Categories
Sains Teknologi

Menyalakan Harapan Industri Tekstil

Rabu dini hari, 21 Mei 2025, kebakaran hebat melanda PT Mataram Tunggal Garment (MTG) di Balong, Donoharjo/ Sleman. Api membakar sebagian besar bangunan pabrik dan memaksa sekitar 1.600 karyawan dirumahkan hingga batas waktu yang belum ditentukan. Bagi sebagian besar pekerja, pabrik tersebut adalah sumber penghidupan utama. Kini mereka harus menanggung ketidakpastian, tanpa jaminan kapan bisa kembali bekerja.

Peristiwa ini bukan sekadar musibah teknis, melainkan cerminan rapuhnya industri padat karya kita. Risiko kebakaran seharusnya dapat dicegah atau diminimalkan melalui sistem manajemen keselamatan kerja yang ketat dan terstruktur. Namun pada praktiknya, hal ini agaknya seringkali kurang begitu diperhatikan. Lantas patut timbul pertanyaan: seberapa serius perusahaan-perusahaan kita dalam membangun budaya keselamatan?

Kebakaran MTG juga menunjukkan betapa besar ketergantungan masyarakat terhadap satu pusat ekonomi. Ketika pabrik berhenti beroperasi, roda kehidupan pun ikut tersendat. Sektor informal yang menggantungkan penghasilan dari keberadaan industri ikut terguncang. Hal ini menjadi refleksi bahwa keberlanjutan industri tidak hanya soal keuntungan perusahaan, tetapi juga soal ketahanan sosial komunitas di sekitarnya.

Dalam konteks Yogyakarta dan sekitarnya, industri garmen seperti MTG tidak hanya berkontribusi terhadap ekspor, tetapi juga membuka lapangan kerja yang relatif besar bagi masyarakat lokal. Penyerapan tenaga kerja sebanyak ini menciptakan ketergantungan ekonomi di banyak lapisan sosial. Ketika satu pabrik padam, getarannya bisa dirasakan sampai ke warung makan, pengemudi ojek, hingga rumah tangga karyawan.

Lebih jauh lagi, kasus ini memperlihatkan lemahnya sistem jaminan sosial kita. Ketika terjadi bencana, tidak ada jaring pengaman memadai untuk melindungi pekerja dari dampak ekonomi langsung. Hal ini menjadi peringatan bagi pemerintah dan industri untuk lebih serius membangun sistem perlindungan tenaga kerja yang tangguh dan berkeadilan.

Sementara itu, di Jawa Tengah, dua raksasa tekstil mengalami nasib yang bertolak belakang. PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi tutup pada 1 Maret 2025 setelah diputus pailit oleh pengadilan, dengan utang mencapai sekitar Rp 26,4 triliun. Sedikitnya 10.000 orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Di sisi lain, Duniatex yang sempat mengalami tekanan finansial serupa justru berhasil bangkit setelah merestrukturisasi utangnya, dan kini merekrut lebih dari 5.000 karyawan baru.

Dari kasus MTG, Sritex, dan Duniatex, kita dapat belajar bahwa persoalan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) sangat kompleks. Tidak cukup hanya mengandalkan pasar dan biaya produksi murah, melainkan dibutuhkan pula sistem yang tangguh dalam tata kelola, mitigasi risiko, serta kemampuan beradaptasi dalam kondisi krisis yang cepat berubah. Ketika aspek-aspek ini diabaikan, dampaknya bisa sistemik dan berkepanjangan.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama. Pertama, pentingnya tata kelola perusahaan dan manajemen keuangan yang sehat dan transparan. Kedua, perlunya sistem keselamatan kerja dan perlindungan buruh yang tidak bisa ditawar. Ketiga, pentingnya dorongan inovasi, terutama diversifikasi produk, agar industri tekstil nasional tidak tertinggal dari perkembangan teknologi dan perubahan selera konsumen global. Keempat, dukungan regulasi dari pemerintah yang berpihak pada keberlangsungan industri dan perlindungan pekerja harus diperkuat, bukan hanya di atas kertas, tetapi nyata di lapangan.

Pemerintah daerah dan pusat perlu lebih aktif dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi industri tekstil. Bukan hanya lewat insentif fiskal, tetapi juga pembinaan, regulasi keselamatan, serta pendampingan terhadap pelaku usaha kecil hingga besar. Jangan sampai krisis membesar hanya karena pengawasan yang longgar dan minimnya intervensi.

Kebakaran MTG bisa jadi merupakan peringatan serius. Jika tidak ada perubahan mendasar dalam cara kita memperlakukan industri, mulai dari manajemen risiko sampai perlindungan tenaga kerja, kejadian serupa bisa dan sangat mungkin terulang di tempat lain. Sudah saatnya kita menata ulang industri tekstil tanah air agar lebih tangguh, berkeadilan, dan berkelanjutan. Sebab kalau bukan kita, siapa lagi yang akan menyelamatkan industri ini?

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 23 Mei 2025

Ahmad Satria Budiman
Dosen Program Studi Rekayasa Tekstil UII. Bidang riset pada Cellulose-Based Fibers, Polymer Technology Sustainable Textiles

Categories
Sains Teknologi

Pertalite dan Pertamax

Pertalite dan Pertamax adalah dua jenis bahan bakar yang diproduksi oleh Pertamina, dengan spesifikasi yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan berbagai jenis kendaraan yang menggunakan mesin pembakaran dalam. Standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak jenis bensin Pertalite dan Pertamax ditetapkan oleh pemerintah melalui Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi guna memastikan kualitas bahan bakar yang digunakan oleh kendaraan bermotor di Indonesia.

Latar belakang penetapan standar ini mencakup berbagai aspek teknis yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi, kemampuan produsen, kemampuan dan kebutuhan konsumen, keselamatan dan kesehatan kerja, pengelolaan lingkungan hidup, dan untuk kepastian mutu. Penetapan standar dan mutu bensin Pertalite dan Pertamax didasarkan pada kemajuan teknologi otomotif, perlindungan lingkungan, harmonisasi dengan standar global, serta kebijakan energi nasional. Dengan standar ini, diharapkan kendaraan dapat beroperasi lebih efisien, emisi berkurang, dan kualitas udara meningkat, serta mendukung ketahanan energi nasional.

Beberapa parameter penting yang harus dipenuhi antara lain : Research Octane Number (RON), kandungan senyawa tertentu (belerang, tembaga, oksigen, hidrokarbon aromatik, benzene, dan lain-lain), wama, dan lain-lain. Parameter penting yang menunjukkan kualitas Pertalite dan Pertamax adalah Research Octane Number(RON).

Research Octane Number adalah ukuran kualitas bahan bakar berdasarkan seberapa efektif bahan bakar tersebut dapat mencegah mesin dari mengalami detonasi atau knocking saat digunakan dalam kondisi operasi standar saat digunakan dalam mesin pembakaran dalam. Knocking adalah fenomena tidak terkendalinya pembakaran bahan bakar sebelum percikan api dari busi, yang dapat merusak mesin. RON mengukur kemampuan bahan bakar untuk menahan pembakaran spontan ketika ditekan dalam mesin.

