Categories
Politik

Bagaimana Pilpres 2024 akan Membingkai Ulang Arah Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia?

Dua pekan menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, kontestasi tiga calon presiden – Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto dalam meraih simpati rakyat kian ketat. Sepanjang masa kampanye, salah satu aspek yang mengundang perhatian publik adalah bagaimana ketiganya memandang dan menyusun arah kebijakan luar negeri ketika terpilih nanti.

Seiring dengan akan berakhirnya periode kedua pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, pertanyaan mengenai politik luar negeri kian menguat, terutama apakah penerusnya akan melanjutkan atau mengubah pola hubungan Indonesia dengan Cina, Amerika Serikat (AS), dan negara-negara tetangga.

Melanjutkan tradisi sejak masa awal kemerdekaan Indonesia, Jokowi telah menerapkan politik luar negeri “bebas aktif”, sebagai landasan kebijakan nonblok yang aktif memberikan kontribusi perdamaian dan diinisiasi pertama kali tahun 1948 oleh wakil presiden pertama, Mohamad Hatta. Pada 2022, Jokowi sempat berupaya menempatkan peran Indonesia sebagai perantara perdamaian dalam perang Rusia-Ukraina. Jokowi mengunjungi kedua negara dan mengundang Ukraina untuk menghadiri KTT G20 di Bali. Pada tingkat ASEAN, di bawah kepemimpinan Indonesia tahun ini terlihat tampak berupaya menciptakan sikap netral dalam menyikapi hubungan antara AS dan Cina dengan tujuan mencegah timbulnya potensi konflik dan menjaga stabilitas kawasan.

Sejauh ini, tiga calon presiden (capres) yang berkompetisi pada Pemilu 2024 menyatakan akan mempertahankan tradisi kebijakan luar negeri Indonesia “bebas aktif”. Pertanyaannya, adakah perbedaan implementasi “bebas aktif” di antara ketiganya?

Anies: mengakhiri pragmatisme

Anies menguraikan platform kebijakan politik luar negerinya dengan mengkritisi pendekatan pemerintah saat ini dalam mengelola hubungan luar negeri yang menurutnya “pragmatis dan transaksional”.

Kritik ini muncul karena sejak Jokowi menjadi presiden pada tahun 2014, pendekatan kebijakan luar negeri yang berkhidmat terhadap multilateralisme tidak lagi dilanjutkan. Sebab, pendekatan tersebut diyakini hanya memberikan sedikit manfaat nyata bagi ekonomi Indonesia.

Hal inilah yang menjadi faktor mengapa Jokowi tidak menghadiri sejumlah forum tingkat tinggi dan hanya fokus melantangkan diplomasi ekonomi serta memperbaiki hubungan bilateral dengan sejumlah negara tertentu. Diyakini, pendekatan ini lebih banyak memberi manfaat ekonomi bagi Indonesia.

Berbeda dengan pendekatan pragmatis Jokowi, Anies ingin mengembalikan Indonesia ke tingkat global dengan mengambil lebih banyak peran kepemimpinan dalam mengatasi isu-isu internasional. Kebijakan luar negerinya akan fokus pada peningkatan peran dan partisipasi Indonesia untuk urusan internasional dan dalam tatanan global.

Sebagai contoh, Anies mendambakan Indonesia berperan menjadi pemimpin garda depan di ASEAN untuk menjamin terwujudnya perdamaian dan stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik dan, dalam jangka panjang, menjadikan ASEAN sebagai pusat dialog antarnegara besar.

Prabowo: menjadi tetangga yang baik

Prabowo memaparkan platform kebijakan luar negerinya dengan janji untuk mempertahankan politik luar negeri bebas aktif dan di saat yang sama memperkuat kebijakan pertahanan negara.

Arah kebijakan luar negeri ini sudah bisa diprediksi dari awal, mengingat latar belakang militer Prabowo dan posisinya saat ini sebagai menteri pertahanan.

Meski demikian, serupa dengan Anies, pendekatan Prabowo juga berfokus pada peran Indonesia dalam stabilitas kawasan. Ia ingin Indonesia menjadi “tetangga yang baik” dan menjaga hubungan yang stabil dengan negara tetangga di Asia Tenggara.

