Categories
Pendidikan

Robohnya Kampus Kami

Langit masih berhiasan semburat merah awan selepas Magrib. Saya pun sampai di sebuah kedai kopi. Suasana masih lengang, karena ukurannya yang lumayan besar. Cacah tamu yang datang pun belum banyak. Sebagian orang mungkin masih meneruskan wirid atau menunda makan malamnya.

Tubuh saya arahkan ke salah satu kursi kosong. Saya sampaikan jika menunggu seorang kawan, ketika pelayan menghampiri.

Tak selang lama, kawan saya pun datang. Seperti biasanya, dia mendekat dengan langkah tegap dan senyum merekah. Topi laken fedora setia menutup kepalanya.

Kami pun menjadi kursi yang lebih nyaman. Agak di dalam. Setelah memesan minuman tradisional, kami pun berbincang.

“Mas, gelisah gak, dengan kondisi bangsa saat ini,” tanya seorang kawan. Kami cukup dekat meski mengabdi di kampus yang berbeda.

“Jelas sekali, Mas”, jawab saya.

Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini.

Obrolan pun mengalir menyangkut banyak hal. Kami berdua berbagi kegalauan soal melempemnya kaum terpelajar bangsa ini. Tentu, kami pun merasa bagian dari mereka. Jika pun dianggap tidak benar, paling tidak, nurani kami mengirim sinyal seperti itu. Ada perasaan bersalah yang menghantui.

Kegelisahannya ini sudah lebih dari cukup untuk memproduksi asam lambung dan mengganggu ritme tidur. Sialnya, keberanian yang ditunggu juga tidak kunjung datang. Tulisan ini harus pun menunggu beberapa hari, sebelum saya putuskan untuk dirampungkan.

Kala itu, kami berbagi perspektif dan cerita, tentang apa yang mungkin dilakukan. Kami sadar dengan beragam kekangan dan risiko yang menghadang. Bukan hanya soal personal, tetapi juga gerbong institusi.  

Banyak kawan-kawan yang kami harapkan ternyata sudah terkooptasi dan terbeli. Saya pun tersentak seakan tak terpercaya, sebelum akal sehat saya kembali menyapa. Semuanya ternyata masuk akal dari kacamata pragmatisme.

Meski demikian, kami sepakat untuk menjaga optimisme. Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa. Tulisan ini juga bentuk sapaan terhadap mereka.

Kami yakin, di luar sana, masih ada kawan-kawan yang mempunyai kepedulian serupa.

Kampus kuburan

Obrolan di kedai itu mengingatkan saya kepada cerita seorang dosen senior yang sangat saya hormati. Dalam sebuah kesempatan, Prof Zaini Dahlan, Rektor Universitas Islam Indonesia 1994-2002, gelisah dan berkata, “Kampus kita kok sepi sekali ya, kayak kuburan”.

Komentar tersebut tidak mengarah kepada sepi fisik, tetapi sepi suara intelektual. Kampus di sini pun tidak merujuk kepada bangunan fisik semata, tetapi keseluruhan ekosistem pembentuk perguruan tinggi.

Karenanya, saya sangat senang, jika sebagian dosen masih menyempatkan menulis di kanal media publik untuk merespons berbagai masalah bangsa. Kadang secara personal, gagasan disampaikan. Di lain waktu, pusat studi menyampaikannya secara kolektif.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup. Meski saya yakin, tidak semua orang, termasuk kalangan terpelajar, menganggap budaya menyampaikan pemikiran kritis ini masih penting.

Ini adalah ikhtiar penting untuk menjaga sukma intelektual tetap hidup.

Yang jelas, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan jika suara intelektual kampus sudah sangat jarang terdengar di ruang publik untuk merespons beragam isu dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, pekerjaan rumah bangsa dan negara ini masih banyak.

Kita bisa sebut diantaranya, korupsi yang tak kunjung berkurang, kolusi dan nepotisme dalam semua bentuknya, penyalahgunaan kekuasaan yang melawan kepentingan publik, perusakan alam yang dibiarkan, sampai dengan beragam pengelabuan akal sehat publik.

Gelisah yang tersendat

Dalam diskusi terbatas, kegelisahan tersebut kadang muncul. Namun, kerongkongan para intelektual dapat tiba-tiba tersendat, ketika suara kritis hendak dikeluarkan. Ada beragam kemungkinan alasan.

Termasuk di antaranya adalah masalah labirin administratif yang menghantui para dosen dan pimpinan kampus. Tugas-tugas ini sudah menghabiskan banyak energi tanpa tambahan kualitas yang memadai. Meme Dr Strange bertangan banyak sebagai representasi dosen yang terjebak di semesta jamak dengan tugas bejibun, menggambarkan realitas ini.

Selain itu, menyampaikan gagasan di ruang publik pun bukan tanpa risiko. Saya masih simpan jawaban Prof Azyumardi Azra ketika kami mendiskusikan soal ini melalui WhatsApp, sekitar sebulan sebelum beliau wafat. Beliau pun sadar risiko bersuara kritis.

Prof Azra membalas pesan saya:  “Saya juga kadang-kadang khawatir karena sering mengkritik secara terbuka di media elektronik dan media cetak. Saya tawakkaltu (alallah) sajalah. … Bahkan yang terhitung kawan kita dalam barisan kepemimpinan nasional ikut-ikutan menyalahkan mereka yang kritis.”

Beragam definisi intelektual dapat ditemukan dalam literatur. Secara sederhana, intelektual adalah mereka yang selain mumpuni secara keilmuan, juga tetap menjaga sensitivitasnya untuk mengendus masalah publik dan meresponsnya.

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik

Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik. Ketika berhubungan dengan publik, tugas intelektual menurut Chomsky adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan; memberikan konteks kesejarahan; dan mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang debat. Karena para intelektual mempunyai banyak privilese yang dinikmati, maka tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan kalangan awam kebanyakan.

Saya dan Prof Azra pernah berdiskusi ringan soal isu kebebasan berpendapat kaum, terutama di kalangan intelektual. Pemicunya adalah teror yang diterima salah satu kolega saya, Prof Ni’matul Huda, ketika akan menjadi pembicara sebuah seminar.

Saya masih ingat, saat itu mengutip pendapat Acemoglu dan Robinson (2019) dalam bukunya The Narrow Corridor: “Kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum, dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.”

Kita semua tahu, saat ini, tidak semua media kalis dari kooptasi dan tidak semua kelompok masyarakat sipil steril dari intervensi. Namun, ketika intelektualisme di kalangan terpelajar juga memudar, tanpa bermaksud jemawa, gantungan harapan publik akan semakin sirna.

Kita pun menjadi saksi, secara perlahan bangunan intelektualisme tergerogoti beragam sebab dan dalih. Pilar-pilarnya pun menjadi keropos. Tanpa kemunculan kesadaran kolektif kaum intelektual, kampus dalam imajinasi moral pun menunggu waktu untuk roboh.

Semoga tidak!

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 13 November 2023

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS), Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta, Rektor Universitas Islam Indonesia, Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada  eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.

 

Categories
Sosial Budaya

Dilema Organisasi Masyarakat Sipil: Pejuang Aspirasi Publik, Terlilit Masalah Pendanaan

Sejarah mencatat organisasi masyarakat sipil (OMS) berperan besar di Indonesia bahkan sejak dalam proses pembentukan negara. Dalam risalah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sedikitnya terdapat 50 OMS yang terlibat, misalnya ada Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (1926), Sumpah Pemuda (1928), Indonesia Muda (1931), dan lain-lain.

Peran OMS di Indonesia mencakup berbagai aspek, mulai dari memperjuangkan hak asasi manusia dan hak sipil—khususnya bagi kelompok rentan, hingga mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan. OMS juga berperan penting dalam menangani krisis dan menyokong proses pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

OMS juga lebih efektif dalam merespons isu sosial karena mereka sudah berfokus pada isu-isu kemanusiaan dan keadilan. Lain halnya pemerintah yang terkadang lambat beraksi karena struktur birokrasi dan administrasi yang kaku.

Sayangnya, pelaksanaan peran penting OMS kerap tersandung masalah pendanaan. Sejauh ini,, mayoritas OMS di Indonesia bergantung pada donor (terutama dari luar negeri) ketimbang mendapatkan dukungan dari pemerintah.

Pendanaan internasional bagi OMS semakin berkurang setelah Indonesia bergabung dalam G20 pada dan masuk kategori negara berpendapatan menengah-atas pada 2008. Situasi ini amat memengaruhi OMS, apalagi di tingkat lokal.

Minimnya pendanaan dari pemerintah

Berdasarkan laporan The Civil Society Organization Sustainability Index (CSOSI), indeks kemampuan finansial OMS Indonesia dalam dua tahun terakhir (2023-2024) masih berkembang tapi cenderung terhambat. Jumlah OMS yang mencapai 300 ribu pada masa reformasi, kini menurun drastis menjadi kurang dari 8 ribu organisasi akibat minimnya dukungan pemerintah dan donor internasional.

