Categories
Pendidikan

Desakralisasi Profesor

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Surat edaran internal di Universitas Islam Indonesia terkait peniadaan penulisan jabatan dan gelar rektor dalam dokumen tiba-tiba menjadi viral.

Kejadian di luar dugaan ini merupakan berkah tersamar yang perlu disyukuri. Apa pasal? Ikhtiar kecil tersebut oleh banyak kalangan, termasuk warganet, dianggap sebagai antitesis dari praktik obral gelar dan jabatan kehormatan oleh beberapa kampus. Praktik ini tak jarang melibatkan pejabat dan politisi dengan alasan yang sulit dipahami dengan akal sehat.

Menurut kabar termutakhir, pengajuan untuk mendapatkan jabatan akademik profesor diduga melibatkan praktik suap dengan nominal yang cukup fantastis. Praktik tersebut tentu sangat memalukan di tengah harapan tinggi publik kepada kampus sebagai pengawal moral bangsa.

Surat edaran di atas tentu bukan sekadar instrumen administratif sebagaimana dipahami oleh sebagian orang.

Ada beragam alasan yang lebih substantif meski sudah dapat diduga perspektif ini tidak akan diamini oleh semua profesor. Perbedaan pendapat seperti ini merupakan hal yang sangat wajar di alam demokrasi selama didasari dengan nilai yang baik.

Apa alasan substantif di balik penerbitan surat edaran tersebut? Paling tidak adalah tiga, yakni menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah publik, dan mendesakralisasi jabatan profesor.

Semangat kolegialitas

Semangat kolegialitas ini sudah agak lama terkikis di tengah maraknya praktik neoliberalisme dalam manajemen perguruan tinggi. Salah satu indikasinya adalah kuasa pasar yang menentukan banyak pilihan sikap. Hubungan internal yang dibangun pun melahirkan jarak kuasa yang semakin jauh, antar-jenjang fungsional dan struktural.

Jabatan profesor yang menghuni jenjang fungsional tertinggi akan menambah jarak sosial dalam berinteraksi. Ujungnya adalah budaya feodalisme gaya baru yang mewujud dalam beragam bentuk di lapangan.

Dengan menghidupkan kembali semangat kolegialitas, jarak kuasa sesama kolega akan semakin dekat.

Kampus akhirnya dapat menjadi salah satu tempat yang paling demokratis. Para dosen menempatkan diri sebagai kolega intelektual yang mempunyai kedaulatan dalam berpikir dan menyatakan pendapatnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat.

Tanggung jawab publik

Betul, profesor adalah sebuah capaian jabatan akademik tertinggi. Namun, banyak yang lupa bahwa di dalam jabatan itu melekat tanggung jawab publik. Pemahaman ini perlu dilantangkan kembali agar menjadi kesadaran kolektif.

Tanggung jawab publik tersebut dapat termanifestasikan ke dalam beragam peran. Salah satunya adalah intelektual publik. Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik.

Tugasnya, meminjam formulasi Chomsky (2017), adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan, memberikan konteks kesejarahan, serta mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang perdebatan publik.

Intelektual publik berikhtiar mendekatkan bidang kajiannya dengan kepentingan publik, termasuk juga bersuara terhadap beragam penyelewengan yang muncul. Menurut Chomsky, karena para intelektual ini mempunyai banyak privilese yang dinikmati, tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan dengan mayoritas awam.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Didorong oleh kegeraman, seorang kawan bahkan berseloroh jika hari-hari ini kita mengalami surplus profesor, tetapi di saat yang sama kekurangan intelektual publik.

Ikhtiar desakralisasi

Saat ini sebagian kalangan memandang jabatan profesor sebagai sesuatu yang sakral. Banyak orang yang menjadikannya sebagai bagian dari status sosial yang perlu dikejar dengan segala cara, lantas dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan.

Sebagian banyak diduga menabrak etika. Kalangan non-akademisi, termasuk politisi dan pejabat, pun akhirnya terpincut untuk mendapatkannya.

Karena dianggap sebagai status sosial tinggi, cerita lucu di lapangan pun bermunculan, termasuk kemarahan si empu ketika jabatan tersebut tidak disematkan. Komentar warganet di beragam linimasa media sosial terkait dengan isu profesor abal-abal menambah daftar kelucuan.

Jika jabatan ini dianggap sakral, si empunya seakan menjadi orang suci, yang jika kebablasan akan menjelma menjadi makhluk yang kalis dari kritik dan kesalahan. Tentu bukan ini yang seharusnya terjadi di dunia akademik. Semua kebenaran bersifat nisbi dan terbuka untuk dikritisi.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Jabatan ini, karena itu, perlu didesakralisasi dengan memutus asosiasinya dengan beragam privilese yang menyertainya yang sebagian bersifat absurd. Privilese muncul karena merupakan legitimasi yang bersumber dari otorisasi pihak yang lebih berkuasa dan endorsemen dari sekelilingnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat. Pada saat yang sama, penghilangan penulisan jabatan dan pemanggilan dalam interaksi keseharian menjadi salah satu ikhtiar kultural untuk desakralisasi.

Dengan demikian, para pengejar jabatan ini akan diberikan koridor yang bermartabat. Jika mendapatkannya pun si empunya hanya akan merayakan seperlunya dengan penuh kesadaran adanya tanggung jawab publik yang melekat di dalamnya.

Jika kesadaran ini diikuti oleh semakin banyak profesor, tidaklah berlebihan untuk berharap jika gerakan simbolik dalam surat edaran tersebut akan semakin melantang dan melahirkan budaya akademik baru yang lebih egaliter. Semoga.

 

Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 25 Juli 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.



Categories
Sains Teknologi

Bahan Peledak

Amunisi militer dirancang untuk menghasilkan ledakan guna menghancurkan sasaran atau memberikan efek tertentu di medan perang. Jenis-jenis amunisi militer antara lain granat, mortir, serta amunisi berkaliber besar dan kecil. Amunisi militer menggunakan komponen bahan peledak berupa RDX (Research Department Explosive) dan TNT (Trinitrotoluene) merupakan dua bahan peledak berdaya tinggi yang secara luas digunakan dalam aplikasi militer, pertambangan, dan industri strategis. Keduanya memiliki karakteristik fisik dan kimia yang berbeda, namun sama-sama efektif dalam meng- hasilkan ledakan dengan daya rusak signifikan.

RDX secara kimia dikenal sebagai Cyclotrimethylenetrinitramine, merupakan bahan peledak yang sangat kuat dengan kecepatan detonasi mencapai 8.750 meter perdetik. Senyawa ini berbentuk kristal putih dan umumnya digunakan dalam bentuk campuran. RDX cukup sensitif terhadap benturan, gesekan, dan panas, sehingga penggunaannya dalam bentuk mumi jarang dilakukan untuk alasan keamanan.

