Categories
Politik Sosial Budaya

Bagaimana Aktivisme Digital Penggemar K-Pop di Indonesia mewarnai Pemilu 2024

Aktivisme fandom (sekelompok orang yang membentuk komunitas) K-Pop makin menunjukkan pengaruh yang luas, mulai dari aktivisme yang berkaitan dengan kemanusiaan hingga politik. 

Di Indonesia, kesukaan sejumlah masyarakat terhadap K-Pop tampak dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang maju dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 guna meraup suara. Bagaimana tidak, jumlah pemilih muda yang masuk kategori milenial dan Gen Z pada Pemilu 2024 mencapai 55%. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah penggemar K-Pop terbanyak di Dunia.  

Menariknya, biasanya fandom K-Pop memiliki karakteristik tidak mudah disetir dan benci ditunggangi kepentingan politik. Maka, ketika mereka melibatkan diri dalam aktivisme digital pada Pemilu 2024 secara sukarela, ini menjadi fenomena yang unik.

Salah satu contoh yang menonjol adalah akun Anies Bubble di X (dulunya Twitter). Walaupun akun ini menyangkal bahwa aktivisme digital mereka merepresentasikan fandom K-Pop tertentu maupun penggemar K-Pop secara menyeluruh, fenomena ini tetap memperlihatkan bagaimana komunitas pecinta budaya Korea mewarnai kontestasi politik tanah air.

‘Anies Bubble’ dan manuver politik

Akun @aniesbubble mengklaim sebagai akun pendukung Anies. Per 5 Februari 2024, akun ini memiliki jumlah pengikut 178 ribu sejak cuitan pertamanya pada 29 Desember 2023.

Akun @aniesbubble mengadopsi karakter fandom K-Pop dalam mengomunikasikan pesan melalui unggahan. Contohnya adalah dengan menggunakan Bahasa Korea dalam unggahan, menggunakan emoji burung hantu sebagai lambang identitas Anies-layaknya identitas yang dimiliki oleh idol K-Pop-hingga penamaan fandom “Humanies”. Akun @aniesbubble tidak menjelaskan secara rinci apa arti “Humanies”, tetapi para penggemar menginterpretasikan “Humanies” sebagai pendukung hak asasi manusia, lekat dengan nilai keadilan untuk seluruh pihak, dan memanusiakan manusia (diambil dari kata humanis). 

Adapun aktivisme digital penggemar K-Pop ini dapat dijelaskan melalui aktivitas clicktivismmetavoicing, dan assertion yang diungkapkan oleh Jordana J.George dan Dorothy E. Leidner dari Baylor University, Amerika Serikat. 

Aktivisme ini diawali dengan clicktivism, yaitu aktivitas digital dalam bentuk pemberian likevoting, maupun mengikuti akun media sosial atau blog. Para penggemar K-Pop memulai gerakannya saat akun @aniesbubble muncul dan mulai menjadi pengikut. Konten pada akun @aniesbubble yang mengutip Live TikTok Anies yang pertama  pada 29 Desember 2023, berhasil mendapatkan like sebanyak 4,1 ribu. Voting dilakukan saat @aniesbubble membuka voting pemilihan nama fandom pada 3 Januari 2024, antara Humanies atau Manies.

Aktivitas berikutnya adalah metavoicing, yakni ketika pengguna media sosial melakukan aktivitas memberikan komentar, mengunggah ulang post (reposting), sharing, dan retweeting unggahan media sosial yang dilakukan oleh akun lain. Salah satu cuitan @aniesbubble yang mendapatkan repost terbanyak adalah konten mensenai guru PAUD, yakni sebanyak 28 ribu. Seorang guru PAUD berkeluh-kesah bahwa profesinya dipandang sebelah mata, sehingga ia meminta motivasi dari Anies. Anies memberinya semangat dengan mengatakan bahwa guru PAUD justru menjadi guru yang paling diingat oleh anak didiknya.

@aniesbubble juga melakukan metavoicing dengan mengunggah ulang potongan-potongan video live Tiktok Anies ke platform X. Repost maupun retweeting merupakan aktivitas yang satu level lebi tinggi daripada liking karena membutuhkan usaha yang lebih.

Dalam hal video, @aniesbubble melakukan pengeditan dengan mengambil konten dari live Tiktok Anies, memotongnya, dan mengunggahkan kembali di platform X.

Sementara itu, assertion didefinisikan sebagai bagaimana konten media sosial diproduksi. Aktivitas ini membutuhkan skill yang relatif lebih tinggi dan usaha yang lebih besar daripada clicktivism dan metavoicing karena mengharuskan adanya produksi video, audio, gambar, maupun teks.

@aniesbubble memiliki karakterisktik yang mirip dengan fandom K-Pop, seperti memproduksi konten tentang idol mereka dengan gaya khas K-Pop sebagai media promosi. @aniesbubble juga membuat konten-konten promosi seperti halnya saat idol K-Pop dipromosikan.

Melalui wawancaranya dengan media Magdalene , admin akun @aniesbubble mengaku bahwa pergerakannya di platform X terinspirasi dari kebiasaannya sebagai penggemar K-Pop yang mengoperasikan akun-akun fandom tertentu.

Jaringan penggemar Anies juga memproduksi konten digital berupa video yang didesain mirip dengan video promosi idol K-Pop. Akun X dengan username @olpproject bahkan membuka penggalangan dana untuk mempromosikan Anies secara sukarela. Video promosi Anies dengan gaya editan yang mirip idol K-Pop bahkan sempat tayang di area Grand Metropolitan, Kota Bekasi, Jawa Barat; Graha Mandiri Jl. Imam Bonjol, Taman Menteng, Jakarta; depan Hermes Palace, Jalan Pemuda, Medan, Sumatra Utara; depan Hotel Sahid, Surabaya, Jawa Timur; serta Graha Satria, Fatmawati, Jakarta.

Penggemar K-Pop dalam politik: efek kejut

Fenomena penggemar K-Pop menggalang dukungan secara sukarela untuk kandidat presiden tertentu menjadi fenomena unik. Ini karena selama ini pecinta K-Pop paling tidak suka eksistensi mereka dipolitisasi dan sangat berhati-hati menunjukkan keberpihakan.

Pada Juli 2023, misalnya, calon presiden Ganjar Pranowo melontarkan cuitan di X, “Mas @gibran_tweet tadi bilang pengen bikin konser Kpop di Solo. Tapi masih bingung mau undang siapa. Kamu punya ide?”. Alih-alih mendapatkan respons positif, cuitan tersebut justru mendapat sentimen negatif dari fandom K-Pop karena mereka tidak terima jika idolanya dijadikan alat pendulang suara belaka. 

Ada pula satu calon legislatif (caleg) dari suatu partai politik, yang maju dalam pemilihan legislatif Kota Bandung, Jawa Barat, yang membuat spanduk kampanye yang menampilkan foto dirinya yang diedit bersama idol K-Pop Enhypen. Ini memicu reaksi keras dari fandom K-Pop, bahkan banyak disindir oley warganet di X “sederhana tapi bikin kpopers marah”. Penggemar K-Pop menunjukkan kekesalan dan kemarahan karena idola mereka dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Maka dari itu, respons penggemar K-Pop terhadap manuver politik Anies di media sosial sangat mungkin membawa pengaruh politik yang besar. Respons pengguna TikTok dan X yang dapat dikategorikan sebagai aktivisme digital ini diklaim pihak Anies sebagai sesuatu yang organik dan bukan merupakan bagian dari tim pemenangan Anies.

Adu ‘branding’ kandidat di media sosial

Ekspresi penggemar K-Pop dalam idolisasi Anies bisa saja menjadi “kemenangan” kecil bagi Anies. Tantangan yang dihadapi kemudian adalah bagaimana aktivisme digital yang diklaim organik ini berhadapan dengan aktivisme digital pada level lain yang sangat mungkin muncul karena fabrikasi maupun manipulasi oleh robot (botism).

Selain itu, wajar saja jika setiap kandidat berusaha menciptakan branding diri agar bisa menarik simpati pemilih muda, meskipun belum tentu Anies sendiri paham soal K-Pop.

Capres Prabowo Subianto juga membentuk image ‘gemoy’ terhadap dirinya di media sosial. Sementara itu, kemunculan capres Ganjar Pranowo dalam sebuah podcast pada 2019 lalu yang kembali viral membuatnya mendapat julukan ‘penguin’.

Diskursus politik di media sosial hanya salah satu penentu bagaimana pengguna media sosial menunjukkan perspektifnyaHype di media sosial tidak selalu mencerminkan kondisi di lapangan, sehingga aktivisme digital meskipun masif dilakukan atau bahkan bersifat organik, belum tentu akan memenangkan pasangan capres-cawapres yang bersangkutan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Februari 2024

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada  masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Kesehatan Pilihan

Ada Mikroplastik dalam Teh Celup, Haruskah Kita Khawatir?

  • Mikroplastik ditemukan dalam lima produk teh celup di Indonesia
  • Kontaminasi partikel ini diduga bisa menyebabkan masalah pencernaan, gangguan hormon, hingga kanker
  • Paparan mikroplastik sulit untuk dihindari, tapi bisa dikurangi, salah satunya dengan kurangi konsumsi produk kemasan

Belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan temuan mikroplastik pada lima merek teh celup di Indonesia. Peneliti dari Ecological Observation and Wetland Conservation (ECOTON) menemukan keberadaan partikel mikroplastik saat kantong teh—berbahan kertas kraft—diseduh dalam suhu 95 derajat Celcius.

