Categories
Hukum Pilihan Politik

Perlukah TNI Ikut Menjaga Pertandingan Sepak Bola, Konser Musik dan Kegiatan Sipil Lainnya? Bagi Negara Demokrasi, Ini Tidak Lazim

Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai komponen pertahanan nasional, telah sejak lama turut terlibat dalam upaya keamanan dan melebur dalam kehidupan sipil di Indonesia. Contohnya, kita sudah sering menjumpai pawai karnaval, laga sepak bola, bahkan konser musik yang dijaga ketat oleh militer.

Bagi warga asing seperti dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa, yang dilabeli sebagai negara demokrasi maju, praktik ini bisa dipertanyakan. Sebab, sejatinya urusan pertahanan dan keamanan negara harus dipisahkan satu sama lain.

Sedangkan bagi masyarakat di Indonesia, fenomena ini seakan lumrah. Urusan pertahanan dan keamanan dianggap sama sehingga terkesan tidak memiliki batasan yang jelas.

Padahal, Indonesia pun sebenarnya telah berupaya memisahkan fungsi keamanan dan pertahanan melalui Tap MPR VI/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Fungsi pertahanan nasional diemban oleh TNI sedangkan fungsi keamanan menjadi tanggung jawab Polri.

Perlahan, jika keterlibatan militer di ranah sipil ini terus terjadi, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dan persoalan di tataran implementasi. Ini juga akan mengganggu profesionalisme TNI sendiri dan, lebih jauh lagi, kehidupan demokrasi dan prinsip supremasi sipil di Indonesia.

Kehadiran TNI: dari arus mudik sampai konser dangdut
Adanya posko-posko penjagaan militer pada periode arus mudik setiap tahunnya sudah menjadi pemandangan umum masyarakat Indonesia.

Posko-posko ini dibangun di sejumlah titik, termasuk perbatasan daerah, yang mereka anggap “rawan”.

Sementara dalam konser musik, mulai dari pop sampai dangdut, biasanya ada anggota TNI berseragam lengkap turut berjaga di tengah keramaian.

Bagi negara-negara Barat, yang menganut teori hubungan militer-sipil demokratis, praktik ini sebenarnya tidak wajar. Sebab, mereka dengan mutlak memisahkan peran militer dari kehidupan sipil. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan pembatasan peran militer dalam kehidupan sipil sangat diperlukan bagi negara demokrasi yang “dewasa”.

Landasan hukum Indonesia pun, melalui Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, telah mengatur batasan intervensi TNI di ranah sipil. Hal ini sejalan dengan semangat Reformasi TNI yang melatar belakangi pembentukan UU TNI.

Oleh karena itu, pelibatan TNI dalam penjagaan di kegiatan sipil sama saja dengan mengkhianati UU TNI dan semangat Reformasi TNI.

Lalu, pertanyaannya adalah mengapa ini bisa tetap terjadi?

Sejarah TNI sebagai ‘angkatan rakyat’
Militer Indonesia memiliki sejarah yang unik dibandingkan militer di negara-negara lain. Mengutip disertasi Profesor Salim Said, bahwa dalam sejarahnya, TNI merupakan “institusi yang dibentuk oleh rakyat”, bukan oleh penguasa.

Militer Indonesia lahir selepas Perang Revolusi Nasional 1945-1949 dari gabungan laskar-laskar militer otonom yang melebur mandiri.

Panglima TNI (saat itu masih bernama Tentara Keamanan Rakyat/TKR) pertama Jenderal Sudirman terpilih melalui proses penunjukan oleh para prajurit, bukan oleh Presiden Sukarno. Karena dibentuk oleh unsur rakyat, TNI lekat dengan citra “mengayomi masyarakat”.

Setelah Jenderal Sudirman wafat tahun 1950, terjadi perdebatan besar tentang bagaimana masa depan militer Indonesia – yang namanya kemudian berubah menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1962. Perdebatannya mengerucut pada pilihan apakah TNI harus terlibat penuh dalam pemerintahan, seperti di Amerika Latin, atau menjadi fungsi pertahanan profesional saja seperti militer di Eropa.

Jenderal A.H. Nasution, Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, akhirnya memberi solusi “Jalan Tengah” dengan memberikan TNI dua fungsi: penyelenggara keamanan-pertahanan sekaligus stabilisator kehidupan bernegara.

Solusi tersebut kemudian diterjemahkan oleh Presiden Suharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru. Prajurit TNI aktif ditugaskan menempati sejumlah jabatan publik struktural dan terlibat dalam ranah sipil, termasuk urusan menangkap maling.

Selama Orde Baru, konsep Dwifungsi ini menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penggunaan alat-alat kekerasan yang dikuasai militer. Situasi tersebut kemudian mendorong munculnya desakan dari masyarakat untuk melakukan Reformasi TNI.

Setelah Suharto lengser tahun 1998, Presiden Abdurrahman Wahid pada 1999 menginisiasi Reformasi TNI dengan memisahkan peran militer dan polisi. TNI berfokus menjalankan fungsi pertahanan. Sementara Polri menjalankan fungsi keamanan dengan mengacu pada penegakan supremasi hukum dan prinsip hak asasi manusia (HAM).

Sejak saat itu, Dwifungsi ABRI dihapus, prajurit militer aktif kembali ke barak sebagai tentara profesional, tidak boleh masuk ke ranah sipil, politik, dan pemerintahan. Tap MPR VI/2000 yang mengatur pemisahan fungsi TNI dan Polri ini masih berlaku hingga hari ini.

Namun, rupanya pemisahan ini tidak berlaku secara total.

Pasal 2 ayat (3) Tap MPR VI/2000 menyebutkan kemungkinan adanya kerja sama dan saling membantu antara Polri dan TNI. Juga munculnya ide besar bahwa, dalam beberapa urusan, prajurit TNI memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah keamanan negara.

Ketentuan ini kemudian diakomodasi melalui pemberlakukan UU TNI dan UU Polri. Konsep inilah yang pada hari ini dikenal dengan jargon “Sinergitas TNI-Polri”. Sinergitas tersebut banyak diwujudkan melalui tugas perbantuan TNI dalam aktivitas pengamanan Polri.

Gesekan sipil-militer
Pengamanan acara sipil oleh militer tak selamanya melahirkan rasa aman.