Masalah utama sumber daya dan diversifikasi pendanaan OMS tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia.

Di sisi lain, ketergantungan pada donor internasional membuat akuntabilitas OMS di Indonesia meningkat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan donor untuk membuat pelaporan yang lebih transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Untuk pendanaan OMS dari pemerintah, pengelolaannya mengikuti mekanisme khusus bernama Swakelola Tipe 3. Sejauh ini, jumlah pendanaan untuk OMS dari mekanisme ini masih sangat kecil.

Pengalaman tahun 2023 juga menunjukkan banyak kesalahan pelabelan dalam paket Swakelola Tipe 3. Beberapa paket yang seharusnya ditujukan untuk OMS justru mencakup proyek konstruksi, operasional pemerintah, pengadaan barang, hibah, dan jasa pihak ketiga.

OMS juga merasa kesulitan mengakses Swakelola Tipe 3. Ini terjadi karena mereka kesulitan mengakses informasi dan tidak memenuhi syarat untuk menjadi penerima dana.

Berdasarkan penelitian USAID-MADANI terhadap 437 OMS di Indonesia, sumber pendanaan dari pemerintah hanya mencapai 21%. Sementara itu, mayoritas pendanaan berasal dari internal organisasi, yaitu sebanyak 46%.

Sebanyak 52% OMS yang diteliti menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan dukungan yang memadai atau tidak mendukung pemberdayaan OMS sama sekali, terutama terkait pendanaan. 

Alasan mereka antara lain pemerintah tidak mendukung program OMS, akses terhadap pendanaan terbatas dan syaratnya rumit, dan pemerintah tidak mendukung penguatan OMS secara keseluruhan. Meski demikian, yang menarik adalah sebanyak 58% OMS telah berkolaborasi dengan pemerintah daerah.

Lemahnya komitmen pemerintah untuk memberikan anggaran pada sektor yang ditangani oleh OMS dapat dilihat pada penanganan HIV/AIDS dalam kerangka Target Three Zero 2030. Pada tahun 2021, pemerintah Medan, Surabaya, Makassar, Sorong, dan Jayapura tidak menganggarkan dana untuk program ini. 

Kondisi ini menggambarkan bahwa pendanaan dari kas negara minim bukan karena anggaran tak memadai, melainkan karena pemerintah tidak menjadikan bantuan dana OMS sebagai prioritas.

Minimnya pendanaan tidak hanya memengaruhi operasional organisasi tetapi juga pada para anggota dan aktivis yang terlibat di dalamnya. OMS kerap kepayahan dalam mempertahankan pekerja yang kompeten karena keterbatasan anggaran untuk memberikan gaji yang stabil. Situasi ini mengancam pengembangan organisasi dan keberlanjutan program-programnya.

Sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk mengatasi minimnya pendanaan dari pemerintah, lahirlah inisiatif bernama Ananta Fund pada 2022.

Ananta Fund merupakan forum kolaborasi untuk membuka peluang kerja sama penyedia dana dari berbagai sektor, mulai dari organisasi bilateral, multilateral, filantropi, dan perusahaan. Inisiatif ini berupaya meningkatkan jumlah dana abadi Ananta Fund serta pendanaan langsung untuk program penguatan OMS.

Dukungan wajib dari pemerintah

Kesejahteraan OMS, baik secara organisasi maupun individu, sangat bergantung pada pendanaan. Sayangnya, akses terhadap sumber dana, terutama dari pemerintah, juga sangat terbatas.

Sebagai gantinya, OMS mencoba diversifikasi donor agar tidak bergantung dari satu sumber dana. Sebagai contoh, mereka mencari pendanaan dari CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) maupun platform urun dana atau crowdfunding seperti Kitabisa.com.

Melihat situasi tersebut, pemerintah seharusnya lebih peka dan mengakui peran OMS dengan memberikan dana yang memadai. Pemerintah perlu mendefinisikan peran OMS sebagai mitra strategis dalam membantu masyarakat dan mengakui peran penting mereka dalam perubahan sosial.

Selain itu, keterbukaan pemerintah dan peluang kerja sama yang lebih luas untuk OMS akan membantu menopang keberlanjutan OMS dalam menggaungkan aspirasi publik dan merealisasikannya dalam bentuk pembangunan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 Maret 2025

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.



Categories
Politik Sosial Budaya

Urgensi Perda Kebudayaan

Kota Yogyakarta sampai tahun 2025 ini belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara khusus mengenai kebudayaan. Meski pada tingkat Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah diatur secara komprehensif di dalam Perdais DIY Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan, tetapi sebagai kota yang memiliki kewenangan tersendiri sudah sepatutnya Kota Yogya karta juga memiliki Perda Kebudayaan. 

Sedikit lebih maju daripada Kota Yogyakarta, Kabupaten Gunungkidul telah memiliki Perda khusus mengenai pengelolaan kebudayaan sejak tahun 2022 lalu. Perda tersebut setidaknya dapat menjadi pijakan dan jaminan akan hadirnya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam urusan kebudayaan, baik sekarang maupun mendatang. 

Mendesak 

Setidaknya ada beberapa argumentasi mengapa pembentukan Perda tentang Kebudayaan sangat urgen untuk segera diwujudkan di Kota Yogyakarta. Secara filosofis, sebagai bagian dari DIY, Kota Yogyakarta mewarisi nilai-nilai luhur Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat. Warisan budaya tersebut perlu dilindungi, dikembangkan, dimanfaatkan dan dibina agar terus lestari. Pemerintah Daerah harus hadir dalam rangka mempertahankan eksistensinya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, penyelenggaraan, dan pengawasan di tengah tantangan dan hambatan peradaban daerah. 

Secara sosiologis, tren positif pengelolaan kebudayaan yang dianggap telah baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Raihan kategori terbaik/emas oleh Kota Yogyakarta dalam penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024 dari Kementerian Kebudayaan, perlu juga diimbangi dengan kontribusi murni Kota Yogyakarta kepada pengelolaan kebu- dayaan. 

Saat ini, kontribusi Kota Yogyakarta dalam tata kelola kebudayaan, secara mayoritas masih dalam kedudukannya sebagai pelaksana dan penerima tugas urusan keistimewaan bidang kebudayaan dari Pemerintah DIY, bukan murni dari inisiatif atau otonomi Kota Yogyakarta. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberikan kesempatan kepada Pemerintah Kota untuk juga turut aktif dalam memajukan dan melestarikan kebudayaan di daerahnya.

Secara yuridis, kontribusi yang belum optimal di atas dapat dimaklumi karena Pemerintah Kota Yogyakarta sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Tahunan 2023 Dinas Kebudayaan mengamini sendiri bahwa Kota Yogyakarta memiliki keterbatasan perangkat regulasi teknis terkait dengan pelestarian, pengawasan, dan pengembangan seni budaya di Kota Yogyakarta. Hal tersebut mengindikasi- kan bahwa terjadi kekosongan hukum bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam melakukan tata kelola kebudayaan yang berlandaskan atas otonomi daerah. 

Materi Muatan 

Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, maka ke depan, baik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta perlu segera membentuk Perda Kota Yogyakarta tentang Kebudayaan. Materi muatan yang perlu diatur dapat berisi beberapa hal berikut. Pertama, sinkronisasi dan harmonisasi kewenangan antara Pemerintah Daerah DIY dengan Pemerintah Kota Yogyakarta. Tujuannya bukan untuk memperumit pembagian kewenangan, tetapi justru dapat memperjelas masing-masing kewenangan dari dua daerah tersebut. Di samping sebagai pelaksana tugas dari Pemerintah DIY, Pemerintah Kota Yogyakarta juga perlu dimak- simalkan kontribusinya seba- gai daerah yang memiliki kewenangan tertentu. 

Kedua, pemetaan mengenai objek kebudayaan.yang bersumber dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan masyarakat yang memang berada di Kota Yogyakarta di antaranya nilai hamemayu hayuning bawana, segoro amarto, dan rewang/balad. Ketiga, perlu pengaturan mekanisme perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan urusan di bidang kebudayaan yang dapat terdiri pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. 

Keempat, pemeliharaan dan pengembangan rintisan ke lurahan budaya serta kelurahan budaya. Dua entitas ini perlu diberi pembinaan dan pelestarian melalui diantaranya peningkatan manajemen, kungan dan fasilitasi sarana dan prasarana serta pendampingan tenaga teknis. Ketentuan ini menjadi lokalitas (local wisdom) karena menjadi kekhasan Kota Yogyakarta. Kelima, pemberian pengha gaan kepada pihak-pihak yang telah be. prestasi dan berperan penting dalam upaya pengelolaan kebudayaan. Penghargaan dapat berupa fasilitas, insentif dan bentuk lainnya. 

