Categories
Pendidikan

Kampus Terjerat Tambang

Gagasan WIUP untuk kampus berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam.

Usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengenai pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi yang diajukan sebagai bagian dari Rancangan Undang-Undang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, memicu perdebatan.

Beberapa pihak, seperti Forum Rektor Indonesia, mendukung ide ini dengan dalih bahwa pendapatan dari tambang dapat digunakan untuk mensubsidi biaya operasional kampus, yang akhirnya mengurangi SPP mahasiswa. Namun, muncul juga suara kritis, seperti dari Rektor Universitas Islam Indonesia, yang menolak gagasan ini dan mengkhawatirkan dampaknya terhadap karakter kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai akademik.

Gagasan WIUP untuk kampus ini berpotensi memunculkan sejumlah persoalan mendalam. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi ruang bebas bagi pemikiran kritis dan advokasi kebenaran ilmiah, justru berisiko terjebak dalam dinamika korporatisasi dan subordinasi politik. Bagaimana perspektif ekonomi politik menjelaskan fenomena ini?

Jeratan negara berkembang
Negara berkembang seperti Indonesia memiliki ketergantungan historis terhadap eksploitasi sumber daya alam mentah sebagai sumber pendapatan utama. Ketergantungan ini merupakan warisan kolonial yang terus berlanjut dalam struktur ekonomi global. Perspektif Teori Sistem Dunia Immanuel Wallerstein menempatkan Indonesia dalam kategori negara “semi-peri,” yaitu entitas yang terjebak antara zona inti kapitalis global dan negara-negara pinggiran. Negara semi-peri cenderung menyediakan bahan mentah tanpa mendapatkan nilai tambah yang signifikan.

Program hilirisasi nikel yang digalakkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sering disebut sebagai upaya untuk keluar dari jeratan ini. Namun, kenyataannya, program tersebut lebih banyak memberikan keuntungan bagi pihak asing seperti Tiongkok, yang mengendalikan teknologi dan pasar, dibandingkan meningkatkan nilai tambah dalam negeri.

Hal ini mencerminkan relasi ekonomi politik internasional yang tetap timpang. Negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali terkunci dalam peran ekonomi yang menguntungkan negara-negara maju, ketimbang membangun kemandirian ekonomi yang berkelanjutan. Ketergantungan ini tidak hanya melanggengkan eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga melemahkan daya saing ekonomi nasional.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi harus dilihat dalam konteks ini. Alih-alih membantu Indonesia keluar dari ketergantungan struktural, langkah ini justru dapat memperkuat eksploitasi sumber daya alam tanpa perubahan mendasar pada struktur ekonomi. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi aktor transformasi justru dapat terjebak dalam pengulangan pola ekonomi lama yang bersifat ekstraktif.

Jeratan korporatisasi kampus
Transformasi ekonomi global sejak dekade 1970-an telah membawa pengaruh besar pada institusi pendidikan tinggi. Globalisasi telah mendorong kampus menjadi entitas yang berorientasi pada profit, menjauh dari misi utamanya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Tren ini semakin diperkuat oleh sistem pemeringkatan kampus global, yang memaksa perguruan tinggi untuk mengejar pendanaan alternatif agar tetap kompetitif secara reputasi.

Dalam kerangka ini, tidak mengherankan jika ide pengelolaan tambang oleh kampus muncul sebagai “solusi kreatif” untuk mengatasi tantangan pendanaan. Namun, langkah ini dapat mengecoh dan membawa konsekuensi besar. Kampus yang diberikan WIUP tidak hanya akan terjebak dalam arus korporatisasi, tetapi juga berpotensi mengorbankan tri dharma perguruan tinggi: pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat.

Dalih bahwa pendapatan dari pengelolaan tambang akan mengurangi SPP mahasiswa perlu dikritisi secara mendalam. Kenyataannya, sebagian besar kampus di Indonesia masih sangat bergantung pada SPP mahasiswa dan subsidi pemerintah untuk menopang operasionalnya. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan dari tambang, yang bersifat tidak stabil dan berisiko tinggi, bukanlah solusi jangka panjang untuk mengatasi tantangan pendanaan. Sebaliknya, ketergantungan pada sumber pendapatan seperti tambang justru dapat memperburuk tata kelola kampus dan mengalihkan fokus dari inovasi pendanaan yang berkelanjutan dan sejalan dengan nilai-nilai pendidikan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang menimbulkan kontradiksi moral yang sulit dihindari. Kampus yang menyuarakan pembangunan berkelanjutan sekaligus melakukan eksploitasi sumber daya alam tidak hanya akan kehilangan legitimasi moral, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi generasi mendatang.

Jeratan subordinasi politik
Perspektif ekonomi politik juga membantu kita memahami risiko yang lebih subtil dari pemberian WIUP, yaitu ketimpangan relasi kuasa antara pemerintah dan kampus. Sebagai penerima WIUP, perguruan tinggi akan berada dalam posisi yang rentan terhadap kontrol pemerintah. Izin yang diberikan, diperpanjang, atau dicabut berdasarkan keputusan politik dapat menjadi alat yang digunakan untuk membungkam suara kritis akademisi terhadap kebijakan negara. Tanpa mengakhiri hubungan subordinasi antara pemerintah dan kampus, kondisi riset dan pengembangan ilmu pengetahuan akan terus terpuruk dan kehilangan daya saing.

Hal ini bukan sekadar ancaman hipotetis. Dalam konteks di mana perguruan tinggi telah menjadi arena advokasi politik dan kritik terhadap kebijakan publik, ketergantungan pada WIUP akan mengurangi independensi akademik yang seharusnya menjadi pilar utama dunia pendidikan. Dalam jangka panjang, kampus berisiko berubah menjadi subordinat pemerintah, bukan lagi aktor independen yang mengedepankan kebenaran dan keadilan.

Selain itu, keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis tambang dapat merusak reputasi institusi itu sendiri. Kampus yang terlibat dalam aktivitas ekstraktif akan kehilangan kredibilitas sebagai pelopor pembangunan berkelanjutan, sekaligus menempatkan diri mereka pada posisi yang berlawanan dengan nilai-nilai akademik yang mereka ajarkan.

Setia pada misi
Untuk mencegah jeratan korporatisasi dan subordinasi politik, perguruan tinggi perlu menjaga integritasnya dengan menolak keterlibatan dalam pengelolaan tambang. Sebagai gantinya, perguruan tinggi dapat memanfaatkan keahliannya untuk beberapa hal strategis.

Pertama, kampus dapat memainkan peran sebagai pengawas independen untuk memastikan bahwa praktik pertambangan dilakukan sesuai dengan standar lingkungan dan sosial yang ketat. Peran ini penting untuk mencegah kerusakan lingkungan dan melindungi hak masyarakat yang terdampak langsung oleh aktivitas tambang.

Kedua, kampus juga dapat memperkuat riset di bidang teknologi hijau, seperti pengembangan energi terbarukan atau metode eksploitasi sumber daya yang lebih ramah lingkungan. Kontribusi ini tidak hanya relevan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, tetapi juga membuka peluang inovasi yang dapat mengurangi ketergantungan Indonesia pada model ekonomi ekstraktif.

Ketiga, kampus memiliki tanggung jawab untuk menjadi advokat dalam mendorong kebijakan publik yang transparan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Dengan konsistensi pada prinsip-prinsip tersebut, perguruan tinggi dapat memengaruhi tata kelola tambang agar lebih berpihak pada kesejahteraan masyarakat, mengedepankan keberlanjutan lingkungan, dan menjaga integritas institusi akademik.

Wacana pemberian WIUP kepada perguruan tinggi adalah gagasan yang berisiko tinggi, baik dari segi ekonomi-politik, sosial, maupun lingkungan. Di tengah struktur ekonomi global yang timpang, keterlibatan kampus dalam bisnis tambang hanya akan memperkuat pola eksploitasi lama tanpa memberikan solusi jangka panjang bagi pembangunan bangsa. 

Perguruan tinggi harus menolak jeratan ini dan tetap setia pada misi akademik mereka sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan konsisten pada penguatan riset, advokasi, dan inovasi teknologi, kampus dapat memberikan kontribusi nyata tanpa harus mengorbankan integritas dan nilai-nilai yang mereka perjuangkan. Mudah-mudahan.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Republika pada tanggal 7 Februari 2025

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.

Categories
Pendidikan

Ketika Tambang Masuk Kampus

Pendirian dan keberlanjutan perguruan tinggi jadi tanggung jawab negara dan masyarakat, dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik.

 

Dalam satu pekan ini publik dikejutkan oleh rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara yang antara lain membuka peluang bagi perguruan tinggi (PT) menjadi pengelola bisnis tambang.

Ini kejutan kedua dan kelanjutan dari kontroversi pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas menjelang akhir pemerintahan Joko Widodo. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, menerima tawaran ini. Apakah kampus juga memilih jalan yang sama?

Penulis mewakili Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) berpendapat, gagasan pemberian IUP kepada PT adalah sesat pikir kebijakan negara (Kompas, 20/1/2025).

Korporatisasi PT

Dalam artikel ”Higher Education in Indonesia: The Political Economy of Institution” (2023), Andrew Rosser mengidentifikasi dua problem predatoris yang menyebabkan krisis PT di Indonesia.

Pertama, ketatnya kontrol politik atas semua keputusan akademik dan non-akademik di kampus. Kedua, manajemen internal yang birokratis. Keduanya warisan Orde Baru dalam pengelolaan kampus. Tujuannya, penundukan sivitas akademika agar selaras dengan politik monoloyalitas pembangunanisme Soeharto.