Mikroplastik adalah komponen kecil plastik berukuran kurang dari lima milimeter (mm) yang tidak dapat larut dalam air dan sulit terurai. Sebagian besar partikel ini masuk ke dalam tubuh melalui makanan, lalu mengendap di ginjal, hati, hingga otak.

Menurut peneliti ECOTON, mikroplastik berisiko menimbulkan efek kesehatan negatif, mulai dari peradangan, gangguan hormon, hingga kanker. Namun, selama lebih dari 20 tahun penelitian mikroplastik (mayoritas pada hewan coba), pengetahuan soal dampak langsung keracunan partikel ini terhadap kesehatan manusia masih sangat terbatas.

Lantas, apakah teh celup masih aman untuk dikonsumsi?

Amankah minum teh celup?

Mikroplastik terdiri dari tujuh komponen dengan karakteristik masing-masing, yaitu polipropilena (PP), polivinil klorida (PC), polietilena (PE), polietilena tereftalat (PET), poliformaldehida (POM), nilon 6 (PA6), dan polistirena (PS).

Ketujuh komponen tersebut dapat ditemui dalam produk sehari-hari, misalnya air kemasan, buah, sayuran, botol minuman, produk kosmetik, hingga kantong teh seperti yang diteliti ECOTON. Mikroplastik bisa masuk ke tubuh, saat kita mengonsumsi atau memakai produk yang sudah terkontaminasi partikel plastik ini.

Sayangnya, hasil penelitian ECOTON tidak mencantumkan informasi estimated daily intake (EDI) alias perkiraan jumlah mikroplastik yang tertelan ketika minum teh tersebut. Alhasil, masyarakat tidak memperoleh informasi utuh mengenai risiko kesehatan akibat mengonsumsi teh yang tercemar mikroplastik.

Sebagai perbandingan, di bawah ini EDI mikroplastik dalam buah dan sayuran:

Data penelitian tahun 2020 di atas memaparkan dugaan tingginya jumlah mikroplastik dalam buah dan sayuran yang tertelan oleh anak-anak dan orang dewasa. Besaran konsentrasi mikroplastik pada buah dan sayuran dipengaruhi oleh keragaman paparan, cara mengemas, dan mencuci yang dapat mengurangi kadar partikel pada buah dan sayuran.

Meski perkiraan jumlah mikroplastik dalam buah dan sayuran yang tertelan sangat banyak, penelitian tersebut tidak menjelaskan secara lengkap dampak konsumsi mikroplastik terhadap kesehatan manusia.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC), maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sendiri belum mengumumkan secara resmi ambang batas aman EDI mikroplastik dari buah, sayuran, dan produk konsumsi sehari-hari.

Oleh karena itu, sejauh belum ada regulasi batas aman mikroplastik pada bahan makanan, maka konsumsi teh celup masih diperbolehkan. Masyarakat pun tidak perlu khawatir, tetapi tetap harus waspada.

Waspada efek negatif mikroplastik

Pada dasarnya, mikroplastik ada di mana-mana. Partikel ini pun bisa memasuki tubuh manusia lewat hidung, kulit, ataupun mulut. Sejumlah penelitian menemukan keberadaan mikroplastik dalam ASI, dahak, feses, hingga darah.

Meski begitu, dampak langsung keracunan mikroplastik terhadap kesehatan manusia perlu diteliti lebih lanjut. Pasalnya, riset sebelumnya lebih banyak dilakukan pada hewan coba, berikut sejumlah temuannya:

  1. Masalah pencernaan

Penelitian tahun 2022 pada hewan coba mengungkapkan bahwa paparan mikroplastik yang tertelan dan mengontaminasi saluran cerna menyebabkan ketidakseimbangan komposisi bakteri baik dan jahat di dalam usus.

Akibatnya, penyerapan makanan pun terganggu sehingga menyebabkan hewan yang keracunan mengalami masalah pencernaan.

  1. Gangguan pernapasan

Kontaminasi mikroplastik pada pernapasan manusia diduga dapat menyebabkan stres oksidatif—yang bisa memicu peradangan, merusak saluran napas, dan menimbulkan gangguan pernapasan.

  1. Gangguan hormon dan perkembangan janin

Bisphenol A merupakan mikroplastik yang dapat terakumulasi dalam darah dan menyebabkan gangguan hormon, reproduksi, pertumbuhan, maupun perkembangan janin. 

Penelitian terbaru menemukan keberadaan mikroplastik dalam empat sampel plasenta bayi. Ukuran mikroplastik yang sangat kecil menyebabkan partikel ini sanggup melewati plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi janin.

Studi lainnya juga menemukan 59 sampel ASI yang terkontaminasi mikroplastik polipropilena (PP), polivinil klorida (PC), dan polietilena (PE). Mikroplastik bisa mengikat hormon estrogen sehingga partikel ini bisa ikut masuk ke dalam ASI.

  1. Kanker

Kontaminasi mikroplastik pada hewan dan manusia diduga bisa mendorong pembelahan sel secara tidak terkendali. Kondisi ini bisa memicu berbagai jenis kanker, seperti paru-paru, darah, payudara, prostat, dan ovarium.

Namun, penelitian lanjutan diperlukan untuk memahami bagaimana paparan mikroplastik menyebabkan pembelahan sel.

Mengurangi dampak buruk mikroplastik

Mikroplastik bisa ada di mana-mana sehingga sulit untuk benar-benar menghindari paparannya. Hal yang bisa kita lakukan adalah mengurangi risiko paparan mikroplastik lewat sejumlah cara berikut:

  • Cuci bersih buah, sayur, daging, dan ikan berulang kali. Pastikan membuang jeroannya yang mungkin mengandung zat racun berbahaya.
  • Gunakan kosmetik seperlunya. Penggunaan berlebihan berisiko menyebabkan mikroplastik masuk lewat kulit dan terserap ke dalam tubuh melalui pembuluh darah kulit.
  • Gunakan masker wajah saat keluar rumah untuk menghindari zat yang mengiritasi pernapasan.
  • Kurangi konsumsi air kemasan, teh celup, dan produk kemasan lainnya.
  • Hindari menyimpan dan memanaskan barang dalam plastik.
  • Jaga kesehatan dengan tidur yang cukup, konsumsi makan sehat bergizi seimbang, dan rutin berolahraga.

Minum teh celup boleh-boleh saja. Namun, kita tetap perlu waspada dengan tidak mengonsumsinya terlalu sering agar terhindar dari risiko efek negatif mikroplastik.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Mei 2025

Sani Rahman Soleman
Dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran UII.

 



Categories
Hukum Politik

100 Hari Pertama Prabowo-Gibran, Masa Depan Perlindungan HAM Makin Dipertanyakan

Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) merupakan Asta Cita nomor 1 dari prioritas program Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini.

Namun, riset terbaru Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menemukan bahwa performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran justru suram pada 100 hari pertama kekuasaannya, terutama dari sisi substansi peraturan perundang-undangan. Kesenjangan ini menjadi fondasi untuk mempertanyakan masa depan perlindungan HAM dalam lima tahun ke depan.

Riset ini meneliti performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran dari sisi substansi peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama pemerintah. Kami berfokus pada 155 peraturan perundang-undangan, terbagi ke dalam 87 undang-undang, satu peraturan pemerintah, dan 67 peraturan presiden.

Dengan mendefinisikan orientasi HAM berdasarkan pernyataan formal dan eksplisit tentang HAM dalam peraturan-peraturan itu, riset ini berupaya untuk memahami cara pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM di dalam aturan bernegara.

Elemen HAM dianggap minoritas

Riset kami menemukan bahwa selama 100 hari pertama memimpin, pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan.

Temuan ini didasarkan pada penilaian terhadap orientasi HAM di dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan indikator pemuatan HAM dalam peraturan, pemerintahan Prabowo-Gibran memperoleh skor 0,14 dari skala 0-1. Sementara berdasarkan indikator cakupan hukum dan ragam HAM dalam peraturan, pemerintahan saat ini memperoleh skor 0,06 dari skala 0-1.

Peraturan Presiden tentang Kementerian Kehutanan, misalnya, tidak didekati dengan pokok pikiran dan alasan pembentukan yang berbasis HAM. Dasar hukum pembentukannya juga tidak merujuk satu pun instrumen hukum HAM. Begitu juga dengan materi muatannya yang tidak menyatakan pelbagai ragam HAM secara eksplisit dan formal. Padahal, terdapat keterhubungan yang ketat antara isu kehutanan dengan HAM.

Dengan demikian, skor orientasi HAM dalam peraturan-peraturan yang telah disahkan hanya berkisar 0,1 dari skala 0-1, menandakan orientasi HAM yang sangat lemah dari pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Ini artinya, aspek HAM belum menjadi perhatian bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam membentuk peraturan perundang-undangan pada 100 hari pertama.

Memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan bukan pertanda baik dalam upaya perlindungan HAM. Konstitusi menegaskan bahwa pemerintah mengemban tanggung jawab untuk menjamin penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Dengan demikian, tanggung jawab pemerintahan terhadap HAM tidak hanya harus dilakukan, tetapi juga harus sudah terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang disahkan.

Abaikan hukum HAM

Riset ini juga menemukan bahwa pendayagunaan hukum HAM masih sangat terbatas. Dari 15 instrumen hukum internasional dan nasional HAM yang menjadi acuan, hanya satu instrumen yang dirujuk dalam 155 peraturan yang disahkan, yaitu UUD 1945 atau Konstitusi. Di tengah banyaknya instrumen hukum HAM, praktik ini menandakan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung tertutup dari keberadaan hukum nasional dan internasional HAM.