Tragedi Kanjuruhan menjadi salah satu bukti kacaunya upaya pengamanan kegiatan sipil oleh militer. Pada tangkapan video amatir, terekam prajurit TNI menendang penonton yang sedang lari karena panik terkena gas air mata.

Kita juga kerap mendapati berita ada anggota TNI melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Contohnya kasus pengeroyokan oleh 11 prajurit TNI terhadap pemuda di Tanjung Priok tahun 2020 silam. Juga ada kasus viral seorang prajurit TNI menendang motor ibu-ibu dan terlibat adu mulut di jalan raya.

Kemungkinan besar kondisi ini terjadi akibat pola pikir Orde Baru ketika Dwifungsi ABRI masih berlaku, yakni bahwa tentara adalah warga kelas utama sedangkan sipil adalah warga kelas dua.

Selain itu, pada dasarnya, prajurit TNI tidak dibekali latihan berinteraksi dengan sipil. Kalaupun ada, minim sekali. Mereka digembleng dengan didikan disiplin militer karena fungsi utamanya sebagai prajurit memang pada bidang pertahanan negara. Meminjam istilah US Army, mereka adalah prajurit yang disiapkan menjadi trained killer.

Prajurit menjadi trained killer bukanlah suatu konotasi negatif. Prajurit militer memang dilatih untuk ‘siap membunuh’ lawan demi menjaga pertahanan dan integrasi negara, terutama dalam kondisi perang. Singkatnya, mereka disiapkan untuk bertaruh nyawa demi melindungi kedaulatan negara. Sehingga, prajurit TNI tidak cocok ditugaskan untuk mengamankan masyarakat sipil di masa damai.

Jika prajurit militer terlibat di ranah sipil, akan rentan bagi mereka untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Mendamba sebuah perbaikan
Sinergitas antarlembaga negara memang dibutuhkan untuk mencapai tujuan nasional yang baik. Namun, ikut terlibatnya TNI dalam upaya pengamanan sipil menimbulkan beberapa masalah, termasuk terjadinya gesekan antara sipil dan militer.

Masalah-masalah ini harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Apalagi, saat ini agenda revisi UU TNI tengah digodok oleh DPR RI dan pemerintah. Penugasan TNI untuk menjaga konser dangdut, arus mudik, serta kegiatan sipil lainnya harus dievaluasi.

Pilihannya mungkin ada dua: (1) membekali prajurit dengan prinsip-prinsip dasar HAM dalam pengamanan sipil, membenahi sistem peradilan militer, dan mempertegas pembedaan kewenangan TNI dan Polri, atau (2) mengembalikan sepenuhnya prajurit TNI ke barak, murni sebagai aktor pertahanan nasional.

Apapun pilihannya, harus dilakukan sesuai dengan konsep negara hukum-demokrasi yang berlaku di Indonesia.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada 9 Agustus 2023

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada isu hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.

Categories
Politik

Mengkritisi Pertimbangan MK tentang Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK

Pada 25 Mei 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengubah masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi 5 tahun , dari yang sebelumnya 4 tahun. Pemohon dalam uji materi ini adalah Nurul Ghufron, Wakil Ketua KPK periode saat ini.

Menurut putusannya, terdapat dua alasan mengapa MK mengabulkan permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK.

Pertama adalah adanya perlakuan diskriminatif dan tidak adil terhadap KPK apabila menyamakannya dengan lembaga pemerintah independen lainnya yang sama-sama memiliki constitutional importance, yakni memiliki masa jabatan 5 tahun. Kedua adalah karena berdasarkan asas manfaat dan efisiensi, masa jabatan pimpinan KPK selama 5 tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien sehingga dapat sesuai dengan satu periode jabatan presiden.

Putusan MK tersebut langsung menjadi sorotan dari berbagai pihak. Banyak elemen yang menyayangkan putusan MK ini karena berdekatan dengan momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, sehingga dinilai sarat dengan kepentingan politik.

Kekecewaan publik terhadap Putusan MK bisa dipahami, karena Ketua KPK periode 2019-2023, Firli Bahuri, kerap berhadapan dengan masalah kode etik. Namun, ia selalu lolos dari sanksi berat Dewan Pengawas KPK. Terlebih lagi, suara 9 hakim MK pun terpecah untuk putusan MK. Sebanyak 4 hakim MK menolak (dissenting opinion) perpanjangan masa jabatan Pimpinan KPK ini.

Meskipun putusan MK sudah tidak dapat diganggu gugat (final and binding), paling tidak ada beberapa kritik yang dapat kita sampaikan sebagai publik, sebagai sarana edukasi agar kita bisa lebih ketat dan kritis dalam mengawal kinerja MK.

Kritik terhadap putusan MK
Pertama, MK bukan lembaga negara sepenuhnya demokratis karena tidak dipilih langsung oleh rakyat, sementara masa jabatan sangat berkaitan erat dengan domain perumusan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy).

Dengan kata lain, perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga manapun seharusnya dilakukan melalui lembaga pembuat undang-undang, yakni lembaga legislatif, yang secara resmi didaulat sebagai wakil rakyat dan di dalamnya memiliki proses partisipasi publik.

Kedua, dalil perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang diterima oleh pimpinan KPK sebenarnya bisa terbantahkan dengan adanya ketidakseragaman masa jabatan sejumlah lembaga negara, seperti pimpinan Komisi Informasi (4 tahun) dan pimpinan Komisi Penyiaran Indonesia (3 tahun).

Terlebih lagi, definisi perlakuan diskriminatif memiliki kriteria khusus. Ini termasuk pembedaan berdasar atas alasan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Kriteria tersebut secara faktual tidak terjadi pada pimpinan KPK.

Ketiga, jika memang masa jabatan pimpinan KPK perlu diperpanjang demi efektivitas kinerja mereka, ketentuan ini lebih baik diberlakukan untuk periode selanjutnya, bukan kepada pimpinan KPK aktif yang saat ini masih menjabat. Putusan seperti ini seharusnya menerapkan asas non-retroaktif yang bersifat universal, yakni ketika suatu aturan hukum tidak dapat berlaku surut.

Keempat, mengubah masa jabatan pejabat aktif jelas akan mengancam independensi lembaga negara terkait, dan ini bisa menjadi preseden buruk di kemudian hari. Apalagi ini terjadi pada lembaga antirasuah, lembaga yang telah bertahun-tahun menjadi salah satu lembaga yang paling dipercaya publik berdasarkan hampir semua hasil survei.