RON diukur melalui uji laboratorium menggunakan mesin standar dengan kondisi operasi yang spesifik. Uji ini dilakukan pada kecepatan mesin rendah, sehingga mencerminkan performa bahan bakar dalam penggunaan sehari-hari. Dalam pengujian ini, bahan bakar yang diuji dibandingkan dengan campuran iso-oktan (yang memiliki nilai RON 100 dan sangat resisten terhadap knocking) dan n-heptane (dengan RON 0 dan mudah meng- alami knocking). Hasilnya menghasilkan angka yang menunjukkan kemampuan bahan bakar tersebut untuk menahan knocking di bawah kondisi yang telah ditentukan.

Pertalite memiliki RON 91. Bahan bakar jenis ini dirancang un- tuk digunakan pada kendaraan dengan rasio kompresi mesin an- tara 9-10:1. Secara visual Pertalite dikenali karena warna hijau te- rang dan jernihnya. Sedangkan jenis Pertamax memiliki RON 95 dan berwarna biru. Pertamax direkomendasikan untuk kendaraan dengan rasio kompresi mesin antara 10:1 hingga 11:1, termasuk kendaraan dengan teknologi Electronic Fuel Injection (EFI).

Angka RON yang lebih tinggi biasanya diperlukan untuk mesin performa tinggi yang dirancang bekerja pada rasio kompresi tinggi, sehingga meningkatkan performa mesin. Angka RON yang lebih tinggi menunjukkan resistansi yang lebih besar dan stabil terhadap knock- ing saat beroperasi di bawah beban berat. Bahan bakar dengan RON rendah lebih mudah terbakar sebelum waktunya dalam mesin berkompresi tinggi, yang bisa menyebabkan knocking.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Analisis Kedaulatan Rakyat pada tanggal 28 Februari 2025

Arif Hidayat
Dosen Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII. Bidang riset pada material dan renewable energy.

Categories
Hukum

Membangun Gaza

Presiden Prabowo kembali memicu perdebatan publik melalui pengumuman kebijakan kemanusiaan yang kontroversial. Dalam kunjungan kenegaraan ke kawasan Timur Tengah belum lama ini (baca KR 12/4), Presiden menyampaikan niat Indonesia untuk merelokasi sekitar 1.000 warga sipil dari Gaza ke wilayah Indonesia. Meskipun langkah ini dikemas sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan dan dukungan terhadap rakyat Palestina, kebijakan tersebut menuai respons beragam dari masyarakat Indonesia, termasuk kritik terhadap implikasi hukum, politik, dan sosial-budaya yang mungkin ditimbulkan.

Ide relokasi sebenarnya bermula dari gagasan Presiden Trump. Pada awal masa pemerintahannya, Trump secara terbuka mendorong relokasi penduduk Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania meskipun keduanya menolak keras gagasan tersebut. Trump menggagas mengubah Gaza menjadi kawasan wisata eksklusif di Timur Tengah atau “Riviera of the Middle East.”

Pelanggaran Hukum
Pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Pasal 49 Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949 melarang dengan tegas pemindahan atau deportasi secara paksa, baik terhadap individu maupun kelompok dari wilayah tempat tinggal mereka.

Meskipun ada pengecualian yang memungkinkan evakuasi jika terjadi ancaman serius terhadap keselamatan warga sipil atau alasan militer yang sangat mendesak, hal ini hanya dibolehkan secara sementara dan dengan syarat warga tersebut harus dipulangkan kembali setelah situasi membaik.

Sejalan dengan itu, Statuta Roma (1998) dalam Pasal 7 ayat (1) juga mengatur bahwa pengusiran atau pemindahan paksa yang dilakukan secara tidak sah dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini bukan sekadar teori. Dalam kasus Milan Martić—seorang tokoh dalam konflik di bekas Yugoslavia—dinyatakan bersalah karena melakukan pemindahan paksa terhadap warga sipil Muslim dan dijatuhi hukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Maka dari itu, jika Indonesia dengan dalih kemanusiaan turut terlibat dalam relokasi warga Gaza yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional, negara ini berisiko terlibat dalam pelanggaran serius terhadap hukum internasional. Bahkan jika situasi di Gaza dianggap sebagai konflik bersenjata internasional, tindakan relokasi permanen juga bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2)(a)(viii) Statuta Roma.

Perkuat Kedaulatan
Indonesia perlu berhati-hati dan cermat dalam merumuskan kebijakan luar negeri, khususnya dalam konteks mendukung perjuangan bangsa Palestina. Dalam situasi yang semakin kompleks dan darurat, Palestina tidak hanya membutuhkan dukungan moral, tetapi juga langkah konkret dari komunitas internasional, termasuk Indonesia, untuk memperkuat kedaulatan dan hak-hak dasarnya sebagai sebuah bangsa.

Tugas diplomasi Indonesia dalam isu Palestina masih jauh dari selesai. Salah satu agenda penting adalah mendorong pengakuan internasional yang lebih luas terhadap Negara Palestina, termasuk mendukung upayanya untuk menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Di sisi lain, pemulihan kondisi internal di wilayah Palestina pasca agresi militer Israel juga menjadi urgensi besar. Indonesia, baik melalui pemerintah maupun masyarakat sipil, telah berkontribusi dalam penggalangan bantuan kemanusiaan. Namun, agar bantuan tersebut tepat sasaran dan berkelanjutan, perlu adanya koordinasi lintas negara dan peran besar organisasi internasional. Dalam hal ini, Indonesia dapat berperan sebagai pemimpin tim internasional untuk menyusun master plan pembangunan kembali Palestina yang mencakup sektor pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan tata kelola pemerintahan.

Yang tak kalah penting, seluruh upaya ini harus dilakukan dengan prinsip bahwa Palestina adalah subjek yang berdaulat, bukan objek belas kasih internasional. Bangsa Palestina membutuhkan dukungan untuk membangun kemandirian dan memperjuangkan hak-haknya secara bermartabat. Sebaliknya, dukungan terhadap ide relokasi yang didorong oleh Amerika Serikat dan sekutunya justru berpotensi memperburuk keadaan, mengingat rekam jejak mereka yang kerap mengabaikan norma dan prinsip hukum internasional.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 13 Mei 2025

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional. 

Categories
Hukum Politik

Potret Dwifungsi TNI yang Diributkan

Ayah saya ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS tidak melaksanakan monoloyalitas. Itulah ingatan tentang politik dwifungsi ABRI yang kini ditakutkan kembali.

Demo-demo karena khawatir atas kembalinya dwifungsi TNI bisa dimaklumi. Namun, banyak pendemo yang ketika ditanya ternyata tidak betul-betul paham, apa arti dwifungsi.

Ayah saya ditahan tentara. Pertama kali muncul bayangan tentang tentara dan dwifungsi di benak saya adalah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971.

Sehabis pemungutan suara tanggal 3 Juli 1971 pada pemilu pertama era Orde Baru itu, ayah saya, Mahmodin, dijemput oleh dua tentara, Pak Syukur dan Pak Gani, dan ditahan di Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Kecamatan Waru (Pamekasan, Madura), tanpa proses hukum. Waktu itu, saya masih kelas I SMTP.

Mengapa ayah dijemput dan ditahan? Ayah saya adalah pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Waru. Saat Pemilu 1971 itu, ayah saya diberi tugas untuk memimpin Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Sanah Laok.

Waktu itu, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan monoloyalitas atau loyalitas tunggal. PNS harus memilih Golongan Karya (Golkar) saat pemilu. Kebijakan monoloyalitas dikawal ketat pelaksanaannya oleh TNI—atau lebih dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—terutama TNI Angkatan Darat (TNI AD).