Dalam aplikasi militer, RDX dimanfaatkan dalam peluru kendali, ranjau, dan hulu ledak presisi tinggi karena stabilitas penyimpanan yang baik dan efektivitasnya yang tinggi dalam menghancurkan target. Sedangkan TNT adalah bahan peledak dengan kecepatan detonasi sekitar 6.900 meter per detik. TNT berbentuk kristal kuning pucat dan dikenal karena kemudahannya untuk dicetak, lebih stabil dan mudah ditangani tanpa risiko tinggi. Salah satu keunggulan utama TNT adalah kemampuannya meleleh pada suhu sekitar 80°c tanpa langsung meledak, memungkinkan proses pencetakan amunisi dengan risiko minimal.

Granat dan mortir, seperti halnya seluruh jenis amunisi militer, memiliki masa kadaluwarsa pada kurun waktu tertentu. Meskipun tampak kokoh dan tahan lama, kedua jenis amunisi ini mengandung komponen kimia dan mekanik yang dapat mengalami degradasi seiring waktu. Masa kedaluwarsa bukan sekadar batas usia simpan, melainkan penanda turunnya tingkat keamanan dan keandalan bahan peledak yang terkandung didalamnya.

Masa kadaluwarsa tidak hanya berkaitan dengan unsur kimia dalam bahan peledak, tetapi juga pada stabilitas komponen mekanis dan keseluruhan sistem senjata tersebut. RDX maupun TNT, secara kimiawi dapat terurai atau mengalami reaksi samping akibat paparan suhu ekstrem, kelembaban, atau oksidasi. Proses degradasi berisiko memicu peningkatan sensitivitas bahan peledak terhadap gesekan atau tekanan, menjadikannyalebih mudah meledak tanpa kendali.

Selain itu, senyawa hasil dekomposisi seperti asam nitrat bebas bisa menimbulkan korosi dan melemahkan struktur selongsong logam atau sistem pemicu. Proses penuaan amunisi seperti granat dan mortir menimbulkan risiko signifikan berupa korosi dan degradasi fisik. Selubung logam dapat berkarat atau retak akibat kelembaban, suhu ekstrem, dan paparan lingkungan kimia agresif, yang menurunkan stabilitas mekanik dan meningkatkan potensi ledakan tak terkendali. Komponen penting seperti pin pengaman, fuse, dandetonator rentan macet atau gagal berfungsi.

Pada mortir, degradasi propelan dapat menyebabkan hilangnya tekanan atau ledakan prematur. Sistem pemicu juga melemah akibat usia dan guncangan, menyebabkan amunisi gagal meledak atau meledak tiba-tiba. Hal ini menekankan pentingnya kontrol kedaluwarsa dalam manajemen amunisi. Pemahaman mendalam terhadap karakteristik RDX dan TNT sangat penting, dalam konteks pengendalian, fransportasi, dan pemusnahan amunisi secara aman dan terkendali.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 14 Mei 2025

Arif Hidayat
Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII. Bidang riset pada material dan renewable energy

Categories
Lingkungan

Gen Z dan Baby Boomers sama-sama Merana karena Perubahan Iklim, Tak Perlu Saling Tuding

Kajian di tingkat global maupun nasional banyak kaum muda dari Generasi Z (Gen Z) dan Milenial sangat risau terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim. Gen Z merupakan kelompok penduduk global yang lahir dalam periode 1998-2012, sedangkan Milenial lahir di antara 1981-1995.

Level keresahan mereka pada kondisi bumi saat ini lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, seperti Generasi X (1965-1989) dan Baby Boomers (1946-1964).

Kondisi tersebut melahirkan aksi iklim yang sangat kencang dari kaum muda Gen Z maupun Milenial dibandingkan orang-orang tua. Bahkan, aksi tersebut juga memicu lahirnya meme “Ok Boomer”, sebagai sindiran sejumlah anak muda terhadap generasi tua yang dianggap kolot terhadap langkah maju, termasuk aksi iklim.

Sayang, sindiran ini justru menimbulkan sentimen antargenerasi dan tindakan saling menyalahkan. Generasi muda menganggap generasi tua telah merusak lingkungan dan memperparah perubahan iklim. Generasi tua juga dicap lamban untuk mengatasinya.

Sementara itu, generasi tua mengeluhkan anak muda yang mereka anggap “mental lembek” dan hanya doyan main gadget. Mereka juga acap “menyuruh” yang muda untuk bertindak mengurus persoalan lingkungan.

Membawa sentimen generasi dalam isu perubahan iklim justru tidak menyederhanakan persoalan. Banyak faktor yang akhirnya luput dari pertimbangan saat melihat akar masalah krisis iklim serta dampak-dampaknya.

Meskipun meme-meme bernada sindiran menambah paparan publik terhadap isu lingkungan, percakapan semacam ini justru bisa menggeser fokus publik terhadap cara penanganan perubahan iklim.

Setiap generasi membutuhkan lebih banyak perbincangan seputar dampak perubahan iklim. Dengan bercakap-cakap lebih banyak, antargenerasi seharusnya saling berempati dan berdialog untuk merumuskan aksi bersama, sesegera mungkin.

Generasi mana yang paling menderita?

Kejadian tak menyenangkan akibat perubahan iklim baik panas ekstrem, kebakaran hutan, puting beliung, banjir, maupun ombak dahsyat mengakibatkan kerugian banyak orang di berbagai negara dan juga daerah di Indonesia. Namun, pengalaman terhadap kejadian maupun bencana antargenerasi jelas berbeda.

Gen Z yang lahir dalam periode 1998-2012 bertumbuh di situasi suhu Bumi sudah lebih hangat setidaknya 0,5°C sejak era praindustri (1850-an) , dibandingkan generasi Baby Boomers yang lahir di antara tahun 1948-1962. Perbedaan ini juga terasa apalagi oleh Generasi Alpha yang lahir dalam periode 2013-2022.

Kedua generasi ini, termasuk Millenial yang lahir dalam periode 1981-1995, menjadi kelompok yang sangat merasakan dampak perubahan iklim di masa depan. Jikalau seluruh negara dunia serius dan ambisius meredam perubahan iklim (termasuk melenyapkan pembakaran batu bara), mereka akan menjalani sebagian besar hidupnya di tengah kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5-2,4°C.

Semakin panas suhu Bumi, kemalangan yang menimpa manusia akan terus parah. Ini dapat berdampak pada kesehatan fisik maupun mental.

Sementara itu, dengan skenario yang sama, generasi Baby Boomers merasakan kenaikan suhu 1,9°C. Karena mayoritas sudah berusia lanjut, Boomers mereka lebih rentan mengalami dampak perubahan iklim dalam waktu dekat seperti panas menyengat, kebakaran hutan, longsor, dan hujan ekstrem.

Di negara berkembang seperti Indonesia, situasi itu bisa berefek lebih memprihatinkan. Sebagai contoh, generasi tua yang menjadi petani, mulai dari Generasi X hingga Boomers, banyak terpapar panas ekstrem di ladang dan ketidakpastian cuaca. Ini berdampak pada kesehatan sekaligus sumber nafkah mereka.

Nelayan generasi Baby Boomers di desa-desa pesisir Sumbawa, misalnya, tak bisa disalahkan atas dan perubahan iklim. Sebaliknya, mereka justru menjadi korban.