Menurut riset PUSHAM UII, pertimbangan tentang HAM justru sukar ditemukan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan peraturan-peraturan yang telah disahkan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Dalam dasar hukum pembentukan, rujukan langsung pada hukum internasional dan nasional HAM disebut sebagai praktik yang langka. Ragam HAM hampir tidak pernah ditemukan dalam ketentuan pasal-pasal. Selain itu, konstruksi HAM dalam penjelasan resmi atas setiap peraturan amat jarang ditemukan .

Pengucilan HAM

Riset ini juga menemukan empat indikasi lain yang semakin membuat komitmen perlindungan HAM dari pemerintahan Prabowo-Gibran patut dipertanyakan.

Pertama, pengakuan hak-hak masyarakat adat yang setengah hati. Dalam hal ini, pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak yang dinikmati oleh masyarakat adat.

Hal ini terlihat dalam 80 undang-undang terkait penetapan provinsi, kabupaten, dan kota. Seluruh peraturan ini merujuk Pasal 18B ayat (2) Konstitusi sebagai dasar hukum pembentukannya. Pasal ini memang mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat.

Namun, pasal tersebut terletak dalam Bab Pemerintah Daerah di dalam Konstitusi. Ini mengindikasikan bahwa semangat dari pengakuan lebih mengakar pada penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah.

Pengakuan yang berbasis kepemilikan hak, padahal, dapat didasarkan pada Pasal 28I ayat (2) Konstitusi, yang secara khusus terletak dalam Bab Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, perujukan Pasal 18B ayat (2) Konstitusi tanpa diikuti dengan Pasal 28I ayat (2) menunjukkan pengakuan hak-hak masyarakat yang setengah hati dan tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak.

Kedua, terdapat klise pada frasa “Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Tumpah Darah Indonesia dan Memajukan Kesejahteraan Umum” dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini dapat dijumpai, misalnya, dalam penjelasan resmi pada 70 undang-undang penetapan kabupaten dan 9 undang-undang penetapan kota.

Ketika diteliti, frasa yang sama juga dapat dijumpai dalam UU Ibu Kota Negara. Sayangnya, riset lain dari PUSHAM UII menemukan bahwa UU Ibu Kota Negara (IKN), yang memuat frasa tersebut di dalam penjelasan resminya, justru memungkinkan pelanggaran HAM dalam implementasi pembangunan Nusantara. Praktik ini mengindikasikan bahwa dalam praktiknya, frasa tersebut belum dijiwai oleh semangat perlindungan yang substantif.

Ketiga, ketidakjelasan pemaknaan tentang agenda pembangunan berkelanjutan. Frasa “pembangunan…dilakukan secara berkelanjutan” ditemukan di bagian pertimbangan dalam 79 dari 87 undang-undang. Sayangnya, istilah pembangunan berkelanjutan seringkali disalahartikan untuk kepentingan sesaat aparat pemerintah dan mengakomodasi kebijakan yang eksploitatif.

Proyek-proyek besar seperti pembangunan Nusantara dan jalan tol Trans-Jawa, misalnya, telah mengganggu HAM dan keberlanjutan lingkungan hidup. Padahal, kedua proyek ini mengusung konsep “berkelanjutan” di dalam dasar-dasar hukumnya.

Keempat adalah pengucilan bidang HAM. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memerintahkan Kementerian HAM untuk bersinergi hanya dengan Kementerian Hukum dan Kementerian Imigrasi-Pemasyarakatan. Tidak ada perintah serupa bagi kementerian di bidang-bidang lain seperti investasi dan hilirisasi, keuangan, perdagangan, kehutanan, dan pariwisata untuk bersinergi dengan bidang HAM. Padahal, HAM ada di setiap bidang dari seluruh urusan pemerintahan.

Tantangan ke depan

Temuan riset tersebut mengindikasikan bahwa perlindungan HAM tampaknya tidak akan terlaksana secara optimal dalam lima tahun ke depan. Sebab, bagaimana bisa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kemampuan melindungi HAM jika HAM sendiri terlihat tidak menjadi prioritas dalam peraturan perundang-undangannya?

Alih-alih memberikan perhatian secara kuat dan memastikan ruang yang dominan untuk HAM, pemerintahan Prabowo-Gibran justru mengeksklusi HAM dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama. Padahal, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memastikan perlindungan HAM.

Di negara-negara yang menganut prinsip negara hukum, seperti Indonesia, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu realitas di masa depan. Umumnya, keutamaan tentang realitas yang dikehendaki dituangkan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan suatu peraturan.

Kemudian, dengan didukung dasar-dasar hukum yang ada, jalan dan rambu-rambu untuk mencapai realitas itu dirumuskan dalam bentuk ketentuan pasal-pasal. Ketentuan ini menjadi penuntun yang mengikat mereka yang menjalankan pemerintahan, bahkan termasuk setiap orang dalam yurisdiksi negara.

Dengan menempatkan perlindungan HAM yang optimal sebagai realitas di masa depan, keutamaan tentang HAM seharusnya dituangkan, dirujuk, diekspresikan, dan dielaborasi dalam setiap elemen peraturan.

Keberadaan keutamaan tentang HAM ini menegaskan orientasi HAM dari peraturan perundang-undangan. Peraturan yang memiliki orientasi HAM kuat memungkinkan aparat negara, termasuk pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, untuk melindungi HAM secara optimal.

Sebaliknya, orientasi HAM yang sangat lemah dalam peraturan, sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, justru membuka ruang gangguan dan intervensi negara terhadap penikmatan HAM—membuat warga menyangsikan performa HAM dari suatu rezim pemerintahan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Februari 2025

Said Hadi
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum bisnis dan HAM, serta metodologi hukum.

Categories
Ekonomi Islam Sosial Budaya

Daftar Gelap Produk Israel dan Persaingan Bisnis

Hingga saat ini, himbauan dan gerakan boikot terhadap produk yang terafiliasi dengan Israel terus bergulir. Gerakan ini tidak hanya berakar pada solidaritas kemanusiaan, tetapi juga membawa dimensi ekonomi yang luas. Boikot produk terkait Israel dapat memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian, terutama jika dilakukan secara konsisten dan berjangka panjang. Dalam jangka pendek, dampaknya mungkin terbatas dan tidak langsung memengaruhi perekonomian secara makro. Namun, jika aksi boikot berlangsung selama satu kuartal atau lebih, efek ekonomi yang lebih besar akan mulai dirasakan.

Sayangnya, hingga saat ini, aturan yang jelas dan terstruktur mengenai boikot produk yang diduga terafiliasi dengan Israel belum muncul. Dalam situasi ini, peran pemerintah menjadi sangat krusial. Pemerintah perlu memberikan arahan tegas terkait produk apa saja yang masuk dalam daftar boikot, alasan di balik pemboikotan, dan bagaimana mekanisme pemboikotannya dijalankan. Boikot adalah tindakan sukarela, bukan paksaan. Walaupun ada himbauan untuk memboikot, masyarakat tetap memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah akan berpartisipasi atau tidak. Namun, ketidakjelasan aturan dapat menciptakan ruang bagi penyalahgunaan, terutama di sektor bisnis.

Aksi boikot yang tidak terkoordinasi dengan baik dapat menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Ada kemungkinan pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan situasi ini untuk menyerang pesaingnya. Misalnya, mereka dapat memasukkan produk kompetitor ke dalam daftar produk yang diboikot dengan alasan yang tidak berdasar. Situasi semacam ini tidak hanya merugikan pelaku usaha, tetapi juga mencederai prinsip persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, kehadiran negara atau pemerintah untuk mengawasi dan mengatur aksi boikot menjadi sangat penting.

Aksi Boikot Seringkali Tidak Tepat Sasaran

Meski demikian, langkah boikot ini kemungkinan besar tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian Israel. Bahkan jika boikot berlangsung secara meluas, kecil kemungkinannya untuk membuat ekonomi Israel runtuh. Sebaliknya, dampak negatifnya justru lebih terasa di dalam negeri, khususnya bagi perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang terpengaruh oleh boikot mungkin akan mengalami penurunan pendapatan, yang pada akhirnya dapat memaksa mereka untuk mengurangi jumlah karyawan atau bahkan melakukan PHK massal. Ini menjadi alasan utama mengapa pemerintah perlu hadir untuk memberikan arahan yang jelas dan mencegah efek domino yang merugikan.

Aksi boikot ini juga sering kali tidak tepat sasaran. Sebagian besar produk yang diboikot sebenarnya bukan langsung diproduksi oleh Israel, melainkan oleh perusahaan multinasional yang memiliki jaringan global. Di Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi tenaga kerja yang besar, dampak boikot ini justru dapat dirasakan secara langsung oleh sektor tenaga kerja. Banyak perusahaan lokal yang terkena dampak secara tidak langsung, sehingga masyarakat perlu lebih jeli dan bijaksana dalam memilih produk untuk diboikot. Sasaran utama dari aksi boikot harus dipastikan tercapai tanpa menimbulkan kerugian yang tidak perlu pada masyarakat lokal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa boikot produk pro-Israel telah memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu efeknya adalah perubahan pola konsumsi masyarakat, di mana banyak konsumen yang beralih dari produk impor ke produk lokal. Meskipun ini terlihat sebagai peluang untuk mendukung produk dalam negeri, kenyataannya dampak lain yang muncul adalah penurunan investasi dari luar negeri dan berkurangnya produktivitas di sektor-sektor tertentu. Selain itu, aksi boikot ini juga memengaruhi bisnis lokal yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Israel. Hal ini menunjukkan bahwa daftar produk yang diboikot sering kali tidak diverifikasi dengan baik, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang tidak seharusnya terlibat.