Keenam, peran serta masyarakat. Ketentuan ini mengatur mengenai peran apa saja yang dapat diberikan oleh masyarakat di dalam pengelolaan kebudayaan. Peran serta dapat berupa bantuan upaya pengelolaan kebudayaan, bantuan pendanaan, melakukan pelindungan sementara, melakukan advokasi publikasi dan sosialisasi serta pengawasan terhadap upaya pengelolaan kebudayaan. Ketujuh, dukungan pendanaan dalam pelaksanaan pengelolaan kebudayaan. 

Beberapa materi muatan di atas perlu dipertimbangkan agar kehadiran Pemerintah Kota Yogyakarta dapat lebih nyata dalam memberikan kontribusi dalam pengelolaan kebudayaan sebagai daerah otonom, bukan hanya dalam kedudukannya melaksanakan tugas dari Pemerintah DIY. Tentu saja hal ini bertujuan agar potensi kebudayaan di Kota Yogyakarta menjadi optimal secara khusus dan secara umum kebudayaan DIY dapat lestari secara maksimal.



Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 26 Maret 2025

M. Addi Fauzani
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII

Categories
Sosial Budaya

‘Ecohorror’, Alternatif untuk Film Horor Religi di Indonesia

Sutradara Indonesia, Gina S. Noer melayangkan kritik terhadap tren film horor yang sedang berkembang di Indonesia. Ia menyayangkan para sineas yang cenderung mencari jalan cepat untuk menciptakan efek seram dengan memanfaatkan ritual ibadah, alih-alih mengutamakan variasi dan kedalaman cerita. Banyak kalangan juga mempermasalahkan bagaimana agama direduksi sedemikian rupa dan hanya menjadi alat untuk membuat adegan-adegan seram.

Kiblat (2024) menjadi salah satu film yang banyak disorot. Mulai dari poster yang dinilai menistakan agama karena menampilkan sosok seperti iblis sedang salat sampai penggunaan judul ‘kiblat’ yang dianggap menjelek-jelekkan ka’bah selaku tempat suci. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan meminta Agung Saputra, sutradara Kiblat, beserta timnya untuk meminta maaf kepada publik.

Eksploitasi agama di film horor bukanlah hal baru. Sejak rezim Orde Baru, ketatnya sensor pemerintah terhadap film demi menjaga stabilitas rezim, membuat mayoritas pembuat film memilih jalan yang relatif lebih aman. Caranya dengan memproduksi film horor yang mengandung unsur adegan ranjang dan kesadisan, sambil mempromosikan moralitas bahwa kebaikan akan selalu mengalahkan kejahatan dan bertakwa kepada Tuhan adalah solusi keselamatan.

Setelah reformasi, mulai muncul film horor yang berani ‘menghilangkan’ kesakralan agama. Sosok kiai atau ustaz tidak lagi menjadi solusi mutlak dari serangan roh jahat. Namun, terlepas dari posisi agama dalam narasi film, ia tetap menjadi menu wajib bagi film horor.

Ini menunjukkan kurangnya eksplorasi sineas terhadap isu religiusitas di masyarakat. Isi film horor hanyalah pengulangan adegan-adegan horor dalam suatu praktik ibadah, misal orang salat yang dimakmumi hantu atau hantu yang bisa memutus doa seseorang. Seolah-olah, tidak ada formula atau ide cerita lain untuk film horor di Indonesia.

Padahal, film horor memiliki potensi sebagai medium yang bisa membicarakan beragam isu penting, termasuk isu lingkungan. Terlebih, masyarakat kita tidak kekurangan cerita-cerita mengenai alam yang bisa mendatangkan celaka kepada siapapun yang mengusiknya.

Apa itu genre ‘ecohorror’?

Di industri perfilman luar negeri, isu lingkungan dan cerita horor sudah sering dipertemukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengacu pada cerita-cerita mengenai alam yang membalas perbuatan eksploitatif manusia.

Dalam genre ini, alam direpresentasikan sebagai kekuatan-kekuatan mengerikan yang mengancam manusia gara-gara aktivitas eksploitatif. Salah satu contoh yang paling sering dibahas adalah Godzilla (1954)—film tentang monster yang bangkit akibat ledakan bom nuklir.

Dalam perkembangannya, ecohorror semakin mempunyai banyak varian cerita yang mengeksplorasi bentuk-bentuk hubungan antara manusia, alam, dan terutama mahluk hidup lainnya.

Deep Blue Sea (1999), misalnya, menggambarkan ilmuwan yang melakukan eksperimen untuk meningkatkan kapasitas otak hiu dalam upaya menemukan obat alzeimer. Namun, situasi berubah horor ketika hiu yang semakin cerdas memburu para ilmuwan dan staf di fasilitas penelitian mereka.

‘Ecohorror’ dan upaya memahami alam di Indonesia

Jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih sedikit. Genre ini tak banyak dibahas baik di ranah populer maupun akademis. Sejauh ini, saya hanya menemukan penelitian tahun 2023 yang secara spesifik membicarakan ecohorror, khususnya dalam konteks perfilman di era Orde Baru.

Menurut riset tersebut, film Ratu Buaya Putih (1988) dan Titisan Dewi Ular (1990) mempunyai formula yang serupa yaitu kemarahan alam atas perbuatan manusia.

Dalam Ratu Buaya Putih, perilaku eksploitatif manusia ditunjukkan lewat pembantaian buaya oleh tokoh bernama Sumarna dan Jefri demi kepentingan bisnis, sedangkan dalam Titisan Dewi Ular, persoalannya adalah spesies ular yang eksistensinya terancam oleh tokoh bernama Dayan demi memperoleh kesaktian. Kedua film tersebut lantas menghadirkan pembalasan alam melalui representasi roh-roh dengan wujud siluman buaya dan siluman ular.

Pada konteks film Indonesia kontemporer, genre ecohorror juga mulai muncul. Sayangnya, isinya masih didominasi narasi yang menempatkan alam sebagai entitas berbahaya.

Seri Kisah Tanah Jawa: Merapi (2019), misalnya, berbicara mengenai demit gunung Merapi yang bisa menculik manusia untuk dijadikan pengantin. Ceritanya mengadopsi kisah yang berkembang di masyarakat mengenai gunung sebagai tempat angker, kerajaan makhluk halus, kemudian pendaki yang hilang dan diculik oleh bangsa jin untuk dijadikan sebagai pengantin.

Namun, karena terlalu fokus pada penciptaan teror, seri ini berhenti pada penggambaran gunung yang misterius dan berbahaya. Sementara manusia sekadar diposisikan menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai kekuatan jahat di sana. Narasi ini berpotensi menciptakan ecophobia (ketakutan irasional terhadap alam) alih-alih tergerak untuk memahami alam secara lebih mendalam.

Memang, risiko membuat audiens menjadi ecophobic tetap ada pada setiap film ecohorror. Sebab, ecohorror adalah genre yang kerap menghadirkan kengerian kepada penonton, entah melalui monster atau perubahan iklim yang membawa bencana.

Namun, kita tetap butuh film ecohorror yang memberi penekanan kuat terhadap kerusakan alam akibat ulah manusia agar muncul rasa bersalah atau, paling tidak, kegelisahan di antara penonton sehingga memantik perbincangan terkait isu-isu lingkungan.

Potensi genre ‘ecohorror’

Meski jumlah film bergenre ecohorror di Indonesia masih terbatas, Indonesia memiliki kekayaan cerita yang secara dialogis mewacanakan hubungan antara alam, entitas makhluk gaib, dan manusia.

Di YouTube, misalnya,acara-acara talkshow berbasis paranormal experience telah banyak memuat cerita bagaimana para pendaki gunung memperoleh gangguan jin gara-gara mengotori lingkungan,  seperti mengotori tempat-tempat sakral atau membuang pembalut sembarangan. Biasanya mereka baru bisa lepas dari gangguan tersebut setelah meminta maaf kepada si jin penjaga gunung.

Liputan Project Multatuli juga menegaskan alam sebagai entitas yang aktif. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, berikut kisah-kisah ganjil yang menyertainya, adalah fenomena-fenomena yang menunjukkan bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melawan gencarnya pembangunan infrastruktur oleh negara.

Hal ini menegaskan potensi ecohorror untuk dikembangkan di Indonesia sebagai alternatif dari tayangan horor yang terjebak dalam narasi agama. Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor merupakan salah satu genre terfavorit masyarakat kita. Sehingga, ecohorror sebagai sub-genre film horor punya peluang untuk diminati sebagaimana film-film hantu lainnya.