Dalam kasus lain, ada pemuda yang terbukti menerima suap dari perusahaan perusak lingkungan yang membuat Bumi semakin celaka.

Empati antargenerasi

Gentingnya situasi Bumi saat ini seharusnya membuat kita mengurangi waktu untuk saling menyalahkan. Sebaliknya, setiap generasi perlu menyadari bahwa perubahan iklim berdampak pada seluruh kalangan—berapapun usia mereka saat ini.

Generasi tua seperti Baby Boomers dan Gen X perlu memahami bahwa generasi muda, terutama Gen Z dan Gen Apha, bertumbuh di tengah situasi Bumi yang lebih buruk. Di masa depan, situasi terancam semakin parah.

Di lain pihak, generasi muda juga perlu mengamini bahwa generasi tua sangat rentan mengalami dampak perubahan iklim. Para lansia di negara berkembang, dengan angka harapan hidup yang lebih rendah dari negara maju, berisiko terimbas dampak kerusakan lingkungan berkali-kali lipat.

Karena permasalahan lingkungan adalah tanggung jawab seluruh umat manusia, empati antargenerasi amat diperlukan untuk melecutkan perbincangan bersama agar dapat meredam “konflik” antargenerasi dan bisa saling mengkuatkan untuk bertahan di tengah iklim yang berubah.

Kerja bersama antargenerasi juga bisa menghasilkan solusi yang lebih efektif dan menyeluruh. Milenial dan Gen Z dapat memperoleh wejangan dan mencari pengalaman dari generasi tua untuk merumuskan aksi iklim yang tepat sasaran. Sementara Boomers maupun Gen X dapat memanfaatkan id-ide segar generasi penerusnya untuk membantu pemulihan kerusakan yang terjadi di masa produktif mereka.

Dialog antargenerasi untuk saling memahami dan mencari solusi bersama sebenarnya sudah dimulai di banyak tempat. Berbagai daerah di Indonesia, sebagai negara yang rentan terhadap berbagai krisis, perlu memulai dan membiasakannya mulai saat ini.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Augustus 2024

Diah Ayu Prawitasari
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan UII. Bidang riset pada teknologi remediasi

 

Categories
Sosial Budaya

Demi Konten

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang tanpa batas bagi siapa saja untuk memproduksi dan mengonsumsi konten. Namun, kebebasan tersebut sering kali melupakan aspek nalar dan etika. Sensasi dan kontroversi lebih diprioritaskan dibandingkan tanggung jawab moral.

Sangat banyak contoh dan kini terus bertambah konten-konten yang memprihatinkan, tidak hanya melanggar batas etika, bahkan tak sedikit yang melanggar hukum hingga bermain-main dengan kematian. Sekali lagi demi jalan pintas meraih popularitas, viralitas, atau keuntungan finansial dari hasil monetisasi konten.

Jalan raya kini sering dijadikan tempat membuat konten ekstrem oleh remaja, seperti berjoget saat lampu merah atau menantang truk yang melaju. Aksi berbahaya ini berujung tragis, seperti kasus Tangerang ketika dua remaja tewas. Konten yang awalnya dimaksudkan untuk hiburan justru membawa malapetaka.

Bukan hanya masyarakat awam yang terjerat dalam obsesi konten, tetapi juga kalangan selebriti dan profesional. Seorang selebriti dikritik karena menjadikan musibah keluarga, yakni meninggalnya Sang Ayah sebagai konten, mengaburkan batas antara penghormatan pribadi dan eksploitasi.

Di ranah profesional, beberapa tenaga medis melanggar etika demi konten. Dua perawat menghadapi masalah hukum karena merekam pemasangan kateter pada pasien dan mengunggahnya ke media sosial. Kejadian lainnya, seorang perawat bayi di Yogyakarta melanggar privasi pasien dengan merekam dirinya menciumi bayi yang baru lahir dan membagikannya di TikTok.

Mengejar Validasi Sosial
Di tengah beban hidup yang menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hiburan, pakar psikologi mengindikasikan bahwa masyarakat saat ini mulai mengalami gangguan kejiwaan dalam bermedia sosial. Beberapa gangguan kejiwaan yang sering dikaitkan dengan fenomena ini antara lain kepribadian narsistik, social climber atau panjat sosial (pansos), vouyerisme, Internet Asperger Syndrome, dan FOMO (Fear of Missing Out).

Gangguan kepribadian narsistik menyebabkan individu terus-menerus mencari validasi dalam bentuk likes dan komentar, sehingga mereka rela melakukan tindakan berlebihan demi menarik perhatian.

Fenomena social climber memperburuk situasi, ketika individu berusaha meningkatkan status sosial dengan menciptakan konten sensasional mengikuti sesuatu yang sedang disorot publik. Mereka percaya bahwa semakin banyak perhatian yang didapat saat itu, semakin menguntungkan.

Di sisi lain, voyeurisme mendorong individu untuk mengamati dan mengeksploitasi kehidupan pribadinya atau orang lain demi hiburan, tanpa mempertimbangkan aspek privasi dan etika.

Sementara itu, internet Asperger Syndrome mencerminkan bagaimana keribadian individu berubah drastis ketika berinteraksi di dunia maya. Misalnya kehilangan empati dan kesadaran sosial jika sudah memposting sesuatu di media sosal tanpa tidak menyadari bahwa konten yang dibuat dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain di dunia nyata.

FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi faktor utama yang dituding menjadi penggerak banyaknya konten bermasalah. Banyak individu merasa tertekan jika tertinggal dan kehilangan momentum, sehingga terdorong terus membuat beragam konten agar tetap eksis.

Semua atau salah satu faktor di atas berkontribusi meningkatkan kecenderungan individu untuk mengorbankan etika demi mendapatkan validasi sosial dalam bentuk likes, komentar, atau jumlah pengikut, tak jarang diikuti dengan tindakan “mengemis online” untuk mengejar keuntungan instan.

Literasi Digital sebagai Penyeimbang
Untuk mengimbangi fenomena ini, penting bagi pengguna teknologi untuk meningkatkan literasi digital. Pemahaman tentang cara kerja media sosial, bagaimana algoritma mempengaruhi perilaku pengguna, serta dampak psikologis dari konsumsi media digital harus menjadi bagian dari pendidikan sejak dini.

Kesadaran akan etika digital harus dikampanyekan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang eksploitasi demi popularitas, tetapi juga tempat untuk berbagi informasi yang bermanfaat, menginspirasi, dan membangun komunitas yang lebih sehat secara mental dan sosial.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang terjebak dalam ilusi dunia maya dari konten yang tidak berfaedah, di mana nilai dan moral terabaikan demi sensasi sesaat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.



Categories
Politik

Bagaimana Pilpres 2024 akan Membingkai Ulang Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia?

Dua pekan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kontestasi tiga calon presiden – Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto dalam meraih simpati rakyat kian ketat. Sepanjang masa kampanye, salah satu aspek yang mengundang perhatian publik adalah bagaimana ketiganya memandang dan menyusun arah kebijakan luar negeri ketika terpilih nanti.