Kemungkinan, Prabowo juga akan melanjutkan pendekatan luar negeri yang dilakukan Jokowi, yaitu enggan untuk berpihak di tengah persaingan negara adidaya.

Yang menarik, Prabowo menekankan bagaimana Indonesia harus menghormati AS bersama sekutunya, serta Cina. Ia juga menekankan bahwa India dan Rusia juga merupakan mitra penting bagi Indonesia, sebagaimana juga negara-negara Afrika yang memiliki kesamaan pengalaman kolonialisme masa lalu.

Prabowo menjadi satu-satunya capres yang dengan terbuka membahas pentingnya Indonesia menjadi tetangga yang baik. Di bawah kepemimpinannya jika terpilih nanti, ia hendak menunjukkan bahwa kehadiran Indonesia di kawasan tidak akan menimbulkan ancaman bagi negara-negara sekitar.

Ganjar: memaknai kembali ‘bebas aktif’

Platform kebijakan luar negeri Ganjar fokus pada empat isu penting global: kemunduran demokrasi, ketidakadilan global, kemerosotan ekonomi, dan konflik di kawasan.

Secara khusus, Ganjar menekankan pada eskalasi ketegangan di Asia, yang ditunjukkan dengan memburuknya hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan, Cina dan Taiwan, serta masih berlangsungnya sengketa Laut Cina Selatan (LCS).

Ganjar juga berkomitmen mempertahankan politik luar negeri “bebas dan aktif” dengan sedikit pemaknaan ulang agar lebih efektif dan selaras dengan situasi geopolitik saat ini. Pemaknaan ulang ini termasuk merumuskan strategi agar Indonesia dapat lebih proaktif –bukan pasif responsif – dalam urusan internasional.

Platform kebijakan luar negeri masing-masing kandidat memberikan gambaran sekilas mengenai arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan. Kebijakan luar negeri yang “bebas aktif” kemungkinan besar akan tetap berlaku, apapun hasil pemilu mendatang. Meski, di tengah persamaan tersebut, masing-masing calon juga menekankan prioritas tertentu yang menjadi pembeda satu sama lain.

 

Tulisan ini sudah dimuat di The Conversation pada tanggal 2 Februari 2024

Hangga Fathana
Dosen Jurusan Hubungan Internasional UII. Bidang riset pada studi Australia, politik ekonomi global, politik perdagangan, dan dinamika perkembangan kapitalisme.



Categories
Politik

Pascapemilu Serentak 2024

Tulisan ini akan mencoba menjawab pertanyaan, apakah penyelenggaraan pemilu serentak pada 2024 akan secara signifikan berdampak kepada kehidupan moral etik politik di Indonesia? Pertanyaan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung kompleksitas yang cukup rumit.

Jika politik dimaknai sebagai segenap upaya seluruh komponen bangsa untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan umum, rasa-rasanya dengan melihat gelagat politik partai politik dan kandidat pemilu hari-hari ini, jauh panggang dari api. Artinya, pemilu serentak 2024 tidak akan memiliki relevansi yang signifikan terhadap perubahan politik Indonesia setidaknya satu periode mendatang. Mengapa demikian?

Pertama, harus diakui, politik Indonesia termasuk demokrasi di dalamnya masih berkutat kepada aspek prosedural, sedangkan substansi dan inti politik itu sendiri lama tak tersentuh. Perubahan model pemilu misalnya, yang sebelumnya terpisah menjadi pemilu serentak legislatif dan eksekutif, level pusat maupun daerah, suka tidak suka adalah bentuk perubahan prosedural semata. Ia hanya mengubah prosedur yang sebelumnya dalam waktu yang berbeda menjadi dalam waktu yang sama atau paling tidak berdekatan.

Perubahan mekanisme ini disinyalir akan berdampak pada penghematan anggaran negara karena dilakukan dalam sekali waktu. Logika ini sekilas tampak rasional meskipun belum tentu karena pemilu serentak dipastikan akan menambah kuantitas penyelenggara dan pengawas pemilu. Selain itu, sekalipun penghematan anggaran ini betul-betul terjadi, tetap saja ini baru menyentuh aspek prosedural dari politik, tidak berdampak kepada kehidupan politik kebangsaan kita.

