Categories
Politik

Legislatif Desa

Badan Permusyawaratan Desa sebagai badan legislatif di tingkat desa perlu diperkuat. Dengan demikian, BPD dapat menjadi kekuatan penyeimbangan untuk mengawasi pemerintahan desa yang diselenggarakan kepala desa.

Dalam teori dan sistem ketatanegaraan, legislatif memiliki peran yang sangat penting, sama pentingnya dengan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Secara umum, jamak diketahui legislatif memiliki tiga fungsi utama, yaitu pembuat undang-undang, pengawas pelaksanaan undang-undang, dan penganggaran.

Selain itu, keberadaan legislatif menjadi sangat vital karena merupakan lembaga yang ditengarai mewakili rakyat secara langsung. Oleh karena itu, sejatinya apa yang disuarakan oleh legislatif adalah representasi dari apa yang diinginkan oleh rakyat.

Pemerintahan desa merupakan struktur pemerintahan terendah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, keberadaannya setara dengan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Mereka sejatinya memiliki kedudukan sejajar, yang membedakannya hanyalah cakupan wilayah kekuasaannya.

Bahkan, pemerintahan desalah yang sehari-hari berhadapan langsung dengan masyarakatan dan problem kemasyarakatan. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh pemerintahan desa jauh lebih kompleks.

Sebagai sistem pemerintahan terendah, pemerintahan desa juga memiliki badan legislatif yang oleh undang-undang disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sebagaimana Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa BPD mempunyai fungsi membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan kinerja kepala desa. BPD juga berhak mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa begitu pun menyatakan pendapat atas hasil penyelenggaraan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, sejatinya BPD sebagai wakil rakyat atau wakil penduduk desa memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, mengawasi pemerintah desa, dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Dengan kata lain, BPD adalah badan legislatif di tingkat desa.

Sayangnya, keberadaan BPD saat ini masih sangat lemah, baik secara kelembagaan maupun kewenangan. BPD yang sejatinya menjadi mitra pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, pengundangan, dan penyalur aspirasi, justru lebih tampak sebagai bawahan dan ”tukang” stempel kepala desa. Dengan demikian, pemerintahan desa sepenuhnya diselenggarakan oleh kepala desa sebagai eksekutif, tidak ada kekuatan penyeimbang untuk melakukan pengawasan. Implikasinya, ada banyak kepala desa atau perangkat desa lainnya yang berurusan dengan aparat penegak hukum, baik karena melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ataupun penyalahgunaan wewenang lainnya.

BPD yang sejatinya menjadi mitra pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, pengundangan, dan penyalur aspirasi, justru lebih tampak sebagai bawahan dan ”tukang ” stempel kepala desa.

Setidaknya ada beberapa logika mengapa legislatif desa, yaitu BPD atau dengan sebutan lain penting untuk diperkuat kelembagaan maupun kewenangannya. Pertama, pepatah lama yang sangat familiar di telinga kita ”power tend to corrupt but absolut power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan itu cenderung kepada tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan melampaui kewenangan.

Pemerintah desa memiliki prasyarat yang lebih dari cukup untuk melakukan kesewenang-wenangan itu. Dari aspek kewenangan, nyaris tak terbatas karena semua bergantung kepada kepala desa, tidak ada fungsi lain yang menjadi penyeimbang kekuasaan. Dari aspek anggaran, alokasi dana desa dan dana desa memberikan kucuran dana yang cukup besar bagi pemerintah desa, bahkan sangat besar jika dibandingkan sebelum rezim UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Belum lagi ada banyak desa yang memiliki Badan Usaha Milik (BUM) Desa dengan pendapatan di atas rata-rata. Sementara dari aspek masa jabatan, kepala desa menjabat selama enam tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode. Artinya, seseorang dapat menjabat menjadi kepala desa selama 18 tahun. Bahkan, ada pula usulan dari pemerintah pusat untuk menaikkan masa jabatan menjadi sembilan tahun.

Dengan kekuasaan yang sangat besar, mencakup kewenangan, anggaran, dan masa jabatan di atas, adalah niscaya agar pada level desa, memiliki satu badan legislatif yang memiliki kekuatan setara sebagai penyeimbang. Jika tidak, penyalahgunaan wewenang akan terus ada dan semakin masif.

Kedua, dari aspek teoretik, pemerintahan desa juga merupakan wadah pendidikan politik bagi calon kader-kader politik yang akan berkecimpung pada level daerah maupun nasional. Atau dengan kata lain, pemerintahan desa adalah bentuk mini dari pemerintahan daerah ataupun pemerintahan pusat. Oleh karena itu, sistem yang digunakan haruslah sama atau paling tidak mendekati kesamaan.

Pada level pusat dan daerah, legislatif memiliki peran penting sebagai pengawas, pembuat undang-undang dan menyetujui anggaran yang dibuat oleh legislatif. Pada level desa, juga setidaknya memiliki model yang serupa dengan itu, agar desa menjadi laboratorium mini pemerintahan Indonesia yang sebenarnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 24 April 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

Categories
Pendidikan

Kampus Terjerat Tambang

Gagasan WIUP untuk kampus berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam.

Usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengenai pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi yang diajukan sebagai bagian dari Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memicu perdebatan.

Beberapa pihak, seperti Forum Rektor Indonesia, mendukung ide ini dengan dalih bahwa pendapatan dari tambang dapat digunakan untuk mensubsidi biaya operasional kampus, yang akhirnya mengurangi SPP mahasiswa. Namun, muncul juga suara kritis, seperti dari Rektor Universitas Islam Indonesia, yang menolak gagasan ini dan mengkhawatirkan dampaknya terhadap karakter kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai akademik.

Gagasan WIUP untuk kampus ini berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ruang bebas bagi pemikiran kritis dan advokasi kebenaran ilmiah, justru berisiko terjebak dalam dinamika korporatisasi dan subordinasi politik. Bagaimana perspektif ekonomi politik menjelaskan fenomena ini?

Jeratan negara berkembang
Negara berkembang seperti Indonesia memiliki ketergantungan historis terhadap eksploitasi sumber daya alam mentah sebagai sumber pendapatan utama. Ketergantungan ini merupakan warisan kolonial yang terus berlanjut dalam struktur ekonomi global. Perspektif Teori Sistem Dunia Immanuel Wallerstein menempatkan Indonesia dalam kategori negara “semi-peri,” yaitu entitas yang terjebak antara zona inti kapitalis global dan negara-negara pinggiran. Negara semi-peri cenderung menyediakan bahan mentah tanpa mendapatkan nilai tambah yang signifikan.

Program hilirisasi nikel yang digalakkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sering disebut sebagai upaya untuk keluar dari jeratan ini. Namun, kenyataannya, program tersebut lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak asing seperti Tiongkok, yang mengendalikan teknologi dan pasar, dibandingkan meningkatkan nilai tambah dalam negeri.

