Categories
Sosial Budaya

Refleksi Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia: Mendialogkan Pemikiran Fransiskan dengan Perspektif Sufi Yunus Emre

Kunjungan apostolik yang dilakukan oleh Paus Fransiskus ke Indonesia memberikan hikmah dan pelajaran yang berlimpah bagi seluruh umat beriman. Dalam pidato dan khotbah yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam ragam forum di Indonesia, ada satu poin utama yang coba ditegaskan oleh Paus dalam setiap penjelasannya, yaitu bagaimana umat beriman di Indonesia dapat memaknai kembali hubungan Allah, alam, dan umat manusia.

Penjelasan yang disampaikan dan solusi yang ditawarkan oleh Paus Fransiskus didasarkan pada filsafat fransiskan yang berangkat dari pemikiran dan laku Santo Fransiskus dari Asisi, seorang rahib dan teolog Katolik pada Abad Pertengahan.

Pemikiran Santo Fransiskus dari Asisi juga tumbuh pada masa-masa krisis setelah kontestasi berdarah antara kuasa muslim dan kristen pada masa itu yang menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat sipil.

Hal itulah yang membuat Paus Fransiskus memilih Santo Fransiskus dari Asisi sebagai nama kepausan. Pola pikir fransiskan memberikan takhta suci Vatikan kesempatan untuk memikirkan kembali posisi agama dan takhta suci dalam krisis multidimensional yang tidak mudah pada kurun kedua abad ke-21.

Dasar pemikiran Fransiskan
Terdapat tujuh nilai dasar Fransiskan yang menjadi laku harian para pengikut tarikat fransiskan hingga masa kini dan menginspirasi pola hidup umat Katolik. Pertama, fransiskan sangat mengutamakan penghormatan dan perlindungan terhadap makhluk hidup seperti yang tergambar dalam dalam doa Santo Fransiskus dari Asisi yang menginspirasi ensiklik Laudato St.

Kedua, fransiskan memberikan tempat khusus pada perlindungan terhadap muruah dan harga diri manusia. Ketiga, fransiskan menganggap bahwa setiap manusia harus dijaga kehidupannya terlepas dari latar belakang kehidupan manusia tersebut. Keempat, fransiskan juga memberikan penekanan yang amat besar terhadap kaum miskin dan masyarakat yang memiliki kerentanan secara sosial dan ekonomi.

Fransiskan memiliki teologi kasih yang berpusat pada welas asih dan laku hidup sederhana yang memberikan umat beragama ruang eksplorasi untuk peduli pada sesama.

Kelima, fransiskan dikenal juga dengan aktivismenya dalam isu perdamaian dan rekonsiliasi konflik yang tergambar dalam slogannya Pax et bonum, damai dan kelakuan baik. Dasar dari slogan Pax et bonum itulah yang kemudian menginspirasi Paus Fransiskus untuk merumuskan dokumen bersejarah Deklarasi Persaudaraan Manusia dan ensiklik Fratelli Tutti untuk mendorong pola pikir yang menerobos kejumudan dan konflik yang tak kunjung berakhir.

Keenam, fransiskan juga beranggapan bahwa ada kesejalanan di antara keadilan dan kedamaian yang perlu berjalan secara seiringan untuk mengoreksi kuasa yang dapat berlaku lalim dan tanpa batas sehingga merugikan hidup kaum miskin dan masyarakat rentan.

Ketujuh, fransiskan memberikan peluang untuk transformasi diri yang akan berpe- ngaruh pada transformasi masyarakat se- hingga setiap orang Katolik yang mengikuti teologi Fransiskan diekspektasikan untuk menjadi agen perubahan.

Yunus Emre sebagai sufi rakyat
Dalam perspektif Islam, filsafat fransiskan dapat didialogkan secara berkelanjutan dengan filsafat sufi. Salah satu figur sufi dalam sejarah Islam, Yunus Emre, merupakan seorang tokoh yang memiliki latar belakang yang cukup serupa dengan Santo Fransiskus dari Asisi dan mengembangkan pemikirannya seputar Allah, alam, dan manusia dalam konteks sosial-politik yang cukup serupa.

Yunus Emre merupakan seorang sufi yang merakyat dan hidup mengembara dalam laku hidup miskin di tanah Anatolia (sekarang Turki), serupa dengan Santo Fransiskus dari Asisi. Sebagai seorang sufi, Yunus Emre tentunya hidup dengan bimbingan guru spiritualnya, yakni Taptuk Emre yang dikenal sebagai salah satu santri kinasih dari Maulana Jalaluddin Rumi yang tersohor dan Haji Bektash Veli yang merupakan pendiri tarikat bektashi di Turki.

Dalam menyebarkan ajaran sufinya, Yunus Emre dikenal sering membuat syair-syair yang sampai sekarang dikenal luas dan dihafal oleh masyarakat Turki secara keseluruhan. Layaknya Santo Fransiskus dari Asisi yang menyampaikan ajaran Katolik dalam bahasa Italia yang sederhana, Yunus Emre menyederhanakan ajaran agama Islam dengan bahasa Turki yang digunakan oleh rakyat sehari-sehari.

Salah satu ajaran Yunus Emre yang menjadi dasar pemikirannya ialah pentingnya untuk memahami dan mengubah diri sendiri sebelum melakukan transformasi terhadap sekitar. Hal itu tergambar dalam bait syairnya: ‘lim ilim bilmekdir, ilim ken- din bilmekdir. Sen kendini bilmezsin ya nice okumakdr yang bermakna: Ilmu itu berarti ilmu untuk memahami kebenaran, dan ilmu untuk memahami kebenaran yang paling paripurna ialah memahami diri sendiri yang menjadi bagian dari ciptaan Tuhan, seberapa besar pun pengetahuan yang dipelajari akan kebenaran, tiada bermakna tanpa pengetahuan akan diri sendiri.

Bait itu disampaikan oleh Yunus Emre sebagai kritik akan para ulama skripturalis yang terlalu berfokus akan kebenaran yang dideliberasi secara tekstual tanpa ada pe- mahaman kontekstual yang baik di alam sekitar. Teologi Islam, menurut Yunus Emre, akan menjadi tidak bermakna tanpa ada refleksi diri yang kuat dan kontekstualisasi kebenaran dalam kehidupan sehari-sehari masyarakat. Pemikiran itu tentunya sejalan pula dengan laku fransiskan yang menekankan pada iman dalam laku, serta iman yang menghidupkan masyarakat dalam tindakan-tindakan yang nyata.

Teologi kasih sebagai sumber laku dan inspirasi dialog
Kesepadanan pemikiran Yunus Emre dan Santo Fransiskus dari Asisi juga terlihat dalam fokusnya akan teologi kasih. Salah satu bait puisi yang menjadi prinsip sentral dalam filsafat Yunus Emre ialah ‘sevelim sevilelim, dunyaya kimseye kalmaz (marilah mencintai dan saling memberikan cinta/ kasih karena tiada sesiapa yang akan hidup selamanya di dunia).

Ketika cinta dan kasih menjadi inti dalam laku agama, ia akan menggerakkan umat beriman untuk berlaku damai dan baik pada sesama. Dalam salah satu ceramahnya, Paus Fransiskus menyampaikan bahwa teologi penuh hikmat kebijaksanaan (sapiential the ology) ialah teologi kasih. Paus Fransiskus menjelaskan pula bahwa siapa pun yang hidup tanpa kasih, ia hidup tanpa Tuhan karena esensi Tuhan ialah kasih.

Sikap kasih mendorong manusia untuk sadar bahwa materialisme dunia bukan merupakan tujuan, melainkn sekadar alat yang membantu manusia untuk melanjut kan hidup di dunia. Sikap berserah diri pada Tuhan-lah yang selayaknya menjadi referensi untuk menyeimbangkan kebutuhan material dan spiritual di dunia yang fana.” Itu tergambar pula dalam bait Yunus Emre, ‘neyi sever isen imann oldur, nice sevmeyesin sultann oldur,(keimanan seseorang itu bergantung apa yang ia kasihi dan apalah arti kasih itu jika tidak dapat memahami kasih sejati yang berasal dari sang Penguasa).

Dalam bait yang lain, Yunus Emre bahkan mengritik sikap rakus dan eksploitatif ma- nusia sebagai salah satu dasar terjadinya konflik yang merugikan sesama manusia dan merusak lingkungan sekitar. Hal itu tergambar dalam bait ‘ana durur buhl u hased key mubariz durur gayet, kokunu kaz yabana at farig otur ey gam- güzar (di mana pun ada sikap kikir dan cemburu, di situlah ada seteru yang menderu. Maka, bersihkanlah jiwamu dan jauhkanlah dirimu dari sikap- sikap seperti itu).

Dalam beberapa kesempatan, Paus Fransiskus juga mengingatkan bahwa sikap materialisme dan hoarding (menumpuk barang) sebagai laku konsumerisme ekstrem yang menjauhkan seseorang dari kebenaran Tuhan, yang menekankan hidup penuh kasih dan hidup yang berbagi pada sesama. Seperti yang tercantum di dalam ensiklik Fratelli Tutti, konflik yang terjadi di dunia merupakan ejawantah dari keserakahan material yang marak terjadi di dunia ini. Sudah selayaknya laku hidup reflektif dan kembara yang dilakukan oleh Yunus Emre dan Santo Fransiskus dari Asisi menjadi inspirasi yang memberikan manusia peluang untuk memotong rantai konflik dengan memahami lingkungan sekitar secara lebih mendalam.

