Categories
Politik

Politik Kepemimpinan Integritas Indonesia Era Prabowo

Prabowo-Gibran dapat menjadikan ajaran Umar bin Abdul Aziz sebagai role model.

 Selasa 25 februari 2025 sudah memasuki 128 hari Prabowo-Gibran bekerja sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia setelah dilantik pada 20 oktober 2024. Tentunya masih banyak yang menjadi sorotan utama dalam politik Indonesia. Salah satunya adalah persoalan kepemimpinan integritas, apakah era Prabowo-Gibran sudah merealisasikan jiwa kepemimpinan yang berintegritas? Mengingat ada beberapa hal yang menjadi catatan publik yang mengarah pada tren negatif atas kinerja Prabowo-Gibran.

Kepemimpinan integritas merupakan kepemimpinan berkualitas yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan memiliki prinsip moral yang kuat. Itulah mengapa sikap kepemimpinan integritas harus dimiliki oleh figur pemimpin. Dengan kaya lain bahwa tindakan seorang pemimpin harus selaras dengan nilai dan prinsip yang dipegang yang mengedepankan keadilan dan kemashlahatan negara.

Perlu dicatat bahwa sikap integritas bukan warisan dari DNA namun muncul dari proses dan dibentuk melalui etika dan nilai. Seorang presiden Amerika, Dwight D. Eisenhower mengatakan: “Kualitas tertinggi untuk kepemimpinan adalah integritas.”

Kepemimpinan Integritas era Prabowo
Di tengah dinamika politik Indonesia yang semakin berkembang, perdebatan mengenai pentingnya kepemimpinan yang berintegritas semakin mengemuka. Usai Prabowo-Gibran dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia, ada beberapa kasus yang membuat kepemimpinan integritas Prabowo-Gibran membuat skeptis rakyat Indonesia.

Mulai dari tingkah laku menteri/wakil menteri serta pejabat yang notabene langsung di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran yang tidak ditindak ketika sudah nyata-nyata terindikasi melakukan kesalahan dan melukai hati rakyat Indonesia. Seperti penyalahgunaan jabatan oleh Yandri Susanto selaku Menteri Desa yang membantu kemenangan istrinya sebagai bupati Serang dengan mengarahkan kepala desa untuk mendukung istrinya.

Selain itu, Gus Miftah selaku Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan berbicara tidak sopan di hadapan publik meskipun pada akhirnya ia mundur dari jabatannya tersebut. Kemudian Bahlil Lahadalia selaku menteri ESDM terkait mengambil kebijakan melarang pedagang eceran menjual gas elpiji 3 kilogram sehingga membuat gaduh di masyarakat.

Terdapat juga soal Budi Ari Setiadi mantan Menteri Kominfo dandi era Prabowo-Gibran yang menjabat sebagai Menteri Koperasi. Dalam kasus Budi Ari, mantan anak buahnya di Kominfo tertangkap dalam upaya melindungi seribu situs judi online. Selain itu, Satryo Soemantri Brodjonegoro selaku Mendiktisaintek yang melakukan pemecatan pegawai yang tidak sesuai prosedur pada akhirnya di-reshuffle oleh Presiden. Ada juga laporan dari OCCRP yang menyebut Jokowi salah satu tokoh nominasi terkorup di tahun 2024.

Sebagai pemimpin tertinggi di republik Indonesia, seharusnya pemerintah Prabowo-Gibran menindaklanjuti dan berusaha mengurai persoalan tersebut. Pemimpin harus menegakkan law enforcement dengan seadil-adilnya serta menyuarakan hati nurani rakyat. Pemerintah Prabowo-Gibran sudah seyogianya memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme secara tegas dan tidak pandang bulu. Hal ini juga yang sering di ucapkan oleh Prabowo diberbagai macam event kegiatan serta pidato politiknya.

Meskipun ada beberapa program yang dirasa telah memprioritaskan kepentingan rakyat Indonesia seperti makan bergizi gratis, melakukan efisiensi anggaran bagi pejabat, para menteri dan wakil menteri, bonus isi ulang listrik bulan Januari-Februari 2025 sampai program investasi Danantara, kesemuanya itu perlu diawasi dan dievaluasi apakah sudah tepat dan efektif.

Robert Nesta Marley yang dikenal dengan panggilan Bob Marley, seorang musisi Reggae dari Jamaika pernah mengatakan bahwa: “Kehebatan seorang manusia bukanlah pada seberapa banyak kekayaan yang dia peroleh, tetapi pada integritasnya dan kemampuannya untuk mempengaruhi orang orang di sekitarnya secara positif.”