Hal ini mencerminkan relasi ekonomi politik internasional yang tetap timpang. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali terkunci dalam peran ekonomi yang menguntungkan negara-negara maju, ketimbang membangun kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Ketergantungan ini tidak hanya melanggengkan eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga melemahkan daya saing ekonomi nasional.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi harus dilihat dalam konteks ini. Alih-alih membantu Indonesia keluar dari ketergantungan struktural, langkah ini justru dapat memperkuat eksploitasi sumber daya alam tanpa perubahan mendasar pada struktur ekonomi. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi aktor transformasi justru dapat terjebak dalam pengulangan pola ekonomi lama yang bersifat ekstraktif.

Jeratan korporatisasi kampus
Transformasi ekonomi global sejak dekade 1970-an telah membawa pengaruh besar pada institusi pendidikan tinggi. Globalisasi telah mendorong kampus menjadi entitas yang berorientasi pada profit, menjauh dari misi utamanya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Tren ini semakin diperkuat oleh sistem pemeringkatan kampus global, yang memaksa perguruan tinggi untuk mengejar pendanaan alternatif agar tetap kompetitif secara reputasi.

Dalam kerangka ini, tidak mengherankan jika ide pengelolaan tambang oleh kampus muncul sebagai “solusi kreatif” untuk mengatasi tantangan pendanaan. Namun, langkah ini dapat mengecoh dan membawa konsekuensi besar. Kampus yang diberikan WIUP tidak hanya akan terjebak dalam arus korporatisasi, tetapi juga berpotensi mengorbankan tri dharma perguruan tinggi: pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat.

Dalih bahwa pendapatan dari pengelolaan tambang akan mengurangi SPP mahasiswa perlu dikritisi secara mendalam. Kenyataannya, sebagian besar kampus di Indonesia masih sangat bergantung pada SPP mahasiswa dan subsidi pemerintah untuk menopang operasionalnya. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan dari tambang, yang bersifat tidak stabil dan berisiko tinggi, bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi tantangan pendanaan. Sebaliknya, ketergantungan pada sumber pendapatan seperti tambang justru dapat memperburuk tata kelola kampus dan mengalihkan fokus dari inovasi pendanaan yang berkelanjutan dan sejalan dengan nilai-nilai pendidikan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang menimbulkan kontradiksi moral yang sulit dihindari. Kampus yang menyuarakan pembangunan berkelanjutan sekaligus melakukan eksploitasi sumber daya alam tidak hanya akan kehilangan legitimasi moral, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi generasi mendatang.

Jeratan subordinasi politik
Perspektif ekonomi politik juga membantu kita memahami risiko yang lebih subtil dari pemberian WIUP, yaitu ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah dan kampus. Sebagai penerima WIUP, perguruan tinggi akan berada dalam posisi yang rentan terhadap kontrol pemerintah. Izin yang diberikan, diperpanjang, atau dicabut berdasarkan keputusan politik dapat menjadi alat yang digunakan untuk membungkam suara kritis akademisi terhadap kebijakan negara. Tanpa mengakhiri hubungan subordinasi antara pemerintah dan kampus, kondisi riset dan pengembangan ilmu pengetahuan akan terus terpuruk dan kehilangan daya saing.

Hal ini bukan sekadar ancaman hipotetis. Dalam konteks di mana perguruan tinggi telah menjadi arena advokasi politik dan kritik terhadap kebijakan publik, ketergantungan pada WIUP akan mengurangi independensi akademik yang seharusnya menjadi pilar utama dunia pendidikan. Dalam jangka panjang, kampus berisiko berubah menjadi subordinat pemerintah, bukan lagi aktor independen yang mengedepankan kebenaran dan keadilan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang dapat merusak reputasi institusi itu sendiri. Kampus yang terlibat dalam aktivitas ekstraktif akan kehilangan kredibilitas sebagai pelopor pembangunan berkelanjutan, sekaligus menempatkan diri mereka pada posisi yang berlawanan dengan nilai-nilai akademik yang mereka ajarkan.

Setia pada misi
Untuk mencegah jeratan korporatisasi dan subordinasi politik, perguruan tinggi perlu menjaga integritasnya dengan menolak keterlibatan dalam pengelolaan tambang. Sebagai gantinya, perguruan tinggi dapat memanfaatkan keahliannya untuk beberapa hal strategis.

Pertama, kampus dapat memainkan peran sebagai pengawas independen untuk memastikan bahwa praktik pertambangan dilakukan sesuai dengan standar lingkungan dan sosial yang ketat. Peran ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dan melindungi hak masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas tambang.

Kedua, kampus juga dapat memperkuat riset di bidang teknologi hijau, seperti pengembangan energi terbarukan atau metode eksploitasi sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Kontribusi ini tidak hanya relevan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, tetapi juga membuka peluang inovasi yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada model ekonomi ekstraktif.

Ketiga, kampus memiliki tanggung jawab untuk menjadi advokat dalam mendorong kebijakan publik yang transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dengan konsistensi pada prinsip-prinsip tersebut, perguruan tinggi dapat memengaruhi tata kelola tambang agar lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, mengedepankan keberlanjutan lingkungan, dan menjaga integritas institusi akademik.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi adalah gagasan yang berisiko tinggi, baik dari segi ekonomi-politik, sosial, maupun lingkungan. Di tengah struktur ekonomi global yang timpang, keterlibatan kampus dalam bisnis tambang hanya akan memperkuat pola eksploitasi lama tanpa memberikan solusi jangka panjang bagi pembangunan bangsa. 

Perguruan tinggi harus menolak jeratan ini dan tetap setia pada misi akademik mereka sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan konsisten pada penguatan riset, advokasi, dan inovasi teknologi, kampus dapat memberikan kontribusi nyata tanpa harus mengorbankan integritas dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Mudah-mudahan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 7 Februari 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Hukum Politik

Tak Ada Permintaan Maaf kepada PKI

Tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain.

Tidak ada permintaan maaf, baik tertulis maupun lisan, oleh Presiden Joko Widodo kepada Partai Komunis Indonesia atau PKI. Saya pastikan, itu tidak ada.

Ada isu politik dan hukum yang bersumber dari kesesatan informasi sejak akhir September sampai awal Oktober 2024 yang mengitari suasana peringatan G30S PKI dan Hari Kesaktian Pancasila tahun 2024 ini, yakni isu permintaan maaf pemerintah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada PKI dan keturunannya. Kita pastikan bahwa isu itu tidak benar karena sumber informasinya sesat dan tidak otentik.

Isu tentang permintaan maaf kepada PKI itu terpantik lagi setelah, sekitar 30 September dan 1 Oktober 2024, beredar pemberitaan dan video Ibu Amelia Yani yang akan menuntut Presiden Jokowi ke Mahkamah Agung (MA) karena telah meminta maaf kepada PKI dengan merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) No 17 Tahun 2022 dan Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2023.

Amelia Yani adalah putri Jenderal Ahmad Yani, salah seorang korban keganasan PKI. Sebagai orang yang ikut menangani langsung pembentukan keppres dan inpres tersebut, saya merasa terpanggil untuk menjelaskannya agar informasi yang salah tidak dikunyah berlanjut-lanjut.

