Categories
Hukum Politik

Tak Ada Permintaan Maaf kepada PKI

Tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain.

Tidak ada permintaan maaf, baik tertulis maupun lisan, oleh Presiden Joko Widodo kepada Partai Komunis Indonesia atau PKI. Saya pastikan, itu tidak ada.

Ada isu politik dan hukum yang bersumber dari kesesatan informasi sejak akhir September sampai awal Oktober 2024 yang mengitari suasana peringatan G30S PKI dan Hari Kesaktian Pancasila tahun 2024 ini, yakni isu permintaan maaf pemerintah oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada PKI dan keturunannya. Kita pastikan bahwa isu itu tidak benar karena sumber informasinya sesat dan tidak otentik.

Isu tentang permintaan maaf kepada PKI itu terpantik lagi setelah, sekitar 30 September dan 1 Oktober 2024, beredar pemberitaan dan video Ibu Amelia Yani yang akan menuntut Presiden Jokowi ke Mahkamah Agung (MA) karena telah meminta maaf kepada PKI dengan merujuk pada Keputusan Presiden (Keppres) No 17 Tahun 2022 dan Instruksi Presiden (Inpres) No 2 Tahun 2023.

Amelia Yani adalah putri Jenderal Ahmad Yani, salah seorang korban keganasan PKI. Sebagai orang yang ikut menangani langsung pembentukan keppres dan inpres tersebut, saya merasa terpanggil untuk menjelaskannya agar informasi yang salah tidak dikunyah berlanjut-lanjut.

Penyelesaian 13 peristiwa
Saya berani memastikan bahwa, baik di dalam Keppres No 17 Tahun 2022 dan Inpres No 2 Tahun 2003 maupun di dalam pernyataan-pernyataan lisan Presiden Jokowi, tidak ada kata-kata atau frasa dalam kalimat yang menyebutkan tentang permintaan maaf kepada PKI dan atau keturunannya.

Saya menyatakan itu karena sayalah yang ditugasi untuk mengawal detail pembuatan keppres dan inpres dimaksud. Sampai sekarang, naskah keppres dan inpres tersebut bisa dilihat di laman Sekretariat Negara ataupun di Google.

Keppres dan inpres tersebut dibuat atas perintah Tap MPR untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, baik melalui pengadilan maupun melalui rekonsiliasi nasional dan nonyudisial untuk menguatkan kembali persatuan Indonesia. Tap MPR dan beberapa undang-undang (UU) tentang itu dibuat MPR yang diketuai Amien Rais pada awal-awal Reformasi.

Berbarengan dengan itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ditugasi untuk menyelidiki dan menetapkan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu yang perlu diselesaikan, baik melalui pengadilan (yudisial) maupun melalui rekonsiliasi (nonyudisial).

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR. Beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil (dan dipaksakan dengan pembuktian seadanya) dibawa ke pengadilan diputus bebas oleh MA.

Ada 33 terdakwa yang dibebaskan dan ada satu orang yang dijatuhi hukuman, tetapi kemudian dibebaskan melalui peninjauan kembali oleh MA.

Adapun upaya melakukan rekonsiliasi tidak bisa berjalan efektif karena UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dibatalkan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 006/PUU-IV/2006.

Upaya merevisi UU tersebut dilakukan sejak zaman pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai zaman pemerintahan Presiden Joko Widodo, tetapi selalu gagal, teradang di perdebatan politik.

Itulah sebabnya pemerintahan Presiden Joko Widodo mengambil langkah lebih maju dengan mengonsentrasikan diri untuk memenuhi hak-hak korban, bukan pelakunya. Maka, dikeluarkanlah Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).

Isi keppres tersebut menekankan pentingnya pengungkapan peristiwa dan pemulihan hak korban peristiwa pelanggaran HAM berat. Tidak ada sama sekali kata permintaan maaf kepada siapa pun, apalagi kepada pelaku.