Ke depannya, dikhawatirkan MK sewaktu-waktu bisa saja mengubah masa jabatan pimpinan lembaga negara yang sedang menjalankan tugasnya atas dasar kepentingan dan motif politik tertentu.

Kita semua percaya bahwa MK masih kokoh berdiri sebagai lembaga independen yang menjadi garda terdepan dalam mengawal konstitusi kita. Namun, jika demi kepentingan politik, apalagi menjelang tahun politik, segala sesuatunya bisa terjadi, sehingga tidak salah jika publik lebih waspada.

Praktik perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga negara
Praktik perpanjangan masa jabatan pimpinan lembaga negara kerap kali menjadi jurus andalan bagi penyelenggara negara guna seseorang untuk duduk di kursi kekuasaan lebih lama.

Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, setidaknya ada 3 kali upaya untuk mengubah masa jabatan lembaga negara, termasuk MK sendiri, KPK, dan lembaga kepresidenan , meskipun perpanjangan gagal diterapkan pada lembaga kepresidenan.

Perpanjangan masa jabatan hakim pada MK yang sedang aktif menjabat dilakukan pada 2020, dengan cara mengubah UU tentang Mahkamah Konstitusi. Masa jabatan periodik hakim MK yang sebelumnya hanya 5 tahunan diubah dengan penentuan usia pensiun 70 tahun dengan keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.

Pada awal tahun 2022, para petinggi partai politik sempat menggaungkan gagasan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024. Elemen masyarakat sipil ramai-ramai menolak wacana tersebut karena diyakini akan membuka ruang untuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Perubahan masa jabatan presiden memang sulit diwujudkan karena harus melalui amendemen UUD 1945. Namun, sekali lagi, menjelang tahun politik, apa pun bisa terjadi.

Praktik perpanjangan masa jabatan hampir selalu dilakukan dengan balutan hukum, padahal sebenarnya telah merusak independensi dan mengikis demokrasi. Hal seperti ini banyak ditemui di negara-negara dengan rezim legalisme otokratis (autocratic legalism), yaitu kondisi ketika kekuasaan suatu negara hanya dipegang oleh satu atau segelintir orang saja dan hukum disalahgunakan untuk melegitimasinya, seperti Turki dan Venezuela.

Jalan tengah
Kita tidak boleh terjebak menjadi rezim semacam itu. Pada kasus perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK ini, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembuat UU bersepakat untuk menindaklanjuti putusan MK dengan memberlakukannya pada pimpinan KPK yang berikutnya.

Cara ini dilakukan agar, di satu sisi, pemerintah dan DPR tetap menghormati Putusan MK yang bersifat final dan mengikat, tetapi di sisi lain juga untuk melindungi independensi lembaga negara penegak hukum.

Dalam hal ini, Presiden perlu mengambil peran penting untuk menyelesaikan polemik ini dan menjamin bahwa independensi lembaga negara tidak dapat diganggu dengan cara apa pun. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang tunduk pada konstitusi juga memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan harapan bahwa reformasi hukum ketatanegaraan terus bergerak ke arah yang lebih baik.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 17 Juni 2023

M. Addi Fauzani
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII.

 

Categories
Lingkungan Politik

Bagaimana Aturan Indonesia Belum Menjamin Obligasi Hijau Bebas ‘Greenwashing’

Indonesia membutuhkan dana sangat besar untuk mencapai kondisi bebas emisi guna meredam perubahan iklim. Jumlahnya diperkirakan mencapai Rp28,2 ribu triliun hingga 2060.

Kas negara jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Karena itu, dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan yang mendukung pelestarian bumi. Salah satunya melalui obligasi hijau atau green bond atau green sukuk (obligasi syariah).

Tren obligasi hijau cukup moncer. Pada 2018 dan 2020, nilai green bond maupun green sukuk yang terbit di Indonesia mencapai US$2,75 miliar (Rp 40,8 triliun) dan US$ 1,27 miliar (Rp 33,6 triliun).

Meski perkembangannya kelihatan cerah, ada risiko yang mengintai: greenwashing. Kondisi ini terjadi jika perusahaan menginformasikan bahwa proyek mereka berwawasan lingkungan, tetapi beroperasi dengan cara yang merusak. Contoh lainnya adalah dana yang terkumpul tidak digunakan untuk membiayai proyek hijau.

Risiko tersebut sudah terjadi di belahan dunia. Per September 2020, insiden greenwashing dalam penerbitan obligasi hijau mencapai US$40 miliar (Rp 593 triliun).

Karena itulah, dunia-–termasuk Indonesia–memerlukan aturan penerbitan green bond yang memadai untuk melindungi masyarakat. Saya mencoba menelaah aturan penerbitan obligasi hijau yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hasilnya, saya menemukan aspek perlindungan investor dari greenwashing masih jauh dari memadai.

Aturan tak memadai
Indonesia memiliki Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan atau Green Bond (POJK GB).

Aturan ini memuat persyaratan Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL), dokumen dan pelaporan yang harus disiapkan penerbit, serta sanksi jika melakukan pelanggaran.

POJK GB mensyaratkan proyek yang dapat didanai hasil green bond hanya yang bertujuan untuk melindungi, memperbaiki, dan/atau meningkatkan kualitas atau fungsi lingkungan. Ada sebelas macam KUBL di dalam peraturan tersebut. Contohnya kegiatan efisiensi energi, transportasi ramah lingkungan, serta pencegahan dan pengendalian polusi.

Setidaknya ada empat catatan saya dalam POJK tersebut.

Pertama, aturan ini masih sangat abstrak karena hanya mengatur tujuan dan menitikberatkan pada jenis kegiatan yang dibolehkan. Bahkan, Pasal 4(k) aturan ini membolehkan suatu green bond membiayai proyek yang tidak ada dalam kategori KUBL selama memiliki “tujuan lingkungan”.

Aturan ini amat terasa longgar jika dibandingkan dengan aturan persyaratan green bond di Uni Eropa.

Di Eropa, suatu proyek tidak serta merta dapat dikatakan hijau jika hanya sekadar memiliki tujuan lingkungan. Pengelola juga harus menjamin proyek tersebut “tidak menyebabkan bahaya signifikan” dan sesuai dengan “aturan perlindungan minimum”.