Lalu, apakah prosedur demokrasi tidak penting sama sekali? Tentu saja penting. Prosedur adalah pintu masuk menuju substansi politik. Artinya, prosedur penting tetapi tidak berhenti di situ, ia harus beranjak menuju yang lebih substantif.

Kedua, laku politik yang selama ini tampak sama sekali tidak mencerminkan moral serta etik politik, dan itu tidak mungkin berubah jika pendekatan perubahan baru pada level prosedural. Beberapa masalah dalam politik Indonesia, misalnya menguatnya primordialisme, politik uang dalam pemilu, dan merebaknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) adalah masalah pada level inti, mengubahnya tidak cukup hanya dengan mengubah sistem dan mekanisme pemilu semata.

Primordialisme dalam bentuk suku dan agama, misalnya, yang sejatinya tidak mungkin mendapatkan tempat di panggung politik karena politik mensyaratkan kesetaraan dan keadilan, maka dengan sendirinya secara alamiah primordialisme ini bertentangan dengan politik. Namun pada kenyataannya, jualan primordialisme ini masih laku keras digunakan untuk mendulang suara sebanyak mungkin.

Ruang publik yang sejatinya inklusif diisi oleh sintesis tindakan komunikasi yang dapat diterima oleh publik, tetapi diisi oleh ujaran-ujaran untuk mendukung calon dari suku dan/atau agama tertentu lalu menjelekkan calon lain yang berasal dari identitas berbeda. Ini diperparah pula dengan pemakluman terhadap politik uang, baik dari sisi pelaku maupun penerima.

Laku politik yang selama ini tampak sama sekali tidak mencerminkan moral serta etik politik, dan itu tidak mungkin berubah jika pendekatan perubahan baru pada level prosedural.

Ruang politik yang demikian, lalu berimplikasi kepada wajah pejabat negara yang lekat dengan KKN. Sulit untuk menggambarkan bagaimana mengguritanya KKN di Indonesia saat ini, tetapi gambaran sederhananya mungkin bisa dilihat dari ilustrasi berikut:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang selama ini menjadi satu-satunya batu sandungan bagi para koruptor karena KPK kerap merepotkan pejabat ”nakal” yang akan korupsi. Maka, yang dilakukan bukan lagi mencari metode KKN yang lebih canggih agar tidak tercium KPK, melainkan dengan mematikan KPK itu sendiri. KPK hari ini, nyaris seperti mayat berjalan, secara kelembagaan dia ada, tetapi tidak memiliki ruh pemberantasan korupsi yang hidup sehingga arahnya dapat ”dikendalikan” oleh oknum-oknum yang keberatan jika KPK independen.

Berbagai persoalan di atas hampir dapat dipastikan masih akan terus tumbuh di Indonesia pasca-Pemilu 2024. Artinya, tanpa perubahan politik yang radikal, tanpa merehabilitasi arah politik Indonesia, tidak akan ada yang berubah sekalipun mekanisme pemilunya beruang-ulang diubah.

Politik adalah tentang keterlibatan seluruh warga dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan umum. Politik selama ini kerap disalahartikan sebagai ajang perebutan kekuasaan semata dan dikerdilkan menjadi biang kerok dari segala permasalahan yang dihadapi bangsa.

Padahal, politik sejatinya adalah tentang tindakan yang dilakukan untuk tujuan kehidupan bersama dan keadilan. Tindakan itu harus diwujudkan dengan komunikasi yang setara antarkelompok yang ada. Politik juga berkaitan dengan pemisahan antara yang publik dan privat, urusan pribadi dan urusan kenegaraan, kepentingan individu dan kepentingan umum, di mana yang umum akan selalu berada di atas kepentingan pribadi.

 

Tulisan sudah dimuat di rubrik Opini Kompas pada tanggal 24 Agustus 2023

Despan Heryansyah
Dosen Fakultas Hukum UII dan Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK). Bidang riset pada hak asasi manusia dan kebijakan publik, hak-hak kelompok rentan, dan pemerintahan daerah.