Penyelesaian 13 peristiwa
Saya berani memastikan bahwa, baik di dalam Keppres No 17 Tahun 2022 dan Inpres No 2 Tahun 2003 maupun di dalam pernyataan-pernyataan lisan Presiden Jokowi, tidak ada kata-kata atau frasa dalam kalimat yang menyebutkan tentang permintaan maaf kepada PKI dan atau keturunannya.

Saya menyatakan itu karena sayalah yang ditugasi untuk mengawal detail pembuatan keppres dan inpres dimaksud. Sampai sekarang, naskah keppres dan inpres tersebut bisa dilihat di laman Sekretariat Negara ataupun di Google.

Keppres dan inpres tersebut dibuat atas perintah Tap MPR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, baik melalui pengadilan maupun melalui rekonsiliasi nasional dan nonyudisial untuk menguatkan kembali persatuan Indonesia. Tap MPR dan beberapa undang-undang (UU) tentang itu dibuat MPR yang diketuai Amien Rais pada awal-awal Reformasi.

Berbarengan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ditugasi untuk menyelidiki dan menetapkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang perlu diselesaikan, baik melalui pengadilan (yudisial) maupun melalui rekonsiliasi (nonyudisial).

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil (dan dipaksakan dengan pembuktian seadanya) dibawa ke pengadilan diputus bebas oleh MA.

Ada 33 terdakwa yang dibebaskan dan ada satu orang yang dijatuhi hukuman, tetapi kemudian dibebaskan melalui peninjauan kembali oleh MA.

Adapun upaya melakukan rekonsiliasi tidak bisa berjalan efektif karena UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 006/PUU-IV/2006.

Upaya merevisi UU tersebut dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo, tetapi selalu gagal, teradang di perdebatan politik.

Itulah sebabnya pemerintahan Presiden Joko Widodo mengambil langkah lebih maju dengan mengonsentrasikan diri untuk memenuhi hak-hak korban, bukan pelakunya. Maka, dikeluarkanlah Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

Isi keppres tersebut menekankan pentingnya pengungkapan peristiwa dan pemulihan hak korban peristiwa pelanggaran HAM berat. Tidak ada sama sekali kata permintaan maaf kepada siapa pun, apalagi kepada pelaku.

Keppres itu juga tak menutup pintu penyelesaian secara yudisial karena (seperti dimuat dalam konsiderans, Menimbang butir c) penyelesaian nonyudisial merupakan jalan paralel yang dilakukan di samping jalur yudisial, sesuai perintah Tap MPR No XVII/MPR/1998, UU No 1 Tahun 1999, UU No 39 Tahun 1999, dan UU No 26 Tahun 2000.

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR.

Keppres No 17 Tahun 2022 hanya berisi pembentukan Tim PPHAM untuk mendalami keputusan Komnas HAM tentang terjadinya 13 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tim PPHAM kemudian merekomendasikan langkah-langkah pemulihan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan, antara lain, dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

Jadi yang dikembalikan hak-haknya adalah hak para korban yang tidak terlibat atau hanya menjadi korban. Sementara pelakunya harus tetap dibawa ke pengadilan sepanjang bisa dibuktikan secara hukum. Pemerintah harus mengakui keputusan tentang pelanggaran HAM berat yang ditemukan Komnas HAM karena Tap MPR dan UU memang menugaskan Komnas HAM untuk memutuskan tentang itu dan pemerintah tak bisa menolaknya.

Rekomendasi Tim PPHAM yang disampaikan kepada Presiden tersebut kemudian dituangkan dalam Inpres No 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat tanggal 15 Maret 2023.

Inpres ini memerintahkan kepada 19 kementerian dan lembaga pemerintahan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM.

Saat menerima dan mengumumkan rekomendasi Tim PPHAM yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya inpres itu, tidak ada pernyataan atau satu kata pun tentang permintaan maaf.

Yang dikatakan Presiden adalah mengakui bahwa 13 peristiwa itu betul terjadi dan pengakuan itu memang harus dilakukan karena yang menetapkan adalah lembaga negara yang memang ditugaskan untuk itu, yakni Komnas HAM. Presiden tidak boleh tidak mengakui keputusan Komnas HAM.

Sebagai kesaksian, ketika proses sosialisasi ke berbagai daerah dan ormas-ormas, saya memang mencatat ada beberapa orang yang mengusulkan kepada Tim PPHAM agar pemerintah menyatakan meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Akan tetapi, usul itu ditolak keseluruhan anggota Tim PPHAM dan tidak pernah dijadikan kesimpulan yang ditulis ataupun diucapkan.

Jadi yang dilakukan pemerintah terbatas pada mengakui dan tidak menyatakan meminta maaf sebab kesalahan atas terjadinya peristiwa-peristiwa itu tidak bisa secara hitam putih ditimpakan kepada pemerintah, apalagi rezimnya sudah berganti-ganti dan setiap rezim sudah berusaha menanganinya.

Penulisan sejarah
Hal yang tidak benar lainnya dari pernyataan Ibu Amelia Yani adalah tentang izin pemerintah untuk melakukan penulisan ulang sejarah G30S PKI.

Itu tidak benar sebab pemerintah justru menolak jika sejarah 1965/1966 ditulis ulang sebagai versi resmi pemerintah. Tegas, di sidang kabinet pemerintah menolak itu.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang. Tetapi, kepada mereka yang menyampaikan usul itu, pemerintah menyatakan menolak sebab jika ada sejarah baru versi pemerintah, pasti akan ada versi lain yang mempersoalkannya lagi.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang.

Versi sejarah tentang peristiwa 1965/1966 sudah banyak. Ada versi Pusat Sejarah ABRI, versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, versi Cornell, versi intelijen asing, versi sejarawan Nahdlatul Ulama, dan lain-lain, termasuk versi berbagai disertasi dan tesis.

Oleh karena, itu tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain. Akan tetapi, semua ilmuwan dan peneliti sejarah boleh saja melakukan penelitian-penelitian lanjutan sesuai dengan metodologi sejarah masing-masing.

Versinya bisa berbeda-beda, tetapi tetap merupakan pandangan akademik masing-masing, bukan versi pemerintah. Dananya, tentu saja, bisa memakai dana pemerintah sebagai dana program penelitian yang ada di Kemendikbudristek, BRIN, dan di berbagai perguruan tinggi. Yang penting, proposalnya memenuhi syarat. Masa, orang mau meneliti secara ilmiah-akademik akan dilarang?

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 8 Oktober 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

Categories
Politik

Jatah Kursi Dubes

Presiden Prabowo baru saja melantik 31 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang akan ditugaskan di negara-negara strategis. Diantara mereka selain diplomat karir juga ada yang berlatar belakang politikus, purnawirawan TNI, dan mantan hakim. Dari sini, tak dapat dimungkiri adanya persepsi masyarakat bahwa pasca Pemilu akan dilaksanakan pembagian jatah kursi yang tak hanya di BUMN tapi juga di kedutaan besar.

Pengangkatan duta besar seolah seperti kebiasaan yang berlangsung seperti sebelumnya. Padahal Presiden Prabowo memiliki target untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Untuk mencapainya, dibutuhkan strategi handal dengan mempercayakan beragam tugas berat kepada para diplomat kita.