Artinya, meskipun suatu proyek memiliki kontribusi signifikan dalam mitigasi iklim, tetapi dalam pelaksanaannya semisal mencemari air dan tidak dilakukan dengan standar keamanan minimum, maka tidak dapat didanai oleh green bond.

Uni Eropa juga mewajibkan suatu proyek untuk memenuhi standar hijau dalam EU Taxonomy, yaitu daftar kegiatan yang dianggap memenuhi prinsip berkelanjutan. Proyek pun harus lulus Kriteria Penilaian Teknis atau Technical Screening Criteria untuk menjamin manfaat lingkungannya.

Di Indonesia, OJK sebenarnya memiliki Taksonomi Hijau. Namun, penggunaannya masih bersifat sukarela. Kredibilitas suatu proyek hijau juga hanya ditentukan oleh penilaian ahli lingkungan. Tidak ada kriteria teknis yang diwajibkan untuk memastikan sebuah proyek benar-benar “hijau”.

Kelonggaran ini pada akhirnya memungkinkan proyek pertambangan batu bara masuk sebagai “kegiatan usaha lain yang berwawasan lingkungan” jika didukung pendapat ahli lingkungan. Dalam taksonomi hijau Indonesia, batu bara tergolong bidang usaha “kuning” yang berarti tidak menyebabkan bahaya signifikan.

Kedua, lemahnya pelaksanaan transparansi proyek hijau.

POJK GB mewajibkan pengelola proyek menerapkan transparansi informasi melalui pengungkapan dan pelaporan mengenai penjelasan KUBL dan penilaian ahli lingkungan.

Namun, aturan ini tidak mengatur detail informasi yang harus dilaporkan. Regulasi juga belum memastikan kualitas informasi karena Indonesia belum memiliki standar kriteria hijau seperti di Eropa.

Akhirnya, masyarakat lah yang harus lebih cermat dalam membaca laporan hijau yang dikeluarkan oleh perusahaan penerbit. Publik terpaksa menimbang sendiri: apakah laporan tersebut kredibel atau tidak.

Ketiga, aturan tidak memuat mekanisme detail seperti prosedur seleksi atau verifikasi laporan ahli lingkungan untuk memastikan kredibilitas mereka.

Proses verifikasi penting untuk memastikan bahwa laporan yang disampaikan sesuai dengan fakta di lapangan, bukan pencitraan saja. Apabila laporan hanya ditulis oleh pihak perusahaan dan mendapat penilaian dari ahli lingkungan yang dibayar perusahaan tersebut, maka bias informasi akibat konflik kepentingan rawan terjadi.

Verifikasi dari pihak ketiga juga diperlukan untuk memvalidasi informasi mengenai dampak atau manfaat hijau dari suatu proyek green bond secara kredibel dan berkualitas. Jika tidak ada proses verifikasi ini, perusahaan dapat dengan mudah membuat pelaporan hijau yang menyesatkan (greenwashing) karena tidak ada jaminan atas reliabilitas informasi tersebut.

Risiko ini akan mengurangi kepercayaan investor terhadap produk green bond dan meredam kesempatan pendanaan proyek hijau yang optimal.

Keempat, belum ada aturan yang melindungi investor dari pelanggaran substansial. Sejauh ini, Undang-undang Pasar Modal ataupun POJK GB hanya mengatur perlindungan investor dari pelanggaran formil atau prosedur. Contohnya misalnya gagal mendapat penilaian ahli lingkungan, tidak menyertakan informasi mengenai KUBL, atau pendanaan untuk KUBL yang tak sesuai ketentuan.

Lemahnya perlindungan ini amat disayangkan. Investor semestinya berhak mendapatkan kepastian bahwa dana yang mereka keluarkan benar-benar akan berdampak pada kelestarian bumi.

Aturan juga seharusnya menyentuh aspek perlindungan materiil seperti kualifikasi ahli lingkungan, kredibilitas informasi, dan penggunaan dana 100% untuk KUBL. Harapannya, investor menjadi lebih yakin untuk memberi kontribusi pada proyek hijau yang ditawarkan.

Langkah ke depan
Indonesia masih dalam tahap pengembangan keuangan berkelanjutan. Sejauh ini, aturan-aturan yang dibuat merupakan suatu bentuk dorongan bagi para pihak untuk berpartisipasi dalam transisi ekonomi rendah karbon.

Pada tahap ini, berdasarkan pengamatan saya, korporasi masih dalam tahap mengurangi dan menyeimbangkan antara proyek “coklat” (tidak ramah lingkungan) dan proyek “hijau”.

Jika ekosistem dan kesadaran sudah terbentuk, OJK harus segera memperkuat aturannya. Ada tiga hal yang bisa dilakukan:

Pertama, mewajibkan implementasi Taksonomi Hijau Indonesia maupun standar hijau lain yang diterima secara internasional sebagai dasar penilaian proyek. Indonesia juga harus melakukan proses verifikasi kompetensi terhadap ahli lingkungan yang terlibat.

Kedua, OJK perlu membuat kriteria teknis pelaporan atau informasi apa saja yang harus diungkapkan oleh perusahaan penerbit terkait dengan KUBL, termasuk mensyaratkan perusahaan untuk mengungkapkan portofolio seluruh usaha mereka.

Ketiga, dua saran di atas dapat dilengkapi aturan sanksi yang memadai dan memberikan efek jera agar perusahaan lebih berhati-hati dalam mengklaim proyek mereka sebagai “kegiatan hijau”.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Juni 2023

Sheila Noor Baity
Dosen Program Studi Hukum Bisnis dan Hukum Perdata Fakultas Hukum UII. 

Categories
Politik Uncategorized

Menyambut Albanese, Memperkuat Kemitraan Indonesia-Australia

Indonesia tujuan pertama kunjungan Albanese. Gestur simbolik positif ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese ke Indonesia pada 14 Mei 2025 bukan sekadar simbol diplomatik. Langkah ini adalah sinyal kuat bahwa Australia menempatkan Indonesia sebagai mitra utama kawasan. Albanese tidak menunggu lama setelah pelantikannya untuk menegaskan komitmen ini.

Pertanyaannya, mampukah kita memanfaatkan momen ini sebagai kesempatan untuk memperkuat pendekatan yang sudah dibangun selama ini dengan arah yang lebih strategis dan seimbang? Sudahkah kita memberi perhatian yang sebanding dengan potensi besar yang dimiliki Australia sebagai mitra strategis kita di kawasan?