Dengan mendialogkan ajaran fransiskan dan Yunus Emre itu, sudah selayaknya dialog-dialog yang lebih intensif layak dibuka antarumat Islam dan umat Katolik, utamanya dalam isu-isu spiritualisme yang bersifat kontekstual dan menapak tanah. Hal itu amat penting dilakukan untuk mentransformasi agama yang tidak hanya eksis sebagai sekumpulan doktrin, tetapi juga menjadi semangat hidup yang dapat menginspirasi solusi akan masalah-masalah yang mendera masyarakat Indonesia dan dunia.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Media Indonesia pada tanggal 13 September 2024

Hadza Min Fadhli Robby
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Pengamat politik Turki dan India. Bidang riset pada gagasan politik Islam, studi agama dalam Hubungan Internasional.

Categories
Hukum

Restu Amendemen dari Pak Amien

Jangan pernah terlalu percaya bahwa amendemen lagi atas UUD lantas bisa menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan kita.

 

Amien Rais menyatakan meminta maaf karena perhitungannya yang naif saat memimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat dan karena melakukan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945. Dia pun mempersilakan jika MPR yang sekarang hendak mengamendemen lagi UUD tersebut.

Pernyataan mantan Ketua MPR tersebut disampaikannya saat menemui pimpinan MPR, 6 Juni 2024 lalu. Konteksnya, Pak Amien merasa keliru (terlalu naif) telah memelopori perubahan (amendemen) atas UUD 1945 yang ternyata ada beberapa isinya yang membuat kehidupan politik dan ketatanegaraan kita terjebak dalam kubangan politik yang buruk.

Dua hal buruk yang secara eksplisit dicontohkan oleh Amien Rais kepada wartawan adalah tentang pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) secara langsung dan tentang syarat kewarganegaraan untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Cara pemilihan presiden dan wakil presiden yang menurut Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 yang asli dipilih oleh MPR diubah menjadi dipilih langsung oleh rakyat melalui Pasal 6A Ayat (1) UUD hasil amendemen. Dalam praktiknya, ternyata ini berbalikan dengan apa yang saat itu dibayangkan oleh Amien Rais bahwa pilpres secara langsung akan lebih demokratis karena tidak mungkin ada yang bisa menyuap rakyat dengan politik uang (money politics).

Praktiknya, pilpres langsung malah marak dengan transaksi dan money politics. Bahkan, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai Pemilu 2024 pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia.

Hal lainnya, terkait dengan salah satu syarat untuk menjadi presiden/wakil presiden, yang semula menurut Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang asli harus ”orang Indonesia asli”, diubah frasanya dalam UUD 1945 hasil amendemen menjadi ”warga negara Indonesia”.

Ini menimbulkan masalah karena “dianggap” menggerus hak konstitusional dan historik pribumi. Meskipun secara ilmiah masih menjadi persoalan, masih banyak anggapan bahwa orang Indonesia asli pasti pribumi, sedangkan warga negara Indonesia belum tentu pribumi.

”Resultante” poleksosbud

Amien Rais menyatakan meminta maaf karena hal-hal tersebut, tetapi bagi banyak orang mungkin kurang tepat kalau hanya Amien yang harus meminta maaf, sebab perubahan UUD 1945 saat itu merupakan arus besar aspirasi masyarakat yang tidak bisa dibendung.

Kalau amendemen itu dianggap salah, yang harus meminta maaf adalah semua pejuang reformasi 1998 karena tidak bisa mengendalikan amendemen konstitusi sehingga memuat hal-hal yang dianggap tidak baik. Kalau amendemen tersebut salah, itu adalah kesalahan kolektif kita. Begitu pun, statement Amien Rais yang mempersilakan jika UUD akan diamendemen lagi merupakan statement yang wajar dan tepat sebab UUD memang bisa diamendemen dengan mekanisme dan syarat tertentu.

KC Wheare dalam The Modern Constitutions (1960) mengatakan bahwa konstitusi adalah resultante atau kesepakatan para pembentuknya berdasar keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud) bangsa yang bersangkutan pada saat konstitusi itu dibuat.

Perjalanan waktu dan keadaan bisa melahirkan perubahan konstitusi berdasar kesepakatan sesuai dengan situasi poleksosbudnya. Apa yang dilakukan Amien Rais dan kawan-kawan ketika melakukan amendemen atas UUD 1945 adalah sesuai dengan resultante umum saat itu. Jika sekarang diperlukan resultante baru, kita bisa melakukannya dengan mengamendemennya lagi.

Diubah tiap tahun pun, jika moral, etik, dan konsistensi kita dalam berhukum tidak diperbaiki, amendemen seperti apa pun tidak akan ada gunanya.

Selalu diubah, selalu disalahkan

Jadi, ilmu hukum tata negara tidak boleh tidak setuju jika ada kehendak untuk membuat resultante baru yang mungkin diperlukan untuk melakukan amendemen lagi terhadap UUD 1945 hasil amendemen.

Namun, yang harus diingat, jangan pernah terlalu percaya bahwa amendemen lagi atas UUD lantas bisa menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan kita. Dalam perjalanan sejarah kita, UUD selalu dibuat dan selalu diubah, tetapi tidak ada satu pun yang kemudian dianggap benar sehingga selalu diamendemen dan diamendemen lagi.

Jika dihitung dari sejarah perjalanan bangsa, baik secara resmi maupun dalam praktik ketatanegaraan sejak tahun 1945, kita sudah melakukan perubahan konstitusi tidak kurang dari sepuluh kali, yang kemudian selalu digugat untuk diamendemen lagi.

Kita tahu, tak sampai dua bulan setelah pengesahan UUD 1945 yang pertama (yang asli) tanggal 18 Agustus 1945, pada 16 Oktober 1945 sudah dikeluarkan Maklumat Wapres Nomor X yang disusul dengan maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945 yang isinya mengubah praktik ketatanegaraan dari sistem presidensial menjadi sistem ministerial tanpa mengubah UUD secara resmi.

Kemudian, berdasarkan hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, UUD kita diganti secara resmi dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Konstitusi RIS 1949 ini pun tidak berlaku lama karena sejak 17 Agustus 1950 diganti lagi dengan konstitusi baru, yakni Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Pada akhir tahun 1950-an, UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer dianggap terlalu liberal, memicu kegaduhan, dan mengancam persatuan bangsa sehingga dibentuk Konstituante melalui Pemilu 1955 dengan tugas membentuk konstitusi baru yang definitif. Sejalan dengan tersendat-sendatnya Konstituante untuk membentuk UUD yang baru, Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang mencabut berlakunya UUDS 1950 dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Pascakejatuhan Presiden Soekarno tahun 1966/1967, di era pemerintahan Orde Baru muncul juga usul-usul agar UUD 1945 diganti lagi, tetapi pemerintahan Orde Baru menegaskan tetap memberlakukan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Pemerintah Orde Baru bersikap kokoh dengan jargon “murni dan konsekuen” tersebut. Tiga tokoh yang berbicara tentang kemungkinan perubahan UUD 1945, yaitu Ismail Sunny, Bung Tomo, dan Mahbub Djunaidi, pernah ditahan oleh pemerintah Orde Baru tanpa proses pengadilan.

Meskipun begitu, tekad untuk murni dan konsekuen Orde Baru atas ideologi dan konstitusi tidaklah melahirkan pemerintahan yang bersih. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi kanker ganas di tubuh bangsa. Sejalan dengan krisis moneter, tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi tak bisa dibendung hingga pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto runtuh melalui gerakan reformasi 1998.

Setelah itu, agenda reformasi dan konsolidasi demokrasi dikerjakan dalam berbagai aspek dan yang paling menonjol di antaranya adalah amendemen atau perubahan UUD 1945. Semboyannya waktu itu, “Tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi”.

Maka, UUD 1945 diamendemen oleh MPR hasil Pemilu 1999 yang diketuai oleh Amien Rais melalui empat tahap (empat kali sidang tahunan), yakni tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Sekarang muncul lagi ide yang, antara lain, disuarakan oleh Amien Rais tentang kemungkinan dilakukannya lagi amendemen atas UUD hasil amendemen.

Masalahnya moral dan etika

Pada dua periode (sekitar 10 tahun) pertama perjalanan reformasi 1998, pemerintahan berjalan relatif bagus.

Berbagai peraturan perundang-undangan dan lembaga-lembaga baru dibentuk dengan kerja-kerja yang cukup demokratis dan efektif. Namun, semakin lama politik demokratis bergeser menjadi oligarkis. KKN merajalela lagi, penegakan hukum menjadi karut-marut.

Itulah alasan munculnya ide mengamendemen lagi UUD 1945. Namun, seperti saya kemukakan di atas, kita bisa saja bersetuju dengan ide amendemen lagi tersebut, sebab kapan pun kita mau membuat resultante baru tidaklah salah. Namun, hendaknya diingat, masalah yang paling pokok adalah sikap moral, etika, dan konsistensi dalam berkonstitusi dan berhukum.

Diubah tiap tahun pun, jika moral, etik, dan konsistensi kita dalam berhukum tidak diperbaiki, amendemen seperti apa pun tidak akan ada gunanya. Buktinya, setiap hasil amendemen yang semula dianggap baik kemudian selalu digugat untuk diamendemen lagi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 15 Juni 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

Categories
Pendidikan

Universitas sebagai Tempat Produksi Pengetahuan Bukan Transmisi: Upaya Sistemik untuk Hentikan Pelanggaran Akademis

Kasus pelanggaran akademis di pendidikan tinggi tengah menyita perhatian khalayak Indonesia dengan munculnya laporan The Conversation Indonesia _(TCID), _Majalah Tempo, dan Jaring.id yang terbit pada 28 Maret 2024 serta kasus mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional Jakarta Kumba Digdowiseiso.

