Categories
Lingkungan

Gen Z dan Baby Boomers sama-sama Merana karena Perubahan Iklim, Tak Perlu Saling Tuding

Kajian di tingkat global maupun nasional banyak kaum muda dari Generasi Z (Gen Z) dan Milenial sangat risau terhadap isu lingkungan dan perubahan iklim. Gen Z merupakan kelompok penduduk global yang lahir dalam periode 1998-2012, sedangkan Milenial lahir di antara 1981-1995.

Level keresahan mereka pada kondisi bumi saat ini lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya, seperti Generasi X (1965-1989) dan Baby Boomers (1946-1964).

Kondisi tersebut melahirkan aksi iklim yang sangat kencang dari kaum muda Gen Z maupun Milenial dibandingkan orang-orang tua. Bahkan, aksi tersebut juga memicu lahirnya meme “Ok Boomer”, sebagai sindiran sejumlah anak muda terhadap generasi tua yang dianggap kolot terhadap langkah maju, termasuk aksi iklim.

Sayang, sindiran ini justru menimbulkan sentimen antargenerasi dan tindakan saling menyalahkan. Generasi muda menganggap generasi tua telah merusak lingkungan dan memperparah perubahan iklim. Generasi tua juga dicap lamban untuk mengatasinya.

Sementara itu, generasi tua mengeluhkan anak muda yang mereka anggap “mental lembek” dan hanya doyan main gadget. Mereka juga acap “menyuruh” yang muda untuk bertindak mengurus persoalan lingkungan.

Membawa sentimen generasi dalam isu perubahan iklim justru tidak menyederhanakan persoalan. Banyak faktor yang akhirnya luput dari pertimbangan saat melihat akar masalah krisis iklim serta dampak-dampaknya.

Meskipun meme-meme bernada sindiran menambah paparan publik terhadap isu lingkungan, percakapan semacam ini justru bisa menggeser fokus publik terhadap cara penanganan perubahan iklim.

Setiap generasi membutuhkan lebih banyak perbincangan seputar dampak perubahan iklim. Dengan bercakap-cakap lebih banyak, antargenerasi seharusnya saling berempati dan berdialog untuk merumuskan aksi bersama, sesegera mungkin.

Generasi mana yang paling menderita?

Kejadian tak menyenangkan akibat perubahan iklim baik panas ekstrem, kebakaran hutan, puting beliung, banjir, maupun ombak dahsyat mengakibatkan kerugian banyak orang di berbagai negara dan juga daerah di Indonesia. Namun, pengalaman terhadap kejadian maupun bencana antargenerasi jelas berbeda.

Gen Z yang lahir dalam periode 1998-2012 bertumbuh di situasi suhu Bumi sudah lebih hangat setidaknya 0,5°C sejak era praindustri (1850-an) , dibandingkan generasi Baby Boomers yang lahir di antara tahun 1948-1962. Perbedaan ini juga terasa apalagi oleh Generasi Alpha yang lahir dalam periode 2013-2022.

Kedua generasi ini, termasuk Millenial yang lahir dalam periode 1981-1995, menjadi kelompok yang sangat merasakan dampak perubahan iklim di masa depan. Jikalau seluruh negara dunia serius dan ambisius meredam perubahan iklim (termasuk melenyapkan pembakaran batu bara), mereka akan menjalani sebagian besar hidupnya di tengah kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5-2,4°C.

Semakin panas suhu Bumi, kemalangan yang menimpa manusia akan terus parah. Ini dapat berdampak pada kesehatan fisik maupun mental.

Sementara itu, dengan skenario yang sama, generasi Baby Boomers merasakan kenaikan suhu 1,9°C. Karena mayoritas sudah berusia lanjut, Boomers mereka lebih rentan mengalami dampak perubahan iklim dalam waktu dekat seperti panas menyengat, kebakaran hutan, longsor, dan hujan ekstrem.