Seiring dengan akan berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pertanyaan mengenai politik luar negeri kian menguat, terutama apakah penerusnya akan melanjutkan atau mengubah pola hubungan Indonesia dengan Cina, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara tetangga.

Melanjutkan tradisi sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, Jokowi telah menerapkan politik luar negeri “bebas aktif”, sebagai landasan kebijakan nonblok yang aktif memberikan kontribusi perdamaian dan diinisiasi pertama kali tahun 1948 oleh wakil presiden pertama, Mohamad Hatta. Pada 2022, Jokowi sempat berupaya menempatkan peran Indonesia sebagai perantara perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi mengunjungi kedua negara dan mengundang Ukraina untuk menghadiri KTT G20 di Bali. Pada tingkat ASEAN, di bawah kepemimpinan Indonesia tahun ini terlihat tampak berupaya menciptakan sikap netral dalam menyikapi hubungan antara AS dan Cina dengan tujuan mencegah timbulnya potensi konflik dan menjaga stabilitas kawasan.

Sejauh ini, tiga calon presiden (capres) yang berkompetisi pada Pemilu 2024 menyatakan akan mempertahankan tradisi kebijakan luar negeri Indonesia “bebas aktif”. Pertanyaannya, adakah perbedaan implementasi “bebas aktif” di antara ketiganya?

Anies: mengakhiri pragmatisme

Anies menguraikan platform kebijakan politik luar negerinya dengan mengkritisi pendekatan pemerintah saat ini dalam mengelola hubungan luar negeri yang menurutnya “pragmatis dan transaksional”.

Kritik ini muncul karena sejak Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, pendekatan kebijakan luar negeri yang berkhidmat terhadap multilateralisme tidak lagi dilanjutkan. Sebab, pendekatan tersebut diyakini hanya memberikan sedikit manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia.

Hal inilah yang menjadi faktor mengapa Jokowi tidak menghadiri sejumlah forum tingkat tinggi dan hanya fokus melantangkan diplomasi ekonomi serta memperbaiki hubungan bilateral dengan sejumlah negara tertentu. Diyakini, pendekatan ini lebih banyak memberi manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Berbeda dengan pendekatan pragmatis Jokowi, Anies ingin mengembalikan Indonesia ke tingkat global dengan mengambil lebih banyak peran kepemimpinan dalam mengatasi isu-isu internasional. Kebijakan luar negerinya akan fokus pada peningkatan peran dan partisipasi Indonesia untuk urusan internasional dan dalam tatanan global.

Sebagai contoh, Anies mendambakan Indonesia berperan menjadi pemimpin garda depan di ASEAN untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik dan, dalam jangka panjang, menjadikan ASEAN sebagai pusat dialog antarnegara besar.

Prabowo: menjadi tetangga yang baik

Prabowo memaparkan platform kebijakan luar negerinya dengan janji untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif dan di saat yang sama memperkuat kebijakan pertahanan negara.

Arah kebijakan luar negeri ini sudah bisa diprediksi dari awal, mengingat latar belakang militer Prabowo dan posisinya saat ini sebagai menteri pertahanan.

Meski demikian, serupa dengan Anies, pendekatan Prabowo juga berfokus pada peran Indonesia dalam stabilitas kawasan. Ia ingin Indonesia menjadi “tetangga yang baik” dan menjaga hubungan yang stabil dengan negara tetangga di Asia Tenggara.

Kemungkinan, Prabowo juga akan melanjutkan pendekatan luar negeri yang dilakukan Jokowi, yaitu enggan untuk berpihak di tengah persaingan negara adidaya.

Yang menarik, Prabowo menekankan bagaimana Indonesia harus menghormati AS bersama sekutunya, serta Cina. Ia juga menekankan bahwa India dan Rusia juga merupakan mitra penting bagi Indonesia, sebagaimana juga negara-negara Afrika yang memiliki kesamaan pengalaman kolonialisme masa lalu.

Prabowo menjadi satu-satunya capres yang dengan terbuka membahas pentingnya Indonesia menjadi tetangga yang baik. Di bawah kepemimpinannya jika terpilih nanti, ia hendak menunjukkan bahwa kehadiran Indonesia di kawasan tidak akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara sekitar.

Ganjar: memaknai kembali ‘bebas aktif’

Platform kebijakan luar negeri Ganjar fokus pada empat isu penting global: kemunduran demokrasi, ketidakadilan global, kemerosotan ekonomi, dan konflik di kawasan.

Secara khusus, Ganjar menekankan pada eskalasi ketegangan di Asia, yang ditunjukkan dengan memburuknya hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Taiwan, serta masih berlangsungnya sengketa Laut Cina Selatan (LCS).

Ganjar juga berkomitmen mempertahankan politik luar negeri “bebas dan aktif” dengan sedikit pemaknaan ulang agar lebih efektif dan selaras dengan situasi geopolitik saat ini. Pemaknaan ulang ini termasuk merumuskan strategi agar Indonesia dapat lebih proaktif –bukan pasif responsif – dalam urusan internasional.

Platform kebijakan luar negeri masing-masing kandidat memberikan gambaran sekilas mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan. Kebijakan luar negeri yang “bebas aktif” kemungkinan besar akan tetap berlaku, apapun hasil pemilu mendatang. Meski, di tengah persamaan tersebut, masing-masing calon juga menekankan prioritas tertentu yang menjadi pembeda satu sama lain.

 

Tulisan ini sudah dimuat di The Conversation pada tanggal 2 Februari 2024

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Politik

Matinya Desentralisasi

Kita pernah mencoba dalam waktu yang sangat panjang mengelola hubungan pusat dan daerah dengan prinsip sentralisasi yang hasilnya ketimpangan dan ketidakadilan.

Apa yang terjadi belakangan ini mengenyak kesadaran tentang masa depan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia. Diawali dengan retret semua kepala daerah terpilih di markas Akademi Militer Magelang. Presiden, melalui Menteri Dalam Negeri, mewajibkan semua kepala daerah untuk mengikuti retret. Wajib dalam frasa hukum mengandung makna sanksi bagi siapa saja yang tidak mengikutinya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

Dilanjutkan dengan pernyataan Mendagri bahwa ”Presiden adalah pimpinan eksekutif tertinggi sehingga kepala daerah adalah bawahannya yang harus tunduk pada kehendak Presiden”. Realitas dan pernyataan pemerintah pusat di atas menandai tonggak awal masa depan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia yaitu kelam!

Bangunan otonomi daerah

Hingga tahun 2014, isu otonomi daerah adalah isu yang menarik dibicarakan. Kita sedang mencari dengan serius tentang bagaimana kewenangan serta kekuasaan pusat dan daerah akan ditata, dikelola, dan dibangun.

Jika ditarik ke belakang, salah satu isu besar reformasi dan amendemen UUD 1945 adalah penataan hubungan pusat dan daerah, yang disulut oleh realitas ketidakadilan hingga ketimpangan pusat dan daerah. Solusi yang ditawarkan adalah memberikan kewenangan kepada derah untuk mengurus urusannya dengan mandiri dan otonom, inilah yang dimaknai dengan asas desentralisasi sebagai lawan dari sentralisasi.