Banyak yang berpandangan bahwa pelanggaran akademis itu terjadi karena beban kerja dosen, kepentingan naik pangkat/jabatan, serta insentif publikasi. Sehingga, diskusi permasalahan ini sering berakhir pada harapan atas kejujuran individual dosen.

Tulisan ini berargumen bahwa solusi atas pelanggaran akademis tidak hanya tergantung pada kejujuran individu, tetapi perubahan budaya kampus secara sistemik dan menyeluruh.

Sebab, meski sudah memiliki aturan plagiasi untuk perguruan tinggi sejak 2010, jika akademisi dan masyarakat masih melihat kampus sebagai tempat “transmisi pengetahuan” dan bukan “produsen pengetahuan”, maka kasus plagiasi, juga pelanggaran akademis lainnya, akan tetap terjadi.

Praktik menyalin dalam masyarakat berbudaya tutur

Walter J. Ong, profesor sastra dan budaya dari Amerika Serikat (AS) dalam Orality & Literacy menjelaskan bahwa masyarakat dalam budaya tutur terus-menerus mengulang dan menyalin ulang pengetahuan yang diperoleh. Karena itu, masyarakat dan akademisi di Indonesia cenderung melihat kampus sebagai tempat ‘transmisi pengetahuan’. Tujuan kampus adalah memindahkan pengetahuan pada mahasiswa. Mahasiswa dianggap sukses ketika ia mengetahui, atau hafal, pengetahuan yang diajarkan.

Ini mengapa mudah menemukan tips untuk menghafal teori di internet yang juga diajarkan dosen di ruang kelas. Ilmu diposisikan seperti ‘dogma’ dan penyalinan menjadi sesuatu yang dapat diterima, karena sebuah pengetahuan sulit dibaca secara analitis oleh masyarakat tutur. Kebiasaan seperti ini menciptakan peniruan alih-alih kebaruan.

Akibatnya, “menyalin” isi buku yang dianggap penting (buku yang memperkenalkan konsep baru) adalah hal biasa.

Ini tampak pada kasus Hamzah Ya’qub, seorang dosen sekaligus salah satu pendiri Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Banten. Pada 1973, ia mempublikasikan buku berjudul Publisistik Islam: Seni dan Teknik Dakwah.. Karya ini termasuk upaya awal sarjana Indonesia menghubungkan studi dakwah dengan publisistik (kemudian dikenal sebagai komunikasi).

Pada tahun 1986, buku tersebut disalin dan dipublikasikan orang lain dengan judul Komunikasi Islam; Dari Zaman ke Zaman.

Seperti yang tampak di gambar, isi kedua buku itu nyaris sama. Bedanya hanya pada urutan tulisan, beberapa istilah/kata dan sedikit tambahan.

Namun, meski penulis buku kedua tidak memberikan atribusi pada Ya’qub, tidak ada isu plagiasi terkait kemiripan dua buku itu hingga hari ini. Bahkan, buku kedua diterbitkan lagi pada tahun 1990.

Risiko kultur meniru

Selain karena rendahnya perhatian kampus pada tindakan plagiasi waktu itu, ketiadaan isu plagiat pada kasus Ya’qub disebabkan anggapan bahwa praktik meniru itu wajar. Ketiadaan aturan dan batasan yang jelas juga menjadi alasan mengapa praktik di atas tidak bisa serta merta disalahkan.

Namun, pengaturan pendidikan di masa Orde baru, yang bertujuan mencetak tenaga kerja demi pembangunan, melanggengkan kultur meniru ini—sehingga seakan-akan tidak ada cara lain dalam memperoleh pengetahuan.

Praktik pembelajaran semacam ini menguntungkan pendidikan kejuruan yang menyiapkan tenaga kerja langsung untuk masuk ke industri, tetapi tidak untuk pengembangan keilmuan. Pendidikan komunikasi, misalnya, sekadar ditujukan untuk mencetak wartawan, humas, atau penyuluh pembangunan, bukan menjadi ilmuwan. Akibatnya, nyaris tidak ada diskusi serius tentang pengembangan teori baru. Studi-studi komunikasi di Indonesia cenderung stagnan.

Ketika tujuan pendidikan adalah peniruan, pendisiplinan atas plagiasi di kampus menjadi tumpul.

Kultur meniru menjebak riset ke dalam praktik pengulangan. Di ilmu sosial terutama, tujuan riset terbatas pada upaya memverifikasi teori—mahasiswa berupaya membuktikan sebuah teori, bukan mengevaluasi. Riset studi komunikasi pada 1980 menemukan minimnya modifikasi dan adaptasi teori dalam pembelajaran di kampus Indonesia.

Peniruan dan pengulangan riset verifikatif ini memunculkan masalah lain: jual beli karya ilmiah yang menyedot perhatian di akhir 1980-an. Beberapa pihak membolehkan hal ini, dengan alasan karya ilmiah itu dapat ditiru “pola kerja, pola penyajian, dan topiknya”, bukan dijiplak.

Artinya, kampus bahkan membenarkan kultur “peniruan” ini. Meniru diperbolehkan tanpa khawatir apakah peniruan itu akan mengabaikan penghormatan atas pemikiran orang lain. Kasus ini sekaligus menandai bahaya lain dari kultur peniruan yang memungkinkan bisnis karya ilmiah lainnya seperti joki dan paper mills (pabrik jual beli artikel ilmiah).

Kampus sebagai produsen pengetahuan

Saat ini, banyak akademisi mulai memposisikan kampus sebagai “tempat produksi pengetahuan”. Fungsi dosen sebagai peneliti berusaha menghubungkan satu pengetahuan dengan pengetahuan lain, sehingga menghasilkan pengetahuan baru melalui publikasi di jurnal ilmiah.

Pemerintah menyusun aturan publikasi untuk mendukung hal ini. Bahkan, aturan plagiasi yang telah ada pada 2010 disempurnakan pada tahun 2021.

Meski demikian, studi mengenai riset ilmu komunikasi tahun 2022 menunjukkan pengulangan metode deskriptif kualitatif sederhana.

Ini menunjukkan kultur yang tak berubah. Peraturan pemerintah hanya memaksa dosen dan lulusan universitas turun ke gelanggang riset, tanpa keterlatihan yang cukup dan budaya diskusi ilmiah.

Pelatihan yang tersedia mayoritas terfokus pada strategi publikasi, ketimbang pendalaman substansi riset ilmiah itu sendiri. Sedangkan konferensi akademik yang semestinya digunakan sebagai pemantik budaya akademik cenderung terkooptasi oleh kepentingan politik dan berkualitas rendah.

Parahnya, insentif publikasi didasarkan hanya pada jenis kanal publikasi dan bukan pada kontribusi akademik. Buktinya, ketika tulisan kami terbit, alih-alih mendapatkan pertanyaan tentang substansi artikel, kami justru mendapatkan ucapan “Selamat atas publikasi-nya di SCOPUS/SINTA”.

SCOPUS dan SINTA adalah dua platform indeksasi jurnal ilmiah yang populer di Indonesia, dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di bawah Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi sebagai standar kenaikan pangkat dosen.

Upaya untuk mengejar indeksasi tersebut memunculkan prinsip “yang penting SINTA” atau “yang penting SCOPUS”, tanpa memikirkan kontribusi akademiknya.

Banyak dosen kemudian menjadi pemburu publikasi: memanfaatkan riset mahasiswa lalu mencari cara agar tembus jurnal.

Ubah cara pandang

Solusi untuk pelanggaran akademis di pendidikan tinggi membutuhkan perubahan cara pandang. Penegakan etika, perumusan kode etik, pengurangan beban kerja dosen adalah tindakan penting untuk mencegah dan menghilangkan pelanggaran akademis.

Tetapi yang lebih sistemik, dan belum dilakukan, adalah upaya untuk memosisikan kampus sebagai produsen (bukan lagi transmisi) pengetahuan, menghapus kultur peniruan, dan mendorong riset untuk tidak sekadar memverifikasi teori.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 10 Mei 2024

Holy Rafika Dhona
Dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, anggota Konsorsium Nasional Sejarah Komunikasi (KNSK). Tertarik dengan sejarah komunikasi/media,komunikasi/media geografi, perspektif materialist dalam studi komunikasi dan juga Foucault.

Categories
Pendidikan

Kampus Masa Bodoh

Kampus adalah rumah para intelektual yang dituntut untuk turut serta memikirkan kondisi republik.

Dalam sejarah Republik, kampus pernah menjadi penjuru moral. Kaum intelektual lantang menyuarakan kebenaran di tengah hiruk-pikuk kekuasaan. Namun, kini, kampus membisu ketika penyalahgunaan kekuasaan terjadi dalam banyak aspek penyelenggaraan negara.

Beragam kritik telah dialamatkan kepada kaum intelektual di kampus. Mereka dianggap masa bodoh ketika berbagai penyalahgunaan kekuasaan terjadi secara terang benderang. Tak jarang, praktik ini dikemas dengan peraturan yang mengesankan keabsahan praktik kekuasaan yang brutal.

Publik merindukan kaum intelektual yang bersuara kritis. Kampus sebagai lokomotif utama masyarakat sipil jadi salah satu tumpuan harapan publik.