Penunjukan Politis
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Duta Besar. Kewenangan konstitusional ini memberikan peluang kepada Presiden untuk memberikan posisi Duta Besar kepada siapa saja yang dikehendakinya. Namun, secara kelembagaan, harus diketahui bahwa Kementerian Luar Negeri menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya para diplomat karir.

Para diplomat karir telah dilatih dan disekolahkan untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Mereka juga telah berpengalaman dalam menangani kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia secara lintas batas negara. Memberikan peluang kursi duta besar kepada non- diplomat justru akan memunculkan sebuah pertanyaan apakah mereka minimal mampu memiliki kemampuan yang jauh lebih baik daripada diplomat yang lahir dari merit system.

Penunjukan diplomat non-karir selama ini dilakukan atas dasar kepentingan politik balas budi. Umumnya mereka dipilih karena pernah menjadi tim sukses Presiden selama Pemilu. Tanpa melihat latar belakang keahlian yang dimilikinya, penunjukan diplomatik non-karir justru akan melemahkan kekuatan diplomasi kita.

Beberapa kasus internasional yang dihadapi Indonesia dapat menjadi bahan evaluasi terhadap keberadaan diplomat kita di luar negeri. Belum lama ini, Indonesia kalah dalam forum ICC Singapura dalam kasus Navayo sehingga harus membayar denda ratusan miliar rupiah. Selain itu, permasalahan pekerja migran Indonesia di luar negeri yang tak kunjung selesai menjadi bukti bahwa kebutuhan akan sumber daya manusia yang ahli dalam berdiplomasi sangatlah penting.

Upaya Hukum
Studi yang dilakukan oleh Haglund (2015) menyebutkan bahwa diplomat karir rata-rata memiliki kinerja yang jauh lebih baik jika dibandingkan diplomat yang dipilih secara politik. Mereka umumnya telah teruji memiliki kualifikasi yang sangat tinggi baik dari segi pendidikan dan pelatihan, pengalaman internasional yang jauh lebih baik, serta kemampuan diplomasi yang matang.

Untuk itu, perlu dipikirkan agar tidak sembarang orang dapat dipilih menjadi diplomat non karir. Jangan sampai timbul kesan bahwa keberadaan diplomat non karir sebagai bagian dari bagi-bagi kekuasaan dan mengabaikan level kapasitas yang harus dipenuhi. Presiden perlu melakukan fit and proper test serta mewajibkan mereka untuk mengikuti pelatihan intensif sehingga mereka mampu memahami strategi menghadapi permasalahan dalam hubungan internasional yang dihadapi Indonesia dengan cepat dan efektif. Prosedur ini sangat perlu dilembagakan minimal dalam bentuk Peraturan Presiden agar secara konsisten menjaga marwah kedutaan besar kita di luar negeri.

Selain itu, sudah saatnya kita merombak substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Utamanya, undang-undang ini sangat perlu mengatur secara detail struktur kelembagaan perwakilan kita di luar negeri dan syarat yang harus dipenuhi bagi diplomat non-karir.

Jika hal ini diatur dalam Undang-Undang, maka siapapun Presiden-nya mau tidak mau harus patuh. Tidak akan ada lagi praktik saling tunjuk dengan latar belakang politik praktis. Harapannya, diplomasi kita semakin kuat sehingga memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam percaturan global.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Maret 2025

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional. 

Categories
Pendidikan

Desakralisasi Profesor

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Surat edaran internal di Universitas Islam Indonesia terkait peniadaan penulisan jabatan dan gelar rektor dalam dokumen tiba-tiba menjadi viral.

Kejadian di luar dugaan ini merupakan berkah tersamar yang perlu disyukuri. Apa pasal? Ikhtiar kecil tersebut oleh banyak kalangan, termasuk warganet, dianggap sebagai antitesis dari praktik obral gelar dan jabatan kehormatan oleh beberapa kampus. Praktik ini tak jarang melibatkan pejabat dan politisi dengan alasan yang sulit dipahami dengan akal sehat.

Menurut kabar termutakhir, pengajuan untuk mendapatkan jabatan akademik profesor diduga melibatkan praktik suap dengan nominal yang cukup fantastis. Praktik tersebut tentu sangat memalukan di tengah harapan tinggi publik kepada kampus sebagai pengawal moral bangsa.

Surat edaran di atas tentu bukan sekadar instrumen administratif sebagaimana dipahami oleh sebagian orang.

Ada beragam alasan yang lebih substantif meski sudah dapat diduga perspektif ini tidak akan diamini oleh semua profesor. Perbedaan pendapat seperti ini merupakan hal yang sangat wajar di alam demokrasi selama didasari dengan nilai yang baik.

Apa alasan substantif di balik penerbitan surat edaran tersebut? Paling tidak adalah tiga, yakni menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah publik, dan mendesakralisasi jabatan profesor.

Semangat kolegialitas

Semangat kolegialitas ini sudah agak lama terkikis di tengah maraknya praktik neoliberalisme dalam manajemen perguruan tinggi. Salah satu indikasinya adalah kuasa pasar yang menentukan banyak pilihan sikap. Hubungan internal yang dibangun pun melahirkan jarak kuasa yang semakin jauh, antar-jenjang fungsional dan struktural.

Jabatan profesor yang menghuni jenjang fungsional tertinggi akan menambah jarak sosial dalam berinteraksi. Ujungnya adalah budaya feodalisme gaya baru yang mewujud dalam beragam bentuk di lapangan.

Dengan menghidupkan kembali semangat kolegialitas, jarak kuasa sesama kolega akan semakin dekat.

Kampus akhirnya dapat menjadi salah satu tempat yang paling demokratis. Para dosen menempatkan diri sebagai kolega intelektual yang mempunyai kedaulatan dalam berpikir dan menyatakan pendapatnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat.

Tanggung jawab publik

Betul, profesor adalah sebuah capaian jabatan akademik tertinggi. Namun, banyak yang lupa bahwa di dalam jabatan itu melekat tanggung jawab publik. Pemahaman ini perlu dilantangkan kembali agar menjadi kesadaran kolektif.

Tanggung jawab publik tersebut dapat termanifestasikan ke dalam beragam peran. Salah satunya adalah intelektual publik. Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik.

Tugasnya, meminjam formulasi Chomsky (2017), adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan, memberikan konteks kesejarahan, serta mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang perdebatan publik.

Intelektual publik berikhtiar mendekatkan bidang kajiannya dengan kepentingan publik, termasuk juga bersuara terhadap beragam penyelewengan yang muncul. Menurut Chomsky, karena para intelektual ini mempunyai banyak privilese yang dinikmati, tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan dengan mayoritas awam.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Didorong oleh kegeraman, seorang kawan bahkan berseloroh jika hari-hari ini kita mengalami surplus profesor, tetapi di saat yang sama kekurangan intelektual publik.

Ikhtiar desakralisasi

Saat ini sebagian kalangan memandang jabatan profesor sebagai sesuatu yang sakral. Banyak orang yang menjadikannya sebagai bagian dari status sosial yang perlu dikejar dengan segala cara, lantas dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan.