Di TPS tempat ayah saya ditugaskan, dengan personel KPPS plus Pertahanan Sipil yang berjumlah 12 orang itu, Golkar hanya mendapat tiga dan empat suara untuk DPR Pusat dan DPR Daerah. Selebihnya, hampir semua adalah suara untuk Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Ayah saya dipersalahkan karena dari 12 anggota KPPS saja, yang memilih Golkar hanya tiga orang. Saat akan mulai pencoblosan, ayah saya yang adalah aktivis NU di kecamatan memang berpidato bahwa setiap orang bebas memilih secara rahasia.

”Warga NU, tetap boleh memilih Partai NU,” katanya. Sesaat setelah pulang dari tugas di TPS, ayah saya dijemput dan ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS ia tidak melaksanakan monoloyalitas.

Itulah ingatan mendalam dari apa yang kemudian saya kenal sebagai Politik Dwifungsi ABRI. Tentara ikut campur secara resmi dalam berbagai kegiatan bidang sosial dan politik, termasuk tugas memenangkan agenda kelompok politik tertentu, yakni Golkar.

Awal ide dwifungsi
Sebenarnya ide dasar tentang dwifungsi itu tidaklah jelek. Ide ini didorong oleh tampilnya pemerintahan sipil yang dianggap selfish, selalu gaduh.

Pemerintahan sipil yang saat itu, sudah berlangsung hampir dua dasawarsa dianggap selalu menimbulkan pertikaian, mengancam persatuan, dan tidak kondusif untuk pembangunan. TNI, yang merasa dirinya ikut mendirikan negara, terpanggil tanggung jawabnya untuk menjaga dan menyelamatkan Republik Indonesia.

Ide peran ganda militer mulanya disampaikan oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di Akademi Militer pada tahun 1958, dengan istilah middle way (jalan tengah). Istilah middle way diganti menjadi dwifungsi, dan itu disampaikan oleh Nasution pada tahun 1960 dalam Rapat Pimpinan Polri di Porong.

Idenya, selain fungsi tempur, TNI juga perlu ikut mengadministrasikan negara melalui fungsi-fungsi nontempur dan pembinaan wilayah.

Konsepsi dwifungsi merupakan jalan tengah antara posisi militer di Barat yang tidak ikut-ikut urusan politik dan posisi militer ala Amerika Latin yang mendominasi kehidupan politik.

Dengan dwifungsi, TNI di Indonesia tidak perlu melakukan kudeta untuk membereskan kemelut politik dan pemerintahan karena TNI sudah ikut mengurusi dan mengantisipasi sejak awal agar berjalan baik.

Seiring dengan itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang tadinya berdiri sendiri sejak tahun 1960-an mulai digabungkan dengan TNI dengan sebutan ABRI.

Dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 121 Tahun 1960, Presiden Soekarno meletakkan Departemen Kepolisian/Kepala Polri di bawah Departemen Pertahanan. Selanjutnya, dengan Tap MPRS No II/MPRS/1960 yang dituangkan lagi di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1961, kedudukan Polri secara de jure dan de facto menjadi bagian dari ABRI.

Meskipun semula, melalui pidato tanggal 17 Agustus 1953, Presiden Soekarno tegas meminta TNI tidak ikut dalam politik, sejak akhir tahun 1950-an Bung Karno sudah memasukkan tugas selain perang bagi TNI ke dalam ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsepsi resmi.

Sekurang-kurangnya, ada tujuh produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno terkait tugas TNI dalam jabatan-jabatan sipil. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Organisasi Angkatan Perang, Keppres Nomor 21 Tahun 1959 tentang Peran Militer di Jabatan Sipil, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 1960 tentang Pembentukan Front Nasional.

Selain itu, Tap MPRS No II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, UU Nomor 18 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Tap MPRS No II/MPRS/1962 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN, dan Tap MPR No XIII/MPRS/1965 tentang Kedudukan dan Peran ABRI dalam Negara.

Hegemoni TNI era Orde Baru
Pada era Orde Baru, konsepsi dwifungsi diterapkan secara ketat, masif, dan sewenang-wenang. Kacaunya sistem politik dan ambruknya ekonomi yang diwariskan oleh rezim Orde Lama harus diselesaikan dengan hadirnya stabilitas nasional yang mantap untuk menjamin kelancaran pembangunan.

Untuk itu, ABRI harus memainkan peran utama dalam politik dan pembangunan. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu mengukuhkan adanya jatah kursi (tanpa ikut pemilu) di DPR/MPR bagi ABRI, yang kemudian menjadi fraksi tersendiri di DPR/MPR.

Dengan dwifungsi, TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil di pemerintahan, dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kepala daerah dan jabatan sipil lainnya bisa diduduki oleh anggota ABRI aktif, tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Kendali politik dalam berbagai sektor secara horizontal dan vertikal sepenuhnya ada di tangan Presiden Soeharto yang sekaligus merupakan Panglima Tertinggi ABRI.

Keputusan politik dan pemerintahan ditentukan oleh tiga pilar politik yang disebut ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) yang pucuknya adalah Presiden.

Penyelenggaraan pemilu tidak demokratis, tidak jujur, dan tidak adil. Represi atas lawan politik terjadi seakan hal yang biasa saja. Ketatapemerintahan dibangun secara korporatis dan hegemonik, yang kemudian menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pers dipasung, dibayangi ancaman pembredelan dengan istilah yang dihaluskan. Eks aktivis atau anggota PKI serta keluarganya, dirampas hak perdatanya. Bahkan, banyak mahasiswa ikatan dinas di luar negeri dilarang pulang, hanya karena ”dianggap” simpatisan PKI. Pokoknya, pengebirian atas demokrasi dan pelanggaran HAM terjadi secara masif.

Meskipun begitu, secara fair perlu diakui, pemerintahan Orde Baru berhasil dalam banyak bidang pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 7 persen. Swasembada pangan bertumbuh bagus. Angka partisipasi pendidikan tinggi terus meningkat. Kesejahteraan rakyat terus membaik secara bertahap.

Namun, catatan keberhasilan itu menjadi tak bermakna dan rapuh. Konfigurasi politik yang otoriter, hegemonik, dan tak menghormati hak asasi manusia (HAM) itu rontok, saat terjadi krisis moneter.

Reformasi dan rontoknya dwifungsi
Ketika pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, ketahanan politik pun menjadi rapuh. Rakyat bergerak melakukan perlawanan secara masif, melalui Reformasi 1998.

Salah satu prestasi penting dari Reformasi 1998 adalah penghapusan dwifungsi ABRI dan pemisahan Polri dari TNI. Bidang Sospol ABRI ditiadakan. Anggota TNI dan Polri hanya boleh masuk ke dunia politik dan jabatan sipil tertentu, dengan syarat mengajukan pensiun atau mengundurkan diri dari TNI/Polri.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika dalam kaitan revisi UU TNI sekarang ini, banyak demo sebagai reaksi penolakan. Reaksi besar itu muncul karena trauma atas pengalaman masa lalu, saat dwifungsi dilakukan secara melanggar HAM dan membunuh demokrasi.

Masyarakat takut kalau negara hegemonik yang menggunakan dwifungsi TNI akan muncul kembali.

Proses legislasi yang agak tertutup dalam revisi UU TNI Tahun 2025 memang memancing reaksi keras dari kelompok-kelompok masyarakat, terutama warga kampus dan civil society.