Suara moral yang kritis dari berbagai organisasi keagamaan pun mulai parau. Pelbagai fakta di lapangan menghadirkan cerita yang memprihatinkan.

Studi-studi terbaru tentang demokrasi Indonesia menunjukkan bukan saja aspek kemunduran demokrasi, melainkan juga otoritarianisme yang bercorak populis.

Tidak banyak kampus yang bersuara jernih dan kritis. Apa yang terjadi pada 22 Agustus 2024, ketika banyak warga kampus bersama elemen masyarakat sipil lain turun ke jalan menolak revisi Undang-Undang Pilkada, memang sedikit menjadi pengobat rindu. Namun, sebagian besar kampus masih tenggelam dalam kebisuan.

Mengapa kampus menjadi masa bodoh dan bahkan apatis? Proses dialog dan interaksi personal dengan banyak pemimpin kampus menghasilkan penjelasan awal.

Termasuk di dalamnya adalah ketiadaan kesadaran akan tanggung jawab, eksposur kepada informasi yang terbatas, kompas moral yang rusak, dan kemerdekaan intelektual yang terenggut. Penjelasan ini bersifat bertingkat.

Bukan urusan kampus

Sikap apatis bisa dijelaskan karena sebagian menganggap bersuara kritis saat ada pelanggaran bukan tanggung jawab kampus. Kesadaran akan tanggung jawab kampus sebagai penjuru moral bangsa tidak tumbuh dengan baik.

Kampus sudah terlalu sibuk dengan urusan domestik. Energi warga kampus sudah terkuras, untuk beragam aktivitas kejar setoran guna memenuhi banyak indikator capaian, baik individual maupun institusional. Aktivitas ini terkadang penuh cucuran keringat, tetapi minim manfaat bagi kampus.

Atau jangan-jangan memang hal itu disengaja, untuk menguras energi, sehingga kampus dan warganya tidak lagi sempat berpikir dan bersuara kritis? Jika ini benar, aktivisme intelektual kampus dimatikan dengan sistematis dan masif tanpa banyak disadari di kalangan intelektual.

Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, saatnya petinggi dan warga kampus perlu meningkatkan literasi akan tanggung jawabnya dari sumber otoritatif yang variatif. Salah satunya terkait dengan tanggung jawab intelektual publik. Kampus adalah rumah para intelektual ini yang dituntut untuk turut serta memikirkan kondisi republik.

Eksposur informasi

Kalaupun kesadaran akan tanggung jawab intelektual masih ada, keterbatasan eksposur ke informasi belum mampu memantik kampus untuk bersuara.

Informasi terkait dengan pelanggaran yang sampai ke media sering kali sudah tersaring. Potret terkait pelanggaran pun menjadi kabur. Hal ini ditambah dengan narasi tandingan yang sengaja disebar di ruang publik, termasuk dengan melibatkan para pendengung dan warganet yang terkecoh.

Untuk itu, petinggi dan warga kampus perlu keberanian untuk membuka diri terhadap keberagaman informasi. Hanya dengan demikian, kampus tidak seperti katak di dalam tempurung yang abai dengan perkembangan mutakhir di sekitarnya. Pergaulan pun perlu diperluas supaya tidak terjebak pada kamar gema, yang kalis dari wacana alternatif.

Kampus sebagai lokomotif utama masyarakat sipil jadi salah satu tumpuan harapan publik.

Kebenaran tak ditentukan oleh frekuensi paparan informasi yang kita dengar, tonton, atau baca. Kebenaran kadang tersembunyi di dalam informasi yang jarang kita akses karena kanal penyebarannya sering kali dipersempit. Eksposur yang baik terhadap informasi valid akan sangat berperan dalam memantik dan merawat kesadaran yang ujungnya adalah kemauan untuk bersuara.

Kompas moral

Bisa jadi akses informasi sudah baik, tetapi kampus tetap saja diam seribu bahasa. Mengapa demikian? Penjelasan lainnya adalah kompas moral kampus yang soak. Kompas moral yang seperti ini perlu dikalibrasi karena tidak lagi sensitif mendeteksi dan menunjukkan arah dengan benar.

Medan magnet di sekitar kompas moral sudah diganggu. Salah satu caranya adalah dengan sebaran narasi publik yang disetir atau bahkan dimanipulasi oleh para autokrat informasi (Guriev dan Treisman, 2019).

Pelanggaran telah dinormalisasi dengan peraturan yang dalam perumusannya disuntik dengan beragam kepentingan. Demokrasi dikatakan masih baik-baik saja dengan bermacam-macam dalih meski kenyataannya jauh dari itu.

Studi-studi terbaru tentang demokrasi Indonesia menunjukkan bukan saja aspek kemunduran demokrasi, melainkan juga otoritarianisme yang bercorak populis. Logika publik dipermainkan. Kebenaran pun menjadi samar dan sengaja dihancurkan supaya publik mengalami kekaburan dalam melihat kebenaran.

Efek dari operasi ini bisa sangat mengerikan karena kampus bisa saling bersitegang dalam mencari kesepakatan di era pascakebenaran.

Kampus mer(d)eka

Jika kompas moral masih bekerja tetapi kampus tetap tidak bersikap, penjelasan lain dapat diberikan.

Kampus tidak merdeka karena beragam sebab. Sebagian kampus tergantung kepada sumber daya negara dalam operasinya. Hal ini menjadikannya tidak bebas bersuara karena risiko yang bakal mendera. Bahkan, sampai hari ini, kampus dengan ratusan profesor pun masih belum diberi hak secara merdeka memilih pemimpinnya. Tangan kekuasaan pemerintah masih mencengkeram kuat, baik secara terbuka, samar, maupun tersembunyi.

Akibatnya, pemimpin kampus yang terpilih pun tersandera politik utang budi. Suara yang tidak sejalan dengan penguasa, meski jernih, hanya akan tebersit di dalam hati atau tersendat di kerongkongan.

Di sini keberanian kampus untuk bersuara perlu ditumbuhkan dan dikondisikan. Kebebasan akademik tidak sekadar menjadi slogan. Program kampus merdeka yang dalam beberapa tahun terakhir menyita perhatian sama sekali tidak menyentuh aspek ini.

Merdeka hanya sebatas jargon di tengah cengkeraman tangan kekuasaan yang halus dan terbukti membunuh kemerdekaan intelektual.

Bayangkan, mayoritas kaum intelektual di kampus mengalami ketakutan dan kekhawatiran untuk—meminjam pesan salah satu pendiri Universitas Islam Indonesia, Bung Hatta—mengatakan kesalahan kepada penguasa.

Tentu, tanggung jawab moral ini tidak lantas menjadi alasan kampus abai dari kewajiban lainnya, seperti pengajaran, riset, dan pengabdian kepada masyarakat. Kewarasan kampus harus tetap dijaga dengan semestinya. Jika tidak, kampus merdeka akan berubah menjadi kampus mereka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 23 September 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang penelitian pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.



Categories
Pendidikan

Robohnya Kampus Kami

Langit masih berhiasan semburat merah awan selepas Magrib. Saya pun sampai di sebuah kedai kopi. Suasana masih lengang, karena ukurannya yang lumayan besar. Cacah tamu yang datang pun belum banyak. Sebagian orang mungkin masih meneruskan wirid atau menunda makan malamnya.

Tubuh saya arahkan ke salah satu kursi kosong. Saya sampaikan jika menunggu seorang kawan, ketika pelayan menghampiri.

Tak selang lama, kawan saya pun datang. Seperti biasanya, dia mendekat dengan langkah tegap dan senyum merekah. Topi laken fedora setia menutup kepalanya.

Kami pun menjadi kursi yang lebih nyaman. Agak di dalam. Setelah memesan minuman tradisional, kami pun berbincang.

“Mas, gelisah gak, dengan kondisi bangsa saat ini,” tanya seorang kawan. Kami cukup dekat meski mengabdi di kampus yang berbeda.

“Jelas sekali, Mas”, jawab saya.

Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini.

Obrolan pun mengalir menyangkut banyak hal. Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini. Tentu, kami pun merasa bagian dari mereka. Jika pun dianggap tidak benar, paling tidak, nurani kami mengirim sinyal seperti itu. Ada perasaan bersalah yang menghantui.

Kegelisahannya ini sudah lebih dari cukup untuk memproduksi asam lambung dan mengganggu ritme tidur. Sialnya, keberanian yang ditunggu juga tidak kunjung datang. Tulisan ini harus pun menunggu beberapa hari, sebelum saya putuskan untuk dirampungkan.

Kala itu, kami berbagi perspektif dan cerita, tentang apa yang mungkin dilakukan. Kami sadar dengan beragam kekangan dan risiko yang menghadang. Bukan hanya soal personal, tetapi juga gerbong institusi.  

Banyak kawan-kawan yang kami harapkan ternyata sudah terkooptasi dan terbeli. Saya pun tersentak seakan tak terpercaya, sebelum akal sehat saya kembali menyapa. Semuanya ternyata masuk akal dari kacamata pragmatisme.

Meski demikian, kami sepakat untuk menjaga optimisme. Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa. Tulisan ini juga bentuk sapaan terhadap mereka.

Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa.

Kampus kuburan

Obrolan di kedai itu mengingatkan saya kepada cerita seorang dosen senior yang sangat saya hormati. Dalam sebuah kesempatan, Prof Zaini Dahlan, Rektor Universitas Islam Indonesia 1994-2002, gelisah dan berkata, “Kampus kita kok sepi sekali ya, kayak kuburan”.