Lihatlah bagaimana pengaturan hubungan pusat dan daerah dalam konstitusi pasca-amendemen. Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD N RI Tahun 1945 berbunyi, ”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan” serta ”Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas­-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang­undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.

Prinsip otonomi seluas-luasnya, menurut Bagir Manan, adalah prinsip dengan pemerintah daerah menjalankan kewenangan residu, artinya seluruh kewenangan pada dasarnya adalah milik pemerintah daerah, kecuali yang ditentukan menjadi urusan/kewenangan pemerintah pusat.

Tentang bagaimana sumber daya dikelola, Pasal 18A menyatakan, ”Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang­-undang.”

Senja kala otonomi daerah

Sayangnya, apa yang dirumuskan dan diangankan dalam konstitusi pasca-amendemen hari ini jauh panggang dari api. Dalam catatan penulis, isu mengenai otonomi daerah mulai ditinggalkan dan dilupakan dari diskusi publik adalah sejak 2014, masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Arah kebijakan pemerintahan ketika itu adalah menarik kembali kewenangan yang sebelumnya diberikan kepada pemerintah daerah. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah mantra yang manjur untuk menarik kembali berbagai kewenangan itu hingga tidak ada yang tersisa bagi daerah.

Belakangan, munculnya UU Cipta Kerja membabat habis kewenangan daerah, hanya menyisakan apa yang diberikan oleh pemerintah pusat saja, yang itu sangatlah sedikit. Logika stabilitas politik, peningkatan ekonomi, dan pembangunan adalah yang selama ini digaungkan. Otonomi daerah dianggap menjadi momok bagi kebijakan pemerintah pusat sehingga harus dihapuskan.

Masa awal pemerintahan Prabowo sudah menunjukkan ketidakberpihakan terhadap otonomi daerah. Menempatkan militer dan polisi aktif menduduki jabatan publik, pada dasarnya bertolak belakang dengan prinsip otonomi daerah karena logika otonomi daerah adalah kemandirian dan kebebasan. Berbeda dengan logika militer yang justru mengedepankan satu komando dan hierarki.

Lalu, retret yang dijalani oleh semua kepala daerah di Magelang juga patut dibaca sebagai kondisi prinsip otonomi daerah semakin lemah. Pemerintah pusat ingin agar daerah menggunakan cara kerja militer, yang meniadakan kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengurus urusan berdasarkan prinsip otonomi.

Ini diperburuk dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, yang secara khusus membidangi otonomi daerah, bahwa Kepala Daerah adalah bawahan Presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi. Pernyataan ini bukan saja ahistoris, tetapi juga lemah argumentasi konstitusional.

Presiden dan Kepala Daerah adalah sama-sama pimpinan eksekutif, keduanya memiliki legitimasi yang sama karena dipilih langsung oleh rakyat, bedanya terletak pada level teritori atau cakupan wilayahnya saja. Keduanya juga menjalankan kewenangan berdasarkan atribusi UU sehingga tidak ada yang lebih rendah dari yang lain. Begitulah logika hubungan pusat dan daerah jika dibaca dengan cermat dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD N RI Tahun 1945.

Ada dua hal yang harus dipertimbangkan kembali oleh Presiden Prabowo dalam melihat hubungan pusat dan daerah yang hari ini eksis. Pertama, UUD NRI Tahun 1945 menghendaki agar daerah memiliki otonomi yang luas dengan prinsip kemandirian dan kebebasan. Sebagai presiden yang disumpah untuk menaati konstitusi, Presiden Prabowo tahu persis bagaimana menempatkan UUD.

Kedua, kita pernah mencoba dalam waktu yang sangat panjang, Orde Lama dan Orde Baru, mengelola hubungan pusat dan daerah dengan prinsip sentralisasi seperti saat ini, tapi yang dihasilkan adalah ketimpangan dan ketidakadilan. Bahkan, berujung pada gerakan separatisme beberapa daerah karena menuntut keadilan. Artinya, cara itu selalu menemui jalan buntu, maka tidak selayaknya dilanjutkan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 29 April 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

Categories
Pendidikan

Pimnas Menjaring Talenta Muda

Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) Ke-37 tahun ini dihelat di Kampus Universitas Airlangga (Unair) pada 14-19 Oktober 2024. Pimnas merupakan tahap terakhir kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

 Pimnas diselenggarakan Balai Pengembangan Talenta Indonesia (BPTI), Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendik- budristek). Tahun ini Pimnas mengambil tajuk “Berkompetisi Mengasah Kreativitas Mahasiswa Indonesia Bertalenta Menjadi Pribadi yang Solutif, Inovatif, dan Produktif. 

Pimnas bertujuan, antara lain, menjadi media dan sarana komunikasi mahasiswa seluruh Indonesia; membuka peluang bagi pengembangan potensi mahasiswa dalam kegiatan ilmiah; mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; serta meningkatkan posisi tawar mahasiswa di dunia kerja atau masyarakat. Pimnas juga menjadi sarana penelusuran talenta mahasiswa.

Ada sembilan bidang PKM yang dikompetisikan. Yaitu, PKM riset sosial humaniora (PKM-RSH), riset eksakta (PKM-RE), pengabdian kepada masyarakat (PKM-PM), penerapan teknologi (PKM- PI), PKM kewirausahaan (PKM-K), karsa cipta (PKM- KC), karya inovatif (PKM-KI), video gagasan konstruktif (PKM-VGK), dan gagasan futuristik tertulis (PKM-GFT). 

PKM-RSH meliputi riset yang mengungkap hubungan sebab akibat, penelitian deskriptif tentang perilaku sosial, ekonomi, pendidikan, seni, dan budaya masyarakat. PKM-RE meliputi riset hubungan sebab-akibat, aksi reaksi, rancang bangun, eksplorasi, materi alternatif, desain produk atraktif, blueprint dan sejenisnya, atau identifikasi senyawa kimia aktif.

PKM-PM bertujuan menumbuhkan empati mahasiswa kepada persoalan yang dihadapi masyarakat melalui penerapan iptek yang tidak berorientasi pada profit. PKM-PI bertujuan membuka wa- wasan iptek mahasiswa terhadap persoalan dunia usaha atau masyarakat yang berorientasi pada profit.

Kemudian, PKM-K bertujuan menumbuhkan pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam menghasilkan komoditas unik serta merintis kewirausahaan yang berorientasi pada profit. PKM- KC bertujuan membentuk kemampuan mahasiswa mengkreasikan sesuatu yang baru dan fungsional atas dasar karsa dan nalar. Berikutnya, PKM-KI bertujuan menumbuhkan kepekaan mahasiswa terhadap problematika faktual di masyarakat atau dunia usaha. Sekaligus mengasah kreativitas mahasiswa untuk menghasilkan karya fungsional inovatif yang solutif berbasis iptek.

