Categories
Politik

Jangan Sampai Kita Mengikuti Venezuela

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Pernahkah Anda mendengar nama Hugo Chavez? Dia adalah pemimpin otoriter Venezuela dari tahun 1999 hingga tahun 2013.

Chavez menjadi otoriter setelah secara demokratis terpilih menjadi pemimpin negara Amerika Latin tersebut. Proses menuju otoritarianisme tersebut melalui beberapa proses: penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, pembungkaman media, dan kejadiannya terjadi secara berangsur-angsur. Kita patut mewaspadai tanda-tanda proses tersebut agar kita bisa mengawal negara kita sendiri untuk tidak kembali pada otoritarianisme.

Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, terpilih secara demokratis pada Pemilu tahun 2024. Dalam proses pencalonannya, hukum di Indonesia disesuaikan secara legal untuk melancarkan pencalonan wakilnya, Gibran, anak dari presiden sebelumnya, Joko Widodo.

Masyarakat mengingat bagaimana kasus ini bergulir di MK serta dinamikanya yang cukup mencuri perhatian masyarakat. Salah satunya terkait dengan usia minimum untuk dapat menjadi wakil presiden. Beberapa ahli, seperti Muhammad Tri Adika berpendapat bahwa Gibran menjadi kendaraan Prabowo untuk mendapatkan hati pendukung  Joko Widodo di daerah-daerah di Indonesia. Demokrasi biasanya mati secara perlahan bukan karena kudeta.

Pada tahun 2025, ketika Prabowo dilantik menjadi presiden, dalam politik Tanah Air, kita dapat melihat terlemahkannya toleransi antar aktor politik dan antar masyarakat, serta nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

Kabinet gemuk yang dimiliki saat ini menunjukkan bagaimana oposisi hampir-hampir ditiadakan. Partai-partai pendukung Anies kini masuk ke rombongan besar ini. Dan hanya PDIP yang nampak berperan sebagai oposisi di tengah pemerintah.

Meskipun kita dapat mengkritisi kader-kader tindakan PDIP yang sempat tidak mengikuti retret kepala daerah karena kepala daerah adalah petugas rakyat dan bukan hanya petugas partai, kita bisa berargumen bahwa ada indikasi gaslighting yang dilakukan oleh pemerintahan pemegang kuasa dalam hal tersebut.

Dalam sebuah demokrasi yang sehat, pemerintahan adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, kebijakan juga seharusnya berpihak pada rakyat. Akan tetapi, kejadian ironis di kala seorang ayah di-PHK demi efisiensi dan pajak negara digunakan untuk Program Makan Siang Gratis.

Hal ini mungkin terjadi karena adanya miskoordinasi di dalam badan-badan milik pemerintah. Dalam kesempatan lain, pemerintah, dianggap oleh beberapa kalangan, membungkan kebebasan pelukis dan musisi yang menyuarakan kritik mereka melalui karya seni, seperti lagu “Bayar, bayar, bayar” dan lukisan “Tikus Garuda” yang “diamankan”. Namun, hal ini bisa saja terjadi karena koordinasi dan komunikasi yang kurang lancar. Bagaimanapun itu, kita perlu melihat seperti apa sebenarnya kasus ini bergulir.

Jika kita pantau lebih lanjut dan membandingkan apa yang terjadi di Indonesia dengan apa yang terjadi di Venezuela pada masa awal Hugo Chavez, kita bisa melihat persamaan penafikan aturan demokrasi, penolakan legitimasi lawan, penggunaan kekerasan, dan pengebirian kebebasan sipil.

Kita sedang menyaksikan mahasiswa dianggap “gaduh” dan “mengganggu” ketika sedang berunjuk rasa menolak pemotongan anggaran pendidikan. Kemudian hampir tiadanya oposisi di dalam pemerintahan, represi pada protes menentang Program Makan Siang Gratis oleh orang-orang Papua, serta pembungkaman secara halus akademisi, seniman, dan media melalui cara-cara seperti pengelolaan tambang.