Komentar tersebut tidak mengarah kepada sepi fisik, tetapi sepi suara intelektual. Kampus di sini pun tidak merujuk kepada bangunan fisik semata, tetapi keseluruhan ekosistem pembentuk perguruan tinggi.

Karenanya, saya sangat senang, jika sebagian dosen masih menyempatkan menulis di kanal media publik untuk merespons berbagai masalah bangsa. Kadang secara personal, gagasan disampaikan. Di lain waktu, pusat studi menyampaikannya secara kolektif.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup. Meski saya yakin, tidak semua orang, termasuk kalangan terpelajar, menganggap budaya menyampaikan pemikiran kritis ini masih penting.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup.

Yang jelas, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan jika suara intelektual kampus sudah sangat jarang terdengar di ruang publik untuk merespons beragam isu dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pekerjaan rumah bangsa dan negara ini masih banyak.

Kita bisa sebut diantaranya, korupsi yang tak kunjung berkurang, kolusi dan nepotisme dalam semua bentuknya, penyalahgunaan kekuasaan yang melawan kepentingan publik, perusakan alam yang dibiarkan, sampai dengan beragam pengelabuan akal sehat publik.

Gelisah yang tersendat

Dalam diskusi terbatas, kegelisahan tersebut kadang muncul. Namun, kerongkongan para intelektual dapat tiba-tiba tersendat, ketika suara kritis hendak dikeluarkan. Ada beragam kemungkinan alasan.

Termasuk di antaranya adalah masalah labirin administratif yang menghantui para dosen dan pimpinan kampus. Tugas-tugas ini sudah menghabiskan banyak energi tanpa tambahan kualitas yang memadai. Meme Dr Strange bertangan banyak sebagai representasi dosen yang terjebak di semesta jamak dengan tugas bejibun, menggambarkan realitas ini.

Selain itu, menyampaikan gagasan di ruang publik pun bukan tanpa risiko. Saya masih simpan jawaban Prof Azyumardi Azra ketika kami mendiskusikan soal ini melalui WhatsApp, sekitar sebulan sebelum beliau wafat. Beliau pun sadar risiko bersuara kritis.

Prof Azra membalas pesan saya:  “Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”

Beragam definisi intelektual dapat ditemukan dalam literatur. Secara sederhana, intelektual adalah mereka yang selain mumpuni secara keilmuan, juga tetap menjaga sensitivitasnya untuk mengendus masalah publik dan meresponsnya.

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik. Ketika berhubungan dengan publik, tugas intelektual menurut Chomsky adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan; memberikan konteks kesejarahan; dan mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang debat. Karena para intelektual mempunyai banyak privilese yang dinikmati, maka tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan kalangan awam kebanyakan.

Saya dan Prof Azra pernah berdiskusi ringan soal isu kebebasan berpendapat kaum, terutama di kalangan intelektual. Pemicunya adalah teror yang diterima salah satu kolega saya, Prof Ni’matul Huda, ketika akan menjadi pembicara sebuah seminar.

Saya masih ingat, saat itu mengutip pendapat Acemoglu dan Robinson (2019) dalam bukunya The Narrow Corridor: “Kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.”

Kita semua tahu, saat ini, tidak semua media kalis dari kooptasi dan tidak semua kelompok masyarakat sipil steril dari intervensi. Namun, ketika intelektualisme di kalangan terpelajar juga memudar, tanpa bermaksud jemawa, gantungan harapan publik akan semakin sirna.

Kita pun menjadi saksi, secara perlahan bangunan intelektualisme tergerogoti beragam sebab dan dalih. Pilar-pilarnya pun menjadi keropos. Tanpa kemunculan kesadaran kolektif kaum intelektual, kampus dalam imajinasi moral pun menunggu waktu untuk roboh.

Semoga tidak!

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 13 November 2023

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS), Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta, Rektor Universitas Islam Indonesia, Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada  eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

 

Categories
Sosial Budaya

Dilema Organisasi Masyarakat Sipil: Pejuang Aspirasi Publik, Terlilit Masalah Pendanaan

Sejarah mencatat organisasi masyarakat sipil (OMS) berperan besar di Indonesia bahkan sejak dalam proses pembentukan negara. Dalam risalah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sedikitnya terdapat 50 OMS yang terlibat, misalnya ada Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), Sumpah Pemuda (1928), Indonesia Muda (1931), dan lain-lain.

Peran OMS di Indonesia mencakup berbagai aspek, mulai dari memperjuangkan hak asasi manusia dan hak sipil—khususnya bagi kelompok rentan, hingga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. OMS juga berperan penting dalam menangani krisis dan menyokong proses pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

OMS juga lebih efektif dalam merespons isu sosial karena mereka sudah berfokus pada isu-isu kemanusiaan dan keadilan. Lain halnya pemerintah yang terkadang lambat beraksi karena struktur birokrasi dan administrasi yang kaku.

Sayangnya, pelaksanaan peran penting OMS kerap tersandung masalah pendanaan. Sejauh ini,, mayoritas OMS di Indonesia bergantung pada donor (terutama dari luar negeri) ketimbang mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Pendanaan internasional bagi OMS semakin berkurang setelah Indonesia bergabung dalam G20 pada dan masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas pada 2008. Situasi ini amat memengaruhi OMS, apalagi di tingkat lokal.

Minimnya pendanaan dari pemerintah

Berdasarkan laporan The Civil Society Organization Sustainability Index (CSOSI), indeks kemampuan finansial OMS Indonesia dalam dua tahun terakhir (2023-2024) masih berkembang tapi cenderung terhambat. Jumlah OMS yang mencapai 300 ribu pada masa reformasi, kini menurun drastis menjadi kurang dari 8 ribu organisasi akibat minimnya dukungan pemerintah dan donor internasional.

Masalah utama sumber daya dan diversifikasi pendanaan OMS tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.

Di sisi lain, ketergantungan pada donor internasional membuat akuntabilitas OMS di Indonesia meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan donor untuk membuat pelaporan yang lebih transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Untuk pendanaan OMS dari pemerintah, pengelolaannya mengikuti mekanisme khusus bernama Swakelola Tipe 3. Sejauh ini, jumlah pendanaan untuk OMS dari mekanisme ini masih sangat kecil.

Pengalaman tahun 2023 juga menunjukkan banyak kesalahan pelabelan dalam paket Swakelola Tipe 3. Beberapa paket yang seharusnya ditujukan untuk OMS justru mencakup proyek konstruksi, operasional pemerintah, pengadaan barang, hibah, dan jasa pihak ketiga.

OMS juga merasa kesulitan mengakses Swakelola Tipe 3. Ini terjadi karena mereka kesulitan mengakses informasi dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi penerima dana.

Berdasarkan penelitian USAID-MADANI terhadap 437 OMS di Indonesia, sumber pendanaan dari pemerintah hanya mencapai 21%. Sementara itu, mayoritas pendanaan berasal dari internal organisasi, yaitu sebanyak 46%.

Sebanyak 52% OMS yang diteliti menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan dukungan yang memadai atau tidak mendukung pemberdayaan OMS sama sekali, terutama terkait pendanaan. 

Alasan mereka antara lain pemerintah tidak mendukung program OMS, akses terhadap pendanaan terbatas dan syaratnya rumit, dan pemerintah tidak mendukung penguatan OMS secara keseluruhan. Meski demikian, yang menarik adalah sebanyak 58% OMS telah berkolaborasi dengan pemerintah daerah.

Lemahnya komitmen pemerintah untuk memberikan anggaran pada sektor yang ditangani oleh OMS dapat dilihat pada penanganan HIV/AIDS dalam kerangka Target Three Zero 2030. Pada tahun 2021, pemerintah Medan, Surabaya, Makassar, Sorong, dan Jayapura tidak menganggarkan dana untuk program ini. 

Kondisi ini menggambarkan bahwa pendanaan dari kas negara minim bukan karena anggaran tak memadai, melainkan karena pemerintah tidak menjadikan bantuan dana OMS sebagai prioritas.

Minimnya pendanaan tidak hanya memengaruhi operasional organisasi tetapi juga pada para anggota dan aktivis yang terlibat di dalamnya. OMS kerap kepayahan dalam mempertahankan pekerja yang kompeten karena keterbatasan anggaran untuk memberikan gaji yang stabil. Situasi ini mengancam pengembangan organisasi dan keberlanjutan program-programnya.

Sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi minimnya pendanaan dari pemerintah, lahirlah inisiatif bernama Ananta Fund pada 2022.

Ananta Fund merupakan forum kolaborasi untuk membuka peluang kerja sama penyedia dana dari berbagai sektor, mulai dari organisasi bilateral, multilateral, filantropi, dan perusahaan. Inisiatif ini berupaya meningkatkan jumlah dana abadi Ananta Fund serta pendanaan langsung untuk program penguatan OMS.

Dukungan wajib dari pemerintah

Kesejahteraan OMS, baik secara organisasi maupun individu, sangat bergantung pada pendanaan. Sayangnya, akses terhadap sumber dana, terutama dari pemerintah, juga sangat terbatas.

Sebagai gantinya, OMS mencoba diversifikasi donor agar tidak bergantung dari satu sumber dana. Sebagai contoh, mereka mencari pendanaan dari CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) maupun platform urun dana atau crowdfunding seperti Kitabisa.com.

Melihat situasi tersebut, pemerintah seharusnya lebih peka dan mengakui peran OMS dengan memberikan dana yang memadai. Pemerintah perlu mendefinisikan peran OMS sebagai mitra strategis dalam membantu masyarakat dan mengakui peran penting mereka dalam perubahan sosial.

