanjutan perekonomian untuk meningkatkan taraf hidup.

Sebagai upaya dukungan kepada kelas menengah, Pemerintah meluncurkan berbagai kebijakan di antaranya program perlindungan sosial, insentif pajak, Kartu Prakerja, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta subsidi dan kompensasi energi. Langkah strategis yang diambil ini selain untuk menjaga daya beli kelas menengah, juga untuk mencegah penurunan kelas menengah ke kelompok rentan serta memastikan pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan bagi seluruh lapisan masyarakat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Oktober 2024

Unggul Priyadi
Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UII. Bidang riset pada ekonomi kelembagaan.