Karena pengalaman sejarah, tidak salah dan patut dimaklumi jika mereka melakukan demo-demo sebagai hak konstitusional. Mereka mencemaskan munculnya kembali dwifungsi. Apalagi di draf awal RUU TNI yang pernah beredar, ada isu bahwa TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil jika Presiden menganggap perlu dan jika di institusi sipil tersebut diperlukan tenaga atau keahlian dari anggota TNI.

Sekarang, tinggal DPR dan pemerintah yang perlu meyakinkan masyarakat bahwa produk final revisi UU TNI itu tetap menutup pintu bagi kembalinya dwifungsi TNI.

Tidak ada ketentuan Pasal 47 yang, katanya, akan membuka kembali politik dwifungsi itu. Tidak ada peluang bagi TNI masuk ke jalur jabatan sipil secara eksesif dan menakutkan seperti di era Orde Baru.

Apalagi pengaturan tentang larangan dwifungsi itu bukan hanya diatur dalam UU TNI, melainkan juga sudah dikunci oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang lain dan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 April 2025

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum

Profesionalisme Hakim Penunda Pemilu

Dalam prinsip konstitusionalisme modern, hakim merupakan aktor yang memiliki peran terhadap fungsi pelayanan umum kepada masyarakat. Independensi yang diperoleh para hakim juga perlu dipertanggungjawabkan ke publik.

Komisi Yudisial (KY) melalui juru bicaranya pada 3 Maret 2023 menyatakan untuk memulai melakukan pendalaman atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst terhadap gugatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima). Upaya ini dilakukan untuk menilai ada tidaknya pelanggaran kode etik dan profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo.

Paling tidak, dalam hal ini KY dihadapkan atas dua tantangan besar. Di satu sisi kerangka kerja KY dalam menilai putusan harus cermat, proporsional, dan terukur karena bisa berpengaruh kepada independensi hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Di sisi lain, KY juga memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin marwah dan kehormatan putusan hakim terhindar dari perilaku unprofessional act.

Profesionalisme
Secara kontroversial, amar putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Silogisme putusan ini memang cukup aneh dan menjadi ”riuh” di kalangan para ahli hukum setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, soal kompetensi absolut PN Jakarta Pusat dalam memeriksa dan mengadili pokok perkara. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah karena keputusannya semestinya menjadi domain Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kedua, jikapun majelis hakim tetap menilai untuk dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum perdata, amar putusannya hanya bisa mengikat penggugat dan tergugat. Dalam konteks penalaran hukum, putusan ini tak dapat berlaku secara umum (orga omnes) sehingga mengikat seluruh elemen masyarakat dan pemerintah serta memengaruhi pelaksanaan pemilu yang telah terjadwal dalam kalender kenegaraan.

Ketiga, penundaan jadwal pelaksanaan pemilu secara periodik dalam konstitusi hanya bisa dilakukan dalam kondisi force majeur, misalnya bencana alam yang dapat mengganggu eksistensi negara dan jalannya pemerintahan.

Dari tiga anotasi di atas, putusan majelis hakim jelas keliru dan di luar dari koridor kompetensi PN Jakarta Pusat. Untuk menganulir putusan tersebut tentu hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum oleh tergugat (KPU) kepada majelis hakim tingkat banding maupun kasasi.

Namun, perlu diberikan penekanan bahwa upaya hukum tingkat banding merupakan hal yang berbeda dengan memeriksa dan mengadili ada tidaknya pelanggaran profesionalisme majelis hakim PN Jakarta Pusat di dalamnya. Upaya hukum banding hanya berpengaruh kepada dua probabilitas. Menguatkan putusan pada tingkat pertama, atau sebaliknya menganulir putusan pada tingkat pertama.

Sementara pendalaman pelanggaran etik dan profesionalisme lebih ditujukan kepada perilaku masing-masing individu hakim mulai dari proses persidangan sampai dengan tahapan pengambilan keputusan di forum rapat permusyawaratan hakim. Dalam memeriksa dugaan pelanggaran etik dan profesionalisme hakim pada putusan PN Jakarta Pusat tersebut, KY dapat melakukan pendalaman pada dua wilayah.

Putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut perlu diasesmen melalui tahapan eksaminasi.

Pertama, pemeriksaan dilakukan atas ada tidaknya tekanan dari pihak luar atau kelompok tertentu dalam pengambilan keputusan majelis hakim PN Jakarta Pusat. Kedua, pemeriksaan dilakukan dengan melihat kesesuaian dasar pertimbangan (ratio decidendi) dan konklusi.

Artinya, putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut perlu diasesmen melalui tahapan eksaminasi, untuk melihat relevansi antara alasan dan konklusinya terhadap asas-asas hukum, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kode etik KY dan Mahkamah Agung (MA) telah menjamin prinsip ini dalam tiga domain pengaturan, yaitu berdisiplin tinggi, berintegritas tinggi, dan profesional.

Independensi
Untuk mengadili profesionalisme hakim dengan menggunakan KY sebagai pengawas eksternal memang tak mudah. Persoalan mendasar itu justru datang dari tingkat kesepahaman antara KY dan MA atas prinsip independensi hakim. Dalam beberapa kasus konkret pelanggaran etik yang didalami oleh KY karena alasan profesionalisme hakim dalam membangun putusan, tak semua bermuara kepada penjatuhan sanksi.

Meskipun kebenaran materil sudah terpenuhi, usul penjatuhan sanksi bisa saja mendapatkan penolakan dari MA. Hal ini terjadi karena kebebasan hakim terhadap keyakinannya selalu dianggap berkorelasi dengan independensinya dalam membangun pertimbangan putusan.

Dalam konteks putusan penundaan pemilu, momentum ini sebenarnya bisa jadi bahan evaluasi untuk kasus-kasus serupa. Contini dan Mohr (2008) menegaskan, independensi tak dapat dilihat secara parsial. Preferensi para hakim dalam membangun pertimbangan hingga putusan tak lagi dapat dimaknai sebagai domain eksklusif yang merepresentasikan independensi hakim.

Dalam prinsip konstitusionalisme modern, hakim merupakan aktor yang memiliki peran terhadap fungsi pelayanan umum kepada masyarakat. Independensi yang diperoleh para hakim juga perlu dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

Dalam hal ini, perilaku unprofessional act bisa saja dijatuhkan kepada hakim yang basis pertimbangannya bertentangan dengan asas hukum dan prinsip-prinsip konstitusi yang berlaku secara universal. Sebab, independensi bukanlah ”privilese”, melainkan prinsip yang juga perlu dipertanggungjawabkan dengan sikap profesional di hadapan publik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 14 Maret 2023

Idul Rishan
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII

Categories
Ekonomi

Inflasi Akhir Tahun

Berdasarkan data historis, setiap akhir tahun terjadi kenaikan inflasi musiman. Kenaikan tersebut disebabkan oleh lonjakan permintaan dari kunjungan wisatawan yang menikmati liburan Natal dan Tahun Baru. Pada tahun 2023, setidaknya 800 ribu wisatawan telah melewatkan liburan akhir tahunnya di DIY. Tahun ini diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 6 persen. Keberadaan wisatawan ini akan mendorong peningkatan permintaan konsumsi secara signifikan sehingga memberikan potensi tekanan inflasi pada akhir tahun.

Inflasi yang tidak terkendali berdampak buruk pada stabilitas harga-harga kebutuhan pokok masyarakat sehingga berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Menjelang periode akhir tahun, inflasi terjaga dengan baik dan masih berada pada rentang inflasi yang ditargetkan oleh Pemda dan Bank Indonesia DIY yaitu 2.5 ± 1%.