Selain itu, keterbukaan pemerintah dan peluang kerja sama yang lebih luas untuk OMS akan membantu menopang keberlanjutan OMS dalam menggaungkan aspirasi publik dan merealisasikannya dalam bentuk pembangunan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 Maret 2025

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.



Categories
Politik Sosial Budaya

Urgensi Perda Kebudayaan

Kota Yogyakarta sampai tahun 2025 ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara khusus mengenai kebudayaan. Meski pada tingkat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah diatur secara komprehensif di dalam Perdais DIY Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan, tetapi sebagai kota yang memiliki kewenangan tersendiri sudah sepatutnya Kota Yogya karta juga memiliki Perda Kebudayaan. 

Sedikit lebih maju daripada Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul telah memiliki Perda khusus mengenai pengelolaan kebudayaan sejak tahun 2022 lalu. Perda tersebut setidaknya dapat menjadi pijakan dan jaminan akan hadirnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam urusan kebudayaan, baik sekarang maupun mendatang. 

Mendesak 

Setidaknya ada beberapa argumentasi mengapa pembentukan Perda tentang Kebudayaan sangat urgen untuk segera diwujudkan di Kota Yogyakarta. Secara filosofis, sebagai bagian dari DIY, Kota Yogyakarta mewarisi nilai-nilai luhur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat. Warisan budaya tersebut perlu dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan dan dibina agar terus lestari. Pemerintah Daerah harus hadir dalam rangka mempertahankan eksistensinya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan di tengah tantangan dan hambatan peradaban daerah. 

Secara sosiologis, tren positif pengelolaan kebudayaan yang dianggap telah baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Raihan kategori terbaik/emas oleh Kota Yogyakarta dalam penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 dari Kementerian Kebudayaan, perlu juga diimbangi dengan kontribusi murni Kota Yogyakarta kepada pengelolaan kebu- dayaan. 

Saat ini, kontribusi Kota Yogyakarta dalam tata kelola kebudayaan, secara mayoritas masih dalam kedudukannya sebagai pelaksana dan penerima tugas urusan keistimewaan bidang kebudayaan dari Pemerintah DIY, bukan murni dari inisiatif atau otonomi Kota Yogyakarta. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberikan kesempatan kepada Pemerintah Kota untuk juga turut aktif dalam memajukan dan melestarikan kebudayaan di daerahnya.

Secara yuridis, kontribusi yang belum optimal di atas dapat dimaklumi karena Pemerintah Kota Yogyakarta sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Tahunan 2023 Dinas Kebudayaan mengamini sendiri bahwa Kota Yogyakarta memiliki keterbatasan perangkat regulasi teknis terkait dengan pelestarian, pengawasan, dan pengembangan seni budaya di Kota Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasi- kan bahwa terjadi kekosongan hukum bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan tata kelola kebudayaan yang berlandaskan atas otonomi daerah. 

Materi Muatan 

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka ke depan, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta perlu segera membentuk Perda Kota Yogyakarta tentang Kebudayaan. Materi muatan yang perlu diatur dapat berisi beberapa hal berikut. Pertama, sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan antara Pemerintah Daerah DIY dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tujuannya bukan untuk memperumit pembagian kewenangan, tetapi justru dapat memperjelas masing-masing kewenangan dari dua daerah tersebut. Di samping sebagai pelaksana tugas dari Pemerintah DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta juga perlu dimak- simalkan kontribusinya seba- gai daerah yang memiliki kewenangan tertentu. 

Kedua, pemetaan mengenai objek kebudayaan.yang bersumber dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat yang memang berada di Kota Yogyakarta di antaranya nilai hamemayu hayuning bawana, segoro amarto, dan rewang/balad. Ketiga, perlu pengaturan mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan urusan di bidang kebudayaan yang dapat terdiri pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. 

Keempat, pemeliharaan dan pengembangan rintisan ke lurahan budaya serta kelurahan budaya. Dua entitas ini perlu diberi pembinaan dan pelestarian melalui diantaranya peningkatan manajemen, kungan dan fasilitasi sarana dan prasarana serta pendampingan tenaga teknis. Ketentuan ini menjadi lokalitas (local wisdom) karena menjadi kekhasan Kota Yogyakarta. Kelima, pemberian pengha gaan kepada pihak-pihak yang telah be. prestasi dan berperan penting dalam upaya pengelolaan kebudayaan. Penghargaan dapat berupa fasilitas, insentif dan bentuk lainnya. 

Keenam, peran serta masyarakat. Ketentuan ini mengatur mengenai peran apa saja yang dapat diberikan oleh masyarakat di dalam pengelolaan kebudayaan. Peran serta dapat berupa bantuan upaya pengelolaan kebudayaan, bantuan pendanaan, melakukan pelindungan sementara, melakukan advokasi publikasi dan sosialisasi serta pengawasan terhadap upaya pengelolaan kebudayaan. Ketujuh, dukungan pendanaan dalam pelaksanaan pengelolaan kebudayaan. 

Beberapa materi muatan di atas perlu dipertimbangkan agar kehadiran Pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih nyata dalam memberikan kontribusi dalam pengelolaan kebudayaan sebagai daerah otonom, bukan hanya dalam kedudukannya melaksanakan tugas dari Pemerintah DIY. Tentu saja hal ini bertujuan agar potensi kebudayaan di Kota Yogyakarta menjadi optimal secara khusus dan secara umum kebudayaan DIY dapat lestari secara maksimal.



Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 26 Maret 2025

M. Addi Fauzani
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII

Categories
Sosial Budaya

‘Ecohorror’, Alternatif untuk Film Horor Religi di Indonesia

Sutradara Indonesia, Gina S. Noer melayangkan kritik terhadap tren film horor yang sedang berkembang di Indonesia. Ia menyayangkan para sineas yang cenderung mencari jalan cepat untuk menciptakan efek seram dengan memanfaatkan ritual ibadah, alih-alih mengutamakan variasi dan kedalaman cerita. Banyak kalangan juga mempermasalahkan bagaimana agama direduksi sedemikian rupa dan hanya menjadi alat untuk membuat adegan-adegan seram.

Kiblat (2024) menjadi salah satu film yang banyak disorot. Mulai dari poster yang dinilai menistakan agama karena menampilkan sosok seperti iblis sedang salat sampai penggunaan judul ‘kiblat’ yang dianggap menjelek-jelekkan ka’bah selaku tempat suci. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan meminta Agung Saputra, sutradara Kiblat, beserta timnya untuk meminta maaf kepada publik.

Eksploitasi agama di film horor bukanlah hal baru. Sejak rezim Orde Baru, ketatnya sensor pemerintah terhadap film demi menjaga stabilitas rezim, membuat mayoritas pembuat film memilih jalan yang relatif lebih aman. Caranya dengan memproduksi film horor yang mengandung unsur adegan ranjang dan kesadisan, sambil mempromosikan moralitas bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan dan bertakwa kepada Tuhan adalah solusi keselamatan.

Setelah reformasi, mulai muncul film horor yang berani ‘menghilangkan’ kesakralan agama. Sosok kiai atau ustaz tidak lagi menjadi solusi mutlak dari serangan roh jahat. Namun, terlepas dari posisi agama dalam narasi film, ia tetap menjadi menu wajib bagi film horor.

Ini menunjukkan kurangnya eksplorasi sineas terhadap isu religiusitas di masyarakat. Isi film horor hanyalah pengulangan adegan-adegan horor dalam suatu praktik ibadah, misal orang salat yang dimakmumi hantu atau hantu yang bisa memutus doa seseorang. Seolah-olah, tidak ada formula atau ide cerita lain untuk film horor di Indonesia.

Padahal, film horor memiliki potensi sebagai medium yang bisa membicarakan beragam isu penting, termasuk isu lingkungan. Terlebih, masyarakat kita tidak kekurangan cerita-cerita mengenai alam yang bisa mendatangkan celaka kepada siapapun yang mengusiknya.

Apa itu genre ‘ecohorror’?

Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia.

Dalam genre ini, alam direpresentasikan sebagai kekuatan-kekuatan mengerikan yang mengancam manusia gara-gara aktivitas eksploitatif. Salah satu contoh yang paling sering dibahas adalah Godzilla (1954)—film tentang monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

Dalam perkembangannya, ecohorror semakin mempunyai banyak varian cerita yang mengeksplorasi bentuk-bentuk hubungan antara manusia, alam, dan terutama mahluk hidup lainnya.

Deep Blue Sea (1999), misalnya, menggambarkan ilmuwan yang melakukan eksperimen untuk meningkatkan kapasitas otak hiu dalam upaya menemukan obat alzeimer. Namun, situasi berubah horor ketika hiu yang semakin cerdas memburu para ilmuwan dan staf di fasilitas penelitian mereka.

‘Ecohorror’ dan upaya memahami alam di Indonesia

Jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih sedikit. Genre ini tak banyak dibahas baik di ranah populer maupun akademis. Sejauh ini, saya hanya menemukan penelitian tahun 2023 yang secara spesifik membicarakan ecohorror, khususnya dalam konteks perfilman di era Orde Baru.

Menurut riset tersebut, film Ratu Buaya Putih (1988) dan Titisan Dewi Ular (1990) mempunyai formula yang serupa yaitu kemarahan alam atas perbuatan manusia.