Di negara berkembang seperti Indonesia, situasi itu bisa berefek lebih memprihatinkan. Sebagai contoh, generasi tua yang menjadi petani, mulai dari Generasi X hingga Boomers, banyak terpapar panas ekstrem di ladang dan ketidakpastian cuaca. Ini berdampak pada kesehatan sekaligus sumber nafkah mereka.

Nelayan generasi Baby Boomers di desa-desa pesisir Sumbawa, misalnya, tak bisa disalahkan atas dan perubahan iklim. Sebaliknya, mereka justru menjadi korban.

Dalam kasus lain, ada pemuda yang terbukti menerima suap dari perusahaan perusak lingkungan yang membuat Bumi semakin celaka.

Empati antargenerasi

Gentingnya situasi Bumi saat ini seharusnya membuat kita mengurangi waktu untuk saling menyalahkan. Sebaliknya, setiap generasi perlu menyadari bahwa perubahan iklim berdampak pada seluruh kalangan—berapapun usia mereka saat ini.

Generasi tua seperti Baby Boomers dan Gen X perlu memahami bahwa generasi muda, terutama Gen Z dan Gen Apha, bertumbuh di tengah situasi Bumi yang lebih buruk. Di masa depan, situasi terancam semakin parah.

Di lain pihak, generasi muda juga perlu mengamini bahwa generasi tua sangat rentan mengalami dampak perubahan iklim. Para lansia di negara berkembang, dengan angka harapan hidup yang lebih rendah dari negara maju, berisiko terimbas dampak kerusakan lingkungan berkali-kali lipat.

Karena permasalahan lingkungan adalah tanggung jawab seluruh umat manusia, empati antargenerasi amat diperlukan untuk melecutkan perbincangan bersama agar dapat meredam “konflik” antargenerasi dan bisa saling mengkuatkan untuk bertahan di tengah iklim yang berubah.

Kerja bersama antargenerasi juga bisa menghasilkan solusi yang lebih efektif dan menyeluruh. Milenial dan Gen Z dapat memperoleh wejangan dan mencari pengalaman dari generasi tua untuk merumuskan aksi iklim yang tepat sasaran. Sementara Boomers maupun Gen X dapat memanfaatkan id-ide segar generasi penerusnya untuk membantu pemulihan kerusakan yang terjadi di masa produktif mereka.

Dialog antargenerasi untuk saling memahami dan mencari solusi bersama sebenarnya sudah dimulai di banyak tempat. Berbagai daerah di Indonesia, sebagai negara yang rentan terhadap berbagai krisis, perlu memulai dan membiasakannya mulai saat ini.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 5 Augustus 2024

Diah Ayu Prawitasari
Dosen Program Studi Teknik Lingkungan UII. Bidang riset pada teknologi remediasi

 

Categories
Sosial Budaya

Demi Konten

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang tanpa batas bagi siapa saja untuk memproduksi dan mengonsumsi konten. Namun, kebebasan tersebut sering kali melupakan aspek nalar dan etika. Sensasi dan kontroversi lebih diprioritaskan dibandingkan tanggung jawab moral.

Sangat banyak contoh dan kini terus bertambah konten-konten yang memprihatinkan, tidak hanya melanggar batas etika, bahkan tak sedikit yang melanggar hukum hingga bermain-main dengan kematian. Sekali lagi demi jalan pintas meraih popularitas, viralitas, atau keuntungan finansial dari hasil monetisasi konten.

Jalan raya kini sering dijadikan tempat membuat konten ekstrem oleh remaja, seperti berjoget saat lampu merah atau menantang truk yang melaju. Aksi berbahaya ini berujung tragis, seperti kasus Tangerang ketika dua remaja tewas. Konten yang awalnya dimaksudkan untuk hiburan justru membawa malapetaka.