Inflasi pada Bulan Oktober 2024 menunjukkan angka yang terkendali yaitu sebesar 0.09% (month to month). Sedangkan inflasi tahunan mencapai 1.57% (year on year) lebih rendah daripada inflasi nasional. Kelompok pengeluaran seperti Perawatan Pribadi dan Jasa Lainya; Makanan, Minuman, dan Tembakau; serta Penyediaan Makanan dan Minuman/Restoran memberikan andil kenaikan inflasi pada bulan tersebut.

Terkendalinya inflasi pada Bulan Oktober diharapkan dapat terus berlangsung sampai periode Natal dan pergantian tahun 2024/2025 mendatang. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) DIY dapat menempuh beberapa langkah kebijakan terutama pengelolaan dari sisi penawaran perekonomian (supply), baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam jangka pendek, pemerintah daerah harus menjamin ketersediaan pasokan bahan-bahan kebutuhan pokok makanan dalam jumlah yang cukup dan aman untuk mengokomodasi lonjakan permintaan wisatawan. Melalui bantuan teknologi informasi, langkah ini dapat ditempuh melalui pemantauan perkembangan neraca pangan dan harga komoditas utama secara reguler, serta koordinasi dan komunikasi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan seperti para pemasok utama dan pemerintah daerah lainnya.

Pengelolaan ekspektasi masyarakat, baik konsumen maupun produsen, terhadap potensi inflasi melalui edukasi dan transparansi informasi terkait dengan perkembangan pasokan dan harga dapat membantu pemerintah dalam mengendalikan inflasi akhir tahun. Pengkondisian jalur-jalur distribusi logistik utama juga sangat penting karena potensi kepadatan lalu lintas yang melonjak tajam dapat mengganggu kelancaran arus distribusi barang sampai pada konsumen akhir.

Dinas Perhubungan memperkirakan setidaknya 400 – 500 ribu kendaraan akan keluar dan masuk ke DIY selama periode musim liburan akhir tahun nanti. Selain itu, potensi curah hujan yang cukup tinggi di akhir tahun juga memiliki resiko tersendiri seperti banjir, tanah longsor dan kegagalan panen. Pemda harus mengantisipasinya dengan meyiapkan skenario mitigasi terhadap gangguan kemacetan maupun resiko bencana alam.

Upaya pengendalian inflasi di DIY masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup besar mengingat upaya pengendalian inflasi selama ini masih fokus pada target-target pengendalian harga dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang pemerintah daerah harus tetap mengupayakan kemandirian pangan dan hilirisasi sektor-sektor pertanian tanaman pangan dan berbagai komoditas turunannya. Disamping dapat mengurangi ketergantungan pada daerah lain dan menjamin ketersediaan bahan-bahan pokok makanan di tingkat lokal daerah, hilirisasi juga dapat menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja baru sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat.

Selain itu kebijakan pengaturan pola musim tanam terutama pada komoditas pertanian tanaman pangan utama harus terus disosialisasikan dan diterapkan untuk menghindari adanya kelebihan persediaan (over supply) yang cenderung merugikan produsen/petani. Sebaliknya kelangkaan (shortage) yang menyebabkan inflasi dan cenderung merugikan konsumen.

Pengelolaan inflasi yang teritegratif baik dalam jangka pendek dan panjang masyarakat berharap momentum lonjakan kedatangan wisatawan di akhir tahun nantinya tidak menimbulkan gejolak inflasi yang merugikan. Tingkat inflasi daerah diharapkan tetap terkendali dan terjaga sehingga tidak hanya melindungi daya beli masyarakat akan tetapi juga memberikan insentif kepada produsen untuk terus berusaha meningkatkan produksinya. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 8 Desember 2024

Rokhedi Priyo Santoso
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII. Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta.

Categories
Politik

Peringatan Hatta dan Fakta Hitler

Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.

Menurut Bung Hatta, jika tidak dikelola dengan benar, kedaulatan rakyat bisa menjadi perkakas untuk memakan rakyat. Dengan kata lain, demokrasi bisa membunuh demokrasi.

Bung Hatta berbicara banyak mengenai demokrasi, antara lain, melalui tulisan-tulisannya di majalah Daulat Ra’jat tahun 1931-1933, seperti dimuat dalam jilid 1 buku Karya Lengkap Bung Hatta (LP3ES, 1998).

Ketika Hatta menulis itu, 1931, Hitler di Jerman masih berjuang untuk meraih kekuasaan melalui proses demokrasi, yaitu memimpin partai dan ikut dalam pemilu. Namun, munculnya Hitler menjadi fakta bahwa yang dinyatakan oleh Bung Hatta itu benar.

Rakyat, jantung demokrasi
Waktu itu Hatta masuk dalam polemik tentang demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia. Pemantiknya adalah kecenderungan umum bahwa jika perjuangan untuk meraih kemerdekaan kelak berhasil, Indonesia harus memakai sistem demokrasi.

Banyak yang setuju dengan ide itu, tetapi ada juga yang tidak setuju. Ada yang setuju asalkan memakai demokrasi asli Indonesia, bukan demokrasi Barat.

Hatta mengatakan, demokrasi asli Indonesia yang diteriakkan itu harus ada penjelasannya, jangan hanya kalimat kosong, words, only words. Begitu juga perlu dijelaskan, mengapa dan sejauh mana demokrasi Barat harus kita tolak.

Bung Hatta kemudian menjelaskan tentang itu. Menurut Hatta, demokrasi sejak dulu sudah ada di berbagai belahan dunia, termasuk di masyarakat Indonesia. Esensinya sama, jantung demokrasi adalah rakyat.

Demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan keinginan dan kehendak rakyat. Meskipun begitu, filosofi dan bangunan (strukturisasi) demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia itu berbeda.

Filosofi demokrasi Barat adalah individualisme yang kemudian melahirkan kapitalisme dan liberalisme serta imperialisme di bidang politik dan ekonomi. Sedangkan filosofi demokrasi asli Indonesia adalah kolektivisme yang berwatak kerja sama dan tolong-menolong melalui usaha bersama untuk kemajuan seluruh rakyat.

Demokrasi asli, kata Hatta, sudah sejak berabad-abad hidup di desa-desa di Indonesia. Namun, demokrasi asli sudah melenceng karena dirusak oleh feodalisme (sifat perbudakan) yang dibangun oleh penguasa-penguasa lokal yang kemudian diperparah oleh hadirnya kaum penjajah. Rakyat kemudian mengalami inferiority complex (rendah diri) dan berkubang dalam keterbelakangan.

Oleh karena jantung demokrasi, di mana pun, adalah sama, yakni rakyat, maka demokrasi Barat ataupun demokrasi asli sama-sama bisa dipakai di Indonesia, tetapi tidak diambil mentah-mentah, harus disesuaikan dengan filosofi kerakyatan dan kebutuhan masa depan Indonesia yang adaptif dengan kemajuan zaman.

Demokrasi di Indonesia tetap harus berdasarkan kolektivisme, tetapi kolektivisme baru. Secara politik demokrasi asli berwatak permufakatan yang berangkat dari desa-desa dan diteruskan secara berjonjong-jonjong sampai ke tingkat nasional melalui pembentukan Dewan Rakyat Indonesia, DPR kalau sekarang.