Sebagian banyak diduga menabrak etika. Kalangan non-akademisi, termasuk politisi dan pejabat, pun akhirnya terpincut untuk mendapatkannya.

Karena dianggap sebagai status sosial tinggi, cerita lucu di lapangan pun bermunculan, termasuk kemarahan si empu ketika jabatan tersebut tidak disematkan. Komentar warganet di beragam linimasa media sosial terkait dengan isu profesor abal-abal menambah daftar kelucuan.

Jika jabatan ini dianggap sakral, si empunya seakan menjadi orang suci, yang jika kebablasan akan menjelma menjadi makhluk yang kalis dari kritik dan kesalahan. Tentu bukan ini yang seharusnya terjadi di dunia akademik. Semua kebenaran bersifat nisbi dan terbuka untuk dikritisi.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Jabatan ini, karena itu, perlu didesakralisasi dengan memutus asosiasinya dengan beragam privilese yang menyertainya yang sebagian bersifat absurd. Privilese muncul karena merupakan legitimasi yang bersumber dari otorisasi pihak yang lebih berkuasa dan endorsemen dari sekelilingnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat. Pada saat yang sama, penghilangan penulisan jabatan dan pemanggilan dalam interaksi keseharian menjadi salah satu ikhtiar kultural untuk desakralisasi.

Dengan demikian, para pengejar jabatan ini akan diberikan koridor yang bermartabat. Jika mendapatkannya pun si empunya hanya akan merayakan seperlunya dengan penuh kesadaran adanya tanggung jawab publik yang melekat di dalamnya.

Jika kesadaran ini diikuti oleh semakin banyak profesor, tidaklah berlebihan untuk berharap jika gerakan simbolik dalam surat edaran tersebut akan semakin melantang dan melahirkan budaya akademik baru yang lebih egaliter. Semoga.

 

Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 25 Juli 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.



Categories
Sains Teknologi

Bahan Peledak

Amunisi militer dirancang untuk menghasilkan ledakan guna menghancurkan sasaran atau memberikan efek tertentu di medan perang. Jenis-jenis amunisi militer antara lain granat, mortir, serta amunisi berkaliber besar dan kecil. Amunisi militer menggunakan komponen bahan peledak berupa RDX (Research Department Explosive) dan TNT (Trinitrotoluene) merupakan dua bahan peledak berdaya tinggi yang secara luas digunakan dalam aplikasi militer, pertambangan, dan industri strategis. Keduanya memiliki karakteristik fisik dan kimia yang berbeda, namun sama-sama efektif dalam meng- hasilkan ledakan dengan daya rusak signifikan.

RDX secara kimia dikenal sebagai Cyclotrimethylenetrinitramine, merupakan bahan peledak yang sangat kuat dengan kecepatan detonasi mencapai 8.750 meter perdetik. Senyawa ini berbentuk kristal putih dan umumnya digunakan dalam bentuk campuran. RDX cukup sensitif terhadap benturan, gesekan, dan panas, sehingga penggunaannya dalam bentuk mumi jarang dilakukan untuk alasan keamanan.

Dalam aplikasi militer, RDX dimanfaatkan dalam peluru kendali, ranjau, dan hulu ledak presisi tinggi karena stabilitas penyimpanan yang baik dan efektivitasnya yang tinggi dalam menghancurkan target. Sedangkan TNT adalah bahan peledak dengan kecepatan detonasi sekitar 6.900 meter per detik. TNT berbentuk kristal kuning pucat dan dikenal karena kemudahannya untuk dicetak, lebih stabil dan mudah ditangani tanpa risiko tinggi. Salah satu keunggulan utama TNT adalah kemampuannya meleleh pada suhu sekitar 80°c tanpa langsung meledak, memungkinkan proses pencetakan amunisi dengan risiko minimal.

Granat dan mortir, seperti halnya seluruh jenis amunisi militer, memiliki masa kadaluwarsa pada kurun waktu tertentu. Meskipun tampak kokoh dan tahan lama, kedua jenis amunisi ini mengandung komponen kimia dan mekanik yang dapat mengalami degradasi seiring waktu. Masa kedaluwarsa bukan sekadar batas usia simpan, melainkan penanda turunnya tingkat keamanan dan keandalan bahan peledak yang terkandung didalamnya.

Masa kadaluwarsa tidak hanya berkaitan dengan unsur kimia dalam bahan peledak, tetapi juga pada stabilitas komponen mekanis dan keseluruhan sistem senjata tersebut. RDX maupun TNT, secara kimiawi dapat terurai atau mengalami reaksi samping akibat paparan suhu ekstrem, kelembaban, atau oksidasi. Proses degradasi berisiko memicu peningkatan sensitivitas bahan peledak terhadap gesekan atau tekanan, menjadikannyalebih mudah meledak tanpa kendali.

Selain itu, senyawa hasil dekomposisi seperti asam nitrat bebas bisa menimbulkan korosi dan melemahkan struktur selongsong logam atau sistem pemicu. Proses penuaan amunisi seperti granat dan mortir menimbulkan risiko signifikan berupa korosi dan degradasi fisik. Selubung logam dapat berkarat atau retak akibat kelembaban, suhu ekstrem, dan paparan lingkungan kimia agresif, yang menurunkan stabilitas mekanik dan meningkatkan potensi ledakan tak terkendali. Komponen penting seperti pin pengaman, fuse, dandetonator rentan macet atau gagal berfungsi.

Pada mortir, degradasi propelan dapat menyebabkan hilangnya tekanan atau ledakan prematur. Sistem pemicu juga melemah akibat usia dan guncangan, menyebabkan amunisi gagal meledak atau meledak tiba-tiba. Hal ini menekankan pentingnya kontrol kedaluwarsa dalam manajemen amunisi. Pemahaman mendalam terhadap karakteristik RDX dan TNT sangat penting, dalam konteks pengendalian, fransportasi, dan pemusnahan amunisi secara aman dan terkendali.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 14 Mei 2025

Arif Hidayat
Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII. Bidang riset pada material dan renewable energy

Categories
Lingkungan

Gen Z dan Baby Boomers sama-sama Merana karena Perubahan Iklim, Tak Perlu Saling Tuding

Kajian di tingkat global maupun nasional banyak kaum muda dari Generasi Z (Gen Z) dan Milenial sangat risau terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim. Gen Z merupakan kelompok penduduk global yang lahir dalam periode 1998-2012, sedangkan Milenial lahir di antara 1981-1995.

Level keresahan mereka pada kondisi bumi saat ini lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, seperti Generasi X (1965-1989) dan Baby Boomers (1946-1964).

Kondisi tersebut melahirkan aksi iklim yang sangat kencang dari kaum muda Gen Z maupun Milenial dibandingkan orang-orang tua. Bahkan, aksi tersebut juga memicu lahirnya meme “Ok Boomer”, sebagai sindiran sejumlah anak muda terhadap generasi tua yang dianggap kolot terhadap langkah maju, termasuk aksi iklim.

Sayang, sindiran ini justru menimbulkan sentimen antargenerasi dan tindakan saling menyalahkan. Generasi muda menganggap generasi tua telah merusak lingkungan dan memperparah perubahan iklim. Generasi tua juga dicap lamban untuk mengatasinya.