Dampak Boikot Terhadap Ekonomi Nasional

Dampak langsung dari aksi boikot juga terasa di sektor ritel dan restoran. Penurunan penjualan hingga 40% dilaporkan oleh beberapa pelaku usaha di sektor ini. Hal ini berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja massal, yang tentu saja berdampak buruk bagi tenaga kerja lokal. Meskipun pemerintah Indonesia tidak secara resmi mengeluarkan kebijakan boikot terhadap produk Israel, gerakan boikot yang dilakukan oleh masyarakat tetap memengaruhi banyak perusahaan lokal yang sebenarnya tidak terafiliasi dengan Israel.

Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mengatur aksi boikot menjadi sangat penting untuk mencegah efek domino yang merugikan. Tanpa regulasi yang jelas, daftar produk yang diduga terafiliasi dengan Israel hanya akan menjadi “daftar gelap” yang membuka peluang untuk penyalahgunaan. Pemerintah harus menyediakan pedoman yang objektif dan berbasis data, sehingga aksi boikot dapat dilakukan secara tepat sasaran. Selain itu, masyarakat juga perlu mengambil langkah rasional dalam memutuskan apakah suatu produk layak diboikot atau tidak.

Aksi boikot tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga etika. Dalam perspektif bisnis, pemboikotan yang tidak terarah dapat menciptakan ketegangan dalam persaingan usaha. Di sisi lain, dari sudut pandang sosial, aksi boikot mencerminkan kepedulian terhadap isu global, seperti pelanggaran hak asasi manusia. Namun, kepedulian ini harus disertai dengan pemahaman yang komprehensif agar tidak menciptakan masalah baru di tingkat lokal.

Penutup

Kesimpulannya, aksi boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi dengan Israel harus dilaksanakan dengan hati-hati dan berdasarkan data yang akurat. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur dan mengawasi aksi ini agar tidak menimbulkan kerugian yang tidak perlu. Masyarakat juga perlu lebih kritis dan bijaksana dalam menyikapi himbauan boikot, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian lokal dan tenaga kerja. Dengan pendekatan yang tepat, aksi boikot dapat menjadi alat yang efektif untuk mendukung keadilan global tanpa merugikan kepentingan domestik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 November 2024

Yusdani
Guru Besar Fakultas Ilmu Agama Islam UII. Pengurus Pusat Studi Siyasah dan Pemberdayaan Masyarakat (PS2PM). Pengurus ICMI Kabupaten Sleman. Bidang riset pada studi Islam. 

Categories
Hukum

Presiden, DPR, dan MA Menunggu Apa Lagi

Pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung mau menunggu apa lagi untuk membenahi pengadilan kita?

Sudah banyak tulisan di pelbagai media, penelitian, dan seminar menyarankan dilakukan pembenahan total terhadap institusi pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung (MA).

Sudah puluhan, bahkan ratusan, hakim dan pegawai di semua tingkat pengadilan diberi sanksi, mulai dari yang ringan hingga berat; termasuk gelombang tangkap tangan yang dilakukan KPK.

Aktor penerima suap tidak hanya hakim, tetapi juga petugas pengadilan. Operator suap bahkan dilakukan oleh pegawai pengadilan di semua tingkat, mulai dari pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), hingga MA.

Kita masih ingat Edy Nasution, penerima suap pengurusan peninjauan kembali (PK) kasus sengketa perdata antardua korporasi besar. Juga Andri Triastianto Sutisna, Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara MA, karena suap ”pengurusan” putusan hakim.

Kemudian, staf Badan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan MA, Djodi Supratman, yang menerima suap dari pengacara Mario Carmelio Bernardo, penasihat hukum terpidana Hutomo Wijaya Ongowarsito. Puncaknya, dua sekretaris jenderal MA hingga kini masih meringkuk di lembaga pemasyarakatan.

Jauh sebelumnya, pada 2005, KPK menangkap lima staf MA, yakni Kepala Bagian Kepegawaian MA Malam Pagi Sinuhadji; Wakil Sekretaris Korpri Suhartoyo; staf Wakil Sekretaris Korpri, Sudi Ahmad; staf bagian perdata, Sriyadi; serta staf bagian kendaraan, Pono Waluyo, dalam kasus ”pengurusan” kasasi Probosutedjo.

Minggu lalu, Kejaksaan Agung menangkap mantan pejabat eselon satu MA yang diduga menjadi makelar kasus Gregorius Ronald Tannur. Ronald dibebaskan oleh majelis hakim PN Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, dengan imbalan suap senilai miliaran rupiah.

Lebih mencengangkan adalah temuan uang hampir Rp 1 triliun hasil penggeledahan Kejaksaan Agung di beberapa properti milik tersangka Zarof Ricar. Uang dalam jumlah besar itu diduga hasil operasi suap-menyuap tersangka di seluruh pengadilan di Indonesia semenjak tahun 2012. Apakah pelaku bertindak sendiri? Tentu saja tidak.

Patut diduga tersangka memiliki jaringan kerja di tiap-tiap pengadilan; bisa orang dalam pengadilan (pegawai, panitera, hakim), makelar kasus lokal, pensiunan hakim, pensiunan pegawai pengadilan. Dengan kata lain, kejahatan ini bukan kejahatan individual (individual crime), melainkan kejahatan terorganisasi (organized crime) yang harus diungkap lebih jauh oleh Kejaksaan Agung.

Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.

Ragam penyimpangan

Aneka ragam tindakan menyimpang staf administrasi pengadilan dalam ”berbisnis” putusan sangat variatif, seolah tak ada bagian dari administrasi perkara yang luput dari permainan. Beberapa contoh berikut menunjukkan hal itu.

Pertama, memperlambat atau mempercepat mengunggah putusan ke direktori putusan; termasuk mempercepat atau memperlambat penyampaian salinan putusan ke terpidana, jaksa, penggugat, atau tergugat.

Kedua, menahan permohonan upaya hukum (banding atau kasasi) agar proses berlarut-larut. Ketiga, membocorkan putusan kasasi atau PK kepada terpidana yang tidak ditahan atau kepada penasihat hukum sebelum secara resmi putusan disampaikan sehingga terpidana yang berniat menghindari eksekusi punya kesempatan melarikan diri.

Keempat, menahan atau melambat-lambatkan penyerahan ekstrak vonis kepada jaksa agar terpidana punya kesempatan untuk kabur. Kelima, menahan putusan kasasi yang menguatkan atau meningkatkan vonis supaya tak buru-buru disampaikan ke pengadilan dan jaksa penuntut umum agar eksekusi tertunda, dan dalam penundaan eksekusi itu, terpidana bisa melakukan sesuatu.

Keenam, menghubungi pihak-pihak untuk merundingkan proses dan atau putusan kasasi atau PK yang diajukan.

Ketujuh, dalam perkara perdata, oknum pegawai MA menahan putusan kasasi atau PK sehingga pihak yang dikalahkan punya waktu meneruskan mengeksploitasi tambang, memetik hasil panen, menahan proses jual beli yang tinggal menunggu salinan resmi putusan.

Pembenahan

Praktik ”bisnis” putusan telah berlangsung lama, momentum perbaikan berkali-kali datang, tetapi momen tersebut berlalu begitu saja, sampai kemudian terjadi lagi suap atau gratifikasi berikutnya. Lalu, apa yang bisa dilakukan agar ada harapan?

Pertama, pemerintah, DPR, dan MA duduk bersama merevisi semua UU yang terkait dengan kekuasaan kehakiman dengan fokus pada, pertama, rekrutmen hakim tingkat pertama dilakukan oleh lembaga independen Komisi Yudisial (KY) atau oleh tim seleksi yang memiliki integritas, kapasitas, dan kapabilitas.

Kedua, jadikan hakim sebagai pejabat negara (state apparatus), bukan pegawai negeri (government apparatus), agar independensi tidak terganggu oleh kewajiban-kewajiban administratif sebagai aparatur sipil negara.

Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan.

Ketiga, naikkan pendapatan hakim (take home pay). Keempat, perkuat sistem kontrol dengan menjadikan KY satu-satunya institusi yang melakukan pengawasan, setidaknya proses pemeriksaan dan penjatuhan sanksi sepenuhnya wewenang KY.

Kelima, staf administrasi perkara haruslah orang-orang andal, memiliki integritas dan kompetensi sesuai dengan peruntukannya sebagai pegawai pengadilan dengan mekanisme pengadaan tersendiri.

Keenam, administrasi perkara harus transparan dan akuntabel dengan basis teknologi informasi yang andal.

Ketujuh, harus ada mekanisme kontrol ketat dalam pendayagunaan teknologi informasi supaya tidak terjadi kelambanan mengunggah perkara, mengunggah putusan, tidak salah memuat nomor putusan, dan tidak terjadi perbedaan amar antara yang dimuat di laman dan salinan putusan resmi.

Langkah-langkah ini harus dilakukan segera oleh pemerintah dan DPR dengan merevisi secara luas peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman. Kepada pimpinan MA, bersikaplah responsif. Berhentilah menjual independensi kekuasaan kehakiman sebagai tameng resistensi terhadap perbaikan. Para hakim dan pimpinan MA sudah kehilangan legitimasi moral untuk berbicara independensi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 November 2024

Suparman Marzuki
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada sosiologi hukum dan hukum HAM. Ketua Komisi Yudisial periode 2013-2015

 

 

Categories
Pendidikan

Glorifikasi terhadap Institusi ‘Negeri’ adalah Warisan Kolonial. Perlukah Dipertahankan?