Secara mendasar pula, demokrasi asli mengandung cita-cita bagi rakyat untuk mendapat hak rapat (berkumpul), protes (termasuk menyatakan pendapat), dan tolong-menolong.

Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat.

Dalam bidang perekonomian filsafat kolektivisme Indonesia mengharuskan ekonomi disusun sebagai usaha bersama untuk kepentingan bersama, tidak lagi dengan pembagian cara dan hasil kerja tradisional melainkan harus diperbarui menjadi produksi koperasi. Hatta memberikan substansi makna yang sama untuk istilah demokrasi, kedaulatan rakyat, dan volkssouvereiniteit.

Dua sisi buruk demokrasi
Selanjutnya, Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.

Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat. Bentuknya, banyak keputusan negara yang merampas hak rakyat dan melanggar hak asasi manusia, tetapi dibuat melalui prosedur dan lembaga formal demokrasi.

Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi. Selain itu, Hatta mengingatkan juga kemungkinan runtuhnya demokrasi karena kebebasan yang berlebihan sehingga menimbulkan anarki di dalam masyarakat.

Hatta mencontohkan runtuhnya demokrasi di Perancis yang melahirkan kebebasan yang berlebihan menyusul Revolusi Perancis 1789 yang gemilang itu. Di sana anarki sehingga muncullah penguasa kuat dan otoriter, yakni Napoleon, yang membentuk Politiestaat (negara kekuasaan). Politiestaat ini kemudian menelan kembali demokrasi dengan alasan mengatasi anarki.

Fakta tentang Hitler
Kisah diktator Hitler, penguasa Jerman, dapat disebut sebagai contoh bahwa demokrasi bisa dipergunakan untuk membunuh demokrasi. Hitler adalah pimpinan Partai Nazi, Partai Pekerja Sosialis Nasional Jerman, tepatnya Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), yang pada 1923 dijatuhi hukuman penjara karena pemberontakan.

Setelah keluar dari penjara (1924), Hitler membawa NSDAP mengikuti pemilu sampai beberapa kali dan berhasil mendapat kursi meski tak signifikan. Dengan menggunakan modal politik NSDAP, Hitler merancang kediktatoran- nya lewat proses demokrasi. Mula-mula Hitler mengajak partai-partai untuk meminta Presiden Jerman Paul Von Hindenburg agar mengangkat dirinya menjadi kanselir (perdana menteri).

Meskipun tidak mudah karena semula Presiden Hindenburg menolak, pada 30 Januari 1933 Hitler berhasil diangkat sebagai kanselir.

Selanjutnya, pada 23 Maret 1933, Hitler berhasil memaksa diberlakukannya Undang-Undang Pemberian Kewenangan yang dengan undang-undang itulah Hitler membangun kediktatoran Nazi yang buas dan kejam hingga 1945. Perampasan hak rakyat dan kejahatan kemanusiaan dengan korban ribuan manusia dilakukan oleh Hitler.

Tak ada yang bisa menandingi kekejaman Hitler dalam kediktatorannya sehingga ia dijuluki sebagai penjahat perang terbesar pada Perang Dunia II.

Kediktatoran dan kejahatannya dibangun melalui mekanisme dan lembaga-lembaga demokrasi dengan kolusi dan koersi antaraktor-aktor politik. Itulah contoh, Hitler membunuh demokrasi dengan demokrasi.

Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi.

Seusai Perang Dunia II tahun 1945, kediktatoran Hitler berakhir. Hitler diburu tentara Sekutu dan dikejar-kejar oleh rakyatnya. Sejarah hidupnya berakhir tragis ketika dia dan istrinya berusaha kabur serta bersembunyi melalui sebuah terowongan di Berlin Bunker.

Mayat suami-istri itu tidak ditemukan dan tak ada kuburannya sampai sekarang. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya ditembak oleh anak buahnya sendiri dan mayatnya dibuang setelah dirusak. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya bunuh diri untuk kemudian jenazahnya dibakar sampai jadi abu.

Ada juga yang bilang, Hitler dan istrinya ditangkap oleh tentara Sekutu untuk kemudian dieksekusi di tempat yang dirahasiakan kepada umum.

Peringatan bagi Indonesia
Dalam suasana peringatan hari proklamasi kemerdekaan tahun ini, ada baiknya kita mengingat peringatan Bung Hatta tentang dua sisi bahaya dari demo- krasi itu. Melihat perkembangan dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, banyak hasil kajian yang mengkhawatirkan kelangsungan Indonesia kita.

Masalahnya, korupsi terus merajalela, kejahatan bermunculan, demokrasinya kolutif. Penegakan hukum masih lemah dan diwarnai oleh kolusi, penyuapan, dan berbagai transaksi gelap sampai pada isu saling sandera.

Banyak hasil kajian, korupsi dan berbagai jenis kolusi di Indonesia ditempuh dengan mekanisme formal di lembaga-lembaga demokrasi, yakni kongkalikong antara tokoh-tokoh dan lembaga demokrasi yang melibatkan oknum di lembaga-lembaga penegak hukum.

Bersamaan dengan itu muncul juga gejala anarki yang mengkhawatirkan karena kebebasan yang berlebihan dalam masyarakat.

Untuk Indonesia yang lebih baik dan dalam menuju Indonesia Emas, perlu kita pedomani peringatan Hatta tentang sisi buruk demokrasi yang ditulisnya dengan cemerlang pada 1931, atau 93 tahun lalu, 14 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan kita.

Selamat HUT Kemerdekaan Ke-79 Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2024 dan Hari Konstitusi Republik Indonesia 18 Agustus 2024. Merdeka!

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 20 Agustus 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

 

Categories
Politik Uncategorized

Menyambut Albanese, Memperkuat Kemitraan Indonesia-Australia

Indonesia tujuan pertama kunjungan Albanese. Gestur simbolik positif ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Indonesia pada 14 Mei 2025 bukan sekadar simbol diplomatik. Langkah ini adalah sinyal kuat bahwa Australia menempatkan Indonesia sebagai mitra utama kawasan. Albanese tidak menunggu lama setelah pelantikannya untuk menegaskan komitmen ini.

Pertanyaannya, mampukah kita memanfaatkan momen ini sebagai kesempatan untuk memperkuat pendekatan yang sudah dibangun selama ini dengan arah yang lebih strategis dan seimbang? Sudahkah kita memberi perhatian yang sebanding dengan potensi besar yang dimiliki Australia sebagai mitra strategis kita di kawasan?

Mitra strategis
Hubungan Indonesia dan Australia telah melalui berbagai tahap perkembangan yang positif dan membuahkan hasil yang signifikan. Kemitraan strategis kedua negara dalam bidang ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan keamanan telah terbukti menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam bidang ekonomi, Australia telah menjadi salah satu mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai perdagangan dua arah yang mencapai 32,2 miliar dollar Amerika Serikat pada 2023-2024. Australia juga menjadi tujuan utama ekspor Indonesia di sektor pertanian dan sumber investasi penting bagi berbagai sektor di Indonesia.

Program-program perdagangan yang dijalankan dalam kerangka Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) telah meningkatkan akses Indonesia ke pasar Australia, dan sebaliknya, mendiversifikasi hubungan ekonomi kedua negara.