Keppres itu juga tak menutup pintu penyelesaian secara yudisial karena (seperti dimuat dalam konsiderans, Menimbang butir c) penyelesaian nonyudisial merupakan jalan paralel yang dilakukan di samping jalur yudisial, sesuai perintah Tap MPR No XVII/MPR/1998, UU No 1 Tahun 1999, UU No 39 Tahun 1999, dan UU No 26 Tahun 2000.

Upaya penyelesaian yudisial sebagian besar gagal karena sulitnya pembuktian berdasar hukum acara yang berlaku sehingga terjadi bolak-balik atau saling lempar bola antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung, dan DPR.

Keppres No 17 Tahun 2022 hanya berisi pembentukan Tim PPHAM untuk mendalami keputusan Komnas HAM tentang terjadinya 13 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tim PPHAM kemudian merekomendasikan langkah-langkah pemulihan hak-hak korban sesuai dengan ketentuan, antara lain, dalam Pasal 28I Ayat (4) UUD 1945.

Jadi yang dikembalikan hak-haknya adalah hak para korban yang tidak terlibat atau hanya menjadi korban. Sementara pelakunya harus tetap dibawa ke pengadilan sepanjang bisa dibuktikan secara hukum. Pemerintah harus mengakui keputusan tentang pelanggaran HAM berat yang ditemukan Komnas HAM karena Tap MPR dan UU memang menugaskan Komnas HAM untuk memutuskan tentang itu dan pemerintah tak bisa menolaknya.

Rekomendasi Tim PPHAM yang disampaikan kepada Presiden tersebut kemudian dituangkan dalam Inpres No 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat tanggal 15 Maret 2023.

Inpres ini memerintahkan kepada 19 kementerian dan lembaga pemerintahan agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi guna melaksanakan rekomendasi Tim PPHAM.

Saat menerima dan mengumumkan rekomendasi Tim PPHAM yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya inpres itu, tidak ada pernyataan atau satu kata pun tentang permintaan maaf.

Yang dikatakan Presiden adalah mengakui bahwa 13 peristiwa itu betul terjadi dan pengakuan itu memang harus dilakukan karena yang menetapkan adalah lembaga negara yang memang ditugaskan untuk itu, yakni Komnas HAM. Presiden tidak boleh tidak mengakui keputusan Komnas HAM.

Sebagai kesaksian, ketika proses sosialisasi ke berbagai daerah dan ormas-ormas, saya memang mencatat ada beberapa orang yang mengusulkan kepada Tim PPHAM agar pemerintah menyatakan meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Akan tetapi, usul itu ditolak keseluruhan anggota Tim PPHAM dan tidak pernah dijadikan kesimpulan yang ditulis ataupun diucapkan.

Jadi yang dilakukan pemerintah terbatas pada mengakui dan tidak menyatakan meminta maaf sebab kesalahan atas terjadinya peristiwa-peristiwa itu tidak bisa secara hitam putih ditimpakan kepada pemerintah, apalagi rezimnya sudah berganti-ganti dan setiap rezim sudah berusaha menanganinya.

Penulisan sejarah
Hal yang tidak benar lainnya dari pernyataan Ibu Amelia Yani adalah tentang izin pemerintah untuk melakukan penulisan ulang sejarah G30S PKI.

Itu tidak benar sebab pemerintah justru menolak jika sejarah 1965/1966 ditulis ulang sebagai versi resmi pemerintah. Tegas, di sidang kabinet pemerintah menolak itu.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang. Tetapi, kepada mereka yang menyampaikan usul itu, pemerintah menyatakan menolak sebab jika ada sejarah baru versi pemerintah, pasti akan ada versi lain yang mempersoalkannya lagi.

Memang banyak akademisi dan lembaga riset yang datang kepada pemerintah dan mengusulkan agar sejarah 1965/1966 diteliti dan ditulis ulang.

Versi sejarah tentang peristiwa 1965/1966 sudah banyak. Ada versi Pusat Sejarah ABRI, versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, versi Cornell, versi intelijen asing, versi sejarawan Nahdlatul Ulama, dan lain-lain, termasuk versi berbagai disertasi dan tesis.