PKM-VGK bertujuan memotivasi mahasiswa dalam mengelola imajinasi, persepsi dan nalar, memikirkan tata kelola yang konstruktif sebagai upaya mencapai tujuan SDGs di Indonesia. PKM-GFT bertujuan meningkatkan daya imajinasi mahasiswa dalam merespons tantangan zaman. Umumnya berupa konsep perubahan atau pengembangan berbagai aspek berbangsa, bersifat futuristis, jangka panjang, tetapi berpotensi untuk direalisasikan

Pimnas Ke-37 Unair ini terbagi atas 25 kelas dengan sebaran PKM-RSH (4 kelas), PKM-PSH (6), PKM-PM (4), PKM-PI (1), PKM-K (4), PKM- KC (3), PKM-KI (1), PKM-VGK (1), dan PKM-GFT (1). Jumlah proposal PKM 2024 dari PT dikti mencapai 37.891 proposal. Yang memperoleh pendanaan hanya 3.520 proposal. Sementara dari PT vokasi ada 3.552 proposal dan yang didanai hanya 401 proposal. 

Setelah melalui seleksi ketat dari proposal yang didanai, akhirnya hanya 525 tim yang lolos ke Pimnas Ke-37. Mereka berasal dari 118 PT. Mahasiswa yang terlibat tercatat 2.411 orang dan 525 dosen pendamping. 

Pimnas bertujuan mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Juga sarana penelusuran talenta mahasiswa.

Penghargaan setara emas diberikan setiap kelas kepada satu kelompok terbaik yang memperoleh nilai total tertinggi. Perak diberikan kepada satu kelompok terbaik kedua dengan nilai total tertinggi kedua. Perunggu diberikan kepada satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

Di samping penghargaan setara emas, perak, dan perunggu, di setiap kelas diberikan penghargaan terfavorit kepada kelompok selain penerima emas, perak, dan perunggu dengan kriteria tertentu. Penghargaan lain berupa mahasiswa bertalenta yang diberikan kepada individu kreatif yang memiliki bakat atau keahlian khusus.

Selain penilaian dalam kelas, ada penilaian poster. Poster adalah alat atau media transfer informasi berupa teks dan gambar. Media itu dianggap efisien dan efektif dalam menyampaikan informasi. Penghargaan setara emas untuk setiap kelas poster diberikan kepada satu kelompok terbaik dengan nilai tertinggi, perak untuk satu kelompok terbaik kedua dengan nilai tertinggi kedua,. dan perunggu untuk satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

PKM-VGK bertujuan memotivasi mahasiswa dalam mengelola imajinasi, persepsi dan nalar, memikirkan tata kelola yang konstruktif sebagai upaya mencapai tujuan SDGs di Indonesia. PKM-GFT bertujuan meningkatkan daya imajinasi mahasiswa dalam merespons tantangan zaman. Umumnya berupa konsep perubahan atau pengembangan berbagai aspek berbangsa, bersifat futuristis, jangka panjang, tetapi berpotensi untuk direalisasikan.

Di samping penghargaan setara emas, perak, dan perunggu, di setiap kelas diberikan penghargaan terfavorit kepada kelompok selain penerima emas, perak, dan perunggu dengan kriteria tertentu. Penghargaan lain berupa mahasiswa bertalenta yang diberikan kepada individu kreatif yang memiliki bakat atau keahlian khusus.

Selain penilaian dalam kelas, ada penilaian poster. Poster adalah alat atau media transfer informasi berupa teks dan gambar. Media itu dianggap efisien dan efektif dalam menyampaikan informasi. Penghargaan setara emas untuk setiap kelas poster diberikan kepada satu kelompok terbaik dengan nilai tertinggi, perak untuk satu kelompok terbaik kedua dengan nilai tertinggi kedua, dan perunggu untuk satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

Jumlah juri yang terlibat sebanyak 77 juri. Mereka adalah pakar yang terdiri atas dosen, peneliti, dan praktisi yang memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian dan evaluasi secara adil, cerdas, transparan, patuh pada etika penjurian, serta bertanggung jawab atas penilaiannya danpaham PKM. Juara umum perguruan tinggi ditetapkan berdasar angka tertinggi nilai Pimnas.

Perolehan medali setara emas, perak, dan perunggu untuk presentasi diberi bobot 80 persen, sedangkan poster 20 persen. Setiap perolehan emas diberi skor 3, perak 2, dan perunggu 1. Juara umum berhak atas piala bergilir Adhikarta Kertawidya dari Kemendikbudristek. Pimnas Ke-37 diharapkan bisa menjaring talenta muda dengan pribadi solutif, inovatif, dan produktif. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 14 Oktober 2024

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics

 

Categories
Politik

Setelah ‘Presidential Threshold’

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024 patut masuk dalam deretan Landmark Decision Pengadilan Indonesia. Setelah setidaknya melalui 33 kali proses judicial review, ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold dikabulkan dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Selama ini, MK selalu mentok dengan klausa bahwa presidential threshold adalah konstitusional dan merupakan open legal policy pembentuk undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR.

Satu pertimbangan yang patut kita apresiasi bersama adalah MK menyatakan bahwa presidential threshold sekalipun adalah open legal policy, namun harus dikesampingkan demi melindungi kedaulatan rakyat dan hak pilih. Tentu saja, perlindungan atas hak pilih warga negara, sebagai instrumen penting hak asasi manusia, harus diutamakan dari pada aspek open legal policy. Artinya, memilih dan mengusulkan calon presiden adalah hak warga negara yang harus dilindungi dan diutamakan, jika hak itu terhalang oleh ketentuan presidential threshold 20% suara parlemen, maka sejatinya memang ketentuan presidential threshold itu yang harus dibatalkan. Konstitusi memang tidak menentukan dan mengatur mengenai presidential threshold, namun pengaturan 20% yang ada di UU Pemilu, jelas mengenyampingkan hak pilih dan melanggar prinsip demokrasi itu sendiri.

Tantangan ke Depan

Pasca Putusan MK Nomor 62/PUU- XXII/2024, muncul berbagai macam isu, terutama isu ipembangkangan konstitusionalî DPR dan pemerintah sebagai lembaga pembentuk undang-undang. Ada skenario yang beredar bahwa DPR dan Pemerintah akan mengenyampingkan Putusan MK dalam UU Pemilu terbaru, artinya akan tetap mengakomodir eksistensi presidential threshold. Tentu kita berharap, wacana ini tidak akan pernah ditempuh oleh DPR dan pemerintah, karena selain akan memunculkan gejolak penolakan masyarakat sipil dimana-mana, wacana ini juga akan semakin menjauhkan DPR sebagai wakil rakyat dengan rakyatnya sendiri karena perbedaan kehendak. Selain itu, jalan ini hampir dipastikan akan sia-sia karena UU baru yang disahkan nanti akan dibawa kembali MK untuk dibatalkan. Dengan logika yang sama, ketentuan presidential threshold juga akan dibatalkan kembali oleh MK.