Kontekstualisasi ‘ecohorror’

Industri perfilman luar negeri sudah banyak mengeksplorasi variasi tema dalam genre ecohorror. Godzilla merupakan salah satu monster yang filmnya paling sering direproduksi dan kerap menjadi perbincangan terkait isu-isu lingkungan. Jika film Godzilla pertama (1954) menyuguhkan pesan mengenai bom nuklir yang membawa petaka, Godzilla versi baru menyajikan tema perubahan iklim dan kepunahan massal.

Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menggunakan formula film ecohorror dari luar.

Sebagian besar masyarakat Indonesia barangkali tidak bisa terhubung dengan kisah monster yang bangkit gara-gara ledakan nuklir atau monster yang tercipta akibat eksperimen sains tertentu. Namun, mereka jelas punya kedekatan terhadap kisah para pendaki gunung yang tersesat ke desa gaib karena membuang pembalut sembarangan. Jutaan views di kanal YouTube RJL 5 saat mengundang narasumber-narasumber yang mengklaim punya pengalaman soal penunggu gunung, misalnya, menguatkan hal ini.

Dengan minat yang tinggi terhadap isu-isu pengalaman gaib, film-film ecohorror bisa menjadi salah satu medium untuk mengarusutamakan isu lingkungan di tengah masyarakat. Meski film horor sendiri bersifat dinamis, fleksibel, dan terbuka untuk berbagai interpretasi, mengeksplorasi ecohorror bisa menjadi langkah awal untuk memantik dialog terkait isu lingkungan, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang kerap abai terhadap kelestarian alam.

Minimal, film ecohorror bisa mengajak kita untuk berpikir ulang: masihkah kita berupaya memahami alam dan bahasa-bahasanya dengan benar?

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 17 April 2024

Khumaid Akhyat Sulkhan
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bergiat di Klub Studi Simulakra. Bidang riset pada kajian media dan budaya digital.

Categories
Hukum Kesehatan

Rokok dan UU Kesehatan 2023

Polemik dan perdebatan tentang rokok dan kesehatan adalah polemik lama berkepanjangan yang tampaknya tidak akan pernah usai. Seilmiah apa pun hasil penelitian kesehatan menunjukkan bahaya rokok dan menghirup asap rokok. Pada faktanya banyak orang merokok yang tetap sehat dan bugar, sebaliknya tidak sedikit juga orang yang tidak merokok tetapi memiliki masalah yang kompleks terhadap kesehatannya.

Kondisi ini bersamaan pula dengan merebaknya penjual rokok, baik yang legal maupun ilegal, bahkan belakangan semakin banyak bermunculan merek-merek rokok baru yang sebelumnya tidak pernah ada. Maka tidak heran, jika berhenti merokok untuk alasan kesehatan belum menjadi kesadaran bersama masyarakat Indonesia.

Mari kita coba kembali pada persoalan klasik mengenai merokok atau hak untuk merokok. Banyak orang berasalan bahwa merokok adalah hak asasi setiap orang. Oleh karena itu, sama dengan komponen hak lainnya, negara berkewajiban untuk melindungi, memenuhi, dan menghormati hak tersebut. Benarkah demikian menurut konsepsi hak asasi manusia?

Dalam konsepsi hak asasi manusia, merokok bukanlah bagian dari hak asasi, sebaliknya yang merupakan hak asasi adalah hak untuk sehat dan mendapatkan udara yang sehat. Oleh karena itu, justru yang harus dilakukan dan dilindungi oleh negara adalah jaminan bahwa setiap orang mendapatkan udara yang bersih, segar, dan sehat.

Dengan demikian, apakah merokok mejadi terlarang? Tentu tidak, merokok sah-sah saja bagi siapa pun yang menginginkannya, bahkan merokok dapat mejadi hak jika kebolehannya ini diatur dalam sebuah peraturan, misalnya dalam peraturan daerah. Namun, dalam konteks ruang publik, negara justru wajib memastikan agar setiap orang terbebas dari asap rokok yang dapat mengganggu kesehatannya. Jadi, merokok justeru dapat bahkan harus dilarang jika berpotensi atau telah mengganggu hak mendapatkan udara yang segar dan sehat.

Kewajiban di UU Kesehatan

Saat ini, pemerintah dan DPR telah mengesahkan Undang-Undang Kesehatan (UU Kesehatan 2023) yang salah satunya mengatur tentang rokok. Dari aspek formal prosedural, ini kali kesekian pemerintah dan DPR mengesahkan UU secara tergesa-gesa, tidak melewati partisipasi yang memadai, juga tidak melalui kajian yang cukup baik.

Dampaknya, tidak ada dasar dan pijakan ilmiah terhadap pilihan kebijakan yang diambil. Salah satu misalnya adalah kesalahan berpikir dalam memaknai rokok dan hak asasi manusia. Misalnya ketentuan Pasal 151 UU Kesehatan 2023 yang berbunyi, “Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok”.

Pasal ini mewajibkan agar tempat-tempat publik menyediakan tempat khusus bagi perokok. Sekilas, ini seperti jalan tengah antara perokok dan bukan perokok, ini seperti jalan keluar agar perokok tetap mendapatkan tempat untuk merokok, di sisi lain tidak mengganggu orang yang tidak merokok.

UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut.

Namun, jika dilihat lebih dalam, Pasal 151 ini justru ambigu, anomali, dan bertentangan dengan UUDN RI Tahun 1945. Pasal 28H UUD menegaskan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.

UUD justru memerintahkan agar pemerintah menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, bukan sebaliknya menyediakan tempat merokok yang berpotensi mengganggu lingkungan yang sehat tersebut. Dengan demikian, pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, dan tempat umum sejatinya harus membantu memastikan agar tempat publik terbebas dari asap rokok.

Selain itu, jika ketentuan di atas disahkan, lalu ada pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja dan tempat umum yang karena menjalankan mandat konstitusi ingin melindungi hak atas lingkungan yang sehat, dengan cara tidak menyediakan tempat khusus merokok, maka akan mendapatkan sanksi, karena frasa ”wajib” dalam pasal tersebut. Ini sangat anomali, bagaimana mungkin ada pihak yang melindungi masyarakat dari lingkungan yang kotor akibat asap rokok justru mendapatkan hukuman.

Ini mengindikasikan bahwa ketentuan pasal tersebut harus ditinjau ulang, jalan singkat yang dipilih oleh DPR dan pemerintah ini akan berdampak fatal bagi jaminan atas hak mendapatkan udara sehat dan segar. Terlebih, penormaan ini dengan mengesampingkan partisipasi publik yang memadai. Sejatinya, urusan rokok ini sudah sangat jelas terpampang di bungkusnya bahwa ”merokok membunuhmu”, jika pemerintah mewajibkan penyediaan tempat khusus untuk merokok, tampaknya mengamini adagium itu.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik The Conversation Indonesia pada tanggal 26 Juli 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.



Categories
Ekonomi

PPN 12 Persen, Penggerak atau Pengerem Ekonomi Rakyat?

Meski kebutuhan pokok seperti sembako sebagian besar dikecualikan, barang-barang sekunder yang juga krusial bagi konsumsi rumah tangga akan terkena imbasnya.

 

Mampukah kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen menjadi penggerak ekonomi melalui optimalisasi pendapatan negara, atau justru akan menjadi pengerem ekonomi yang melemahkan daya beli dan sektor riil?

Pemerintah berdalih, langkah menaikkan tarif PPN diperlukan guna meningkatkan penerimaan negara demi pembiayaan pembangunan berkelanjutan. Namun, bagi masyarakat kecil, kebijakan ini menyulut kekhawatiran baru. Harga barang dan jasa yang kian melonjak menjadi beban berat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Keputusan pemerintah untuk meningkatkan tarif PPN bukanlah langkah yang diambil tanpa dasar. Sejak awal diterapkannya sistem PPN di Indonesia pada 1984, kebijakan ini dirancang sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara. Dalam beberapa dekade terakhir, PPN menjadi instrumen penting dalam menjaga stabilitas fiskal.

Ketika defisit anggaran meningkat, seperti yang terjadi selama pandemi Covid-19, pemerintah berupaya mencari cara untuk menutup celah pendanaan tanpa terlalu membebani kelompok berpenghasilan rendah.

Pilihan untuk menaikkan PPN, dibandingkan pajak lainnya, karena PPN dianggap memiliki basis yang lebih luas dan efisien dalam pengumpulan.

Namun, sejarah juga mencatat, setiap kali terjadi kenaikan tarif PPN, respons masyarakat tak pernah sederhana.

Pada tahun 2001, ketika tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen, terjadi peningkatan inflasi sebesar 1,2 persen yang langsung memukul daya beli masyarakat. Situasi serupa terjadi pada 2022 ketika PPN dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen, dengan lonjakan inflasi mencapai 4,2 persen.

Dengan memahami histori ini, kita dapat melihat mengapa pemerintah memilih kebijakan ini meski menyadari potensi risiko ekonomi yang menyertai.