 

  • Glorifikasi terhadap institusi negeri di Indonesia adalah warisan kolonial yang terus-menerus dilanggengkan negara.
  • Ketimpangan antara perguruan tinggi negeri dan swasta menciptakan diskriminasi simbolik.
  • Masyarakat perlu menghargai kualitas serta inovasi dari berbagai ekosistem alternatif selain institusi negeri.

Di Indonesia, kita sering mendengar kalimat seperti “yang penting bisa masuk kampus negeri” atau “kerja di instansi negeri lebih terjamin”. Status ‘negeri’—baik dalam pendidikan maupun pekerjaan—kerap dianggap sebagai simbol keberhasilan, kemapanan, bahkan kehormatan sosial.

Glorifikasi terhadap institusi negeri dapat dilacak sejak masa kolonial. Pada era Hindia Belanda, hanya sebagian kecil penduduk pribumi yang memiliki akses ke pendidikan formal seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA. Kala itu, akses ke institusi ini sangat terbatas dan hanya bisa ditempuh oleh anak-anak priayi (lapisan masyarakat dengan kedudukan yang dianggap terhormat) atau mereka yang memiliki koneksi dengan kekuasaan kolonial.

Sayangnya, hingga saat ini, negara masih melanggengkan glorifikasi tersebut. Institusi negeri, terutama perguruan tinggi negeri (PTN), mendapat alokasi anggaran yang lebih besar, akses ke program unggulan, dan dukungan politis yang lebih kuat. Sementara perguruan tinggi swasta (PTS) harus berjuang sendiri, dengan sumber daya terbatas dan dukungan yang minim.

Akibatnya, tidak sedikit lowongan pekerjaan yang secara eksplisit maupun implisit memprioritaskan lulusan perguruan tinggi negeri, bahkan ketika kualifikasi lulusan swasta sama atau lebih unggul dalam pengalaman dan keterampilan.

Di beberapa sektor, lulusan dari PTS masih harus ‘membuktikan diri dua kali lipat’ melalui syarat Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang lebih tinggi. Ini adalah bentuk diskriminasi simbolik yang seharusnya sudah lama ditinggalkan.

Mengapa status negeri diglorifikasi

Menurut perspektif Louis Althusser, filsuf asal Prancis, sekolah-sekolah seperti Hogere Burgerschool dan STOVIA merupakan bagian dari aparatus ideologis negara, atau alat kekuasaan yang tidak bekerja dengan paksaan, tetapi melalui penanaman nilai-nilai.

Melalui sistem pendidikan, kolonialisme menanamkan gagasan bahwa menjadi bagian dari struktur negeri berarti menjadi lebih “beradab”, lebih dekat pada kekuasaan, dan lebih terhormat secara sosial.

Sementara itu, pekerjaan sebagai pegawai pemerintah kolonial—dikenal sebagai ambtenaar, dan di antara pribumi direpresentasikan lewat posisi pangreh praja—diposisikan sebagai jalur mobilitas sosial yang terhormat. Menjadi bagian dari struktur pemerintahan Belanda adalah bukti kedekatan dengan kekuasaan dan modernitas, sekaligus menjanjikan stabilitas ekonomi. Dalam kerangka pemikiran ilmuwan sosiologi Pierre Bourdieu, status sebagai bagian dari institusi negeri menciptakan kapital simbolik: bentuk pengakuan sosial yang dilekatkan bukan karena capaian substansial, melainkan karena asosiasinya dengan negara dan kekuasaan.

Menurut Frantz Fanon, psikiatris sekaligus filsuf politik asal Prancis,, masyarakat pascakolonial sering kali menginternalisasi nilai-nilai kolonial yang dulu menjadi alat penjajahan, dan menjadikannya tolok ukur kemajuan. Glorifikasi terhadap institusi negeri adalah contoh nyata dari internalisasi ini.

Jebakan dominasi pasar dan negara

Dari kacamata ekonomi-politik Gramsci, kondisi ini mencerminkan hegemoni negara dalam sistem pendidikan.

Negara memosisikan institusi negeri sebagai standar ideal, menciptakan ketimpangan akses, pendanaan, dan pengakuan antara lembaga negeri dan non-negeri. Glorifikasi status negeri dijadikan alat untuk mempertahankan dominasi negara dalam struktur sosial.

Banyak PTN juga semakin terjebak dalam logika pasar. Skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang awalnya bertujuan memberikan otonomi akademis, kini mendorong kampus untuk mencari pembiayaan sendiri.

Akibatnya, banyak PTNBH memperbesar jumlah mahasiswa, membuka program-program populer tanpa pertimbangan strategis jangka panjang, dan menaikkan biaya pendidikan. Mereka menjelma menjadi semacam kapal keruk, mengangkut sebanyak mungkin sumber daya dari masyarakat demi menjaga kelangsungan operasional, tetapi tetap dikultuskan sebagai simbol kemuliaan negara.

Dalam konteks ekonomi-politik, ini menunjukkan kontradiksi antara neoliberalisme dan patronase negara. Negara menarik diri dari tanggung jawab pembiayaan, tetapi tetap mempertahankan pengaruh simbolik dan hierarki kelembagaan. Hasilnya adalah glorifikasi kosong yang menjebak masyarakat dalam ilusi kemajuan.

Bukan norma universal

Menariknya, glorifikasi terhadap institusi negeri seperti yang terjadi di Indonesia tidak selalu berlaku di negara lain. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, universitas yang paling bergengsi justru didominasi oleh institusi swasta seperti Harvard, Stanford, dan Yale.

Status sosial lulusan juga lebih sering dikaitkan dengan reputasi akademis, kontribusi ilmiah, dan jejaring alumni, bukan semata karena afiliasi dengan negara. Bahkan universitas negeri seperti University of California atau University of Michigan bersaing secara terbuka dengan swasta, dan harus membuktikan keunggulannya lewat riset dan inovasi.

Situasi ini tidak otomatis menyingkirkan peran publik, tetapi justru mendorong institusi membangun legitimasi berbasis kualitas, bukan sekadar simbol negara.

Lepaskan ukuran lalu

Masyarakat perlu berpikir ulang tentang apa arti keberhasilan dan kemajuan, sekaligus menyadari bahwa banyak cara pandang kita terhadap status ‘negeri’ adalah hasil warisan simbolik kolonial yang layak dikaji ulang.

Institusi swasta, komunitas independen, hingga kelompok masyarakat sipil telah banyak menunjukkan kemampuan berinovasi, beradaptasi, dan menghadirkan solusi di luar struktur negara.

Misalnya, munculnya gerakan pendidikan akar rumput di berbagai daerah, inisiatif teknologi oleh anak-anak muda di start-up yang tidak pernah ‘berlabel negeri,’ atau organisasi keagamaan yang justru lebih cepat tanggap dalam menghadapi kebutuhan publik dibanding institusi formal.

Di luar glorifikasi simbolik, ada ekosistem keberhasilan lain yang tidak kalah bermakna dan layak diapresiasi.

Kita juga perlu berhati-hati terhadap jebakan meritokrasi semu yang hanya mengakui “keberhasilan” berdasarkan asal lembaga.

Dalam beberapa kasus, akses ke institusi negeri lebih ditentukan oleh latar belakang sosial dan ekonomi, sehingga memelihara glorifikasi semacam ini justru memperkuat ketidakadilan struktural.

Tanpa kesadaran akan hal ini, masyarakat akan terus melanggengkan sistem hierarki sosial yang tidak adil, hanya demi status ‘negeri’.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 25 April 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Kesehatan Sosial Budaya

Jumlah Ibu yang Berikan ASI Eksklusif Menurun : Pesan Kampanye ASI harus Lebih Efektif

Selama lima tahun terakhir, pemerintah gencar kampanyekan pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif sebagai bagian dari upaya pencegahan stunting di Indonesia. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama usia enam bulan pertama bayi agar tumbuh kembangnya optimal. Selama masa awal kehidupannya, bayi hanya boleh menerima ASI dan tidak boleh mendapatkan asupan makanan lain.

Sayangnya, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) melalui Survey Status Gizi Indonesia justru menunjukkan drastisnya penurunan pemberian ASI eksklusif dari 48.6% pada tahun 2021 menjadi 16,7% pada 2022. Angka tersebut jauh dari target yang dicanangkan Majelis Kesehatan Dunia (WHA) mengenai pemberian ASI eksklusif di setiap negara, setidaknya mencapai 50% pada 2025.

Meski bukan faktor penentu keberhasilan pemberian ASI eksklusif, penelitian menunjukkan bahwa kampanye ASI bisa berdampak nyata (signifikan) dalam meningkatkan jumlah ibu yang memberikan ASI eksklusif.

Di Indonesia, pesan kampanye ASI eksklusif selama ini berkutat seputar ASI merupakan nutrisi terbaik yang dibutuhkan bayi hingga pentingnya pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Namun, penelitian menunjukkan pesan kampanye ASI sejenis ini justru dikritisi banyak ibu menyusui (busui).

Meramu pesan kampanye ASI yang efektif

Para busui peserta penelitian di Inggris pada 2016 menilai perlunya promosi alternatif pesan kampanye ASI yang lebih efektif agar mendorong kesadaran para ibu mengenai pentingnya pemberian ASI.

Berikut elaborasi pandangan mereka soal pesan alternatif dalam kampanye ASI yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah untuk mengembangkan strategi kampanye ASI eksklusif di Indonesia:

  1. Memberikan ASI adalah cara normal menyusui

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI seharusnya tidak digambarkan sebagai cara menyusui “yang terbaik,” melainkan cara menyusui “yang normal.”

Melabeli ASI sebagai “yang terbaik” berisiko menimbulkan pemahaman di antara para ibu bahwa menyusui adalah proses sulit yang hanya bisa dilakukan orang-orang tertentu. Pandangan lain yang mungkin muncul, yaitu jika ASI adalah “yang terbaik,” berarti susu formula “cukup baik” sehingga tidak masalah jika dikonsumsi bayi.