Mitra strategis
Hubungan Indonesia dan Australia telah melalui berbagai tahap perkembangan yang positif dan membuahkan hasil yang signifikan. Kemitraan strategis kedua negara dalam bidang ekonomi, perdagangan, pendidikan, dan keamanan telah terbukti menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam bidang ekonomi, Australia telah menjadi salah satu mitra dagang utama Indonesia, dengan nilai perdagangan dua arah yang mencapai 32,2 miliar dollar Amerika Serikat pada 2023-2024. Australia juga menjadi tujuan utama ekspor Indonesia di sektor pertanian dan sumber investasi penting bagi berbagai sektor di Indonesia.

Program-program perdagangan yang dijalankan dalam kerangka Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) telah meningkatkan akses Indonesia ke pasar Australia, dan sebaliknya, mendiversifikasi hubungan ekonomi kedua negara.

Sektor pendidikan juga telah mengalami kemajuan signifikan. Lebih dari 15.000 mahasiswa Indonesia menempuh pendidikan tinggi di Australia, berkontribusi pada kehidupan sosial dan ekonomi Australia. Selain itu, berbagai kolaborasi penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan juga memperkaya hubungan kedua negara, dengan sejumlah program pertukaran akademik yang terbukti saling menguntungkan.

Di bidang keamanan, kedua negara telah bekerja sama dalam menjaga stabilitas kawasan, terutama dalam hal keamanan maritim dan penanggulangan terorisme. Keterlibatan aktif Indonesia dan Australia dalam forum-forum internasional dan regional, seperti ASEAN dan Indo-Pacific Dialogue, menunjukkan keduanya berkomitmen pada tatanan kawasan yang aman dan stabil.

Namun, meskipun keberhasilan ini patut diapresiasi, kita tidak bisa mengabaikan tantangan-tantangan yang masih ada dalam memperkuat hubungan ini lebih lanjut.

Ketimpangan perhatian
Dari sisi Indonesia, salah satu tantangan besar dalam memperkuat hubungan Indonesia-Australia adalah perlunya perhatian yang lebih mendalam terhadap negeri Kangguru tersebut.

Boleh jadi, tantangan ini muncul karena masih melekat stigma di negeri kita bahwa Australia lebih membutuhkan Indonesia ketimbang sebaliknya. Padahal, Indonesia membutuhkan Australia, sama seperti mereka membutuhkan Indonesia.

Selain itu, ketimpangan perhatian ini mungkin muncul karena Indonesia selama ini terlalu sering melihat ke utara, mengarahkan fokus pada negara-negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan China, yang lebih sering menjadi sorotan dalam pemberitaan dan kebijakan luar negeri kita.

Sebagai contoh, ketika Indonesia menggelar Pemilu 2024, media dan akademisi Australia menunjukkan perhatian besar dengan eksposur publik yang intensif. Bahkan, dalam Pemilu Federal Australia 2025, politik luar negeri Indonesia termasuk salah satu isu hangat dalam debat calon perdana menteri.

Sebaliknya, jika dibandingkan dengan Pemilu AS yang sering dibahas secara komprehensif, perhatian publik Indonesia terhadap Pemilu Federal Australia 2025 hanya terbatas pada hasil akhir tanpa mendalami dinamika, seperti isu energi, perubahan iklim, imigrasi, atau kepemimpinan partai politik.

Ketimpangan perhatian ini membuka ruang bagi kita untuk lebih proaktif dalam memahami dinamika kebijakan luar negeri Australia, bukan sekadar meresponsnya. Perlu kita ingat bahwa keputusan yang diambil di Canberra dapat berdampak signifikan bagi mahasiswa Indonesia, pengusaha, dan bahkan posisi kita di kawasan.

Tentu saja, tantangan ini bukanlah tugas pemerintah saja. Media kita memiliki peluang untuk memperluas cakrawala liputannya, dengan lebih sering menghadirkan perspektif Australia dalam pembahasan kawasan. Pelaku bisnis dapat lebih peka terhadap perubahan kebijakan yang memengaruhi perdagangan dan investasi. Begitu pula dengan dunia pendidikan yang memiliki kesempatan untuk memperkaya kurikulum dengan kajian-kajian lebih dalam tentang Australia, agar hubungan ini lebih terbangun dengan fondasi yang kuat dan seimbang.

Jika pendidikan ingin benar-benar menjadi fondasi dari hubungan strategis kedua negara, ruang kerja sama perlu menjangkau lebih jauh dengan menyentuh institusi vokasi dan perguruan tinggi di daerah. Upaya seperti kolaborasi riset dua arah, pertukaran dosen, serta skema pendanaan bersama bisa menjadi jalan untuk itu.

Dalam kerja sama pendidikan, Indonesia perlu memperkuat posisinya tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi juga sebagai mitra sejajar dalam produksi pengetahuan. Dengan demikian, diplomasi pendidikan dapat menjelma dari sekadar simbol menjadi strategi jangka panjang yang setara dan berdampak. 

Jika ikhtiar kolektif tersebut dicapai bersama, masyarakat luas niscaya akan mulai membayangkan Australia bukan semata sebagai destinasi studi atau negara ”jauh di selatan”, melainkan sebagai tetangga dekat yang memainkan peran penting dalam dinamika regional kita.

Poros Jakarta-Canberra
Langkah Albanese memilih Jakarta sebagai tujuan pertama kunjungan luar negerinya mempertegas tradisi panjang hampir semua Perdana Menteri Australia sejak 2008—baik dari Partai Buruh maupun Koalisi Liberal—yang menjadikan Indonesia sebagai destinasi pertama setelah pelantikan. Hal ini mencerminkan konsensus bipartisan bahwa Indonesia adalah mitra utama di kawasan. Namun, gestur simbolik ini berpotensi menjadi kosong jika tidak direspons secara substantif dan setara oleh Indonesia.

Kunjungan Albanese adalah sinyal. Namun, agar sinyal ini tidak menguap, semua pemangku kepentingan di Indonesia perlu meresponsnya dengan lebih serius. Mengharapkan Australia selalu mengambil inisiatif tanpa membangun kesiapan internal hanya akan melanggengkan relasi yang timpang. Kemitraan strategis yang sejati hanya mungkin lahir dari kesetaraan persepsi, komitmen, dan partisipasi.