Dampak dari kebijakan ini dapat dilihat dari berbagai perspektif. Dalam konteks pemulihan ekonomi nasional, pendapatan pajak yang meningkat diyakini mampu mendukung program-program prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

Namun, pada saat yang sama, daya beli masyarakat yang rendah akibat kenaikan harga dapat menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi lokal. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi tahunan pada 2024 diproyeksikan berada di kisaran 4-5 persen, sebagian besar dipicu oleh kenaikan harga barang dan jasa yang dikenai PPN. Dengan basis data ini, penting untuk menganalisis lebih dalam dampak dan potensi dari kebijakan kenaikan tarif PPN.

Perspektif pemerintah

Pemerintah mengklaim meningkatkan tarif PPN adalah langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara. Dengan meningkatnya penerimaan pajak, pemerintah dapat melanjutkan program prioritas nasional seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, dan pendidikan.

Pada tahun 2023, pendapatan pajak Indonesia mencapai Rp 1.716 triliun, di mana PPN menyumbang sekitar 38 persen dari total pendapatan tersebut. Dengan peningkatan tarif menjadi 12 persen, pemerintah memproyeksikan tambahan penerimaan hingga Rp 150 triliun per tahun, yang dapat dialokasikan untuk berbagai program pembangunan.

Selain itu, pemerintah menekankan bahwa tarif 12 persen masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga di ASEAN seperti Filipina dan Vietnam yang mengenakan PPN hingga 15 persen. Klaim ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa Indonesia masih berada dalam batas wajar secara regional.

Namun, klaim ini perlu diuji lebih jauh. Apakah dana yang terkumpul benar-benar dikelola secara efisien dan tepat sasaran? Tantangan utama kebijakan fiskal di Indonesia bukan hanya pada aspek penerimaan, melainkan juga pada pengelolaan dan transparansi anggaran.

Pemerintah juga berargumen, kenaikan tarif ini tak serta-merta membebani rakyat kecil karena beberapa barang dan jasa kebutuhan pokok dikecualikan dari PPN. Namun, pertanyaan tetap ada: bagaimana kebijakan ini berdampak pada barang sekunder dan jasa lainnya yang turut memengaruhi konsumsi masyarakat? Dampak jangka pendek seperti penurunan daya beli dan inflasi perlu menjadi perhatian serius untuk memastikan kebijakan ini tidak menghambat pemulihan ekonomi.

Pemerintah mengklaim meningkatkan tarif PPN adalah langkah strategis untuk memperkuat kapasitas fiskal negara.

Dampak pada ekonomi rakyat

Kenaikan tarif PPN berpotensi menimbulkan efek domino terhadap perekonomian rakyat. Salah satu dampaknya, lonjakan harga barang dan jasa.

Meski kebutuhan pokok seperti sembako sebagian besar dikecualikan, barang-barang sekunder yang juga krusial bagi konsumsi rumah tangga akan terkena imbasnya. Menurut survei BPS di triwulan I-2024, pengeluaran rumah tangga pada barang sekunder mengalami penurunan hingga 12 persen dibandingkan dengan periode sama 2023. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran konsumen akan kenaikan harga akibat PPN.

Efek ini bukan hanya bersifat ekonomi, melainkan juga psikologis, melemahkan daya beli masyarakat yang sudah rentan. Dalam konteks ekonomi mikro, teori permintaan menunjukkan kenaikan harga biasanya menyebabkan penurunan konsumsi, terutama untuk barang yang elastis. Daya beli masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada pada level menengah ke bawah membuat mereka lebih sensitif terhadap perubahan harga.

Bagi sektor UMKM sebagai tulang punggung ekonomi Indonesia, dampaknya lebih nyata. UMKM menyumbang sekitar 61 persen produk domestik bruto (PDB) dan mempekerjakan lebih dari 97 persen tenaga kerja nasional. Tekanan biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan tarif PPN bisa mengurangi margin keuntungan mereka.

Di sisi lain, penurunan konsumsi domestik berisiko mengurangi omzet UMKM dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi lokal.

Kebijakan ini juga menyoroti sifat regresif dari PPN, di mana beban pajak cenderung lebih berat dirasakan oleh kelompok berpendapatan rendah dibandingkan dengan kelompok kaya. Data OECD menunjukkan bahwa sistem pajak regresif dapat memperburuk ketimpangan ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini berpotensi memperlebar ketimpangan ekonomi jika tidak diimbangi dengan kebijakan redistributif yang efektif.

Kebijakan penyeimbang

Untuk memastikan kenaikan tarif PPN tidak menimbulkan gejolak yang terlalu besar, diperlukan kebijakan penyeimbang yang komprehensif.

Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi UMKM untuk meredam dampak kenaikan tarif ini. Sebagai contoh, pembebasan pajak untuk bahan baku tertentu yang digunakan UMKM dapat menjadi solusi untuk menekan biaya produksi. Selain itu, perluasan program bantuan sosial yang tepat sasaran juga menjadi solusi penting untuk menjaga daya beli masyarakat miskin.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa alokasi anggaran untuk bantuan sosial pada tahun 2024 mencapai Rp 470 triliun, tetapi efektivitas distribusinya masih perlu ditingkatkan.

Pengalaman negara-negara seperti Jerman dan Swedia menunjukkan bahwa tarif PPN yang tinggi bisa diterapkan tanpa menekan ekonomi rakyat, asalkan diimbangi dengan subsidi langsung dan insentif yang memadai. Di Jerman, subsidi untuk energi dan transportasi publik membantu meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah.

Di sisi lain, pemerintah juga perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pajak. Tanpa langkah ini, kenaikan tarif PPN hanya akan menambah beban tanpa memberikan manfaat nyata bagi rakyat.

Selain itu, kebijakan untuk meningkatkan literasi pajak di kalangan masyarakat juga penting. Sebagai bagian integral dari ekosistem ekonomi, masyarakat memiliki peran penting dalam menyikapi kebijakan ini. Salah satu langkah awal adalah meningkatkan pemahaman tentang pajak, termasuk tujuan kenaikan tarif PPN dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari.

Dengan memahami konteks kebijakan, masyarakat bisa mengurangi resistensi yang berbasis pada kesalahpahaman.

Untuk memastikan kenaikan tarif PPN tidak menimbulkan gejolak yang terlalu besar, diperlukan kebijakan penyeimbang yang komprehensif.

Langkah mitigasi

Agar kenaikan tarif PPN menjadi langkah yang konstruktif, pemerintah perlu menyiapkan strategi mitigasi yang komprehensif untuk meredam dampak negatif kebijakan ini, terutama bagi masyarakat kecil dan sektor UMKM.

Pertama, memberikan subsidi langsung untuk barang dan jasa esensial dalam kehidupan masyarakat, seperti transportasi publik, bahan bakar, dan energi rumah tangga, untuk menjaga daya beli masyarakat.

Kedua, memberi insentif pajak bagi UMKM dan sektor riil, berupa pembebasan/pengurangan PPN untuk bahan baku tertentu yang digunakan UMKM dan insentif khusus untuk sektor riil yang terdampak langsung. Ini bisa membantu pelaku usaha menekan biaya produksi dan menjaga stabilitas operasional.

Ketiga, perluasan dan efisiensi program bansos. Meningkatkan cakupan dan ketepatan sasaran program bansos seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau kartu sembako. Penggunaan data terkini yang akurat sangat penting untuk memastikan bantuan ini sampai kepada yang benar-benar membutuhkan.

Keempat, kebijakan harga yang terjangkau untuk kebutuhan pokok. Mengendalikan harga barang kebutuhan pokok melalui pengawasan rantai distribusi, serta memberikan insentif kepada produsen untuk menjaga stabilitas harga di tengah kenaikan tarif pajak.

Kelima, edukasi dan literasi pajak bagi masyarakat dan pelaku usaha. Keenam, penguatan transparansi dan akuntabilitas dana publik. Ketujuh, peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran. Memastikan setiap tambahan penerimaan negara dari PPN digunakan secara optimal, mengurangi pemborosan, dan memprioritaskan proyek yang memberi dampak sosial-ekonomi terbesar. Kedelapan, monitoring dan evaluasi dampak kebijakan.

Dengan menerapkan langkah-langkah mitigasi ini, pemerintah tidak hanya dapat meminimalkan dampak negatif kebijakan kenaikan PPN, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan fiskal yang diambil.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Desember 2024

Listya Endang Artiani
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi UII. Bidang riset pada makroekonomi, ekonomi moneter, dan ekonomi energi

 



Categories
Politik

Pemilihan Kepala Daerah

Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kembali dipersoalkan, bahkan Presiden Prabowo secara implisit menginginkan agar Pilkada dikembalikan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pilkada melalui DPRD sesunggunya bukan isu baru. Pasca reformasi sampai tahun 2005 Indonesia menerapkan Pilkada melalui DPRD. Baru setelah tahun 2005, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat, yang saat ini menjadi Pilkada serentak dan langsung. Tahun 2014 lalu, DPR-RI dan Pemerintah pernah menyetujui penyelenggaraan pemilihan kepala daerah melalui DPRD, namun hanya sehari setelahnya, UU ini dibatalkan oleh Presiden SBY melalui Peraturan Pemerintah Pengganti (Perppu).

