Categories
Sosial Budaya

Demi Konten

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang tanpa batas bagi siapa saja untuk memproduksi dan mengonsumsi konten. Namun, kebebasan tersebut sering kali melupakan aspek nalar dan etika. Sensasi dan kontroversi lebih diprioritaskan dibandingkan tanggung jawab moral.

Sangat banyak contoh dan kini terus bertambah konten-konten yang memprihatinkan, tidak hanya melanggar batas etika, bahkan tak sedikit yang melanggar hukum hingga bermain-main dengan kematian. Sekali lagi demi jalan pintas meraih popularitas, viralitas, atau keuntungan finansial dari hasil monetisasi konten.

Jalan raya kini sering dijadikan tempat membuat konten ekstrem oleh remaja, seperti berjoget saat lampu merah atau menantang truk yang melaju. Aksi berbahaya ini berujung tragis, seperti kasus Tangerang ketika dua remaja tewas. Konten yang awalnya dimaksudkan untuk hiburan justru membawa malapetaka.

Bukan hanya masyarakat awam yang terjerat dalam obsesi konten, tetapi juga kalangan selebriti dan profesional. Seorang selebriti dikritik karena menjadikan musibah keluarga, yakni meninggalnya Sang Ayah sebagai konten, mengaburkan batas antara penghormatan pribadi dan eksploitasi.

Di ranah profesional, beberapa tenaga medis melanggar etika demi konten. Dua perawat menghadapi masalah hukum karena merekam pemasangan kateter pada pasien dan mengunggahnya ke media sosial. Kejadian lainnya, seorang perawat bayi di Yogyakarta melanggar privasi pasien dengan merekam dirinya menciumi bayi yang baru lahir dan membagikannya di TikTok.

Mengejar Validasi Sosial
Di tengah beban hidup yang menuntut pemenuhan kebutuhan ekonomi dan hiburan, pakar psikologi mengindikasikan bahwa masyarakat saat ini mulai mengalami gangguan kejiwaan dalam bermedia sosial. Beberapa gangguan kejiwaan yang sering dikaitkan dengan fenomena ini antara lain kepribadian narsistik, social climber atau panjat sosial (pansos), vouyerisme, Internet Asperger Syndrome, dan FOMO (Fear of Missing Out).

Gangguan kepribadian narsistik menyebabkan individu terus-menerus mencari validasi dalam bentuk likes dan komentar, sehingga mereka rela melakukan tindakan berlebihan demi menarik perhatian.

Fenomena social climber memperburuk situasi, ketika individu berusaha meningkatkan status sosial dengan menciptakan konten sensasional mengikuti sesuatu yang sedang disorot publik. Mereka percaya bahwa semakin banyak perhatian yang didapat saat itu, semakin menguntungkan.

Di sisi lain, voyeurisme mendorong individu untuk mengamati dan mengeksploitasi kehidupan pribadinya atau orang lain demi hiburan, tanpa mempertimbangkan aspek privasi dan etika.

Sementara itu, internet Asperger Syndrome mencerminkan bagaimana keribadian individu berubah drastis ketika berinteraksi di dunia maya. Misalnya kehilangan empati dan kesadaran sosial jika sudah memposting sesuatu di media sosal tanpa tidak menyadari bahwa konten yang dibuat dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain di dunia nyata.

FOMO (Fear of Missing Out) juga menjadi faktor utama yang dituding menjadi penggerak banyaknya konten bermasalah. Banyak individu merasa tertekan jika tertinggal dan kehilangan momentum, sehingga terdorong terus membuat beragam konten agar tetap eksis.

Semua atau salah satu faktor di atas berkontribusi meningkatkan kecenderungan individu untuk mengorbankan etika demi mendapatkan validasi sosial dalam bentuk likes, komentar, atau jumlah pengikut, tak jarang diikuti dengan tindakan “mengemis online” untuk mengejar keuntungan instan.

Literasi Digital sebagai Penyeimbang
Untuk mengimbangi fenomena ini, penting bagi pengguna teknologi untuk meningkatkan literasi digital. Pemahaman tentang cara kerja media sosial, bagaimana algoritma mempengaruhi perilaku pengguna, serta dampak psikologis dari konsumsi media digital harus menjadi bagian dari pendidikan sejak dini.

Kesadaran akan etika digital harus dikampanyekan agar media sosial tidak hanya menjadi ruang eksploitasi demi popularitas, tetapi juga tempat untuk berbagi informasi yang bermanfaat, menginspirasi, dan membangun komunitas yang lebih sehat secara mental dan sosial.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang terjebak dalam ilusi dunia maya dari konten yang tidak berfaedah, di mana nilai dan moral terabaikan demi sensasi sesaat. 

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kedaulatan Rakyat pada tanggal 19 April 2025

Iwan Awaluddin Yusuf
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada jurnalisme, gender, media digital dan superhero sebagai budaya pop.



Categories
Sosial Budaya

Tren ‘Asoka Challenge’: Bagaimana TikTok Mengubah Cara Kita Berkomunikasi dan Berekspresi di Media Sosial

Pernah dengar potongan lagu yang berbunyi “San sanana nana, san sanana nan… Jaa jaa re jaa re jaa re, jaa re pawan”?

Setidaknya sejak 24 April 2024, banyak orang yang terngiang-ngiang dengan potongan lirik lagu dari film Asoka yang dibintangi Shah Rukh Khan (Asoka) dan Kareena Kapoor (Kaurwaki) tersebut.

Meski filmnya sendiri sudah rilis lama, lagu ini populer kembali sejak digunakan sebagai background music dari Asoka challenge—sebuah tren di TikTok yang mengajak pengguna meniru riasan dan gaya busana ala India lalu bertransformasi menjadi Kaurwaki.

Hasil penelusuran saya menunjukkan bahwa akun @izzynoteasy, @yunicantiek, @ayupurnamadewi, @azkhategar391, dan @farrajaidi adalah kreator pertama yang memopulerkan tren Asoka challenge di Indonesia sejak 2022. Melalui TikTok, tren tersebut tersebar di penjuru dunia.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana cara kita berkomunikasi dan berekspresi di media sosial telah berubah. Dari yang semula hanya bisa melihat, sekarang kita bisa berinteraksi, membuat, menyebarkan, dan mengundang pengguna lain untuk berpartisipasi melalui penggunaan hashtag (tanda pagar/tagar), partisipasi yang imitatif, dan meme audio.

Tagar memudahkan pencarian

Penggunaan tagar membatasi berlebihnya topik, sehingga memudahkan pencarian. Sebagai objek digital, tagar berfungsi sebagai indeks untuk mencari, menavigasi, berinteraksi, memantau, melacak, dan mengambil kumpulan data.

Dari 63 sebaran tag pada 20 video dengan penonton terbanyak, penulis menemukan lima tagar paling banyak digunakan yakni #asokamakeup (15,9%), #indiamakeup (7,9%), #makeuptransition (6,3%), #asoka (6,3%), dan #fyp (6,3%). Meski #fyp mendapatkan porsi kecil, tagar ini umum digunakan dan terpopuler di TikTok. Interaksi pada tagar mengekspresikan percakapan Asoka secara global. Terlihat dari sekitar 55,2 triliun penggunaan #fyp secara global, yang 10,51% diantaranya berada pada konten Asoka.

Meski TikTok tidak secara resmi menyatakan penggunaan tagar #fyp, para penggunanya percaya bahwa algoritme TikTok mempertimbangkan tagar ini, mencocokkan dengan pengguna yang tepat, sehingga meningkatkan peluang kemunculan di halaman For You—umpan video yang dipersonalisasi berdasarkan minat dan keterlibatanmu dengan konten tertentu.

Peniruan sebagai bentuk partisipasi

Pengguna TikTok menggambarkan challenge sebagai penunjukkan atas diri, mendapatkan rasa hormat, dan membuat prestasi. Misalnya, Asoka challenge memerlukan banyak waktu, keterampilan make-up, dan keahlian teknis yang mumpuni. Kurangnya ketersediaan ketiganya berarti dia ‘menjadi kreator yang aneh’. Ini kemudian menjadikan kreator (pencipta konten) terbagi menjadi dua golongan, peniru handal dan peniru amatiran. Namun, mereka yang berada pada golongan kedua tetap mendapatkan tempat karena algoritme diri yang aneh menjadi hiburan dan tampil di halaman For You.

Dengan TikTok, saat pengguna berpartisipasi, mereka menjadi bagian dari kreator, sehingga terdorong untuk konsisten mengisi konten. Saat berinteraksi dengan konten Asoka, kita memberikan semacam umpan balik kepada TikTok, yang membuat konten-konten yang direkomendasikan untuk kita disesuaikan dengan Asoka.

Variasi konten dalam halaman For You memang ditentukan oleh lima faktor yaitu konten yang selaras dengan standar lokal dan norma budaya, pengaturan bahasa, sistem operasi pada perangkat, video yang baru-baru ini kita lihat-selesaikan-sukai-lewati, kemudian juga video yang berhubungan dengan pengguna lain yang kita ikuti di TikTok. Ini membuat, interaksi dengan akun atau pengguna lain dapat terjadi secara real-time, instan, singkat, dan audiovisual.

Keputusan awal pengguna untuk berpartisipasi umumnya terjadi atas peran kunci selebriti. Farra Jaidi dan Jharna Bhagwani dipandang sebagai selebriti yang kompeten dalam make-up dan transisi. Partisipasi keduanya menyebar ke selebritas lain yang kita sukai dan kemudian membuat kita memutuskan untuk terlibat. Sebab, kedekatan merupakan elemen utama dalam pengambilan keputusan untuk berpartisipasi.

Kecepatan untuk melakukan peniruan juga merupakan ciri khas dari komunikasi ini. Pasalnya, terdapat implikasi sosial dari terlambatnya partisipasi dalam challenge seperti tidak diperolehnya validasi atas konten.

‘Meme’ audio sebagai navigasi kreator

TikTok mengutamakan audio daripada visual. Ini yang disebut sebagai meme audio, yang menjadi template penggerak produksi konten. Meme audio menjadi corong viralnya tren di TikTok. Meme audio adalah prinsip pengorganisasian bagaimana konten diarsipkan ke dalam repositori di TikTok sebagai navigasi pengguna untuk mencari dan membuat tren.

Audio San Sanana menjadi template terjadinya replikasi meme dan memprovokasi jutaan kreator TikTok. Penelusuran kata kunci ‘Asoka Makeup’ melalui Google Trends menunjukkan puncak popularitas tren ini pada 27 April 2024.

Hingga akhir Juni 2024, jutaan kreator berkreasi dalam challenge tersebut. Lebih dari 100 template audio diproduksi dengan banyak versi. Data TikTok per 4 Juni 2024 menunjukkan lima template audio dengan pengguna terbanyak yakni versi Jharna Bhagwani (1,6 juta pengguna), Sita Suwarnadwipa (2,1 juta pengguna), Kikiisifa_muamakassar (34,9 ribu pengguna), The Glamorous Girl (145,5 ribu pengguna), dan Bacan Studio (43,9 ribu pengguna).

Setiap audio memiliki cara untuk menetap di dalam otak, membuat kita tertawan, terus-menerus mendengar, tanpa sadar menyenandungkannya setiap hari, sampai-sampai membuat orang sekitar kita jengkel. Inilah yang disebut dengan earworm, suatu fenomena yang lumrah terjadi dalam platform digital berbasis partisipatori. Ini juga yang membuktikan bahwa audio memiliki kualitas khusus untuk menghibur dan menjadi fitur kunci pada TikTok.

Tren Asoka menunjukkan bahwa TikTok telah mengubah cara kita berkomunikasi dan berekspresi. Sehingga, siapapun dapat berinteraksi langsung dengan kreator, mengajak pengguna lain untuk berpartisipasi dan menikmati challenge, unjuk keterampilan bervideo, dan berkolaborasi antarpengguna.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 8 Juli 2024

Sumekar Tanjung
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi UII. Bidang riset pada TikTok culture, media dan gender, produksi media audiovisual.