Indonesia dan Australia memiliki sejarah panjang hubungan diplomatik yang berkesinambung. Meski demikian, untuk menghadapi tantangan di masa mendatang, kedua negara tidak hanya membutuhkan sejarah, tetapi juga visi bersama yang solid. Visi tentang kawasan yang stabil, adil, dan saling memperkuat. Untuk itu, poros Jakarta-Canberra harus dibangun atas dasar kebutuhan timbal balik dan kemauan untuk benar-benar mendengarkan satu sama lain.

Sudah saatnya Indonesia turut merancang arah masa depan hubungan bilateral ini dengan gagasan, perhatian, dan kesiapan yang setara.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 16 Mei 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

 

Categories
Politik

Mubazir Kewenangan dalam UU TNI Baru

Beberapa waktu lalu, Gedung DPRD Provinsi DIY menjadi sasaran vandalisme aksi yang menuntut pencabutan UU TNI yang baru saja disahkan. Massa aksi bersikap anarkis ketika mengekspresikan kekecewaan mereka. Sebab, pengesahan UU TNI pada 20 Maret lalu dianggap telah melukai wajah demokrasi nasional. Sejumlah pihak bahkan menasbihkan tanggal tersebut sebagai akhir masa Reformasi. Alasannya, pengesahan UU TNI menjadi langkah mundur komitmen Reformasi yang dibangun 26 tahun terakhir. Pemerintah dan Parlemen teguh mengesahkan UU TNI, kendati selama sepekan lebih ma- syarakat lantang menolak. 

Substansi perubahan UU TNI telah mengecewakan publik. Selain legislasinya yang serampangan, penambamhan jabatan publik yang diisi prajurit aktif dan perluasan kewenangan operasi militer selain perang (OMSP) berpotensi menambah beban kerja TNI. Hal ini, justru dapat melemahkan potensi TNI sebagai militer. 

Militer sebagai Alat Tempur
Sempat berseliweran penggalan video lama nasihat mendiang Salim Said, guru besar dan pakar hubungan sipil militer Indonesia, kepada Prabowo Subianto yang kalaitu menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pada video tersebut, Salim Said mewanti-wanti agar TNI terus berlatih bertempur meski dalam kondisi tidak sedang berperang dan tidak mengurusi hal-hal selain pertahanan nasional. Menurut Salim Said, jika TNI disibukkan dengan urusan-urusan yang bukan bidangnya, negara -negara lain akan meremehkan kemampuan TNI dalam pertempuran. Hal ini, menurut Salim Said, dapat menurunkan deteren dan citra Indonesia di kancah dunia. 

Nasihat Salim Said tersebut didasar kan pada pepatah terkenal di dunia militer : si vis pacem, para bellum, jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Maknanya, persiapan tempur menjadi hal mutlak bagi negara, kendati berada pada masa damai, untuk menghindari agresi dari lawan. Adu mekanik dan pamer kekuatan militer menjadi hal yang lazim dilakukan negara, untuk menghalau niatan liar pihak lain untuk melakukan invasi. 

Sehingga, kapabilitas militer dalam pertempuran harus senantiasa dibangun. Pemerintah, sebagai pelaksana kuasa eksekutif, memiliki kewajiban untuk memastikan langkah tersebut. Menjadikan TNI sebagai militer cakap, bukan sebaliknya. 

Langkah Demiliterisasi TNI
Sayangnya, perubahan ketentuan dalam revisi UU TNI justru menjadikan prajurit semakin tidak militer. Per- luasan OMSP dan penambahan ëjatahí jabatan kementerian dan lembaga dalam revisi terbaru membuat TNI ke hilangan eksistensinya sebagai militer yang cakap. Pasalnya, TNI dituntut un- tuk nimbrung pelbagai aktivitas, mulai ‘dari menangani terorisme, membantu pemerintahan daerah, hingga dijejali! tugas menjaga proyek strategis nasio- nal. Ini membelokkan dari urgensi pra- jurit untuk mengasah skill utama yang seharusnya dikuasai: menja- di pasukan pertahanan yang tangguh. 

Terlebih, kita tidak bisa mengatakan tingkat pertahanan nasional kita sudah paripurna. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat, terjadi sebanyak 122,79 juta serangan siber pada periode Januari – Agustus 2024. Selain itu, dari segi kuantitas, jumlah personil secara umum, prajurit TNI juga dianggap kurang jika dibandingkan dengan luas teriitorial yang harus dilindungi. Bahkan, pemerintah terus mendorong penambahan anggota komponen cadangan untuk membantu tugas utama TNI. Artinya, TNI asih kewalahan dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai komponen utama pertahanan. 

Alih-alih memperbaiki permasalahan institusinya, perubahan UU TNI justru memperluas beban kerja prajurit, Prajurit TNI akan semak terbebani jika dituntut untuk menambah kapabilitas lain. Peluasan kewenangan menangani terorisme dan bencana alam yang hendak diberikan kepada TNI akan menjadikan fokus sumber daya manusia militer kita terpecah. Agenda perlu- asan kewenangan yang diatur dalam UU TNI adalah sebuah anomali konteks. Jauh panggang dari api, revisi dicanangkan justru akan memperlemah, alih-alih memperkuat pertahanan nasional Indonesia. 

Peningkatan kewenangan dan lingkup OMSP merupakan hal yang mubazir. Melalui beleid terbaru, TNI disuruh untuk menyelesaikan permasalahan instansi lain, dipaksa untuk bekerja ekstra. Padahal, tugas utama mereka dalam menjaga pertahanan Indonesia sudah berat. Maka, sepatutnya kita bertanya-tanya, jika TNI dan sipil sama- sama dirugikan, untuk kepentingan siapa UU TNI kemarin dibuat? 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 12 April 2025

Rahadian Diffaul Barraq Suwartono
Dosen Hukum Konstitusi Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum tata negara, kelembagaan negara pada sektor keamanan dan pertahanan, serta hukum keamanan dan pertahanan. Selain itu juga mendalami studi komparasi hukum tata negara dan konflik bersenjata.



Categories
Politik

Legislatif Desa

Badan Permusyawaratan Desa sebagai badan legislatif di tingkat desa perlu diperkuat. Dengan demikian, BPD dapat menjadi kekuatan penyeimbangan untuk mengawasi pemerintahan desa yang diselenggarakan kepala desa.