Sementara itu, generasi tua mengeluhkan anak muda yang mereka anggap “mental lembek” dan hanya doyan main gadget. Mereka juga acap “menyuruh” yang muda untuk bertindak mengurus persoalan lingkungan.

Membawa sentimen generasi dalam isu perubahan iklim justru tidak menyederhanakan persoalan. Banyak faktor yang akhirnya luput dari pertimbangan saat melihat akar masalah krisis iklim serta dampak-dampaknya.

Meskipun meme-meme bernada sindiran menambah paparan publik terhadap isu lingkungan, percakapan semacam ini justru bisa menggeser fokus publik terhadap cara penanganan perubahan iklim.

Setiap generasi membutuhkan lebih banyak perbincangan seputar dampak perubahan iklim. Dengan bercakap-cakap lebih banyak, antargenerasi seharusnya saling berempati dan berdialog untuk merumuskan aksi bersama, sesegera mungkin.

Generasi mana yang paling menderita?

Kejadian tak menyenangkan akibat perubahan iklim baik panas ekstrem, kebakaran hutan, puting beliung, banjir, maupun ombak dahsyat mengakibatkan kerugian banyak orang di berbagai negara dan juga daerah di Indonesia. Namun, pengalaman terhadap kejadian maupun bencana antargenerasi jelas berbeda.

Gen Z yang lahir dalam periode 1998-2012 bertumbuh di situasi suhu Bumi sudah lebih hangat setidaknya 0,5°C sejak era praindustri (1850-an) , dibandingkan generasi Baby Boomers yang lahir di antara tahun 1948-1962. Perbedaan ini juga terasa apalagi oleh Generasi Alpha yang lahir dalam periode 2013-2022.

Kedua generasi ini, termasuk Millenial yang lahir dalam periode 1981-1995, menjadi kelompok yang sangat merasakan dampak perubahan iklim di masa depan. Jikalau seluruh negara dunia serius dan ambisius meredam perubahan iklim (termasuk melenyapkan pembakaran batu bara), mereka akan menjalani sebagian besar hidupnya di tengah kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5-2,4°C.

Semakin panas suhu Bumi, kemalangan yang menimpa manusia akan terus parah. Ini dapat berdampak pada kesehatan fisik maupun mental.

Sementara itu, dengan skenario yang sama, generasi Baby Boomers merasakan kenaikan suhu 1,9°C. Karena mayoritas sudah berusia lanjut, Boomers mereka lebih rentan mengalami dampak perubahan iklim dalam waktu dekat seperti panas menyengat, kebakaran hutan, longsor, dan hujan ekstrem.

Di negara berkembang seperti Indonesia, situasi itu bisa berefek lebih memprihatinkan. Sebagai contoh, generasi tua yang menjadi petani, mulai dari Generasi X hingga Boomers, banyak terpapar panas ekstrem di ladang dan ketidakpastian cuaca. Ini berdampak pada kesehatan sekaligus sumber nafkah mereka.

Nelayan generasi Baby Boomers di desa-desa pesisir Sumbawa, misalnya, tak bisa disalahkan atas dan perubahan iklim. Sebaliknya, mereka justru menjadi korban.

Dalam kasus lain, ada pemuda yang terbukti menerima suap dari perusahaan perusak lingkungan yang membuat Bumi semakin celaka.

Empati antargenerasi

Gentingnya situasi Bumi saat ini seharusnya membuat kita mengurangi waktu untuk saling menyalahkan. Sebaliknya, setiap generasi perlu menyadari bahwa perubahan iklim berdampak pada seluruh kalangan—berapapun usia mereka saat ini.

Generasi tua seperti Baby Boomers dan Gen X perlu memahami bahwa generasi muda, terutama Gen Z dan Gen Apha, bertumbuh di tengah situasi Bumi yang lebih buruk. Di masa depan, situasi terancam semakin parah.

Di lain pihak, generasi muda juga perlu mengamini bahwa generasi tua sangat rentan mengalami dampak perubahan iklim. Para lansia di negara berkembang, dengan angka harapan hidup yang lebih rendah dari negara maju, berisiko terimbas dampak kerusakan lingkungan berkali-kali lipat.

Karena permasalahan lingkungan adalah tanggung jawab seluruh umat manusia, empati antargenerasi amat diperlukan untuk melecutkan perbincangan bersama agar dapat meredam “konflik” antargenerasi dan bisa saling mengkuatkan untuk bertahan di tengah iklim yang berubah.

Kerja bersama antargenerasi juga bisa menghasilkan solusi yang lebih efektif dan menyeluruh. Milenial dan Gen Z dapat memperoleh wejangan dan mencari pengalaman dari generasi tua untuk merumuskan aksi iklim yang tepat sasaran. Sementara Boomers maupun Gen X dapat memanfaatkan id-ide segar generasi penerusnya untuk membantu pemulihan kerusakan yang terjadi di masa produktif mereka.

Dialog antargenerasi untuk saling memahami dan mencari solusi bersama sebenarnya sudah dimulai di banyak tempat. Berbagai daerah di Indonesia, sebagai negara yang rentan terhadap berbagai krisis, perlu memulai dan membiasakannya mulai saat ini.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Augustus 2024

Diah Ayu Prawitasari
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan UII. Bidang riset pada teknologi remediasi

 

Categories
Sosial Budaya

Demi Konten

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang tanpa batas bagi siapa saja untuk memproduksi dan mengonsumsi konten. Namun, kebebasan tersebut sering kali melupakan aspek nalar dan etika. Sensasi dan kontroversi lebih diprioritaskan dibandingkan tanggung jawab moral.

Sangat banyak contoh dan kini terus bertambah konten-konten yang memprihatinkan, tidak hanya melanggar batas etika, bahkan tak sedikit yang melanggar hukum hingga bermain-main dengan kematian. Sekali lagi demi jalan pintas meraih popularitas, viralitas, atau keuntungan finansial dari hasil monetisasi konten.

Jalan raya kini sering dijadikan tempat membuat konten ekstrem oleh remaja, seperti berjoget saat lampu merah atau menantang truk yang melaju. Aksi berbahaya ini berujung tragis, seperti kasus Tangerang ketika dua remaja tewas. Konten yang awalnya dimaksudkan untuk hiburan justru membawa malapetaka.

Bukan hanya masyarakat awam yang terjerat dalam obsesi konten, tetapi juga kalangan selebriti dan profesional. Seorang selebriti dikritik karena menjadikan musibah keluarga, yakni meninggalnya Sang Ayah sebagai konten, mengaburkan batas antara penghormatan pribadi dan eksploitasi.

Di ranah profesional, beberapa tenaga medis melanggar etika demi konten. Dua perawat menghadapi masalah hukum karena merekam pemasangan kateter pada pasien dan mengunggahnya ke media sosial. Kejadian lainnya, seorang perawat bayi di Yogyakarta melanggar privasi pasien dengan merekam dirinya menciumi bayi yang baru lahir dan membagikannya di TikTok.