Bukan hanya masyarakat awam yang terjerat dalam obsesi konten, tetapi juga kalangan selebriti dan profesional. Seorang selebriti dikritik karena menjadikan musibah keluarga, yakni meninggalnya Sang Ayah sebagai konten, mengaburkan batas antara penghormatan pribadi dan eksploitasi.

Di ranah profesional, beberapa tenaga medis melanggar etika demi konten. Dua perawat menghadapi masalah hukum karena merekam pemasangan kateter pada pasien dan mengunggahnya ke media sosial. Kejadian lainnya, seorang perawat bayi di Yogyakarta melanggar privasi pasien dengan merekam dirinya menciumi bayi yang baru lahir dan membagikannya di TikTok.

Mengejar Validasi Sosial
Di tengah beban hidup yang menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hiburan, pakar psikologi mengindikasikan bahwa masyarakat saat ini mulai mengalami gangguan kejiwaan dalam bermedia sosial. Beberapa gangguan kejiwaan yang sering dikaitkan dengan fenomena ini antara lain kepribadian narsistik, social climber atau panjat sosial (pansos), vouyerisme, Internet Asperger Syndrome, dan FOMO (Fear of Missing Out).

Gangguan kepribadian narsistik menyebabkan individu terus-menerus mencari validasi dalam bentuk likes dan komentar, sehingga mereka rela melakukan tindakan berlebihan demi menarik perhatian.

Fenomena social climber memperburuk situasi, ketika individu berusaha meningkatkan status sosial dengan menciptakan konten sensasional mengikuti sesuatu yang sedang disorot publik. Mereka percaya bahwa semakin banyak perhatian yang didapat saat itu, semakin menguntungkan.

Di sisi lain, voyeurisme mendorong individu untuk mengamati dan mengeksploitasi kehidupan pribadinya atau orang lain demi hiburan, tanpa mempertimbangkan aspek privasi dan etika.

Sementara itu, internet Asperger Syndrome mencerminkan bagaimana keribadian individu berubah drastis ketika berinteraksi di dunia maya. Misalnya kehilangan empati dan kesadaran sosial jika sudah memposting sesuatu di media sosal tanpa tidak menyadari bahwa konten yang dibuat dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain di dunia nyata.

FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi faktor utama yang dituding menjadi penggerak banyaknya konten bermasalah. Banyak individu merasa tertekan jika tertinggal dan kehilangan momentum, sehingga terdorong terus membuat beragam konten agar tetap eksis.

Semua atau salah satu faktor di atas berkontribusi meningkatkan kecenderungan individu untuk mengorbankan etika demi mendapatkan validasi sosial dalam bentuk likes, komentar, atau jumlah pengikut, tak jarang diikuti dengan tindakan “mengemis online” untuk mengejar keuntungan instan.

Literasi Digital sebagai Penyeimbang
Untuk mengimbangi fenomena ini, penting bagi pengguna teknologi untuk meningkatkan literasi digital. Pemahaman tentang cara kerja media sosial, bagaimana algoritma mempengaruhi perilaku pengguna, serta dampak psikologis dari konsumsi media digital harus menjadi bagian dari pendidikan sejak dini.

Kesadaran akan etika digital harus dikampanyekan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang eksploitasi demi popularitas, tetapi juga tempat untuk berbagi informasi yang bermanfaat, menginspirasi, dan membangun komunitas yang lebih sehat secara mental dan sosial.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang terjebak dalam ilusi dunia maya dari konten yang tidak berfaedah, di mana nilai dan moral terabaikan demi sensasi sesaat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.



Categories
Politik

Bagaimana Pilpres 2024 akan Membingkai Ulang Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia?

Dua pekan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kontestasi tiga calon presiden – Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto dalam meraih simpati rakyat kian ketat. Sepanjang masa kampanye, salah satu aspek yang mengundang perhatian publik adalah bagaimana ketiganya memandang dan menyusun arah kebijakan luar negeri ketika terpilih nanti.