Kalau ditelisik lebih dalam, wacana mengembalikan Pilkada oleh DPRD bukan tanpa alasan sama sekali. Pertama, secara sederhana penyelenggaraan Pilkada langsung membutuhkan cost atau biaya yang jauh lebih tinggi. Mulai dari percetakan kertas suara, distribusi kertas suara, pembentukan TPS, akomodasi panitia pemilihan dan pengawas, gaji panitia dari level kecamatan, desa, hingga TPS, dan masih banyak kebutuhan lain yang sangat besar.

Kedua, fenomena calon tunggal yang melawan kotak kosong semakin menguat setiap kali penyelenggaraan Pilkada. Harus dipahami, Pilkada secara langsung sedikit banyak berkontribusi atas kondisi ini, karena biaya politik yang tinggi menyebabkan partai politik enggan mengusung calon di daerah tertentu. Ketiga, apa yang cukup mengkhawatirkan dalam penyelenggaraan Pilkada langsung adalah menguatnya segregasi sosial, terutama beberapa daerah yang masih menggunakan dan memanfaatkan sentimen religius dan suku dalam mendulang elektabilitas.

Keempat, berbanding lurus dengan itu, adalah tingkat literasi masyarakat, terutama literasi politik yang masih lemah. Jika kita petakan, atau setidaknya telusuri melalui kajian Aspinal 2019 lalu, mayoritas masyarakat sama sekali tidak melihat rekam jejak calon dalam menentukan pilihan, namun digerakkan oleh money politics tim sukses. Artinya, pemilih tidak memilih berdasarkan hati nuraninya, dan calon tidak perlu menunjukkan rekam jejak dan prestasinya, semua dikendalikan oleh politik uang. Pemilu tahun 2024 ini, tampaknya keempat komponen ini bukan saja masih terjadi, tapi justru semakin memburuk.

Wacana Pemilihan Tidak Langsung 

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau tidak langsung, sebetulnya bukan-lah pilihan ideal. Sebagaimana pengalaman masa lalu Indonesia, Pilkada oleh DPRD sangat rentan dikooptasi atau dibajak oleh kepentingan politik penguasa. Dengan jumlah yang lebih sedikit, tentu akan lebih mudah mengendalikan anggota DPRD dari pada masyarakat luas. Maka, adalah rahasia umum jika money politics saat itu juga beredar, namun hanya di kalangan anggota DPRD dan partai politik.

Belum lagi, sekalipun dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) hanya menyebut pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokratis, artinya tidak menyebut langsung maupun tidak langsung, namun perjalanan putusan MK secara konstitusional telah sampai pada penyatuatapan rezim Pilkada ke dalam pemilihan umum, sehingga juga diselenggarakan langsung oleh rakyat. Belum lagi, kalau kita membaca UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD didesain dengan sangat lemah. DPRD adalah bagian dari pemerintahan daerah, bukan lembaga legislatif di daerah. Artinya, sangat tidak konsisten dengan desain awal jika Pilkada diserahkan kepada DPRD. Selain itu, mengembalikan Pilkada kepada DPRD pasti akan berujung pada penolakan rakyat, demo akan terjadi di mana-mana, belum lagi judicial review terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).

Karena itu, tulisan ini sampai pada kesimpulan bahwa wacana mengembalikan Pilkada oleh DPRD ini jangan dibaca semata-mata hanya pilihan politik praktis elite. Kita tahu betul, Pilkada langsung saat ini melahirkan berbagai persoalan serius yang memperkuat segregasi sosial.

Isu mengembalikan Pilkada oleh DPRD harus menjadi alarm kuat, bahwa ada masalah pelik dengan pilkada langsung saat ini. Harus ada solusi agar sentimen identitas tidak lagi digunakan, money politics ditekan, politisasi lembaga negara (ASN, TNI, dan Polri) dihentikan, dan yang terutama adalah melembagakan literasi politik kepada seluruh masyarakat. Mengubah desain Pilkada bukanlah solusi, sebagaimana pengalaman dan perjalanan panjang Republik ini.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 24 Oktober 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. Penelitiannya berfokus pada isu hak penyandang disabilitas, perempuan, dan anak, otonomi daerah, dan hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan.

Categories
Lingkungan

Efek Pandawara Group : Bagaimana Konten Positif Bisa Mengobati ‘Eco-Anxiety’ Kita

Pandawara Group adalah salah satu pemenang perhatian warganet belakangan ini.

Dengan konten pembersihan sampah di sungai lalu merambah ke pantai, Pandawara Group memikat warganet hingga mampu meraup pengikut sampai 8,4 juta akun hingga tulisan ini dibuat. Pandawara Group, yang digawangi lima anak muda, mulai beraksi di Tiktok sejak Agustus 2022.

Per Oktober lalu, Pandawara Group sudah membersihkan 620 ton sampah dari 187 titik yang tersebar di seluruh Indonesia. Angka ini terus bertambah. Mereka menggarap aksinya bersama para kolaborator, terutama masyarakat dan pegiat lingkungan sekitar lokasi pembersihan.

Jumlah sampah yang sudah dibersihkan Pandawara memang jauh dibandingkan volume sampah plastik di Indonesia yang sebesar 7,8 juta ton per tahun. Namun, dalam artikel ini, kita tidak membicarakan dampak Pandawara mengurangi sampah, melainkan kemampuan konten mereka menciptakan nuansa positif di jagat di media sosial.

Konten semacam ini, berdasarkan studi terbaru, justru manjur mengobati dampak buruk dari konsumsi konten negatif seputar lingkungan—salah satunya adalah eco-anxiety atau kecemasan lingkungan yang rentan dialami anak muda. Menurut saya, inilah kekuatan Pandawara sebenarnya.

Apa itu eco anxiety?

Eco-anxiety adalah respons psikologis dan emosional yang timbul akibat maraknya krisis lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Mulai dari hujan dan badai, air laut meluber, tumpukan sampah, sungai tercemar, kebakaran hutan, dan sebagainya.

Menurut studi, eco-anxiety bermacam-macam gejalanya, mulai dari rasa tidak berdaya, frustasi, dan perasaan putus asa. Keresahan juga dapat memicu serangan panik atau panic attack bahkan gangguan konsentrasi dan gangguan tidur yang dapat mengganggu kesehatan tubuh kita.

Salah satu penyebab eco-anxiety adalah konsumsi berita yang kebanyakan berisi kabar buruk. Saat pandemi COVID-19, konsumsi berita buruk juga menyebabkan kecemasan senada pada anak-anak muda.

Bagaimana konten pembersihan sampah Pandawara mengobatinya?

Studi yang dilakukan Kathryn Buchanan dari University of Essex dan Gillian M. Sandstrom dari University of Sussex di Inggris menguji efek konten positif dan negatif ke 1.800 responden. Sebagian responden hanya menyaksikan konten negatif, sedangkan sebagian lainnya disuguhi konten positif dan negatif.

Konten positif memuat video terkait aksi kebaikan seperti pemberian perawatan gratis bagi hewan terlantar, ataupun aksi membantu gelandangan. Sedangkan konten negatif berisikan video teror di Manchester, maupun penyiksaan hewan.

Hasilnya, grup responden yang menyaksikan konten positif+negatif mengemukakan keresahan emosional yang lebih rendah dibandingkan grup penonton video negatif saja. Grup positif+negatif juga mengungkapkan persepsi lebih baik terhadap kemanusiaan dibandingkan grup negatif. Dalam studi ini, peneliti menganggap bahwa konten positif menjadi obat yang meredam keresahan emosional akibat konsumsi konten-konten negatif.

Studi juga membandingkan paparan konten hiburan dengan konten positif untuk mengungkit mood seseorang. Hasilnya, konten positif lebih efektif dibandingkan konten hiburan.

Studi ini juga dapat dihubungkan dengan konten-konten yang diproduksi Pandawara Group. Melalui aksi bersih-bersihnya, Pandawara Group menyebarkan muatan kebaikan sehingga menampilkan lingkungan yang lebih bersih.

Karena itulah, konten-konten positif tersebut berpotensi menjadi peredam keresahan emosional terkait lingkungan yang timbul dari konsumsi berita-berita seputar kerusakan lingkungan akibat ulah manusia seperti gunung sampah, penyu tertusuk sedotan, ataupun buaya terperangkap ban bekas.

Pandawara Group memantik aksi lingkungan

Studi Buchanan dan Sandstrom turut menggarisbawahi konten-konten positif dapat memantik perasaan untuk melakukan kebaikan.