Dalam Ratu Buaya Putih, perilaku eksploitatif manusia ditunjukkan lewat pembantaian buaya oleh tokoh bernama Sumarna dan Jefri demi kepentingan bisnis, sedangkan dalam Titisan Dewi Ular, persoalannya adalah spesies ular yang eksistensinya terancam oleh tokoh bernama Dayan demi memperoleh kesaktian. Kedua film tersebut lantas menghadirkan pembalasan alam melalui representasi roh-roh dengan wujud siluman buaya dan siluman ular.

Pada konteks film Indonesia kontemporer, genre ecohorror juga mulai muncul. Sayangnya, isinya masih didominasi narasi yang menempatkan alam sebagai entitas berbahaya.

Seri Kisah Tanah Jawa: Merapi (2019), misalnya, berbicara mengenai demit gunung Merapi yang bisa menculik manusia untuk dijadikan pengantin. Ceritanya mengadopsi kisah yang berkembang di masyarakat mengenai gunung sebagai tempat angker, kerajaan makhluk halus, kemudian pendaki yang hilang dan diculik oleh bangsa jin untuk dijadikan sebagai pengantin.

Namun, karena terlalu fokus pada penciptaan teror, seri ini berhenti pada penggambaran gunung yang misterius dan berbahaya. Sementara manusia sekadar diposisikan menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai kekuatan jahat di sana. Narasi ini berpotensi menciptakan ecophobia (ketakutan irasional terhadap alam) alih-alih tergerak untuk memahami alam secara lebih mendalam.

Memang, risiko membuat audiens menjadi ecophobic tetap ada pada setiap film ecohorror. Sebab, ecohorror adalah genre yang kerap menghadirkan kengerian kepada penonton, entah melalui monster atau perubahan iklim yang membawa bencana.

Namun, kita tetap butuh film ecohorror yang memberi penekanan kuat terhadap kerusakan alam akibat ulah manusia agar muncul rasa bersalah atau, paling tidak, kegelisahan di antara penonton sehingga memantik perbincangan terkait isu-isu lingkungan.

Potensi genre ‘ecohorror’

Meski jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih terbatas, Indonesia memiliki kekayaan cerita yang secara dialogis mewacanakan hubungan antara alam, entitas makhluk gaib, dan manusia.

Di YouTube, misalnya,acara-acara talkshow berbasis paranormal experience telah banyak memuat cerita bagaimana para pendaki gunung memperoleh gangguan jin gara-gara mengotori lingkungan,  seperti mengotori tempat-tempat sakral atau membuang pembalut sembarangan. Biasanya mereka baru bisa lepas dari gangguan tersebut setelah meminta maaf kepada si jin penjaga gunung.

Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara.

Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya.

Kontekstualisasi ‘ecohorror’

Industri perfilman luar negeri sudah banyak mengeksplorasi variasi tema dalam genre ecohorror. Godzilla merupakan salah satu monster yang filmnya paling sering direproduksi dan kerap menjadi perbincangan terkait isu-isu lingkungan. Jika film Godzilla pertama (1954) menyuguhkan pesan mengenai bom nuklir yang membawa petaka, Godzilla versi baru menyajikan tema perubahan iklim dan kepunahan massal.

Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menggunakan formula film ecohorror dari luar.

Sebagian besar masyarakat Indonesia barangkali tidak bisa terhubung dengan kisah monster yang bangkit gara-gara ledakan nuklir atau monster yang tercipta akibat eksperimen sains tertentu. Namun, mereka jelas punya kedekatan terhadap kisah para pendaki gunung yang tersesat ke desa gaib karena membuang pembalut sembarangan. Jutaan views di kanal YouTube RJL 5 saat mengundang narasumber-narasumber yang mengklaim punya pengalaman soal penunggu gunung, misalnya, menguatkan hal ini.

Dengan minat yang tinggi terhadap isu-isu pengalaman gaib, film-film ecohorror bisa menjadi salah satu medium untuk mengarusutamakan isu lingkungan di tengah masyarakat. Meski film horor sendiri bersifat dinamis, fleksibel, dan terbuka untuk berbagai interpretasi, mengeksplorasi ecohorror bisa menjadi langkah awal untuk memantik dialog terkait isu lingkungan, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang kerap abai terhadap kelestarian alam.

Minimal, film ecohorror bisa mengajak kita untuk berpikir ulang: masihkah kita berupaya memahami alam dan bahasa-bahasanya dengan benar?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 17 April 2024

Khumaid Akhyat Sulkhan
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bergiat di Klub Studi Simulakra. Bidang riset pada kajian media dan budaya digital.

Categories
Hukum Kesehatan

Rokok dan UU Kesehatan 2023

Polemik dan perdebatan tentang rokok dan kesehatan adalah polemik lama berkepanjangan yang tampaknya tidak akan pernah usai. Seilmiah apa pun hasil penelitian kesehatan menunjukkan bahaya rokok dan menghirup asap rokok. Pada faktanya banyak orang merokok yang tetap sehat dan bugar, sebaliknya tidak sedikit juga orang yang tidak merokok tetapi memiliki masalah yang kompleks terhadap kesehatannya.

Kondisi ini bersamaan pula dengan merebaknya penjual rokok, baik yang legal maupun ilegal, bahkan belakangan semakin banyak bermunculan merek-merek rokok baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Maka tidak heran, jika berhenti merokok untuk alasan kesehatan belum menjadi kesadaran bersama masyarakat Indonesia.

Mari kita coba kembali pada persoalan klasik mengenai merokok atau hak untuk merokok. Banyak orang berasalan bahwa merokok adalah hak asasi setiap orang. Oleh karena itu, sama dengan komponen hak lainnya, negara berkewajiban untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati hak tersebut. Benarkah demikian menurut konsepsi hak asasi manusia?

Dalam konsepsi hak asasi manusia, merokok bukanlah bagian dari hak asasi, sebaliknya yang merupakan hak asasi adalah hak untuk sehat dan mendapatkan udara yang sehat. Oleh karena itu, justru yang harus dilakukan dan dilindungi oleh negara adalah jaminan bahwa setiap orang mendapatkan udara yang bersih, segar, dan sehat.

Dengan demikian, apakah merokok mejadi terlarang? Tentu tidak, merokok sah-sah saja bagi siapa pun yang menginginkannya, bahkan merokok dapat mejadi hak jika kebolehannya ini diatur dalam sebuah peraturan, misalnya dalam peraturan daerah. Namun, dalam konteks ruang publik, negara justru wajib memastikan agar setiap orang terbebas dari asap rokok yang dapat mengganggu kesehatannya. Jadi, merokok justeru dapat bahkan harus dilarang jika berpotensi atau telah mengganggu hak mendapatkan udara yang segar dan sehat.

Kewajiban di UU Kesehatan

Saat ini, pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan 2023) yang salah satunya mengatur tentang rokok. Dari aspek formal prosedural, ini kali kesekian pemerintah dan DPR mengesahkan UU secara tergesa-gesa, tidak melewati partisipasi yang memadai, juga tidak melalui kajian yang cukup baik.

Dampaknya, tidak ada dasar dan pijakan ilmiah terhadap pilihan kebijakan yang diambil. Salah satu misalnya adalah kesalahan berpikir dalam memaknai rokok dan hak asasi manusia. Misalnya ketentuan Pasal 151 UU Kesehatan 2023 yang berbunyi, “Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok”.

Pasal ini mewajibkan agar tempat-tempat publik menyediakan tempat khusus bagi perokok. Sekilas, ini seperti jalan tengah antara perokok dan bukan perokok, ini seperti jalan keluar agar perokok tetap mendapatkan tempat untuk merokok, di sisi lain tidak mengganggu orang yang tidak merokok.

UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut.

Namun, jika dilihat lebih dalam, Pasal 151 ini justru ambigu, anomali, dan bertentangan dengan UUDN RI Tahun 1945. Pasal 28H UUD menegaskan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.

UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut. Dengan demikian, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, dan tempat umum sejatinya harus membantu memastikan agar tempat publik terbebas dari asap rokok.

Selain itu, jika ketentuan di atas disahkan, lalu ada pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja dan tempat umum yang karena menjalankan mandat konstitusi ingin melindungi hak atas lingkungan yang sehat, dengan cara tidak menyediakan tempat khusus merokok, maka akan mendapatkan sanksi, karena frasa ”wajib” dalam pasal tersebut. Ini sangat anomali, bagaimana mungkin ada pihak yang melindungi masyarakat dari lingkungan yang kotor akibat asap rokok justru mendapatkan hukuman.

Ini mengindikasikan bahwa ketentuan pasal tersebut harus ditinjau ulang, jalan singkat yang dipilih oleh DPR dan pemerintah ini akan berdampak fatal bagi jaminan atas hak mendapatkan udara sehat dan segar. Terlebih, penormaan ini dengan mengesampingkan partisipasi publik yang memadai. Sejatinya, urusan rokok ini sudah sangat jelas terpampang di bungkusnya bahwa ”merokok membunuhmu”, jika pemerintah mewajibkan penyediaan tempat khusus untuk merokok, tampaknya mengamini adagium itu.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 26 Juli 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.



Categories
Ekonomi

PPN 12 Persen, Penggerak atau Pengerem Ekonomi Rakyat?

Meski kebutuhan pokok seperti sembako sebagian besar dikecualikan, barang-barang sekunder yang juga krusial bagi konsumsi rumah tangga akan terkena imbasnya.

 

Mampukah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen menjadi penggerak ekonomi melalui optimalisasi pendapatan negara, atau justru akan menjadi pengerem ekonomi yang melemahkan daya beli dan sektor riil?