Belajar Dari Umar Bin Abdul Aziz
Banyak tokoh dan pemimpin dunia yang memiliki integritas yang patut diteladani. Salah satu sosok yang sering disebut dalam hal integritas adalah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Dinasti Umayyah yang dikenal sebagai pemimpin yang berorientasi pada keadilan dan moralitas tinggi.

Jika mau jadikan teladan dalam kepemimpinan yang berintegritas, Prabowo-Gibran dapat menjadikan ajaran Umar bin Abdul Aziz sebagai acuan dan role model pemimpin yang penuh integritas. Umar bin Abdul Aziz adalah seorang khalifah yang dikenal karena kebijakan-kebijakan revolusionernya dalam memperbaiki moralitas pemerintahan dan mengembalikan pemerintahan yang berorientasi pada keadilan serta kesejahteraan rakyat.

Keberanian Umar bin Abdul Aziz dalam menegakkan keadilan adalah contoh nyata bagi para pemimpin masa kini, termasuk Prabowo-Gibran yang terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Dalam konteks politik Indonesia yang dipenuhi dengan tantangan serius terkait korupsi, ketimpangan sosial, dan manipulasi kekuasaan, integritas kepemimpinan menjadi sangat vital untuk menjaga kepercayaan publik dan menciptakan pemerintahan yang bersih (good governance).

Pemimpin Berorientasi Pada Rakyat
Salah satu ajaran yang bisa diterapkan adalah bagaimana menjaga jarak dengan kekuasaan dan tidak terjebak dalam perilaku koruptif. Dalam kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz yaitu mengembalikan harta yang diperolehnya selama menjabat untuk kepentingan masyarakat. Ini adalah contoh yang bisa menjadi model bagi Prabowo-Gibran dalam membuktikan bahwa kekuasaan harus digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.

Selain persoalan di atas, korupsi juga masalah besar yang terus menghantui Indonesia. Salah satu contoh korupsi yang dilakukan oleh Harvey Moeis yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun. Bahkan yang terbaru terkait kasus korupsi dimana Kejagung menetapkan 7 tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang merugikan negara mencapai Rp 193,7 triliun.

Umar bin Abdul Aziz menunjukkan bahwa pemimpin berintegritas dapat menghapus korupsi dengan kebijakan tegas dan jelas. Kepemimpinan yang tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan adalah kunci menciptakan pemerintahan bersih dan transparan.

Mewujudkan Kepercayaan Rakyat
Prabowo-Gibran jika ingin dipercaya rakyat Indonesia harus memiliki tekad yang kuat untuk memberantas korupsi di segala lapisan pemerintahan. Integritas bukan hanya tentang tidak terlibat dalam tindakan koruptif, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, pengawasan terhadap pejabat dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas utama dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.

Semoga Rezim Prabowo-Gibran tidak sekadar omon omon dan berusaha mampu menjadi pemimpin Indonesia yang mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan oleh Umar bin Abdul Aziz untuk memastikan bahwa kepemimpinan yang dijalankan benar-benar untuk kepentingan rakyat. Kepemimpinan yang berintegritas adalah kunci untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik opini Republika pada tanggal 2 Maret 2025

Willi Ashadi
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Minat riset mencakup politik Islam, kajian Timur Tengah, gerakan Islam global, dan keamanan manusia dalam Islam.

 

Categories
Hukum Politik

100 Hari Pertama Prabowo-Gibran, Masa Depan Perlindungan HAM Makin Dipertanyakan

Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM) merupakan Asta Cita nomor 1 dari prioritas program Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini.

Namun, riset terbaru Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menemukan bahwa performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran justru suram pada 100 hari pertama kekuasaannya, terutama dari sisi substansi peraturan perundang-undangan. Kesenjangan ini menjadi fondasi untuk mempertanyakan masa depan perlindungan HAM dalam lima tahun ke depan.

Riset ini meneliti performa HAM pemerintahan Prabowo-Gibran dari sisi substansi peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama pemerintah. Kami berfokus pada 155 peraturan perundang-undangan, terbagi ke dalam 87 undang-undang, satu peraturan pemerintah, dan 67 peraturan presiden.