Sektor pendidikan juga telah mengalami kemajuan signifikan. Lebih dari 15.000 mahasiswa Indonesia menempuh pendidikan tinggi di Australia, berkontribusi pada kehidupan sosial dan ekonomi Australia. Selain itu, berbagai kolaborasi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan juga memperkaya hubungan kedua negara, dengan sejumlah program pertukaran akademik yang terbukti saling menguntungkan.

Di bidang keamanan, kedua negara telah bekerja sama dalam menjaga stabilitas kawasan, terutama dalam hal keamanan maritim dan penanggulangan terorisme. Keterlibatan aktif Indonesia dan Australia dalam forum-forum internasional dan regional, seperti ASEAN dan Indo-Pacific Dialogue, menunjukkan keduanya berkomitmen pada tatanan kawasan yang aman dan stabil.

Namun, meskipun keberhasilan ini patut diapresiasi, kita tidak bisa mengabaikan tantangan-tantangan yang masih ada dalam memperkuat hubungan ini lebih lanjut.

Ketimpangan perhatian
Dari sisi Indonesia, salah satu tantangan besar dalam memperkuat hubungan Indonesia-Australia adalah perlunya perhatian yang lebih mendalam terhadap negeri Kangguru tersebut.

Boleh jadi, tantangan ini muncul karena masih melekat stigma di negeri kita bahwa Australia lebih membutuhkan Indonesia ketimbang sebaliknya. Padahal, Indonesia membutuhkan Australia, sama seperti mereka membutuhkan Indonesia.

Selain itu, ketimpangan perhatian ini mungkin muncul karena Indonesia selama ini terlalu sering melihat ke utara, mengarahkan fokus pada negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan China, yang lebih sering menjadi sorotan dalam pemberitaan dan kebijakan luar negeri kita.

Sebagai contoh, ketika Indonesia menggelar Pemilu 2024, media dan akademisi Australia menunjukkan perhatian besar dengan eksposur publik yang intensif. Bahkan, dalam Pemilu Federal Australia 2025, politik luar negeri Indonesia termasuk salah satu isu hangat dalam debat calon perdana menteri.

Sebaliknya, jika dibandingkan dengan Pemilu AS yang sering dibahas secara komprehensif, perhatian publik Indonesia terhadap Pemilu Federal Australia 2025 hanya terbatas pada hasil akhir tanpa mendalami dinamika, seperti isu energi, perubahan iklim, imigrasi, atau kepemimpinan partai politik.

Ketimpangan perhatian ini membuka ruang bagi kita untuk lebih proaktif dalam memahami dinamika kebijakan luar negeri Australia, bukan sekadar meresponsnya. Perlu kita ingat bahwa keputusan yang diambil di Canberra dapat berdampak signifikan bagi mahasiswa Indonesia, pengusaha, dan bahkan posisi kita di kawasan.

Tentu saja, tantangan ini bukanlah tugas pemerintah saja. Media kita memiliki peluang untuk memperluas cakrawala liputannya, dengan lebih sering menghadirkan perspektif Australia dalam pembahasan kawasan. Pelaku bisnis dapat lebih peka terhadap perubahan kebijakan yang memengaruhi perdagangan dan investasi. Begitu pula dengan dunia pendidikan yang memiliki kesempatan untuk memperkaya kurikulum dengan kajian-kajian lebih dalam tentang Australia, agar hubungan ini lebih terbangun dengan fondasi yang kuat dan seimbang.

Jika pendidikan ingin benar-benar menjadi fondasi dari hubungan strategis kedua negara, ruang kerja sama perlu menjangkau lebih jauh dengan menyentuh institusi vokasi dan perguruan tinggi di daerah. Upaya seperti kolaborasi riset dua arah, pertukaran dosen, serta skema pendanaan bersama bisa menjadi jalan untuk itu.

Dalam kerja sama pendidikan, Indonesia perlu memperkuat posisinya tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai mitra sejajar dalam produksi pengetahuan. Dengan demikian, diplomasi pendidikan dapat menjelma dari sekadar simbol menjadi strategi jangka panjang yang setara dan berdampak. 

Jika ikhtiar kolektif tersebut dicapai bersama, masyarakat luas niscaya akan mulai membayangkan Australia bukan semata sebagai destinasi studi atau negara ”jauh di selatan”, melainkan sebagai tetangga dekat yang memainkan peran penting dalam dinamika regional kita.

Poros Jakarta-Canberra
Langkah Albanese memilih Jakarta sebagai tujuan pertama kunjungan luar negerinya mempertegas tradisi panjang hampir semua Perdana Menteri Australia sejak 2008—baik dari Partai Buruh maupun Koalisi Liberal—yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi pertama setelah pelantikan. Hal ini mencerminkan konsensus bipartisan bahwa Indonesia adalah mitra utama di kawasan. Namun, gestur simbolik ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Albanese adalah sinyal. Namun, agar sinyal ini tidak menguap, semua pemangku kepentingan di Indonesia perlu meresponsnya dengan lebih serius. Mengharapkan Australia selalu mengambil inisiatif tanpa membangun kesiapan internal hanya akan melanggengkan relasi yang timpang. Kemitraan strategis yang sejati hanya mungkin lahir dari kesetaraan persepsi, komitmen, dan partisipasi.

Indonesia dan Australia memiliki sejarah panjang hubungan diplomatik yang berkesinambung. Meski demikian, untuk menghadapi tantangan di masa mendatang, kedua negara tidak hanya membutuhkan sejarah, tetapi juga visi bersama yang solid. Visi tentang kawasan yang stabil, adil, dan saling memperkuat. Untuk itu, poros Jakarta-Canberra harus dibangun atas dasar kebutuhan timbal balik dan kemauan untuk benar-benar mendengarkan satu sama lain.

Sudah saatnya Indonesia turut merancang arah masa depan hubungan bilateral ini dengan gagasan, perhatian, dan kesiapan yang setara.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 16 Mei 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

 

Categories
Politik

Mubazir Kewenangan dalam UU TNI Baru

Beberapa waktu lalu, Gedung DPRD Provinsi DIY menjadi sasaran vandalisme aksi yang menuntut pencabutan UU TNI yang baru saja disahkan. Massa aksi bersikap anarkis ketika mengekspresikan kekecewaan mereka. Sebab, pengesahan UU TNI pada 20 Maret lalu dianggap telah melukai wajah demokrasi nasional. Sejumlah pihak bahkan menasbihkan tanggal tersebut sebagai akhir masa Reformasi. Alasannya, pengesahan UU TNI menjadi langkah mundur komitmen Reformasi yang dibangun 26 tahun terakhir. Pemerintah dan Parlemen teguh mengesahkan UU TNI, kendati selama sepekan lebih ma- syarakat lantang menolak. 

Substansi perubahan UU TNI telah mengecewakan publik. Selain legislasinya yang serampangan, penambamhan jabatan publik yang diisi prajurit aktif dan perluasan kewenangan operasi militer selain perang (OMSP) berpotensi menambah beban kerja TNI. Hal ini, justru dapat melemahkan potensi TNI sebagai militer. 

Militer sebagai Alat Tempur
Sempat berseliweran penggalan video lama nasihat mendiang Salim Said, guru besar dan pakar hubungan sipil militer Indonesia, kepada Prabowo Subianto yang kalaitu menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pada video tersebut, Salim Said mewanti-wanti agar TNI terus berlatih bertempur meski dalam kondisi tidak sedang berperang dan tidak mengurusi hal-hal selain pertahanan nasional. Menurut Salim Said, jika TNI disibukkan dengan urusan-urusan yang bukan bidangnya, negara -negara lain akan meremehkan kemampuan TNI dalam pertempuran. Hal ini, menurut Salim Said, dapat menurunkan deteren dan citra Indonesia di kancah dunia. 

