Categories
Hukum Politik

Potret Dwifungsi TNI yang Diributkan

Ayah saya ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS tidak melaksanakan monoloyalitas. Itulah ingatan tentang politik dwifungsi ABRI yang kini ditakutkan kembali.

Demo-demo karena khawatir atas kembalinya dwifungsi TNI bisa dimaklumi. Namun, banyak pendemo yang ketika ditanya ternyata tidak betul-betul paham, apa arti dwifungsi.

Ayah saya ditahan tentara. Pertama kali muncul bayangan tentang tentara dan dwifungsi di benak saya adalah pemilihan umum (pemilu) tahun 1971.

Sehabis pemungutan suara tanggal 3 Juli 1971 pada pemilu pertama era Orde Baru itu, ayah saya, Mahmodin, dijemput oleh dua tentara, Pak Syukur dan Pak Gani, dan ditahan di Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Kecamatan Waru (Pamekasan, Madura), tanpa proses hukum. Waktu itu, saya masih kelas I SMTP.

Mengapa ayah dijemput dan ditahan? Ayah saya adalah pegawai negeri sipil (PNS) di Kecamatan Waru. Saat Pemilu 1971 itu, ayah saya diberi tugas untuk memimpin Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di sebuah tempat pemungutan suara (TPS) di Desa Sanah Laok.

Waktu itu, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan kebijakan monoloyalitas atau loyalitas tunggal. PNS harus memilih Golongan Karya (Golkar) saat pemilu. Kebijakan monoloyalitas dikawal ketat pelaksanaannya oleh TNI—atau lebih dikenal sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—terutama TNI Angkatan Darat (TNI AD).

Di TPS tempat ayah saya ditugaskan, dengan personel KPPS plus Pertahanan Sipil yang berjumlah 12 orang itu, Golkar hanya mendapat tiga dan empat suara untuk DPR Pusat dan DPR Daerah. Selebihnya, hampir semua adalah suara untuk Partai Nahdlatul Ulama (NU).

Ayah saya dipersalahkan karena dari 12 anggota KPPS saja, yang memilih Golkar hanya tiga orang. Saat akan mulai pencoblosan, ayah saya yang adalah aktivis NU di kecamatan memang berpidato bahwa setiap orang bebas memilih secara rahasia.

”Warga NU, tetap boleh memilih Partai NU,” katanya. Sesaat setelah pulang dari tugas di TPS, ayah saya dijemput dan ditahan di Kantor Koramil karena sebagai PNS ia tidak melaksanakan monoloyalitas.

Itulah ingatan mendalam dari apa yang kemudian saya kenal sebagai Politik Dwifungsi ABRI. Tentara ikut campur secara resmi dalam berbagai kegiatan bidang sosial dan politik, termasuk tugas memenangkan agenda kelompok politik tertentu, yakni Golkar.

Awal ide dwifungsi
Sebenarnya ide dasar tentang dwifungsi itu tidaklah jelek. Ide ini didorong oleh tampilnya pemerintahan sipil yang dianggap selfish, selalu gaduh.

Pemerintahan sipil yang saat itu, sudah berlangsung hampir dua dasawarsa dianggap selalu menimbulkan pertikaian, mengancam persatuan, dan tidak kondusif untuk pembangunan. TNI, yang merasa dirinya ikut mendirikan negara, terpanggil tanggung jawabnya untuk menjaga dan menyelamatkan Republik Indonesia.

Ide peran ganda militer mulanya disampaikan oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal AH Nasution di Akademi Militer pada tahun 1958, dengan istilah middle way (jalan tengah). Istilah middle way diganti menjadi dwifungsi, dan itu disampaikan oleh Nasution pada tahun 1960 dalam Rapat Pimpinan Polri di Porong.

Idenya, selain fungsi tempur, TNI juga perlu ikut mengadministrasikan negara melalui fungsi-fungsi nontempur dan pembinaan wilayah.

Konsepsi dwifungsi merupakan jalan tengah antara posisi militer di Barat yang tidak ikut-ikut urusan politik dan posisi militer ala Amerika Latin yang mendominasi kehidupan politik.

Dengan dwifungsi, TNI di Indonesia tidak perlu melakukan kudeta untuk membereskan kemelut politik dan pemerintahan karena TNI sudah ikut mengurusi dan mengantisipasi sejak awal agar berjalan baik.

Seiring dengan itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang tadinya berdiri sendiri sejak tahun 1960-an mulai digabungkan dengan TNI dengan sebutan ABRI.

Dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 121 Tahun 1960, Presiden Soekarno meletakkan Departemen Kepolisian/Kepala Polri di bawah Departemen Pertahanan. Selanjutnya, dengan Tap MPRS No II/MPRS/1960 yang dituangkan lagi di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1961, kedudukan Polri secara de jure dan de facto menjadi bagian dari ABRI.

Meskipun semula, melalui pidato tanggal 17 Agustus 1953, Presiden Soekarno tegas meminta TNI tidak ikut dalam politik, sejak akhir tahun 1950-an Bung Karno sudah memasukkan tugas selain perang bagi TNI ke dalam ketatanegaraan Indonesia, sebagai konsepsi resmi.

Sekurang-kurangnya, ada tujuh produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soekarno terkait tugas TNI dalam jabatan-jabatan sipil. Beberapa di antaranya adalah UU Nomor 80 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Organisasi Angkatan Perang, Keppres Nomor 21 Tahun 1959 tentang Peran Militer di Jabatan Sipil, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 1960 tentang Pembentukan Front Nasional.

Selain itu, Tap MPRS No II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, UU Nomor 18 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Tap MPRS No II/MPRS/1962 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN, dan Tap MPR No XIII/MPRS/1965 tentang Kedudukan dan Peran ABRI dalam Negara.

Hegemoni TNI era Orde Baru
Pada era Orde Baru, konsepsi dwifungsi diterapkan secara ketat, masif, dan sewenang-wenang. Kacaunya sistem politik dan ambruknya ekonomi yang diwariskan oleh rezim Orde Lama harus diselesaikan dengan hadirnya stabilitas nasional yang mantap untuk menjamin kelancaran pembangunan.

Untuk itu, ABRI harus memainkan peran utama dalam politik dan pembangunan. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu mengukuhkan adanya jatah kursi (tanpa ikut pemilu) di DPR/MPR bagi ABRI, yang kemudian menjadi fraksi tersendiri di DPR/MPR.

Dengan dwifungsi, TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil di pemerintahan, dari pusat sampai ke daerah-daerah. Kepala daerah dan jabatan sipil lainnya bisa diduduki oleh anggota ABRI aktif, tanpa harus pensiun atau mengundurkan diri. Kendali politik dalam berbagai sektor secara horizontal dan vertikal sepenuhnya ada di tangan Presiden Soeharto yang sekaligus merupakan Panglima Tertinggi ABRI.

Keputusan politik dan pemerintahan ditentukan oleh tiga pilar politik yang disebut ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) yang pucuknya adalah Presiden.

Penyelenggaraan pemilu tidak demokratis, tidak jujur, dan tidak adil. Represi atas lawan politik terjadi seakan hal yang biasa saja. Ketatapemerintahan dibangun secara korporatis dan hegemonik, yang kemudian menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Pers dipasung, dibayangi ancaman pembredelan dengan istilah yang dihaluskan. Eks aktivis atau anggota PKI serta keluarganya, dirampas hak perdatanya. Bahkan, banyak mahasiswa ikatan dinas di luar negeri dilarang pulang, hanya karena ”dianggap” simpatisan PKI. Pokoknya, pengebirian atas demokrasi dan pelanggaran HAM terjadi secara masif.

Meskipun begitu, secara fair perlu diakui, pemerintahan Orde Baru berhasil dalam banyak bidang pembangunan. Pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 7 persen. Swasembada pangan bertumbuh bagus. Angka partisipasi pendidikan tinggi terus meningkat. Kesejahteraan rakyat terus membaik secara bertahap.

Namun, catatan keberhasilan itu menjadi tak bermakna dan rapuh. Konfigurasi politik yang otoriter, hegemonik, dan tak menghormati hak asasi manusia (HAM) itu rontok, saat terjadi krisis moneter.

Reformasi dan rontoknya dwifungsi
Ketika pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, ketahanan politik pun menjadi rapuh. Rakyat bergerak melakukan perlawanan secara masif, melalui Reformasi 1998.

Salah satu prestasi penting dari Reformasi 1998 adalah penghapusan dwifungsi ABRI dan pemisahan Polri dari TNI. Bidang Sospol ABRI ditiadakan. Anggota TNI dan Polri hanya boleh masuk ke dunia politik dan jabatan sipil tertentu, dengan syarat mengajukan pensiun atau mengundurkan diri dari TNI/Polri.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika dalam kaitan revisi UU TNI sekarang ini, banyak demo sebagai reaksi penolakan. Reaksi besar itu muncul karena trauma atas pengalaman masa lalu, saat dwifungsi dilakukan secara melanggar HAM dan membunuh demokrasi.

Masyarakat takut kalau negara hegemonik yang menggunakan dwifungsi TNI akan muncul kembali.

Proses legislasi yang agak tertutup dalam revisi UU TNI Tahun 2025 memang memancing reaksi keras dari kelompok-kelompok masyarakat, terutama warga kampus dan civil society.

Karena pengalaman sejarah, tidak salah dan patut dimaklumi jika mereka melakukan demo-demo sebagai hak konstitusional. Mereka mencemaskan munculnya kembali dwifungsi. Apalagi di draf awal RUU TNI yang pernah beredar, ada isu bahwa TNI bisa masuk ke berbagai jabatan sipil jika Presiden menganggap perlu dan jika di institusi sipil tersebut diperlukan tenaga atau keahlian dari anggota TNI.

Sekarang, tinggal DPR dan pemerintah yang perlu meyakinkan masyarakat bahwa produk final revisi UU TNI itu tetap menutup pintu bagi kembalinya dwifungsi TNI.

Tidak ada ketentuan Pasal 47 yang, katanya, akan membuka kembali politik dwifungsi itu. Tidak ada peluang bagi TNI masuk ke jalur jabatan sipil secara eksesif dan menakutkan seperti di era Orde Baru.

Apalagi pengaturan tentang larangan dwifungsi itu bukan hanya diatur dalam UU TNI, melainkan juga sudah dikunci oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang lain dan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 6 April 2025

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024).

Categories
Hukum

Profesionalisme Hakim Penunda Pemilu

Dalam prinsip konstitusionalisme modern, hakim merupakan aktor yang memiliki peran terhadap fungsi pelayanan umum kepada masyarakat. Independensi yang diperoleh para hakim juga perlu dipertanggungjawabkan ke publik.

Komisi Yudisial (KY) melalui juru bicaranya pada 3 Maret 2023 menyatakan untuk memulai melakukan pendalaman atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst terhadap gugatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (Partai Prima). Upaya ini dilakukan untuk menilai ada tidaknya pelanggaran kode etik dan profesionalisme hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara a quo.

Paling tidak, dalam hal ini KY dihadapkan atas dua tantangan besar. Di satu sisi kerangka kerja KY dalam menilai putusan harus cermat, proporsional, dan terukur karena bisa berpengaruh kepada independensi hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Di sisi lain, KY juga memiliki tanggung jawab konstitusional untuk menjamin marwah dan kehormatan putusan hakim terhindar dari perilaku unprofessional act.

Profesionalisme
Secara kontroversial, amar putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst tersebut menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari. Silogisme putusan ini memang cukup aneh dan menjadi ”riuh” di kalangan para ahli hukum setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, soal kompetensi absolut PN Jakarta Pusat dalam memeriksa dan mengadili pokok perkara. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah karena keputusannya semestinya menjadi domain Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kedua, jikapun majelis hakim tetap menilai untuk dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum perdata, amar putusannya hanya bisa mengikat penggugat dan tergugat. Dalam konteks penalaran hukum, putusan ini tak dapat berlaku secara umum (orga omnes) sehingga mengikat seluruh elemen masyarakat dan pemerintah serta memengaruhi pelaksanaan pemilu yang telah terjadwal dalam kalender kenegaraan.

Ketiga, penundaan jadwal pelaksanaan pemilu secara periodik dalam konstitusi hanya bisa dilakukan dalam kondisi force majeur, misalnya bencana alam yang dapat mengganggu eksistensi negara dan jalannya pemerintahan.

Dari tiga anotasi di atas, putusan majelis hakim jelas keliru dan di luar dari koridor kompetensi PN Jakarta Pusat. Untuk menganulir putusan tersebut tentu hanya bisa dilakukan melalui upaya hukum oleh tergugat (KPU) kepada majelis hakim tingkat banding maupun kasasi.

Namun, perlu diberikan penekanan bahwa upaya hukum tingkat banding merupakan hal yang berbeda dengan memeriksa dan mengadili ada tidaknya pelanggaran profesionalisme majelis hakim PN Jakarta Pusat di dalamnya. Upaya hukum banding hanya berpengaruh kepada dua probabilitas. Menguatkan putusan pada tingkat pertama, atau sebaliknya menganulir putusan pada tingkat pertama.

Sementara pendalaman pelanggaran etik dan profesionalisme lebih ditujukan kepada perilaku masing-masing individu hakim mulai dari proses persidangan sampai dengan tahapan pengambilan keputusan di forum rapat permusyawaratan hakim. Dalam memeriksa dugaan pelanggaran etik dan profesionalisme hakim pada putusan PN Jakarta Pusat tersebut, KY dapat melakukan pendalaman pada dua wilayah.

Putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut perlu diasesmen melalui tahapan eksaminasi.

Pertama, pemeriksaan dilakukan atas ada tidaknya tekanan dari pihak luar atau kelompok tertentu dalam pengambilan keputusan majelis hakim PN Jakarta Pusat. Kedua, pemeriksaan dilakukan dengan melihat kesesuaian dasar pertimbangan (ratio decidendi) dan konklusi.

Artinya, putusan majelis hakim PN Jakarta Pusat tersebut perlu diasesmen melalui tahapan eksaminasi, untuk melihat relevansi antara alasan dan konklusinya terhadap asas-asas hukum, konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kode etik KY dan Mahkamah Agung (MA) telah menjamin prinsip ini dalam tiga domain pengaturan, yaitu berdisiplin tinggi, berintegritas tinggi, dan profesional.

Independensi
Untuk mengadili profesionalisme hakim dengan menggunakan KY sebagai pengawas eksternal memang tak mudah. Persoalan mendasar itu justru datang dari tingkat kesepahaman antara KY dan MA atas prinsip independensi hakim. Dalam beberapa kasus konkret pelanggaran etik yang didalami oleh KY karena alasan profesionalisme hakim dalam membangun putusan, tak semua bermuara kepada penjatuhan sanksi.

Meskipun kebenaran materil sudah terpenuhi, usul penjatuhan sanksi bisa saja mendapatkan penolakan dari MA. Hal ini terjadi karena kebebasan hakim terhadap keyakinannya selalu dianggap berkorelasi dengan independensinya dalam membangun pertimbangan putusan.

Dalam konteks putusan penundaan pemilu, momentum ini sebenarnya bisa jadi bahan evaluasi untuk kasus-kasus serupa. Contini dan Mohr (2008) menegaskan, independensi tak dapat dilihat secara parsial. Preferensi para hakim dalam membangun pertimbangan hingga putusan tak lagi dapat dimaknai sebagai domain eksklusif yang merepresentasikan independensi hakim.

Dalam prinsip konstitusionalisme modern, hakim merupakan aktor yang memiliki peran terhadap fungsi pelayanan umum kepada masyarakat. Independensi yang diperoleh para hakim juga perlu dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

Dalam hal ini, perilaku unprofessional act bisa saja dijatuhkan kepada hakim yang basis pertimbangannya bertentangan dengan asas hukum dan prinsip-prinsip konstitusi yang berlaku secara universal. Sebab, independensi bukanlah ”privilese”, melainkan prinsip yang juga perlu dipertanggungjawabkan dengan sikap profesional di hadapan publik.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 14 Maret 2023

Idul Rishan
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII

Categories
Ekonomi

Inflasi Akhir Tahun

Berdasarkan data historis, setiap akhir tahun terjadi kenaikan inflasi musiman. Kenaikan tersebut disebabkan oleh lonjakan permintaan dari kunjungan wisatawan yang menikmati liburan Natal dan Tahun Baru. Pada tahun 2023, setidaknya 800 ribu wisatawan telah melewatkan liburan akhir tahunnya di DIY. Tahun ini diperkirakan mengalami peningkatan sebesar 6 persen. Keberadaan wisatawan ini akan mendorong peningkatan permintaan konsumsi secara signifikan sehingga memberikan potensi tekanan inflasi pada akhir tahun.

Inflasi yang tidak terkendali berdampak buruk pada stabilitas harga-harga kebutuhan pokok masyarakat sehingga berpotensi menurunkan daya beli masyarakat. Menjelang periode akhir tahun, inflasi terjaga dengan baik dan masih berada pada rentang inflasi yang ditargetkan oleh Pemda dan Bank Indonesia DIY yaitu 2.5 ± 1%.

Inflasi pada Bulan Oktober 2024 menunjukkan angka yang terkendali yaitu sebesar 0.09% (month to month). Sedangkan inflasi tahunan mencapai 1.57% (year on year) lebih rendah daripada inflasi nasional. Kelompok pengeluaran seperti Perawatan Pribadi dan Jasa Lainya; Makanan, Minuman, dan Tembakau; serta Penyediaan Makanan dan Minuman/Restoran memberikan andil kenaikan inflasi pada bulan tersebut.

Terkendalinya inflasi pada Bulan Oktober diharapkan dapat terus berlangsung sampai periode Natal dan pergantian tahun 2024/2025 mendatang. Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) DIY dapat menempuh beberapa langkah kebijakan terutama pengelolaan dari sisi penawaran perekonomian (supply), baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam jangka pendek, pemerintah daerah harus menjamin ketersediaan pasokan bahan-bahan kebutuhan pokok makanan dalam jumlah yang cukup dan aman untuk mengokomodasi lonjakan permintaan wisatawan. Melalui bantuan teknologi informasi, langkah ini dapat ditempuh melalui pemantauan perkembangan neraca pangan dan harga komoditas utama secara reguler, serta koordinasi dan komunikasi intensif dengan berbagai pemangku kepentingan seperti para pemasok utama dan pemerintah daerah lainnya.

Pengelolaan ekspektasi masyarakat, baik konsumen maupun produsen, terhadap potensi inflasi melalui edukasi dan transparansi informasi terkait dengan perkembangan pasokan dan harga dapat membantu pemerintah dalam mengendalikan inflasi akhir tahun. Pengkondisian jalur-jalur distribusi logistik utama juga sangat penting karena potensi kepadatan lalu lintas yang melonjak tajam dapat mengganggu kelancaran arus distribusi barang sampai pada konsumen akhir.

Dinas Perhubungan memperkirakan setidaknya 400 – 500 ribu kendaraan akan keluar dan masuk ke DIY selama periode musim liburan akhir tahun nanti. Selain itu, potensi curah hujan yang cukup tinggi di akhir tahun juga memiliki resiko tersendiri seperti banjir, tanah longsor dan kegagalan panen. Pemda harus mengantisipasinya dengan meyiapkan skenario mitigasi terhadap gangguan kemacetan maupun resiko bencana alam.

Upaya pengendalian inflasi di DIY masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup besar mengingat upaya pengendalian inflasi selama ini masih fokus pada target-target pengendalian harga dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang pemerintah daerah harus tetap mengupayakan kemandirian pangan dan hilirisasi sektor-sektor pertanian tanaman pangan dan berbagai komoditas turunannya. Disamping dapat mengurangi ketergantungan pada daerah lain dan menjamin ketersediaan bahan-bahan pokok makanan di tingkat lokal daerah, hilirisasi juga dapat menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja baru sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat.

Selain itu kebijakan pengaturan pola musim tanam terutama pada komoditas pertanian tanaman pangan utama harus terus disosialisasikan dan diterapkan untuk menghindari adanya kelebihan persediaan (over supply) yang cenderung merugikan produsen/petani. Sebaliknya kelangkaan (shortage) yang menyebabkan inflasi dan cenderung merugikan konsumen.

Pengelolaan inflasi yang teritegratif baik dalam jangka pendek dan panjang masyarakat berharap momentum lonjakan kedatangan wisatawan di akhir tahun nantinya tidak menimbulkan gejolak inflasi yang merugikan. Tingkat inflasi daerah diharapkan tetap terkendali dan terjaga sehingga tidak hanya melindungi daya beli masyarakat akan tetapi juga memberikan insentif kepada produsen untuk terus berusaha meningkatkan produksinya. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 8 Desember 2024

Rokhedi Priyo Santoso
Dosen Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII. Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta.

Categories
Politik

Peringatan Hatta dan Fakta Hitler

Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.

Menurut Bung Hatta, jika tidak dikelola dengan benar, kedaulatan rakyat bisa menjadi perkakas untuk memakan rakyat. Dengan kata lain, demokrasi bisa membunuh demokrasi.

Bung Hatta berbicara banyak mengenai demokrasi, antara lain, melalui tulisan-tulisannya di majalah Daulat Ra’jat tahun 1931-1933, seperti dimuat dalam jilid 1 buku Karya Lengkap Bung Hatta (LP3ES, 1998).

Ketika Hatta menulis itu, 1931, Hitler di Jerman masih berjuang untuk meraih kekuasaan melalui proses demokrasi, yaitu memimpin partai dan ikut dalam pemilu. Namun, munculnya Hitler menjadi fakta bahwa yang dinyatakan oleh Bung Hatta itu benar.

Rakyat, jantung demokrasi
Waktu itu Hatta masuk dalam polemik tentang demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia. Pemantiknya adalah kecenderungan umum bahwa jika perjuangan untuk meraih kemerdekaan kelak berhasil, Indonesia harus memakai sistem demokrasi.

Banyak yang setuju dengan ide itu, tetapi ada juga yang tidak setuju. Ada yang setuju asalkan memakai demokrasi asli Indonesia, bukan demokrasi Barat.

Hatta mengatakan, demokrasi asli Indonesia yang diteriakkan itu harus ada penjelasannya, jangan hanya kalimat kosong, words, only words. Begitu juga perlu dijelaskan, mengapa dan sejauh mana demokrasi Barat harus kita tolak.

Bung Hatta kemudian menjelaskan tentang itu. Menurut Hatta, demokrasi sejak dulu sudah ada di berbagai belahan dunia, termasuk di masyarakat Indonesia. Esensinya sama, jantung demokrasi adalah rakyat.

Demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan keinginan dan kehendak rakyat. Meskipun begitu, filosofi dan bangunan (strukturisasi) demokrasi Barat dan demokrasi asli Indonesia itu berbeda.

Filosofi demokrasi Barat adalah individualisme yang kemudian melahirkan kapitalisme dan liberalisme serta imperialisme di bidang politik dan ekonomi. Sedangkan filosofi demokrasi asli Indonesia adalah kolektivisme yang berwatak kerja sama dan tolong-menolong melalui usaha bersama untuk kemajuan seluruh rakyat.

Demokrasi asli, kata Hatta, sudah sejak berabad-abad hidup di desa-desa di Indonesia. Namun, demokrasi asli sudah melenceng karena dirusak oleh feodalisme (sifat perbudakan) yang dibangun oleh penguasa-penguasa lokal yang kemudian diperparah oleh hadirnya kaum penjajah. Rakyat kemudian mengalami inferiority complex (rendah diri) dan berkubang dalam keterbelakangan.

Oleh karena jantung demokrasi, di mana pun, adalah sama, yakni rakyat, maka demokrasi Barat ataupun demokrasi asli sama-sama bisa dipakai di Indonesia, tetapi tidak diambil mentah-mentah, harus disesuaikan dengan filosofi kerakyatan dan kebutuhan masa depan Indonesia yang adaptif dengan kemajuan zaman.

Demokrasi di Indonesia tetap harus berdasarkan kolektivisme, tetapi kolektivisme baru. Secara politik demokrasi asli berwatak permufakatan yang berangkat dari desa-desa dan diteruskan secara berjonjong-jonjong sampai ke tingkat nasional melalui pembentukan Dewan Rakyat Indonesia, DPR kalau sekarang.

Secara mendasar pula, demokrasi asli mengandung cita-cita bagi rakyat untuk mendapat hak rapat (berkumpul), protes (termasuk menyatakan pendapat), dan tolong-menolong.

Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat.

Dalam bidang perekonomian filsafat kolektivisme Indonesia mengharuskan ekonomi disusun sebagai usaha bersama untuk kepentingan bersama, tidak lagi dengan pembagian cara dan hasil kerja tradisional melainkan harus diperbarui menjadi produksi koperasi. Hatta memberikan substansi makna yang sama untuk istilah demokrasi, kedaulatan rakyat, dan volkssouvereiniteit.

Dua sisi buruk demokrasi
Selanjutnya, Hatta mengingatkan adanya dua sisi buruk demokrasi, yakni pembunuhan demokrasi dengan demokrasi dan munculnya anarki.

Hatta mengatakan bahwa kedaulatan rakyat bisa menjadi alat untuk memakan kedaulatan rakyat. Bentuknya, banyak keputusan negara yang merampas hak rakyat dan melanggar hak asasi manusia, tetapi dibuat melalui prosedur dan lembaga formal demokrasi.

Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi. Selain itu, Hatta mengingatkan juga kemungkinan runtuhnya demokrasi karena kebebasan yang berlebihan sehingga menimbulkan anarki di dalam masyarakat.

Hatta mencontohkan runtuhnya demokrasi di Perancis yang melahirkan kebebasan yang berlebihan menyusul Revolusi Perancis 1789 yang gemilang itu. Di sana anarki sehingga muncullah penguasa kuat dan otoriter, yakni Napoleon, yang membentuk Politiestaat (negara kekuasaan). Politiestaat ini kemudian menelan kembali demokrasi dengan alasan mengatasi anarki.

Fakta tentang Hitler
Kisah diktator Hitler, penguasa Jerman, dapat disebut sebagai contoh bahwa demokrasi bisa dipergunakan untuk membunuh demokrasi. Hitler adalah pimpinan Partai Nazi, Partai Pekerja Sosialis Nasional Jerman, tepatnya Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP), yang pada 1923 dijatuhi hukuman penjara karena pemberontakan.

Setelah keluar dari penjara (1924), Hitler membawa NSDAP mengikuti pemilu sampai beberapa kali dan berhasil mendapat kursi meski tak signifikan. Dengan menggunakan modal politik NSDAP, Hitler merancang kediktatoran- nya lewat proses demokrasi. Mula-mula Hitler mengajak partai-partai untuk meminta Presiden Jerman Paul Von Hindenburg agar mengangkat dirinya menjadi kanselir (perdana menteri).

Meskipun tidak mudah karena semula Presiden Hindenburg menolak, pada 30 Januari 1933 Hitler berhasil diangkat sebagai kanselir.

Selanjutnya, pada 23 Maret 1933, Hitler berhasil memaksa diberlakukannya Undang-Undang Pemberian Kewenangan yang dengan undang-undang itulah Hitler membangun kediktatoran Nazi yang buas dan kejam hingga 1945. Perampasan hak rakyat dan kejahatan kemanusiaan dengan korban ribuan manusia dilakukan oleh Hitler.

Tak ada yang bisa menandingi kekejaman Hitler dalam kediktatorannya sehingga ia dijuluki sebagai penjahat perang terbesar pada Perang Dunia II.

Kediktatoran dan kejahatannya dibangun melalui mekanisme dan lembaga-lembaga demokrasi dengan kolusi dan koersi antaraktor-aktor politik. Itulah contoh, Hitler membunuh demokrasi dengan demokrasi.

Banyak korupsi terjadi dan diputuskan melalui kolusi di antara tokoh-tokoh politik yang menguasai lembaga-lembaga demokrasi.

Seusai Perang Dunia II tahun 1945, kediktatoran Hitler berakhir. Hitler diburu tentara Sekutu dan dikejar-kejar oleh rakyatnya. Sejarah hidupnya berakhir tragis ketika dia dan istrinya berusaha kabur serta bersembunyi melalui sebuah terowongan di Berlin Bunker.

Mayat suami-istri itu tidak ditemukan dan tak ada kuburannya sampai sekarang. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya ditembak oleh anak buahnya sendiri dan mayatnya dibuang setelah dirusak. Ada yang bilang, Hitler dan istrinya bunuh diri untuk kemudian jenazahnya dibakar sampai jadi abu.

Ada juga yang bilang, Hitler dan istrinya ditangkap oleh tentara Sekutu untuk kemudian dieksekusi di tempat yang dirahasiakan kepada umum.

Peringatan bagi Indonesia
Dalam suasana peringatan hari proklamasi kemerdekaan tahun ini, ada baiknya kita mengingat peringatan Bung Hatta tentang dua sisi bahaya dari demo- krasi itu. Melihat perkembangan dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, banyak hasil kajian yang mengkhawatirkan kelangsungan Indonesia kita.

Masalahnya, korupsi terus merajalela, kejahatan bermunculan, demokrasinya kolutif. Penegakan hukum masih lemah dan diwarnai oleh kolusi, penyuapan, dan berbagai transaksi gelap sampai pada isu saling sandera.

Banyak hasil kajian, korupsi dan berbagai jenis kolusi di Indonesia ditempuh dengan mekanisme formal di lembaga-lembaga demokrasi, yakni kongkalikong antara tokoh-tokoh dan lembaga demokrasi yang melibatkan oknum di lembaga-lembaga penegak hukum.

Bersamaan dengan itu muncul juga gejala anarki yang mengkhawatirkan karena kebebasan yang berlebihan dalam masyarakat.

Untuk Indonesia yang lebih baik dan dalam menuju Indonesia Emas, perlu kita pedomani peringatan Hatta tentang sisi buruk demokrasi yang ditulisnya dengan cemerlang pada 1931, atau 93 tahun lalu, 14 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan kita.

Selamat HUT Kemerdekaan Ke-79 Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 2024 dan Hari Konstitusi Republik Indonesia 18 Agustus 2024. Merdeka!

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 20 Agustus 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

 

Categories
Politik Uncategorized

Menyambut Albanese, Memperkuat Kemitraan Indonesia-Australia

Indonesia tujuan pertama kunjungan Albanese. Gestur simbolik positif ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Indonesia pada 14 Mei 2025 bukan sekadar simbol diplomatik. Langkah ini adalah sinyal kuat bahwa Australia menempatkan Indonesia sebagai mitra utama kawasan. Albanese tidak menunggu lama setelah pelantikannya untuk menegaskan komitmen ini.

Pertanyaannya, mampukah kita memanfaatkan momen ini sebagai kesempatan untuk memperkuat pendekatan yang sudah dibangun selama ini dengan arah yang lebih strategis dan seimbang? Sudahkah kita memberi perhatian yang sebanding dengan potensi besar yang dimiliki Australia sebagai mitra strategis kita di kawasan?

Mitra strategis
Hubungan Indonesia dan Australia telah melalui berbagai tahap perkembangan yang positif dan membuahkan hasil yang signifikan. Kemitraan strategis kedua negara dalam bidang ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan keamanan telah terbukti menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam bidang ekonomi, Australia telah menjadi salah satu mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai perdagangan dua arah yang mencapai 32,2 miliar dollar Amerika Serikat pada 2023-2024. Australia juga menjadi tujuan utama ekspor Indonesia di sektor pertanian dan sumber investasi penting bagi berbagai sektor di Indonesia.

Program-program perdagangan yang dijalankan dalam kerangka Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) telah meningkatkan akses Indonesia ke pasar Australia, dan sebaliknya, mendiversifikasi hubungan ekonomi kedua negara.

Sektor pendidikan juga telah mengalami kemajuan signifikan. Lebih dari 15.000 mahasiswa Indonesia menempuh pendidikan tinggi di Australia, berkontribusi pada kehidupan sosial dan ekonomi Australia. Selain itu, berbagai kolaborasi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan juga memperkaya hubungan kedua negara, dengan sejumlah program pertukaran akademik yang terbukti saling menguntungkan.

Di bidang keamanan, kedua negara telah bekerja sama dalam menjaga stabilitas kawasan, terutama dalam hal keamanan maritim dan penanggulangan terorisme. Keterlibatan aktif Indonesia dan Australia dalam forum-forum internasional dan regional, seperti ASEAN dan Indo-Pacific Dialogue, menunjukkan keduanya berkomitmen pada tatanan kawasan yang aman dan stabil.

Namun, meskipun keberhasilan ini patut diapresiasi, kita tidak bisa mengabaikan tantangan-tantangan yang masih ada dalam memperkuat hubungan ini lebih lanjut.

Ketimpangan perhatian
Dari sisi Indonesia, salah satu tantangan besar dalam memperkuat hubungan Indonesia-Australia adalah perlunya perhatian yang lebih mendalam terhadap negeri Kangguru tersebut.

Boleh jadi, tantangan ini muncul karena masih melekat stigma di negeri kita bahwa Australia lebih membutuhkan Indonesia ketimbang sebaliknya. Padahal, Indonesia membutuhkan Australia, sama seperti mereka membutuhkan Indonesia.

Selain itu, ketimpangan perhatian ini mungkin muncul karena Indonesia selama ini terlalu sering melihat ke utara, mengarahkan fokus pada negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan China, yang lebih sering menjadi sorotan dalam pemberitaan dan kebijakan luar negeri kita.

Sebagai contoh, ketika Indonesia menggelar Pemilu 2024, media dan akademisi Australia menunjukkan perhatian besar dengan eksposur publik yang intensif. Bahkan, dalam Pemilu Federal Australia 2025, politik luar negeri Indonesia termasuk salah satu isu hangat dalam debat calon perdana menteri.

Sebaliknya, jika dibandingkan dengan Pemilu AS yang sering dibahas secara komprehensif, perhatian publik Indonesia terhadap Pemilu Federal Australia 2025 hanya terbatas pada hasil akhir tanpa mendalami dinamika, seperti isu energi, perubahan iklim, imigrasi, atau kepemimpinan partai politik.

Ketimpangan perhatian ini membuka ruang bagi kita untuk lebih proaktif dalam memahami dinamika kebijakan luar negeri Australia, bukan sekadar meresponsnya. Perlu kita ingat bahwa keputusan yang diambil di Canberra dapat berdampak signifikan bagi mahasiswa Indonesia, pengusaha, dan bahkan posisi kita di kawasan.

Tentu saja, tantangan ini bukanlah tugas pemerintah saja. Media kita memiliki peluang untuk memperluas cakrawala liputannya, dengan lebih sering menghadirkan perspektif Australia dalam pembahasan kawasan. Pelaku bisnis dapat lebih peka terhadap perubahan kebijakan yang memengaruhi perdagangan dan investasi. Begitu pula dengan dunia pendidikan yang memiliki kesempatan untuk memperkaya kurikulum dengan kajian-kajian lebih dalam tentang Australia, agar hubungan ini lebih terbangun dengan fondasi yang kuat dan seimbang.

Jika pendidikan ingin benar-benar menjadi fondasi dari hubungan strategis kedua negara, ruang kerja sama perlu menjangkau lebih jauh dengan menyentuh institusi vokasi dan perguruan tinggi di daerah. Upaya seperti kolaborasi riset dua arah, pertukaran dosen, serta skema pendanaan bersama bisa menjadi jalan untuk itu.

Dalam kerja sama pendidikan, Indonesia perlu memperkuat posisinya tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai mitra sejajar dalam produksi pengetahuan. Dengan demikian, diplomasi pendidikan dapat menjelma dari sekadar simbol menjadi strategi jangka panjang yang setara dan berdampak. 

Jika ikhtiar kolektif tersebut dicapai bersama, masyarakat luas niscaya akan mulai membayangkan Australia bukan semata sebagai destinasi studi atau negara ”jauh di selatan”, melainkan sebagai tetangga dekat yang memainkan peran penting dalam dinamika regional kita.

Poros Jakarta-Canberra
Langkah Albanese memilih Jakarta sebagai tujuan pertama kunjungan luar negerinya mempertegas tradisi panjang hampir semua Perdana Menteri Australia sejak 2008—baik dari Partai Buruh maupun Koalisi Liberal—yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi pertama setelah pelantikan. Hal ini mencerminkan konsensus bipartisan bahwa Indonesia adalah mitra utama di kawasan. Namun, gestur simbolik ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Albanese adalah sinyal. Namun, agar sinyal ini tidak menguap, semua pemangku kepentingan di Indonesia perlu meresponsnya dengan lebih serius. Mengharapkan Australia selalu mengambil inisiatif tanpa membangun kesiapan internal hanya akan melanggengkan relasi yang timpang. Kemitraan strategis yang sejati hanya mungkin lahir dari kesetaraan persepsi, komitmen, dan partisipasi.

Indonesia dan Australia memiliki sejarah panjang hubungan diplomatik yang berkesinambung. Meski demikian, untuk menghadapi tantangan di masa mendatang, kedua negara tidak hanya membutuhkan sejarah, tetapi juga visi bersama yang solid. Visi tentang kawasan yang stabil, adil, dan saling memperkuat. Untuk itu, poros Jakarta-Canberra harus dibangun atas dasar kebutuhan timbal balik dan kemauan untuk benar-benar mendengarkan satu sama lain.

Sudah saatnya Indonesia turut merancang arah masa depan hubungan bilateral ini dengan gagasan, perhatian, dan kesiapan yang setara.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 16 Mei 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

 

Categories
Politik

Mubazir Kewenangan dalam UU TNI Baru

Beberapa waktu lalu, Gedung DPRD Provinsi DIY menjadi sasaran vandalisme aksi yang menuntut pencabutan UU TNI yang baru saja disahkan. Massa aksi bersikap anarkis ketika mengekspresikan kekecewaan mereka. Sebab, pengesahan UU TNI pada 20 Maret lalu dianggap telah melukai wajah demokrasi nasional. Sejumlah pihak bahkan menasbihkan tanggal tersebut sebagai akhir masa Reformasi. Alasannya, pengesahan UU TNI menjadi langkah mundur komitmen Reformasi yang dibangun 26 tahun terakhir. Pemerintah dan Parlemen teguh mengesahkan UU TNI, kendati selama sepekan lebih ma- syarakat lantang menolak. 

Substansi perubahan UU TNI telah mengecewakan publik. Selain legislasinya yang serampangan, penambamhan jabatan publik yang diisi prajurit aktif dan perluasan kewenangan operasi militer selain perang (OMSP) berpotensi menambah beban kerja TNI. Hal ini, justru dapat melemahkan potensi TNI sebagai militer. 

Militer sebagai Alat Tempur
Sempat berseliweran penggalan video lama nasihat mendiang Salim Said, guru besar dan pakar hubungan sipil militer Indonesia, kepada Prabowo Subianto yang kalaitu menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pada video tersebut, Salim Said mewanti-wanti agar TNI terus berlatih bertempur meski dalam kondisi tidak sedang berperang dan tidak mengurusi hal-hal selain pertahanan nasional. Menurut Salim Said, jika TNI disibukkan dengan urusan-urusan yang bukan bidangnya, negara -negara lain akan meremehkan kemampuan TNI dalam pertempuran. Hal ini, menurut Salim Said, dapat menurunkan deteren dan citra Indonesia di kancah dunia. 

Nasihat Salim Said tersebut didasar kan pada pepatah terkenal di dunia militer : si vis pacem, para bellum, jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Maknanya, persiapan tempur menjadi hal mutlak bagi negara, kendati berada pada masa damai, untuk menghindari agresi dari lawan. Adu mekanik dan pamer kekuatan militer menjadi hal yang lazim dilakukan negara, untuk menghalau niatan liar pihak lain untuk melakukan invasi. 

Sehingga, kapabilitas militer dalam pertempuran harus senantiasa dibangun. Pemerintah, sebagai pelaksana kuasa eksekutif, memiliki kewajiban untuk memastikan langkah tersebut. Menjadikan TNI sebagai militer cakap, bukan sebaliknya. 

Langkah Demiliterisasi TNI
Sayangnya, perubahan ketentuan dalam revisi UU TNI justru menjadikan prajurit semakin tidak militer. Per- luasan OMSP dan penambahan ëjatahí jabatan kementerian dan lembaga dalam revisi terbaru membuat TNI ke hilangan eksistensinya sebagai militer yang cakap. Pasalnya, TNI dituntut un- tuk nimbrung pelbagai aktivitas, mulai ‘dari menangani terorisme, membantu pemerintahan daerah, hingga dijejali! tugas menjaga proyek strategis nasio- nal. Ini membelokkan dari urgensi pra- jurit untuk mengasah skill utama yang seharusnya dikuasai: menja- di pasukan pertahanan yang tangguh. 

Terlebih, kita tidak bisa mengatakan tingkat pertahanan nasional kita sudah paripurna. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, terjadi sebanyak 122,79 juta serangan siber pada periode Januari – Agustus 2024. Selain itu, dari segi kuantitas, jumlah personil secara umum, prajurit TNI juga dianggap kurang jika dibandingkan dengan luas teriitorial yang harus dilindungi. Bahkan, pemerintah terus mendorong penambahan anggota komponen cadangan untuk membantu tugas utama TNI. Artinya, TNI asih kewalahan dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai komponen utama pertahanan. 

Alih-alih memperbaiki permasalahan institusinya, perubahan UU TNI justru memperluas beban kerja prajurit, Prajurit TNI akan semak terbebani jika dituntut untuk menambah kapabilitas lain. Peluasan kewenangan menangani terorisme dan bencana alam yang hendak diberikan kepada TNI akan menjadikan fokus sumber daya manusia militer kita terpecah. Agenda perlu- asan kewenangan yang diatur dalam UU TNI adalah sebuah anomali konteks. Jauh panggang dari api, revisi dicanangkan justru akan memperlemah, alih-alih memperkuat pertahanan nasional Indonesia. 

Peningkatan kewenangan dan lingkup OMSP merupakan hal yang mubazir. Melalui beleid terbaru, TNI disuruh untuk menyelesaikan permasalahan instansi lain, dipaksa untuk bekerja ekstra. Padahal, tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan Indonesia sudah berat. Maka, sepatutnya kita bertanya-tanya, jika TNI dan sipil sama- sama dirugikan, untuk kepentingan siapa UU TNI kemarin dibuat? 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 12 April 2025

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.



Categories
Politik

Legislatif Desa

Badan Permusyawaratan Desa sebagai badan legislatif di tingkat desa perlu diperkuat. Dengan demikian, BPD dapat menjadi kekuatan penyeimbangan untuk mengawasi pemerintahan desa yang diselenggarakan kepala desa.

Dalam teori dan sistem ketatanegaraan, legislatif memiliki peran yang sangat penting, sama pentingnya dengan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Secara umum, jamak diketahui legislatif memiliki tiga fungsi utama, yaitu pembuat undang-undang, pengawas pelaksanaan undang-undang, dan penganggaran.

Selain itu, keberadaan legislatif menjadi sangat vital karena merupakan lembaga yang ditengarai mewakili rakyat secara langsung. Oleh karena itu, sejatinya apa yang disuarakan oleh legislatif adalah representasi dari apa yang diinginkan oleh rakyat.

Pemerintahan desa merupakan struktur pemerintahan terendah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, keberadaannya setara dengan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Mereka sejatinya memiliki kedudukan sejajar, yang membedakannya hanyalah cakupan wilayah kekuasaannya.

Bahkan, pemerintahan desalah yang sehari-hari berhadapan langsung dengan masyarakatan dan problem kemasyarakatan. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh pemerintahan desa jauh lebih kompleks.

Sebagai sistem pemerintahan terendah, pemerintahan desa juga memiliki badan legislatif yang oleh undang-undang disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sebagaimana Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa BPD mempunyai fungsi membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan kinerja kepala desa. BPD juga berhak mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa begitu pun menyatakan pendapat atas hasil penyelenggaraan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, sejatinya BPD sebagai wakil rakyat atau wakil penduduk desa memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, mengawasi pemerintah desa, dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Dengan kata lain, BPD adalah badan legislatif di tingkat desa.

Sayangnya, keberadaan BPD saat ini masih sangat lemah, baik secara kelembagaan maupun kewenangan. BPD yang sejatinya menjadi mitra pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, pengundangan, dan penyalur aspirasi, justru lebih tampak sebagai bawahan dan ”tukang” stempel kepala desa. Dengan demikian, pemerintahan desa sepenuhnya diselenggarakan oleh kepala desa sebagai eksekutif, tidak ada kekuatan penyeimbang untuk melakukan pengawasan. Implikasinya, ada banyak kepala desa atau perangkat desa lainnya yang berurusan dengan aparat penegak hukum, baik karena melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ataupun penyalahgunaan wewenang lainnya.

BPD yang sejatinya menjadi mitra pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, pengundangan, dan penyalur aspirasi, justru lebih tampak sebagai bawahan dan ”tukang ” stempel kepala desa.

Setidaknya ada beberapa logika mengapa legislatif desa, yaitu BPD atau dengan sebutan lain penting untuk diperkuat kelembagaan maupun kewenangannya. Pertama, pepatah lama yang sangat familiar di telinga kita ”power tend to corrupt but absolut power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan itu cenderung kepada tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan melampaui kewenangan.

Pemerintah desa memiliki prasyarat yang lebih dari cukup untuk melakukan kesewenang-wenangan itu. Dari aspek kewenangan, nyaris tak terbatas karena semua bergantung kepada kepala desa, tidak ada fungsi lain yang menjadi penyeimbang kekuasaan. Dari aspek anggaran, alokasi dana desa dan dana desa memberikan kucuran dana yang cukup besar bagi pemerintah desa, bahkan sangat besar jika dibandingkan sebelum rezim UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Belum lagi ada banyak desa yang memiliki Badan Usaha Milik (BUM) Desa dengan pendapatan di atas rata-rata. Sementara dari aspek masa jabatan, kepala desa menjabat selama enam tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode. Artinya, seseorang dapat menjabat menjadi kepala desa selama 18 tahun. Bahkan, ada pula usulan dari pemerintah pusat untuk menaikkan masa jabatan menjadi sembilan tahun.

Dengan kekuasaan yang sangat besar, mencakup kewenangan, anggaran, dan masa jabatan di atas, adalah niscaya agar pada level desa, memiliki satu badan legislatif yang memiliki kekuatan setara sebagai penyeimbang. Jika tidak, penyalahgunaan wewenang akan terus ada dan semakin masif.

Kedua, dari aspek teoretik, pemerintahan desa juga merupakan wadah pendidikan politik bagi calon kader-kader politik yang akan berkecimpung pada level daerah maupun nasional. Atau dengan kata lain, pemerintahan desa adalah bentuk mini dari pemerintahan daerah ataupun pemerintahan pusat. Oleh karena itu, sistem yang digunakan haruslah sama atau paling tidak mendekati kesamaan.

Pada level pusat dan daerah, legislatif memiliki peran penting sebagai pengawas, pembuat undang-undang dan menyetujui anggaran yang dibuat oleh legislatif. Pada level desa, juga setidaknya memiliki model yang serupa dengan itu, agar desa menjadi laboratorium mini pemerintahan Indonesia yang sebenarnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 24 April 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

Categories
Pendidikan

Kampus Terjerat Tambang

Gagasan WIUP untuk kampus berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam.

Usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengenai pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi yang diajukan sebagai bagian dari Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memicu perdebatan.

Beberapa pihak, seperti Forum Rektor Indonesia, mendukung ide ini dengan dalih bahwa pendapatan dari tambang dapat digunakan untuk mensubsidi biaya operasional kampus, yang akhirnya mengurangi SPP mahasiswa. Namun, muncul juga suara kritis, seperti dari Rektor Universitas Islam Indonesia, yang menolak gagasan ini dan mengkhawatirkan dampaknya terhadap karakter kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai akademik.

Gagasan WIUP untuk kampus ini berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ruang bebas bagi pemikiran kritis dan advokasi kebenaran ilmiah, justru berisiko terjebak dalam dinamika korporatisasi dan subordinasi politik. Bagaimana perspektif ekonomi politik menjelaskan fenomena ini?

Jeratan negara berkembang
Negara berkembang seperti Indonesia memiliki ketergantungan historis terhadap eksploitasi sumber daya alam mentah sebagai sumber pendapatan utama. Ketergantungan ini merupakan warisan kolonial yang terus berlanjut dalam struktur ekonomi global. Perspektif Teori Sistem Dunia Immanuel Wallerstein menempatkan Indonesia dalam kategori negara “semi-peri,” yaitu entitas yang terjebak antara zona inti kapitalis global dan negara-negara pinggiran. Negara semi-peri cenderung menyediakan bahan mentah tanpa mendapatkan nilai tambah yang signifikan.

Program hilirisasi nikel yang digalakkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sering disebut sebagai upaya untuk keluar dari jeratan ini. Namun, kenyataannya, program tersebut lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak asing seperti Tiongkok, yang mengendalikan teknologi dan pasar, dibandingkan meningkatkan nilai tambah dalam negeri.

Hal ini mencerminkan relasi ekonomi politik internasional yang tetap timpang. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali terkunci dalam peran ekonomi yang menguntungkan negara-negara maju, ketimbang membangun kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Ketergantungan ini tidak hanya melanggengkan eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga melemahkan daya saing ekonomi nasional.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi harus dilihat dalam konteks ini. Alih-alih membantu Indonesia keluar dari ketergantungan struktural, langkah ini justru dapat memperkuat eksploitasi sumber daya alam tanpa perubahan mendasar pada struktur ekonomi. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi aktor transformasi justru dapat terjebak dalam pengulangan pola ekonomi lama yang bersifat ekstraktif.

Jeratan korporatisasi kampus
Transformasi ekonomi global sejak dekade 1970-an telah membawa pengaruh besar pada institusi pendidikan tinggi. Globalisasi telah mendorong kampus menjadi entitas yang berorientasi pada profit, menjauh dari misi utamanya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Tren ini semakin diperkuat oleh sistem pemeringkatan kampus global, yang memaksa perguruan tinggi untuk mengejar pendanaan alternatif agar tetap kompetitif secara reputasi.

Dalam kerangka ini, tidak mengherankan jika ide pengelolaan tambang oleh kampus muncul sebagai “solusi kreatif” untuk mengatasi tantangan pendanaan. Namun, langkah ini dapat mengecoh dan membawa konsekuensi besar. Kampus yang diberikan WIUP tidak hanya akan terjebak dalam arus korporatisasi, tetapi juga berpotensi mengorbankan tri dharma perguruan tinggi: pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat.

Dalih bahwa pendapatan dari pengelolaan tambang akan mengurangi SPP mahasiswa perlu dikritisi secara mendalam. Kenyataannya, sebagian besar kampus di Indonesia masih sangat bergantung pada SPP mahasiswa dan subsidi pemerintah untuk menopang operasionalnya. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan dari tambang, yang bersifat tidak stabil dan berisiko tinggi, bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi tantangan pendanaan. Sebaliknya, ketergantungan pada sumber pendapatan seperti tambang justru dapat memperburuk tata kelola kampus dan mengalihkan fokus dari inovasi pendanaan yang berkelanjutan dan sejalan dengan nilai-nilai pendidikan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang menimbulkan kontradiksi moral yang sulit dihindari. Kampus yang menyuarakan pembangunan berkelanjutan sekaligus melakukan eksploitasi sumber daya alam tidak hanya akan kehilangan legitimasi moral, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi generasi mendatang.

Jeratan subordinasi politik
Perspektif ekonomi politik juga membantu kita memahami risiko yang lebih subtil dari pemberian WIUP, yaitu ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah dan kampus. Sebagai penerima WIUP, perguruan tinggi akan berada dalam posisi yang rentan terhadap kontrol pemerintah. Izin yang diberikan, diperpanjang, atau dicabut berdasarkan keputusan politik dapat menjadi alat yang digunakan untuk membungkam suara kritis akademisi terhadap kebijakan negara. Tanpa mengakhiri hubungan subordinasi antara pemerintah dan kampus, kondisi riset dan pengembangan ilmu pengetahuan akan terus terpuruk dan kehilangan daya saing.

Hal ini bukan sekadar ancaman hipotetis. Dalam konteks di mana perguruan tinggi telah menjadi arena advokasi politik dan kritik terhadap kebijakan publik, ketergantungan pada WIUP akan mengurangi independensi akademik yang seharusnya menjadi pilar utama dunia pendidikan. Dalam jangka panjang, kampus berisiko berubah menjadi subordinat pemerintah, bukan lagi aktor independen yang mengedepankan kebenaran dan keadilan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang dapat merusak reputasi institusi itu sendiri. Kampus yang terlibat dalam aktivitas ekstraktif akan kehilangan kredibilitas sebagai pelopor pembangunan berkelanjutan, sekaligus menempatkan diri mereka pada posisi yang berlawanan dengan nilai-nilai akademik yang mereka ajarkan.

Setia pada misi
Untuk mencegah jeratan korporatisasi dan subordinasi politik, perguruan tinggi perlu menjaga integritasnya dengan menolak keterlibatan dalam pengelolaan tambang. Sebagai gantinya, perguruan tinggi dapat memanfaatkan keahliannya untuk beberapa hal strategis.

Pertama, kampus dapat memainkan peran sebagai pengawas independen untuk memastikan bahwa praktik pertambangan dilakukan sesuai dengan standar lingkungan dan sosial yang ketat. Peran ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dan melindungi hak masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas tambang.

Kedua, kampus juga dapat memperkuat riset di bidang teknologi hijau, seperti pengembangan energi terbarukan atau metode eksploitasi sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Kontribusi ini tidak hanya relevan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, tetapi juga membuka peluang inovasi yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada model ekonomi ekstraktif.

Ketiga, kampus memiliki tanggung jawab untuk menjadi advokat dalam mendorong kebijakan publik yang transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dengan konsistensi pada prinsip-prinsip tersebut, perguruan tinggi dapat memengaruhi tata kelola tambang agar lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, mengedepankan keberlanjutan lingkungan, dan menjaga integritas institusi akademik.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi adalah gagasan yang berisiko tinggi, baik dari segi ekonomi-politik, sosial, maupun lingkungan. Di tengah struktur ekonomi global yang timpang, keterlibatan kampus dalam bisnis tambang hanya akan memperkuat pola eksploitasi lama tanpa memberikan solusi jangka panjang bagi pembangunan bangsa. 

Perguruan tinggi harus menolak jeratan ini dan tetap setia pada misi akademik mereka sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan konsisten pada penguatan riset, advokasi, dan inovasi teknologi, kampus dapat memberikan kontribusi nyata tanpa harus mengorbankan integritas dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Mudah-mudahan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 7 Februari 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Hukum Politik

Tak Ada Permintaan Maaf kepada PKI

Tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain.

Tidak ada permintaan maaf, baik tertulis maupun lisan, oleh Presiden Joko Widodo kepada Partai Komunis Indonesia atau PKI. Saya pastikan, itu tidak ada.

Ada isu politik dan hukum yang bersumber dari kesesatan informasi sejak akhir September sampai awal Oktober 2024 yang mengitari suasana peringatan G30S PKI dan Hari Kesaktian Pancasila tahun 2024 ini, yakni isu permintaan maaf pemerintah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada PKI dan keturunannya. Kita pastikan bahwa isu itu tidak benar karena sumber informasinya sesat dan tidak otentik.

Isu tentang permintaan maaf kepada PKI itu terpantik lagi setelah, sekitar 30 September dan 1 Oktober 2024, beredar pemberitaan dan video Ibu Amelia Yani yang akan menuntut Presiden Jokowi ke Mahkamah Agung (MA) karena telah meminta maaf kepada PKI dengan merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) No 17 Tahun 2022 dan Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2023.

Amelia Yani adalah putri Jenderal Ahmad Yani, salah seorang korban keganasan PKI. Sebagai orang yang ikut menangani langsung pembentukan keppres dan inpres tersebut, saya merasa terpanggil untuk menjelaskannya agar informasi yang salah tidak dikunyah berlanjut-lanjut.

Penyelesaian 13 peristiwa
Saya berani memastikan bahwa, baik di dalam Keppres No 17 Tahun 2022 dan Inpres No 2 Tahun 2003 maupun di dalam pernyataan-pernyataan lisan Presiden Jokowi, tidak ada kata-kata atau frasa dalam kalimat yang menyebutkan tentang permintaan maaf kepada PKI dan atau keturunannya.

Saya menyatakan itu karena sayalah yang ditugasi untuk mengawal detail pembuatan keppres dan inpres dimaksud. Sampai sekarang, naskah keppres dan inpres tersebut bisa dilihat di laman Sekretariat Negara ataupun di Google.

Keppres dan inpres tersebut dibuat atas perintah Tap MPR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, baik melalui pengadilan maupun melalui rekonsiliasi nasional dan nonyudisial untuk menguatkan kembali persatuan Indonesia. Tap MPR dan beberapa undang-undang (UU) tentang itu dibuat MPR yang diketuai Amien Rais pada awal-awal Reformasi.

Berbarengan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ditugasi untuk menyelidiki dan menetapkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang perlu diselesaikan, baik melalui pengadilan (yudisial) maupun melalui rekonsiliasi (nonyudisial).

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil (dan dipaksakan dengan pembuktian seadanya) dibawa ke pengadilan diputus bebas oleh MA.

Ada 33 terdakwa yang dibebaskan dan ada satu orang yang dijatuhi hukuman, tetapi kemudian dibebaskan melalui peninjauan kembali oleh MA.

Adapun upaya melakukan rekonsiliasi tidak bisa berjalan efektif karena UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 006/PUU-IV/2006.

Upaya merevisi UU tersebut dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo, tetapi selalu gagal, teradang di perdebatan politik.

Itulah sebabnya pemerintahan Presiden Joko Widodo mengambil langkah lebih maju dengan mengonsentrasikan diri untuk memenuhi hak-hak korban, bukan pelakunya. Maka, dikeluarkanlah Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

Isi keppres tersebut menekankan pentingnya pengungkapan peristiwa dan pemulihan hak korban peristiwa pelanggaran HAM berat. Tidak ada sama sekali kata permintaan maaf kepada siapa pun, apalagi kepada pelaku.

Keppres itu juga tak menutup pintu penyelesaian secara yudisial karena (seperti dimuat dalam konsiderans, Menimbang butir c) penyelesaian nonyudisial merupakan jalan paralel yang dilakukan di samping jalur yudisial, sesuai perintah Tap MPR No XVII/MPR/1998, UU No 1 Tahun 1999, UU No 39 Tahun 1999, dan UU No 26 Tahun 2000.

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR.

Keppres No 17 Tahun 2022 hanya berisi pembentukan Tim PPHAM untuk mendalami keputusan Komnas HAM tentang terjadinya 13 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tim PPHAM kemudian merekomendasikan langkah-langkah pemulihan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan, antara lain, dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

Jadi yang dikembalikan hak-haknya adalah hak para korban yang tidak terlibat atau hanya menjadi korban. Sementara pelakunya harus tetap dibawa ke pengadilan sepanjang bisa dibuktikan secara hukum. Pemerintah harus mengakui keputusan tentang pelanggaran HAM berat yang ditemukan Komnas HAM karena Tap MPR dan UU memang menugaskan Komnas HAM untuk memutuskan tentang itu dan pemerintah tak bisa menolaknya.

Rekomendasi Tim PPHAM yang disampaikan kepada Presiden tersebut kemudian dituangkan dalam Inpres No 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat tanggal 15 Maret 2023.

Inpres ini memerintahkan kepada 19 kementerian dan lembaga pemerintahan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM.

Saat menerima dan mengumumkan rekomendasi Tim PPHAM yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya inpres itu, tidak ada pernyataan atau satu kata pun tentang permintaan maaf.

Yang dikatakan Presiden adalah mengakui bahwa 13 peristiwa itu betul terjadi dan pengakuan itu memang harus dilakukan karena yang menetapkan adalah lembaga negara yang memang ditugaskan untuk itu, yakni Komnas HAM. Presiden tidak boleh tidak mengakui keputusan Komnas HAM.

Sebagai kesaksian, ketika proses sosialisasi ke berbagai daerah dan ormas-ormas, saya memang mencatat ada beberapa orang yang mengusulkan kepada Tim PPHAM agar pemerintah menyatakan meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Akan tetapi, usul itu ditolak keseluruhan anggota Tim PPHAM dan tidak pernah dijadikan kesimpulan yang ditulis ataupun diucapkan.

Jadi yang dilakukan pemerintah terbatas pada mengakui dan tidak menyatakan meminta maaf sebab kesalahan atas terjadinya peristiwa-peristiwa itu tidak bisa secara hitam putih ditimpakan kepada pemerintah, apalagi rezimnya sudah berganti-ganti dan setiap rezim sudah berusaha menanganinya.

Penulisan sejarah
Hal yang tidak benar lainnya dari pernyataan Ibu Amelia Yani adalah tentang izin pemerintah untuk melakukan penulisan ulang sejarah G30S PKI.

Itu tidak benar sebab pemerintah justru menolak jika sejarah 1965/1966 ditulis ulang sebagai versi resmi pemerintah. Tegas, di sidang kabinet pemerintah menolak itu.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang. Tetapi, kepada mereka yang menyampaikan usul itu, pemerintah menyatakan menolak sebab jika ada sejarah baru versi pemerintah, pasti akan ada versi lain yang mempersoalkannya lagi.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang.

Versi sejarah tentang peristiwa 1965/1966 sudah banyak. Ada versi Pusat Sejarah ABRI, versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, versi Cornell, versi intelijen asing, versi sejarawan Nahdlatul Ulama, dan lain-lain, termasuk versi berbagai disertasi dan tesis.

Oleh karena, itu tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain. Akan tetapi, semua ilmuwan dan peneliti sejarah boleh saja melakukan penelitian-penelitian lanjutan sesuai dengan metodologi sejarah masing-masing.

Versinya bisa berbeda-beda, tetapi tetap merupakan pandangan akademik masing-masing, bukan versi pemerintah. Dananya, tentu saja, bisa memakai dana pemerintah sebagai dana program penelitian yang ada di Kemendikbudristek, BRIN, dan di berbagai perguruan tinggi. Yang penting, proposalnya memenuhi syarat. Masa, orang mau meneliti secara ilmiah-akademik akan dilarang?

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 8 Oktober 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

Categories
Politik

Jatah Kursi Dubes

Presiden Prabowo baru saja melantik 31 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang akan ditugaskan di negara-negara strategis. Diantara mereka selain diplomat karir juga ada yang berlatar belakang politikus, purnawirawan TNI, dan mantan hakim. Dari sini, tak dapat dimungkiri adanya persepsi masyarakat bahwa pasca Pemilu akan dilaksanakan pembagian jatah kursi yang tak hanya di BUMN tapi juga di kedutaan besar.

Pengangkatan duta besar seolah seperti kebiasaan yang berlangsung seperti sebelumnya. Padahal Presiden Prabowo memiliki target untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Untuk mencapainya, dibutuhkan strategi handal dengan mempercayakan beragam tugas berat kepada para diplomat kita.

Penunjukan Politis
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Duta Besar. Kewenangan konstitusional ini memberikan peluang kepada Presiden untuk memberikan posisi Duta Besar kepada siapa saja yang dikehendakinya. Namun, secara kelembagaan, harus diketahui bahwa Kementerian Luar Negeri menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya para diplomat karir.

Para diplomat karir telah dilatih dan disekolahkan untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Mereka juga telah berpengalaman dalam menangani kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia secara lintas batas negara. Memberikan peluang kursi duta besar kepada non- diplomat justru akan memunculkan sebuah pertanyaan apakah mereka minimal mampu memiliki kemampuan yang jauh lebih baik daripada diplomat yang lahir dari merit system.

Penunjukan diplomat non-karir selama ini dilakukan atas dasar kepentingan politik balas budi. Umumnya mereka dipilih karena pernah menjadi tim sukses Presiden selama Pemilu. Tanpa melihat latar belakang keahlian yang dimilikinya, penunjukan diplomatik non-karir justru akan melemahkan kekuatan diplomasi kita.

Beberapa kasus internasional yang dihadapi Indonesia dapat menjadi bahan evaluasi terhadap keberadaan diplomat kita di luar negeri. Belum lama ini, Indonesia kalah dalam forum ICC Singapura dalam kasus Navayo sehingga harus membayar denda ratusan miliar rupiah. Selain itu, permasalahan pekerja migran Indonesia di luar negeri yang tak kunjung selesai menjadi bukti bahwa kebutuhan akan sumber daya manusia yang ahli dalam berdiplomasi sangatlah penting.

Upaya Hukum
Studi yang dilakukan oleh Haglund (2015) menyebutkan bahwa diplomat karir rata-rata memiliki kinerja yang jauh lebih baik jika dibandingkan diplomat yang dipilih secara politik. Mereka umumnya telah teruji memiliki kualifikasi yang sangat tinggi baik dari segi pendidikan dan pelatihan, pengalaman internasional yang jauh lebih baik, serta kemampuan diplomasi yang matang.

Untuk itu, perlu dipikirkan agar tidak sembarang orang dapat dipilih menjadi diplomat non karir. Jangan sampai timbul kesan bahwa keberadaan diplomat non karir sebagai bagian dari bagi-bagi kekuasaan dan mengabaikan level kapasitas yang harus dipenuhi. Presiden perlu melakukan fit and proper test serta mewajibkan mereka untuk mengikuti pelatihan intensif sehingga mereka mampu memahami strategi menghadapi permasalahan dalam hubungan internasional yang dihadapi Indonesia dengan cepat dan efektif. Prosedur ini sangat perlu dilembagakan minimal dalam bentuk Peraturan Presiden agar secara konsisten menjaga marwah kedutaan besar kita di luar negeri.

Selain itu, sudah saatnya kita merombak substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Utamanya, undang-undang ini sangat perlu mengatur secara detail struktur kelembagaan perwakilan kita di luar negeri dan syarat yang harus dipenuhi bagi diplomat non-karir.

Jika hal ini diatur dalam Undang-Undang, maka siapapun Presiden-nya mau tidak mau harus patuh. Tidak akan ada lagi praktik saling tunjuk dengan latar belakang politik praktis. Harapannya, diplomasi kita semakin kuat sehingga memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam percaturan global.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Maret 2025

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional.