Categories
Politik

Banalitas Kekuasaan

Pada tahun 1941, Hannah Arendt menulis Eichmann in Jerussalem: A Report on The Banality of Evil. Tulisan ini menceritakan tindakan Adolf Eichmann, seorang anggota rezim Nazi yang menjadi arsitek pembantaian massal yang diceritakan lebih dari 11 juta orang menjadi korbannya. Eichmann bersedia dengan sadar bergabung dalam program pembantaian manusia dan kesediaan tersebut memperlihatkan kegagalannya dalam berpikir dan menilai tindakannya. Kekejaman Eichmann dalam Holocaust dapat dikaji sebagai bagian persoalan psikologis, di mana ia merupakan seorang manusia normal, tetapi ketika dilihat dari sudut kesadaran dan nurani, ia bertindak tanpa berpikir dan menjalankan perintah atasan tanpa memikirkan akibat-akibatnya pada korban.

Penelitian Hannah Arendt masih relevan untuk melihat perilaku pejabat kekuasaan hari ini, di mana kerap ada kebijakan yang memperlihatkan sisi sewenang-wenang pemegang kekuasaan. Merujuk pada tindakan Eichmann, kekuasaan memiliki daya yang kuat sehingga orang-orang yang bekerja di dalamnya dapat dengan mudah melepaskan keberpihakannya pada orang-orang yang lemah, tidak dapat menimbang benar atau salah, dan menafikan nasib korban. Dalam beberapa studi, banalitas kejahatan di tubuh kekuasaan akan berjalan tanpa kendali dalam sistem politik tirani, di mana pemerintahan dijalankan secara absolut oleh penguasa.

Pertanyaannya, bisakah banalitas kejahatan terjadi dalam sistem demokrasi? Idealnya tidak terjadi, karena keputusan politik dalam sistem demokrasi ditentukan kehendak rakyat. Namun, praktik kekuasaan kerap berbeda. Ada banyak kebijakan dikendalikan oleh sekelompok kecil elite yang mengarah pada sistem politik aristokrasi dan oligarki. Bahkan di masa orde baru, kekuasaan dijalankan dengan otoriter di tengah sistem politik demokrasi.

 Kekuasaan Saat Ini
Apakah pemerintahan saat ini telah menjalankan banalitas kekuasaan? Apakah aparat negara menjalankan perintah total penguasa tanpa memikirkan baik-buruk kebijakannya? Pertanyaan ini perlu diuji dengan bukti bagaimana kekuasaan saat ini bekerja. Sejauh ini, sangat terasa komando yang sentralistik diperagakan Presiden Prabowo Subianto. Pendekatan pertahanan keamanan terlihat nyata. Para anggota kabinet dan kepala daerah didoktrin dengan gaya militer. Dalam konteks kebijakan, apa yang dikehendaki Presiden sepertinya tidak ada yang berani mengkritisi, bahkan suara kritis para wakil rakyat hanya menyasar perilaku Menteri, tidak berani mengkritisi penguasa utama.

Gaya pemerintahan saat ini mengkhawatirkan. Tidak terbayang semua kebijakan harus tunggal dan fungsi check and balances cabang-cabang kekuasaan tidak berjalan. Kekuasaan yang sehat idealnya menghadirkan komunikasi intersubjektif, di mana orang-orang yang bekerja di tubuh kekuasaan dapat berkomunikasi tanpa ketakutan, pejabat yang berada di ragam cabang kekuasaan tetap menjaga nalar kritis, dan antara satu dengan yang lain saling menjaga marwah fungsi pokok kewenanganya agar keseimbangan kekuasaan tetap terjaga. Presiden dan pelaksana kekuasaan eksekutif harus dikritisi agar program-program pemerintahan tidak jatuh pada kesewenang-wenangan.

Kondisi kekuasaan yang tersentralisasi dan komunikasi komando yang begitu kuat seperti telah mematikan kesadaran kritis para pejabat kekuasaan. Kondisi ini walau tidak serupa pernah terjadi di era kekuasaan demokrasi termimpin dan orde baru, di mana negara waktu itu dikendalikan sepenuhnya oleh penguasa tertinggi dan negara kemudian jatuh pada otoritarianisme.

Di era demokrasi terpimpin, DPR hanya bertugas menjadi legitimasi terhadap keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Keadaan serupa terjadi di era rezim orde baru, di mana pemerintahan kemudian menjelma, sebagai kekuasaan teror (state terorism) yang secara sistemik melakukan penundukan terhadap masyarakat sipil dengan kekuatan ABRI, serta berlanjut dengan pembuatan aturan dan kebijakan yang membungkam kritik, kebebasan pos, dan hak asasi manusia.

Untungnya saat ini masih ada masyarakat sipil yang berani berpendapat. Beberapa suara kritis antara lain perihal kebijakan efisiensi anggaran yang salah kaprah, pajak yang naik, gelombang pemutusan hubungan kerja, tidak jelasnya komitmen negara terhadap permasalahan HAM, dan revisi RUU TNI yang menjadipenanda absah hadirnya rezim neo orde baru. Suara kritis masyarakat sipil adalah harapan satu-satunya di tengah kekuasaan yang mengarah pada sistem otoritarinisme.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 20 Maret 2025

M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum UII. Direktur Pendidikan, Pelatihan dan Advokasi Pusham UII. Bidang riset pada Hukum HAM, HAM dalam Islam, dan Kewarganegaraan.