Pemerintah berdalih, langkah menaikkan tarif PPN diperlukan guna meningkatkan penerimaan negara demi pembiayaan pembangunan berkelanjutan. Namun, bagi masyarakat kecil, kebijakan ini menyulut kekhawatiran baru. Harga barang dan jasa yang kian melonjak menjadi beban berat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Keputusan pemerintah untuk meningkatkan tarif PPN bukanlah langkah yang diambil tanpa dasar. Sejak awal diterapkannya sistem PPN di Indonesia pada 1984, kebijakan ini dirancang sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara. Dalam beberapa dekade terakhir, PPN menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas fiskal.

Ketika defisit anggaran meningkat, seperti yang terjadi selama pandemi Covid-19, pemerintah berupaya mencari cara untuk menutup celah pendanaan tanpa terlalu membebani kelompok berpenghasilan rendah.

Pilihan untuk menaikkan PPN, dibandingkan pajak lainnya, karena PPN dianggap memiliki basis yang lebih luas dan efisien dalam pengumpulan.

Namun, sejarah juga mencatat, setiap kali terjadi kenaikan tarif PPN, respons masyarakat tak pernah sederhana.

Pada tahun 2001, ketika tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen, terjadi peningkatan inflasi sebesar 1,2 persen yang langsung memukul daya beli masyarakat. Situasi serupa terjadi pada 2022 ketika PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen, dengan lonjakan inflasi mencapai 4,2 persen.

Dengan memahami histori ini, kita dapat melihat mengapa pemerintah memilih kebijakan ini meski menyadari potensi risiko ekonomi yang menyertai.

Dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari berbagai perspektif. Dalam konteks pemulihan ekonomi nasional, pendapatan pajak yang meningkat diyakini mampu mendukung program-program prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Namun, pada saat yang sama, daya beli masyarakat yang rendah akibat kenaikan harga dapat menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi lokal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi tahunan pada 2024 diproyeksikan berada di kisaran 4-5 persen, sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga barang dan jasa yang dikenai PPN. Dengan basis data ini, penting untuk menganalisis lebih dalam dampak dan potensi dari kebijakan kenaikan tarif PPN.

Perspektif pemerintah

Pemerintah mengklaim meningkatkan tarif PPN adalah langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara. Dengan meningkatnya penerimaan pajak, pemerintah dapat melanjutkan program prioritas nasional seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, dan pendidikan.

Pada tahun 2023, pendapatan pajak Indonesia mencapai Rp 1.716 triliun, di mana PPN menyumbang sekitar 38 persen dari total pendapatan tersebut. Dengan peningkatan tarif menjadi 12 persen, pemerintah memproyeksikan tambahan penerimaan hingga Rp 150 triliun per tahun, yang dapat dialokasikan untuk berbagai program pembangunan.

Selain itu, pemerintah menekankan bahwa tarif 12 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Filipina dan Vietnam yang mengenakan PPN hingga 15 persen. Klaim ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam batas wajar secara regional.

Namun, klaim ini perlu diuji lebih jauh. Apakah dana yang terkumpul benar-benar dikelola secara efisien dan tepat sasaran? Tantangan utama kebijakan fiskal di Indonesia bukan hanya pada aspek penerimaan, melainkan juga pada pengelolaan dan transparansi anggaran.

Pemerintah juga berargumen, kenaikan tarif ini tak serta-merta membebani rakyat kecil karena beberapa barang dan jasa kebutuhan pokok dikecualikan dari PPN. Namun, pertanyaan tetap ada: bagaimana kebijakan ini berdampak pada barang sekunder dan jasa lainnya yang turut memengaruhi konsumsi masyarakat? Dampak jangka pendek seperti penurunan daya beli dan inflasi perlu menjadi perhatian serius untuk memastikan kebijakan ini tidak menghambat pemulihan ekonomi.

Pemerintah mengklaim meningkatkan tarif PPN adalah langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara.

Dampak pada ekonomi rakyat

Kenaikan tarif PPN berpotensi menimbulkan efek domino terhadap perekonomian rakyat. Salah satu dampaknya, lonjakan harga barang dan jasa.

Meski kebutuhan pokok seperti sembako sebagian besar dikecualikan, barang-barang sekunder yang juga krusial bagi konsumsi rumah tangga akan terkena imbasnya. Menurut survei BPS di triwulan I-2024, pengeluaran rumah tangga pada barang sekunder mengalami penurunan hingga 12 persen dibandingkan dengan periode sama 2023. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran konsumen akan kenaikan harga akibat PPN.

Efek ini bukan hanya bersifat ekonomi, melainkan juga psikologis, melemahkan daya beli masyarakat yang sudah rentan. Dalam konteks ekonomi mikro, teori permintaan menunjukkan kenaikan harga biasanya menyebabkan penurunan konsumsi, terutama untuk barang yang elastis. Daya beli masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada pada level menengah ke bawah membuat mereka lebih sensitif terhadap perubahan harga.

Bagi sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, dampaknya lebih nyata. UMKM menyumbang sekitar 61 persen produk domestik bruto (PDB) dan mempekerjakan lebih dari 97 persen tenaga kerja nasional. Tekanan biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan tarif PPN bisa mengurangi margin keuntungan mereka.

Di sisi lain, penurunan konsumsi domestik berisiko mengurangi omzet UMKM dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.

Kebijakan ini juga menyoroti sifat regresif dari PPN, di mana beban pajak cenderung lebih berat dirasakan oleh kelompok berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok kaya. Data OECD menunjukkan bahwa sistem pajak regresif dapat memperburuk ketimpangan ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini berpotensi memperlebar ketimpangan ekonomi jika tidak diimbangi dengan kebijakan redistributif yang efektif.

Kebijakan penyeimbang

Untuk memastikan kenaikan tarif PPN tidak menimbulkan gejolak yang terlalu besar, diperlukan kebijakan penyeimbang yang komprehensif.

Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi UMKM untuk meredam dampak kenaikan tarif ini. Sebagai contoh, pembebasan pajak untuk bahan baku tertentu yang digunakan UMKM dapat menjadi solusi untuk menekan biaya produksi. Selain itu, perluasan program bantuan sosial yang tepat sasaran juga menjadi solusi penting untuk menjaga daya beli masyarakat miskin.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk bantuan sosial pada tahun 2024 mencapai Rp 470 triliun, tetapi efektivitas distribusinya masih perlu ditingkatkan.

Pengalaman negara-negara seperti Jerman dan Swedia menunjukkan bahwa tarif PPN yang tinggi bisa diterapkan tanpa menekan ekonomi rakyat, asalkan diimbangi dengan subsidi langsung dan insentif yang memadai. Di Jerman, subsidi untuk energi dan transportasi publik membantu meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pajak. Tanpa langkah ini, kenaikan tarif PPN hanya akan menambah beban tanpa memberikan manfaat nyata bagi rakyat.

Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan literasi pajak di kalangan masyarakat juga penting. Sebagai bagian integral dari ekosistem ekonomi, masyarakat memiliki peran penting dalam menyikapi kebijakan ini. Salah satu langkah awal adalah meningkatkan pemahaman tentang pajak, termasuk tujuan kenaikan tarif PPN dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.

Dengan memahami konteks kebijakan, masyarakat bisa mengurangi resistensi yang berbasis pada kesalahpahaman.

Untuk memastikan kenaikan tarif PPN tidak menimbulkan gejolak yang terlalu besar, diperlukan kebijakan penyeimbang yang komprehensif.

Langkah mitigasi

Agar kenaikan tarif PPN menjadi langkah yang konstruktif, pemerintah perlu menyiapkan strategi mitigasi yang komprehensif untuk meredam dampak negatif kebijakan ini, terutama bagi masyarakat kecil dan sektor UMKM.

Pertama, memberikan subsidi langsung untuk barang dan jasa esensial dalam kehidupan masyarakat, seperti transportasi publik, bahan bakar, dan energi rumah tangga, untuk menjaga daya beli masyarakat.

Kedua, memberi insentif pajak bagi UMKM dan sektor riil, berupa pembebasan/pengurangan PPN untuk bahan baku tertentu yang digunakan UMKM dan insentif khusus untuk sektor riil yang terdampak langsung. Ini bisa membantu pelaku usaha menekan biaya produksi dan menjaga stabilitas operasional.

Ketiga, perluasan dan efisiensi program bansos. Meningkatkan cakupan dan ketepatan sasaran program bansos seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau kartu sembako. Penggunaan data terkini yang akurat sangat penting untuk memastikan bantuan ini sampai kepada yang benar-benar membutuhkan.

Keempat, kebijakan harga yang terjangkau untuk kebutuhan pokok. Mengendalikan harga barang kebutuhan pokok melalui pengawasan rantai distribusi, serta memberikan insentif kepada produsen untuk menjaga stabilitas harga di tengah kenaikan tarif pajak.

Kelima, edukasi dan literasi pajak bagi masyarakat dan pelaku usaha. Keenam, penguatan transparansi dan akuntabilitas dana publik. Ketujuh, peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran. Memastikan setiap tambahan penerimaan negara dari PPN digunakan secara optimal, mengurangi pemborosan, dan memprioritaskan proyek yang memberi dampak sosial-ekonomi terbesar. Kedelapan, monitoring dan evaluasi dampak kebijakan.

Dengan menerapkan langkah-langkah mitigasi ini, pemerintah tidak hanya dapat meminimalkan dampak negatif kebijakan kenaikan PPN, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan fiskal yang diambil.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Desember 2024

Listya Endang Artiani
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi UII. Bidang riset pada makroekonomi, ekonomi moneter, dan ekonomi energi