Dengan menyaksikan konten positif, seseorang akan mendapatkan persepsi baik dari perbuatan orang lain kemudian bercermin untuk melihat apa yang kurang dari dirinya.

Seseorang juga dapat merasa malu karena secara tak langsung menjadi orang yang dibantu. Perasaan ini bisa menggerakkan seseorang menjadi pihak yang membantu.

Saya juga menemukan bagaimana konten-konten Pandawara Group memancing munculnya konten serupa dari akun lain. Misalnya, akun tiktok Pandawara Cilik yang berisikan konten bersih-bersih lingkungan, serupa dengan aksi Pandawara Group. Mereka juga memiliki semboyan yang sama, yakni “bukan membersihkan tapi mengurangi”.

Menghadapi eco-anxiety

Dunia telah merasakan dampak perubahan iklim yang begitu hebat, dari mulai banjir bandang di Pakistan, kebakaran hebat di Kanada, maupun kekeringan parah di wilayah tanduk Afrika. Dampak perubahaniklim jauh lebih parah dibandingkan perkiraan para ilmuwan.

Sementara, di Indonesia, polusi udara juga menjadi perhatian karena menyekap warga di kota-kota besar, mengakibatkan ratusan ribu warga mengalami gangguan pernapasan. Cuaca ekstrem juga mengakibatkan banjir di suatu tempat dan kekeringan di tempat lainnya, dengan jarak tak terpaut jauh.

Di masa depan, situasi tersebut berisiko memicu eco-anxiety yang lebih intens bagi anak muda. Karena itu, kita mesti belajar menghadapi–bukan menghindari–keresahan lingkungan agar berdampak minimal bagi kehidupan.

Salah satu cara yang dapat kita lakukan adalah mengonsumsi konten-konten media digital secara seimbang. Kita harus menghindari menyaksikan konten bermuatan negatif terlalu banyak, serta menebusnya dengan konten positif dan konten hiburan lainnya.

Konsumsi konten memang bukan satu-satunya cara. Kita bisa menjajal langkah lainnya seperti berpartisipasi dalam aksi lingkungan, bersosialisasi dengan komunitas pegiat lingkungan, hingga healing dengan pergi ke tempat yang bernuansa alami seperti gunung dan pantai.

Kita juga tak bisa melupakan aksi self-care seperti tidur yang cukup, berolahraga teratur, dan makan yang bergizi untuk menopang kesehatan mental kita.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 14 November 2023

Masitoh Nur Rohma
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada masyarakat sipil, gerakan sosial, dan politik lingkungan.

Categories
Hukum

Mengidulfitrikan Penegakan Hukum

Agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran.

Ungkapan ”mengidulfitrikan penegakan hukum” dimaksudkan untuk menyatakan ”menyucikan penegakan hukum agar bisa meraih kembali sukmanya”. Artinya, kembali ke fitrah dan filosofi, mengapa manusia berhukum.

Sampai hari ini, kita masih berada di bulan Syawal 1445 H, berada pada suasana Lebaran, menyusul hari raya Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 10 April 2024. Di mana-mana masih banyak diadakan acara syawalan, Lebaran, atau halalbihalal yang di dalam ritualnya selalu ada ucapan ”Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin”.

Salah satu makna ungkapan selamat Idul Fitri adalah doa dan syukur atas keadaan kita sebagai manusia yang kembali menjadi suci, kembali ke asal penciptaan, bersih dari dosa dan segala keburukan. Bagi orang Islam, anugerah kembali suci itu didapatkan seusai melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.

Banyak public common sense dilanggar dan banyak ekspresi perasaan publik bahwa sekarang ini hukum bisa dibeli.

Idul Fitri, asal mula kejadian

Baik menurut Al Quran maupun menurut hadis Nabi Muhammad, asal kejadian manusia adalah makhluk bertauhid (beriman) dan lahir dalam keadaan suci (fitrah), tanpa noda.

Adalah perjalanan hidup yang banyak godaan yang kemudian membawa manusia melakukan perbuatan buruk dan banyak dosa yang menodai kesucian asal penciptaan-Nya. Nah, dengan melakukan ibadah puasa Ramadhan secara sungguh-sungguh, manusia menjadi suci kembali (aid al fithr), bersih dari dosa-dosa masa lalunya.

Di Indonesia, keadaan kembalinya manusia ke kesucian diri (aid al fithr) menimbulkan tradisi Islam yang sangat baik, yakni saling meminta dan memberi maaf dengan ritual pada bulan Syawal agar kesucian dan kebersihan diri itu menjadi sempurna. Dasarnya, dosa kepada sesama manusia tak menjadi bersih sebelum dimintakan maaf kepada yang bersangkutan.

Halalbihalal, Lebaran, dan syawalan dikategorikan sebagai tradisi Islam di Indonesia—dan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara—karena menurut sumber primer Islam tidak ada ajaran tentang ritual halalbihalal atau syawalan. Menurut Al Quran dan sunah Nabi, saling bermaafan tidak harus menunggu bulan Syawal, tetapi perlu dilakukan sesegera kesalahan terhadap orang lain dilakukan.

Tradisi syawalan jika dikaitkan dengan kaidah usul fikih, Al ’adah al muhakkamah, bahwa suatu tradisi (adat) bisa bernilai hukum, maka ritual tersebut termasuk tradisi Islam yang baik, bernilai hukum sunah, dan berpahala jika dilakukan. Tradisi ini telah membuat ritual indah untuk saling memaafkan di momen tertentu selain yang bisa dilakukan setiap waktu.

Fitrah dan sukma hukum

Jika fitrah diartikan sebagai asal kejadian atau kesucian manusia, hukum pun mempunyai fitrah dan ruh atau sukmanya. Ruh hukum adalah nilai-nilai yang bersumber dari akhlak, moral, dan etika yang kemudian sering disebut juga sebagai sukma hukum.

Di awal-awal memulai kuliah mahasiswa fakultas hukum diajari dalil bahwa hukum adalah aturan hidup bersama yang ditetapkan secara resmi (disepakati) oleh lembaga yang berwenang yang pelaksanaannya bisa dipaksakan oleh aparat dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya. Norma-norma di dalam masyarakat yang bersumber dari akhlak, moral, dan etika biasanya dikelompokkan menjadi empat norma, yakni norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum.

Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah penegakan hukum yang telah terlepas dari sukmanya, menyimpang dari tuntutan agama, moral, dan etika.

Norma hukum adalah norma yang digradasikan ke atas dari nilai-nilai ketiga norma lainnya melalui penetapan secara resmi oleh lembaga yang berwenang. Ketiga norma yang belum ditetapkan sebagai norma hukum itu tetap berlaku sebagai sumber nilai hukum dan aturan perilaku di dalam masyarakat.

Ada dua hal penting dari penjelasan singkat itu. Pertama, di dalam masyarakat ada banyak norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku yang bersumber dari agama, moral, dan etika.

Kedua, hukum adalah salah satu norma yang diberlakukan secara resmi dari nilai-nilai agama, moral, dan etika sehingga hukum dinyatakan sebagai perkembangan gradual dari berbagai norma yang ada. Karena peresmiannya itulah, maka norma hukum menjadi mengikat dan bisa dipaksakan dengan adanya ancaman sanksi.

Dengan demikian, nilai-nilai norma selain hukum, yaitu agama, moral, dan etika, yang belum diresmikan menjadi hukum, tetap mengikat sebagai pedoman nilai-nilai dan perilaku yang menjadi sukma atau ruh hukum.

Selain perbedaan gradual bahwa hukum adalah semua norma dalam masyarakat yang diberlakukan secara (dilegalkan, dihukumkan), maka penegakan dan sanksinya pun berbeda dari norma-norma yang lain.

Penegakan hukum dilakukan dengan sanksi heteronom (dipaksakan oleh kekuatan aparat negara) dalam bentuk perampasan kemerdekaan dan atau benda-benda tertentu. Sementara, norma-norma selain hukum keberlakuannya bertumpu pada penghayatan dan kesadaran kolektif yang sanksinya berupa sanksi otonom.

Berbeda dengan sanksi heteronom, sanksi otonom muncul dari kesadaran dan gedoran hati nurani yang menimbulkan rasa menyesal, malu, gelisah karena merasa berdosa, cemas kalau pelanggaran atas agama, moral, dan etika nantinya berakibat buruk dan menyebabkan musibah bagi keluarganya karena dosa atau karma, merasa tidak aman dan hidup tertekan karena takut ketahuan, dan diisolasi atau dijauhi masyarakat dan familinya.

Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum.

Kembali ke sukma hukum

Masalah yang kita hadapi sekarang ini adalah penegakan hukum yang telah terlepas dari sukmanya, menyimpang dari tuntutan agama, moral, dan etika.