Nasihat Salim Said tersebut didasar kan pada pepatah terkenal di dunia militer : si vis pacem, para bellum, jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Maknanya, persiapan tempur menjadi hal mutlak bagi negara, kendati berada pada masa damai, untuk menghindari agresi dari lawan. Adu mekanik dan pamer kekuatan militer menjadi hal yang lazim dilakukan negara, untuk menghalau niatan liar pihak lain untuk melakukan invasi. 

Sehingga, kapabilitas militer dalam pertempuran harus senantiasa dibangun. Pemerintah, sebagai pelaksana kuasa eksekutif, memiliki kewajiban untuk memastikan langkah tersebut. Menjadikan TNI sebagai militer cakap, bukan sebaliknya. 

Langkah Demiliterisasi TNI
Sayangnya, perubahan ketentuan dalam revisi UU TNI justru menjadikan prajurit semakin tidak militer. Per- luasan OMSP dan penambahan ëjatahí jabatan kementerian dan lembaga dalam revisi terbaru membuat TNI ke hilangan eksistensinya sebagai militer yang cakap. Pasalnya, TNI dituntut un- tuk nimbrung pelbagai aktivitas, mulai ‘dari menangani terorisme, membantu pemerintahan daerah, hingga dijejali! tugas menjaga proyek strategis nasio- nal. Ini membelokkan dari urgensi pra- jurit untuk mengasah skill utama yang seharusnya dikuasai: menja- di pasukan pertahanan yang tangguh. 

Terlebih, kita tidak bisa mengatakan tingkat pertahanan nasional kita sudah paripurna. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, terjadi sebanyak 122,79 juta serangan siber pada periode Januari – Agustus 2024. Selain itu, dari segi kuantitas, jumlah personil secara umum, prajurit TNI juga dianggap kurang jika dibandingkan dengan luas teriitorial yang harus dilindungi. Bahkan, pemerintah terus mendorong penambahan anggota komponen cadangan untuk membantu tugas utama TNI. Artinya, TNI asih kewalahan dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai komponen utama pertahanan. 

Alih-alih memperbaiki permasalahan institusinya, perubahan UU TNI justru memperluas beban kerja prajurit, Prajurit TNI akan semak terbebani jika dituntut untuk menambah kapabilitas lain. Peluasan kewenangan menangani terorisme dan bencana alam yang hendak diberikan kepada TNI akan menjadikan fokus sumber daya manusia militer kita terpecah. Agenda perlu- asan kewenangan yang diatur dalam UU TNI adalah sebuah anomali konteks. Jauh panggang dari api, revisi dicanangkan justru akan memperlemah, alih-alih memperkuat pertahanan nasional Indonesia. 

Peningkatan kewenangan dan lingkup OMSP merupakan hal yang mubazir. Melalui beleid terbaru, TNI disuruh untuk menyelesaikan permasalahan instansi lain, dipaksa untuk bekerja ekstra. Padahal, tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan Indonesia sudah berat. Maka, sepatutnya kita bertanya-tanya, jika TNI dan sipil sama- sama dirugikan, untuk kepentingan siapa UU TNI kemarin dibuat? 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 12 April 2025

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.



Categories
Ekonomi Sosial Budaya

Retrospeksi antara Lebaran dan Urbanisasi

Selesai sudah hingar-bingar arus mudik dan balik lebaran 2024. Saat mudik balik ke tempat perantauannya, banyaknya anggota keluarga yang ikut bergabung. Fenomena ini menjadi hal rutin terjadinya, urbanisasi berbarengan dengan arus balik lebaran. Hal ini dikaitkan dengan fenomena sosial-ekonomi yang ada, di mana sebagian pemudik yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah membawa kerabat dekatnya untuk mengadu nasib di kota besar.

Urbanisasi sangat erat kaitannya dengan fenomena gerak penduduk di mana masyarakat cenderung memilih lingkungan dengan tingkat upah tinggi, fasilitas yang lengkap, dan infrastruktur memadai. Di sisi lain, urbanisasi yang tinggi juga dipengaruhi oleh push factor seperti tidak tersedianya lapangan kerja di pedesaan, terbatasnya modal kerja, hingga tingkat kemiskinan yang tinggi. Fenomena urbanisasi pada saat arus balik lebaran menunjuk pada fenomena gerak penduduk atau population mobility. Kota Yogya yang notabenenya adalah kota pelajar di mana ketika pendatang terutama mahasiswa telah menyelesaikan studinya akan mencari pekkerjaan di kota besar yang mempunyai kesempatan kerja lebih tinggl.

Alasan utama terjadinya tingkat urbanisasi yang cukup besar dari DIY adalah terbatasnya lapangan pekerjaan dan UMP yang rendah bahkan cenderung tetap. Pemerintah Daerah Provinsi DIY (2023) menjelaskan nominal UMP DIY pada akhir tahun 2023 mengalami pening- katan sebesar 7,27% atau menjadi Rp 2.125.897,61 dibanding tahun sebelumnya. Namun, perlu diketahui bahwa nominal UMP ada ternyata belum mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bagi masyarakat mengingat perubahan harga-harga barang yang bersifat dinamis. Kondisi ini menjadi alasan kuat bagi sebagian masyarakat di DIY untuk mengadu nasib ke kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya, Bekasi, dan sekitarnya.

Pada akhirnya, arus lebaran menjadi salah satu momentum dalam terciptanya fenomena urbanisasi dan hanya membutuhkan hitungan hari saja pendatang di kota besar seperti DKI Jakarta mengalami peningkatan yang signifikan. Derasnya urbanisasi tanpa diimbangi modal manusia yang mumpuni, para pendatang mudah “terjebak” ke dalam sektor informal di kota-kota besar. Dengan demikian perlunya evaluasi serta analisis mendalam untuk menghasilkan kebijakan program urbanisasi yang efektif.

Berdasarkan data Dukcapil Pemprov DKI tercatat tren jumlah pendatang pasca-lebaran, dan arus balik mudik selama 4 tahun terakhir, yaitu tahun 2020 sebanyak 24.043, tahun 2021 sebanyak 20.046, tahun 2022 sebanyak 27.478 dan tahun 2023 sebanyak 25.918. Kebijakan yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta dalam menekan kepadatan penduduk melalui Disdukcapil DKI Jakarta adalah dengan Program Penataan Administrasi Kependudukan di mana warga yang memiliki KTP DKI Jakarta diwajibkan sesuai dengan domisilinya. Di samping itu berbgai imbauan dari pejabat Pemprov DKI agar masyarakat yang mudik pada saat balik Jakarta tidak membawa sanak saudara beradu nasib di Jakarta, terlebih belum memiliki tempat tinggal dan pekerjaan.

Daerah-daerah yang berpotensi menjadi penyumbang adanya urbanisasi ke kota- kota besar sudah selayaknya ikut secara langsung dan tidak langsung meningkatkan keterampilan warganya untuk berusaha di daerahnya sebagai sebagai upaya peningkatan kesejahteraan warganya dan mendorong ada pembangunan daerahnya. Terlebih dengan adanya UU Desa yang dapat menjadi akselerasi penciptaan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 29 April 2024

Unggul Priyadi 
Guru Besar Ekonomi Kelembagaan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UII.