Oleh karena, itu tak perlu ada sejarah versi resmi pemerintah karena nanti bisa dibantah oleh versi-versi lain. Akan tetapi, semua ilmuwan dan peneliti sejarah boleh saja melakukan penelitian-penelitian lanjutan sesuai dengan metodologi sejarah masing-masing.

Versinya bisa berbeda-beda, tetapi tetap merupakan pandangan akademik masing-masing, bukan versi pemerintah. Dananya, tentu saja, bisa memakai dana pemerintah sebagai dana program penelitian yang ada di Kemendikbudristek, BRIN, dan di berbagai perguruan tinggi. Yang penting, proposalnya memenuhi syarat. Masa, orang mau meneliti secara ilmiah-akademik akan dilarang?

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 8 Oktober 2024

Moh. Mahfud MD
Guru Besar Bidang Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII. Menteri Pertahanan (2000-2001), Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013), dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-2024)

Categories
Politik

Jatah Kursi Dubes

Presiden Prabowo baru saja melantik 31 Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang akan ditugaskan di negara-negara strategis. Diantara mereka selain diplomat karir juga ada yang berlatar belakang politikus, purnawirawan TNI, dan mantan hakim. Dari sini, tak dapat dimungkiri adanya persepsi masyarakat bahwa pasca Pemilu akan dilaksanakan pembagian jatah kursi yang tak hanya di BUMN tapi juga di kedutaan besar.

Pengangkatan duta besar seolah seperti kebiasaan yang berlangsung seperti sebelumnya. Padahal Presiden Prabowo memiliki target untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia. Untuk mencapainya, dibutuhkan strategi handal dengan mempercayakan beragam tugas berat kepada para diplomat kita.

Penunjukan Politis
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan hak prerogatif kepada Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Duta Besar. Kewenangan konstitusional ini memberikan peluang kepada Presiden untuk memberikan posisi Duta Besar kepada siapa saja yang dikehendakinya. Namun, secara kelembagaan, harus diketahui bahwa Kementerian Luar Negeri menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya para diplomat karir.

Para diplomat karir telah dilatih dan disekolahkan untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Mereka juga telah berpengalaman dalam menangani kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia secara lintas batas negara. Memberikan peluang kursi duta besar kepada non- diplomat justru akan memunculkan sebuah pertanyaan apakah mereka minimal mampu memiliki kemampuan yang jauh lebih baik daripada diplomat yang lahir dari merit system.

Penunjukan diplomat non-karir selama ini dilakukan atas dasar kepentingan politik balas budi. Umumnya mereka dipilih karena pernah menjadi tim sukses Presiden selama Pemilu. Tanpa melihat latar belakang keahlian yang dimilikinya, penunjukan diplomatik non-karir justru akan melemahkan kekuatan diplomasi kita.

Beberapa kasus internasional yang dihadapi Indonesia dapat menjadi bahan evaluasi terhadap keberadaan diplomat kita di luar negeri. Belum lama ini, Indonesia kalah dalam forum ICC Singapura dalam kasus Navayo sehingga harus membayar denda ratusan miliar rupiah. Selain itu, permasalahan pekerja migran Indonesia di luar negeri yang tak kunjung selesai menjadi bukti bahwa kebutuhan akan sumber daya manusia yang ahli dalam berdiplomasi sangatlah penting.

Upaya Hukum
Studi yang dilakukan oleh Haglund (2015) menyebutkan bahwa diplomat karir rata-rata memiliki kinerja yang jauh lebih baik jika dibandingkan diplomat yang dipilih secara politik. Mereka umumnya telah teruji memiliki kualifikasi yang sangat tinggi baik dari segi pendidikan dan pelatihan, pengalaman internasional yang jauh lebih baik, serta kemampuan diplomasi yang matang.