Kolusi antara penjahat dan pejabat banyak terjadi dalam pengelolaan sumber daya alam dan penggunaan anggaran negara yang tidak bisa diselesaikan karena hukumnya ditumpulkan.

Hukum bisa dibeli melalui transaksi politik atau gelontoran uang kepada pejabat dan penegak hukum. Kita tak kaget lagi mendengar berita banyaknya pejabat, hakim, jaksa, polisi, dan pengacara yang diadili dan dijebloskan ke penjara. Sekarang ini banyak hukum dipandang hanya sebagai bunyi undang-undang (UU) yang produknya jauh dari sukma hukum, yaitu keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran sebagai sukma hukum.

Banyak orang tidak takut melanggar moral dan etika dengan alasan tidak melanggar aturan hukum yang resmi, sementara para penegak hukum sering hanya menggunakan teks undang-undang tanpa mau masuk ke sukma yang ada di balik teks, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran. Banyak public common sense dilanggar dan banyak ekspresi perasaan publik bahwa sekarang ini hukum bisa dibeli.

Makanya, agar negara bisa selamat, hukum harus diidulfitrikan ke sukmanya, yakni keadilan, kemanusiaan, dan kejujuran, demi kesejahteraan rakyat. Salah satu kunci untuk itu adalah leadership.

Kepemimpinan harus berjiwa merah dan putih. Merah artinya berani dan tegas tanpa pandang bulu. Putih artinya jujur, bersih, dan bijaksana. Tak cukup hanya merah, tak cukup hanya putih. Yang diperlukan adalah keduanya: merah dan putih.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 29 April 2024

Moh Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

 

Categories
Politik

Paradoks ”Negeri Paman Sam”

Lalu, jika sang penggagas liberalisme kini berbalik arah, adakah yang tersisa dari janji keterbukaan ekonomi global?


Selama puluhan tahun, Amerika Serikat berdiri sebagai pilar liberalisasi perdagangan global. Lewat Bretton Woods, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), hingga Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), negeri itu mendorong dunia untuk membuka diri atas nama efisiensi, kompetisi terbuka, dan pertumbuhan ekonomi bersama.

Namun, pada Kamis (3/4/2025), Presiden Amerika Serikat Donald Trump menetapkan tarif impor hingga 32 persen terhadap produk dari Indonesia.

Inilah titik balik yang menampakkan paradoks ”Negeri Paman Sam”: sang penjaga pasar bebas, kini memasang pagar tinggi terhadap yang datang dari luar.

Dunia pun terkejut, meski sebetulnya tak sepenuhnya asing dengan ironi ini. Sebab, sejarah memang gemar berulang dan hanya berganti baju: kali ini ia datang dari negeri yang dikenal lantang menjunjung kebebasan pasar.

Lalu, jika sang penggagas liberalisme kini berbalik arah, adakah yang tersisa dari janji keterbukaan ekonomi global?

Paradoks liberalisme

Kebijakan proteksionis ini pun tidak berdiri sendiri. Negara-negara seperti China, Vietnam, Thailand, Australia, dan bahkan Kanada juga menjadi sasaran tarif sepihak. Ironisnya, negara-negara yang selama ini dituding tidak adil oleh AS justru adalah mitra dagang utama yang berkontribusi pada keseimbangan rantai pasok global.

Dan kini, serangan politik dagang itu sampai di Indonesia, yang menikmati surplus nonmigas dengan AS senilai lebih dari 17,9 miliar dollar AS pada 2024.

Penting untuk melihat lebih dekat bahwa apa yang kita saksikan bukan sekadar kebijakan tarif. Tindakan AS ini merupakan bentuk dekonstruksi terhadap narasi besar liberalisme ekonomi.

Seperti halnya kritik postmodern terhadap Abad Pencerahan: walau membawa akal dan kemajuan, juga menghadirkan sisi kelam kapitalisme, kolonialisme, dan perang dunia (Adorno dan Horkheimer, 1947). Liberalisme pun kini mempertontonkan paradoksnya.

AS, sang promotor perdagangan bebas, kini justru memelopori proteksi. Ini adalah semacam otokritik Barat terhadap dirinya sendiri, serupa orangtua yang akhirnya harus mengakui bahwa doktrin yang diajarkannya tak selalu membawa damai.

Seperti postmodernisme yang menelanjangi luka-luka peradaban modern, dunia kini mulai berani bicara: bahwa kebebasan dan pasar, bila tidak diikat dengan nilai, bisa juga mewujud menjadi penindasan gaya baru.

Dampak bagi Indonesia

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kebijakan AS bukan hanya pukulan ekonomi. Ini juga alarm ideologis: bahwa dalam dunia pascahegemoni, tak ada lagi jaminan konsistensi. Jika sang penjaga pasar bebas bisa dengan mudah meninggalkan prinsipnya, negara-negara Selatan perlu lebih cermat membaca arah angin global.

Secara teori, ada beberapa pendekatan yang bisa membingkai respons Indonesia. Dari sisi realisme, negara perlu memperkuat kapasitas domestik dan memperluas aliansi strategis, bahkan jika itu di luar struktur multilateral formal. Dari liberalisme institusional, forum seperti WTO dan ASEAN tetap penting sebagai ruang advokasi kolektif.

Sementara pendekatan ekonomi politik kritis justru mendorong Indonesia untuk memperkuat solidaritas Selatan-Selatan dan membangun sistem dagang alternatif yang lebih adil.

Namun, membayangkan respons strategis Indonesia tanpa menyentuh kenyataan politik domestik adalah seperti membangun kapal tanpa memeriksa lambungnya. Sebab, satu tantangan mendasar datang justru dari dalam: struktur kebijakan ekonomi kita masih sangat dipengaruhi oleh oligarki.

Yang lebih memprihatinkan, secara lebih umum, Indonesia pun belakangan tampak makin jauh dari keberanian untuk menempatkan nilai sebagai pijakan kebijakan perdagangan dan investasi.

Prinsip keadilan kerap ditenggelamkan oleh suara kalkulasi pragmatis dan logika transaksi. Maka, bukan hanya AS yang perlu dikritik, melainkan juga kita sendiri yang kian hari makin malu-malu bersenyawa dengan nilai.

Misalnya, dalam proyek-proyek hilirisasi tambang atau perjanjian dagang bebas, prinsip keadilan dan keberlanjutan sering kali hanya menjadi pemanis dokumen. Komunitas lokal tidak terdengar, lingkungan dikesampingkan, dan keberlanjutan berubah menjadi sekadar jargon.

Alih-alih memanfaatkan momentum ini untuk mendorong diversifikasi pasar dan transformasi industri, respons yang muncul selama ini cenderung bersifat reaktif, tambal sulam, atau bahkan tak keluar sama sekali karena tersandera oleh kepentingan segelintir elite yang sudah nyaman dengan status quo.

Bagi sebagian pelaku besar ekspor-impor, tarif tinggi boleh jadi hanyalah bermakna biaya lobi tambahan, bukan ancaman eksistensial. Namun, bagi buruh tekstil, petani kopi, dan pelaku UMKM, ini bisa berarti kehilangan pasar, penghasilan, bahkan pekerjaan.

Dan, bagi mereka, tidak ada juru runding. Tidak ada kursi dalam forum dagang dunia. Hanya harap-harap cemas menunggu pesanan yang mungkin tak pernah datang.

Bercermin ke dalam

Sebagaimana ditulis oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), demokrasi Indonesia pascareformasi tidak sepenuhnya membongkar oligarki, tetapi justru mengorganisasi ulang kekuasaan dalam format yang lebih elektoral, tetapi tetap eksklusif.

Maka, wajar jika strategi perdagangan kita sering kali tak berbicara soal bangsa, tetapi soal siapa yang dekat dengan pusat kekuasaan.

Menghadapi tekanan eksternal seperti tarif Trump, Indonesia bukan hanya dituntut untuk merespons ke luar, melainkan juga harus berani bercermin ke dalam.

Sebab, jika arsitektur ekonomi nasional masih ditentukan oleh segelintir tangan, kebijakan sebesar apa pun hanya akan mengulang sejarah: berganti baju, tetapi mengusung logika lama.

Sejarah memang berulang. Kadang berwujud tragedi, kadang sebagai ironi. Di masa kini, kita menyaksikannya tampil kembali, bukan dengan tank dan senjata api, melainkan dengan tarif dan retorika nasionalisme ekonomi.

Dunia yang dulu dibentuk oleh liberalisme, kini harus belajar bertahan darinya. Meski demikian, dunia tidak sedang kehilangan arah. Perlahan tetapi pasti, ia sedang membentuk keseimbangan baru, menapak jalan baru yang tumbuh dari keteguhan bangsa-bangsa yang sebelumnya dibungkam sejarah.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 4 April 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII dengan fokus pada politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.