Meminjam Gramsci, di era Orde Baru, kampus adalah ideological state apparatus yang harus tunduk kepada kemauan pemerintah melalui kementerian pendidikan.

Kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya.

Kontrol kebijakan akademik berlaku lewat mekanisme kerja pengambilan keputusan yang birokratis sejak di level kampus hingga kementerian, baik dalam pemilihan rektor, dekan, maupun perencanaan keuangan.

Kampus adalah kepanjangan tangan negara dalam urusan produksi pengetahuan dan SDM yang menunjang pembangunan. Perbedaan pendapat, apalagi penolakan, dianggap mbalelo, melawan. Risikonya pemecatan rektor, minimal pengurangan jatah anggaran PTN yang bersumber dari APBN.

Intinya, kampus seperti lembaga politik, organisasi politik, alat mobilitas politik bagi para dosen atau sebaliknya. Dalam konteks ini, kita menjadi paham mengapa suara para rektor PTN cenderung seragam untuk setuju, atau minimal diam, atas rencana pemberian IUP, yang jelas berisiko tinggi bagi reputasi kampus di mata publik.

Anehnya, pascareformasi 1998, kondisi tersebut berlanjut di era Jokowi dan Prabowo. Hal itu berkelindan dengan agenda neoliberalisasi dalam bentuk korporatisasi kampus. Jargon kampus mandiri, merdeka secara ekonomi, lebih kuat. Maknanya: harus mencari uang sendiri dan negara lepas tangan.

Dalam hubungan ini, rencana pemberian IUP dikerangka dalam wacana yang sempit dan pragmatis: tambang akan menjawab kesulitan ekonomi di PT (dahaga anggaran operasional kampus yang tak terpenuhi oleh terbatasnya guyuran dana APBN). Kampus tak ubahnya korporasi biasa, turun jauh marwah sebagai lembaga sosial yang menjaga etika dan tanggung jawab setiap kegiatannya.

Krisis otonomi akademik

UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi pada Pasal 4 memberi mandat kampus dalam pengajaran, penelitian, pengabdian masyarakat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan membentuk watak, peradaban bangsa yang bermartabat. Maknanya, kampus lembaga sosial yang menjalankan amanat konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sejak pemerintahan Orde Baru, PT terus mengalami represi secara sistemik, ketika menjalankan peran sosial di atas. Merujuk EJ Perry (2019) dalam Educated-acquiescence, represi atau koersi dapat bersifat negatif seperti pemecatan akademisi yang kritis, pelarangan diskusi akademik, atau bersifat positif (positive coercion), seperti pemberian remunerasi dan ”peluang/tugas” jabatan birokrasi serta unit usaha.

Tujuannya sama: menghambat laju pencapaian akademik dan otonomi akademia sebagai kritikus atas kekuasaan yang koruptif. Proyek merdeka belajar kampus merdeka, link & match, hingga IUP adalah bagian dari skenario ini, yang kerap tidak disadari para dosen.

Pendirian dan keberlanjutan PT adalah tanggung jawab negara dan masyarakat dan dalam pembiayaannya harus menjaga marwah kampus sebagai rujukan moral publik.

Pemberian IUP yang banyak memicu konflik horizontal jelas bertentangan dengan logika di atas dan memicu krisis reputasi PT di benak publik. Terjadi konflik kepentingan antara peran penyuplai gagasan, SDM, dan evaluator dengan pelaku usaha ekonomi ekstraktif yang menggerus sikap obyektif.

Dalam iklim pendidikan tinggi yang sehat, pola relasi tiga pihak—kampus dengan industri dan pemerintah—seharusnya lebih setara. Ketiganya berbagi tugas masing masing sehingga dapat saling melengkapi, tidak bertabrakan.

Terkait sumber pendanaan dari industri, titik berpijaknya adalah mandat atas tanggung jawab sosial industri ke masyarakat lewat PT yang harus terus diperkuat, bukan penerjunan PT sebagai pelaku, pemilik bisnis berskala besar itu sendiri.

Penting disadari bahwa otonomi PT hanya bisa dirawat lewat fokus kerja sivitas akademikanya pada pelayanan akademik, bukan sambilan setelah mengelola industri tambang atau unit usaha komersial lain.

Akhirnya, jawaban atas krisis keuangan PT belakangan ini harus dikembalikan kepada komitmen alokasi APBN untuk pendidikan, dan evaluasi menyeluruh kinerja kampus sebagai lembaga sosial.

Antara lain untuk menjaga stabilitas dan kualitas, jumlah PT yang terlampau banyak (peringkat kedua di dunia setelah India) dapat ditinjau ulang agar dukungan pendanaan publik ke kampus menjadi lebih rasional.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 30 Januari 2025

Masduki
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada kebijakan media, perbandingan sistem media, media publik dan jurnalisme dan aktivisme media.