Hal-hal tersebut adalah awal mula dari melemahnya demokrasi di negara ini. Bisa saja ada oknum yang menggunakan kekuasannya untuk memperkeruh suasana. Kita perlu duduk sebentar dan merenunginya, kemudian mempertayakan, apa yang sebenarnya terjadi.

Selanjutnya, institusi-institusi di pemerintahan mulai memperlihatkan perlemahan demokrasi dan kurangnya check and balances antar lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif di negara ini. Eksekutif dapat mengeluarkan aturan dan program dengan mendapatkan persetujuan dari DPR. DPR kita saat ini sudah didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintah.

Dan peraturan-peraturan kini dapat diubah melalui Mahkamah Konstitusi. Hampir tidak adanya oposisi akan berakibat pada tidak adanya pihak yang mengawasi kinerja pemerintah. Memang, dalam praktiknya, kondisi yang demikian itu akan lebih melancarkan program-program pemerintah untuk kesejahteraan rakyat jika dijalankan oleh orang-orang yang berintegritas dan berkomitmen untuk pembangunan bangsa. Akan tetapi, dengan minimnya check and balances tersebut, rakyat dapat menjadi pihak yang senantiasa mengawasi pemerintah secara langsung, agar oknum-oknum nakal dapat diminimalisasi.

Ketika aktor pemerintahan tidak bisa lagi mengawasi jalannya pemerintahan, Masyarakat melalui media (cetak, elektronik, maupun sosial), adalah cara berikutnya untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Sayangnya pada masa ini, algoritma dalam penggunaan media sosial atau elektronik sudah membuat semacam gelembung informasi. Seorang hanya akan mendengar atau menyaksikan informasi sesuai dengan kesukaan dan kebutuhannya saja, bukan informasi yang memang dia perlu untuk ketahui.

Sekarang ini pula, suatu berita tidak akan langsung dapat dikonsumsi atau disaksikan oleh masyarakat. Seorang pasangan yang tinggal dalam satu rumah saja dapat memperoleh narasi yang berbeda atas suatu kejadian berdasarkan algoritma yang mereka terima. Penyebaran informasi menjadi tidak merata.

Dengan kondisi saat ini, kesadaran masyarakat terhadap media yang kredibel mulai tergantikan oleh media sosial. Sehingga, Masyarakat kehilangan kesempatan untuk mengkritisi sesuatu yang mereka tidak ketahui. Situasi ini membuat pemerintah, tidak perlu bersusah payah membatasi peran media di Masyarakat seperti yang terjadi di Venezuela pada era 2000-an.

Penggunaan buzzer juga menjadi sarana untuk melawan isu yang beredar di masyarakat seperti dalam kasus protes Indonesia Gelap yang terjadi dalam beberapa hari terakhir. Sudah seharusnya, kita menjadi lebih kritis terhadap apa yang pemerintah laksanakan. Dengan demikian, kita bersama dengan pemerintah, dapat membangun Indonesia menjadi negeri yang lebih maju.

Dari kenyataan yang kita hadapi saat ini, kita dapat mulai mewaspadai pihak-pihak yang dapat mengancam keberlangsungan kebebasan dan demokrasi di negara ini. Berkaca pada Hugo Chavez, bibit-bibit penghancuran nilai-nilai demokrasi, penggunaan taktik-taktik otoriter, polarisasi politik, erosi institusi demokrasi, dan pengebirian media sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat. Kita harus dapat waspada dan terus mengawasi orang-orang yang berkuasa agar Indonesia dapat tetap maju menjadi bangsa yang menyejahterakan masyarakatnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 3 Maret 2025

Mohamad Rezky Utama
Minat penelitian berfokus pada diplomasi, politik identitas, politik keagamaan, kebijakan luar negeri, Timur Tengah, dan kelompok kepentingan internasional. Bidang keahlian meliputi Politik Timur Tengah serta Aliran Keagamaan dan Politik.

Categories
Ekonomi

Survive di Masa Sulit

Isu tentang turunnya daya beli masyarakat (terutama kelas menengah bawah) bukanlah isapan jempol. Data BPS menunjukkan, proporsi penduduk kelas menengah di Indonesia menurun dari 21,59 tahun 2019 menjadi 17,196 pada 2024, sekitar 10 juta orang. Ekonomi Indonesia juga hanya tumbuh 4,879 (YoY Q1-2025) yang merupakan pertumbuhan paling lambat sejak kuartal III 2021; dengan komponen konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89% level terendah selama lima kuartal terakhir.