Penelitian mengenai promosi ASI  kemudian merekomendasikan agar pesan kampanye ASI adalah yang terbaik dihentikan karena justru membuat para orang tua beralih ke susu formula. Di Indonesia, angka pemberian susu formula pada bayi terus meningkat dari 45,2% pada tahun 2021 menjadi 61,6 persen pada 2022, dengan total belanja mencapai Rp3 triliun per tahun.

Sebagai gantinya, pesan kampanye berupa “pemberian ASI adalah cara normal menyusui” perlu digalakkan. Produksi ASI merupakan proses biologis normal yang dialami semua ibu usai melahirkan, kecuali ibu dengan kondisi kesehatan tertentu.

Karena itu, sangat penting untuk menormalisasi pemberian ASI sebagai “aturan biologis.” Menekankan praktik menyusui sebagai aturan biologis bisa menghasilkan efek positif.

Pertama, pesan kampanye ini bisa memotivasi para ibu untuk percaya pada kemampuan tubuhnya dalam memproduksi ASI. Kedua, menyusui tidak dijadikan sebagai pilihan, tetapi diharapkan menjadi tindakan otomatis yang dilakukan para ibu setelah melahirkan. Dengan begitu, pemberian susu formula untuk bayi jadi pilihan terakhir saat menyusui tidak bisa dilakukan.

  1. Menyusui tak mudah, ibu butuh dukungan

Dalam kampanye ASI eksklusif, menyusui digambarkan sebagai proses yang mudah, murah, dan memberikan banyak manfaat kesehatan. Pesan ini tidak keliru, tapi kurang menggambarkan situasi nyata yang dihadapi para ibu saat menyusui.

Busui menghadapi banyak sekali tantangan secara fisik dan psikis, seperti sakit di area payudara, kelelahan, khawatir berlebih, dan mudah stres akibat hormon yang tidak stabil usai melahirkan.

Penelitian menunjukkan ketidaktahuan busui mengenai tantangan saat menyusui dan cara mengatasinya membuat mereka tidak siap dan gampang menyerah saat menghadapi kesulitan dalam proses menyusui.

Penting untuk menginformasikan risiko-risiko tersebut kepada busui dan pasangannya sebelum dan selama proses menyusui. Dengan begitu, para orang tua akan lebih siap menghadapi tantangan dari proses menyusui, termasuk mengetahui kapan dan ke mana mereka harus meminta pertolongan saat menghadapi kesulitan.

  1. Efek samping susu formula

IDAI melalui Panduan Pemberian Susu Formula pada Bayi Lahir menjelaskan bahwa bayi diperbolehkan mengonsumsi susu formula jika sang bayi atau ibunya memiliki kondisi medis tertentu, seperti bayi lahir prematur atau ibu HIV positif. Selain alasan medis yang disebutkan dalam panduan tersebut, bayi di bawah enam bulan tidak dianjurkan mengonsumsi susu formula karena dapat membahayakan kesehatannya di masa depan.

Meski sudah ada kesepakatan bersama (konsensus) bahwa konsumsi susu formula harus dibatasi, penelitian menunjukkan masih adanya kesalahpahaman mengenai susu formula tidak berbahaya.

Padahal, konsumsi susu formula dalam jangka waktu lama bisa berdampak buruk pada kesehatan bayi maupun produksi ASI sang ibu. Bayi berisiko mengalami masalah medis, seperti alergi susu dan gagal mendapatkan perlindungan kekebalan tubuh dari kolostrum, cairan pertama yang dikonsumsi bayi dan keluar dari kelenjar payudara ibu, sebelum ASI.

Pemberian susu formula dalam waktu lama juga berisiko mengurangi, bahkan menghentikan produksi ASI ibu. Soalnya, bayi yang sudah terbiasa mengonsumsi susu formula cenderung malas menyusu sehingga ASI yang menumpuk dalam payudara menyebabkan pembengkakan dan nyeri yang pada akhirnya menghentikan produksi ASI. Kegagalan ASI eksklusif juga merupakan salah satu faktor risiko anak mengalami stunting di masa depan.

Kendati risiko pemberian susu formula cukup besar, belum ada upaya khusus dari pemerintah dalam menginformasikan efek samping tersebut kepada masyarakat lewat pelabelan produk maupun kampanye ASI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2013 tentang Susu Formula Bayi dan Produk Bayi telah memuat aturan pelabelan dalam produk susu formula, di antaranya pencantuman informasi nilai gizi, cara penggunaan, dan dukungan terhadap ASI eksklusif. Namun, tidak ada aturan khusus yang mewajibkan produsen untuk mencantumkan efek samping pemberian susu formula pada bayi dan produksi ASI ibu.

Padahal, dengan menyertakan efek samping susu formula lewat pelabelan produk dan kampanye ASI, kesadaran masyarakat mengenai risiko kesehatan yang ditimbulkan susu formula akan meningkat sehingga dapat memotivasi para orang tua dalam mengupayakan pemenuhan ASI eksklusif untuk bayi mereka.

Evaluasi kampanye ASI

Sudah saatnya pemerintah dan lembaga terkait mengevaluasi strategi kampanye ASI eksklusif di Indonesia. Apakah pesan kampanye yang ada saat ini masih relevan dan efektif mendorong orang tua untuk konsisten memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama bayi mereka?

Tiga pesan alternatif di atas dapat dipertimbangkan dan diuji coba sebagai upaya meningkatkan pemberian ASI eksklusif di Indonesia. Tanpa meningkatkan pemberian ASI eksklusif, rencana penurunan stunting bisa jadi hanya mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 September 2024

Lutviah
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada komunikasi pemberdayaan, promosi kesehatan, gender dan pembangunan.

 



Categories
Politik

Jokowisme, Trumpisme, dan Dinasti Politik: Bagaimana Fenomena Pendangkalan Demokrasi Kian Mendunia

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan kepala daerah di bawah usia 40 tahun bisa maju dalam kontestasi pemilihan presiden kian melebarkan jalan dinasti politik yang diduga tengah dibangun oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo.

Putusan MK akan membuka jalan bagi putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, untuk mengikuti kontestasi pencapresan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Saat ini Gibran tengah menjabat Walikota Solo. Sebelumnya, putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, ditetapkan sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), hal yang kemudian turut memantik kontroversi karena Kaesang hampir nihil pengalaman politik.

Yang menarik adalah PSI memunculkan dan mempopulerkan terminologi Jokowisme, terminologi yang mengagungkan figur tertentu. Metafora semu semacam ini akan turut berperan mendangkalkan praktik demokrasi. Kedaulatan rakyat kini menjadi arena pertaruhan sekelompok elit politik demi mempertahankan maupun merebut kekuasaan.

Namun, pada kenyataannya, pendangkalan demokrasi semacam ini telah menjadi tren global yang terjadi di negara-negara pelopor demokrasi seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Ini menunjukkan bahwa ternyata praktik demokrasi di dunia tengah menghadapi tantangan yang makin meningkat, yang membuat kita mempertanyakan kembali definisi demokrasi itu sendiri.

Jokowisme dan dinasti politik di Indonesia

PSI mengklaim istilah Jokowisme sebagai metafora pemimpin yang bekerja keras memajukan rakyat serta memiliki paham progresivitas pembangunan negara yang berkeadilan dan berdaulat. Penjelasan ini kemudian memunculkan anggapan bahwa Jokowisme telah melampaui sekat ideologi.

Ini sekilas memberi angin sejuk bagi platform (prinsip atau kebijakan yang didukung) pergerakan partai politik di Indonesia yang kebanyakan saat ini susah dibedakan–hampir semuanya menganut platform nasionalis religius, atau sebaliknya, religius nasionalis.

PSI dan para loyalisnya menjustifikasi bahwa mereka yang mengkritik maupun menolak Jokowisme telah gagal memahami cara kerja kekuasaan. Padahal, metafora Jokowisme itu sulit dipisahkan dari kesan proses pembentukan dinasti politik bagi anak-anak Jokowi.

Dengan kata lain, secara tidak langsung ini menunjukkan bahwa cara kerja kekuasaan dalam metafora Jokowisme sendiri ternyata tidak berbasis sistem meritokrasi yang mendasarkan pada kapabilitas, melainkan tidak lebih dari sekadar fanatisme terhadap tokoh tertentu. Dan ini akan sangat mendorong terbangunnya dinasti politik.

Di Indonesia fenomena dinasti politik memang tidak hanya dilakukan oleh keluarga Jokowi. Di tingkat nasional, dengan skala yang berbeda, beberapa yang masih terlihat di antaranya adalah Puan Maharani (keluarga Megawati Soekarnoputri), Agus Harimurti Yudhoyono dan Edhie Baskoro Yudhoyono (keluarga Susilo Bambang Yudhoyono), dan mungkin belakangan muncul Yenny Wahid (keluarga Abdurrahman Wahid).

Trumpisme dan ancaman terhadap demokrasi AS

Pendangkalan demokrasi melalui terminologi semu juga menjalar di AS. Polarisasi antara dua partai besar di AS–Partai Republik dan Partai Demokrat–terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Ada istilah Trumpisme yang muncul ketika mantan Presiden AS Donald Trump maju sebagai kandidat presiden dari Partai Republik dalam Pemilu Presiden AS 2016.

Trumpisme kemudian kerap digunakan untuk menyebut arah kebijakan dan sikap Trump terhadap berbagai kebijakan, baik domestik maupun luar negeri, serta gerakan yang mendukung atau sejalan dengan pandangan Trump. Sejumlah pengamat politik AS menyebut Trump sebagai presiden yang mempromosikan autokrasi yang akan mengancam demokrasi AS.