Di luar itu, ada dua tantangan lain di depan yang patut menjadi pemikiran bersama pasca Putusan MK ini. Pertama, jika MK membatalkan ketentuan presidential threshold, yang artinya semua partai politik dapat mengusung dan mengusulkan calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam pemilu, maka partai politik mana yang berhak untuk mencalonkan pa- sangan Presiden dan Wakil Presiden tersebut? Apakah semua partai peserta pemilu? Artinya partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Atau kah hanya partai politik yang lolos parlement threshold saja yang dapat mengusung calon? Jika pilihan kedua yang diambil, pertanyaan berikutnya adalah kapan periode parlement threshold dihitung? Karena tidak mungkin pada periode yang sama, mengingat pemilu presiden dan DPR diselenggarakan secara bersamaan. Jika menggunakan standar parlement threshold pemilu sebelumnya, apakah mencerminkan keadilan bagi partai baru pasca putusan MK nantinya?

Kedua, dihapuskannya presidential threshold atas dasar pertimbangan perlindungan demokrasi, hak pilih, dan kedaulatan rakyat, maka memantik pula wacana agar juga menghapuskan parlement threshold. Artinya, semua partai politik yang dinyatakan oleh KPU lolos verifikasi dan menjadi peserta pemilu, sepanjang calon anggota DPR-nya mendapatkan suara terbanyak, maka dapat memiliki wakil di parlemen. Selain itu, skema ini akan relevan dengan penghapusan presidential threshold yang sebelumnya sudah dilakukan. Secara teknis, parlement threshold juga tidak dibutuhkan karena persyaratan menjadi peserta pemilu, sebagaimana akan diverifikasi oleh KPU sangatlah berat, jadi cukup itu saja yang dibenahi dan menjadi pintu seleksi partai politik untuk memiliki wakil di parlemen. Sedang secara filosofis, adalah tidak fair jika ada seorang calon dari partai politik yang mendapatkan suara terbanyak di wilayah tertentu, namun gagal menjadi anggota DPR dan suaranya hangus karena partai politiknya tidak lolos parlementer threshold. Situasi ini unfair bukan saja bagi calon dan partai politik, namun juga bagi rakyat yang sudah memilihnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 10 Januari 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah. 

 

Categories
Politik

In Indonesia, Albanese has a Chance to Reset a Relationship Held Back by Anxiety and Misperceptions

Prime Minister Anthony Albanese has wasted little time taking his first overseas trip since Labor won a historic victory in Australia’s federal election. He’ll head to Indonesia today to meet the country’s new president, Prabowo Subianto.

With both nations entering new political chapters, the visit carries symbolic weight. But it will also have practical importance.

Despite the two nations’ proximity and strengths, the relationship has often been held back by outdated perceptions and strategic hesitation. This is a timely opportunity to reset the relationship.

Prabowo’s emerging foreign policy

Prabowo succeeded outgoing President Joko “Jokowi” Widodo in October after a decade of his infrastructure-driven and globally engaged leadership.

Prabowo, a former army general and defence minister, had projected a populist and nationalist image during his 2024 election campaign. He frequently emphasised Indonesia’s food self-sufficiency, military strength and national sovereignty.

Since taking office, however, he has moderated his tone. While seen by some in the West as assertive, he has signalled a willingness to strengthen bilateral defence ties with Australia. He also has an interest in modernising Indonesia’s military and engaging more transparently with partners.

Still, questions remain about how he will shape Indonesia’s foreign policy. This includes whether he will maintain Jokowi’s emphasis on multilateralism and economic diplomacy. Both are key to the tone and outcomes of Albanese’s visit.

Prabowo’s leadership style is nuanced. Despite his polarising image, Indonesia’s foreign policy is still shaped by pragmatism and non-alignment. As such, Prabowo will likely focus on balancing relations with China, the United States and Russia, while protecting Indonesia’s sovereignty.

Indonesia’s decision to join BRICS, the economic group that includes both China and Russia, for example, should be seen as a diplomatic hedge, not a new geopolitical alignment.

Other recent decisions, such as providing aid to Fiji, suggest an increasingly outward-facing regional posture.

Albanese should offer Prabowo credible alternatives to Russian and Chinese engagement through trade, technology and education exchanges, rather than reacting to Jakarta’s moves with suspicion.

Opportunities for cooperation

In his election campaign, Albanese reaffirmed his government’s commitment to working closely with Southeast Asia. He also promised a foreign policy grounded in diplomacy, climate cooperation and economic diversification.

This provides a strong incentive for both leaders to deepen ties. For Australia, deepening ties with Indonesia supports its Indo-Pacific strategy. The goal: promoting a stable and inclusive regional order, particularly amid concerns over growing strategic competition between the US and China.

For Indonesia, Australia offers investment, education partnerships, and critical expertise in clean energy and innovation.

A free-trade agreement signed in 2019 provides a platform for deeper integration and less competition in certain industries.

For example, there are huge opportunities to collaborate in clean energy, particularly after the neighbours signed a climate partnership last year. The agreement will secure supplies of lithium for Indonesia’s EV battery production, while Australia will gain more export markets for its critical minerals.

People-to-people ties are also vital, while education remains a longstanding pillar of the bilateral relationship.

Both countries face skills shortages in key sectors. Indonesia needs skilled workers in health care, clean technology and digital literacy. Australia has shortages in critical infrastructure, aged care and engineering.

There are good opportunities here for student exchanges, joint employment training programs and other vocational collaborations.

New Australian university campuses in Indonesia are a positive step, but they remain commercially focused and concentrated in elite, urban areas. With over 4,000 universities across the archipelago, these partnerships could go much further.

Where tensions might arise

The relationship is not without friction. Australia’s involvement in the AUKUS agreement, and its close alignment with the United States and United Kingdom, has raised concerns for Indonesia, which has long championed non-alignment.

Jakarta has voiced unease over the perceived risks of nuclear submarine proliferation in the region.

Albanese’s visit is a key opportunity to clarify that AUKUS involves nuclear-powered — not nuclear-armed — submarines. He should also reinforce Australia’s commitment to transparency over the deal. This is essential to avoiding misunderstandings and building trust.

A more recent flashpoint is speculation around a possible Russian military presence in Indonesia — a claim the Indonesian government has firmly denied.

Indonesia’s response exemplifies its longstanding commitment to strategic autonomy. However, the whole ordeal reveals the complexity of Jakarta’s foreign relations, which often involve balancing ties with competing powers.

For Australia, acknowledging Indonesia’s independent foreign policy — rather than interpreting it through a great-power rivalry lens — is critical to sustaining mutual trust.

A chance to re-anchor the relationship

This moment offers both governments the chance to move beyond symbolic gestures toward a deeper, more inclusive and people-centred partnership.

Amid global fragmentation, trust is not just desirable — it’s essential. And while differences remain, they are not insurmountable when guided by mutual respect, strategic patience and a commitment to genuine cooperation.

For Australia, the challenge is to move past strategic anxiety and invest in a resilient, multidimensional relationship with Indonesia. This visit could be the first step in doing just that.

 

The article was published in  The Conversation Indonesia on May 14, 2025.

Hangga Fathana
A lecturer in the Department of International Relations at the Indonesian Islamic University (UII), specializing in research on Australia studies, global political economy, trade politics, and the dynamics of capitalist development.

Categories
Sosial Budaya

‘Superheroes Never Die’, tapi Peminatnya Menurun di Kalangan Kaum Muda. Mengapa?