Seiring dengan akan berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pertanyaan mengenai politik luar negeri kian menguat, terutama apakah penerusnya akan melanjutkan atau mengubah pola hubungan Indonesia dengan Cina, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara tetangga.

Melanjutkan tradisi sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, Jokowi telah menerapkan politik luar negeri “bebas aktif”, sebagai landasan kebijakan nonblok yang aktif memberikan kontribusi perdamaian dan diinisiasi pertama kali tahun 1948 oleh wakil presiden pertama, Mohamad Hatta. Pada 2022, Jokowi sempat berupaya menempatkan peran Indonesia sebagai perantara perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi mengunjungi kedua negara dan mengundang Ukraina untuk menghadiri KTT G20 di Bali. Pada tingkat ASEAN, di bawah kepemimpinan Indonesia tahun ini terlihat tampak berupaya menciptakan sikap netral dalam menyikapi hubungan antara AS dan Cina dengan tujuan mencegah timbulnya potensi konflik dan menjaga stabilitas kawasan.

Sejauh ini, tiga calon presiden (capres) yang berkompetisi pada Pemilu 2024 menyatakan akan mempertahankan tradisi kebijakan luar negeri Indonesia “bebas aktif”. Pertanyaannya, adakah perbedaan implementasi “bebas aktif” di antara ketiganya?

Anies: mengakhiri pragmatisme

Anies menguraikan platform kebijakan politik luar negerinya dengan mengkritisi pendekatan pemerintah saat ini dalam mengelola hubungan luar negeri yang menurutnya “pragmatis dan transaksional”.

Kritik ini muncul karena sejak Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, pendekatan kebijakan luar negeri yang berkhidmat terhadap multilateralisme tidak lagi dilanjutkan. Sebab, pendekatan tersebut diyakini hanya memberikan sedikit manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia.

Hal inilah yang menjadi faktor mengapa Jokowi tidak menghadiri sejumlah forum tingkat tinggi dan hanya fokus melantangkan diplomasi ekonomi serta memperbaiki hubungan bilateral dengan sejumlah negara tertentu. Diyakini, pendekatan ini lebih banyak memberi manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Berbeda dengan pendekatan pragmatis Jokowi, Anies ingin mengembalikan Indonesia ke tingkat global dengan mengambil lebih banyak peran kepemimpinan dalam mengatasi isu-isu internasional. Kebijakan luar negerinya akan fokus pada peningkatan peran dan partisipasi Indonesia untuk urusan internasional dan dalam tatanan global.

Sebagai contoh, Anies mendambakan Indonesia berperan menjadi pemimpin garda depan di ASEAN untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik dan, dalam jangka panjang, menjadikan ASEAN sebagai pusat dialog antarnegara besar.

Prabowo: menjadi tetangga yang baik

Prabowo memaparkan platform kebijakan luar negerinya dengan janji untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif dan di saat yang sama memperkuat kebijakan pertahanan negara.

Arah kebijakan luar negeri ini sudah bisa diprediksi dari awal, mengingat latar belakang militer Prabowo dan posisinya saat ini sebagai menteri pertahanan.

Meski demikian, serupa dengan Anies, pendekatan Prabowo juga berfokus pada peran Indonesia dalam stabilitas kawasan. Ia ingin Indonesia menjadi “tetangga yang baik” dan menjaga hubungan yang stabil dengan negara tetangga di Asia Tenggara.

Kemungkinan, Prabowo juga akan melanjutkan pendekatan luar negeri yang dilakukan Jokowi, yaitu enggan untuk berpihak di tengah persaingan negara adidaya.

Yang menarik, Prabowo menekankan bagaimana Indonesia harus menghormati AS bersama sekutunya, serta Cina. Ia juga menekankan bahwa India dan Rusia juga merupakan mitra penting bagi Indonesia, sebagaimana juga negara-negara Afrika yang memiliki kesamaan pengalaman kolonialisme masa lalu.