Peter J. Katzenstein, profesor politik dari Cornell University, mendefinisikan bahwa Trumpisme terdiri dari tiga pilar yaitu etnonasionalisme, agama, dan ras. Etnonasionalisme berfokus pada loyalitas kaum kulit putih AS. Sementara, pilar agama berpusat pada kelompok Kristen sayap kanan dan isu ras meminggirkan kelompok kulit hitam, hispanik, Muslim, dan kelompok minoritas lain.

Politik yang Trump lakukan lebih berfokus kepada dirinya sendiri sebagai tokoh. Ketika kalah dalam Pemilu AS 2020, Trump memprovokasi pendukungnya hingga menciptakan kerusuhan di Gedung Capitol, bahkan sempat melontarkan wacana untuk membuat partai baru.

Arah politik yang dibawa Trump tidak selalu mewakili ideologi partai yang mendukungnya. Bahkan muncul gerakan Never Trump oleh tokoh-tokoh Partai Republik yang lebih moderat karena mereka tidak mendukung kebijakan Trump.

Menjelang Pemilu AS 2024, narasi Trumpisme masih kembali muncul dalam debat kandidat presiden Partai Republik, padahal Trump sendiri sedang berkutat dengan berbagai dakwaan hukum.

Bagaimanapun, sistem demokrasi AS yang telah dibangun berdasarkan meritokrasi sejak abad ke-18 mampu bertahan meski sempat menghadapi berbagai ancaman. Peran dan pembagian kekuasaan yang dimiliki kongres serta pemerintah negara bagian, independensi lembaga yudikatif, serta kebebasan pers menjadi pengawal dan penjamin utama berjalannya sistem demokrasi di AS.

Referendum dan prospek demokrasi Australia

Tren pendangkalan demokrasi menjadi tantangan bagi Australia sejak satu dekade terakhir. Terbaru, hasil referendum Australia yang dilaksanakan 14 Oktober 2023 menunjukkan bahwa 60,6% rakyat Australia menolak usulan untuk mengubah konstitusi agar mengakui penduduk asli (Aborigin dan Pribumi Selat Torres). Padahal, penyelenggaraan referendum ini sendiri awalnya merupakan indikasi demokrasi Australia yang kian progresif.

Sekilas, hasil referendum ini menunjukkan kedaulatan rakyat karena adanya proses pemungutan suara yang demokratis. Namun, dalam konteks praktik demokrasi, ini mencerminkan kebangkitan tren demokrasi reaksioner.

Demokrasi reaksioner adalah gambaran kebangkitan rasisme dan populisme yang sekilas tampak sebagai cerminan tuntuan masyarakat, meski sebenarnya kebangkitan tersebut adalah hasil manipulasi yang dilakukan secara sadar oleh elit untuk mendorong kemunculan ide-ide reaksioner.

Dari definisi tersebut, boleh jadi, antiklimaks hasil referendum Australia ini muncul akibat ide-ide reaksioner yang menggagalkan dukungan pengakuan penduduk asli.

Pemimpin oposisi, Peter Dutton dan politikus populis Pauline Hanson menjadi yang terdepan dalam menolak pengakuan penduduk asli dalam konstitusi.

Menurut Hanson, dukungan terhadap perubahan konstitusi hanya akan menambah kekuasaan yang dimiliki oleh penduduk asli. Pandangan ini dinilai rasis dan kian menguatkan istilah Hansonism yang dilekatkan padanya sebagai metafora antiglobalisasi. Hanson juga dikenal sebagai politikus demagog–yang menarik dukungan dengan memanfaatkan isu populer, bukan dengan menggunakan argumen rasional.

Selain antiklimaks hasil referendum, ancaman pendangkalan demokrasi Australia juga sempat marak dengan terjadinya instabilitas politik dalam pemerintahan federal, seperti pergantian perdana menteri yang sengaja dirancang oleh kolega kabinet sendiri, menyimpangi hasil pemilu.

Ujian demokrasi reaksioner: dinasti dan demagogi

Tren politik dunia yang tengah menghadapi ancaman pendangkalan demokrasi memberikan tanda bahwa perjuangan negara merawat demokrasi tidak hanya terjadi di Indonesia.

Meski Indonesia, Australia, dan AS menghadapi konteks masalah berbeda dalam melawan erosi demokrasi, ketiganya tampak menghadapi ujian yang sama: demokrasi reaksioner yang ditunjukkan dari praktik politik demagogi dan politik dinasti.

Di Australia dan AS, ujian ini lebih terlihat dari pergerakan demagog yang menyebarkan isu-isu reaksioner seperti etnonasionalisme, agama, dan ras. Isu ini dijadikan komoditas politik demi mendulang popularitas dan merebut kekuasaan. Untungnya, kejelasan peran oposisi dalam badan legislatif pada kedua negara tersebut sedikit banyak menangkal kampanye demagogi yang kian memprihatinkan.

Di Indonesia, tidak mudah mengidentifikasi politik demagogi. Di atas permukaan, lebih banyak muncul fenomena dinasti politik yang bertujuan melanggengkan kekuasaan dengan sokongan fanatisme dari para pendukung yang mengidolakan patron.

Demagog dari luar terlihat sebagi seorang yang seolah memperjuangkan rakyat, padahal semua itu sekadar hasutan yang dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Jika demagog sering diidentikan sebagai suara oposan yang menebar ketakutan demi meraih kekuasaan, hal ini sulit ditemukan di Indonesia.

Pada beberapa hal, ketiadaan oposisi formal dalam sistem pemerintahan Indonesia berpotensi membuka kemungkinan politik demagogi justru dapat muncul dari pucuk penguasa.

Demi keberlangsungan nilai-nilai demokrasi di Indonesia, sikap Jokowi yang selama ini tidak netral dalam kontestasi pemilihan presiden 2024, jika memang harus diteruskan, perlu disajikan dengan pendekatan yang lebih bermartabat guna menghindari kemungkinan kebangkitan politik demagogi dari penguasa.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 18 Oktober 2023

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Karina Utami Dewi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Mengajar dan meneliti studi perdamaian dan konflik, gender dan politik, serta politik Amerika Serikat.

Categories
Hukum

Indonesia Sudah Lama Punya Pengadilan HAM sendiri. Mengapa Kiprahnya Jarang Terdengar?

Pemerintah meluncurkan kick off Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat pada 27 Juni 2023. Langkah ini diambil atas rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (Tim PPHAM), yang diketuai oleh Profesor Makarim Wibisono, pakar hukum HAM sekaligus eks duta besar RI.

Hingga kini, setidaknya ada12 kasus pelanggaran HAM berat yang masih mangkrak. Padahal, mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia memiliki Pengadilan HAM sendiri yang mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lembaga ini sudah berdiri sejak lebih dari 20 tahun silam.

Pengadilan HAM Indonesia pernah menjadi ‘primadona’ perbincangan akademisi pada kurun tahun 2000-an. Setelah itu, seakan tertidur tak terdengar kembali rimbanya.

Pengadilan HAM Indonesia dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (UU Pengadilan HAM). Menurut ketentuannya, Pengadilan HAM merupakan bagian dari Peradilan Umum.

Indonesia saat ini memiliki empat Pengadilan HAM permanen yang berada di lingkungan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Makassar, dan PN Medan. Selain itu, juga pernah dibentuk dua Pengadilan HAM ad hoc untuk menangani kasus pelanggaran sebelum tahun 2000.

Ketika ramai diberitakan tentang mekanisme nonyudisial terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu, para aktivis HAM kembali “mencolek” keberadaan Pengadilan HAM ini. Amnesty International Indonesia,  misalnya, masih vokal mendorong dilangsungkannya peradilan melalui Pengadilan HAM.

Jika kita punya Pengadilan HAM, mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan melalui mekanisme nonyudisial?

Sempitnya yurisdiksi

Setelah dibentuk pada tahun 2000, kritik terbesar bagi Pengadilan HAM adalah bahwa kompetensi kasus yang diadili terlalu sempit.

Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki pernah mengkritik bahwa menunggu Pengadilan HAM menyelesaikan kasus pelanggaran di Indonesia hanyalah “harapan semu”, karena terlalu tinggi dan sempitnya level kejahatan yang dapat diadili Pengadilan HAM.

Ini karena yurisdiksi Pengadilan HAM hanya mencakup kejahatan genosida dan kemanusiaan – tipikal kejahatan yang hanya terjadi pada kondisi konflik bersenjata, atau minimal situasi internal disturbance (gangguan keamanan tingkat tinggi) semata. Sederhananya, kasus yang diadili oleh Pengadilan HAM hanya akan terjadi jika Indonesia sedang mengalami kekacauan keamanan.

Terbukti, Pengadilan HAM, baik ad hoc maupun permanen, sedikitnya baru menyelesaikan empat kasus saja sejak dibentuk. Dua pengadilan HAM ad hoc pernah mengadili kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Sementara Pengadilan HAM Permanen pernah menangani dua kasus, yaitu kasus Abepura dan Paniai di Provinsi Papua. Keduanya terjadi setelah tahun 2000. Padahal, setidaknya ada 15 kasus pelanggaran HAM yang telah diproses Kejaksaan dan seharusnya masuk menjadi kompetensi Pengadilan HAM. Artinya, ada 11 kasus yang menunggu untuk diselesaikan.