Dengan mendefinisikan orientasi HAM berdasarkan pernyataan formal dan eksplisit tentang HAM dalam peraturan-peraturan itu, riset ini berupaya untuk memahami cara pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM di dalam aturan bernegara.

Elemen HAM dianggap minoritas

Riset kami menemukan bahwa selama 100 hari pertama memimpin, pemerintahan Prabowo-Gibran memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan.

Temuan ini didasarkan pada penilaian terhadap orientasi HAM di dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan indikator pemuatan HAM dalam peraturan, pemerintahan Prabowo-Gibran memperoleh skor 0,14 dari skala 0-1. Sementara berdasarkan indikator cakupan hukum dan ragam HAM dalam peraturan, pemerintahan saat ini memperoleh skor 0,06 dari skala 0-1.

Peraturan Presiden tentang Kementerian Kehutanan, misalnya, tidak didekati dengan pokok pikiran dan alasan pembentukan yang berbasis HAM. Dasar hukum pembentukannya juga tidak merujuk satu pun instrumen hukum HAM. Begitu juga dengan materi muatannya yang tidak menyatakan pelbagai ragam HAM secara eksplisit dan formal. Padahal, terdapat keterhubungan yang ketat antara isu kehutanan dengan HAM.

Dengan demikian, skor orientasi HAM dalam peraturan-peraturan yang telah disahkan hanya berkisar 0,1 dari skala 0-1, menandakan orientasi HAM yang sangat lemah dari pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Ini artinya, aspek HAM belum menjadi perhatian bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam membentuk peraturan perundang-undangan pada 100 hari pertama.

Memperlakukan HAM sebagai elemen minoritas dalam peraturan perundang-undangan bukan pertanda baik dalam upaya perlindungan HAM. Konstitusi menegaskan bahwa pemerintah mengemban tanggung jawab untuk menjamin penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan HAM. Dengan demikian, tanggung jawab pemerintahan terhadap HAM tidak hanya harus dilakukan, tetapi juga harus sudah terlihat dalam peraturan perundang-undangan yang disahkan.

Abaikan hukum HAM

Riset ini juga menemukan bahwa pendayagunaan hukum HAM masih sangat terbatas. Dari 15 instrumen hukum internasional dan nasional HAM yang menjadi acuan, hanya satu instrumen yang dirujuk dalam 155 peraturan yang disahkan, yaitu UUD 1945 atau Konstitusi. Di tengah banyaknya instrumen hukum HAM, praktik ini menandakan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung tertutup dari keberadaan hukum nasional dan internasional HAM.

Menurut riset PUSHAM UII, pertimbangan tentang HAM justru sukar ditemukan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan peraturan-peraturan yang telah disahkan pemerintahan Prabowo-Gibran pada 100 hari pertama. Dalam dasar hukum pembentukan, rujukan langsung pada hukum internasional dan nasional HAM disebut sebagai praktik yang langka. Ragam HAM hampir tidak pernah ditemukan dalam ketentuan pasal-pasal. Selain itu, konstruksi HAM dalam penjelasan resmi atas setiap peraturan amat jarang ditemukan .

Pengucilan HAM

Riset ini juga menemukan empat indikasi lain yang semakin membuat komitmen perlindungan HAM dari pemerintahan Prabowo-Gibran patut dipertanyakan.

Pertama, pengakuan hak-hak masyarakat adat yang setengah hati. Dalam hal ini, pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak yang dinikmati oleh masyarakat adat.

Hal ini terlihat dalam 80 undang-undang terkait penetapan provinsi, kabupaten, dan kota. Seluruh peraturan ini merujuk Pasal 18B ayat (2) Konstitusi sebagai dasar hukum pembentukannya. Pasal ini memang mengakui hak-hak tradisional masyarakat adat.

Namun, pasal tersebut terletak dalam Bab Pemerintah Daerah di dalam Konstitusi. Ini mengindikasikan bahwa semangat dari pengakuan lebih mengakar pada penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan otonomi daerah.

Pengakuan yang berbasis kepemilikan hak, padahal, dapat didasarkan pada Pasal 28I ayat (2) Konstitusi, yang secara khusus terletak dalam Bab Hak Asasi Manusia. Dengan demikian, perujukan Pasal 18B ayat (2) Konstitusi tanpa diikuti dengan Pasal 28I ayat (2) menunjukkan pengakuan hak-hak masyarakat yang setengah hati dan tidak sepenuhnya berbasis pada kepemilikan hak.