Mengejar Validasi Sosial
Di tengah beban hidup yang menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hiburan, pakar psikologi mengindikasikan bahwa masyarakat saat ini mulai mengalami gangguan kejiwaan dalam bermedia sosial. Beberapa gangguan kejiwaan yang sering dikaitkan dengan fenomena ini antara lain kepribadian narsistik, social climber atau panjat sosial (pansos), vouyerisme, Internet Asperger Syndrome, dan FOMO (Fear of Missing Out).

Gangguan kepribadian narsistik menyebabkan individu terus-menerus mencari validasi dalam bentuk likes dan komentar, sehingga mereka rela melakukan tindakan berlebihan demi menarik perhatian.

Fenomena social climber memperburuk situasi, ketika individu berusaha meningkatkan status sosial dengan menciptakan konten sensasional mengikuti sesuatu yang sedang disorot publik. Mereka percaya bahwa semakin banyak perhatian yang didapat saat itu, semakin menguntungkan.

Di sisi lain, voyeurisme mendorong individu untuk mengamati dan mengeksploitasi kehidupan pribadinya atau orang lain demi hiburan, tanpa mempertimbangkan aspek privasi dan etika.

Sementara itu, internet Asperger Syndrome mencerminkan bagaimana keribadian individu berubah drastis ketika berinteraksi di dunia maya. Misalnya kehilangan empati dan kesadaran sosial jika sudah memposting sesuatu di media sosal tanpa tidak menyadari bahwa konten yang dibuat dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain di dunia nyata.

FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi faktor utama yang dituding menjadi penggerak banyaknya konten bermasalah. Banyak individu merasa tertekan jika tertinggal dan kehilangan momentum, sehingga terdorong terus membuat beragam konten agar tetap eksis.

Semua atau salah satu faktor di atas berkontribusi meningkatkan kecenderungan individu untuk mengorbankan etika demi mendapatkan validasi sosial dalam bentuk likes, komentar, atau jumlah pengikut, tak jarang diikuti dengan tindakan “mengemis online” untuk mengejar keuntungan instan.

Literasi Digital sebagai Penyeimbang
Untuk mengimbangi fenomena ini, penting bagi pengguna teknologi untuk meningkatkan literasi digital. Pemahaman tentang cara kerja media sosial, bagaimana algoritma mempengaruhi perilaku pengguna, serta dampak psikologis dari konsumsi media digital harus menjadi bagian dari pendidikan sejak dini.

Kesadaran akan etika digital harus dikampanyekan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang eksploitasi demi popularitas, tetapi juga tempat untuk berbagi informasi yang bermanfaat, menginspirasi, dan membangun komunitas yang lebih sehat secara mental dan sosial.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang terjebak dalam ilusi dunia maya dari konten yang tidak berfaedah, di mana nilai dan moral terabaikan demi sensasi sesaat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.



Categories
Politik

Bagaimana Pilpres 2024 akan Membingkai Ulang Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia?

Dua pekan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kontestasi tiga calon presiden – Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto dalam meraih simpati rakyat kian ketat. Sepanjang masa kampanye, salah satu aspek yang mengundang perhatian publik adalah bagaimana ketiganya memandang dan menyusun arah kebijakan luar negeri ketika terpilih nanti.

Seiring dengan akan berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pertanyaan mengenai politik luar negeri kian menguat, terutama apakah penerusnya akan melanjutkan atau mengubah pola hubungan Indonesia dengan Cina, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara tetangga.

Melanjutkan tradisi sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, Jokowi telah menerapkan politik luar negeri “bebas aktif”, sebagai landasan kebijakan nonblok yang aktif memberikan kontribusi perdamaian dan diinisiasi pertama kali tahun 1948 oleh wakil presiden pertama, Mohamad Hatta. Pada 2022, Jokowi sempat berupaya menempatkan peran Indonesia sebagai perantara perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi mengunjungi kedua negara dan mengundang Ukraina untuk menghadiri KTT G20 di Bali. Pada tingkat ASEAN, di bawah kepemimpinan Indonesia tahun ini terlihat tampak berupaya menciptakan sikap netral dalam menyikapi hubungan antara AS dan Cina dengan tujuan mencegah timbulnya potensi konflik dan menjaga stabilitas kawasan.

Sejauh ini, tiga calon presiden (capres) yang berkompetisi pada Pemilu 2024 menyatakan akan mempertahankan tradisi kebijakan luar negeri Indonesia “bebas aktif”. Pertanyaannya, adakah perbedaan implementasi “bebas aktif” di antara ketiganya?

Anies: mengakhiri pragmatisme

Anies menguraikan platform kebijakan politik luar negerinya dengan mengkritisi pendekatan pemerintah saat ini dalam mengelola hubungan luar negeri yang menurutnya “pragmatis dan transaksional”.

Kritik ini muncul karena sejak Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, pendekatan kebijakan luar negeri yang berkhidmat terhadap multilateralisme tidak lagi dilanjutkan. Sebab, pendekatan tersebut diyakini hanya memberikan sedikit manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia.

Hal inilah yang menjadi faktor mengapa Jokowi tidak menghadiri sejumlah forum tingkat tinggi dan hanya fokus melantangkan diplomasi ekonomi serta memperbaiki hubungan bilateral dengan sejumlah negara tertentu. Diyakini, pendekatan ini lebih banyak memberi manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Berbeda dengan pendekatan pragmatis Jokowi, Anies ingin mengembalikan Indonesia ke tingkat global dengan mengambil lebih banyak peran kepemimpinan dalam mengatasi isu-isu internasional. Kebijakan luar negerinya akan fokus pada peningkatan peran dan partisipasi Indonesia untuk urusan internasional dan dalam tatanan global.

Sebagai contoh, Anies mendambakan Indonesia berperan menjadi pemimpin garda depan di ASEAN untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik dan, dalam jangka panjang, menjadikan ASEAN sebagai pusat dialog antarnegara besar.

Prabowo: menjadi tetangga yang baik

Prabowo memaparkan platform kebijakan luar negerinya dengan janji untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif dan di saat yang sama memperkuat kebijakan pertahanan negara.

Arah kebijakan luar negeri ini sudah bisa diprediksi dari awal, mengingat latar belakang militer Prabowo dan posisinya saat ini sebagai menteri pertahanan.

Meski demikian, serupa dengan Anies, pendekatan Prabowo juga berfokus pada peran Indonesia dalam stabilitas kawasan. Ia ingin Indonesia menjadi “tetangga yang baik” dan menjaga hubungan yang stabil dengan negara tetangga di Asia Tenggara.

Kemungkinan, Prabowo juga akan melanjutkan pendekatan luar negeri yang dilakukan Jokowi, yaitu enggan untuk berpihak di tengah persaingan negara adidaya.

Yang menarik, Prabowo menekankan bagaimana Indonesia harus menghormati AS bersama sekutunya, serta Cina. Ia juga menekankan bahwa India dan Rusia juga merupakan mitra penting bagi Indonesia, sebagaimana juga negara-negara Afrika yang memiliki kesamaan pengalaman kolonialisme masa lalu.

Prabowo menjadi satu-satunya capres yang dengan terbuka membahas pentingnya Indonesia menjadi tetangga yang baik. Di bawah kepemimpinannya jika terpilih nanti, ia hendak menunjukkan bahwa kehadiran Indonesia di kawasan tidak akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara sekitar.