 

  • Popularitas film superhero menurun akibat kejenuhan pasar dan narasi yang berulang-ulang
  • Generasi muda semakin kritis terhadap nilai dan representasi dalam film sehingga mudah resisten.
  • Mendengarkan umpan balik penonton penting untuk menjaga keberhasilan film.

Dulu, menonton film superhero itu ibarat “ritual” suci yang dinanti-nanti. Banyak orang, terutama kaum muda, rela antre, berburu tiket jauh-jauh hari, bahkan sampai puasa media sosial demi menghindari spoiler. Tapi sekarang, era kejayaan pahlawan super itu sepertinya mulai redup.

Genre film yang satu dekade terakhir merajai industri perfilman dunia dengan jutaan penonton dan pendapatan miliaran dolar ini belakangan menunjukkan tanda-tanda penurunan.

Beberapa film terbaru gagal memenuhi ekspektasi box office dan menuai banyak kritik. Bahkan, para kritikus dan komunitas pecinta film terus memberi rating rendah untuk film-film bertema pahlawan super yang baru dirilis. 

Mengapa peminat film superhero menurun?

Sejak kesuksesan besar Avengers: Endgame pada 2019, studio-studio besar seperti Marvel dan DC terus memproduksi film dan serial superhero dalam jumlah besar. Hingga awal 2025, setidaknya sudah ada 35 judul film superhero dari Marvel Cinematic Universe dan 15 judul dari DC Extended Universe.

Tingginya frekuensi perilisan ini membuat banyak penonton merasa lelah dan bosan karena formula cerita yang terkesan diulang-ulang, dengan plot dan karakter yang tidak jauh berbeda.

Situasi ini juga tidak terlepas dari meningkatnya kesadaran kritis di kalangan kaum muda yang dekat dengan budaya boikot dan cancel culture.

Generasi muda saat ini tidak sekadar menonton, tapi mereka juga memperhatikan nilai-nilai yang diusung sebuah karya. Ini termasuk siapa yang terlibat di balik layar dan bagaimana representasi kelompok sosial tertentu ditampilkan.

Bila dianggap tidak sejalan dengan nilai keadilan sosial, inklusivitas, dan perdamaian, mereka cenderung menolak atau bahkan mengajak orang lain memboikot. Salah satu contohnya adalah seruan boikot terhadap Captain America: Brave New World  (2025) yang dianggap mendukung normalisasi agresi Israel di tengah konflik Israel-Palestina.

Tak hanya aksi, tapi juga narasi

Banyak kaum muda kini menganggap film-film superhero sebagai produk kapitalisme yang mengulang narasi “heroik” dari sudut pandang dominan laki-laki kulit putih dan menyuarakan pesan-pesan usang yang tak lagi relevan. Alih-alih menginspirasi, karakter superhero kini tak ubahnya simbol korporasi yang jauh dari semangat perlawanan atau keadilan sosial.

Penonton film superhero saat ini tidak lagi hanya puas dengan adegan laga dan efek visual khusus yang memukau, tetapi juga menginginkan narasi yang mendalam dan karakter yang menarik. Ketika film superhero gagal memenuhi ekspektasi ini, kekecewaan penonton pun meningkat.

Konsistensi, bukan agenda politik

Faktor lain yang juga semakin disorot dalam penurunan minat film superhero adalah penyisipan agenda politik dan sosial secara berlebihan sehingga film kehilangan daya tarik universal sebagai tontonan keluarga.

Film Lightyear (2022) misalnya, yang ditujukan untuk semua segmentasi usia, dilarang tayang di 14 negara, termasuk Indonesia, karena menampilkan adegan ciuman sesama jenis. Sejumlah penonton mengkritik bagaimana film superhero saat ini lebih berfokus pada agenda representasi LGBTQ+, yang sering kali dianggap sebagai keputusan politis daripada kebutuhan naratif dalam cerita.

Ini misalnya terjadi pada Eternals (2021), yang menghadirkan superhero LGBTIQ+ pertama dalam Marvel Cinematic Universe (MCU). Meskipun film ini menawarkan efek visual yang spektakuler, banyak penonton merasa bahwa pesan sosial yang disisipkan terlalu dipaksakan. Pesan tersebut sulit terhubung dengan cerita utamanya.

Namun, pujian terhadap film ini juga tak kalah banyak. Sang sutradara, Chloe Zao, memperoleh apresiasi atas keberhasilannya menggaungkan isu inklusivitas atau keberagaman, terutama representasi perempuan disabilitas sebagai pahlawan super.

Kontroversi lain muncul dari praktik black-washing atau white-washing. Istilah ini merujuk pada upaya mengubah karakter yang sudah ada dengan ras tertentu demi alasan representasi. Beberapa film superhero mengganti tokoh kulit putih dengan aktor berkulit hitam, atau sebaliknya, tanpa alasan yang kuat dalam cerita. Ini memicu reaksi negatif dari sebagian penonton yang merasa bahwa perubahan ini dilakukan semata-mata demi alasan politik, bukan demi kualitas cerita.

Contohnya adalah reaksi publik terhadap The Little Mermaid versi live-action. Meskipun bukan tentang superhero, film ini menunjukkan bagaimana perubahan besar pada karakter ikonik bisa memicu reaksi keras dari penonton.

Mendengarkan umpan balik

Mendengarkan masukan dari penonton adalah salah satu faktor penting keberhasilan film. Contohnya saat trailer Sonic the Hedgehog (2020) pertama kali dirilis, banyak penggemar yang mengkritik desain karakter Sonic karena dianggap terlalu jauh dari versi aslinya di gim. Pihak studio kemudian melakukan perombakan besar. Hasilnya, film Sonic the Hedgehog sukses di pasaran.

Sebaliknya, ada beberapa adaptasi film yang mengabaikan masukan penggemar dan berujung kegagalan besar. Sebut saja adaptasi live-action dari Dragon Ball Evolution (2009) dan The Last Airbender (2010), yang dibuat dengan pendekatan khas Hollywood tanpa mempertimbangkan esensi cerita dan karakter asli yang sudah dicintai penggemar.

Contoh terbaru terjadi ketika remake Snow White (2025) produksi Disney mencatatkanrating terendah di IMDb: 1,6/10. Kritik tajam datang dari segala arah, bahkan sebelum film dirilis secara luas.

Di sinilah pentingnya studio mendengarkan umpan balik dari penonton dan kritikus. Pemahaman yang mendalam tentang apa yang diinginkan dan diharapkan oleh audiens bisa membantu pengembangan proyek-proyek yang lebih relevan dan menarik, tanpa mengurangi independensi sutradara.

Transparansi studio dalam proses kreatif dan keterlibatan penonton dalam tahap-tahap awal pengembangan bisa membangun kembali kepercayaan dan minat terhadap film superhero.

Penurunan popularitas film superhero bukanlah akhir dari genre ini, melainkan sebuah panggilan untuk inovasi. Dengan adaptasi dan inovasi yang tepat, film superhero bisa kembali merebut hati penonton dan mempertahankan relevansinya dalam lanskap perfilman yang terus berubah.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 26 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop