Universitas kian kehilangan semangat universus-nya. Kampus kian terfragmentasi dan eksklusif.
Setiap 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Namun, dalam ingar-bingar seremoni dan slogan, kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: apakah universitas-yang semestinya menjadi mercusuar akal dan nurani—masih setia pada jiwanya?
Dari akar bahasanya, universitas berasal dari kata Latin, yaitu universus, yang berarti “menyeluruh” atau “utuh.” Dalam semangat itulah, universitas sejak abad pertengahan dimaknai sebagai rumah besar ilmu pengetahuan: tempat cabang-cabang ilmu saling bertemu dalam semangat pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.
Namun, dalam praktik hari ini, semangat universus di universitas justru memudar. Banyak kampus di Indonesia mengalami fragmentasi kelembagaan, bukan penyatuan. Salah satu gejala ini terlihat dari nama-nama fakultas yang tak hanya menandai bidang keahlian, tapi juga menjadi simbol identitas eksklusif lengkap dengan pagar epistemik yang semakin tinggi. Di Indonesia, fakultas terkesan lebih mirip benteng disipliner ketimbang wadah kolaborasi.
Padahal fakultas semestinya menjadi ruang temu gagasan, tempat ilmu saling bersilang. Namun yang terlihat kini sebaliknya: ilmu dikurung dalam menara eksklusif dan para penjaganya terkecoh, sibuk menjaga ego disiplin.
Pierre Bourdieu dalam Homo Academicus (1984) menyebut hal ini sebagai bentuk illusio: keterpukauan akademikus terhadap permainan simbolik dunia mereka sendiri hingga lupa bahwa ilmu bukan sekadar pengakuan internal, melainkan tanggung jawab eksternal. Ego disiplin membuat kita merasa cukup dengan menjadi ahli, padahal dunia menuntut lebih dari sekadar kepakaran : ia butuh keterlibatan, keberpihakan, dan tindakan nvata untuk mendorong perubahan sosial.
Salah satu wajah ego ini terlihat dari cara kita memandang disiplin lain. Tidak jarang kita mendengar komentar sinis terhadap bidang yang dianggap “tak ilmiah”, “kurang metodologis”, atau “tidak laku di pasar.” Ironisnya, penilaian ini sering datang dari keengganan mempelajari dan memahami disiplin lain.
Akibatnya, ruang kolaborasi menjadi sempit, diskusi antardisiplin terhambat, dan mahasiswa tumbuh dalam lingkungan yang miskin koneksi lintas gagasan. C.P. Snow pernah memperingatkan lewat pidato terkenalnya, The Two Cultures (1959), bahwa jurang antara ilmu alam dan humaniora menciptakan krisis budaya modern karena keduanya berhenti saling berbicara. Apa yang terjadi di kampus hari ini adalah versi baru dari krisis itu dan diperparah oleh keangkuhan keilmuan yang semakin terlembaga.
Situasi semakin parah saat ego ini berpilin dengan logika pasar. Ketika kampus dijalankan seperti pabrik dan program studi dilihat sebagai jalur produksi, nilai-nilai luhur pendidikan tinggi tergantikan oleh retorika efisiensi serta manfaat ekonomi. Banyak program studi merasa cukup hanya karena lulusannya cepat bekerja. Mereka merasa berhasil karena “disiplin” mereka laku di pasar tanpa pernah bertanya: apakah mereka telah mendidik mahasiswanya menjadi manusia yang berpikir? Apakah mereka berhasil mencetak calon pemimpin yang memahami tantangan kemanusiaan dan kebangsaan?
Dalam jeratan logika pasar pula sistem pemeringkatan kampus dunia memperparah fragmentasi ilmu. Dengan menjadikan publikasi dan reputasi keilmuan sebagai tolok ukur utama, khususnya pemeringkatan berbasis rumpun keilmuan, banyak kampus justru memperkuat sekat antardisiplin. Alih-alih mendorong kolaborasi, pemeringkatan ini mendorong persaingan dalam ruang sempit dan memperkokoh menara gading masing-masing.
Lebih ironis lagi, reputasi institusi kini kian bergantung pada publikasi jurnal internasional bereputasi yang aksesnya sering tertutup dan berbayar. Pertanyaannya: berapa persen masyarakat dunia yang punya akses ke jurnal-jurnal tersebut? Siapa pembaca dari pengetahuan “berkelas dunia” ini? Tak berlebihan untuk menduga keras bahwa sebagian besar pembacanya adalah akademikus itu sendiri. Ilmu pun tereduksi menjadi komoditas yang menaikkan gengsi institusi dan karier, tapi abai terhadap problem rakyat di luar pagar kampus.
Sheila Slaughter dan Gary Rhoades dalam Academic Capitalism (2004) menunjukkan bagaimana kampus tunduk pada logika pasar, dari struktur pembiayaan, orientasi riset, hingga cara pandang terhadap mahasiswa. Fenomena ini juga tampak dari semakin menguatnya kecenderungan menjadikan gelar dan reputasi sebagai tujuan semu, yang pada akhirnya merusak makna sejati pendidikan tinggi.
Pendidikan tinggi disempitkan menjadi alat produksi tenaga kerja, bukan ruang refleksi dan pembentukan karakter. Ketika tren ini terjadi bersamaan dengan menguatnya ego disiplin, keangkuhan sektoral menjadi kian tebal dan sulit ditembus.
Konsekuensinya? Kampus semakin terasa asing bagi masyarakat. Mahasiswa kehilangan makna belajar-ia dibentuk menjadi teknokrat yang cakap bekerja, tapi miskin kepekaan dan keberpihakan. Ilmu kehilangan daya hidup sosialnya karena disajikan dalam potongan kaku yang kehilangan konteks.
Bill Readings dalam The University in Ruins (1996) telah membunyikan alarm bahwa universitas telah kehilangan proyek kebudayaannya. Kampus tidak tahu lagi untuk apa ia ada, kecuali sekadar menjadi “excellent”, sebuah istilah abstrak yang kerap justru mengecoh karena excellence kini diukur dari angka-angka administratif, bukan dari dampak sosial.
Pada momen Hari Pendidikan Nasional, kita diingatkan kembali pada pesan Ki Hadjar Dewantara: bahwa pendidikan harus memerdekakan, bukan menyeragamkan. Karena itu, universitas pun harus kembali menjadi ruang merdeka bagi ilmu untuk bertemu, bukan terpecah.
Bagaimanapun, situasi ini bukan akhir segalanya. Masih ada harapan asalkan para akademikus berani bersikap jujur, rendah hati, dan membuka diri. Sudah saatnya kampus membongkar ego disiplin dan mengakui bahwa tak satu pun disiplin cukup untuk memahami dunia yang terus berubah. Kolaborasi bukan ancaman, tapi keniscayaan.
Ronald Barnett dalam Higher Education: A Critical Business (1997) mengajak kita melihat kampus sebagai ruang reflektif dan kritis, bukan sekadar tempat distribusi pengetahuan. Akademikus bukan sekadar pengumpul gelar dan publikasi, tapi juga berperan sebagai penjaga akal sehat publik.
Kita harus kembali ke misi luhur pendidikan tinggi: membentuk manusia yang seutuhnya. Bukan hanya siap kerja, tapi juga siap berpikir. Bukan hanya laku di pasar, tapi juga mampu memperjuangkan nilai. Misi ini hanya mungkin terwujud jika kita bangun dari tidur panjang keangkuhan sektoral dan membuka ruang bagi pertemuan antardisiplin.
Sejumlah universitas di Inggris dan Australia mulai merombak struktur fakultas mereka dari yang terfragmentasi menjadi lintas bidang. Mereka sadar bahwa masa depan pendidikan tinggi tak bisa berdiri di atas menara-menara ego disiplin. Maka, pertanyaannya: apakah kampus-kampus di Indonesia siap meretas jalan dari pagar sektoral menuju ruang interdisiplin?
Jika universitas ingin bermakna, universus harus kembali menjadi jiwanya.
Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 5 Mei 2025
Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.