Prabowo menjadi satu-satunya capres yang dengan terbuka membahas pentingnya Indonesia menjadi tetangga yang baik. Di bawah kepemimpinannya jika terpilih nanti, ia hendak menunjukkan bahwa kehadiran Indonesia di kawasan tidak akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara sekitar.

Ganjar: memaknai kembali ‘bebas aktif’

Platform kebijakan luar negeri Ganjar fokus pada empat isu penting global: kemunduran demokrasi, ketidakadilan global, kemerosotan ekonomi, dan konflik di kawasan.

Secara khusus, Ganjar menekankan pada eskalasi ketegangan di Asia, yang ditunjukkan dengan memburuknya hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Taiwan, serta masih berlangsungnya sengketa Laut Cina Selatan (LCS).

Ganjar juga berkomitmen mempertahankan politik luar negeri “bebas dan aktif” dengan sedikit pemaknaan ulang agar lebih efektif dan selaras dengan situasi geopolitik saat ini. Pemaknaan ulang ini termasuk merumuskan strategi agar Indonesia dapat lebih proaktif –bukan pasif responsif – dalam urusan internasional.

Platform kebijakan luar negeri masing-masing kandidat memberikan gambaran sekilas mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan. Kebijakan luar negeri yang “bebas aktif” kemungkinan besar akan tetap berlaku, apapun hasil pemilu mendatang. Meski, di tengah persamaan tersebut, masing-masing calon juga menekankan prioritas tertentu yang menjadi pembeda satu sama lain.

 

Tulisan ini sudah dimuat di The Conversation pada tanggal 2 Februari 2024

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Politik

Matinya Desentralisasi

Kita pernah mencoba dalam waktu yang sangat panjang mengelola hubungan pusat dan daerah dengan prinsip sentralisasi yang hasilnya ketimpangan dan ketidakadilan.

Apa yang terjadi belakangan ini mengenyak kesadaran tentang masa depan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia. Diawali dengan retret semua kepala daerah terpilih di markas Akademi Militer Magelang. Presiden, melalui Menteri Dalam Negeri, mewajibkan semua kepala daerah untuk mengikuti retret. Wajib dalam frasa hukum mengandung makna sanksi bagi siapa saja yang tidak mengikutinya tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

Dilanjutkan dengan pernyataan Mendagri bahwa ”Presiden adalah pimpinan eksekutif tertinggi sehingga kepala daerah adalah bawahannya yang harus tunduk pada kehendak Presiden”. Realitas dan pernyataan pemerintah pusat di atas menandai tonggak awal masa depan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia yaitu kelam!

Bangunan otonomi daerah

Hingga tahun 2014, isu otonomi daerah adalah isu yang menarik dibicarakan. Kita sedang mencari dengan serius tentang bagaimana kewenangan serta kekuasaan pusat dan daerah akan ditata, dikelola, dan dibangun.

Jika ditarik ke belakang, salah satu isu besar reformasi dan amendemen UUD 1945 adalah penataan hubungan pusat dan daerah, yang disulut oleh realitas ketidakadilan hingga ketimpangan pusat dan daerah. Solusi yang ditawarkan adalah memberikan kewenangan kepada derah untuk mengurus urusannya dengan mandiri dan otonom, inilah yang dimaknai dengan asas desentralisasi sebagai lawan dari sentralisasi.

Lihatlah bagaimana pengaturan hubungan pusat dan daerah dalam konstitusi pasca-amendemen. Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD N RI Tahun 1945 berbunyi, ”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan” serta ”Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas­-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang­undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”.

Prinsip otonomi seluas-luasnya, menurut Bagir Manan, adalah prinsip dengan pemerintah daerah menjalankan kewenangan residu, artinya seluruh kewenangan pada dasarnya adalah milik pemerintah daerah, kecuali yang ditentukan menjadi urusan/kewenangan pemerintah pusat.

Tentang bagaimana sumber daya dikelola, Pasal 18A menyatakan, ”Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang­-undang.”

Senja kala otonomi daerah

Sayangnya, apa yang dirumuskan dan diangankan dalam konstitusi pasca-amendemen hari ini jauh panggang dari api. Dalam catatan penulis, isu mengenai otonomi daerah mulai ditinggalkan dan dilupakan dari diskusi publik adalah sejak 2014, masa pemerintahan Presiden Jokowi.

Arah kebijakan pemerintahan ketika itu adalah menarik kembali kewenangan yang sebelumnya diberikan kepada pemerintah daerah. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah mantra yang manjur untuk menarik kembali berbagai kewenangan itu hingga tidak ada yang tersisa bagi daerah.

Belakangan, munculnya UU Cipta Kerja membabat habis kewenangan daerah, hanya menyisakan apa yang diberikan oleh pemerintah pusat saja, yang itu sangatlah sedikit. Logika stabilitas politik, peningkatan ekonomi, dan pembangunan adalah yang selama ini digaungkan. Otonomi daerah dianggap menjadi momok bagi kebijakan pemerintah pusat sehingga harus dihapuskan.

Masa awal pemerintahan Prabowo sudah menunjukkan ketidakberpihakan terhadap otonomi daerah. Menempatkan militer dan polisi aktif menduduki jabatan publik, pada dasarnya bertolak belakang dengan prinsip otonomi daerah karena logika otonomi daerah adalah kemandirian dan kebebasan. Berbeda dengan logika militer yang justru mengedepankan satu komando dan hierarki.

Lalu, retret yang dijalani oleh semua kepala daerah di Magelang juga patut dibaca sebagai kondisi prinsip otonomi daerah semakin lemah. Pemerintah pusat ingin agar daerah menggunakan cara kerja militer, yang meniadakan kebebasan dan kemandirian daerah untuk mengurus urusan berdasarkan prinsip otonomi.

Ini diperburuk dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri, yang secara khusus membidangi otonomi daerah, bahwa Kepala Daerah adalah bawahan Presiden sebagai pimpinan eksekutif tertinggi. Pernyataan ini bukan saja ahistoris, tetapi juga lemah argumentasi konstitusional.

Presiden dan Kepala Daerah adalah sama-sama pimpinan eksekutif, keduanya memiliki legitimasi yang sama karena dipilih langsung oleh rakyat, bedanya terletak pada level teritori atau cakupan wilayahnya saja. Keduanya juga menjalankan kewenangan berdasarkan atribusi UU sehingga tidak ada yang lebih rendah dari yang lain. Begitulah logika hubungan pusat dan daerah jika dibaca dengan cermat dalam Pasal 18, 18A, dan 18B UUD N RI Tahun 1945.

Ada dua hal yang harus dipertimbangkan kembali oleh Presiden Prabowo dalam melihat hubungan pusat dan daerah yang hari ini eksis. Pertama, UUD NRI Tahun 1945 menghendaki agar daerah memiliki otonomi yang luas dengan prinsip kemandirian dan kebebasan. Sebagai presiden yang disumpah untuk menaati konstitusi, Presiden Prabowo tahu persis bagaimana menempatkan UUD.

Kedua, kita pernah mencoba dalam waktu yang sangat panjang, Orde Lama dan Orde Baru, mengelola hubungan pusat dan daerah dengan prinsip sentralisasi seperti saat ini, tapi yang dihasilkan adalah ketimpangan dan ketidakadilan. Bahkan, berujung pada gerakan separatisme beberapa daerah karena menuntut keadilan. Artinya, cara itu selalu menemui jalan buntu, maka tidak selayaknya dilanjutkan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 29 April 2025

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.

Categories
Pendidikan

Pimnas Menjaring Talenta Muda

Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) Ke-37 tahun ini dihelat di Kampus Universitas Airlangga (Unair) pada 14-19 Oktober 2024. Pimnas merupakan tahap terakhir kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).

 Pimnas diselenggarakan Balai Pengembangan Talenta Indonesia (BPTI), Pusat Prestasi Nasional (Puspresnas), serta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendik- budristek). Tahun ini Pimnas mengambil tajuk “Berkompetisi Mengasah Kreativitas Mahasiswa Indonesia Bertalenta Menjadi Pribadi yang Solutif, Inovatif, dan Produktif. 

Pimnas bertujuan, antara lain, menjadi media dan sarana komunikasi mahasiswa seluruh Indonesia; membuka peluang bagi pengembangan potensi mahasiswa dalam kegiatan ilmiah; mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; serta meningkatkan posisi tawar mahasiswa di dunia kerja atau masyarakat. Pimnas juga menjadi sarana penelusuran talenta mahasiswa.

Ada sembilan bidang PKM yang dikompetisikan. Yaitu, PKM riset sosial humaniora (PKM-RSH), riset eksakta (PKM-RE), pengabdian kepada masyarakat (PKM-PM), penerapan teknologi (PKM- PI), PKM kewirausahaan (PKM-K), karsa cipta (PKM- KC), karya inovatif (PKM-KI), video gagasan konstruktif (PKM-VGK), dan gagasan futuristik tertulis (PKM-GFT). 

PKM-RSH meliputi riset yang mengungkap hubungan sebab akibat, penelitian deskriptif tentang perilaku sosial, ekonomi, pendidikan, seni, dan budaya masyarakat. PKM-RE meliputi riset hubungan sebab-akibat, aksi reaksi, rancang bangun, eksplorasi, materi alternatif, desain produk atraktif, blueprint dan sejenisnya, atau identifikasi senyawa kimia aktif.

PKM-PM bertujuan menumbuhkan empati mahasiswa kepada persoalan yang dihadapi masyarakat melalui penerapan iptek yang tidak berorientasi pada profit. PKM-PI bertujuan membuka wa- wasan iptek mahasiswa terhadap persoalan dunia usaha atau masyarakat yang berorientasi pada profit.

Kemudian, PKM-K bertujuan menumbuhkan pemahaman dan keterampilan mahasiswa dalam menghasilkan komoditas unik serta merintis kewirausahaan yang berorientasi pada profit. PKM- KC bertujuan membentuk kemampuan mahasiswa mengkreasikan sesuatu yang baru dan fungsional atas dasar karsa dan nalar. Berikutnya, PKM-KI bertujuan menumbuhkan kepekaan mahasiswa terhadap problematika faktual di masyarakat atau dunia usaha. Sekaligus mengasah kreativitas mahasiswa untuk menghasilkan karya fungsional inovatif yang solutif berbasis iptek.

PKM-VGK bertujuan memotivasi mahasiswa dalam mengelola imajinasi, persepsi dan nalar, memikirkan tata kelola yang konstruktif sebagai upaya mencapai tujuan SDGs di Indonesia. PKM-GFT bertujuan meningkatkan daya imajinasi mahasiswa dalam merespons tantangan zaman. Umumnya berupa konsep perubahan atau pengembangan berbagai aspek berbangsa, bersifat futuristis, jangka panjang, tetapi berpotensi untuk direalisasikan

Pimnas Ke-37 Unair ini terbagi atas 25 kelas dengan sebaran PKM-RSH (4 kelas), PKM-PSH (6), PKM-PM (4), PKM-PI (1), PKM-K (4), PKM- KC (3), PKM-KI (1), PKM-VGK (1), dan PKM-GFT (1). Jumlah proposal PKM 2024 dari PT dikti mencapai 37.891 proposal. Yang memperoleh pendanaan hanya 3.520 proposal. Sementara dari PT vokasi ada 3.552 proposal dan yang didanai hanya 401 proposal. 

Setelah melalui seleksi ketat dari proposal yang didanai, akhirnya hanya 525 tim yang lolos ke Pimnas Ke-37. Mereka berasal dari 118 PT. Mahasiswa yang terlibat tercatat 2.411 orang dan 525 dosen pendamping. 

Pimnas bertujuan mempertajam wawasan dan meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Juga sarana penelusuran talenta mahasiswa.

Penghargaan setara emas diberikan setiap kelas kepada satu kelompok terbaik yang memperoleh nilai total tertinggi. Perak diberikan kepada satu kelompok terbaik kedua dengan nilai total tertinggi kedua. Perunggu diberikan kepada satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

Di samping penghargaan setara emas, perak, dan perunggu, di setiap kelas diberikan penghargaan terfavorit kepada kelompok selain penerima emas, perak, dan perunggu dengan kriteria tertentu. Penghargaan lain berupa mahasiswa bertalenta yang diberikan kepada individu kreatif yang memiliki bakat atau keahlian khusus.

Selain penilaian dalam kelas, ada penilaian poster. Poster adalah alat atau media transfer informasi berupa teks dan gambar. Media itu dianggap efisien dan efektif dalam menyampaikan informasi. Penghargaan setara emas untuk setiap kelas poster diberikan kepada satu kelompok terbaik dengan nilai tertinggi, perak untuk satu kelompok terbaik kedua dengan nilai tertinggi kedua,. dan perunggu untuk satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

PKM-VGK bertujuan memotivasi mahasiswa dalam mengelola imajinasi, persepsi dan nalar, memikirkan tata kelola yang konstruktif sebagai upaya mencapai tujuan SDGs di Indonesia. PKM-GFT bertujuan meningkatkan daya imajinasi mahasiswa dalam merespons tantangan zaman. Umumnya berupa konsep perubahan atau pengembangan berbagai aspek berbangsa, bersifat futuristis, jangka panjang, tetapi berpotensi untuk direalisasikan.

Di samping penghargaan setara emas, perak, dan perunggu, di setiap kelas diberikan penghargaan terfavorit kepada kelompok selain penerima emas, perak, dan perunggu dengan kriteria tertentu. Penghargaan lain berupa mahasiswa bertalenta yang diberikan kepada individu kreatif yang memiliki bakat atau keahlian khusus.

Selain penilaian dalam kelas, ada penilaian poster. Poster adalah alat atau media transfer informasi berupa teks dan gambar. Media itu dianggap efisien dan efektif dalam menyampaikan informasi. Penghargaan setara emas untuk setiap kelas poster diberikan kepada satu kelompok terbaik dengan nilai tertinggi, perak untuk satu kelompok terbaik kedua dengan nilai tertinggi kedua, dan perunggu untuk satu kelompok terbaik ketiga dengan nilai tertinggi ketiga.

Jumlah juri yang terlibat sebanyak 77 juri. Mereka adalah pakar yang terdiri atas dosen, peneliti, dan praktisi yang memiliki kompetensi dalam melakukan penilaian dan evaluasi secara adil, cerdas, transparan, patuh pada etika penjurian, serta bertanggung jawab atas penilaiannya danpaham PKM. Juara umum perguruan tinggi ditetapkan berdasar angka tertinggi nilai Pimnas.

Perolehan medali setara emas, perak, dan perunggu untuk presentasi diberi bobot 80 persen, sedangkan poster 20 persen. Setiap perolehan emas diberi skor 3, perak 2, dan perunggu 1. Juara umum berhak atas piala bergilir Adhikarta Kertawidya dari Kemendikbudristek. Pimnas Ke-37 diharapkan bisa menjaring talenta muda dengan pribadi solutif, inovatif, dan produktif. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 14 Oktober 2024

Akhmad Fauzy
Guru Besar Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UII. Bidang riset pada analisis survival, bootstrap, computational statistics