Pengadilan sandiwara

Pengadilan HAM juga banyak mendapat kritik dari kelompok pembela HAM karena dianggap sebagai “pengadilan sandiwara” dan penuh rekayasa. Nyaris semua kasus yang ditangani Pengadilan HAM hanya dianggap sandiwara semata dan cenderung memberikan kekebalan hukum pada aparat negara yang seharusnya bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM.

Dalam kasus Abepura dan Paniai, Pengadilan HAM memvonis bebas para terdakwa yang merupakan personil TNI dan Polri.

Kasus Abepura merupakan kasus pelanggaran HAM pertama yang diselesaikan oleh Pengadilan HAM permanen. Peristiwa ini terjadi pada 7 Desember 2000. Bermula ketika sejumlah massa tak dikenal menyerang Markas Polsek Abepura yang mengakibatkan satu orang polisi meninggal dunia. Merespons penyerangan itu, pihak kepolisian melakukan pengejaran dan penahanan terhadap sejumlah orang yang diduga terlibat.

Dalam pengejaran dan penahanan yang dilakukan polisi itulah diyakini telah terjadi kejahatan kemanusiaan, mengakibatkan setidaknya dua mahasiswa Papua tewas dan puluhan warga sipil luka-luka.

Saat itu, Pengadilan HAM menjadi harapan banyak masyarakat, terutama para korban dan keluarga korban peristiwa Abepura. Namun, majelis hakim Pengadilan HAM pada tahun 2005 justru memutus bahwa dua terdakwa yang merupakan personel aktif Polri tidak terbukti melakukan pelanggaran HAM.

Putusan bebas ini membuat publik pesimis bahwa eksistensi Pengadilan HAM akan membawa kemajuan bagi penegakkan keadilan dalam kasus pelanggaran HAM. Sebaliknya, kasus ini justru menegaskan impunitas aparat keamanan terhadap institusi peradilan.

Sementara itu, peristiwa Paniai terjadi pada Desember 2014. Saat itu, warga sipil sedang melakukan aksi protes terkait pengeroyokan oleh aparat TNI terhadap sekelompok pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai. Namun, pasukan militer malah menembaki warga sipil di sana. Empat pelajar tewas di tempat, satu tewas setelah sempat dirawat di rumah sakit, dan belasan orang lainnya luka-luka.

Pada 2022, majelis hakim Pengadilan HAM di Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang seorang pensiunan TNI. Putusan ini dikecam banyak kelompok masyarakat sipil. Proses persidangan dianggap tidak berkualitas, penuh kejanggalan, dan seakan memang sejak awal dimaksudkan untuk gagal (intended to fail).

Carut marut konsep sejak pembentukannya

Patut dicurigai lemahnya taring lembaga Pengadilan HAM sudah “terdesain” sejak pertama dibentuk. Dengan kentalnya pelibatan TNI dan Polri dalam perumusannya, UU Pengadilan HAM justru berpotensi memberikan impunitas hukum bagi para pelaku pelanggaran HAM berat, khususnya yang dilakukan oleh kedua lembaga negara tersebut.

Jika demikian, pantas saja kemauan politik (political will) untuk menuntaskan penanganan kasus pelanggaran HAM oleh negara selama ini sangat lemah.

Ketika pertama dibahas, konsep Pengadilan HAM digadang-gadang bertujuan untuk menangani tuntutan warga negara yang tidak terpenuhi hak-haknya. Namun, hasil pembahasan justru menyatakan bahwa lembaga ini hanya mengadili dua bentuk kejahatan semata, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Kedua kompetensi ini sangat mirip dengan kompetensi yang dimiliki oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang dapat mengadili empat jenis kejahatan: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan agresi.

Ketika UU Pengadilan HAM masih dalam tahap pembahasan pada 1999, dunia internasional tengah mendesak Indonesia untuk mengadopsi dan mengakui yurisdiksi ICC guna menangani kasus pasca-disintegrasi Timor Timur.

Pun pada akhirnya, Indonesia menolak mengakui yurisdiksi ICC dan memilih membentuk Pengadilan HAM nasionalnya sendiri yang memiliki yurisdiksi yang mirip.

Padahal dua kompetensi tersebut telah dikritik sejak dalam pembahasan awal. Dalam catatan Pemandangan Umum Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, dikhawatirkan “pada masa yang akan datang bisa jadi Pengadilan HAM tidak akan dapat bekerja secara efektif, karena langkanya perkara. 

Kritik-kritik ini akhirnya menjadi kenyataan.

Hari ini, kita semakin jarang mendengar kiprah Pengadilan HAM. Sayangnya, hal ini tidak bisa serta-merta kita artikan bahwa kasus pelanggaran HAM yang terjadi semakin sedikit, karena yang terjadi adalah sebaliknya.

Label pengadilan sandiwara pun masih tersemat. Jika masalah-masalah ini tak segera dituntaskan, bukan tidak mungkin penanganan kasus melalui Pengadilan HAM akan semakin ditinggalkan. Akibatnya, harapan untuk memenuhi rasa keadilan para korban pelanggaran HAM akan semakin menjadi mimpi belaka.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 23 Juli 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu, mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.



Categories
Ekonomi Islam

Peran Strategis Bank Syariah Wujudkan Ekosistem Halal

Bank syariah sering kali hanya dipahami sebagai lembaga keuangan yang mengganti bunga dengan prinsip bagi hasil atau akad syariah. Padahal, bank syariah seharusnya berperan lebih dari sekadar lembaga komersial, tetapi juga sebagai agen perubahan dalam mewujudkan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Contohnya, Grameen Bank di Bangladesh telah sukses menjadi bis nis sosial yang memberdayakan perempuan, dengan 96,8% nasabahnya adalah perempuan. 

Para ulama dan ahli ekonomi Islam seperti Dr. Yusuf Qardawi, Monzer Kahf, dan Umer Chapra juga menekankan pentingnya peran sosial perbankan syariah melalui zakat, wakaf, dan pemberdayaan. Tujuan akhirnya adalah menciptakan sebuah ekosistem dengan masyarakat nya yang memiliki gaya hidup halal (halal life style). Ekosistem semacam ini dikenal pula dengan ekosistem halal.

Bank syariah tidak hanya perlu mengembangkan produk dan layanan halal sebagai alternatif konvensional, tetapi juga harus menjadi katalisator perubahan menuju halal life style. Bank syariah seharusnya tidak mendorong konsumsi berlebihan melalui pemasaran kredit yang agresif atau penawaran hadiah yang bisa menyebabkan misalokasi pendapatan. Ekosistem halal membutuhkan sinergi lima unsur: pelaku usaha halal, lembaga ekonomi sosial, pemerintah, infrastruktur halal, dan sumber daya insani (SDI). Infrastruktur halal mencakup kawasan industri halal (KIH), laboratorium halal, sistem penelusuran halal, serta standarisasi dan sertifikasi halal. 

Dalam ekosistem halal, bank syariah memiliki empat peran strategis. Pertama, sebagai pusat keuangan bagi industri halal, bank syariah harus inovatif dalam menyediakan produk dan layanan sesuai kebutuhan industri halal, baik dalam bentuk skema pembiayaan maupun investasi. Faktanya, menurut data OJK, pembiayaan perbankan syariah tahun 2024 hanya 8,06% dari total kredit nasional, dengan 48%-nya dialokasikan ke sektor produktif, jauh di bawah rata-rata kredit produktif secara nasional (73%). Karena itu, bank syariah perlu meningkatkan strategi pembiayaan produktif agar sektor halal bisa tumbuh seperti sektor makanan, fesyen, farmasi dan kosmetik, pariwisata, dan industri kreatif halal. 

Kedua, peningkatan kualitas SDI tidak hanya tanggung jawab dunia pendidikan. Bank syariah harus berkontribusi dalam edukasi dan literasi ekonomi syariah dengan menggandeng lembaga pendidikan dan pelatihan. Program “Praktisi Mengajar” serta magang mahasiswa perlu diperluas dan diperkuat. Selain itu, edukasi ekonomi halal ke pondok pesantren dan sekolah menengah juga penting agar pemahaman ekonomi syariah tertanam sejak dini. 

Ketiga, pengembangan infrastruktur ekosistem halal membutuhkan sinergi banyak pihak, termasuk bank syariah. Pembangunan KIH, pusat kuliner halal, destinasi wisata ramah Muslim, dan UMKM halal membutuhkan keteribatan bank syariah sebagai penyedia modal, perguruan tinggi sebagai inkuba- tor bisnis, serta pemerintah daerah sebagai penyedia lokasi. Saat ini, baru ada tiga KIH yang diresmikan, yaitu di Serang Jawa Barat, Sidoarjo Jawa Timur, dan Bintan. KNEKS juga telah mengembangkan Zona Kuliner Halal Aman dan Sehat (KHAS) sejak 2022 di beberapa lokasi, dan ke depan diharapkan KIH hadir di lebih banyak wilayah, termasuk Yogyakarta. 

Keempat, sektor sosial syariah seperti zakat, sedekah, dan wakaf berperan dalam meningkatkan kesejahteraan kelompok rentan dan miskin. Bank syariah dapat berkolaborasi dengan lembaga amil zakat (LAZ) dan nadzhir wakaf dalam pemberdayaan masyarakat, baik sebagai unit pengumpul zakat (UPZ) maupun lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang (LKS-PWU). Dalam hal ini, bank syariah diharapkan menjadi mediator dan inkubator bagi kelompok rentan. 

strategis tersebut, bank syariah tidak hanya berfungsi sebagai entitas keuangan, tetapi juga sebagai lokomotif dalam mewujudkan ekosistem halal yang inklusif dan berkelanjutan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 17 Februari 2025

Priyonggo Suseno
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi UII. Wakil Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Wilayah DIY. Pengawas syariah pada beberapa entitas bisnis syariah