Ganjar: memaknai kembali ‘bebas aktif’

Platform kebijakan luar negeri Ganjar fokus pada empat isu penting global: kemunduran demokrasi, ketidakadilan global, kemerosotan ekonomi, dan konflik di kawasan.

Secara khusus, Ganjar menekankan pada eskalasi ketegangan di Asia, yang ditunjukkan dengan memburuknya hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Taiwan, serta masih berlangsungnya sengketa Laut Cina Selatan (LCS).

Ganjar juga berkomitmen mempertahankan politik luar negeri “bebas dan aktif” dengan sedikit pemaknaan ulang agar lebih efektif dan selaras dengan situasi geopolitik saat ini. Pemaknaan ulang ini termasuk merumuskan strategi agar Indonesia dapat lebih proaktif –bukan pasif responsif – dalam urusan internasional.

Platform kebijakan luar negeri masing-masing kandidat memberikan gambaran sekilas mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan. Kebijakan luar negeri yang “bebas aktif” kemungkinan besar akan tetap berlaku, apapun hasil pemilu mendatang. Meski, di tengah persamaan tersebut, masing-masing calon juga menekankan prioritas tertentu yang menjadi pembeda satu sama lain.

 

Tulisan ini sudah dimuat di The Conversation pada tanggal 2 Februari 2024

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Politik

Matinya Desentralisasi

Kita pernah mencoba dalam waktu yang sangat panjang mengelola hubungan pusat dan daerah dengan prinsip sentralisasi yang hasilnya ketimpangan dan ketidakadilan.

Apa yang terjadi belakangan ini mengenyak kesadaran tentang masa depan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia. Diawali dengan retret semua kepala daerah terpilih di markas Akademi Militer Magelang. Presiden, melalui Menteri Dalam Negeri, mewajibkan semua kepala daerah untuk mengikuti retret. Wajib dalam frasa hukum mengandung makna sanksi bagi siapa saja yang tidak mengikutinya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

Dilanjutkan dengan pernyataan Mendagri bahwa ”Presiden adalah pimpinan eksekutif tertinggi sehingga kepala daerah adalah bawahannya yang harus tunduk pada kehendak Presiden”. Realitas dan pernyataan pemerintah pusat di atas menandai tonggak awal masa depan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia yaitu kelam!

Bangunan otonomi daerah

Hingga tahun 2014, isu otonomi daerah adalah isu yang menarik dibicarakan. Kita sedang mencari dengan serius tentang bagaimana kewenangan serta kekuasaan pusat dan daerah akan ditata, dikelola, dan dibangun.

Jika ditarik ke belakang, salah satu isu besar reformasi dan amendemen UUD 1945 adalah penataan hubungan pusat dan daerah, yang disulut oleh realitas ketidakadilan hingga ketimpangan pusat dan daerah. Solusi yang ditawarkan adalah memberikan kewenangan kepada derah untuk mengurus urusannya dengan mandiri dan otonom, inilah yang dimaknai dengan asas desentralisasi sebagai lawan dari sentralisasi.

Lihatlah bagaimana pengaturan hubungan pusat dan daerah dalam konstitusi pasca-amendemen. Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD N RI Tahun 1945 berbunyi, ”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan” serta ”Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas­-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang­undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.

Prinsip otonomi seluas-luasnya, menurut Bagir Manan, adalah prinsip dengan pemerintah daerah menjalankan kewenangan residu, artinya seluruh kewenangan pada dasarnya adalah milik pemerintah daerah, kecuali yang ditentukan menjadi urusan/kewenangan pemerintah pusat.

Tentang bagaimana sumber daya dikelola, Pasal 18A menyatakan, ”Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang­-undang.”

Senja kala otonomi daerah

Sayangnya, apa yang dirumuskan dan diangankan dalam konstitusi pasca-amendemen hari ini jauh panggang dari api. Dalam catatan penulis, isu mengenai otonomi daerah mulai ditinggalkan dan dilupakan dari diskusi publik adalah sejak 2014, masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Arah kebijakan pemerintahan ketika itu adalah menarik kembali kewenangan yang sebelumnya diberikan kepada pemerintah daerah. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah mantra yang manjur untuk menarik kembali berbagai kewenangan itu hingga tidak ada yang tersisa bagi daerah.

Belakangan, munculnya UU Cipta Kerja membabat habis kewenangan daerah, hanya menyisakan apa yang diberikan oleh pemerintah pusat saja, yang itu sangatlah sedikit. Logika stabilitas politik, peningkatan ekonomi, dan pembangunan adalah yang selama ini digaungkan. Otonomi daerah dianggap menjadi momok bagi kebijakan pemerintah pusat sehingga harus dihapuskan.

Masa awal pemerintahan Prabowo sudah menunjukkan ketidakberpihakan terhadap otonomi daerah. Menempatkan militer dan polisi aktif menduduki jabatan publik, pada dasarnya bertolak belakang dengan prinsip otonomi daerah karena logika otonomi daerah adalah kemandirian dan kebebasan. Berbeda dengan logika militer yang justru mengedepankan satu komando dan hierarki.

Lalu, retret yang dijalani oleh semua kepala daerah di Magelang juga patut dibaca sebagai kondisi prinsip otonomi daerah semakin lemah. Pemerintah pusat ingin agar daerah menggunakan cara kerja militer, yang meniadakan kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengurus urusan berdasarkan prinsip otonomi.

Ini diperburuk dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, yang secara khusus membidangi otonomi daerah, bahwa Kepala Daerah adalah bawahan Presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi. Pernyataan ini bukan saja ahistoris, tetapi juga lemah argumentasi konstitusional.

Presiden dan Kepala Daerah adalah sama-sama pimpinan eksekutif, keduanya memiliki legitimasi yang sama karena dipilih langsung oleh rakyat, bedanya terletak pada level teritori atau cakupan wilayahnya saja. Keduanya juga menjalankan kewenangan berdasarkan atribusi UU sehingga tidak ada yang lebih rendah dari yang lain. Begitulah logika hubungan pusat dan daerah jika dibaca dengan cermat dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD N RI Tahun 1945.

Ada dua hal yang harus dipertimbangkan kembali oleh Presiden Prabowo dalam melihat hubungan pusat dan daerah yang hari ini eksis. Pertama, UUD NRI Tahun 1945 menghendaki agar daerah memiliki otonomi yang luas dengan prinsip kemandirian dan kebebasan. Sebagai presiden yang disumpah untuk menaati konstitusi, Presiden Prabowo tahu persis bagaimana menempatkan UUD.

Kedua, kita pernah mencoba dalam waktu yang sangat panjang, Orde Lama dan Orde Baru, mengelola hubungan pusat dan daerah dengan prinsip sentralisasi seperti saat ini, tapi yang dihasilkan adalah ketimpangan dan ketidakadilan. Bahkan, berujung pada gerakan separatisme beberapa daerah karena menuntut keadilan. Artinya, cara itu selalu menemui jalan buntu, maka tidak selayaknya dilanjutkan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 29 April 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.