Data yang lebih “operasional’ dari survei Bank Indonesia menunjukkan adanya penurunan penjualan eceran sebesar -4,7% YoY (Januari 2025). Hal ini diperkuat dengan Indeks Penjualan Riil (IPR) anjlok dari 222 di Desember 2024 menjadi 211,5 di Januari 2025. Sementara di sisi konsumen Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun dari 127,2 pada Januari menjadi 126,4 di Februari 2025, yang menunjukkan adanya pelemahan optimisme masyarakat.

Menghadapi fenomena tersebut perlu melakukan literasi kepada publik bagaimana mengelola pengeluaran yang bijak sehingga tetap bisa hidup berkualitas di tengah tekanan ekonomi yang sulit saat ini.

Frugal Living
Dalam situasi keterbatasan pendapatan dan menurunnya daya beli, frugal living merupakan pilihan gaya hidup yang tepat, yaitu gaya hidup hemat yang berfokus pada pengeluaran yang bijak dan efisien, tanpa mengorbankan kualitas hidup. Tujuannya untuk mengelola keuangan secara cerdas, menghindari pemborosan, dan mencapai kesinambungan finansial jangka panjang. Tujuan frugal living tercapainya kebebasan finansial, mengurangi stres, gaya hidup yang berkelanjutan, dan peningkatan kualitas hidup.

Kebebasan finansial akan tercapai bila pengelolaan keuangan dilakukan secara cermat menggunakan skala prioritas pengeluaran. Pengaturan pengeluaran secara bijak akan mencegah terjadinya pola hidup yang lebih besar pasak daripada tiang yang berujung pada hutang. Dengan cara tersebut, “stres akibat tekanan finansial dapat dikurangi dan kelangsungan hidup jangka panjang secara berkelanjutan (sustainable living) lebih terjamin. Bahkan dengan pola hidup yang hanya berfokus pada hal yang benar-benar penting akan membawa kepuasan dan kualitas hidup yang lebih tinggi.

Skala Prioritas
Dalam keterbatasan pendapatan, pengaturan pola konsumsi menjadi kata kunci untuk bisa tetap hidup berkualitas. Beberapa prinsip konsumsi yang relevan untuk diterapkan adalah: skala prioritas kebutuhan, belanja cerdas, dan memaksimalkan penggunaan barang.

Menentukan skala prioritas dalam pola konsumsi bisa dicapai bila kita mampu membedakan mana yang merupakan kebutuhan (needs) yang harus dipenuhi, dan mana yang pemenuhannya atau bahkan tidak sama sekali, tergantung besarnya pendapatan. Sayangnya, tidak sedikit masyarakat yang masih terjebak denganlife style sebelumnya, padahal kemampuan daya belinya sedang menurun.

Prinsip lain dalam berkonsumsi adalah belanja cerdas dengan memanfaatkan discount atau promo yang ada, atau bahkan membeli barang bekas dengan kualitas yang masih baik. Prinsip terakhir adalah memaksimalkan penggunaan barang yang ada secara maksimal diserta perawatan yang terstandar sehingga masa pakainya menjadi lebih panjang.

Dengan pengaturan pola konsumsi yang berbasis pada skala prioritas diharapkan masyarakat akan tetap bisa memenuhi kebutuhannya dan terhindar dari pola hidup “gali lubang tutup lubang hanya karena ingin mempertahankan gaya hidup dan demi gengsi. Berhutang untuk memenuhi kebutuhan bukanlah penyelesaian masalah, tapi justru akan menimbulkan masalah baru yang lebih rumit penyelesaiannya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 11 Juli 2025

 Arif Hartono
Dosen Jurusan Manajemen FBE UII dan Wakil Ketua Lembaga Ombudsman DIY. Bidang riset pada manajemen sumber daya manusia dan metolodogi penelitian sumber daya manusia.