Dalam teori dan sistem ketatanegaraan, legislatif memiliki peran yang sangat penting, sama pentingnya dengan kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Secara umum, jamak diketahui legislatif memiliki tiga fungsi utama, yaitu pembuat undang-undang, pengawas pelaksanaan undang-undang, dan penganggaran.

Selain itu, keberadaan legislatif menjadi sangat vital karena merupakan lembaga yang ditengarai mewakili rakyat secara langsung. Oleh karena itu, sejatinya apa yang disuarakan oleh legislatif adalah representasi dari apa yang diinginkan oleh rakyat.

Pemerintahan desa merupakan struktur pemerintahan terendah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun, keberadaannya setara dengan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Mereka sejatinya memiliki kedudukan sejajar, yang membedakannya hanyalah cakupan wilayah kekuasaannya.

Bahkan, pemerintahan desalah yang sehari-hari berhadapan langsung dengan masyarakatan dan problem kemasyarakatan. Oleh karena itu, persoalan yang dihadapi oleh pemerintahan desa jauh lebih kompleks.

Sebagai sistem pemerintahan terendah, pemerintahan desa juga memiliki badan legislatif yang oleh undang-undang disebut dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sebagaimana Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa bahwa BPD mempunyai fungsi membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, serta melakukan pengawasan kinerja kepala desa. BPD juga berhak mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan pemerintahan desa begitu pun menyatakan pendapat atas hasil penyelenggaraan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, sejatinya BPD sebagai wakil rakyat atau wakil penduduk desa memiliki fungsi yang sangat penting, yaitu menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, mengawasi pemerintah desa, dan menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Dengan kata lain, BPD adalah badan legislatif di tingkat desa.

Sayangnya, keberadaan BPD saat ini masih sangat lemah, baik secara kelembagaan maupun kewenangan. BPD yang sejatinya menjadi mitra pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, pengundangan, dan penyalur aspirasi, justru lebih tampak sebagai bawahan dan ”tukang” stempel kepala desa. Dengan demikian, pemerintahan desa sepenuhnya diselenggarakan oleh kepala desa sebagai eksekutif, tidak ada kekuatan penyeimbang untuk melakukan pengawasan. Implikasinya, ada banyak kepala desa atau perangkat desa lainnya yang berurusan dengan aparat penegak hukum, baik karena melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ataupun penyalahgunaan wewenang lainnya.

BPD yang sejatinya menjadi mitra pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, pengundangan, dan penyalur aspirasi, justru lebih tampak sebagai bawahan dan ”tukang ” stempel kepala desa.

Setidaknya ada beberapa logika mengapa legislatif desa, yaitu BPD atau dengan sebutan lain penting untuk diperkuat kelembagaan maupun kewenangannya. Pertama, pepatah lama yang sangat familiar di telinga kita ”power tend to corrupt but absolut power corrupt absolutely” bahwa kekuasaan itu cenderung kepada tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan melampaui kewenangan.

Pemerintah desa memiliki prasyarat yang lebih dari cukup untuk melakukan kesewenang-wenangan itu. Dari aspek kewenangan, nyaris tak terbatas karena semua bergantung kepada kepala desa, tidak ada fungsi lain yang menjadi penyeimbang kekuasaan. Dari aspek anggaran, alokasi dana desa dan dana desa memberikan kucuran dana yang cukup besar bagi pemerintah desa, bahkan sangat besar jika dibandingkan sebelum rezim UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Belum lagi ada banyak desa yang memiliki Badan Usaha Milik (BUM) Desa dengan pendapatan di atas rata-rata. Sementara dari aspek masa jabatan, kepala desa menjabat selama enam tahun dan dapat dipilih kembali sebanyak tiga periode. Artinya, seseorang dapat menjabat menjadi kepala desa selama 18 tahun. Bahkan, ada pula usulan dari pemerintah pusat untuk menaikkan masa jabatan menjadi sembilan tahun.

Dengan kekuasaan yang sangat besar, mencakup kewenangan, anggaran, dan masa jabatan di atas, adalah niscaya agar pada level desa, memiliki satu badan legislatif yang memiliki kekuatan setara sebagai penyeimbang. Jika tidak, penyalahgunaan wewenang akan terus ada dan semakin masif.

Kedua, dari aspek teoretik, pemerintahan desa juga merupakan wadah pendidikan politik bagi calon kader-kader politik yang akan berkecimpung pada level daerah maupun nasional. Atau dengan kata lain, pemerintahan desa adalah bentuk mini dari pemerintahan daerah ataupun pemerintahan pusat. Oleh karena itu, sistem yang digunakan haruslah sama atau paling tidak mendekati kesamaan.

Pada level pusat dan daerah, legislatif memiliki peran penting sebagai pengawas, pembuat undang-undang dan menyetujui anggaran yang dibuat oleh legislatif. Pada level desa, juga setidaknya memiliki model yang serupa dengan itu, agar desa menjadi laboratorium mini pemerintahan Indonesia yang sebenarnya.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 24 April 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

Categories
Pendidikan

Kampus Terjerat Tambang

Gagasan WIUP untuk kampus berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam.

Usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengenai pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi yang diajukan sebagai bagian dari Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memicu perdebatan.

Beberapa pihak, seperti Forum Rektor Indonesia, mendukung ide ini dengan dalih bahwa pendapatan dari tambang dapat digunakan untuk mensubsidi biaya operasional kampus, yang akhirnya mengurangi SPP mahasiswa. Namun, muncul juga suara kritis, seperti dari Rektor Universitas Islam Indonesia, yang menolak gagasan ini dan mengkhawatirkan dampaknya terhadap karakter kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai akademik.

Gagasan WIUP untuk kampus ini berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ruang bebas bagi pemikiran kritis dan advokasi kebenaran ilmiah, justru berisiko terjebak dalam dinamika korporatisasi dan subordinasi politik. Bagaimana perspektif ekonomi politik menjelaskan fenomena ini?

Jeratan negara berkembang
Negara berkembang seperti Indonesia memiliki ketergantungan historis terhadap eksploitasi sumber daya alam mentah sebagai sumber pendapatan utama. Ketergantungan ini merupakan warisan kolonial yang terus berlanjut dalam struktur ekonomi global. Perspektif Teori Sistem Dunia Immanuel Wallerstein menempatkan Indonesia dalam kategori negara “semi-peri,” yaitu entitas yang terjebak antara zona inti kapitalis global dan negara-negara pinggiran. Negara semi-peri cenderung menyediakan bahan mentah tanpa mendapatkan nilai tambah yang signifikan.

Program hilirisasi nikel yang digalakkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sering disebut sebagai upaya untuk keluar dari jeratan ini. Namun, kenyataannya, program tersebut lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak asing seperti Tiongkok, yang mengendalikan teknologi dan pasar, dibandingkan meningkatkan nilai tambah dalam negeri.

Hal ini mencerminkan relasi ekonomi politik internasional yang tetap timpang. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali terkunci dalam peran ekonomi yang menguntungkan negara-negara maju, ketimbang membangun kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Ketergantungan ini tidak hanya melanggengkan eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga melemahkan daya saing ekonomi nasional.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi harus dilihat dalam konteks ini. Alih-alih membantu Indonesia keluar dari ketergantungan struktural, langkah ini justru dapat memperkuat eksploitasi sumber daya alam tanpa perubahan mendasar pada struktur ekonomi. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi aktor transformasi justru dapat terjebak dalam pengulangan pola ekonomi lama yang bersifat ekstraktif.

Jeratan korporatisasi kampus
Transformasi ekonomi global sejak dekade 1970-an telah membawa pengaruh besar pada institusi pendidikan tinggi. Globalisasi telah mendorong kampus menjadi entitas yang berorientasi pada profit, menjauh dari misi utamanya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Tren ini semakin diperkuat oleh sistem pemeringkatan kampus global, yang memaksa perguruan tinggi untuk mengejar pendanaan alternatif agar tetap kompetitif secara reputasi.

Dalam kerangka ini, tidak mengherankan jika ide pengelolaan tambang oleh kampus muncul sebagai “solusi kreatif” untuk mengatasi tantangan pendanaan. Namun, langkah ini dapat mengecoh dan membawa konsekuensi besar. Kampus yang diberikan WIUP tidak hanya akan terjebak dalam arus korporatisasi, tetapi juga berpotensi mengorbankan tri dharma perguruan tinggi: pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat.

Dalih bahwa pendapatan dari pengelolaan tambang akan mengurangi SPP mahasiswa perlu dikritisi secara mendalam. Kenyataannya, sebagian besar kampus di Indonesia masih sangat bergantung pada SPP mahasiswa dan subsidi pemerintah untuk menopang operasionalnya. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan dari tambang, yang bersifat tidak stabil dan berisiko tinggi, bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi tantangan pendanaan. Sebaliknya, ketergantungan pada sumber pendapatan seperti tambang justru dapat memperburuk tata kelola kampus dan mengalihkan fokus dari inovasi pendanaan yang berkelanjutan dan sejalan dengan nilai-nilai pendidikan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang menimbulkan kontradiksi moral yang sulit dihindari. Kampus yang menyuarakan pembangunan berkelanjutan sekaligus melakukan eksploitasi sumber daya alam tidak hanya akan kehilangan legitimasi moral, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi generasi mendatang.

Jeratan subordinasi politik
Perspektif ekonomi politik juga membantu kita memahami risiko yang lebih subtil dari pemberian WIUP, yaitu ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah dan kampus. Sebagai penerima WIUP, perguruan tinggi akan berada dalam posisi yang rentan terhadap kontrol pemerintah. Izin yang diberikan, diperpanjang, atau dicabut berdasarkan keputusan politik dapat menjadi alat yang digunakan untuk membungkam suara kritis akademisi terhadap kebijakan negara. Tanpa mengakhiri hubungan subordinasi antara pemerintah dan kampus, kondisi riset dan pengembangan ilmu pengetahuan akan terus terpuruk dan kehilangan daya saing.

Hal ini bukan sekadar ancaman hipotetis. Dalam konteks di mana perguruan tinggi telah menjadi arena advokasi politik dan kritik terhadap kebijakan publik, ketergantungan pada WIUP akan mengurangi independensi akademik yang seharusnya menjadi pilar utama dunia pendidikan. Dalam jangka panjang, kampus berisiko berubah menjadi subordinat pemerintah, bukan lagi aktor independen yang mengedepankan kebenaran dan keadilan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang dapat merusak reputasi institusi itu sendiri. Kampus yang terlibat dalam aktivitas ekstraktif akan kehilangan kredibilitas sebagai pelopor pembangunan berkelanjutan, sekaligus menempatkan diri mereka pada posisi yang berlawanan dengan nilai-nilai akademik yang mereka ajarkan.

Setia pada misi
Untuk mencegah jeratan korporatisasi dan subordinasi politik, perguruan tinggi perlu menjaga integritasnya dengan menolak keterlibatan dalam pengelolaan tambang. Sebagai gantinya, perguruan tinggi dapat memanfaatkan keahliannya untuk beberapa hal strategis.

Pertama, kampus dapat memainkan peran sebagai pengawas independen untuk memastikan bahwa praktik pertambangan dilakukan sesuai dengan standar lingkungan dan sosial yang ketat. Peran ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dan melindungi hak masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas tambang.

Kedua, kampus juga dapat memperkuat riset di bidang teknologi hijau, seperti pengembangan energi terbarukan atau metode eksploitasi sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Kontribusi ini tidak hanya relevan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, tetapi juga membuka peluang inovasi yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada model ekonomi ekstraktif.

Ketiga, kampus memiliki tanggung jawab untuk menjadi advokat dalam mendorong kebijakan publik yang transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dengan konsistensi pada prinsip-prinsip tersebut, perguruan tinggi dapat memengaruhi tata kelola tambang agar lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, mengedepankan keberlanjutan lingkungan, dan menjaga integritas institusi akademik.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi adalah gagasan yang berisiko tinggi, baik dari segi ekonomi-politik, sosial, maupun lingkungan. Di tengah struktur ekonomi global yang timpang, keterlibatan kampus dalam bisnis tambang hanya akan memperkuat pola eksploitasi lama tanpa memberikan solusi jangka panjang bagi pembangunan bangsa. 

Perguruan tinggi harus menolak jeratan ini dan tetap setia pada misi akademik mereka sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan konsisten pada penguatan riset, advokasi, dan inovasi teknologi, kampus dapat memberikan kontribusi nyata tanpa harus mengorbankan integritas dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Mudah-mudahan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 7 Februari 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.