Kedua, terdapat klise pada frasa “Melindungi Segenap Bangsa Indonesia dan Tumpah Darah Indonesia dan Memajukan Kesejahteraan Umum” dalam peraturan perundang-undangan. Frasa ini dapat dijumpai, misalnya, dalam penjelasan resmi pada 70 undang-undang penetapan kabupaten dan 9 undang-undang penetapan kota.

Ketika diteliti, frasa yang sama juga dapat dijumpai dalam UU Ibu Kota Negara. Sayangnya, riset lain dari PUSHAM UII menemukan bahwa UU Ibu Kota Negara (IKN), yang memuat frasa tersebut di dalam penjelasan resminya, justru memungkinkan pelanggaran HAM dalam implementasi pembangunan Nusantara. Praktik ini mengindikasikan bahwa dalam praktiknya, frasa tersebut belum dijiwai oleh semangat perlindungan yang substantif.

Ketiga, ketidakjelasan pemaknaan tentang agenda pembangunan berkelanjutan. Frasa “pembangunan…dilakukan secara berkelanjutan” ditemukan di bagian pertimbangan dalam 79 dari 87 undang-undang. Sayangnya, istilah pembangunan berkelanjutan seringkali disalahartikan untuk kepentingan sesaat aparat pemerintah dan mengakomodasi kebijakan yang eksploitatif.

Proyek-proyek besar seperti pembangunan Nusantara dan jalan tol Trans-Jawa, misalnya, telah mengganggu HAM dan keberlanjutan lingkungan hidup. Padahal, kedua proyek ini mengusung konsep “berkelanjutan” di dalam dasar-dasar hukumnya.

Keempat adalah pengucilan bidang HAM. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan pemerintahan Prabowo-Gibran memerintahkan Kementerian HAM untuk bersinergi hanya dengan Kementerian Hukum dan Kementerian Imigrasi-Pemasyarakatan. Tidak ada perintah serupa bagi kementerian di bidang-bidang lain seperti investasi dan hilirisasi, keuangan, perdagangan, kehutanan, dan pariwisata untuk bersinergi dengan bidang HAM. Padahal, HAM ada di setiap bidang dari seluruh urusan pemerintahan.

Tantangan ke depan

Temuan riset tersebut mengindikasikan bahwa perlindungan HAM tampaknya tidak akan terlaksana secara optimal dalam lima tahun ke depan. Sebab, bagaimana bisa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki kemampuan melindungi HAM jika HAM sendiri terlihat tidak menjadi prioritas dalam peraturan perundang-undangannya?

Alih-alih memberikan perhatian secara kuat dan memastikan ruang yang dominan untuk HAM, pemerintahan Prabowo-Gibran justru mengeksklusi HAM dalam peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pada 100 hari pertama. Padahal, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk memastikan perlindungan HAM.

Di negara-negara yang menganut prinsip negara hukum, seperti Indonesia, peraturan perundang-undangan memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu realitas di masa depan. Umumnya, keutamaan tentang realitas yang dikehendaki dituangkan dalam pokok pikiran dan alasan pembentukan suatu peraturan.

Kemudian, dengan didukung dasar-dasar hukum yang ada, jalan dan rambu-rambu untuk mencapai realitas itu dirumuskan dalam bentuk ketentuan pasal-pasal. Ketentuan ini menjadi penuntun yang mengikat mereka yang menjalankan pemerintahan, bahkan termasuk setiap orang dalam yurisdiksi negara.

Dengan menempatkan perlindungan HAM yang optimal sebagai realitas di masa depan, keutamaan tentang HAM seharusnya dituangkan, dirujuk, diekspresikan, dan dielaborasi dalam setiap elemen peraturan.

Keberadaan keutamaan tentang HAM ini menegaskan orientasi HAM dari peraturan perundang-undangan. Peraturan yang memiliki orientasi HAM kuat memungkinkan aparat negara, termasuk pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, untuk melindungi HAM secara optimal.

Sebaliknya, orientasi HAM yang sangat lemah dalam peraturan, sebagaimana terjadi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini, justru membuka ruang gangguan dan intervensi negara terhadap penikmatan HAM—membuat warga menyangsikan performa HAM dari suatu rezim pemerintahan.

 

Tulisan sudah dimuat di The Conversation Indonesia pada tanggal 12 Februari 2025

Said Hadi
Dosen Hukum Perdata Fakultas Hukum UII. Bidang riset pada hukum bisnis dan HAM, serta metodologi hukum.