Untuk itu, perlu dipikirkan agar tidak sembarang orang dapat dipilih menjadi diplomat non karir. Jangan sampai timbul kesan bahwa keberadaan diplomat non karir sebagai bagian dari bagi-bagi kekuasaan dan mengabaikan level kapasitas yang harus dipenuhi. Presiden perlu melakukan fit and proper test serta mewajibkan mereka untuk mengikuti pelatihan intensif sehingga mereka mampu memahami strategi menghadapi permasalahan dalam hubungan internasional yang dihadapi Indonesia dengan cepat dan efektif. Prosedur ini sangat perlu dilembagakan minimal dalam bentuk Peraturan Presiden agar secara konsisten menjaga marwah kedutaan besar kita di luar negeri.

Selain itu, sudah saatnya kita merombak substansi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Utamanya, undang-undang ini sangat perlu mengatur secara detail struktur kelembagaan perwakilan kita di luar negeri dan syarat yang harus dipenuhi bagi diplomat non-karir.

Jika hal ini diatur dalam Undang-Undang, maka siapapun Presiden-nya mau tidak mau harus patuh. Tidak akan ada lagi praktik saling tunjuk dengan latar belakang politik praktis. Harapannya, diplomasi kita semakin kuat sehingga memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam percaturan global.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Maret 2025

Dodik Setiawan Nur Heriyanto
Dosen Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum ekonomi internasional, hukum humaniter, hukum diplomatik dan konsuler, dan hukum penyelesaian sengketa internasional. 

Categories
Pendidikan

Desakralisasi Profesor

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Surat edaran internal di Universitas Islam Indonesia terkait peniadaan penulisan jabatan dan gelar rektor dalam dokumen tiba-tiba menjadi viral.

Kejadian di luar dugaan ini merupakan berkah tersamar yang perlu disyukuri. Apa pasal? Ikhtiar kecil tersebut oleh banyak kalangan, termasuk warganet, dianggap sebagai antitesis dari praktik obral gelar dan jabatan kehormatan oleh beberapa kampus. Praktik ini tak jarang melibatkan pejabat dan politisi dengan alasan yang sulit dipahami dengan akal sehat.

Menurut kabar termutakhir, pengajuan untuk mendapatkan jabatan akademik profesor diduga melibatkan praktik suap dengan nominal yang cukup fantastis. Praktik tersebut tentu sangat memalukan di tengah harapan tinggi publik kepada kampus sebagai pengawal moral bangsa.

Surat edaran di atas tentu bukan sekadar instrumen administratif sebagaimana dipahami oleh sebagian orang.

Ada beragam alasan yang lebih substantif meski sudah dapat diduga perspektif ini tidak akan diamini oleh semua profesor. Perbedaan pendapat seperti ini merupakan hal yang sangat wajar di alam demokrasi selama didasari dengan nilai yang baik.

Apa alasan substantif di balik penerbitan surat edaran tersebut? Paling tidak adalah tiga, yakni menumbuhkan kembali semangat kolegialitas, memandang jabatan profesor sebagai amanah publik, dan mendesakralisasi jabatan profesor.

Semangat kolegialitas

Semangat kolegialitas ini sudah agak lama terkikis di tengah maraknya praktik neoliberalisme dalam manajemen perguruan tinggi. Salah satu indikasinya adalah kuasa pasar yang menentukan banyak pilihan sikap. Hubungan internal yang dibangun pun melahirkan jarak kuasa yang semakin jauh, antar-jenjang fungsional dan struktural.

Jabatan profesor yang menghuni jenjang fungsional tertinggi akan menambah jarak sosial dalam berinteraksi. Ujungnya adalah budaya feodalisme gaya baru yang mewujud dalam beragam bentuk di lapangan.

Dengan menghidupkan kembali semangat kolegialitas, jarak kuasa sesama kolega akan semakin dekat.

Kampus akhirnya dapat menjadi salah satu tempat yang paling demokratis. Para dosen menempatkan diri sebagai kolega intelektual yang mempunyai kedaulatan dalam berpikir dan menyatakan pendapatnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat.

Tanggung jawab publik

Betul, profesor adalah sebuah capaian jabatan akademik tertinggi. Namun, banyak yang lupa bahwa di dalam jabatan itu melekat tanggung jawab publik. Pemahaman ini perlu dilantangkan kembali agar menjadi kesadaran kolektif.

Tanggung jawab publik tersebut dapat termanifestasikan ke dalam beragam peran. Salah satunya adalah intelektual publik. Intelektual tidak boleh menjauh dari urusan publik.

Tugasnya, meminjam formulasi Chomsky (2017), adalah menyampaikan kebenaran dan membongkar kebohongan, memberikan konteks kesejarahan, serta mengungkap tabir ideologi dari beragam gagasan yang mengekang perdebatan publik.

Intelektual publik berikhtiar mendekatkan bidang kajiannya dengan kepentingan publik, termasuk juga bersuara terhadap beragam penyelewengan yang muncul. Menurut Chomsky, karena para intelektual ini mempunyai banyak privilese yang dinikmati, tanggung jawabnya pun lebih besar dibandingkan dengan mayoritas awam.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Didorong oleh kegeraman, seorang kawan bahkan berseloroh jika hari-hari ini kita mengalami surplus profesor, tetapi di saat yang sama kekurangan intelektual publik.

Ikhtiar desakralisasi

Saat ini sebagian kalangan memandang jabatan profesor sebagai sesuatu yang sakral. Banyak orang yang menjadikannya sebagai bagian dari status sosial yang perlu dikejar dengan segala cara, lantas dipamerkan ke ruang publik sebagai kebanggaan.

Sebagian banyak diduga menabrak etika. Kalangan non-akademisi, termasuk politisi dan pejabat, pun akhirnya terpincut untuk mendapatkannya.

Karena dianggap sebagai status sosial tinggi, cerita lucu di lapangan pun bermunculan, termasuk kemarahan si empu ketika jabatan tersebut tidak disematkan. Komentar warganet di beragam linimasa media sosial terkait dengan isu profesor abal-abal menambah daftar kelucuan.

Jika jabatan ini dianggap sakral, si empunya seakan menjadi orang suci, yang jika kebablasan akan menjelma menjadi makhluk yang kalis dari kritik dan kesalahan. Tentu bukan ini yang seharusnya terjadi di dunia akademik. Semua kebenaran bersifat nisbi dan terbuka untuk dikritisi.

Tampaknya mudah untuk bersepakat bahwa saat ini semakin sulit mencari intelektual publik yang istikamah.

Jabatan ini, karena itu, perlu didesakralisasi dengan memutus asosiasinya dengan beragam privilese yang menyertainya yang sebagian bersifat absurd. Privilese muncul karena merupakan legitimasi yang bersumber dari otorisasi pihak yang lebih berkuasa dan endorsemen dari sekelilingnya.

Peraturan perlu kembali ditata dengan menyuntikkan nilai yang tepat dan menjauhkannya dari kepentingan politik sesaat. Pada saat yang sama, penghilangan penulisan jabatan dan pemanggilan dalam interaksi keseharian menjadi salah satu ikhtiar kultural untuk desakralisasi.

Dengan demikian, para pengejar jabatan ini akan diberikan koridor yang bermartabat. Jika mendapatkannya pun si empunya hanya akan merayakan seperlunya dengan penuh kesadaran adanya tanggung jawab publik yang melekat di dalamnya.

Jika kesadaran ini diikuti oleh semakin banyak profesor, tidaklah berlebihan untuk berharap jika gerakan simbolik dalam surat edaran tersebut akan semakin melantang dan melahirkan budaya akademik baru yang lebih egaliter. Semoga.

 

Tulisan ini dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 25 Juli 2024

Fathul Wahid
Ketua Umum Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta se-Indonesia (BKS PTIS); Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah Yogyakarta; Rektor Universitas Islam Indonesia. Dosen Jurusan Informatika UII. Bidang riset pada eGovernment, eParticipation, ICT4D, sistem enterprise.